Penerjemah: Ariel Yurisaki
Proffreader: Ariel Yurisaki
Chapter 02
Pagi Hari yang Biasa (?) di Keluarga Nagumo – Bagian Akhir
*TL Note: sedikit flasback, Time Line kali ini merupakan lanjutan dari Epilog vol 13, dimana Hajime memeluk kedua orang tuanya tepat setelah membuka pintu rumah :v
“Aku pulang, Ayah. Ibu.”
““Selamat datang kembali, Hajime.””
Di malam itu, setiap anggota Keluarga Nagumo saling bertukar perasaan.
Di depan pintu masuk, saling berpelukan erat, seolah ingin memastikan keberadaan satu sama lain.
Meskipun, setelah beberapa saat kemudian, mereka buru-buru masuk ke dalam rumah...
Itu karena ada emak-emak tetangga di seberang jalan sedang mengintip dari celah tirai jendela rumahnya dengan mata terbelalak.
Benar-benar seperti adegan “Anjirrrrr, ada Emak-emak tetangga sebelah melihat!!!”
Hajime sempat ragu apakah sebaiknya ia memberikan senyum sopan atau sekadar mengangguk, mengingat dia bukan orang asing baginya.
Tapi, Hajime adalah seseorang yang telah lama dinyatakan hilang. Jika ia terlalu mencolok, itu bisa menimbulkan kehebohan. Jadi, berpura-pura tidak menyadari dan segera masuk adalah pilihan terbaik.
Tentu saja, alasan utamanya sudah jelas.
Karena akhirnya, setelah sekian lama, ia bisa bertemu kembali dengan keluarganya, dan itulah yang paling ia utamakan. Selain itu, ia ingin segera memasuki rumah tempat ia dibesarkan.
Hanya satu tahun. Namun, tahun itu terasa seperti keabadian.
Hajime tak bisa menahan diri untuk menyentuh hiasan di pintu masuk, meraba bekas goresan dan noda pada wallpaper yang ia kenali. Aroma rumahnya yang familiar, lorong yang menuju ke bagian dalam, semua itu hampir membuatnya meneteskan air mata.
“Hei, apa yang kau lakukan? Apa kau sudah lupa di mana ruang keluarga?”
“Tidak mungkin, Ayah.”
Mendengar lelucon ringan dari Shu, Hajime pun tersenyum kecil.
Sumire masih tampak berlinang air mata, seolah-olah tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Padahal, sebenarnya baik ayah maupun ibunya adalah tipe orang yang—kalau tidak terus bercanda atau membicarakan referensi manga dan hal-hal berbau otaku—rasanya mereka akan mati. Begitulah betapa cerianya mereka biasanya.
Meskipun penampilan mereka kini terlihat jauh lebih letih dan tampak menua, inti dari diri mereka tidak berubah.
Itu membuat Hajime begitu bahagia—sangat bahagia sampai rasanya tak tertahankan.
Ia mengarahkan pandangannya ke ruang tamu yang penuh nostalgia melalui pintu yang masih terbuka lebar. Hanya dengan melihatnya, perasaan yang meluap-luap memenuhi dadanya. Namun—
“…Ini…”
Ia menahan napas saat melihat tumpukan selebaran yang berserakan di atas meja makan, semuanya berisi permohonan informasi. Di layar laptop yang masih menyala, sebuah situs pencarian orang terpampang jelas.
Itu adalah bukti bahwa orang tuanya tidak pernah menyerah.
Seberapa banyak beban mental yang telah ia timpakan pada mereka?
“…Selama setahun ini, kami telah melakukan segala hal. Namun pada akhirnya, kami tidak menemukan satu pun petunjuk. Bahkan pihak kepolisian pun tidak bisa berbuat apa-apa…”
Sambil menutup laptopnya, Shuu bertanya dengan suara yang mengandung berbagai emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, serta ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
“Hajime… Sebenarnya, di mana kalian selama ini?”
Sumire, yang telah menghapus air matanya, berdiri tepat di hadapan Hajime. Dengan tatapan yang menembus ke dalam matanya, ia pun bertanya,
“Pada hari itu, setahun yang lalu… Sebenarnya, apa yang terjadi?”
Penculikan di Siang Bolong. Mengapa Hanya Kelas Putraku yang Menghilang? Bagaimana Bisa?
Tatapan sang ibu penuh keteguhan, seolah menolak untuk membiarkan kebohongan atau keanehan apa pun luput dari perhatiannya. Hajime menatap balik Ibunya dengan intensitas yang sama.
“…Begitu, ya. Menjelaskannya itu mudah, tapi juga sulit. Ada banyak hal yang harus kuceritakan.”
Mendengar suara dalam dan melihat sorot mata putra mereka—yang sudah tak bisa lagi disebut sebagai seorang anak—Shuu dan Sumire menahan napas.
Lalu, mereka menyadari sesuatu.
Putra mereka telah mengalami sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang jauh melampaui bayangan mereka.
“…Begitu. Kalau begitu, mari kita segera bereskan meja dan bicara panjang lebar. Tunggu sebentar, ya. Ibu akan membuatkanmu café au lait yang lezat.”
“Ah. Terima kasih, Ibu.”
“Fufu, kau sudah terlihat begitu dewasa sekarang.”
“Itu benar. Sudah, jangan hanya berdiri di sana, duduklah. Iya, di situ. Tempat duduk favoritmu.”
Saat Hajime tanpa ragu memilih kursi yang paling dekat dengan pintu ruang tamu, hanya hal kecil itu saja sudah cukup membuat Shuu tersenyum lega sambil membereskan selebaran di meja.
Lalu—
Sambil menikmati “Café au Lait buatan Ibu” yang pahit namun penuh kehangatan, Hajime mulai menceritakan kebenaran tentang kasus hilangnya seluruh penghuni kelas setahun yang lalu.
Menceritakan semuanya dalam satu tarikan napas terlalu sulit—pengalaman Hajime terlalu padat dan mendalam. Oleh karena itu, ia hanya menceritakan bagian-bagian yang penting. Meski begitu, saat ceritanya berakhir, langit sudah mulai memucat menjelang fajar.
“Kurang lebih, seperti itu lah yang terjadi.”
Hajime telah mengosongkan cangkirnya lagi, yang entah keberapa dan menghela napas.
Shuu dan Sumire juga menghela napas lelah. Shuu memijat pelipisnya, sementara Sumire menatap ke dalam cangkir kosongnya, tampak bimbang tentang bagaimana harus merespons.
“Memang sulit dipercaya, ya?”
Hajime tersenyum masam. Dalam hati, ia merasa lega dan berterima kasih karena mereka tidak menghentikannya di tengah cerita atau menganggapnya omong kosong belaka. Ia tahu betapa mustahilnya kisah yang baru saja ia sampaikan.
Shuu dan Sumire saling bertukar pandang, setelah hening sejenak untuk memilih kata-kata yang tepat, mereka perlahan mulai berbicara.
“…Yah, begini. Ayah dan Ibumu, karena pekerjaan kami, tidak terlalu asing dengan hal-hal semacam ini dan cukup banyak tahu. Tapi… jika harus menghadapinya secara langsung…”
“…Sulit untuk menerimanya begitu saja,” kata Sumire dengan terus terang, berbeda dari Shuu yang lebih berhati-hati.
“Kalau mengingat betapa tidak masuk akalnya kasus hilangnya seluruh kelasmu ini, tentu saja… aku tak bisa mengabaikan kemungkinan itu. Lagi pula, tidak ada alasan bagimu untuk berbohong. Jadi, yang benar-benar membuatku khawatir adalah—“
“Kemungkinan bahwa seseorang telah membuatmu percaya semua itu.”
“Haha, memang itu yang paling masuk akal. Jika aku ada di posisi kalian, mungkin aku juga akan berpikir seperti itu.”
Diculik oleh seseorang, lalu dicuci otak bersama yang lain, hingga ditanamkan ingatan yang mustahil…
Memang, skenario itu jauh lebih realistis. Bukan berarti mereka tidak mempercayai kata-katanya, melainkan lebih kepada kekhawatiran mereka sebagai orang tua—jika itu benar, maka Hajime harus segera mendapat perawatan.
“Ayah, Ibu. Ada cara untuk membuktikan apakah ceritaku ini benar atau tidak. Jadi, untuk sekarang, anggap saja semuanya memang benar... dan jawablah pertanyaan ku.. ”
Di hadapan kedua orang tuanya, yang menatapnya lekat-lekat dengan sorot mata penuh kehati-hatian dan kepedulian, Hajime menarik napas dalam.
Ia harus memastikan sesuatu.
Dan lebih dari itu—ia harus menghadapi ketakutan terbesar yang telah lama ia simpan dalam hatinya, sesuatu yang bahkan refleksi dirinya sendiri telah tunjukkan saat di Gua Es.
“…Apa yang kalian pikirkan tentang semua yang telah kulakukan? Tidak, lebih tepatnya—bagaimana pendapat kalian tentang diriku sekarang?”
Kekecewaan, ketakutan, penolakan, rasa jijik…
Ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi semua itu. Tapi jika benar-benar terjadi—jika ia melihat emosi itu di mata kedua orang tuanya—mungkin ia tidak akan sanggup. Mungkin ia akan langsung pergi dan mencari pelukan hangat dari orang yang paling ia cintai.
Namun, bertentangan dengan kegelisahan yang melanda hatinya, Shuu dan Sumire malah saling tersenyum kecil—sebuah senyum yang terlihat campuran antara keheranan dan kelelahan, seolah berkata, Astaga, anak ini… tanpa mereka harus mengatakannya secara langsung.
“Hajime, dengar ya. Aku dan Sumire itu bukan orang suci.”
“Eh?”
Hajime menatap mereka dengan bingung, tapi Shuu dan Sumire berdiri dari tempat duduk mereka, lalu mendekat dan duduk di sisi Hajime.
“Keselamatan putra kami jauh lebih penting daripada hidup orang lain. Mungkin itu tidak benar secara moral, tapi begitulah cara kerja hati seorang orang tua. Kau benar-benar tegang sekali… Apa kau pikir kami akan memutuskan hubungan denganmu? Dasar anak bodoh.”
“Tapi… Ibu...”
Hajime menunduk, suaranya penuh keraguan.
“Aku memang membunuh karena perlu. Tapi aku tidak pernah ragu melakukannya. Aku telah berubah menjadi seseorang yang tidak merasa jijik atau bersalah saat menghabisi nyawa orang lain. Apa kalian masih bisa menerima seseorang seperti itu?”
Ia merasakan tangan ibunya mengusap kepalanya dengan lembut, seolah berkata, Dasar anak ini…. Perkataan yang meluncur dari bibirnya barusan terasa seperti sesuatu yang impulsif, seakan ia menantikan jawaban tertentu dari mereka.
Mungkin, jauh di lubuk hatinya, itu adalah bentuk dari rasa manja—sesuatu yang bahkan tidak ia sadari.
Menyadari hal itu, kali ini Shuu benar-benar menghela napas dengan ekspresi setengah jengkel. Ia mengulurkan tangan dan mengacak rambut Hajime dengan lebih kasar dibanding Sumire.
“Menerima atau tidak menerima? Omong kosong apa itu?”
“Di keluarga Nagumo, tidak ada yang namanya ‘berhenti menjadi keluarga.’ Tidak peduli seberapa keras kau menolaknya, tidak peduli apa yang terjadi, kau tetap anakku. Dan itu tidak akan pernah berubah.”
“Ayah…”
“Singkatnya, ‘Kau tidak bisa lari dari Ayah!’”
“Kenapa malah bercanda di saat seperti ini…”
Seperti biasa, Shuu tetap bisa melontarkan lelucon, bahkan dalam situasi serius. Tapi justru karena itu, Hajime tahu kalau itulah perasaan tulus ayahnya.
“Hajime, apakah kau menyesali apa yang telah kau lakukan?”
Sumire, yang kini duduk di sampingnya, bertanya dengan lembut.
“Tidak, aku tidak menyesalinya. Aku juga tidak menganggapnya sebagai kesalahan.”
Jawaban itu keluar dari mulut Hajime tanpa sedikit pun keraguan.
Ia telah mengambil keputusan dengan penuh kesadaran. Jika tidak, ia bisa kehilangan segalanya kapan saja. Tidak peduli seberapa kuat dirinya, setiap kali sesuatu yang berharga bertambah dalam hidupnya, ia harus semakin berjuang untuk melindunginya. Keraguan dan kelembutan berlebihan hanyalah musuh terbesarnya.
Mendengar jawaban itu, Sumire menatap putranya lekat-lekat. Matanya sedikit melunak, tetapi ia masih memiliki satu pertanyaan lagi.
“Sekarang kau sudah kembali… apakah kau masih akan melakukan hal yang sama?”
Hajime terdiam sejenak sebelum menggeleng pelan.
“Tidak, itu tidak akan terjadi. Perjalananku—di mana aku harus membunuh musuh untuk bertahan hidup—sudah berakhir. Aku juga harus mulai mengubah cara hidupku… meskipun aku tidak berniat menjadi seorang pasifis.”
“Begitu. Kalau begitu, tidak masalah.”
Sumire tersenyum kecil.
“Meski hatimu mungkin sudah terbiasa dengan pembunuhan, aku bisa melihat bahwa kau masih memiliki akal sehat dan perasaan. Itu sudah cukup.”
‘Jika suatu hari nanti kau mulai tersesat di jalan yang salah, kali ini, Ibu sendiri yang akan menamparmu dan membawamu kembali.
Jika kau harus menanggung konsekuensi dari semua ini, maka Ibu akan menanggungnya bersamamu.’
Bukan sekadar soal perasaan—bahkan dalam hal tanggung jawab, mereka berjanji untuk menghadapi semuanya bersama.
Jika suatu hari mereka benar-benar melihat putra mereka membunuh seseorang, tentu mereka akan terguncang. Mungkin, saat itu tiba, mereka tidak akan bisa berbicara setenang ini.
Namun satu hal yang pasti—Shuu dan Sumire tidak akan pernah meninggalkan Hajime karena rasa takut. Itu adalah kebenaran yang tidak bisa digoyahkan.
Dan perasaan itu telah sampai pada Hajime dengan jelas.
“...Begitu, ya.”
Tanpa sadar, ia menghembuskan napas yang sejak tadi tertahan. Ketegangan yang mencengkeram bahunya perlahan menghilang. Ketakutan yang selama ini bersembunyi di sudut hatinya—yang terus menolak untuk hilang—akhirnya sirna.
Saat Hajime menutup matanya, seolah mencoba merapikan emosinya, Shuu dan Sumire menatapnya dengan penuh kasih.
Mungkin, pada saat ini juga, mereka akhirnya benar-benar merasakan bahwa putra mereka telah kembali.
“...Terima kasih. Ayah, Ibu.”
Ketika ia membuka matanya, ia menatap kedua orang tuanya dengan mantap, lalu mengucapkan rasa terima kasihnya dengan tulus.
Shuu dan Sumire hanya mengangguk. Itu saja sudah cukup.
Lalu—
“Baiklah, Ayah, Ibu. Sekarang, kita kembali ke pembahasan awal.”
“Eh? O-oh?”
“Kenapa mendadak begitu?! Perubahan topiknya cepat sekali!”
Tiba-tiba, Hajime menyeringai jahil, mengubah suasana seketika.
Shuu dan Sumire, yang tidak siap dengan perubahan mendadak ini, sama-sama menunjukkan ekspresi sedikit kaku.
Namun, sebagai orang tua, mereka cukup memahami bahwa ini juga caranya menyembunyikan rasa malunya. Mereka hanya bisa tersenyum kecil dan mengangguk.
“Kau tadi bilang ada cara untuk membuktikan apakah semua ini benar atau tidak, kan?”
Wajah Shuu dan Sumire terlihat rumit. Raut mereka seolah berkata bahwa mereka masih sulit untuk sepenuhnya mempercayai ceritanya—mungkin sembilan bagian keraguan dan hanya satu bagian keyakinan.
“Hm… Iya. Ingat tidak? Dulu kita sering membicarakan skenario ‘bagaimana jika kita dipanggil ke dunia lain’?”
“Hah? Oh, tentu saja aku ingat. Bukan hanya sekali atau dua kali, kita sering membahasnya.”
“Ya, seperti ‘bagaimana jika dunia dilanda wabah zombie’ atau ‘bagaimana jika teroris menyerang tempat kerja atau sekolah’. Itu kan, imajinasi liar yang sering dimiliki para otaku.”
Memang, diskusi soal dunia lain bukanlah sesuatu yang asing bagi keluarga Nagumo. Baik karena pekerjaan mereka maupun karena hobi, topik seperti itu sering muncul dalam percakapan mereka.
Tapi kenapa tiba-tiba membahas ini?
Shuu dan Sumire saling melirik, sedikit bingung.
Hajime, dengan sedikit rasa malu, melanjutkan.
“Ayah sering bilang, ‘Kalau kau laki-laki sejati, tentu kau ingin bertualang di dunia pedang dan sihir, mengalahkan raja iblis, dan membangun harem!’”
“Ya, itu jalur klasik. Tapi kau selalu membalasnya dengan, ‘Aku rasa aku tidak bisa mengalahkan raja iblis. Tapi kalau itu untuk pulang ke rumah, aku pasti akan berusaha. Apalagi kalau ada seseorang yang penting bagiku, aku akan berjuang bersamanya.’ …Jujur saja, jawabanmu selalu terasa antiklimaks, kau tahu?”
“Maaf deh. Tapi, yah… aku bahkan sudah mengalahkan dewa jahat. Jadi ini lebih dari sekadar menepati janji, kan?”
“...Hajime? Aku hanya memastikan saja, tapi kau bukannya mau mengenalkan pacar imajiner yang tadi sering disebut dalam ceritamu, kan?”
“Dia bukan pacar imajiner. Tapi, ya… kurang lebih begitu.”
Shuu dan Sumire saling bertukar pandang. Wajah mereka penuh kebingungan, seolah tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Sebentar… Apa mungkin dialah yang menanamkan ingatan palsu di kepalamu?”
“Wah, Ibu, otakmu tetap tajam meski tidak tidur semalaman!”
“Benar, itu pasti jawabannya! Dari tadi, wajahmu tampak agak mengerikan dengan senyum-senyum sendiri. Dia pasti telah menipumu! Dan setelah ini, dia akan berkata—‘Jika kalian ingin putra kalian kembali seperti semula, belilah guci suci ini!’—Aku yakin itu!”
Sumire mulai terbakar emosi sendiri.
“Dasar! Berani-beraninya dia memanipulasi anakku seperti itu!”
Shuu, yang menyadari istrinya mulai terlalu bersemangat, buru-buru menenangkannya.
“Tenang, Sumire! Kau pasti terlalu lelah karena begadang!”
Sementara ibunya hampir saja menganggap orang yang paling dicintainya sebagai penjual produk penipuan, Hajime hanya bisa menahan tawa.
Sambil menatap ke arah kosong, ia menghela napas dan berbicara.
“...Yue, kau dengar? Ini aku.”
“!? O-Oi, Sumire! Dia mulai berbicara ke udara kosong! Apa yang kau bilang tadi benar? Jadi pacarnya memang imajiner!? Sebagai ayah, apa yang harus kulakukan!?”
“Tenang, sayang. Atau mungkin… tsk, kita lengah. Bisa jadi Hajime telah dipasangi alat penyadap. Jika si wanita penjual guci itu benar-benar ada—dia pasti akan datang sebentar lagi!”
“Apa! Bajingan! Berani-beraninya dia menjadikan anakku kaki tangan penjual guci… Aku tidak akan tinggal diam! Akan kupakai teknik menawar legendarisku dan membuatnya bangkrut!”
Bukan hanya Sumire yang terbawa suasana, bahkan Shuu yang tadinya masih waras kini ikut-ikutan mengeluarkan pernyataan aneh.
Melihat kedua orang tuanya sudah lepas kendali, Hajime hanya bisa mengabaikan mereka agar pembicaraan bisa terus berjalan.
“Ya, sudah aman sekarang. Aku ingin segera mengenalkan Yue dan yang lainnya. …Benar, bukalah Gate dan langsung datang ke sini. Titik koordinatnya… sekitar satu meter ke arah timur dari posisiku.”
Saat ini, Yue dan yang lainnya sedang menunggu di sekolah lama Hajime.
Ketika mereka kembali dari Tortus, koordinat Gate ditetapkan di atap sekolah. Lokasi itu cukup mudah dibayangkan, dan meski siang hari sekalipun, biasanya atap sekolah terkunci, jadi tidak akan ada orang yang melihat mereka muncul tiba-tiba. Tempat itu sangat ideal.
Di sana, para teman sekelasnya sudah meledak dalam luapan emosi—ada yang menangis haru sambil berpelukan, ada yang melompat ke arahnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti perayaan kemenangan olahraga.
Sementara di belakang, terdengar teriakan marah dari Shizuku, “Hei! Berhenti melompat-lompat di atas atap!”
Dengan kecepatan yang akan membuat atlet Olimpiade iri, mereka semua akhirnya bergegas pulang.
Setelah suasana mulai tenang, Yue dan yang lainnya memutuskan untuk tetap tinggal di sekolah.
Agar tidak mengganggu reuni Hajime dengan keluarganya.
Tentu saja, Shuu dan Sumire, yang tidak mengetahui situasi tersebut, mulai mencari-cari rumah sakit ketika melihat putra mereka terus berbicara ke udara kosong. Wajah mereka tampak hampir menangis.
Namun, itu hanya berlangsung sesaat. Segera setelahnya, mereka membeku karena keterkejutan.
“Tidak apa-apa, Hajime. Ayah akan—eh?”
“Aku menemukannya, sayang. Kalau rumah sakit ini—Ah...?”
Ruang di sekitar mereka mulai berputar dan terdistorsi. Dinding di antara ruang tamu dan ruang makan bersinar emas, membentuk pusaran yang berputar perlahan.
Keduanya serentak menjatuhkan ponsel mereka. Mata mereka terbelalak, mulut mereka menganga karena tak memahami apa yang sedang terjadi.
Di ujung pandangan mereka, cahaya emas itu berubah menjadi bentuk elips yang indah. Sesaat kemudian, bagian dalamnya menjadi transparan, memperlihatkan sebuah tempat yang mereka kenali—sebuah ruang kelas sekolah.
“D-D-D-Dora...emon’s door, kah!?”
“Eh? Apa-apaan ini? Apa ini!?”
Saat Shuu dan Sumire berdiri dengan panik hingga hampir menjatuhkan kursi mereka, dari tepi gerbang emas itu, seorang gadis cantik tiba-tiba mengintip dengan penasaran.
Rambutnya yang indah bagai benang emas, matanya merah seperti batu delima. Wajahnya begitu menawan hingga bahkan boneka porselen kelas atas pun akan tampak pucat di hadapannya.
Baik fenomena yang baru saja terjadi maupun kecantikan gadis yang muncul itu terasa begitu tidak nyata, hingga Shuu dan Sumire kembali membeku di tempat.
Sambil memandang ke sekeliling ruangan dengan penuh rasa ingin tahu, Yue akhirnya mengarahkan pandangannya pada mereka. Kemudian, dia tersenyum. Sebuah senyuman penuh kasih sayang, begitu alami hingga tampak seolah-olah sebuah boneka telah diberikan kehidupan.
Dari mulut Sumire, terdengar suara aneh, “Ohoh!”, seperti seorang otaku yang tak bisa menahan diri, sementara Shuu hampir pingsan dengan mata berputar.
Yue lalu mengalihkan tatapannya ke Hajime, seakan bertanya dalam diam, “Boleh masuk?”
Hajime, yang kini sudah berdiri, mengulurkan tangannya dengan tatapan yang sangat lembut.
“Selamat datang di keluarga Nagumo. Jangan sungkan, masuklah.”
“…Hm.”
Dengan langkah pelan, Yue memasuki ruangan.
Sikapnya berubah lebih formal, berdiri tegap dengan tangan rapi di depan tubuhnya. Dari gerak-geriknya, tersirat bahwa dia tengah merasakan ketegangan yang jarang terlihat darinya.
Bagi Yue, diperkenalkan kepada orang tua dari pria yang dicintainya sama seriusnya dengan pertarungan hidup dan mati.
Hajime, yang berdiri di sampingnya, menatap Yue dengan penuh kasih sayang. Setelah jeda singkat, dia tersenyum seperti anak kecil yang baru saja berhasil mengerjai seseorang, lalu memperkenalkan vampir kesayangannya kepada kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu. Namanya Yue. Dia adalah orang yang sangat spesial bagiku. Oh, dan sebagai tambahan, dia berasal dari dunia lain, seorang vampir, juga dulunya Dia adalah seorang putri.”
“T-Templat karakter khas!?”
Tidak peduli seberapa terkejut mereka, jiwa otaku tetaplah otaku. Begitu mendengar kata-kata yang familiar, tubuh mereka secara refleks bereaksi.
Yue berpikir—atau lebih tepatnya, merasakannya dalam hatinya.
“Ah, benar-benar orang tua Hajime.”
Entah kenapa, perasaan hangat menjalar dalam dirinya, sedikit mengendurkan ketegangan yang tadi mencekam. Dia menarik napas pelan, mengumpulkan kembali semangatnya, lalu bersiap.
Dengan anggun, ia mencubit ujung roknya, lalu membungkuk dalam sebuah gerakan penuh keindahan dan keanggunan. Sebuah curtsy yang sempurna.
“…Senang bertemu dengan Anda untuk pertama kalinya, Ayah dan Ibu mertua. Nama saya Yue. Saya sangat berbahagia bisa bertemu dengan Anda. Mohon bimbingan dan restunya untuk ke depannya, desuwa...”
“Eh, u-um? Ah, terima kasih. Kami juga senang bertemu denganmu?”
“Y-ya! Mohon kerja samanya… desu wa?”
Mereka masih berusaha mencerna kenyataan. Seorang gadis cantik berambut emas dan bermata merah layaknya karakter dongeng tiba-tiba muncul di hadapan mereka—dan ini adalah pertama kalinya dalam hidup mereka diperkenalkan kepada pacar sang putra.
Otak mereka jelas sudah kepenuhan informasi, membuat ucapan mereka terdengar tidak jelas. Dengan ekspresi kikuk, mereka membungkuk berulang kali.
Melihat reaksi mereka, Yue hanya tersenyum lembut. Namun, Hajime, yang berdiri di sampingnya, tidak berniat membiarkan mereka beristirahat begitu saja.
Dengan penuh semangat, dia melanjutkan serangannya tanpa ampun.
“Shea, masuk!”
“Baik, Hajime-san! Ayah mertua, Ibu mertua, nama saya Shea! Mohon bimbingannya, desuu!”
“Gadis kelinci imuuut muncul!?”
Dengan telinga kelincinya yang bergerak-gerak, gadis cantik kedua melompat masuk. Shuu dan Sumire berteriak serempak, memperlihatkan harmoni yang sempurna.
Shea pun berpikir, “Respon yang luar biasa, desuu! Seperti yang diharapkan dari orang tua Hajime-san!”
Meskipun mereka begitu syok hingga tak bisa merespons dengan benar, pandangan mereka tetap terkunci pada telinga kelinci yang bergerak aktif. Bahkan tanpa sadar, mereka tampak terpikat.
Hajime juga sering mengalami hal yang sama, pandangannya selalu tertarik ke arah telinga kelinci Sia. Dan sekarang, tatapan orang tuanya terlihat persis seperti itu.
“Tio, giliranmu masuk.”
“Umu. Akhirnya kita bertemu, Ayah mertua, Ibu mertua. Saya adalah Tio Klarus, seorang dragonoid dan... budak seks dari Tuanku. Mohon bimbingan kalian untuk ke depannya.”
“B-Budak SEKS!?”
Dengan dada yang nyaris tumpah dan sepasang sayap naga yang terbentang megah, Tio memberikan salamnya… yang sejujurnya cukup bermasalah.
Shuu dan Sumire langsung terhuyung.
Gelombang kejutan yang bertubi-tubi akhirnya mulai berdampak pada kaki mereka.
Tentu saja, Hajime tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun dan terus memanggil dengan suara lantang.
“Remia, Myuu. Masuklah.”
“Ya, Sayang. Senang bertemu dengan kalian, namaku Remia. Mohon bimbingannya untuk aku dan putriku.”
“U-Umm… A-aku Myuu, putri Papa! Kakek, Nenek, mohon bimbingannya, nano!”
“K-Kakek!?”
“P-Putriiii!?”
Seorang wanita cantik dengan aura lembut membungkuk sopan, sementara seorang gadis kecil berusaha sekuat tenaga memperkenalkan dirinya.
Ini sudah jauh melampaui sekadar “memperkenalkan pacar.” Dalam sekejap, mereka telah mendapatkan cucu.
Otak mereka tidak bisa lagi memproses semuanya.
Seperti mesin yang hampir kehabisan pelumas, Shuu dan Sumire perlahan-lahan menoleh ke Hajime, suara pikiran mereka begitu jelas terbaca melalui tatapan tajam mereka:
“Jelaskan. Sekarang.”
Menghadapi ekspresi mereka, Hajime hanya menjawab dengan sederhana.
“Aku sudah melamar mereka semua. Seperti yang kalian lihat, Myuu memang tidak memiliki hubungan darah denganku, tapi aku telah memutuskan untuk menjadikannya putriku. Jadi, sekarang dia adalah cucu kalian. Yah, mohon bimbingannya.”
“Oke, kami mengerti… tidak, sama sekali tidak!”
“Oh, dan seperti yang mungkin kalian duga, masih ada empat orang lagi. Nanti mereka juga akan datang untuk memberi salam.”
“Anak kami benar-benar hidup di dunia harem nyata!?”
Dengan gerakan yang sempurna sinkron, Shuu dan Sumire memegangi kepala mereka, berusaha memahami realitas baru ini.
Meski mereka berkata “tidak mengerti,” respons mereka justru menunjukkan pemahaman yang luar biasa.
Dari cerita yang baru saja mereka dengar tentang dunia Tortus serta perkenalan barusan, Shuu dan Sumire akhirnya berhasil menyimpulkan satu hal:
“Anak kami benar-benar kembali sebagai protagonis isekai dengan kekuatan cheat dan harem.”
Meski begitu, sebagai orang tua, hati mereka tetap bergolak hebat. Mereka tak bisa menghindari kepanikan yang melanda.
“Tunggu dulu, Sumire! Gadis-gadis secantik ini tidak mungkin ada di dunia nyata! Semuanya pasti CGI! Jangan tertipu!”—seru Shuu, seolah telah menemukan kebenaran sejati.
Sumire pun, seolah mendapat pencerahan, langsung menimpali dengan ekspresi serius:
“Hajime, Ibu sangat mengerti rasanya jatuh cinta secara serius pada karakter favoritmu! Tapi kalau mau memperkenalkan seseorang, setidaknya bawalah gadis sungguhan!”
Kekacauan benar-benar meledak. Ini sudah bukan sekadar kebingungan—ini adalah kepanikan dalam skala kecil.
Namun di tengah kegaduhan itu, Myuu, yang merasa tidak diterima, mulai menundukkan kepala dengan wajah muram.
“O-Ojiichan, Obaachan… Myuu tidak diterima, ya?”
Dia menatap mereka dengan mata besar yang berkaca-kaca, penuh harapan dan kesedihan.
“Oh, tentu tidak, Myuu-chan, Aku adalah kakekmu.”
(Tadi hanya bercanda!)
“Halo, Myuu-chan. Aku nenekmu!”
Dalam sekejap, keduanya pulih sepenuhnya.
Mereka langsung terkapar oleh serangan menggemaskan Myuu, tanpa sedikit pun perlawanan.
Ekspresi mereka yang terpesona, serta cara mereka jatuh dalam pesona Myuu, benar-benar mengingatkan pada Hajime.
Begitu mereka pulih dari keterkejutan, Shuu dan Sumire langsung berubah menjadi mode fan hardcore.
Sebagai orang-orang yang hidup dari jiwa otaku mereka, mereka sekarang bersinar penuh semangat, membombardir semua orang dengan pertanyaan.
Mereka bereaksi dengan heboh terhadap cerita yang diceritakan oleh Yue dan yang lainnya. Begitu mendengar gombalan yang para gadis lontarkan tentang Hajime, mereka menggeliat kesenangan.
Dan ketika Hajime menunjukkan artefak perekam masa lalu, yang memungkinkan mereka melihat kembali peristiwa yang terjadi di dunia lain—
Ketenangan pagi di perumahan itu pun langsung hancur.
“UOOOOOOH!!! INI GILA BANGET!!! ANAKKU INI BENAR-BENAR PROTAGONIS HAREM ISEKAI!!! TERIMA KASIH, SEMESTA!!!”
“KYAAAAA!! DENGAR ITU!? BARUSAN DIA MENGATAKAN SESUATU YANG LUAR BIASA!!! YA TUHAN!!! PUTRAKU BENAR-BENAR SEORANG RAJA IBLIS!!! TERIMA KASIH!!!”
Mereka berteriak kegirangan seperti otaku yang baru mendapat rilisan langka, tanpa peduli bahwa ini masih pagi.
Hajime, yang bahunya ditampar berulang kali, hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan, terselimuti rasa malu.
Melihat kekacauan yang terjadi di keluarga Nagumo, Yue dan yang lainnya hanya tersenyum hangat.
“……Hm. Seperti yang kuduga, Ayah dan Ibu Hajime memang beda level.”
“Benar-benar pasangan yang cocok untuk menjadi orang tua Hajime-san.”
“Mustahil tuan kita memiliki orang tua yang normal.”
“Ufufu, mereka unik seperti Hajime-san juga.”
“Iya! Papa dan Kakek-Nenek benar-benar mirip!”
Melihat mereka yang tersenyum penuh kehangatan, Hajime perlahan mendongak dengan tatapan setengah lelah.
Lalu, dengan wajah yang sulit diungkapkan, dia berkata:
“…Maksud kalian apa, hah?”
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Waktu telah berlalu, teh sesudah makan pun telah habis diminum.
Shea dan Remia pergi ke dapur untuk mencuci piring dan semua peralatan makan lainnya, sedangkan Tio tengah sibuk mengikat rambut Myuu yang duduk di pangkuannya menjadi kuncir kembar (twintail). Di sofa, seperti biasa, Sumire dan Yue sedang mengobrol akrab.
Benar-benar suasana yang damai.
Meskipun Hajime akhirnya bisa kembali, ini adalah suasana yang belum sempat ia rasakan, akhir-akhir ini dia terlalu sibuk.
Wajahnya secara alami menjadi santai dan tersenyum lembut—mungkin karena ia saat ini sedang mengenang kembali Moment ketika orang tuanya bersedia menerima keberadaan Yue dan istri-istrinya yang lain, juga menerima dirinya yang telah berubah.
“Hajime, akhirnya kau bisa beristirahat dengan tenang untuk sementara waktu, kan?”
Nada suara Shuu terdengar sangat lembut. Ia tampak sangat senang melihat putranya bisa benar-benar rileks.
Pada saat yang sama, Shuu sendiri mungkin juga merasa sangat bahagia bisa menikmati pagi yang damai ini bersama putranya dan keluarga besar mereka yang baru.
Masa-masa kelam yang seperti mimpi buruk, terombang-ambing diantara harapan dan keputusasaan, yang terjadi belum lama ini—semua itu kini telah berakhir. Kehangatan dan keceriaan yang penuh kasih kembali memenuhi rumah ini.
Kalau ini bukan kebahagiaan, lalu apa lagi? Perasaan itu jelas tergambar di raut wajahnya.
“Ah, aku baik-baik saja, Ayah. Lagi pula, media juga sudah tidak berdatangan, kan?”
“Benar juga. Cukup menakutkan, mereka berhenti berdatangan secara tiba-tiba. Bahkan ke tempat kerja juga.”
Senyuman muncul di wajah Shuu—cerah, tapi disertai sedikit rasa ngeri.
“Itu bukan hal sepele, lho. Hajime, sebenarnya apa yang kamu lakukan? Semua majalah yang berhubungan dengan ‘orang yang kembali’ langsung ditarik dari peredaran, gambar dan video di internet juga lenyap dalam sekejap. Bahkan komentar-komentar Toxic di sosmed pun tiba-tiba berhenti, kan?”
THE RETURNEES
‘Orang yang kembali’—itulah sebutan media untuk Hajime dan yang lainnya setelah kembali ke Bumi.
Dari balik sandaran sofa, Sumire mencondongkan tubuhnya. Yue pun berlutut di atas sofa dan menghadap Hajime.
Sekarang setelah dipikir kembali, sepertinya ia belum pernah menjelaskannya dengan benar. Hajime pun berdeham sekali.
“Kalau dijelaskan secara sederhana, aku menyebarkan sihir tipe interferensi persepsi ke seluruh dunia lewat internet dan televisi.”
““Apa Maksudnya?””
Tanda tanya “?” tampak seperti melayang di atas kepala Sumire dan Shuu.
Sementara itu, Hajime menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya, seolah sedang mengakui rencana licik.
“Cerita palsu soal kami yang dikabarkan hilang itu sudah aku jelaskan, kan?”
“Karena kita harus menyamakan cerita, tentu saja. Di ‘Pertemuan Keluarga’ juga sudah dibagikan, tentu aku ingat,” jawab Shuu.
“Itu cerita tentang fasilitas karantina milik organisasi okultisme di pegunungan luar negeri, kan? Yang katanya kita hampir dicuci otak jadi pengikut, dan karena terus-menerus diberi semacam sugesti hipnosis, ingatannya jadi samar-samar.”
Singkatnya, cerita resminya adalah: Hajime dan yang lainnya diculik oleh organisasi okultisme di luar negeri, lalu selama ini mereka didoktrin tentang "ajaran" dan "keajaiban (sihir)" oleh organisasi tersebut.
Ini adalah salah satu cerita khas Hajime—“bukan sepenuhnya bohong, tapi juga tidak sepenuhnya benar.”
‘Pertemuan Keluarga’—yakni organisasi pencarian independen yang dibentuk oleh keluarga para siswa yang hilang secara massal—juga sudah terlebih dahulu diberi tahu tentang cerita palsu ini.
Saat masih berada di Tortus untuk bersiap kembali ke dunia asal, Hajime dan teman-teman sekelasnya telah berdiskusi dan menyepakati cerita ini. Maka dari itu, mereka masing-masing menjelaskan cerita ini pada keluarga mereka, sambil memperlihatkan sihir sungguhan untuk menjelaskan kebenarannya.
“Kami tidak tahu pasti seperti apa perlakuan terhadap kami di sini, tapi yang jelas pasti akan ada pemeriksaan dan interogasi,” lanjut Hajime.
Saat itu, ia juga sempat mempertimbangkan untuk mengatakan kebenaran apa adanya, lalu membiarkan pihak berwenang mengira bahwa mereka adalah “anak-anak malang yang terjebak dalam khayalan.”
Kalau akhirnya yang diprioritaskan adalah perawatan psikologis ketimbang penyelidikan, itu justru bisa dibilang keberuntungan.
Namun, jika terus berbicara tentang kebenaran seperti itu, justru bisa menjadi bukti bahwa mereka mengalami gangguan mental.
Kalau memikirkan masa depan, jelas itu bukan langkah terbaik.
Apalagi, bukti keberadaan sihir atau dunia lain…
Mereka sama sekali tidak punya keinginan untuk “meminta orang lain percaya pada pengalaman dan kemampuan luar biasa mereka.” Bahkan memperlihatkan sihir pun dianggap sebagai langkah buruk yang tidak akan mereka ambil. Itu adalah keputusan yang diambil dengan suara bulat.
Tentu saja. Membuktikan keberadaan dunia lain akan menimbulkan kekacauan besar. Sampai ke tingkat di mana negara-negara di seluruh dunia akan bergerak.
Siapa yang mau berada di pusat pusaran kekacauan seperti itu, setelah berhasil kembali hidup-hidup dari pertempuran yang mengancam nyawa? Tidak ada satupun teman sekelas yang menginginkannya. Hal yang sama berlaku untuk keberadaan sihir—itu pasti akan membawa masalah besar.
Justru karena itulah…
“Yang terbaik adalah memberikan kesan bahwa ini adalah kejadian yang cukup masuk akal, tapi cukup tidak masuk akal juga. Cerita seperti itu lebih mudah membuat orang percaya lewat sihir interferensi persepsi dibandingkan mengatakan kalau kami bertarung melawan dewa jahat di dunia fantasi dengan pedang dan sihir.”
Diceritakan bahwa mereka diculik, dikendalikan dengan hipnosis atau sugesti, sehingga kesadaran mereka dibatasi, dan kenangan selama masa penculikan pun kabur.
Kabarnya, ada sekelompok orang yang menyerang fasilitas karantina itu, dan ketika mereka sadar, tahu-tahu sudah kembali ke kampung halaman.
Pasti kelompok itulah yang membebaskan dan mengantar mereka kembali.
Karena sudah jelas tidak mungkin semua orang bisa benar-benar menyamakan cerita secara sempurna, maka selebihnya mereka menggunakan sihir atau artifak sesuai kebutuhan untuk membuat pihak-pihak terkait percaya pada cerita palsu tersebut.
“...Fufu, jadi, dengan begitu, namaku adalah Yue Avatarl, ya?”*
“Ya. Daripada asal-asalan menentukan nama, pakai nama keluargamu yang asli lebih baik, kan?”
“...Padahal pakai Nagumo juga tidak apa-apa. Aku ini istrimu.”
“Itu kalau secara hukum kita sudah menikah, kan? Nama keluargamu yang lama bisa dijadikan nama tengah juga nanti.”
“...Hm. Aku tunggu, ya.”
(*TL Note: Nama Asli Yue = Aletia Galdea Vespiritio Avatarl :v)
Meskipun tak terlihat karena tertutup sandaran sofa, kaki Yue tampak bergerak-gerak dengan gembira.
Sumire diam-diam menyelinapkan ponsel dari samping dan memotret mereka.
Bukankah dia terlalu tergila-gila pada menantunya sendiri? Meskipun Hajime mengerti perasaannya, sebagai anak, dia ingin berkata: “Jangan sembarangan motret keluarga sendiri diam-diam.”
Bagaimanapun juga, sekarang soal status Yue dan yang lainnya.
“Diriku dan yang lain memang lahir di Jepang dan punya catatan kelahiran serta masuk dalam sistem keluarga negara… itu namanya ‘koseki’, bukan? Tapi sejak kecil, kami dibesarkan di sebuah fasilitas tertutup. Begitu ceritanya, bukan?” (“Koseki” (戸籍) dalam bahasa Jepang berarti “daftar keluarga” atau “kartu keluarga”)
“ Dan Btw, pasti fasilitas itu juga punya hubungan rahasia dengan organisasi okultisme itu, ya kan~? Tempat yang fungsinya membesarkan anak-anak yang dianggap ‘berbakat’ guna kemudian dikirim ke luar negeri.”
Dari ambang pintu dapur, Shea tiba-tiba mengintip dan menambahkan penjelasan. Rupanya dia mendengarkan pembicaraan ini sambil mencuci piring. Setelah bicara, dia langsung masuk lagi dengan cepat.
“Yah, kurang lebih seperti itu. Soalnya memalsukan dokumen kependudukan luar negeri itu repot banget. Jadi ini cara paling gampang buat nyusun ‘latar belakang’ mereka.”
“Aku jadi merasa agak nggak enak sama kantor catatan sipil… Tapi beneran tidak ada efek samping atau semacamnya, kan?”
Tatapan tajam dari Sumire sang ibu langsung menancap ke arah Hajime.
Untuk menyiapkan bukti bahwa Yue dan yang lain memang lahir di Jepang, mereka terpaksa menggunakan sihir untuk mempengaruhi para petugas yang berwenang. Memang tidak terpuji, tapi lebih meyakinkan kalau yang membuat dokumen adalah para profesional dengan akses langsung ke sistem resmi, lalu memasukkannya lewat jalur yang tampak legal.
“Kami menggunakan Artefax sugesti spesial buatan yang juga diawasi langsung oleh Yue. Jadi aman, Bu. Lagipula, sebagai permintaan maaf, kami juga sekalian menyembuhkan penyakit-penyakit kronis mereka menggunakan Restoracy Magic.”
“Serius? Kalau begitu ya… yah…tidak apa-apa...”
“Sekarang para petugas kantor catatan sipil itu semuanya dalam kondisi super sehat. Sebenarnya ini cukup jadi pembicaraan, Cuma ketutupan karena hebohnya kasus kami.”
“Kalian ngapain aja sih!? Kukira hanya satu dua orang!”
“Waktu itu Aku sedang memikirkan cara minta maaf yang pantas, lalu Kaori memberikan ide. Karena waktunya mepet dan ribet juga, ya sudah… Aku menggunakan sihir area dari langit. Sampai diabetes pun sembuh. Sekarang kantor itu dipromosikan habis-habisan oleh bagian humas kota sebagai ‘tempat suci baru!’”
“Birokrasi Jepang… luar biasa tangguh, ya.”
Bagaimanapun juga, ceritanya adalah bahwa Yue dan istrinya yang lain (yang made in isekai) juga kebetulan dikirim ke fasilitas isolasi luar negeri yang sama, sehingga bisa pulang bersama Hajime.
Namun, fasilitas tempat mereka dahulu berada di Jepang sudah tidak ada lagi, dan mereka pun tidak punya keluarga. Karena itu, mereka sekarang tinggal di rumah keluarga Nagumo—rumah Hajime yang mereka percayai.
Kalau mereka dibuatkan kewarganegaraan asing secara sembarangan, nanti malah muncul masalah seperti status imigrasi ilegal.
Meski catatan administratif bisa dipalsukan, menciptakan “ingatan” orang-orang sekitar tentang keberadaan Yue dan yang lainnya di Jepang sebelumnya adalah hal yang mustahil.
Karena itulah, latar belakang seperti itu adalah yang paling praktis dan minim kerepotan.
Meski begitu, tentu saja tidak mungkin semuanya berakhir indah hanya dengan menuduh organisasi okultisme fiktif, menjaga eksistensi Yue dan yang lain sebisa mungkin, dan sesekali memaksa penerimaan masyarakat dengan sihir. Dunia tidak semudah itu.
Kenyataannya, internet sudah seperti pesta tiap hari.
Spekulasi liar beredar bebas, lalu diperlakukan seolah itu fakta, kemudian dipelintir dan disebarluaskan lebih jauh lagi.
Kalau hanya sebatas “Mereka pasti dipanggil ke dunia lain!” dan kebetulan benar, itu masih bisa ditoleransi. Tapi internet itu semacam rimba belantara—tempat di mana perwujudan niat jahat dan dengki berkeliaran seperti ikan yang kembali ke air, dan tentu saja gelombang hujatan serta fitnah pun datang membanjiri.
“...Orang-orang yang berdatangan seperti tikus itu benar-benar menjengkelkan. Kebanyakan tidak tahu sopan santun dan seenaknya saja,” ujar Yue dengan nada kesal.
“Yue, terima kasih... Karena kamu, rumah tetap aman selama aku tidak ada.”
Serangan tiba-tiba dari media—hanya mengingatnya saja, sudah membuat Hajime kesal.
Rumah teman-teman sekelas, sekolah, rumah kakek-nenek di desa, para kerabat, tetangga, bahkan tempat kerja mereka pun jadi sasaran.
Tentu, beberapa jurnalis juga ada yang benar-benar sopan, tahu diri, dan berusaha membuat janji temu dengan cara yang layak serta penuh pertimbangan. Tapi… tetap saja, jumlah mereka terlalu banyak.
Bahkan sopan santun pun kalau menumpuk terus bisa jadi kebisingan.
Di televisi, laporan terus-menerus ditayangkan. Acara spesial bermunculan di mana-mana. Bahkan media luar negeri ikut meliput dan menjadikan ini bahan perbincangan hangat. Benar-benar kegilaan media yang luar biasa.
“Katanya, ‘Gosip’ hanya bertahan tujuh puluh lima hari. Jadi kupikir, kalau kita terus pakai penghalang dan sihir pengaburan persepsi, lama-lama suasana pasti tenang juga…”
Teman-teman sekelas pun diberi artefak pengaburan persepsi agar bisa bertahan menghadapi keramaian itu masing-masing.
Tapi tetap saja, dunia informasi saat ini terlalu mengerikan. Perlindungan itu tak cukup.
Bahkan setelah kepolisian mengeluarkan pernyataan resmi yang memperkuat cerita rekayasa mereka, bukannya mereda, justru makin menjadi-jadi—seolah itu bahan bakar baru untuk spekulasi liar.
“Hatayama-sensei—eh, maksudku, seperti anak-anak lain juga bilang… harusnya aku sebut Ai-chan ya. Dia pasti juga sangat kewalahan… Bagaimana kabarnya, dia baik-baik aja?”
Nada suara Shuu dipenuhi dengan kekhawatiran yang tulus.
Hajime sudah memperkenalkan Aiko secara resmi sebagai bagian dari “Keluarga Baru” mereka, juga Kaori dan Shizuku, kepada orang tuanya.
Saat pertemuan pertama mereka, sikap malu Aiko benar-benar luar biasa...
—"Sebagai seorang guru, saya mohon maaf karena telah menyentuh anak Anda, murid saya sendiri!"
Kalimat pertamanya bukan sapaan, melainkan permintaan maaf. Ia bahkan langsung melakukan dogeza (sujud minta maaf) yang begitu indah dan sempurna.
Keluarga Nagumo sendiri cukup terkenal dengan dogeza mereka. Mereka benar-benar percaya bahwa kalau terjadi masalah, sebaiknya lakukan dogeza yang begitu hebat sampai lawan bicara terdiam karena kaget.
Bahkan Shuu dan Sumire—dua “master dogeza”—mereka mengakui dogeza Aiko yang bisa dikatakan sempurna. Sebuah wujud dari perasaannya yang tulus.
Dan karena keduanya juga merupakan orang tua yang bergelar Otaku Legend (Wibu Sepuh) yang sangat menyukai tema “cinta terlarang antara guru dan murid”, tentu saja mereka tidak melihat itu sebagai masalah. Bahkan sebaliknya, mereka sangat menyambutnya.
Jadi, kekhawatiran yang dimaksud Shuu bukanlah soal Aiko sebagai menantu, melainkan hal lain.
“Dia orang yang sangat, bahkan mungkin terlalu serius. Aku benar-benar menghargai keberaniannya yang mau berdiri di garis depan, dan aku bersyukur karena dia berusaha keras melindungi kalian semua—termasuk kau, Hajime—dari tekanan masyarakat…”
Aiko adalah orang dewasa. Satu-satunya dari mereka yang “diculik” dalam insiden itu.
Dan juga seorang guru. Sosok yang punya tanggung jawab untuk melindungi muridnya.
Karena itulah, dialah yang paling menarik perhatian, yang menanggung beban terbesar, dan yang paling banyak diserang oleh kebencian serta prasangka masyarakat. Itu semua sudah tak terelakkan lagi.
Pemeriksaan yang berlangsung setiap hari dari pihak kepolisian, pihak sekolah, hingga otoritas pemerintah tentu saja merupakan hal yang berat. Namun, yang lebih parah adalah tatapan tajam dari masyarakat umum dan media. Bahkan, istilah “berada di atas ranjang penuh duri” terasa terlalu ringan untuk menggambarkannya.
“Myu~. Kenapa Aiko-onee-chan malah jadi orang jahat? Myuu sama sekali nggak ngerti, nano.
Orang bodoh memang banyak ya, nano.”
“Haha, iya… benar begitu.”
Dengan hiasan rambutnya yang bergoyang lucu, Myuu memperlihatkan gaya rambut kuncir dua yang telah dirapikan oleh Tio. Meski sedang memamerkannya, ia tetap menyilangkan tangan di dada dan mengembungkan pipinya, menunjukkan kemarahan yang jelas.
Tio menepuk kepala Myuu dengan lembut, mencoba menenangkannya. Sementara itu, Yue dan yang lain menatap gadis kecil itu dengan penuh kasih.
“Kambing hitam, ya... Benar-benar seperti yang Myuu-chan katakan,” ucap Sumire sambil menyilangkan tangan dan mengangguk dalam-dalam.
Ya, kambing hitam.
Mengapa harus Hajime dan teman-temannya? Mengapa penculikan terjadi di siang bolong, di sekolah? Bagaimana cara mereka diculik? Banyak misteri dalam insiden ini yang belum terpecahkan. Bahkan pelakunya pun tidak diketahui. Beberapa murid juga tidak berhasil kembali.
Karena itulah, masyarakat butuh pelampiasan. Mereka mencari seseorang yang bisa mereka salahkan, tempat di mana mereka bisa memuaskan hasrat untuk merasa “benar” dan menuntut tanggung jawab sepuasnya.
Dan sayangnya, yang terpilih menjadi sasaran itu adalah Aiko.
“Kalau saja Aiko lebih bertanggung jawab, mungkin penculikan itu bisa dicegah.”
“Mungkin mereka bisa dibawa pulang lebih cepat.”
“Kenapa selama satu tahun tidak ada laporan lokasi mereka?”
Komentar seperti itu bertebaran di mana-mana.
Niat jahat, kesenangan penuh rasa ingin tahu yang bengkok, dan rasa “diperlukan”—semua itu bersatu menyerang Aiko tanpa ampun.
“Aku benar-benar senang dia tidak sampai berhenti jadi guru,” ujar Sumire sambil menghela napas lega.
“Tidak mungkin aku membiarkannya,” sahut Hajime dengan nada keras, alisnya berkerut saat mengingat masa itu.
Gempuran kecaman keras yang tak henti-hentinya setiap hari, pandangan dingin dari masyarakat.
Di tengah badai yang bahkan bisa membuat orang biasa menjadi sakit jiwa, Aiko tetap tegar.
Pengalamannya yang intens di dunia lain, mental yang telah ditempa melewati berbagai medan pertempuran—hal seperti itu tak akan mampu menggoyahkannya.
…Meskipun, saat-saat dirinya mulai tertekan, dia menenangkan diri dengan menggunakan Soul Magic untuk menjaga kestabilan jiwanya.
Namun, ada satu hal yang sudah ia siapkan dalam hatinya—jika ia benar-benar menjadi kambing hitam, dipaksa memikul tanggung jawab yang tak pernah ada, serta menanggung nama buruk yang tidak adil… Maka ia pasti…
Ya, ia pasti tidak akan bisa terus menjadi seorang guru.
Mungkin, suatu saat ketika keadaan sudah mereda, dia bisa kembali mengajar di sekolah kecil yang jauh di pelosok—di mana tak ada yang mengenalnya. Kembali ke sekolah lamanya pasti sudah mustahil.
Aiko sudah siap menerima kenyataan itu.
Karena muridnya bukan hanya Hajime dan kawan-kawan.
Ada murid lain yang masih bersekolah sekarang, ada juga para staf sekolah yang harus tetap melanjutkan aktivitas mereka. Ia tidak ingin menjadi beban bagi mereka.
Dengan menerima semua tanggung jawab dan memilih mundur, ia bisa memberikan masyarakat sebuah bentuk “penjelasan”, dan jika itu membuat sekolah serta para murid bisa hidup lebih tenang—itu sudah cukup baginya.
Selalu dan selamanya menomorsatukan murid. Aiko memang tidak pernah berubah.
Itulah sebabnya...
“Lalu, kembali ke topik awal,” ujar Sumire.
“Cerita soal sihir melalui media itu, kan? Maksudnya bagaimana itu?” tanya Shuu sambil mengernyitkan dahi.
“Singkatnya, kami mencuci otak seluruh umat manusia di dunia.”
“Apa katamu?”
“Apa barusan yang kamu bilang?
Shuu dan Sumire kompak menangkupkan tangan ke telinga, seolah tak percaya apa yang mereka dengar.
Untaian tawa pun langsung pecah dari Yue dan Tio.
“Pada dasarnya, prinsip nya sama dengan ‘Divine Word’ milik Yue. Sihir yang mengendalikan jiwa seseorang secara langsung.”
Itu adalah salah satu teknik ilahi milik Ehiteruje, musuh bebuyutan mereka dulu.
Sebagai semacam kompensasi dari “kerasukan” kala itu, atau mungkin bentuk dari tekad tak akan jatuh miliknya, sekarang Yue bisa menggunakan semua sihir tingkat ilahi yang dulunya digunakan oleh Ehit (Divine Magic).
Sebenarnya, alasan kenapa para anggota kelompok dari dunia lain tak kesulitan berkomunikasi dengan bahasa dunia ini adalah karena Yue telah menanamkan kemampuan pemahaman bahasa langsung ke jiwa mereka—termasuk miliknya sendiri dan Shia.
“V!”
Dengan wajah penuh percaya diri, Yue membentuk tanda ‘peace’ sambil bergaya.
Imut sekali. Kamera Sumire mulai sibuk beraksi…—eh, Yue-nya langsung menatap ke arah kamera!? Bahkan sempat melempar wink! ‘Bachikon!’ *sfk mengedipkan mata
‘Anak ini! Dia bisa fan service juga!? Anak yang berbahaya!!’
Ekspresi Sumire berubah seolah menemukan idol baru favoritnya. Suara jepretan kamera beruntun sepertinya tak akan berhenti untuk sementara waktu.
Meskipun Shuu telah memahami kalau Yue sudah menggunakan sihir kelas dewa yang luar biasa berbahaya, ia tetap menatap Hajime seolah berkata “lanjutkan ceritanya.”
Ia sempat melirik sekilas kelakuan istrinya dan menggelengkan kepala ‘Istriku sudah tak ada harapan. Dia sudah jadi budak menantunya...’
“Ehem. Aku membuat Artefax berskala super besar untuk interferensi persepsi, yang memungkinkan efek 'Divine Word’ ditransmisikan lewat gelombang radio. Lalu memasangnya di berbagai menara pemancar.”
Ngomong-ngomong, teman sekelas mereka juga lari ke sana kemari demi urusan ini. Semangat mereka benar-benar seperti, “Kami akan melakukan apa saja demi membantu Ai-chan-sensei!”
Sampai-sampai salah satu dari mereka, Sang Abyss Lord—sebut saja begitu—membuat beberapa klon dirinya dan menyusup ke banyak stasiun TV secara bersamaan, melakukan aksi sabotase di sana. Bisa dibilang, sekarang dia mungkin adalah orang yang paling paham struktur dalam stasiun TV di seluruh dunia.
-
Ketika suara khas sindrom chuunibyou yang terdengar seperti—“Fuhahaha! Kami adalah pasukan garis depan Raja Iblis Kegelapan yang datang dari balik bayang-bayang—” muncul di beberapa siaran langsung dari stasiun yang berbeda pada waktu yang sama, orang-orang di internet membicarakannya dengan heboh:
“Fenomena spiritual!?”
“Anomali apalagi ini!?”
“Raja Iblis!? Demon Lord Nobunaga!? Apa jangan-jangan ini roh samurai yang mati di medan perang?
“Arwah para Prajurit Kuno telah bangkit!?”
(Awokawokawok, apa ini anjirrrr! Sasuga Abyss Lord :v)
-
Lanjut Hajime:
“Hanya dengan menonton televisi saja, kesadaran itu bisa tertanam dalam jiwa. Seperti, ‘Guru dan murid-muridnya juga korban! Organisasi okultisme misterius itu tidak bisa dimaafkan! Biarkan para penyintas hidup dengan tenang!’—semacam itu.”
““Uwaa…””
“Selain itu, aku juga membuat video dengan judul ‘Pengumuman Darurat! Akan Ada Pengumuman Penting!’ dan meminta Aiko untuk tampil di dalamnya. Isinya asal-asalan, tapi dampaknya jauh lebih kuat.”
Sebagai tambahan, video itu diunggah dalam berbagai bahasa dari seluruh dunia dengan memanfaatkan kemampuan “pemahaman bahasa”, sehingga menjadi viral bukan karena isi videonya, tapi karena orang-orang bertanya-tanya, “Berapa banyak bahasa yang bisa dia gunakan!?”
Berkat itu, jumlah penonton yang terus meningkat kini berbanding lurus dengan meningkatnya simpati orang-orang di seluruh dunia terhadap para penyintas di tingkat jiwa, sekaligus menciptakan kesadaran untuk tidak menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
(Penyintas=The Returnees)
“Kalau media dan sihir digabungkan, jadinya benar-benar kuat, kan? Kukuku.”
Sumire dan Shuu memegangi kepala mereka, ingin mengelus dada melihat putra mereka tersenyum licik. Pipi mereka pun tampak kaku.
“Jangan pasang wajah seperti itu dong. Masyarakat yang memperlakukan guru baik sebagai samsak demi perasaan mereka sendiri, memaksakan tanggung jawab yang tidak ada dan mencoba merasa puas—mereka yang salah. Kena batunya itu pantas.”
Lagipula, tidak ada satu pun yang menjadi korban. Justru, ini adalah tindakan pencegahan agar tidak ada yang menjadi korban, kata Hajime dengan bangga.
Tampaknya dia sama sekali tidak merasa bersalah karena telah memanipulasi kesadaran orang-orang di seluruh dunia. Bahkan dia tampak seperti ingin berkata, “Aku benar-benar sudah menahan diri, harusnya kalian berterima kasih.”
Tindakan yang dia lakukan sangat kejam, sungguh layak disebut sebagai Raja Iblis…
“...Ibu mertua, Ayah mertua. Motivasiku adalah demi kedamaian keluarga dan teman-temanku!”
Yue mengepalkan kedua tangannya erat-erat dan berbicara dengan penuh semangat. Sepertinya dia berusaha membela Hajme, setidaknya sedikit.
“Y-ya, benar juga. Memang, reaksi terhadap Aiko-chan benar-benar keterlaluan.”
“Keluarga lain juga bilang mereka merasa terbantu.”
Karena Media yang sangat panas itu tiba-tiba mereda secepat air pasang yang surut, keluarga dari para siswa yang kembali pun mulai menyadari ada sesuatu, dan terlihat agak kikuk menanggapinya.
Ngomong-ngomong, berkat berbagai upaya lainnya juga, sepertinya Hajime dan yang lainnya akan bisa kembali bersekolah.
Meski begitu, masih banyak masalah yang harus diselesaikan—seperti bagaimana mempertimbangkan perasaan siswa lain dan keluarga mereka, serta bagaimana menangani kurikulum yang belum ditempuh selama mereka hilang.
Jadi, sepertinya belum bisa dilakukan dalam waktu dekat.
Rencananya adalah sekitar satu setengah bulan lagi—pada bulan Desember. Ini adalah hasil dari kompromi antara suara masyarakat yang menginginkan “Anak-anak yang kembali segera menjalani kehidupan normal!” dan kekhawatiran dari pihak sekolah.
Memang, mereka akan langsung masuk di waktu libur musim dingin nanti, tapi justru karena itu pihak sekolah melihatnya sebagai kesempatan untuk melakukan “uji coba”.
Dengan kata lain, sampai saat itu, status mereka secara resmi adalah “dalam masa pemulihan”, tapi bagi Hajime dan yang lain, itu berarti waktu bebas.
“Baiklah. Waktu bersantainya cukup sampai disini saja, sekarang saatnya mulai bertindak.”
Melihat kedua orang tuanya tampak sudah menerima keadaan dan duduk kembali di kursi, Hajime pun meregangkan tubuhnya sambil menguap panjang. Setelah menghabiskan tehnya, ia berdiri. Waktunya menggunakan waktu bebas yang akhirnya bisa ia dapatkan dengan sebaik-baiknya.
Mata Myuu bersinar cerah. Ia mencondongkan tubuh ke depan sambil menumpukan tangan di atas meja.
“Menata kamar!? Akhirnya kita akan menata kamar Myuu!?”
“Eh? Bukan, itu kamar untuk ku.”
“Kamar Myuu dan Papa!?”
“Bukan, itu kamar Papa, ya.”
Pipi Myuu menggembung dengan kesal.
“...Hajime, aku ingin kamar yang bersebelahan dengan kamarmu. Buatkan pintu di dalam supaya bisa keluar-masuk. Atau nggak usah pakai pintu deh. Malah, mendingan sekalian satu kamar aja.”
“Lho, bukankah aku sudah bilang kalau kamar lantai dua punyaku itu akan ku berikan padamu?”
“Goshujin-sama, kamar tidur harap cukup besar, setidaknya King-Size. Dan juga, aku ingin memasukkan kuda-kudaan kayu dan tiang besi, jadi pertimbangkan juga soal itu—”
“Kamu itu mau ngapain di ruang bawah tanah rumah, hah? Atau maksudmu aku yang harus melakukan itu? Dasar Naga Bejat.”
“Hajime-san! Aku ingin arena latihan! Tolong lantainya pakai tatami, ya! Aku sangat terinspirasi dengan keragaman seni bela diri di bumi! Aku akan menguasai semuanya lewat tutorial Yutub!”
“Makanya, untuk kamu dan Tio, aku sudah bilang akan memberimu ruang kerja ayah dan ibu di lantai dua—”
“U-um, Hajime-san... aku mau ruang kedap suara dan TV, boleh?”
“Remia… itu untuk nonton drama siang hari, ya? Mukamu sangat merah, kamu minta yang aneh-aneh.”
“Hajime, kalau Ayah ingin—”
“DIAAMM!!!”
Permintaan-permintaan yang dilontarkan seenaknya terus berdatangan.
Nah, sebenarnya mereka sedang membahas soal masalah jumlah kamar.
Rumah keluarga Nagumo memang cukup besar. Ayah dan ibu, Shuu dan Sumire, adalah tipe otaku yang cukup sukses dan berpenghasilan lumayan, jadi saat membangun rumah mereka, tentu saja mereka mempertimbangkan hobi (yang juga pekerjaan) mereka.
Karena itulah, rumah keluarga Nagumo memiliki kamar tidur utama di lantai satu untuk pasangan suami istri, dan empat ruangan di lantai dua: kamar anak, ruang kerja Shuu, ruang kerja Sumire, dan ruang penyimpanan barang koleksi.
Namun, dengan lima anggota keluarga baru yang bergabung, rumah itu tentu tak lagi terasa luas.
Saat ini, ruang kerja dan gudang penyimpanan yang telah “dibersihkan” menggunakan ruang penyimpanan ajaib (Space Inventory) sementara dijadikan kamar darurat.
Lalu Yue, Shea, Tio, Remia dan Myuu masing-masing tinggal di ruangan-ruangan itu. Sisa satu ruangan dijadikan kamar tamu, untuk Kaori dan Shizuku yang sering bermalam.
“Apa-apaan sih, Hajime! Mau menikmati romantisme punya kamar pribadi di bawah tanah sendirian? Jahat banget. Konsep berbakti pada orang tua itu udah hilang dari dirimu ya?”
Sumire, sang ibu, pura-pura menangis sambil berteriak “yoyoyo~”, dan Yue pun ikut-ikutan berkata, “Ibu mertua… Hajime, kau jahat sekali.”
“Lho, aku kan justru mau menyelesaikan masalah jumlah kamar ini, dengan membangun kamar bawah tanah secara ilegal dan sepihak. Kalau semuanya malah ikut pindah ke bawah tanah, terus gunanya apa?”
Ya, itulah rencana darurat Hajime untuk menyelesaikan masalah kekurangan kamar sementara ini.
Dan akhirnya, hari ini, setelah semua kekacauan sebelumnya selesai, saatnya mewujudkan rencana lama itu: membangun ruang bawah tanah.
Dengan mempertimbangkan pencahayaan alami, seluruh kamar di lantai dua akan dialokasikan untuk Yue dan yang lainnya. Sementara itu, kamar pribadi Hajime, ruang kerja kedua orang tuanya, serta gudang koleksi juga direncanakan untuk dipindahkan—ke lantai bawah tanah dua tingkat.
“Kalau kau pikir bisa mengelabui mata Ayah, kau salah besar. Kau pasti ingin membuat ruangan-ruangan rahasia dan sebagainya, kan?”
Hajime langsung mengalihkan pandangannya. Tepat Sasaran. Memang benar—dia sebenarnya berencana membangun Bengkel Transmutasi dan semacamnya, sebagai persiapan untuk berbagai rencana ke depannya ketika keadaan sudah tenang.
“Ruang rahasia di balik rak buku yang bisa diputar, ruangan darurat—itu ‘kan impian semua orang! Ayah juga mau punya kamar keren! Ayo, tolong buatkan juga, ya! Bikinin, dong!”
“Apakah Anda seorang anak kecil?”
“Ibu juga mau, lho. Ibu ingin punya kamar mandi ala Thermae ○ Romae!* Kalau kamu nggak buatkan, Ibu bakal gambar doujin tipis dengan kamu sebagai Character nya! Ibu bakal tuangkan kemampuan profesional Ibu sepenuhnya!”
“.....Parah”
*(Thermae Romae : Manga tentang Onsen bergaya campuran Romawi Kuno & Jepang Modern)
Jika menyangkut hal-hal menyenangkan dan menarik, keluarga Nagumo memang selalu totalitas—baik dalam arti positif maupun negatif. Mata Ayah Shuu dan Ibu Sumire pun kini bersinar terang seperti anak kecil yang menantikan hadiah Natal.
Tentu saja, mata Yue dan yang lainnya juga bersinar-sinar penuh harapan dan semangat.
Dikepung oleh tatapan penuh kilau seperti cahaya bintang dari segala arah, Hajime sempat sedikit mundur…
Namun, bagaimanapun juga, dia adalah putra dari keluarga Nagumo. Setelah hening sejenak, ia berkata:
“...Yah, ruang bawah tanah sebanyak apa pun sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Kalau sudah begini, ayo kita wujudkan! Ayo kita buat ruang bawah tanah impian yang memenuhi harapan semua orang!”
“““Waaーーーーーiiiii””” (horeee!)
Jawaban polos itu datang dari Yue, Shea, Tio, dan Myuu. Dan yang sangat jarang terjadi, juga dari Remia. Mereka semua tampak sangat senang dengan senyum lebar di wajah mereka, sambil mengangkat kedua tangan ke atas.
Namun, yang sebenarnya membuat Yue dan yang lainnya benar-benar bahagia bukanlah karena keinginan mereka akan terkabul, melainkan—
“Aku tahu kamu pasti akan bilang begitu! Itulah sebabnya, cetak biru nya sudah siap!”
“Lihatlah, tata letak sempurna ini. Kami sudah memasukkan semua pendapat kalian, tapi tetap menyisakan sedikit sentuhan unik supaya saat ada tamu datang, mereka akan berpikir, ‘Rumah ini… ada yang aneh…’, dan merasa ada yang janggal secara tidak sadar!”
“Ayah, Ibu... kalian memang luar biasa. Aku benar-benar terkesan!”
““Ah, sudahlah kau ini~””
Pasti pemandangan itu adalah Hajime yang tersenyum gembira, dipeluk dari kedua sisi oleh kedua orang tuanya.
Senyuman yang tak pernah terlihat saat di Tortus, bahkan terlihat polos dan lugu.
Senyuman yang bisa dibilang kekanak-kanakan itu, entah kenapa terasa sangat membahagiakan.
Ah, begitu ya—saat itu Hajime menyadarinya.
Sebelum dipanggil ke dunia lain, hari-harinya selalu seperti ini, dan hari-hari seperti itulah yang sangat berharga.
Karena memiliki orang tua seperti mereka, dia bisa yakin bahwa mereka pasti terus mencarinya.
“Jadi, itulah alasan dia begitu bersikeras ingin pulang,”
“Karena dia ingin mendapatkan kembali kehidupan sehari-hari seperti ini,”
“...Hmm? Yue, Shea, Tio... Ada apa? Myuu dan Remia juga?”
Saat Mereka hendak meninggalkan ruang tamu, Hajime menyadari bahwa Yue dan yang lainnya berhenti melangkah. Dari belakang, mereka memandangi keluarga Ceria itu dengan ekspresi manis dan bahagia, seolah-olah sedang menikmati madu.
Menangkap pandangan itu, Hajime menoleh ke belakang dengan heran.
“Ayo, cepat kemari,”
Melihat Kekasih tercinta mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar.
Di kedua sisinya, ayah dan ibu yang menunggunya dengan kehangatan bagaikan sinar matahari.
Yue dan yang lainnya saling berpandangan. Tak lama, mereka tersenyum lembut secara bersamaan, lalu berkata:
“…Hm! Kami datang.”
“Yaa!”
“Fufu, ini akan jadi kegiatan keluarga pertama kita bersama, ya!”
“Myuu juga mau lihat denahnya, kakek!”
“Aduh aduh♪ Myuu, jangan lompat begitu, kamu tidak perlu menerjangnya juga”
Dengan kebahagiaan dan keceriaan yang tulus dari lubuk hati, mereka pun berlari mendekat.
Post a Comment