NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Arifureta Shokugyou de Sekai Saikyou: After Story V14 Chapter 3

Penerjemah: Ariel Yurisaki

Proffreader: Ariel Yurisaki


Chapter 03:

Hari Libur Keluarga Nagumo


Sihir Transmutasi—puncak dari teknik pembentukan dan pengolahan yang bahkan mampu membunuh dewa di dunia lain—telah disaksikan sepenuhnya oleh Shuu dan Sumire di ruang bawah tanah rumah, dan sudah jelas bahwa kegembiraan mereka meluap tak terkendali.

Terpengaruh oleh mereka, Hajime pun ikut terbawa suasana dengan penuh semangat. Dan tentu saja, Yue dan yang lainnya, yang masih belum terbiasa dengan norma-norma Jepang, tak mungkin bisa menghentikannya.

Maka, tak heran bila pada akhirnya terciptalah sebuah ruang bawah tanah yang sangat luar biasa—lebih luas dari tanah rumah itu sendiri, dengan lima lantai bawah tanah (meskipun pintu masuknya menggunakan sistem teleportasi, jadi ruang bawah tanah sebenarnya berada lebih dari lima puluh meter di bawah tanah).

(*TL Note: Anjir, bikin Dungeon :v)

Ruang pribadi Hajime, bengkel, ruang kerja pasangan suami istri, arena latihan (termasuk lapangan tembak), Game Center, ruang teater, bunker nuklir multifungsi yang bisa diubah-ubah (buah dari semangat abnormal seperti orang yang sudah begadang tiga hari), dan tentu saja, ruang hobi favorit yang dibuat dengan sangat teliti (ruang koleksi), serta perpustakaan yang megah, dan masih banyak lagi.

Tak ada satupun tetangga mereka yang menyangka, bahwa hanya dalam satu malam saja, ruang bawah tanah yang begitu nyaman telah tercipta jauh di bawah rumah mereka.

Keesokan harinya, setelah secara terang-terangan membangun struktur ilegal di bawah rumah...

“Jangan-jangan ini memang terlalu berlebihan… ya?”

Hajime yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memiringkan kepala sambil bergumam, “Pada akhirnya, ruang utama ku malah tetap seperti semula…”

Ya, Hajime tetap memutuskan untuk menggunakan kamar di lantai dua. Yue dan yang lainnya bersikeras, “Kalau Hajime pindah, kami juga mau tinggal di bawah tanah!” dan tak mau mendengarkan alasan apapun. Kalau seperti itu, meskipun ada delapan orang yang tinggal di sana, lantai dua jadi seperti lantai hantu yang tak berpenghuni.

Hal itu malah akan bertentangan dari tujuan awal mereka.

“Fufu, apakah kamu tidak puas?”

“Papa, apa Myuu yang jadi tetangga sebelah Kamar bikin Papa nggak senang~?”

Remia dan Myuu masuk ke dalam dari pintu yang mengarah ke Ruang Tamu. Myuu melompat naik ke pangkuan Hajime. Pipinya tampak menggembung, seolah dia yang sebenarnya sedang kesal.

Hajime mencolek pipi bulat itu dengan ujung jarinya dan perlahan mengempiskannya sambil menggelengkan kepala.

“Tidak, lagipula Aku suka ruangan itu, jadi tidak ada keluhan. Justru karena jarang dipakai, ruang bawah tanah malah akan terasa lebih istimewa.”

“Itu melegakan. Aku sempat khawatir kalau kami terlalu memaksakan kehendak.”

“Kalau kalian sendiri bagaimana? Apa tidak apa-apa? Akhirnya, kalian bertiga sekamar termasuk Tio, kan?”

Tentu saja, Yue dan Shea juga satu kamar. Namun, Remia yang duduk manis di samping Hajime—dengan jarak yang sangat dekat—menggeleng pelan.

“Tidak ada keluhan sama sekali. Justru, Aku jadi sering begadang karena terlalu asyik mengobrol dengan Tio-san... Ufufu.”

Remia tersenyum lembut, seperti kembali ke masa kecilnya. Tak ada sedikit pun kesan bahwa dia sedang berpura-pura senang.

“Bertukar kamar dengan Yue-oneechan atau Shea-oneechan juga sangat seru!”

“Begitu ya. Kalau kamu senang, ya tidak masalah.”

Di pangkuan Hajime, Myuu mengangkat tangannya dengan gembira, tak terlihat sedikit pun tanda-tanda ketidakpuasan. Sepertinya Yue dan istrinya yang lain juga tidak terlalu merasa terganggu meski harus saling berbagi kamar.

“Papa nggak kesepian?”

Justru, mungkin Papa lah yang merasa kesepian di kamarnya sendiri. Ekspresi polos sekaligus penuh kekhawatiran dari putri tercintanya menusuk hati Papa Hajime.

“Myuu, laki-laki itu, tahu kan, kadang mereka punya banyak hal. Ada saat-saat di mana mereka ingin sendiri.”

“Benarkah?”

Entah kenapa, sebelum Hajime sempat menjawab, Mama Remia-lah yang menjawab duluan. Hajime pun menunjukkan ekspresi seperti, “Eh?”

“Iya, benar. Terutama Papa, dia punya hobi yang sangat dia sukai, jadi dia butuh waktu untuk menikmatinya sendiri.”

“Sendirian? Myuu nggak boleh ikut?”

Tidak, bukan begitu… Hajime hampir saja menjawab dengan refleks, tapi Remia lagi-lagi mendahuluinya. Dan kali ini, Hajime terkena pukulan mental setara dengan Divine Word-nya Ehit.

“Tidak boleh. Soalnya, ada hal-hal yang belum pantas untuk Myuu. Di negara ini, meskipun itu hanya karya fiksi—ada yang namanya batasan usia.”

“...!!!??”

Hajime tiba-tiba tersentak, bahunya bergetar! Tatapannya mulai bergerak liar, ke sana kemari. Terlihat jelas kalau pikirannya sedang berputar dengan kecepatan tinggi.

Kenapa? Kenapa kata-kata itu yang keluar? Ketahuan? Apa koleksiku ketahuan!? Kenapa? Bagaimana bisa!? – semacam itulah kepanikannya.

“Myuu!? Oh begitu~ jadi masih ada hal-hal yang belum boleh Myuu lihat ya~. Kalau begitu, bagaimana dengan Mama dan para oneechan? Mereka boleh lihat?”

“...Fufu, tentu saja boleh. Kalau itu memang keinginan Papa.”

Tatapan penuh makna pun meluncur dari Mama Remia ke arah Papa Hajime. Myuu ikut-ikutan mengalihkan tatapannya ke Papa. Myuu pun terkejut.

“Pa, Papa!? Kamu Kenapa!?”

“Ada apa memangnya?”

“Papa berkeringat sangat banyak! Kayak air terjun!”

“Haha, kamu salah lihat. Gak ada apa-apa, Papa sehat-sehat aja.”

“Tapi nada bicara Papa juga aneh!”

Sambil mengeluarkan saputangan, dengan wajah cemas, Myuu menyeka keringat di dahi Papa, membuat Papa Hajime hanya bisa membalas dengan senyum kaku.

Hajime pun melirik ke arah Remia yang tersenyum manis, tapi menyeramkan, sambil berkata:

“Maaf ya. Waktu kamu sedang sibuk... Ibumu sempat menunjukkan pada kami. Tentang ‘buku tipis’ dan ‘eroge’ itu.”

“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuu!!! Cepat keluar dari ruang bawah tanah!! Dan kenapa juga kau tahu tempat persembunyiannya!? Ini benar-benar bisa membuatku memutuskan hubungan orang tua-anak, kau tahu!?”

“H-Hajime-san! Tolong jangan salahkan dia! Ini semua karena kami yang terus-menerus memaksa ingin tahu tentang fetish suami kami!”

“Apa yang kalian bicarakan saat aku tidak ada!? Lagipula, itu bukan hal yang bisa ditanyakan ke ibu sendiri, kan!? Dari sudut pandang anak laki-laki, ini neraka tahu!?”

Sambil menggendong Myuu, Hajime tanpa sadar berdiri. Hal yang sangat langka, wajahnya memerah terang.

Myuu memperlihatkan ekspresi penasaran seperti, “Aku baru saja melihat sesuatu yang sangat langka!” Tapi kemudian wajahnya menjadi serius.

Harus kuselidiki. Aku harus tahu hobi seperti apa yang bisa membuat Papa sampai sebegitu gugupnya! Itulah yang tergambar jelas di wajahnya. Hajime, yang sedang panik, tidak menyadarinya. Lalu—

“Ahaha, maaf ya, Hajime-san, kami bertindak semaunya.”

“Permintaan Maaf juga dari Saya. Tapi, kami benar-benar penasaran tentang bagaimana Goshujin-sama sebelum dipanggil ke dunia lain. Tak bisa menahan rasa ingin tahu... Jadi, bisa dibilang ini hanyalah apa yang terjadi selanjutnya...”

“...Hm. Maaf, Hajime. Aku hanya kesal karena Kaori selalu pamer bahwa dia tahu lebih banyak tentang dirimu di Jepang, jadi aku ingin tahu... Lebih banyak lagi... Semuanya~~”

Shea, Tio, dan Yue masuk ke ruang keluarga satu per satu.

Kata-kata terakhir Yue, yang hampir seperti bisikan itu membawa emosi yang dalam dan sulit dijelaskan, membuat Hajime kehilangan momentumnya.

Bahkan, tubuhnya sedikit merinding.

“Meski begitu, kalian itu terlalu…”

“…Dan juga...”

“Apa lagi? Masih ada yang lain?”

Yue menatap ke atas dengan ekspresi merasa bersalah. Kepada Hajime yang secara refleks bersikap waspada, Yue mengaku sambil mengerutkan alis membentuk angka delapan.

“…Ayah mertua memberikanku album foto.”

“Album? Yah, itu tidak terlalu masalah…”

“…Hajime kecil, sangat imut. Bahkan, juga ada fotomu saat sedang di kamar mandi… Hajime yang masih kecil benar-benar menggemaskan.”

“Apanya yang kamu bicarakan!?”

“…Sangat berbeda dengan yang sekarang. Rasanya Aku ingin menerkamnya… Baiklah, lagipula Aku bisa melakukannya di masa mendatang.”*

“Berhenti bicara kotor! Dasar vampir mesum! Kau ada di Depan Myuu!?”

“…Aku juga dikasih salinan fotonya. Akan kujadikan harta karun.”

“BUANG ITU SEKARANG JUGA!!”

Dia selalu ingin tahu tentang Hajime sebelum dipanggil ke dunia lain. Bahkan, tampaknya dia juga menikmati masa kecil Hajime. Hajime kecil sepertinya cukup untuk membuat kewarasan Yue menghilang.

Dan tampaknya, Shea dan yang lainnya juga merasakan hal yang sama, terlihat dari pipi mereka yang memerah dan pandangan yang teralihkan.

*(TL Note: Yue mampu mengecilkan tubuh Hajime menjadi Shota dengan menggunakan Ancient Magic :v)

“Ngomong-ngomong, Goshujin-sama... Jika Anda menginginkannya, saya siap menerima tantangan untuk melakukan adegan hardcore yang ada di buku tipis itu kapan saja, loh—“

“Kalau kamu tidak berhenti, Hajime-san akan kembali menjadi rambut putih.”

(Dengan kata lain, mode bertarung)

Tangan yang saat ini digunakan untuk menutup telinga Myu pun sepertinya tinggal menunggu waktu saja sebelum terkepal erat. Dilihat dari pipinya yang sudah mulai berkedut-kedut juga.

Dengan napas yang selaras, Yue dan Remia sama-sama menundukkan kepala sambil berkata,

“Maafkan Kami.”

Remia akhirnya mengaku telah melihat koleksi Hajime tanpa izin, dan Yue serta yang lainnya juga dengan jujur mengaku serta meminta maaf, dengan aura seolah berkata ‘Dimaafkan ya?’.

Di sisi lain, Hajime sendiri merasa malu sekaligus menyesal karena ternyata sampai sekarang pun dia masih belum bisa melepaskan koleksi tersebut meski ada Yue dan yang lain di sekitarnya. Perasaannya jadi bingung harus dilampiaskan ke mana.

“Eh, eeh~ Ah. Iya, benar!”

Myu sendiri memang tidak tahu persis apa yang sedang terjadi, tapi suasananya sungguh tak bisa dijelaskan. Dia ingin mengubah atmosfer yang terasa aneh ini. Maka dari itu, dia melompat turun dari pelukan Hajime.

“Papa! Bagaimana dengan baju Myu? Imut nggak?”

Dia berputar sekali sambil memamerkan blus putih penuh renda dan rok kotak-kotak yang dikenakannya.

Melihat seorang gadis kecil yang berusaha mencairkan suasana, para orang dewasa merasa tak enak sendiri. Hajime dan yang lainnya saling bertukar pandang lalu tersenyum masam.

“Ah, kalian sungguh menggemaskan. Meski ada saran dari Ibu, pada akhirnya yang membuat pilihan adalah Myuu, bukan? Selera kalian benar-benar bagus.”

Tatapan Hajime kemudian beralih kepada Yue dan istrinya yang lain.

Yue mengenakan hoodie putih yang manis, panjangnya mencapai paha; Shea tampil dalam balutan kemeja lengan panjang yang lembut dan celana pendek; Tio mengenakan sweater tipis yang anggun dipadukan dengan rok panjang; sementara Remia tampak serasi dengan putrinya dalam rok bermotif kotak setinggi lutut dan blus yang senada.

Pakaian-pakaian itu merupakan pilihan Sumire, yang dengan cermat mempertimbangkan musim serta tren mode terkini, lalu membelinya di toko Online. Ia melakukan ini sebagai bentuk perhatian terhadap Yue dan yang lainnya, yang selama ini belum sempat keluar rumah karena situasi dunia yang belum sepenuhnya tenang.

“Aku sudah berkali-kali melihat kalian mengenakan pakaian dari dunia ini… namun tetap saja, rasanya cukup memuaskan.”

Meski beberapa dari pakaian tersebut memiliki kemiripan dengan yang ada di Tortus dan tidak sepenuhnya asing, bagi Hajime, melihat mereka mengenakannya tetap membawa kesan tersendiri—hangat dan mendalam.

“Kalian terlihat lebih bersemangat dari biasanya, dan karena itu hari ini kalian tampak lebih memesona. Semuanya sangat cocok.”

Sambil menyapu mereka satu per satu dengan tatapan yang dalam, Hajime menyampaikan pujiannya dengan tulus, tanpa keraguan.

Yue dan yang lainnya, seolah ingin berkata “Bagaimana? Cantik, bukan?”, berputar pelan atau bermain-main dengan rok mereka. Wajah mereka pun merona, diselimuti kebahagiaan yang tulus.

“…Kau juga tampak menawan hari ini, Hajime.”

“Begitukah? Aku merasa sedikit canggung, sebenarnya. Aku jarang sekali mengenakan jaket seperti ini.”

Penampilannya sebenarnya cukup sederhana: celana jins, kemeja, dan jaket. Namun di mata Yue dan para gadis lainnya, itu sudah cukup membuatnya terlihat istimewa. Tatapan mereka padanya penuh rasa sayang, seperti sedang menikmati pemandangan yang menenangkan hati.

Hajime menunduk menatap penampilannya sendiri dengan ekspresi agak canggung, namun kemudian berkata,

“Ini adalah kencan pertama kita di Bumi. Yah, memang hanya sekadar mengantar keliling kota dan berbelanja... tapi tetap saja, aku tidak ingin membuat Yue dan yang lainnya merasa malu. Kalau penampilanku sudah cukup layak, maka syukurlah.”

Ia mengangkat bahu seolah berkata bahwa selama penampilannya tidak memalukan, itu sudah cukup baik.

Ya, kenyataannya hari ini memang hari yang telah mereka nantikan—kencan pertama mereka di dunia ini.

Hari yang istimewa, dan wajar jika semuanya tampak lebih bersemangat dari biasanya.

“...Hah? Hajime terlihat memalukan? Siapa yang bilang begitu? Beritahu Aku, akan ku hancurkan kemaluan nya!”

“Tenanglah. Tidak ada yang bilang begitu, jadi tolong jangan hilangkan cahaya di matamu. Dan ingat, ini Jepang—negara hukum. Menyerang bagian vital orang lain sembarangan itu dilarang, tahu?”

“Justru kami yang khawatir kalau-kalau malah membuat Hajime-san malu…”

“Saya sudah berusaha mempelajari norma-norma dunia ini lewat ‘internet’ dan ‘televisi’, tapi seperti biasa, kenyataan sering kali berbeda.”

“Hajime-san, maaf kalau kami nanti malah merepotkanmu, tapi… tolong bimbing kami, ya?”

“Myuu juga akan berusaha menghafal ‘norma-norma Jepang’, kok!”

Yue dan yang lainnya langsung mengelilingi Hajime.

Mereka sudah berdandan khusus untuk hari ini—bahkan dalam keadaan biasa pun, kecantikan mereka cukup untuk membuat semua orang menoleh. Namun hari ini, mereka tampak jauh lebih memesona dari biasanya.

Bahkan Hajime pun menyadari peningkatan suhu tubuhnya sendiri—penampilan mereka begitu mempesona hingga membuatnya tak bisa menahan reaksi itu.

Yang Hajime khawatirkan bukanlah karena mereka tidak memahami norma-norma sosial, tapi justru karena penampilan mereka yang mencolok. Hal itu cukup untuk menarik perhatian yang tak diinginkan, bahkan mungkin mengundang masalah.

Namun, itu bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan saat ini. Kekhawatiran tersebut ia simpan dalam hati, lalu mengangkat bahu pelan dan berkata,

“Aku tidak merasa kalian merepotkan sama sekali. Jepang juga penuh dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, jadi seharusnya tak akan jadi masalah. Malah, maaf kalau barusan aku terdengar menyudutkan. Ini kan ‘pertama kalinya kalian jalan-jalan di kota Jepang’. Santai saja, nikmati hari kalian.”

Nada bicara Hajime yang tenang dan ringan membuat Yue dan yang lainnya mengendurkan bahu mereka, tampak lebih lega dari sebelumnya.

“Ngomong-ngomong, Kaori-san dan yang lain memang tidak bisa ikut hari ini, ya?”

“Ya. Baik Kaori maupun Shizuku kebetulan sedang mengunjungi rumah kerabat mereka.”

Bukan hanya Hajime dan kelompoknya saja yang kini bisa lebih bebas bergerak setelah situasi kembali stabil. Banyak keluarga yang memanfaatkan waktu sebelum sekolah dimulai untuk mengunjungi sanak saudara yang tinggal jauh, sekadar menunjukkan bahwa mereka dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.

“Kalau Aiko-oneechan?”

“Tidak, Aiko sibuk dengan pekerjaannya. Katanya, ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk bulan depan.”

“Begitu ya...” gumam Myuu sambil sedikit manyun, bibirnya maju seolah kecewa.

Sambil memastikan gaya rambut Myuu yang sudah ditata rapi tidak berantakan, Hajime mengelus kepalanya dengan lembut.

Saat itu pula, Sumire yang tampaknya baru saja naik dari ruang bawah tanah, akhirnya menampakkan wajahnya.

“Hajime, kalian akan berangkat sebentar lagi, kan? Sebelum itu, bisa bantu Ibu sedikit saja menyesuaikan rak penyimpanan di dinding—“

Dengan wajah penuh senyum, Sumire memanggilnya.

Hajime pun membalas dengan senyuman serupa... meski matanya sama sekali tidak ikut tersenyum.

“...Ibu, aku sudah dengar. Ibu menunjukkan isi kamarku ke Yue dan yang lainnya tanpa izinku kan?”

Wajah Yue dan para istri lainnya langsung berubah tegang.

Mereka yang terus memohon dengan gigih hingga akhirnya diizinkan melihatnya. Mereka tidak bisa membiarkan sang ibu mertua disalahkan, dan berusaha membuka suara untuk menjelaskan—namun belum sempat itu terjadi...

“Fufu, Ibu memang merasa sedikit bersalah. Tapi, Hajime... kamu sudah memiliki istri-istri yang luar biasa menawan seperti mereka. Tidakkah menurutmu, tetap menyimpan koleksi seperti itu sedikit keterlaluan?” (Doujin dkk :v)

“Ugh...”

Sebuah serangan telak! Hajime tak bisa berkata apa-apa, seolah dadanya tertusuk.

Yue dan yang lain menatap dengan mata terbelalak.

Sang ibu... sungguh kuat! Benar-benar kuat!

“A-Aku memang berniat menjualnya. Hanya saja, belum sempat karena sibuk...”

“Oh tentu saja. Ibu percaya... benar-benar percaya,” jawab Sumire dengan nada penuh sarkasme.

“Itu bukan intinya! Kenapa Ibu bisa tahu tempat aku menyembunyikannya!?”

“Karena aku ini ibumu!”

“Gah!?”

Kuat! Ibu ini benar-benar kuat!

Pria yang pernah dijuluki “Raja Iblis Pembunuh Dewa” kini tak lebih dari seorang putra biasa yang tak bisa berkutik di hadapan ibunya.

Parameter rasa hormat Yue dan yang lain terhadap Sumire kembali meningkat drastis!

“Lagipula, seharusnya kamu malah berterima kasih pada Ibu.”

“Apa... Apa maksudnya itu!?”

“Kamu akan paham kalau Ibu katakan ini: —‘Drive D’.”

“—!?!!??!”

Hajime terhuyung ke belakang.

Makhluk dari jurang kegelapan yang selama ini selalu tersenyum menantang bahkan di hadapan musuh terkuat, kini... mundur selangkah!

Sumire, dengan tangan terbuka lebar dan posisi sedikit menyamping yang terasa agak dramatis, tersenyum licik dengan ekspresi yang—anehnya—sangat mirip dengan Hajime sendiri.

Melihat itu, Yue dan yang lainnya mulai melampaui rasa hormat biasa—mereka kini memandang ibu mertua mereka dengan rasa kagum yang mendalam, nyaris seperti kepada sosok agung.

Keringat bercucuran di wajah Hajime.

Tak seorang pun pernah melihatnya begitu terdesak seperti ini!

‘Apa itu Drive D? Mengapa hal itu bisa membuat Hajime terpojok sejauh ini!?’

Pertanyaan itu membuncah dalam hati para istri. Mereka tak bisa menahannya—rasa ingin tahu terhadap sesuatu yang mampu mengguncang “pahlawan mereka” hingga ke titik ini...

—Ibu Mertua, mohon beri kami jawaban!

“Meski dibombardir oleh rayuan dan permintaan manja dari menantu-menantu perempuan ku yang menggemaskan, aku tetap menjaga benteng terakhir itu dengan nyawaku. Demi anakku tersayang.”

“I-Ibu...”

“Dengarkan baik-baik, Hajime. Jangan pernah meremehkan kemampuan belajar Yue dan yang lainnya. Cepat atau lambat, gerbang itu akan dijebol. Lebih baik kau buat keputusan sebelum semuanya terlambat.”

“...Ya. Ibu benar. Seperti biasa, Ibu memang benar.”

Mereka mungkin tidak tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tetapi satu hal sangat jelas:

Hajime mengakui kekalahannya.

Ia kalah dalam pertarungan kata-kata.

Padahal dialah sosok yang dulu sampai ditakuti oleh teman-teman sekelasnya dengan julukan, “Kau yakin Job mu yang sebenarnya bukan Provokator?”

Kini, di hadapan ibunya sendiri... Hajime harus tunduk.

“U-Um... Ibu Mertua? Hajime? Sebenarnya, apa itu Drive D—”

“Baiklah, Ibu! Tadi Ibu bilang perlu bantuan untuk rak penyimpanan di dinding, kan!? Serahkan saja padaku!”

“Terima kasih, Nak! Dan, selamat menikmati kencan pertamamu di Jepang, ya!”

Seakan tak mendengar sedikit pun pertanyaan Yue, sang ibu dan anak buru-buru meninggalkan ruangan, langkah mereka tergesa-gesa.

Untuk urusan ini—satu hal sudah jelas: Ibu Sumire sepenuhnya berdiri di pihak putranya.

Alasannya? Sudah pasti.

Karena Sumire juga adalah seorang otaku tulen—dan bukan sembarangan. Ia otaku dengan pengalaman bertahun-tahun, bertaraf veteran.

Isi dari Drive D tersebut...

Adalah dunia yang bisa membuat siapa pun mengerti, bahwa gelar “Ibu dari Raja Iblis Pembunuh Dewa” bukanlah sekadar panggilan belaka.

Bahkan, dalam hal kegilaan otaku, dia telah meninggalkan putranya jauh di belakang.

(Emak-Emak Wibu Legendaris 🔥)

“...Suatu hari! Suatu hari nanti! Aku pasti akan mengetahui seluruh rahasia keluarga Nagumo. Aku akan berusaha sebaik mungkin! Aku akan menggunakan segala cara demi Tujuan itu!!!”

Dengan tekad membara, Yue mengumandangkan niatnya.

Shea dan yang lainnya pun langsung berseru serempak, penuh semangat.

Hari saat “gerbang kastil” (alias kata sandi) itu roboh... tampaknya memang sudah tak jauh lagi.


 ◆  ◆  ◆  ◆  ◆  


Saat ini, suasana yang tidak biasa menyelimuti stasiun terdekat dari Kediaman Keluarga Nagumo.

Stasiun tersebut memiliki sebuah alun-alun kecil, lengkap dengan deretan restoran, toko serba ada, hingga toko buku. Meski masih menjelang siang di hari kerja, jumlah orang yang berlalu-lalang cukup banyak. Dan kini, hampir semua dari mereka—baik tua maupun muda, pria maupun wanita, bahkan petugas stasiun sekalipun—tertarik pada satu titik: loket penjualan tiket.

“...Glek.”

“Yu, Yue Onee-chan! Semangat, ya!”

“Pasti bisa! Yue-san kan bahkan sudah pernah mengalahkan dewa, jadi pasti Kau bisa melaluinya juga!”

Suasananya begitu tegang seolah mereka hendak maju ke medan perang yang tak boleh kalah—padahal yang hendak dilakukan Yue hanyalah membeli tiket kereta.

Ekspresinya sangat serius. Di tangannya tergenggam erat beberapa keping uang logam. Pandangannya bolak-balik menelusuri peta jalur kereta dan tabel harga yang tergantung di atas, lalu kembali ke jumlah uang di telapak tangannya.

Sorot matanya seolah berkata: Jika aku gagal, aku akan mati.

Namun, di sela-sela tekanan itu, sesekali ia melirik Hajime dengan pandangan penuh keraguan, seolah ingin bertanya, “Sudah... benar belum?”

(Ya ampun, imutnya keterlaluan.)

Bagi Hajime, momen itu seolah menjadi serangan langsung ke jantung—ibarat palu besar yang menghantam hatinya tanpa ampun.

Keputusan Hajime, untuk membiarkan mereka mencoba membeli tiket sendiri sebagai pengalaman pertama naik kereta… terbukti tepat.

“Hmm... Lihatlah, Remia. Lihat jadwal kereta ini. Bahkan saat kulihat secara online, aku sempat berpikir ini agak... tidak wajar. Tapi melihatnya langsung, aku makin yakin akan hal itu.”

“Benar sekali. Sulit dipercaya kalau di pusat kota, sistemnya bisa jauh lebih rumit dan padat daripada ini.”

Sedikit lebih jauh dari kerumunan, Tio dan Remia tengah berdiri di depan jadwal keberangkatan kereta yang padat dengan tulisan, keduanya tampak terkesan sambil terus berdiskusi.

Sejak awal kedatangan mereka, Hajime telah memberikan penjelasan mengenai cara menggunakan transportasi umum seperti kereta, dan kini, interaksi Yue serta yang lainnya menambah kesan tersebut. Terlebih lagi, kehadiran sekelompok wanita luar biasa cantik—hingga memikat perhatian sesama jenis sekalipun—menjadi daya tarik yang tak terhindarkan.

Tak heran jika kerumunan mulai menaruh perhatian. Faktanya—

“Mereka orang luar negeri, ya? Gila sih... cantik banget.”

“Model mungkin? Tapi... kelihatannya mereka tidak tahu cara naik kereta? Asalnya dari mana ya…”

“Terutama yang rambut pirang itu... dia hidup, kan? Bukan boneka, kan?”

Di sudut lain, tiga orang perempuan muda saling berbisik dengan ekspresi terpesona—seakan-akan jiwa mereka tengah dicuri secara perlahan.

Sebagai catatan, Shea mengenakan artefak penyamar berupa ear cuff, sementara Myu dan Remia memakai jenis anting-anting. Artefak itu menyembunyikan ciri khas telinga mereka, sehingga yang tampak hanyalah telinga manusia biasa.

Bahkan, untuk Myu dan Remia, warna rambut mereka telah diubah dari hijau zamrud menjadi pirang dengan semburat zamrud, sehingga tak terlalu mencolok di mata publik.

(Padahal sudah memakai artefak penghalang persepsi, meski levelnya rendah… tapi tetap aja, daya tarik Yue dan yang lain tembus begitu aja. Sepertinya perlu penyesuaian dan peningkatan lagi.)

Sembari tetap waspada terhadap keadaan sekitar, Hajime mencatat hal tersebut dalam “buku catatan mentalnya”.

Efek artefak penghalang yang terlalu kuat justru bisa menjadi kendala dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat berbelanja atau berinteraksi sosial. Idealnya, artefak tersebut mampu memberikan pengaruh penghalang yang “pas”—atau bahkan dapat menyesuaikan kekuatannya secara otomatis tergantung situasi. Pikiran semacam itu membakar semangat sang “Synergist”di dalam diri Hajime.

(Yah, terlepas dari semua itu, membiarkan mereka memakai penghalang persepsi selama aku pergi memang keputusan yang tepat.)

Pada masa awal mereka kembali, sempat terjadi kekacauan hingga para jurnalis memadati sekitar rumah mereka. Namun, berkat tindakan pencegahan, wajah Yue dan yang lainnya tak pernah terungkap dengan jelas di media. Hal itu dilakukan demi menghindari penyelidikan terhadap identitas yang pada dasarnya “tidak ada”. Bila kecantikan mereka sampai tersebar ke seluruh negeri… bisa dibayangkan betapa hebohnya internet dan masyarakat saat ini.

“...Baiklah. Yue, akan maju!”

Yue yang tampaknya telah menyelesaikan pemeriksaan terakhir, mengambil satu langkah ke depan. Shea dan Myu berdiri tegang dengan tangan terlipat di depan dada, menahan napas.

Entah kenapa, bahkan para petugas stasiun dan beberapa orang tua yang berada di sekitar juga ikut menghentikan langkah mereka, ikut menahan napas dengan penuh perhatian. Suara pelan “semangat ya~” pun terdengar di antara kerumunan.

Meski secara penampilan tampak muda dan aura yang dewasa—ehm, elegan—menyelimutinya, Yue yang tengah gugup justru memancarkan sisi kekanakannya. Akibatnya, orang-orang di sekitar tampaknya merasa seolah sedang menyaksikan episode spesial dari acara “Tugas Pertama si Kecil”.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia menjatuhkan koin ke dalam celah mesin: cling cling. Lalu, dengan sorot mata setajam panah yang siap menembus inti batu sihir monster, ia menekan tombol di layar dengan penuh keyakinan.

Tanpa kendala, selembar tiket keluar dengan suara halus. (*sfk: suiiih)

Yue mengambil tiket itu seolah sedang menyentuh barang dari kaca yang sangat rapuh. Setelah sejenak berhenti, dia membalikkan badan dengan gerakan anggun yang membuat helaian rambut emasnya berayun seperti mimpi.

“...Aku berhasil membelinya!”

Dengan wajah penuh kemenangan, ia mengangkat tiket ke langit tinggi-tinggi.

“Seperti yang diharapkan dari Yue-oneechan! Sangat sempurna!”

“Fufu, aku percaya dari awal. Kalau Yue-san pasti bisa.”

Myu bertepuk tangan dengan semangat, (pachi-pachi-pachi), sementara Shea tersenyum penuh percaya diri dengan gaya dramatis seolah tengah memainkan peran utama dalam sebuah film.

Mungkin karena terpengaruh suasana, para penonton di sekitar pun ikut bersorak kecil, “Ooooh~,” disertai tepuk tangan ringan. Termasuk petugas stasiun yang terlihat sangat terkesan.

Barulah Yue menyadari situasi di sekelilingnya. Wajahnya sedikit memerah, dan pandangannya berkeliling dengan canggung. Setelah satu tarikan napas, ia menjentikkan ujung bawah parka yang dikenakannya dan memperlihatkan sebuah curtsy yang indahnya sampai membuat orang menahan napas.

Kemudian, ketika pandangannya bertemu dengan Hajime, ia mengangkat dua jari dalam simbol “V” dan tersenyum manis, begitu tulus hingga seolah menyebar harum bunga.

Sorak sorai berubah jadi kegemparan. Para pria, banyak yang terduduk sambil memegangi dada, bahkan ada yang nyaris terhuyung mundur. Para wanita pun tak kalah, menutupi hidung dan memalingkan wajah, seolah kewalahan dengan efek kecantikannya.

Sementara itu, petugas stasiun yang berdiri paling depan justru tampak akan meneteskan air mata, lalu memberi hormat dengan gerakan sempurna.

Padahal itu hanya efek samping. Hajime sendiri—yang menerima serangan secara langsung tanpa perlindungan penghalang persepsi—tak bisa berkata-kata. Sudah pasti, ia langsung tumbang tanpa perlawanan.

“Ah, Tio-san! Gawat! Hajime-san, jiwanya hampir keluar dari tubuhnya!”

“Papa naik ke surga gara-gara senyuman Yue-oneechan!”

“Apa katamu!? Hyaaah! Kembalilah, wahai Suamiku!”

Tio langsung berlari, mengangkat tangannya yang memancarkan cahaya, lalu dengan sigap menggenggam sesuatu di atas kepala Hajime yang sedang tersenyum sangat bahagia. Seolah sedang memukul kepala Hajime, ia menghantamkan sesuatu yang tidak terlihat kembali ke tubuhnya.

“Haah!?....itu tadi Berbahaya. Tio, kau menyelamatkanku.”

“Umu, itu tak bisa dihindari. Senyumnya memang sangat mematikan.”

“Hajime-san, Aku rasa... Kamu sebaiknya bersiap. Di antara kami semua, Yue-san adalah yang paling menantikan hari ini…”

“Jadi hari ini, tingkat keimutan Yue beda level, ya… Fuh, bertahanlah, jiwaku!”

“...U-um, Hajime? Bukankah itu terlalu berlebihan?”

Yue yang akhirnya sadar bahwa Hajime hampir naik ke surga hanya karena senyumnya sendiri, terlihat sangat malu. Wajahnya memerah, tubuhnya menggeliat canggung, dan ujung rambut emasnya dia pelintir-pelintir di jari dengan gugup.

“Berhenti, Yue-oneechan! Life point Papa dari tadi udah nol, tahu!”

Entah dari mana dia mendengarnya—mungkin karena dia yang paling sering bermain di internet—Miyu menggunakan referensi meme untuk menegur Hajime. Dan bagi Hajime Papa… itu serangan kritikal juga.

Putri tercinta, lama-lama semakin menyatu dengan keluarga Nagumo—dan juga jalan hidup otaku. Air mata haru tak bisa dibendung!

Hampir naik ke surga lagi—sihir jiwa Tio! Sekilas, ada kilau samar yang bersinar!

Hah? Kilauan Cahaya tadi dan yang sebelumnya itu… Apakah itu Ilusi? Permainan sulap?? Beberapa suara di sekitar juga terdengar heran, tapi Hajime memutuskan untuk mengabaikannya.

“Tio, sepertinya aku harus mengandalkanmu. Jiwaku… kutitipkan padamu.”

“U-umu. Meski kupikir ekspresi siap mati hanya demi kencan agak berlebihan… aku paham maksudmu.”

Sambil menyeka keringat dingin, Hajime lalu menyarankan Shea dan yang lainnya untuk mencoba membeli tiket juga.

Soalnya, beberapa pria—dan bahkan beberapa wanita—yang sudah kehilangan akal sehatnya terlihat hampir menyerbu mereka, dan orang-orang yang baru sadar akan keberadaan Hajime mulai melemparkan tatapan tajam penuh iri dan heran. “Siapa cowok itu?” “Kenapa Dia dikelilingi cewek cakep seperti itu? Apa hubungan mereka?”

Jadi, sambil mendorong punggung Yue dan yang lainnya—yang sekarang malah kelabakan menghadapi mesin pintu tiket—Hajime mempercepat langkah menuju ke dalam stasiun.

Sembari tersenyum kecil melihat bagaimana Yue dan teman-temannya tersentak kaget begitu gerbang otomatis itu terbuka dengan bunyi “gachan!”


◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇


Setelah menikmati pemandangan dari jendela kereta, mereka pun tiba di stasiun pusat kota.

Begitu melihat betapa luasnya tempat itu—ditambah lagi dengan peta jalur kereta bawah tanah dan denah kompleks bawah tanah—Tio langsung berteriak kaget, “Ini benar-benar seperti Labirin Besar yang lebih besar daripada The Great Dungeon Liberators itu sendiri!”

Sementara itu, Yue—yang tengah memandangi orang-orang melewati gerbang tiket hanya dengan kartu IC, tiket bulanan, atau bahkan hanya dengan smartphone—menatap tiket kertas di tangannya sambil bergumam dengan nada penuh penyesalan, “...Kalau aku sudah merasa gembira hanya karena ini… Kuhh!!! Aku benar-benar merasa tertinggal (gaptek)”

Shea terlihat amat tersentuh saat menemukan mesin penjual minuman otomatis yang biasa saja, “Bukan Cuma tidak kekurangan air, tapi bisa minum berbagai macam minuman kapan pun dan di mana pun...! Di hutan lebat... Eh...!? Bahkan di seluruh Tortus pun ini tak terbayangkan, de-su~!”

Desain modern dan atmosfer interior stasiun yang sangat besar ini pasti terasa seperti dunia lain bagi mereka. Miyu, yang matanya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu, terus menoleh ke sana-sini mencari hal menarik kapan pun ada kesempatan.

Sementara Remia—yang bahkan belum pernah masuk ke labirin besar di dunia Tortus—terlihat kewalahan oleh “labirin besar dunia nyata” ini. Ia mencubit ujung baju Hajime dan enggan melepasnya.

Tapi ketika Hajime menggenggam tangannya, Remia malah menunduk malu dan tersenyum kecil, tampak sedikit malu-malu tapi juga bahagia.

Setiap momen itu, dari berbagai sisi, punya daya rusak yang luar biasa. Sampai-sampai beberapa orang yang sedang lewat tak sengaja menabrak tiang karena terlalu terpesona, lalu jatuh berguling-guling.

“Yang benar saja… entah itu rayuan atau tawaran sebagai model, Aku lebih suka kalau mereka datang menghampiri secara langsung. Sepertinya aku harus membuat artefak khusus untuk menangkal kamera tersembunyi juga,” gumam Hajime sambil menghela napas.

Saat ini, mereka telah sampai di tujuan pertama hari itu—sebuah toko pakaian di dalam pusat perbelanjaan terbesar di kota.

Sepanjang perjalanan, dari stasiun hingga jalan menuju tempat ini, pesona Yue dan para istri lainnya yang mampu menembus artefak penghalang pengenalan tetap saja menarik masalah. Bahkan baru saja, Hajime memancarkan “aura intimidasi” untuk mengusir beberapa orang tak sopan yang dari kejauhan mengarahkan kamera ponsel mereka diam-diam.

“...Hajime, Hajime. Ini, bagaimana?”

Sambil berbicara, tirai ruang ganti perlahan terbuka dengan suara sha~. Yue muncul dari balik tirai, mengenakan sweater tanpa lengan.

Penampilannya yang mengenakan rok panjang—sesuatu yang jarang ia kenakan—tampak luar biasa menyegarkan.

Dengan sedikit gerakan pinggul, ia mengayunkan roknya dengan gemulai, membuat kainnya berayun ringan. Mata merah delima miliknya terlihat sedikit berkilau, seolah bercampur antara harapan dan sejumput rasa cemas.

Tirai di hadapan Hajime terbuka dengan suara sha~. Yue muncul, mengenakan sweater tanpa lengan dan rok panjang yang jarang ia pakai—penampilannya terasa sangat segar dan baru.

Dengan sedikit gerakan menggoyangkan pinggul, ia membiarkan roknya berayun ringan, seolah bermain-main dengannya. Mata merah delima miliknya tampak sedikit berembun, seakan menahan campuran antara harapan dan sedikit rasa gugup.

“Oh…”

“Fuguuuh, gah...”

Suara itu bukan berasal dari Hajime, melainkan dari pegawai toko perempuan. Sepertinya mentalnya sudah mencapai batas karena terlalu terpukau dengan keimutan Yue.

“Luar biasa. Penampilan dengan rok panjang juga sangat cocok denganmu. Di toko sebelumnya kita beli celana, disini, jelas aku pilih rok panjang,” kata Hajime sambil tersenyum puas.

“…Benarkah? Itu... memang sesuai selera Hajime?” tanya Yue dengan sedikit malu.

“Ya, ini memang seleraku. Yah, sebenarnya, pakaian apapun yang dikenakan Yue pasti aku menyukainya,” jawab Hajime, dengan nada seolah itu hal yang sudah sangat jelas.

“…Geez, Hajime,” gumam Yue manja.

Yue menundukkan wajahnya sedikit, pipinya bersemu merah, tak mampu menyembunyikan senyuman bahagianya.

“Ahh...”

“Baahh!?”

“Gah!?”

“Ih…!”

Tentu saja, suara kecil yang penuh tekanan itu bukan berasal dari Hajime, melainkan dari pegawai toko perempuan.

Secara penampilan, pegawai itu tetap berdiri tegak dengan punggung lurus dan senyum bisnis profesional di wajahnya. Tapi selain pipinya yang sedikit memerah, suara hatinya terus merembes keluar seolah sedang melakukan ventriloquisme (seni berbicara perut).

Dan di saat itulah, serangan lanjutan datang.

“Hajime-saaan! Bagaimana dengan aku? Kali ini aku malah mengurangi jumlah kulit yang terlihat!”

“Uuumu, aku… tetap merasa tak terbiasa dengan pakaian dunia ini. Apa penampilanku aneh?”

Tiga bilik ganti yang berdampingan kini sepenuhnya dikuasai oleh Yue dan kawan-kawan. Namun, tak ada satupun pegawai atau pelanggan lain yang merasa terganggu karenanya.

Sebaliknya, mereka semua tampak seperti ingin mengatakan bahwa mereka sangat beruntung bisa menyaksikan fashion show gerilya terbaik yang tak terduga ini. Para pegawai dan pelanggan lainnya terus mencuri-curi pandang ke arah mereka.

Shea dengan penuh semangat melakukan berbagai pose. Memang benar, jeans ketat yang dikenakannya menutupi kulit lebih banyak. Namun, justru itu membuat keindahan lekuk kakinya terlihat sangat menonjol. Dipadu dengan pinggulnya yang kencang dan terangkat, siapa pun yang melihat pasti akan terdiam dan menelan ludah.

Sementara itu, Tio yang melirik malu-malu dari bawah dengan wajah sedikit merah tampak sangat stylish. Ia mengenakan celana panjang model lebar, atasan dengan belahan dada yang agak terbuka, serta long cardigan. Daya tarik dari dada dan pinggulnya yang montok membuat siapa pun tak bisa mengalihkan perhatian darinya.

“““““Oooooooohhhh—”””””

“Ya Tuhan, para dewa, terima kasih atas hari yang penuh berkah ini…”

Suara kekaguman itu menggema, bahkan dari kerumunan orang-orang yang entah sejak kapan sudah berkumpul di luar toko. Dan akhirnya, pegawai toko perempuan pun menyerah, tak lagi berpura-pura profesional, dan mulai memuja dengan tangan menangkup seperti sedang berdoa sungguhan.

“Aku sebenarnya kurang suka orang lain melihat kulit Shea terlalu banyak. Tapi, karena itu adalah seleramu, aku tidak akan banyak berkomentar. Lagipula... pakaian seperti itu membuatku senang, jadi, mari Kita putuskan untuk membelinya.”

“A-apa begitu? Ehehe... Kalau Hajime-san ingin aku memakainya, mau tak mau aku harus menurutinya, ya~ Ehehe...”

“Sedangkan Tio... Kalau saja kau diam, kau benar-benar telah jadi wanita sempurna. Terutama dengan pakaian stylish seperti itu, Kau terlihat sangat keren.”

“Bukankah kata ‘Kalau saja Kau diam’ itu sedikit berlebihan!? Tapi... fufu, begitu ya, Wanita Sempurna dan Keren... Tidak buruk. Hemm~~baiklah, ini akan menjadi pakaian terakhirku hari ini.”

Kali ini, kerumunan berdesis dengan nada berbeda.

Bukan hanya karena seorang pemuda, yang bahkan kelihatannya belum mencapai usia dua puluhan, memberikan komentar yang jelas penuh ketulusan pada masing-masing dari mereka.

Yang lebih mengejutkan adalah—tiga wanita luar biasa cantik yang bisa memikat mata siapa saja, jelas-jelas menunjukkan kasih sayang mereka hanya pada satu pemuda itu.

Dan bukan sekadar kasih sayang biasa. Tatapan yang mereka tujukan padanya begitu panas, begitu dalam, sampai-sampai para pengamat pun dibuat malu sendiri. Itu jelas perasaan yang melampaui sekadar keakraban.

“R-Real... harem?”

Tak mungkin, pikir seseorang yang melihat dari jauh. Tapi pemandangan di depan mata mereka hanya bisa dijelaskan dengan satu kata itu, yang segera menyebar seperti riak ombak.

Zawa... zawa... Waa… waa… (*sfk saling berbisik)

“Siapa sebenarnya pria itu?”

“Bagaimana bisa dia memiliki hubungan seperti itu dengan para wanita itu!?”

Lalu, tepat saat itu—

“Papa! Aku kembali!”

““““““P-Papaaa!?””””””

Suara kaget bergema di antara kerumunan. Orang-orang hampir melotot seperti dalam manga komedi saat melihat seorang gadis kecil yang imut melompat keluar dari kerumunan dan langsung memeluk pemuda itu.

Karena… dengan usia penampilan si pemuda, jelas-jelas aneh kalau dia sudah punya anak!

“Selamat datang, Myuu, Remia. Meskipun, aku sebenarnya dari tadi sudah memperhatikan kalian.”

“Ya, Kami sudah kembali, Sayang.”

““““““N-Nambah satu lagi!?””””””

Dengan kemunculan seorang wanita cantik berambut lembut dan berwajah anggun, orang-orang di sekitar sudah kehilangan semua rasa sungkan dan tidak bisa menahan diri lagi. Mereka menatap tanpa berkedip. Kerumunan semakin membesar seiring makin banyak orang tertarik karena keramaian.

Sebagai informasi, Myuu dan Remia sebenarnya baru saja datang dari area pakaian anak-anak. Namun, dalam memilih pakaian, mereka dibantu lewat pandangan jarak jauh dan telepati menggunakan golem berbentuk laba-laba (Arachne), sehingga semuanya bisa berjalan paralel tanpa masalah.

“Kau juga bisa membayar dengan lancar, ya?”

“Tentu saja. Aku sudah mempelajari dengan baik mata uang negara ini.”

Melihat ekspresi Remia yang tenang tapi jelas-jelas penuh rasa bangga, Hajime pun tersenyum lebar, menyeringai puas.

“Kau dan Myuu sampai-sampai ditawari jadi model promosi toko, kan? Sampai kelabakan begitu,”

Ujar Hajime, Dia melihat kejadian sebelumnya.

Mengingat kembali betapa gugupnya dirinya saat itu, wajah Remia langsung memerah.

“Sudahlah, Tolong jangan diungkit-ungkit lagi! Tadi juga, Kenapa Anda tidak datang membantu… Anda ini, jahat sekali!”

Kata Remia sambil menepuk-nepuk pundak Hajime dengan gemas.

“…Hajime, kenapa Kau malah bermesra-mesraan dengan Remia?”

“Yang lebih penting, Kenapa orang-orang yang ngumpul ini kok makin banyak ya?”

“Ini… apa mungkin gara-gara kami?”

Yue dan para istri lainnya, yang sudah berganti kembali ke pakaian asal mereka, keluar dari ruang ganti.

Hajime menerima setumpuk pakaian yang akan dibeli, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil mengangkat bahu pasrah.

“Kalau sekelilingmu isinya wanita-wanita secantik ini, sudah wajar jika menarik perhatian. Apalagi yang tadi mirip seperti fashion show.”

Jika hanya dipandangi saja, ya sudahlah.

Kalau sampai ada yang berani diam-diam memotret atau ngajak kenalan, barulah Hajime akan bertindak.

Lagi pula, dia harus tetap mengingat jati dirinya sebagai warga negara Jepang yang baik dan sopan.

“Pak kasir, tolong dibungkus semua ini,”

Ujarnya pada pramuniaga.

“Ah, baik! Ngomong-ngomong, toko kami juga sedang mencari model untuk katalog promosi, kalau berkenan—“

“Langsung ke kasir, ya.”

“Ah, b-baik!”

Dengan senyum santai namun memancarkan aura wibawa yang luar biasa, Hajime membuat pramuniaga itu langsung patuh.

Di saat yang sama, kerumunan di sekitar mereka makin gaduh — seorang pemuda, dikelilingi wanita-wanita cantik, dengan sikap begitu santai dan elegan.

Itu jelas pemandangan yang tidak bisa diterima akal sehat.

“H-hebat sekali… Sebenarnya siapa Orang itu…?”

“Barusan aku melihat mereka berkeliling beberapa toko, dan semua yang mereka beli, Dia yang membayarnya, lho… Mungkin Dia anak orang super kaya?”

“Tidak, dilihat dari auranya, Dia pasti bukan orang biasa. Tadi waktu Dia sempat menatap ke arah sini, sumpah, aku beneran merasa mau mati.”

“…Jangan-jangan, dia pewaris keluarga Yakuza atau semacamnya?”

“Gawat, kalau sampai godain pacar ketua muda Yakuza, kita bisa tamat…”

Padahal kenyataannya Hajime jauh lebih berbahaya daripada itu.

Untuk menghindari masalah yang tidak perlu, bahkan dalam wujudnya yang mirip Dirinya ketika belum dipanggil ke isekai, aura berbahayanya tetap sangat terasa dan ternyata cukup berguna.

Walau bagi Hajime sendiri, itu mungkin terasa sedikit rumit.

Sementara itu, sebagian wanita di sekitar justru mulai mengarahkan pandangan penuh ketertarikan pada Hajime.

Penampilannya mungkin seperti anak SMA, tapi ekspresi lembut penuh kasih sayang saat menggendong Myuu, serta tatapan penuh cinta yang dia berikan pada Yue dan yang lainnya, memancarkan daya tarik luar biasa.

Aura yang Hajime pancarkan, lahir dari semua pertempuran sengit yang telah dia lalui, terasa sangat berbeda — tenang, percaya diri, dan berwibawa.

Bagi para pria, dia tampak berbahaya.

Bagi para wanita, dia tampak sangat memesona.

“Mumumu~! Banyak wanita yang melirik Hajime-san di mana-mana!”

“Kukuku, sepertinya kami pun harus tetap waspada, yaa.”

“Fuhh~! Suamiku terlalu memesona, sampai bikin repot sendiri~”

Shea dan Tio hanya bisa tersenyum kecut, sementara Yue memamerkan wajah penuh rasa bangga seolah berkata, “Lihat kan?”

“Papa, sangat populer?”

“Ufufu, iya. Soalnya Papa sangat keren,”

“Myuu!”

Myuu dan Remia juga tampak bangga entah kenapa.

Sementara itu, para wanita di sekitar yang mendengar percakapan mereka pun pipinya mulai memerah samar-samar, seolah diserang gelombang kemesraan.

“Baiklah, sudah waktunya. Kita akan melanjutkan belanja setelah makan siang. Sebelum keributan makin besar…”

Bisik Hajime sambil melihat sekeliling.

Namun Yue menarik-narik lengan bajunya, “……Sebelum itu, ada tempat penting yang harus dikunjungi.”

“Hm? Kamu sudah punya tujuan sendiri? Kenapa tidak bilang saja dari tadi,”

Kata Hajime sambil sedikit memiringkan kepala, merasa heran.

Lalu Shea mengayun-ayunkan jari sambil berkata,

“Fufufu, ini kejutan! Bisa dibilang ini hadiah untuk Hajime-san juga!”

“Hm? Hadiah? Dalam arti apa?”

Hajime makin bingung, dan saat itu Tio menjawab dengan enteng,

“Ke toko pakaian dalam, tentunya.”

“Eh, bukankah tadi kita sudah beli?”

“Benar, tapi saat itu, Goshujin-sama tidak ikut memilih. Bahkan, masuk ke tokonya saja tidak mau,”

Kata Tio sambil mengangguk penuh makna.

“Yah, kan kasihan sama pelanggan yang lain, apalagi buat latihan pembayaran juga kan,”

Jawab Hajime, sedikit mengelak.

“Benar, jadi itu bukan masalah. Tapi, Anda tahu…?”

Kata Remia sambil tetap mempertahankan senyuman lembutnya, dan dengan percaya diri melanjutkan di depan orang-orang yang dengan terang-terangan mendengarkan.

“Kami belum membeli pakaian dalam khusus untuk… urusan malam, lho.” (Pakaian Dinas :v)

“Apa yang kamu katakan?”

Orang-orang di sekitar serentak memandang Hajime dengan ekspresi kaget.

“…Ibu mertua berkata seperti ini: Seorang istri harus punya setidaknya satu atau dua pakaian dalam seksi untuk menyenangkan suaminya!”

“Aku tidak ingin mendengar kalimat itu dari ibuku sendiri!”

“Awalnya aku menjawab, Aku sudah punya, buatan luar negeri! Tapi beliau membalas, Terus kenapa? Dan Aku… hanya bisa setuju.”

“Ini… penuh bahan untuk disanggah!”

Tatapan orang-orang di sekitar mulai menyerbu seperti hujan deras — Keluarga kalian itu sebenarnya seperti apa!? Begitu kira-kira maksudnya.

“…Hajime, kamu tidak mau?”

Tanya Yue sambil menempelkan dirinya dan menatap ke atas dengan mata besar dan kepala sedikit miring. Itu murni reaksi refleks Hajime.

“Tidak apa-apa, aku mau.”

Ia menjawab dengan wajah datar, lalu langsung tersadar setelah mengucapkannya. Para pria di sekitar mengangguk paham, Ya, itu wajar sih, sementara para wanita menatap dengan campuran pandangan dingin dan geli.

Tentu saja, Yue dan yang lainnya tampak sangat senang.

“…Hm. Aku sudah menemukan tempatnya. Ayo kita ke sana sekarang.”

“Tunggu dulu. Ini masih terlalu cepat untuk Myuu. Aku akan menemani Myuu sambil membunuh waktu—“

“Apa yang Anda bicarakan? Kalau bukan Hajime-san yang memilihnya, tidak ada gunanya!”

“Myuu, kamu harus lihat ini untuk pelajaran masa depan,”

Ucap Tio dengan enteng.

“Tio, dasar bodoh! Kamu ngajarin apa ke Myuu—“

“Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh, nano!”

“Myuu!?”

“Kalau Myuu sudah besar, nanti kita minta Papa beliin juga, ya?”

Kata Remia dengan nada manis.

“Hei, Mama Remia. Kamu tahu arti pendidikan karakter, kan?”

Hajime menatap Remia dengan mata setengah tertekan marah, tapi saat itu, Yue dan Shea sudah mencengkeram erat lengan Hajime dari kedua sisi.

“…Ayo, Hajime. Kita pergi.”

“Silakan pilihlah dengan penuh perhatian dan rasa, desu~!”

Dengan senyum luar biasa cerah yang tak mengizinkan penolakan. Sepertinya “persiapan untuk pertempuran malam” (dalam banyak arti) adalah tujuan utama belanja hari ini. Hajime hanya bisa menengadah ke langit.

“…Haa, sudahlah. Aku menyerah. Jujur, sebenarnya Aku juga agak menantikannya.”

“Bersikap jujur itu hal yang baik, kan!”

“Hal yang baik, nano!”

“Ara-Ara, ufufu~”

Ditarik oleh dua gadis cantik di kedua sisinya, Hajime keluar dari toko, diikuti dengan ceria oleh Remia dan Myuu.

Kerumunan manusia secara refleks membuka jalan, seolah-olah mereka menyaksikan “pembelahan Laut Merah” seperti dalam kisah Nabi Musa, tertegun oleh aura luar biasa dari kelompok tersebut.

Mereka hanya bisa melongo saat melihat rombongan itu melangkah pergi untuk membeli… pakaian dalam dewasa.

“Terima kasih banyak atas kunjungannya! Kami benar-benar menantikan kedatangan Anda kembali!! —Oh, dan stok koleksi musim gugur yang baru dibeli oleh para pelanggan tadi masih tersedia~!”

Teriak salah satu pegawai wanita dengan semangat bisnis yang luar biasa, membangunkan para penonton dari keterpanaannya

Dan untuk waktu yang cukup lama, keberadaan “kelompok wanita cantik misterius” itu menjadi bahan perbincangan di seluruh pusat perbelanjaan.


◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇


Saat matahari sudah sepenuhnya tenggelam,

Hajime dan para istrinya berjalan santai di jalanan perumahan yang diterangi lampu-lampu jalan.

Myuu, yang kelelahan setelah seharian bermain, sudah kehabisan tenaga begitu mereka naik kereta pulang, dan sekarang tertidur pulas di dalam pelukan Papa Hajime.

Padahal, saat di dunia lain, perjalanan keras adalah hal yang biasa baginya. Mungkin karena semua yang dia lihat, rasakan, dan alami hari ini terasa baru dan segar, Yue dan yang lainnya pun tampak merasakan kelelahan yang nyaman.

“…Hajime, terima kasih untuk hari ini.”

Saat mereka berjalan menikmati sisa suasana matahari terbenam dalam kenangan kencan pertama, Yue tiba-tiba menoleh ke atas dan menatap Hajime.

“Sama-sama. Apakah Kalian menikmati hari ini?”

“Tentu sajaaa! Akan lebih menyenangkan kalau lain kali Kaori-san dan yang lainnya juga bisa ikut, ya~”

“Lily juga pasti sedang menunggu hari kunjungan kita dengan leher panjang. Pemandangan dari dek observasi menara besar itu, deretan pencakar langit yang memenuhi cakrawala… Aku ingin melihatnya lagi bersama-sama.”

“Benar-benar dunia yang seperti kotak kejutan, persis seperti yang Anda bilang. Ufufu, aku terus merasa berdebar-debar sepanjang hari.”

Senyum polos mereka menyampaikan dengan jelas bahwa kata-kata itu bukan sekadar basa-basi.

Setelah itu, Yue dan yang lainnya sengaja memilih untuk menikmati berbagai hidangan di food court,

Lalu melanjutkan berkeliling di pusat perbelanjaan.

Saat makan siang, Hajime sempat menyesuaikan dan memperbaiki artifak penghalang persepsi mereka,

Sehingga mereka tidak lagi menjadi pusat perhatian sebanyak saat pagi.

Meski begitu, saat mendekati bagian kosmetik dan berbicara dengan staf toko, tetap saja mereka menarik perhatian.

Mereka bergembira atas kecanggihan alat-alat elektronik, terkagum-kagum pada elevator dan eskalator.

Hajime juga sempat membawa mereka ke toko aksesori untuk membeli kenang-kenangan dari kencan pertama,

Namun saat melihat para pramuniaga tersenyum mendekat karena tertarik pada rombongan mereka, Yue dan yang lainnya justru serempak memiringkan kepala dengan ekspresi polos seakan berkata,

――“Aksesoris? Bukankah Hajime bisa membuatkan sendiri? Kenapa harus beli?”

Membuat para staf toko jadi terdiam dengan ekspresi kaku.

Setelah keluar dari pusat perbelanjaan, mereka juga mengunjungi beberapa tempat wisata terkenal,

Dan akhirnya menutup hari dengan menikmati makan malam di restoran Jepang dengan ruang privat.

“…Hmm, sangat menyenangkan. Karena Hajime banyak memberitahuku tentang dunia Hajime.”

“Begitu ya… kalau begitu, aku senang.”

Yang paling penting rupanya adalah kenyataan bahwa Hajime yang membimbing Mereka. Sorot mata Yue yang dipenuhi kebahagiaan itu lebih fasih berbicara daripada kata-kata. Shea dan yang lainnya juga sama. Mereka mengangguk-angguk kuat seolah-olah sangat setuju.

“Itu semua berkat Goshujin-sama yang sudah memaksakan diri, bukan begitu?”

Ucapan Tio yang tiba-tiba membuat Hajime tanpa sadar membuka matanya lebar-lebar. Ia langsung menatap ke arah Tio.

Tio menyeringai. Tampaknya dia hanya memancing. Hajime menyipitkan mata.

“Kau merusak suasana, Tio.”

“Maafkan Saya. Tapi, bukankah Goshujin-sama juga seorang pelajar sebelum dipanggil ke Isekai? Dari yang Saya lihat, Goshujin-sama tidak menerima bantuan dari Ayah dan Ibu Anda, jadi kupikir Goshujin-sama pasti memaksakan diri cukup keras, bukan begitu?”

Seperti yang diharapkan dari Tio. Meski biasanya dia adalah naga mesum yang menyedihkan, pada dasarnya dia adalah wanita cerdas yang rasional dan penuh pertimbangan.

Memang, itu adalah tebakan yang tepat. Sejak kecil, Hajime sudah sering berada di tempat kerja Shuu dan Sumire, dan setelah tumbuh besar, dia membantu sebagai tenaga andal. Jadi, dia menerima bayaran kerja paruh waktu yang cukup.

Selain untuk game dan buku, dia hampir tidak menghabiskan uang untuk hal lain, jadi bisa dibilang di antara anak-anak seusianya, dia termasuk yang memiliki tabungan paling banyak.

Selain itu, Hajime juga menjual perhiasan yang terbuat dari permata yang juga ada di dunia Bumi, yang disimpan di “Treasure Trove”(Artefax Space Inventory Hajime), sebagai dana cadangan untuk kencan—untuk berjaga-jaga.

Namun, semua itu lenyap dalam sehari penuh.

“Padahal kalian menyadarinya, tapi tetap saja kalian minta banyak hal tanpa merasa sungkan.”

“…Hmm, tentu saja. Kalau Hajime bilang boleh manja, maka aku akan manjakan diri sepenuhnya.”

Yue menjawab sebagai gantinya, dan seperti yang dikatakannya, dia menyandarkan tubuhnya dengan manja. Tampaknya bukan hanya Tio, tapi Yue dan yang lainnya pun sudah mengetahuinya sejak awal.

Mungkin saja, ucapan “terima kasih” mereka sebelumnya juga mengandung makna itu.

“…Kamu tidak suka kalau Aku sungkan, kan?”

“Kau benar-benar telah membaca diriku, ini memang agak memalukan.”

Tentu saja, Shuu dan Sumire pernah menawarkan bantuan dana. Tapi Hajime menolaknya.

Kalau dibilang itu hal bodoh, ya mungkin memang begitu. Tak ada sangkalan. Tapi tetap saja, itu adalah masalah “harga diri”.

Memberi hadiah pada Yue dan yang lainnya dengan kekuatannya sendiri—itulah “harga diri seorang pria”.

“Tidak memalukan sama sekali, kok~! Aku sangat senang!”

“Benar, sungguh. Terima kasih banyak, Hajime-san♪”

Shea dan Remia juga mendekat semampu mereka. Meski sedikit menyulitkan saat berjalan, tapi justru itu membuat Hajime senang. Wajahnya pun melembut.

“Lalu, kenapa kau harus mengatakannya terang-terangan tadi?”

Karena ini Tio, Hajime berpikir pasti ada alasan di balik ucapannya, lalu melirik ke arahnya.

“Umu, Saya hanya ingin memastikan sesuatu.”

“Memastikan? Saldo rekeningku, maksudmu?”

Hajime menanggapi dengan bercanda, namun Tio membalas dengan tatapan yang jauh lebih serius dari yang diduganya.

“Dulu, Goshujin-sama pernah mengatakan—meski sambil bercanda—tentang ‘menjual perhiasan yang benar-benar memiliki efek nyata dan meraup untung besar’, bukan? Anda juga mengatakan, kalau sudah kembali ke kampung halaman, tak ingin menyia-nyiakan sihir Transmutasi.”

“…Kau benar-benar mengingat itu, ya.”

Memang, pernah ada pembicaraan seperti itu. Obrolan ringan saat makan, tentang apa yang akan dilakukan setelah kembali ke Jepang.

“Yah, mengingat siapa Goshujin-sama itu, kalau dilihat dari apa yang terjadi hari ini juga, Saya pikir mungkin Anda benar-benar mempertimbangkannya dengan cukup serius.”

‘Bagaimana?’ tanya Tio dengan senyum yang menunjukkan ia sudah setengah yakin. Hajime sempat terdiam kaget, lalu tersenyum masam.

“Kau benar-benar bisa membaca pikiranku, ya.”

Ia memang memikirkan hal itu secara serius, bahkan saat tengah mempersiapkan kepulangan ke Jepang—mengenai bagaimana caranya memiliki kekuatan finansial sendiri, cukup untuk tidak membuat Yue dan yang lain kekurangan.

Ia bahkan sudah berkonsultasi dengan Shuu, yang punya pengalaman dalam dunia bisnis, dan perlahan-lahan mulai menyiapkan semuanya.

“Dan?”

“Umu. Kalau Goshujin-sama benar-benar akan memulai usaha itu secara serius, Saya ingin ikut membantu.”

Sementara Yue dan Shea mendengarkan dengan tenang, dan Remia memandang Tio dengan ekspresi terkejut, Tio mulai berbicara sambil menatap bintang-bintang yang bersinar di langit malam.

“Goshujin-sama, Yue, dan Shea akan ikut Anda bersekolah, bukan? Maka dari itu, timbul pertanyaan di benakku… Lalu Apa yang harus kulakukan…? Sudah sejak lama saya telah memikirkan hal itu.”

Ia memang sudah diberi kebebasan untuk memilih. Bisa saja ia menggunakan sihir transformasi untuk mengubah usia penampilannya dan ikut menjadi siswa, atau mencoba bekerja di suatu tempat. Shuu dan Sumire bahkan telah menawarkan beberapa pekerjaan, termasuk mengajaknya membantu pekerjaan mereka sendiri.

Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, tampaknya Tio telah membuat keputusan.

“Saya ingin menjalani hidup yang benar-benar berpijak pada dunia ini. Aku ingin memiliki yang disebut ‘status sosial’ yang tidak memalukan di mata siapa pun di dunia ini.”

Itu adalah semacam deklarasi. Deklarasi bahwa Tio ingin menjalani hidup dengan sungguh-sungguh di dunia asing ini, yang baginya sekarang adalah rumah baru.

“Aku tahu, aku masih belum paham banyak soal ‘kebiasaan umum’. Saya juga sadar ini mungkin terlalu cepat. Masih banyak yang harus kupelajari. Tapi aku punya waktu. Dan karena itulah, jika aku bisa memanfaatkan pengetahuan yang kudapat, dan hidup sesuai jalan yang kupilih—”

Tatapannya kembali mengarah pada Hajime. Mata jujur seorang ras naga menatap lurus ke arahnya, menunjukkan ketulusan.

“Goshujin-sama… aku ingin menjadi seseorang yang berguna bagimu. Sebagai seorang keluarga.”



Sambil berjalan perlahan, Hajime dan Tio saling menatap dalam diam.

Yue dan yang lainnya hanya diam, mengawasi mereka dengan tenang. Akhirnya, Hajime membuka mulut, meski cukup pelan.

“Setelah tahun baru, aku memang berniat untuk menanyakannya sekali.”

Ia menghela napas pelan dan menoleh ke Yue dan yang lainnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sedikit bingung, namun juga penuh perhatian.

“Apakah kalian bisa menjalani semuanya dengan baik?”

Dibandingkan dengan Tortus, dunia ini, dalam beberapa hal, jauh lebih membatasi. Budaya, kebiasaan, semuanya berbeda.

Apakah Yue dan yang lain tidak merasa kesulitan? Apakah mereka tidak sedang memaksakan diri demi dirinya? Apakah kehidupan di Bumi tidak menjadi beban bagi hati mereka?

Ia memang berpikir bahwa, pada saat yang tepat, perlu untuk memastikan hal-hal semacam itu.

“Bukankah ini terlalu cepat untuk memutuskan banyak hal? Tidak apa-apa jika kalian ingin mengambil waktu lebih banyak untuk bersantai, lho?” (guna adaptasi)

Namun, ucapannya itu bukanlah penolakan. Lebih seperti gurauan ringan, setengah tercengang, setengah senang.

Karena apa yang diajukan oleh Tio tadi, adalah jawaban yang seolah menepis semua kekhawatiran Hajime.

“…Haa.”

Yang menghela napas bukan siapa-siapa selain Yue.

“Hajime… Kau terlalu memprioritaskan kami!”

Yue menegur Hajime sambil mengarahkan jari telunjuknya kepadanya, seolah berkata “meh!” dengan nada mengomel. Shea dan yang lain pun mengangguk-angguk dalam-dalam seolah setuju sepenuhnya.

“…‘Bisa menjalani semuanya dengan baik?’—itu pertanyaan yang benar-benar bodoh!”

“B-bodoh?”

“…Ya! Bukan ‘bisa menjalani dengan baik’, tapi ‘kami akan menjalani dengan baik’. Tak peduli apa pun rintangannya, kami akan menjalaninya. Demi Hajime, yang akhirnya bisa kembali ke kampung halamanmu.”

Bahkan jika—seandainya—mereka harus merasakan kesulitan atau tekanan mental, itu bukan masalah. Arah hidup mereka sudah jelas: hidup bersama Hajime, di kampung halamannya yang telah berhasil ia rebut kembali.

“U-um, Hajime-san.”

Saat Hajime masih melongo karena ditunjuk Yue, Remia menyapanya dengan ragu.

“Soal yang tadi Tio-san katakan… sebenarnya aku juga memikirkannya.”

“Maksudmu?”

“Iya. Dari internet, televisi, majalah fashion yang diberikan Ibu Mertua, sampai kunjungan ke toko-toko pakaian hari ini… semuanya dipenuhi dengan desain yang begitu beragam, dan aku benar-benar terkesan.”

“Oh iya, kau memang terus menatapnya dengan wajah terpesona.”

Sepertinya Remia baru menyadari hal itu, karena pipinya pun sedikit memerah karena malu.

“Itu sebabnya… Aku juga mulai berpikir, betapa indahnya jika aku bisa bekerja membuat ide-ideku menjadi nyata.”

“Ah~ begitu. Jadi, kamu tertarik pada pekerjaan desain.”

“Iya.”

Dengan kata lain, jika Tio ingin terlibat dari sisi manajemen, maka Remia ingin berkontribusi dari sisi desain. Remia pun tampaknya telah memikirkan masa depannya di Jepang dengan cukup matang.

Tio dan Remia menunggu jawabannya, sementara Yue dan Shea juga menatap Hajime dengan penuh harap—

“Nnmyuu~ selalu bersama Papa, ya~ aamu.”

“Aduh… ya nggak sakit sih, tapi kamu mimpi apa sih?”

Myuu yang digendong di salah satu lengan Hajime, menggigit-gigit lehernya seolah tak ingin dilepaskan, seakan berkata, “Kalau perlu digigit pun, aku tak akan pergi!”

Tanpa sadar, sudut bibir Hajime terangkat. Itu adalah tanda bahwa dia menyerah—dengan senyum.

“Baiklah, baiklah. Sepertinya Aku terlalu banyak khawatir. Aku terlalu ingin kalian menyukai kehidupan di Jepang, sampai-sampai malah jadi overthinking.”

Dengan ekspresi lega, Hajime mengangguk dalam-dalam.

“Baiklah. Tio, Remia. Aku mengandalkan kalian berdua.”

“Jawaban yang bagus! Ugh, aku merasa semangatku membara! Remia, mari kita dukung Goshujin-sama bersama-sama!”

“Ya! Sambil mengejar impian kita masing-masing, kan? Kalau tidak begitu, Hajime-san pasti akan terus mengkhawatirkan kami, hehe~.”

Tio dan Remia saling menggenggam tangan, menunjukkan semangat mereka. Shea mengeluarkan suara pelan, “Muu…”

“Kalau begitu, Tio-san dan Remia-san tidak akan pergi sekolah bersama kami, ya. Sedikit disayangkan, sih… Tapi, melihat kalian berdua begitu bersemangat, aku jadi agak iri juga.”

“…Nmyuu~… Aku rasa, bekerja itu sama dengan kalah… nooo~”

Tiba-tiba terdengar suara mengigau yang luar biasa parah, dan waktu seolah berhenti sejenak. Tampaknya pengaruh buruk dari internet mulai merasuki Myuu dengan cepat.

Meskipun begitu, itu terjadi pada momen yang luar biasa pas. Hajime dan yang lain saling berpandangan, lalu tak bisa menahan tawa mereka.

Saat mereka semua tertawa bersama seperti itu—

“Oh~ kelihatannya kalian sangat bersenang-senang, ya? Baguslah, tampaknya kencan pertamanya berjalan lancar.”

“Hei, selamat datang kembali! Wah, Myuu-chan sudah ngantuk banget, ya. Kita harus lebih pelan nih.”

Suara Sumire dan Shuu terdengar. Rupanya, tanpa disadari mereka sudah hampir sampai di rumah.

Terlihat, kedua orang itu sedang menurunkan barang-barang dari mobil. Mungkin mereka baru saja membeli berbagai dekorasi untuk ruang hobi yang sudah diperluas.

“Ibu Mertua! Ayah Mertua! Kami pulang!”

“Wah, bawaan kalian banyak juga. Baiklah, saatnya menunjukkan kekuatan otot seorang bangsa naga!”

“Aduh, aduh~ Kalian juga selamat datang kembali. Ayo, biar aku bantu bawakan, ya?”

Shea dan yang lainnya berlari mendekat dengan wajah penuh suka cita.

Hajime hendak menyusul, namun tiba-tiba lengannya ditarik.

“…Hey, Hajime.”

Itu adalah suara yang begitu lembut dan terdengar begitu bahagia hingga membuatnya terkejut. Hajime tak bisa berkata apa-apa dan hanya menundukkan pandangannya. Melihat itu, Yue pun berkata,

“…Terima kasih, karena telah memberiku ‘tempat untuk pulang’ yang begitu indah.”

“Yue…”

Tatapan Yue tertuju pada keluarganya yang dengan senyum ceria membagi tugas membawa barang sambil bercakap-cakap tentang kejadian hari ini.

Di mata merah delima itu, tampak emosi yang besar, mirip dengan rasa haru yang mendalam.

Tatapan itu kemudian diarahkan pada Hajime dengan kehangatan yang sama besarnya. Tatapan yang begitu dalam, sampai-sampai ia merasa jantungnya terhimpit.

“…Masih banyak yang ingin Yue ketahui tentang dunia Hajime. Rasanya sebanyak bintang di langit. Jika Yue bisa merasakannya bersama Hajime dan semuanya mulai sekarang… fufu, Yue tidak tahan menunggu!”

Betapa bahagianya ekspresi itu—penuh harapan dan kebahagiaan.

Ah, pikir Hajime.

Seolah-olah ini adalah pukulan terakhir yang benar-benar memastikan semuanya.

Apakah hidup di bumi tidak akan menjadi beban bagi Yue dan yang lainnya?

Kini Hajime merasa bahwa kekhawatiran itu benar-benar tidak berdasar.

Entah kenapa, justru Hajime yang merasa tak kuasa menahan perasaannya.

Meskipun orang-orang mengatakan bahwa bakat sejatinya adalah sebagai “provokator”, Hajime bahkan tak sanggup berkata apa pun.

“…Begitu ya. Ya, memang… tak tertahankan.”

Itu saja yang bisa ia balas sambil menggenggam tangan Yue erat-erat.

“Hajime? Yue-chan? Ada apa tuh~?”

Suara Sumire (ibu) mengalihkan pandangan mereka.

Shuu (ayah), serta Shea, Tio, dan Remia menanti dengan senyuman.

Hajime dan Yue saling menatap dan tertawa kecil,

“Bersama-sama: Kami pulang.”

Dengan suara yang indah dan selaras, mereka mengucapkan kata-kata pulang itu.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close