NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Arifureta Shokugyou de Sekai Saikyou: After Story V14 Chapter 7

 Penerjemah: Ariel Yurisaki

Proffreader: Ariel Yurisaki


Chapter 07:

Kehidupan Sekolah yang Tak Bisa Disebut Biasa


Sekitar pertengahan bulan Desember.

Di pagi hari sekali, kawasan perumahan dipenuhi udara dingin dan jernih, dengan langit biru cerah tanpa satu pun awan.

Tiba-tiba, suara benturan keras “GASHAN!” terdengar, diikuti oleh teriakan kesakitan, “Gupeh!?”

“…Hajime? Kamu dengar nggak?”

“Ah, iya. Aku dengar, Yue.”

Yue yang berjalan di samping Hajime dengan langkah teratur dan ritmis tampak sedikit kesal, pipinya menggembung cemberut.

Karena perbedaan tinggi badan, Yue harus mendongak untuk menatap Hajime, dan meskipun Hajime sudah sering melihat tatapan seperti itu darinya, detak jantungnya tetap saja melompat sesaat.

Akibatnya, insiden yang baru saja terjadi — seorang pegawai kantoran yang sedang berangkat kerja dengan sepeda menabrak tiang listrik karena melihat ke arah lain — lenyap begitu saja dari pikirannya.

Yue melangkah maju dengan cepat dan kemudian berputar anggun di tempat.

Rambut emasnya berkibar ringan dan berkilauan seolah menerima berkat dari cahaya matahari pagi, dan roknya yang juga berputar menyingkap area paha putih yang menggoda, menonjolkan apa yang disebut sebagai “zona terlarang” dengan sangat mencolok.

Sekali lagi terdengar teriakan, “Dowah!?” Seorang siswa dari sekolah lain tampaknya tersandung masuk ke selokan.

Namun, Hajime yang sudah terpesona oleh Yue yang menatap lurus ke arahnya sambil berjalan mundur, tak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun.

“Berjalan mundur itu berbahaya, tahu?”

“…Hm. Tapi, dengan begini kita tetap ada dalam pandangan satu sama lain.”

Ekspresi Yue yang biasanya datar dan bermata sayu sedikit berubah.

Senyuman lembut yang menghiasi wajahnya membuat Hajime merasa seperti mengalami déjà vu, sampai-sampai ia lupa berkedip sejenak.

...Seorang pegawai kantor pos yang melintasi sisi Hajime tampaknya juga merasa “tergugah” oleh pemandangan itu. Suara rem mendadak menggema, dan ia berhenti hanya beberapa sentimeter dari mobil yang parkir di pinggir jalan. Hentian drift yang sangat mengesankan.

“…Hajime?”

Yue sedikit memiringkan kepalanya melihat sikap Hajime yang aneh.

Menyadari apa yang membuatnya merasa familiar, Hajime bergumam, “Mimpi itu akhirnya jadi kenyataan, ya.”

Mendengar gumaman itu, Yue kembali memiringkan kepalanya ke arah sebaliknya, menandakan rasa penasarannya.

Gerakan itu begitu menggemaskan, membuat Hajime harus menahan diri sekuat tenaga agar tidak langsung memeluknya.

Di saat yang sama, seorang siswi yang berjalan dari jalan sebelah tiba-tiba menutupi hidungnya dan berjongkok. Dari celah tangannya, tetesan cairan merah bahagia menetes ke tanah.

Dengan suara kecil, siswi itu bergumam, “Be... bertemu lagi hari ini... Dia beneran kayak malaikat...”

Karena dia terus-menerus mengalami kebocoran kebahagiaan merah di tempat yang sama selama beberapa hari terakhir, tampaknya itu bukan pertanda gangguan kesehatan serius.

“Dulu, aku pernah melihatmu berjalan mundur seperti itu dengan pakaian itu.”

“…Hm? Aku pernah melakukannya?”

“Tidak, ini pertama kalinya di dunia nyata. Tapi… agak malu mengakuinya…”

“Di labirin besar di Haltina.”

“…Ah. Fufu. Jadi kamu memimpikannya?”

“Jangan ketawa.”

Hajime berpaling dan menggaruk pipinya dengan malu.

Meskipun sekarang mereka sudah menjadi pasangan, tetap saja terasa canggung untuk mengungkapkan detail dari mimpi dan keinginannya kepada orang yang ia cintai—justru karena mereka sudah sedekat ini.

Perasaan déjà vu yang dirasakan Hajime berasal dari sebuah ujian yang harus ia jalani di dalam labirin besar yang tersembunyi di dalam pohon raksasa Uralt.

Ujian itu adalah “melarikan diri dari dunia ideal dalam mimpi.”

Dalam mimpi Hajime, semua keputusasaan dan penderitaan yang ia alami di dasar neraka seolah tak pernah terjadi. Ia hidup dalam keseharian yang damai bersama orang-orang yang ia sayangi.

Dalam kehidupan damai itu, ia dan Yue berangkat ke sekolah bersama, seperti sekarang. Disinari cahaya matahari, tanpa konflik, tanpa rasa sakit, tanpa kecemasan—hanya hari-hari tenang berdua.

Ya, Yue mengenakan seragam sekolah almamater Hajime: blazer biru langit, dasi pita merah, rok sebatas lutut, dan sepatu loafers, melangkah dengan ringan sambil membawa tas sekolah di belakang.

Pemandangan yang kini ada di depan matanya, setelah semua penderitaan yang mereka lalui, adalah wujud nyata dari mimpi yang dulu pernah ia impikan.

“Kamu sudah terbiasa dengan sekolah?”

Saat Hajime mencoba mengalihkan topik pembicaraan, Yue mengangguk sambil masih menyisakan senyum di sudut bibirnya.

“…Hm, rasanya segar dan menyenangkan. Apalagi saat berangkat sekolah berdua denganmu.”

“Padahal rasanya nggak perlu repot-repot bikin jadwal bergiliran dan sampai naik kereta segala, ya. Lewat jalan pintas, naik sepeda malah bisa lebih cepat.”

“…Hajime nggak paham. Nilainya berangkat dan pulang sekolah berdua saja. Ini kesepakatan bersama, jadi tidak menerima bantahan.”

“Y-ya, itu benar… Tapi tetap saja…”

Setelah mereka diizinkan masuk sekolah kembali di awal bulan, Yue dan Shea sempat terlihat ragu-ragu, selalu menempel di sisi Hajime baik di sekolah maupun saat pergi dan pulang. Tapi itu hanya bertahan sekitar seminggu.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk terbiasa, dan bersama Kaori dan Shizuku, mereka menyusun jadwal bergiliran untuk bisa pergi dan pulang sekolah berdua saja dengan Hajime.

Sekarang baru masuk putaran kedua, tapi sepertinya program itu akan terus berlanjut. Mungkin ini hal yang jauh lebih menyenangkan bagi mereka daripada yang Hajime bayangkan.

Hajime sebenarnya bisa mengerti. Kesempatan untuk berdua saja dengan seseorang memang tidak sering datang, jadi waktu seperti itu tentu sangat berharga.

Namun, dalam kasus keempat gadis itu—terutama Yue—ada alasan yang cukup serius di balik keinginan tersebut. Jadi, kalau Hajime sampai tersenyum kecut sedikit, tolong maklumi saja.

“…Kamu nggak suka, berdua saja denganku?”

“Mana mungkin aku nggak suka.”

Ditanya dengan mata berkaca-kaca seperti itu, Hajime tentu tak punya pilihan selain langsung menjawab.

Meski pun saat itu, para pejalan kaki di sekitar mereka satu per satu mulai bertabrakan, jatuh, dan bahkan menyemburkan “kebahagiaan” dari hidung mereka.

Kalau Hajime pergi dan pulang sekolah berdua dengan Yue, hasilnya memang selalu seperti ini. Setelah mereka lewat, suasananya mirip bekas bencana alam.

Dan skill finger flick (sentilan jari) milik Hajime pun makin terasah karena harus “menaikkan ke surga” ponsel para orang tak sopan yang diam-diam memotret.

Hajime lalu mengeluarkan sepasang kacamata berbingkai merah dari sakunya dan dengan lembut memakaikannya ke Yue. Yue yang sekarang tampil sebagai “gadis berkacamata” hanya bisa berkedip bingung.

Sebenarnya Yue sudah memakai artifak penghalang pengenalan (agar tidak menarik perhatian), tapi entah kenapa, saat pergi dan pulang sekolah berdua seperti ini, efeknya sangat lemah.

Jadi Hajime menambahkan satu artifak baru. Gimana kalau digandakan efek penghalangnya? Begitu maksudnya.

GASHAN! KIIIK!—GOSHA! CHUIN!

“Ka-kawaii... bubuhh!? HIGIIIH!!”

Ternyata, “Yue berkacamata” malah makin menambah daya tariknya secara luar biasa.

“Hei, Yue. Jangan-jangan kamu diam-diam sudah menguasai sihir konsep ‘Charm’ (daya pikat) atau semacamnya, ya?”

“…?”

Dengan ekspresi penuh kekalahan, Hajime diam-diam melepaskan kacamata dari Yue.

Padahal ini sudah kekalahan kedua baginya.

Meskipun Hajime adalah seorang pencipta yang telah mencapai puncak tertinggi sebagai seorang Synergist—gelar Shinshou (Artisan Sejati)—kenapa dia tetap tak mampu menahan pesona Yue?

Pertanyaan itu sempat ia lontarkan ke Sumire sepulang sekolah sebelumnya. Dengan ekspresi polos, Sumire hanya menjawab enteng, “Itu karena kamu bersamanya, kan.”

Menurutnya, hal itu terjadi karena kebahagiaan Yue saat menghabiskan waktu berdua dengan orang yang dicintainya memancar tanpa batas.

Masa iya cuma karena itu? Pikir Hajime, tapi saat ia menatap Yue lagi...

“…Ada apa?”

Ia seolah melihat gelembung-gelembung berbentuk hati yang melayang dari seluruh tubuh Yue.

Begitu ya… ternyata Ibu memang tajam pengamatannya.

Sementara itu, tanpa terasa mereka telah sampai di depan stasiun, tempat orang-orang lalu-lalang dengan kesibukan pagi.

Yue kembali ke sisi Hajime dan, dengan gerakan yang alami, melingkarkan lengannya di lengan Hajime. Aroma manis yang lembut menggoda indra penciumannya.

Pada saat bersamaan, mereka mendapat tatapan tajam dari para petugas stasiun dan karyawan kantoran, seolah berkata, “Dasar, pamer pagi-pagi begini.”

Para pelajar bahkan lebih terang-terangan, menatap mereka seakan ingin meludah saking iri dan kesalnya.

“Yue, jangan jauh-jauh dariku, ya?”

“…Hm? Aku memang nggak pernah berniat jauh darimu. Untuk selamanya.”

Bukan, maksudku bukan itu…

Yue yang tampak melayang dalam kebahagiaan sepanjang waktu sepertinya sama sekali tak menyadari situasi di sekeliling mereka. Atau mungkin, dia memang sengaja tidak peduli.

Bagaimanapun juga, aura permusuhannya luar biasa.

Bagi Hajime, yang berusaha menjadi warga negara Jepang yang baik dan patuh aturan, ini sudah seperti ujian mental tersendiri.

Ia sampai harus menahan diri agar tidak secara refleks mengeluarkan Donner (senjata andalannya) dari Gudang Harta.

“Maksudku ‘jangan jauh-jauh’ itu karena tempatnya ramai.”

“…Hm, baik. Kalau begitu, aku akan lebih menempel lagi.”

“Bukan, maksudku bukan itu—… ah, sudahlah. Terserah.”

Yue pun langsung memeluk Hajime begitu erat sampai-sampai rasanya mustahil bisa berjalan normal. Wajahnya tampak sangat puas.

Hajime pun menyerah dan menerima saja semuanya.

Lagipula, begitu mereka berdiri di tempat biasa di peron stasiun, ritual pagi yang sudah menjadi rutinitas pun kembali dimulai.

Jelas sekali, banyak orang—baik pria maupun wanita—berkumpul di sekitar posisi di mana Hajime dan Yue biasanya naik gerbong.

Dari luar, mereka tampak sibuk membaca koran, melihat ponsel, atau menatap buku. Tapi dari sudut pandang Hajime, ia tahu betul bahwa tatapan mereka terus mencuri-curi pandang.

(Setiap pagi begini, mereka nggak bosen apa. Ini beneran Jepang, kan? Aura niat membunuhnya mulai terasa, loh… iya sih, mungkin wajar juga karena aku tiap hari pergi sekolah sama cewek yang berbeda.)

Di antara para ‘pengamat’ itu, mungkin ada juga yang penggemar Shea.

Beberapa suara kecil pun terdengar, seperti “Berani-beraninya mainin hati Shea-chan, dasar brengsek!”

Omong-omong, saat Hajime berangkat sekolah bersama Kaori atau Shizuku, ia juga akan menjemput mereka di rumah sebelum naik kereta—dan pada saat itu pun, situasinya kurang lebih sama.

Bagi siswa SMA biasa, itu pasti akan menjadi tekanan mental yang luar biasa—bahkan ungkapan “duduk di atas ranjau paku” pun tidak cukup menggambarkan betapa mengerikannya suasana tersebut. Tapi tentu saja, bagi Hajime, pria yang bahkan dipandang seperti raja iblis di dunia lain, hal seperti ini tidak berdampak apa pun. Hanya sedikit merepotkan, itu saja.

Ketika Hajime merasakan seorang pria kantoran di belakang mereka mulai mendekat terlalu dekat, ia pun merangkul pinggang Yue dan menariknya ke depan, menyembunyikannya dalam pelukannya dari arah belakang.

Kerumunan pun riuh seketika. Tatapan-tatapan mematikan pun meningkat dua kali lipat.

“…Nfufu. Terima kasih sudah melindungiku, Hajime♪”

“Hei, Yue. Gimana kalau kita hentikan aja naik kereta?”

Tentu saja, tidak mungkin ada orang berani berbuat mesum pada Yue. Tak ada satu pun yang akan lolos hidup-hidup jika berani menyentuhnya tanpa izin—Hajime takkan membiarkannya terjadi.

Namun begitu, tidak perlu juga kan setiap pagi mengacaukan emosi semua orang di sekitar hanya karena pesonanya yang luar biasa…

Itulah maksud tersirat dari ucapan Hajime, dan Yue pun menanggapi dengan “Hmm~”, seolah memikirkannya sebentar. Tapi kemudian, tiba-tiba ia mengangkat jari telunjuk dan berseru:

“…‘Semuanya, berhentilah memperhatikan kami~~’”

Dengan nada manis dan imut, sebuah gema aneh pun menggema, dan kekuatan tak kasat mata menyebar bagaikan riak ke seluruh stasiun.

Seketika, tatapan orang-orang yang sebelumnya terfokus pada mereka pun kehilangan cahaya—

Sesaat setelah itu, orang-orang yang sebelumnya menatap mereka tiba-tiba tersadar, lalu memasang ekspresi bingung seolah-olah mempertanyakan kenapa mereka berada dalam antrean panjang. Satu per satu mereka pun berpencar ke tempat lain.

“Gimana ya, ini benar-benar seperti ‘Holy Divine Word’ yang dijual murah besar-besaran. Kamu sebegitu inginnya naik kereta ke sekolah, ya?”

“…Hm. Kalau mengikuti gaya bicaramu, Hajime—ini soal romansa. Jadi, nggak bisa Aku kompromikan.”

“Kau benar-benar serius, ya. Ya sudah, Aku akan perbaiki kacamatanya lebih lanjut.”

“…Tetap kacamata, ya?”

“Iya, kacamata.”

Itu adalah hal yang juga tidak bisa dikompromikan oleh Hajime. Gadis berkacamata Yue—baginya adalah daya tarik utama. Itu adalah hal yang benar-benar bagus menurutnya.

Melihat ekspresi serius Hajime, Yue pun tak bisa menahan tawa.

Senyuman ceria dari gadis cantik bak boneka itu kembali menarik perhatian orang-orang di sekitarnya…

Namun semua tatapan itu langsung menghilang tanpa bekas, berkat “Holy Divine Word” yang diucapkan dengan mudah dan ringan oleh Yue.

Setelah itu pun, hingga mereka sampai ke sekolah, seperti yang dikatakan Hajime, “kata-kata suci” itu terus dipakai murah-murahan tanpa henti.

Sang Putri Vampir dari dunia lain tidak akan ragu menggunakan Divine Magic demi menuruti keinginannya.

Hajime >> (tembok yang tak bisa dilewati) >> semua orang lainnya.


◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇


Hajime dan Yue, yang telah sampai di sekolah, berjalan menuju loker sepatu sambil tetap menarik perhatian orang-orang di sekitar.

Meski begitu, perhatian yang mereka terima kini sudah jauh lebih ringan dibandingkan saat awal kembali ke sekolah. Saat itu, bahkan orang-orang yang tidak ada urusan pun berkumpul di berbagai sudut dari gerbang hingga ke ruang kelas hanya untuk melihat mereka.

Mereka adalah sosok yang sempat jadi sorotan media dengan segala kisah luar biasa yang menyertainya—wajar saja kalau rasa ingin tahu para siswa jadi membuncah. Meminta mereka untuk menahan rasa penasaran mungkin sedikit terlalu banyak.

Tentu saja, di dalam lingkungan sekolah, mereka tidak menggunakan penghalang pengenalan untuk mengusir orang-orang, apalagi sampai memakai intimidasi.

Mempertimbangkan kehidupan sekolah ke depan, memberi kesan aneh atau menakutkan jelas merupakan langkah yang buruk.

Tidak ada yang spesial. Para “Returnees” juga merupakan siswa biasa di sekolah itu.

Dengan cara berpikir seperti itu, mereka pun berusaha berperilaku sewajarnya, dan seperti yang diduga, perhatian berlebih dari siswa lain pun perlahan memudar. Belakangan ini, suasananya jadi jauh lebih tenang.

Namun—justru karena suasananya mulai tenang—sekarang muncul jenis perhatian lain yang diarahkan pada mereka.

*sfk brak wuurrrrrr

Suara tumpukan surat yang berjatuhan bergema.

“…Muu.”

Itu dari loker sepatu Yue. Memang terlihat seperti metode kuno, tapi karena tak ada cara lain untuk menyampaikan perasaan, hal ini bisa dimaklumi.

Bagaimanapun juga, kontak pribadi Yue adalah sesuatu yang sangat langka. Level kesulitan mendapatkannya: SSS. Tak mungkin ada yang membocorkannya, dan bahkan jika seseorang yang punya niat tertentu mencoba langsung bertanya padanya, mereka tidak akan mendapatkannya.

Pengakuan langsung pun mustahil. Memanggilnya saja tak ditanggapi, dan jika mencoba mendekat tanpa mempedulikan situasi, dia akan menatap dengan dingin seolah suhu nol mutlak, dan tekanan dari tatapannya membuat mulut tak bisa terbuka.

Ini bukan lagi sekadar permainan mustahil, tapi sudah masuk ke level permainan busuk.

“Masih sama saja ya.”

“...Iya. Padahal sudah kutempelkan pengumuman.”

Yue sama sekali tidak menyembunyikan ekspresi lelahnya, lalu mengeluarkan setumpuk surat.

Setelah mengganti sepatu dan menutup loker sepatu, tampak tulisan “Surat pribadi tidak diterima!” tertempel di sana. Tampaknya tidak ada efeknya sama sekali. Semangatnya mungkin: “Kalau ramai-ramai, tak perlu takut!”

Dia dengan cepat memeriksa surat-surat itu, lalu menunjukkan wajah sedikit kesal saat menemukan beberapa yang “Seperti biasa, ada lagi.” Sisanya langsung dia remas dan dorong masuk ke loker sepatu bertanda nama “Shirasaki Kaori”.

“Lagi-lagi surat cinta dari cewek?”

“...Iya.”

Dari surat-surat yang tidak dia remas, tampaknya memang begitu. Hal ini sudah menjadi kebiasaan. Sekitar tiga puluh persen surat cinta yang ditujukan pada Yue berasal dari murid perempuan.

“...Tapi lebih tepat disebut surat dari penggemar, atau yang ingin jadi teman, semacam itu. Cewek yang menyukai hanya karena tahu aku bersama Hajime itu sih bodo amat, tapi surat dari cewek yang tulus ingin berteman, rasanya tidak enak kalau diabaikan.”

“Itu mungkin alasan kenapa kamu disukai banyak orang.”

Penampilannya memang imut, tapi hatinya perempuan dewasa. Aura ketenangan dan rasa pengayom yang dia miliki tak dimiliki oleh teman sebayanya. Dia bersikap dingin pada hampir semua cowok kecuali Hajime, tapi sangat lembut pada sesama perempuan.

Dan, tak perlu dikatakan lagi—Yue memiliki kecantikan yang luar biasa hingga sulit dipercaya. Wajar saja kalau gadis-gadis seumuran begitu tergila-gila padanya.

Melihat Yue yang tampak sedikit kesal tapi juga tidak merasa buruk karena disukai, Hajime membuka loker sepatunya sambil merasa geli.

Beberapa surat lucu dan imut tertata rapi di dalamnya. Tatapan tajam “Yang Mulia Yue” langsung menusuknya.

Sebenarnya, Hajime juga cukup sering mendapat surat.

Dia adalah satu-satunya pria yang sangat disayangi oleh Yue, Shea, dan yang lainnya. Karena itu, dia menarik perhatian banyak orang, dan semakin diperhatikan, semakin banyak gadis yang jatuh hati pada aura karismatik dan ketenangannya yang unik.

“Padahal ada Yue dan yang lainnya, kenapa mereka masih berpikir punya peluang ya?”

“...Justru karena ada banyak, mereka pikir mungkin saja ada celah?”

“………Benar juga.”

Tak bisa membantah, Hajime pun terpaksa mengambil surat-surat itu dan memindahkannya ke loker sepatu lain. Loker itu bertuliskan nama “Amanogawa Kouki”.

Sambil menyembunyikan gerak-geriknya dan menggunakan kemampuan “melihat masa lalu” untuk menyelidiki secara diam-diam siapa saja yang mencoba mendekati Hajime, Yue tiba-tiba tersenyum kecil, mengangkat sudut bibirnya.

“...Hajime. Surat yang paling atas itu, kamu yakin nggak mau dibaca?”

“Yang paling atas? Memangnya ada apa?”

Hajime yang merasa curiga bertanya, dan Yue sambil mengeluarkan surat itu berkata:

“...Iya. Itu surat cinta—dari anak laki-laki yang menyukaimu.”

“SIAAAAL!!”

Dengan kecepatan luar biasa, Hajime merebut surat itu, lalu menghancurkannya dengan kekuatan genggaman sampai super padat, dan melemparkannya ke luar gedung sekolah dengan lemparan sekuat tenaga.

Tanpa sadar kecepatannya mencapai 166 km/jam, dan surat yang kini sekecil pinball itu melesat seperti laser.

Terdengar suara pilu, “Aaaah, suratkuuuu~!”, dan sepertinya seorang anak laki-laki berwajah androgini berlari keluar, tapi... mungkin cuma perasaan saja.

“...Kejam sekali, Hajime. Perasaan tulus anak laki-laki yang imut kau lempar begitu saja.”

“Refleks, soalnya Aku langsung kebayang para ‘Wanita-berotot’ dari dunia lain itu…”

“...Hajime, kamu sadar nggak? Kamu itu populer banget di kalangan sebagian cowok.”

“Yah... aku tahu itu. Kalau hanya ingin berteman itu bukan masalah. Tapi tatapan penuh semangat mereka itu—terasa sekali. Mau nggak mau aku jadi teringat Cristabel dan gengnya. Tatapan panas yang terus menatap bokongku itu...”

“...Cristabel itu orang baik, loh.”

“Orang itu bikin Trauma! Jangan sebut dia cuma orang baik dan selesai begitu saja!”

Melihat Hajime yang terlihat benar-benar lelah secara mental, Yue pun tertawa pelan sambil menutup mulutnya.

Melihat Yue yang tampak begitu bahagia, para siswa yang baru tiba di sekolah pun mulai melambatkan langkah mereka.

Meski mereka tidak lagi sengaja berkerumun, saat waktu kedatangan bertepatan, tetap saja kerumunan mulai terbentuk hanya demi melihat sekilas gadis cantik itu.

Karena itu, Hajime segera menggenggam tangan Yue dan langsung menuju ke kelas.

Kelas mereka berada di lantai paling atas gedung sekolah, di sudut paling ujung. Tidak ada kelas lain di sana.

Area tersebut lebih banyak diisi oleh ruang khusus yang jarang dipakai atau ruang persiapan.

Lokasi kelas yang terpencil ini memang sengaja disiapkan untuk memfasilitasi para “Returnees” agar bisa bersekolah kembali.

Hal ini merupakan hasil kompromi antara berbagai pihak:

Kekhawatiran dari staf sekolah, sebagian siswa, serta wali murid,

Dibandingkan dengan suara masyarakat yang menyatakan bahwa mengusir anak-anak yang berhasil kembali dengan selamat adalah tindakan tidak manusiawi,

Dan juga keinginan pemerintah untuk mengumpulkan para “Returnees” di satu tempat agar tidak terpencar ke berbagai sekolah.

Kompromi dari semua itu akhirnya menghasilkan keputusan untuk membuat “kelas khusus” yang terisolasi di sekolah asal mereka.

Karena alasan tersebut pula, wali kelas mereka adalah Aiko.

Sebelum pemanggilan ke dunia lain, dia tidak menangani kelas secara langsung, jadi dalam arti tertentu... ini bisa dibilang sebuah promosi. Mungkin saja.

“Yah, meskipun sama-sama kelas dua, pasti akan canggung kalau disatukan dengan siswa lain, ya. Dari sisi murid pun begitu.”

“...Hmm?”

Yue memiringkan kepala kecilnya dengan bingung, dan Hajime menggeleng sambil berkata, “Tidak, tidak ada apa-apa.”

Hajime dan yang lainnya dipanggil ke dunia lain saat mereka duduk di kelas dua SMA. Namun, mereka tidak naik kelas. Mereka tetap di kelas dua.

Tentu saja demikian—mereka tidak mengikuti kurikulum selama satu tahun penuh. Namun, mereka juga tidak dianggap “tinggal kelas”. Status mereka adalah cuti sekolah yang kemudian kembali melanjutkan pendidikan.

Mengambil langkah ini memang wajar mengingat situasi yang terjadi, tapi juga merupakan bentuk kompromi untuk menanggapi suara dari berbagai pihak yang berkepentingan.

Bagi Hajime dan kawan-kawan, selama mereka tidak diberi label negatif atau mengalami kerugian, keputusan itu cukup menguntungkan.

Mereka punya keinginan kuat untuk mengganti satu tahun masa sekolah yang telah hilang.

Tentu saja, ada perasaan campur aduk soal berpisah tingkat dengan teman-teman seangkatan yang dulu dekat, atau soal adik kelas yang sekarang jadi seangkatan.

Kalau Hajime benar-benar mau, dia bisa saja menggunakan berbagai cara tanpa ragu—bahkan sampai menggunakan limit break—untuk meningkatkan kemampuan akademik dan memenuhi syarat naik kelas.

Tapi kalau begitu, mereka akan lulus dalam waktu kurang dari setengah tahun.

Berpisah dengan teman-teman yang telah menjalin ikatan kuat di dunia lain—itu adalah hal yang tidak diinginkan oleh siapa pun dari mereka.

Saat sedang mengenang semua itu, mereka pun sampai di lantai paling atas.

Begitu memasuki lorong tempat kelas berada, jumlah orang langsung berkurang.

Keramaian terdengar jauh, meninggalkan suasana agak sunyi dan sepi. Tapi pagi ini, selain teman sekelas, ada juga sosok lain.

Terdengar suara keras yang hampir seperti bentakan.

“Itu... sepertinya Wakil Kepala Sekolah, dan meskipun benar-benar tertutup, apakah itu Aiko?”

“...Hmm. Sepertinya mereka sedang cekcok, ya?”

Tampak sosok Wakil Kepala Sekolah dari belakang, dengan gaya rambut belah samping 7:3 yang mengilap dan rapi tanpa cela—terlalu sempurna hingga tampak tidak wajar.

Semua orang tahu bahwa itu adalah rambut palsu.

Di belakangnya, terlihat sepasang kaki ramping yang dibalut stoking hitam.

Dari aura kehadiran saja, sudah pasti itu Aiko. Sepertinya sejak pagi dia sedang dimarahi atau diberi ceramah oleh Wakil Kepala Sekolah.

Hajime dan Yue saling berpandangan, lalu perlahan memutuskan aura kehadiran mereka dan menyelinap mendekat dari belakang.

“Dengarkan baik-baik, Hatayama-sensei. Kamu masih menjadi guru di sekolah ini hanya karena belas kasihan. Sudah seharusnya kamu lebih menyadari itu, bukan?”

“Y-ya... saya tentu sangat bersyukur akan hal itu...”

“Kalau begitu, mengapa kamu mengucapkan pernyataan ceroboh yang seakan mencoreng nama sekolah ini kepada seorang wartawan? Itu sangat saya pertanyakan!”

“M-maafkan saya... saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan sekolah...”

“Kalau begitu, kenapa kamu sampai mengatakan ‘kelas khusus adalah bentuk diskriminasi dari pihak sekolah’!?”

“Itu hanya kesalahpahaman! Saya tidak pernah bilang itu diskriminasi! Saya hanya berharap pihak sekolah bisa memperlakukan para siswa dengan lebih wajar saja...”

Alasan Wakil Kepala Sekolah tampak kesal rupanya adalah karena pernyataan Aiko kepada seorang wartawan.

Berkat intervensi pengaruh global Hajime, pemberitaan dan wawancara dari media sebenarnya sudah cukup mereda. Namun, bukan berarti hilang sepenuhnya.

Terutama wartawan lepas—karena mereka tidak terikat lembaga besar, mereka punya kebebasan lebih.

Orang-orang seperti itu terkadang masih datang dan mencoba menggali informasi secara agresif.

Tentu saja, mereka tidak pernah repot-repot membuat janji terlebih dahulu.

Biasanya, Aiko akan mengabaikan orang-orang yang tak punya etika seperti itu.

Namun, belum lama ini, saat didatangi oleh seorang wartawan, dia tanpa sadar terpancing untuk membalas.

Saat si wartawan menyatakan bahwa keberadaan “kelas khusus” adalah bukti bahwa para siswa “Returnees” itu berbahaya, Aiko tak bisa menahan diri.

Dia membela bahwa para siswa bukan orang-orang berbahaya.

Bahwa seharusnya mereka bisa menjalani sekolah seperti biasa.

Yang kemudian diartikan sebagai:

“Kalau begitu, berarti mereka tidak diperlakukan secara normal? Ini adalah bentuk diskriminasi dari pihak sekolah!”

Dan muncullah artikel yang menarasikan hal itu, yang kemudian kembali ramai dibicarakan di internet.

Tentu saja, telepon sekolah tak berhenti berdering.

Dan yang bertanggung jawab penuh atas penanganan keluhan tersebut—sejak awal hingga sekarang—adalah Wakil Kepala Sekolah sendiri.

Jadi, wajar saja kalau dia melampiaskan kekesalannya.

Meski begitu… melihat Aiko meringkuk tampak bersalah karena diterpa sindiran bertubi-tubi, membuat Hajime dan Yue secara refleks merasa kesal juga.

(Dasar si botak tua pengguna wig itu. Separuh dari semua omelannya juga cuma pelampiasan doang, kan)

(……Hm. Padahal kenyataannya mereka memang memperlakukan kita secara terisolasi)

Hajime dan Yue menatap Wakil Kepala Sekolah yang masih terus membentak Aiko dengan tatapan setengah kesal.

Keduanya, masih menahan keberadaan mereka, perlahan merayap makin dekat ke belakang sang wakil kepala.

Di saat itulah, Aiko tampaknya baru menyadari kehadiran Hajime dan Yue.

Ketika Hajime menyapa dengan senyum dan ucapan “Selamat pagi” lewat gerakan mulut, Aiko pun membalas “Selamat pagi” dengan cara yang sama, sambil terus melirik gelisah ke arah wakil kepala yang sedang khusyuk berceramah.

Hajime mengangguk ramah sambil tersenyum… lalu berpikir:

(Gimana kalau kutembak saja orang ini?)

Dengan tenang, dia mengeluarkan Donner dan membidik bagian belakang kepala wakil kepala sekolah.

“JANGAN! Itu tidak boleh!”

“Hmm. Tepat sekali, Hatayama-sensei. Sekolah adalah tempat yang sangat berarti bagi para siswa dan akan selalu mereka kenang seumur hidup. Maka dari itu, kita tidak boleh membiarkannya ternoda. Sejak awal――”

Aiko yang panik membuat gerakan silang dengan kedua tangan sambil berteriak.

Kebetulan, sang wakil kepala sekolah baru saja selesai berkata “Apa kau pikir tak masalah jika nama baik sekolah ini tercemar?”,

Jadi aksi aneh Aiko tersebut secara ajaib luput dari perhatian dan dianggap sebagai reaksi atas ucapannya.

Lalu, Yue mengangkat telunjuknya dengan elegan.

(……Tenang saja, Aiko. Sekarang akan kuakhiri penderitaan akar rambut yang tersisa itu)

Api menyala di ujung jari Yue. Tatapannya tertuju pada kepala wakil kepala sekolah.

“Jangan diteruskan! Nanti bisa-bisa habis semua!”

“Tepat sekali, Hatayama-sensei! Kita harus mencegah kerusakan reputasi lebih lanjut! Jika kepercayaan hilang, bukan tidak mungkin sekolah ini—tempat berharga bagi para siswa—akan lenyap!”

Sekali lagi, percakapan mereka tampak seperti dialog yang benar-benar nyambung… secara ajaib.

Terlepas dari itu, entah karena menerima sinyal darurat dari akar rambut yang nyaris punah dan sedang berjuang mati-matian,

Wakil kepala sekolah tiba-tiba menoleh ke belakang.

Dengan koordinasi seolah satu napas, Hajime dan Yue langsung menghilang ke titik buta pandangan.

Merasa hanya berhalusinasi, wakil kepala sekolah kembali menatap Aiko. Sementara itu, Hajime dan Yue pun muncul lagi di belakangnya seolah tak terjadi apa-apa.

Sang wakil kepala memeriksa jam tangannya. Sepertinya dia hendak menyudahi ceramahnya.

Mungkin, baginya ini adalah wejangan penting yang berlandaskan prinsip hidup yang ia pegang.

Namun bagi Aiko, dia benar-benar tak bisa fokus. Dua orang di belakangnya terlalu mengganggu.

(Apa sih yang mereka lakukan! Sudahlah, Aku tidak apa-apa, jadi cepat masuk ke kelas saja! Eh… tunggu. Kenapa Aku malah ngobrol pakai gerakan mulut?)

Pokoknya, dia ingin mereka berhenti.

Berhenti dengan gerakan itu—yang seolah berkata,

“Kerja sama pertama kita, ya!”

…sambil kompak mengulurkan tangan ke arah wig wakil kepala sekolah.

Aiko memasang wajah seorang guru dan menegur dengan tatapan mata, “Hentikan leluconmu yang keterlaluan!”

Sepertinya teguran itu berhasil tersampaikan. Hajime dan Yue langsung menundukkan bahu mereka dengan lesu.

『Padahal kami hanya ingin menolong Aiko saja…』

『…Uu, maaf. Kami hanya berpikir ini akan baik untukmu』

Meski jelas itu hanyalah sandiwara, suara yang dikirim melalui telepati terdengar sangat meyakinkan hingga menembus emosi. Aiko yang memang sudah kewalahan dengan situasi tersebut pun merasakan rasa bersalah yang tulus dan memegangi dadanya.

Melihat Aiko seperti itu, Hajime dan Yue makin menjadi-jadi, memasang mata yang berair dan mengeluh penuh drama.

『Aiko pasti sudah tidak suka padaku…』

『…Aiko, apa kau sudah tidak menyukaiku juga?』

Mendengar hal seperti itu dari pria yang ia cintai dan sang istri pertama yang ia hormati, tentu saja Aiko yang sudah panik tidak mungkin bisa tetap tenang.

“A-apa maksudnya! Tentu saja aku sangat suka (pada Kalian)!”

“Apa!? Ha-Hatayama-sensei, kenapa tiba-tiba Kamu bicara seperti itu…”

Entah kenapa, Wakil Kepala Sekolah tampak sangat panik. Ia berdeham untuk menutupi keterkejutannya yang jelas terlihat.

“Ha-Hatayama-sensei. Itu… Apa maksudmu sebenarnya?”

Omong-omong, percakapan Wakil Kepala Sekolah sebelumnya adalah, “Sepertinya aku harus mengajarkanmu lagi apa arti menjadi seorang guru. Meskipun, mungkin kau tak akan peduli dengan nasihat dari orang yang kau benci, ya?”

Betapa sempurna waktu dan isi ucapannya. Bahkan Hajime dan Yue pun terkejut dibuatnya.

(A-Apa yang harus kulakukan? Aku sama sekali nggak tahu apa yang sedang dibicarakan!)

Aiko-sensei dalam krisis besar. Dia terlalu terpaku pada Hajime dan yang lainnya.

Tak mungkin dia bisa bilang, “Sebenarnya aku nggak dengar sepatah kata pun dari pembicaraan barusan!” Baik secara situasi maupun posisi, itu mustahil. Maka dari itu—

“U-um, maksudnya ya… persis seperti yang saya katakan, tidak lebih tidak kurang…”

Ia mencoba memberikan jawaban mengambang sambil mengamati situasi.

Karena sorot matanya yang seperti sedang mencari reaksi, Wakil Kepala Sekolah malah semakin panik. Ujung jarinya yang mendorong kaca mata pun bergetar halus.

“Ma-maksudmu persis seperti itu… Hatayama-sensei, kau… mengucapkan hal seperti itu di tempat ini… jangan bercanda.”

Wakil Kepala Sekolah berpaling dengan ekspresi gelisah ke arah yang sama sekali tidak relevan. Hajime dan Yue langsung memanfaatkan momen itu untuk kabur dari pandangan dengan gerakan lincah! Itu tadi benar-benar nyaris bahaya!

Sementara itu, krisis Aiko masih berlanjut. Wakil Kepala Sekolah yang entah kenapa memandangnya dari balik kaca mata sambil pipinya sedikit memerah membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Sambil mencengkeram dadanya, Aiko memaksa otaknya untuk berpikir keras.

(Abaikan dulu kelakuan anehnya. Yang harus kuingat adalah pembicaraan sebelum ini. Pertimbangkan juga kepribadian dan prinsip dasar Wakil Kepala Sekolah! Orang ini sangat mementingkan kehormatan sekolah. Karena dia percaya bahwa sekolah adalah tempat melindungi murid dan harus menjadi kenangan berharga dalam hidup mereka. Maka dari itu, dia marah karena ucapanku tadi dianggap sembrono… Hah, aku dapat ide! Jadi, dia mengira kata ‘aku sangat menyukai kalian’ itu cuma lelucon, dan itu membuatnya merasa aku meremehkan sekolah! Kalau begitu, aku harus segera meluruskan hal itu!)

Waktu berpikir yang dia butuhkan: hanya dua detik.

Tanpa menyadari bahwa pemahaman mereka satu sama lain sangat melenceng, Aiko menarik napas dalam-dalam dengan ekspresi yang penuh keteguhan. Tatapan matanya yang lurus dan penuh keyakinan membuat Wakil Kepala Sekolah tersentak kaget.

“Ini bukan lelucon. Aku bersungguh-sungguh! Rasa suka ku (ke sekolah dan para murid)! Tidak, bahkan bisa dibilang—rasa cintaku (ke sekolah dan para murid) ini, bukanlah suatu kebohongan!”

“A-Apa katamuーー!?”

Dengan kepalan tangan yang terangkat mantap, seolah-olah ada cipratan ombak besar di belakangnya—sebuah pernyataan yang seolah mengguncang dunia. Perasaan yang begitu kuat pun tersampaikan secara tak terbantahkan.

Wakil Kepala Sekolah yang kewalahan sampai mundur selangkah. Setelah jeda sejenak—

“A-Aku sudah punya istri dan anak, kau tahuuuuuuuーーー!!”

Teriaknya seperti orang putus asa sambil lari terbirit-birit. Dia bahkan tidak menyadari keberadaan Hajime dan Yue, apalagi kenyataan bahwa wig pentingnya terlepas dan melayang begitu saja karena terlalu bersemangat.

Aiko hanya terpaku, memandangi Wakil Kepala Sekolah yang mendadak berteriak aneh dan kabur entah ke mana.

“…Aiko, kau benar-benar manusia ajaib. Ini pertama kalinya aku melihat kesalahpahaman seindah karya seni.”

“Eh? Eh?”

“Dengar, Aiko. Sepertinya Wakil Kepala Sekolah mengira kau barusan menyatakan cinta padanya. Soalnya Dia bilang kalau dia adalah ‘orang yang kau benci’, lalu Kau langsung bicara seperti itu.”

“Eh?”

Aiko melongo. Namun tak lama kemudian, wajahnya mendadak pucat pasi seolah baru menyadari sesuatu.

Sekarang benar-benar tak ada waktu untuk santai. Dalam segala arti! Seakan berkata begitu, dia segera memungut wig yang jatuh dengan ujung jarinya,

“Wa-Wakil Kepala Sekolahhh! Itu Cuma salah paham! Salah pahaaam!! Dan juga wiiig-nyaaa! Tolong jangan masuk ke ruang guru dulu! Kalau sampai masuk, upacara pagi bakal jadi nerakaaa!!”

Dengan teriakan itu, Aiko pun lari secepat angin.

Melihat punggung wali kelas mereka yang hari ini juga berlari kocar-kacir dengan semangat (yang salah arah), Yue pun berkata:

“…Hm. Memang, sekolah itu menyenangkan. Inilah kehidupan sehari-hari yang Hajime inginkan.”

“Y-Yeah… begitulah…”

Hajime menelan komentar jujurnya bahwa sejauh ini kehidupan sekolah mereka masih jauh dari biasa. Soalnya, mengatakannya di depan Yue yang tampak begitu menikmati semuanya rasanya terlalu hambar.

Ia pun mengajak Yue menuju ruang kelas.

Saat berdiri di depan pintu, terdengar suara riuh rendah obrolan ceria dari baliknya. Dilihat dari suasananya, sepertinya semua murid sudah hadir.

Hajime membuka pintu kelas sambil mengajak Yue masuk. Seketika, suara riuh langsung terhenti. Setelah satu jeda...

“Ku-fuh…”

“Fuh, fuguuh…”

Hampir semua teman sekelas mereka—dengan beberapa pengecualian—serempak memalingkan wajah. Ada yang mencengkeram meja erat-erat, ada pula yang menutupi wajah dengan kedua tangan sambil gemetar. Secara keseluruhan, mereka tampak seperti menahan sesuatu.

Sudah sekitar setengah bulan sejak Hajime kembali ke sekolah. Fenomena ini pun nyaris menjadi rutinitas setiap pagi. Sudut mata Hajime sedikit berkedut.

“Oi, kalau kalian ada yang mau dikatakan, katakan saja.”

Karena tekanan dari Hajime begitu nyata, Ryutarou pun pasrah menjadi wakil dan menjawab:

“N-Nagumo! Seragam sekolah itu… NGGAK COCOK sama sekali!!”

Puhah! Tamai Atsushi, Aikawa Noboru, dan Nimura Akito langsung meledak tertawa. Melihat itu, beberapa murid perempuan seperti Tsuji Ayako dan Yoshino Mao juga tak bisa menahan tawa dan ikut terbahak.

Bagi teman-teman sekelasnya sekarang, sosok “Nagumo Hajime sebelum dipanggil ke dunia lain” sudah menjadi kenangan yang kabur dan jauh.

Rambut putih, penutup mata, lengan mekanik dari logam, mantel hitam. Di paha ada revolver besar. Itulah Nagumo Hajime. Karena Dia adalah “Raja Iblis” mereka.

Sebenarnya, kalau hanya soal Penampilannya yang kembali seperti dulu, itu tidak akan menjadi masalah.

Akan tetapi—ya, akan tetapi... Mengenakan seragam sekolah adalah masalah besar. Seorang pria yang bahkan mampu membunuh dewa jika dianggap musuh, kini datang ke sekolah dengan patuh memakai seragam pelajar...

Tak heran jika teman-teman sekelasnya tak sanggup menahan tawa saat melihat pemandangan seabsurd itu. Bahkan setelah setengah bulan berlalu, mereka masih belum terbiasa!

Meski begitu, sepertinya tawa mereka kali ini sudah agak keterlaluan. Itulah sebabnya Kouki akhirnya mencoba menegur mereka.

“H-Hey, semuanya. Kalian keterlaluan. Memang sih, kelihatannya kayak cosplay—”

Basun! Terdengar suara tembakan teredam. Lalu disusul dengan teriakan “Aduuuh!?” dan bunyi seseorang terjatuh dari kursi. Ternyata, sebuah peluru karet telah ditembakkan dari Mini-Donner yang dilengkapi peredam suara.

Di masyarakat modern—terutama di negara hukum seperti Jepang—menembak harus dilakukan secara diam-diam dan tidak mematikan. Tidak boleh mengganggu sekitar.

Karena itulah, peluru buatan Hajime ini diberi nama penuh perhatian: Bullets Care for the Environment (Peluru Peduli Lingkungan). Tentu saja, peluru itu tidak sampai membuat isi otak Kouki muncrat ke mana-mana. Tapi tetap saja, bahkan tubuh seorang “Pahlawan” pun akan merasa sangat kesakitan.

“Kenapa aku yang ditembak!? Dan kenapa aku!?”

Namun protes masuk akal dari Kouki itu langsung diabaikan begitu saja. Sang Raja Iblis kemudian menyapu seluruh kelas dengan tatapan dinginnya. Tatapan itu lebih jelas dari ribuan kalimat, seolah berkata:

“Apakah Kalian perlu merasakan hal yang sama?”

Para murid di kelas itu langsung diam dalam keselarasan yang begitu indah.

“...Hajime, tahan dirimu. Ingat? Kontrol diri, kontrol diri.”

“Hajime-sa~n, bukannya Anda mau jadi warga negara Jepang yang baik dan patut dicontoh? Atau, jangan-jangan... tembakan peluru itu budaya Jepang juga?”

“Hajime-kun, kalau kamu seperti itu, Shea bisa salah paham lho. Ayo, simpan senjatanya, ya?”

“Eh, ini bukan soal salah paham atau bukan. Lagipula, Kaori, tolong sembuhkan Kouki. Lihat, dia masih kejang karena kesakitan. Wah, Dia sampai nge-‘bridging’. Lengkungannya mulus sekali, seperti udang rebus.”

Salah satu dari segelintir yang tidak ikut tertawa—Shizuku, Shea, dan Kaori, yang sudah datang lebih dulu ke sekolah—mulai “membujuk” Hajime. Akhirnya Hajime mengangkat bahu dan menyimpan kembali Mini-Donner-nya.

Saat itu, dia sempat melirik pakaian Shea. Kalau dibiarkan, gadis itu akan langsung memendekkan roknya, membuka kancing bajunya—sebuah kebiasaan yang terlalu sering dilakukan karena sudah terlalu terbiasa menampilkan dada dan perutnya.

Untung hari ini tampaknya aman. Itu membuat Hajime sedikit lega. Telinga kelinci miliknya pun sudah disembunyikan dengan benar menggunakan artefak.

Hajime telah membuat beberapa jenis artefak penyamaran, dan hari ini Shea memilih tipe bando. Di ujung bando itu, ada hiasan kecil seukuran ujung jari yang menyerupai telinga kelinci mini—permintaan khusus dari Shia. Hasilnya sangat menggemaskan.

Saat Hajime secara refleks menyapa dengan wajah yang sedikit melunak dari ekspresi masamnya, senyuman cerah langsung merekah di wajah Shea dan yang lainnya. Para murid sekelas pun serempak membalas dengan sapaan “Selamat pagi!” yang penuh dengan kehangatan dan rasa percaya.

Pemandangan seperti ini adalah sesuatu yang tak terbayangkan sebelum mereka dipanggil ke dunia lain.

Shea dan yang lainnya segera menghampiri Hajime yang telah duduk di bangkunya. Tentu saja, Yue yang sudah meletakkan tasnya juga ikut mendekat.

Pemandangan Kaori dan Shizuku berkumpul di sekitar bangku Hajime memang sudah ada sejak sebelum mereka dipanggil ke dunia lain. Tapi sekarang, alih-alih Kouki dan Ryutaro, yang berdiri di sisi Hajime adalah seorang putri vampir dari dunia lain dan seorang gadis cantik dengan telinga kelinci...

“Sampai sekarang pun, rasanya masih belum terbiasa ya.” “Iya, benar juga.”

Di tengah suasana kelas yang mulai ramai kembali dengan obrolan, Nakano Shinji dan Saito Yoshiki berbisik pelan.

Tanpa sadar, keduanya melirik ke arah Kouki dan Ryutaro, dan tampaknya keduanya juga memikirkan hal yang sama. Mereka membalas lirikan itu dengan senyum kecut yang ambigu.

Lalu, suara tajam penuh ejekan terdengar dari Nana yang tampaknya juga mendengar bisikan mereka.

“Kalau begitu... Bagaimana? Mau coba usil lagi seperti dulu?”

“Eh? Kamu secara halus nyuruh kami mati ya?”

“Tolong deh, anggap aja semua itu sudah kedaluwarsa...”

Shinji dan Yoshiki gemetar bersamaan. Entah karena gugup atau refleks, mereka pun keceplosan bicara.

“Awalnya yang benar-benar membencinya itu Daisuke—”

“Oi, Shinji”

“—Ah”

Suasana kelas kembali hening. Shinji menutup mulutnya dengan ekspresi penuh penyesalan, seolah ingin berkata “Aduh, keceplosan!”

Perbedaan paling mencolok dibandingkan masa sebelum mereka dipanggil ke dunia lain. Sesuatu yang tak pernah dilupakan, tapi juga tidak dibicarakan secara terbuka.

Empat kursi yang kosong. Teman-teman sekelas yang tidak bisa kembali bersama mereka.

Bukan suasana yang membeku sepenuhnya. Tapi semua orang menjadi sulit bicara, tak tahu harus berkata apa, hanya bisa menggumam mencari-cari kata.

Suasana canggung itu akhirnya dipecah secara enteng—dan tentu saja, oleh Hajime.

“Apa-apaan ini, kenapa suasananya jadi suram begini?”

Dengan nada datar tanpa tekanan sedikit pun, dia membuyarkan udara kaku itu.

“Lagipula, itu bukan hal tabu, kan? Kalau hanya ingin mengenang masa lalu, berbicaralah sesuka hati kalian.”

“I-iya sih, memang begitu, tapi...”

“Soalnya, Kediaman Kondo sih nggak ada masalah, tapi... Kalau soal keluarganya Hiyama, sempat ada... yah, berbagai macam bentrokan... Iya kan?”

Yoshiki melirik Hajime sambil ragu-ragu. Itu tidak seperti biasanya, tapi dari tatapannya terlihat jelas bahwa dia sedang mencoba menjaga perasaan Hajime. Begitu pula Shinji.

Hajime hanya mendengus kecil dan terkekeh. Dua orang itu langsung memprotes, “Kamu sangat jahat ya!”

“Santai saja. Soal keluarganya Hiyama, aku nggak peduli sama sekali.”

““Sepertinya memang begitu!””

Hajime menyilangkan kaki dan duduk dengan angkuh saat menyatakan hal itu. Dengan gadis-gadis cantik yang duduk di sampingnya, bahkan dalam seragam sekolah pun, ia tetap memancarkan Aura yang sangat mirip dengan Raja Iblis Sejati.

Namun, pembicaraan itu sendiri sebenarnya menyangkut tentang bagaimana mereka menghadapi keluarga dari empat orang yang tak bisa kembali: Hiyama Daisuke, Kondou Reiichi, Shimizu Yukitoshi, dan Nakamura Eri.

Dalam hal ini, tentu saja Aiko yang bertanggung jawab menjelaskan langsung. Tapi Hajime juga ikut menemaninya. Terutama karena ia terlibat langsung dalam kematian Daisuke dan Yukitoshi. Tak mungkin menyerahkan semuanya pada Aiko.

Selain itu, saat menyampaikan penjelasan ke keluarga Hiyama dan Kondou, Shinji dan Yoshiki juga ikut serta.

Mereka sendiri yang memohon untuk ikut. Itu mungkin adalah bentuk niat dan penghormatan terakhir mereka terhadap sahabat lama mereka.

Kebenaran yang disampaikan kepada tiap keluarga tak dicampuri kebohongan ataupun manipulasi. Mereka bahkan menggunakan artefak yang telah dipersiapkan sebelumnya, yang berisi rekaman masa lalu, demi memperjelas situasinya.

Keluarga Kondou dan keluarga Nakamura tidak memberikan banyak masalah.

Ibu Eri bahkan sejak awal tidak ikut dalam “pertemuan keluarga”, dan kabarnya justru senang karena putrinya menghilang. Dia juga sudah pindah rumah sejak lama, sampai-sampai harus dilacak lokasi terbarunya menggunakan Divine Artefak, “Kompas Penunjuk Dunia”.

Namun ibu Eri sama sekali tak bisa diajak bicara. Begitu nama putrinya disebut, dia mengamuk seperti orang kesurupan. Karena tidak memungkinkan untuk berdialog, mereka pun segera mundur.

Keluarga Kondou awalnya sama sekali tidak mempercayai apapun yang terjadi. Aiko bersama yang lainnya diusir, dan sejak saat itu mereka selalu ditolak di depan pintu. Namun, tampaknya Shinji dan Yoshiki tetap sering berkunjung, dan hasilnya, meski perasaan mereka masih belum sepenuhnya tenang, kini keluarga Kondou mulai condong untuk mempercayainya.

Karena Eri, orang yang bertanggung jawab membunuh putra mereka, sudah tiada, dan keberadaan ibunya pun tidak diketahui, mereka tidak tahu harus melampiaskan perasaan mereka ke mana. Untuk itu, Yoshiki dan Shinji terus memantau perkembangan mereka dengan hati-hati.

Di sisi lain, masalah yang lebih besar ada pada keluarga Hiyama dan keluarga Shimizu.

Keluarga Hiyama menolak rekaman masa lalu itu, dan menganggapnya sebagai kebohongan semata. Atau mungkin mereka hanya tidak mau mempercayai kenyataan tentang aib dan kejahatan anak mereka.

Namun, jika mereka menyatakan bahwa rekaman masa lalu itu palsu, maka mereka juga harus menyangkal kenyataan bahwa Hajime telah melawan balik dan melemparkan anak mereka ke tengah gerombolan monster.

Mereka berpegang teguh pada keyakinan buta bahwa putra mereka masih hidup—bahwa ia tidak mungkin mengkhianati teman-temannya atau membunuh banyak orang demi ambisinya sendiri.

Meskipun demikian, mereka tetap dipenuhi dengan kebencian dan kemarahan, menyalahkan Shinji dan Yoshiki karena tidak membawa anak mereka pulang, serta karena telah mencemarkan nama baik anak mereka.

Ucapan Shinji dan Yoshiki tidak bisa mencapai hati mereka. Bahkan sebaliknya, Keluarga Hiyama mencaci maki mereka berdua dengan sebutan penghianat, menghamburkan hinaan keji yang tidak pantas didengar terhadap Aiko dan Hajime, dan pada akhirnya, bahkan mencoba melakukan kekerasan...

Karena kenyataan bahwa mereka tidak mampu membuat putra mereka bertobat maupun membawanya pulang, Aiko mencoba untuk menerima semua itu dengan lapang dada—dan itulah batas akhir kesabaran Hajime.

Sebuah “tekanan” tanpa ampun. Bahkan para pejuang berpengalaman pun akan menjadi seperti katak yang dipaku oleh tatapan ular di hadapannya, apalagi orang biasa, yang mustahil bisa menahannya. Diselimuti rasa takut hingga tubuh mereka gemetar dan kaki mereka lumpuh, Hajime menatap mereka dengan mata sedingin es dan berkata:

—Satu hal ini akan Aku katakan. Mulai sekarang, kalian bebas berpikir dan percaya apa pun yang kalian mau. Tapi aku tidak menyesal, dan aku juga tidak berniat meminta maaf. Jika kalian berani menyentuh keluargaku atau teman-temanku, bersiaplah menerima konsekuensinya.

Bahkan jika mereka biasanya adalah orang-orang baik, bahkan jika mereka sangat menantikan kembalinya putra mereka, bagi Hajime semua itu tidak ada artinya.

Dia sudah repot-repot datang untuk menjelaskan. Itulah bentuk ketulusan dan pertimbangan maksimal dari Hajime. Sebab Hiyama Daisuke tetaplah seorang “musuh” yang telah membunuh “Orang yang berharga” bagi Hajime.

(Kaori pernah mati dibunuh Hiyama, meski, akhirnya jiwanya berhasil diselamatkan Yue dan merasuki tubuh Noint)

Tatapan dingin Hajime pun menyampaikan hal itu dengan jelas kepada keluarga Hiyama, apakah mereka mau menerimanya atau tidak.

Apa yang akan dilakukan keluarga Hiyama ke depannya, Hajime tidak peduli. Yang pasti, ia tidak berniat menarik kembali ucapannya. Tidak ada niat untuk menunjukkan belas kasihan.

Dia tidak akan menghalangi Aiko atau Shinji jika mereka ingin terlibat, tetapi Hajime akan tetap mengawasi pergerakan keluarga Hiyama dengan ketat.

Sementara itu, mengenai keluarga Shimizu, ada rasa tidak enak yang sedikit berbeda. Dalam kasus mereka, tampaknya yang lebih penting daripada kebenaran hidup atau matinya putra mereka adalah menjaga citra mereka di mata masyarakat.

Yang paling mereka takuti adalah perbuatan Yukitoshi, bagaimanapun bentuknya, akan tersebar ke masyarakat melalui mulut Aiko atau para murid.

Terutama reaksi dari kakak dan adiknya sangat mencolok.

Meskipun cerita Hajime dan yang lainnya dianggap bohong dan Yukitoshi ternyata masih hidup, apa yang akan dipikirkan orang-orang jika ia kembali sendirian? Terlebih lagi, bagaimana jadinya jika ia dijauhi oleh teman-teman yang diculik bersamanya...

Mereka bahkan tampak berpikir, “Kalau memang begitu, Maka lebih baik...” 

Dan karena itulah mereka menjadi sangat gigih. Jika Yukitoshi benar-benar sudah meninggal, mereka ingin kematiannya diceritakan secara heroik dan berusaha memastikan bahwa tidak ada ucapan atau tindakan yang akan mencoreng nama keluarga Shimizu dalam bentuk apa pun.

Orang tua Yukitoshi yang awalnya masih khawatir tentang keselamatan anak mereka, pada akhirnya juga mendukung permintaan tersebut, demi masa depan kakak dan adik Yukitoshi. Mereka bahkan berencana memaksa semua orang untuk menandatangani kontrak kerahasiaan sebagai langkah antisipasi.

Pada akhirnya, yang benar-benar marah terhadap keluarga Shimizu adalah Aiko. Membujuknya kembali agar kembali tenang sudah menjadi perjuangan berat. (Muridnya yang telah mati secara tidak langsung keberadaannya malah dihina keluarganya sendiri)

Pada akhirnya, masalah itu diselesaikan sementara dengan “tekanan” Hajime, meskipun keluarga Shimizu tampaknya masih tetap waspada.

Terlepas dari seluruh kejadian itu—

Sebenarnya, saat mereka pergi untuk menjelaskan kepada keluarga Nakamura, Taniguchi Suzu juga ikut mendampingi.

(Sampai kapanpun, Suzu tetap menganggap Eri sebagai sahabatnya)

Suzu tersenyum lembut setelah mendengar kata-kata Hajime dan memutuskan membuka mulutnya:

“iya, benar juga. Kalau hanya mengenang kenangan bersama, tidak apa-apa kan, Nagumo-kun?”

Tidak ada seorang pun di kelas ini yang tidak tahu siapa yang sedang dipikirkan dalam hatinya.

“Maaf ya, untuk Nakano-kun dan yang lainnya…”

“Ah, tidak, tidak apa-apa, kan, Yoshiki?”

“Jangan dipikirkan, Taniguchi. Tentang Nakamura... yah, memang ada rasa tertentu, tapi kalau kami membahas soal itu, kami juga tidak akan bisa menatap muka Shirasaki dan yang lainnya.”

Mereka tidak bisa menghentikan perbuatan Daisuke. Bahkan tidak menyadarinya. Akibatnya, yang paling banyak menderita adalah Kaori, dan yang hatinya paling terluka pastilah Shizuku.

Melihat Yoshiki dan Shinji yang tampak merasa bersalah, Kaori dan Shizuku menggelengkan kepala mereka perlahan.

“Tidak apa-apa, sungguh. Semuanya sudah berakhir.”

“Kalau malah dianggap tabu, suasana akan jadi makin canggung, kan? Jadi jangan dipikirkan.”

Bukan hanya Shinji dan Yoshiki, suasana di seluruh kelas pun ikut melunak karena sikap lembut Kaori dan teman-temannya.

“Ngomong-ngomong, Nagumo-kun, terima kasih ya sudah memberitahu kami tentang makam keluarga Nakamura.”

“Ibunya memberontak begitu keras waktu itu. Aku hanya mencari lokasinya dengan kompas, jadi tidak perlu dipikirkan. Lebih penting lagi, kalian sudah pergi ke sana?”

“Iya.”

Kematian sejati Eri terjadi di “Wilayah Suci” yang telah lenyap. Selain itu, saat-saat terakhirnya terjadi di ruang misterius yang bahkan Shizuku dan yang lainnya tidak dapat merasakannya. Di dunia ini, hanya Suzu yang mengetahuinya. Karena itu, dia sebenarnya ingin menceritakannya dengan mulutnya sendiri. Namun pada akhirnya, keinginannya untuk menyampaikan itu tidak terwujud.

Suzu yang memohon setidaknya untuk mengetahui makam keluarga Nakamura tetap tidak mendapatkan jawaban.

“Bukan berarti itu makam Eri, dan juga tidak ada barang peninggalan yang bisa dipersembahkan... jadi sebenarnya nggak ada artinya,” katanya.

“Dasar bodoh, makna itu sesuatu yang kau temukan sendiri,” jawab Ryuutarou sambil tertawa ringan, lalu dengan cepat menjetikan satu jarinya ke kening Suzu.

“Ah...!? Kenapa tiba-tiba Kau melakukan itu sih!?” Suzu mengomel marah, sementara Ryuutarou menatapnya dengan ekspresi yang sangat lembut.

“Kalau itu bisa membuat hatimu merasa lebih baik, atau bisa membuatmu merasa Eri masih ada di dekatmu, apa salahnya? Tapi jangan pergi kesana sendirian. Bawa aku juga lain kali ya.”

“......Entah kenapa aku kesal. Sok bijak, padahal cuma Ryuutarou-kun.”

“Apa salahku!?”

Suzu merengut kesal, tapi di sisi lain, para siswi langsung menatap mereka berdua dengan pandangan seperti berkata, “Aduuuh~” penuh kehangatan. Sebaliknya, para siswa laki-laki menatap Ryuutarou dengan pandangan tajam, seolah siap meludahinya kapan saja.

Tepat pada saat itu, bel berbunyi dan Aiko masuk ke kelas.

“Oke, semuanya! Ayo duduk! Kita mulai homeroom pagi—eh, kenapa suasananya aneh begini?”

Melihat para siswi dengan ekspresi hangat bersemu, sementara para siswa tampak penuh ketegangan, Aiko langsung menggigil ketakutan.


◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇


Dan begitulah, pelajaran pertama pun dimulai.

Yang berdiri di depan kelas adalah guru matematika, Asada-sensei. Ia terkenal sebagai guru yang sangat serius dalam menangani bimbingan siswa, dengan ciri khas mata sipit seperti rubah dan rambut yang selalu tersisir rapi.

Saking seringnya para siswa dipanggil ke ruang bimbingan, ruang tersebut bahkan sampai dijuluki “Kelas Asada” oleh para murid.

Mata rubah Asada-sensei menyapu seluruh ruangan. Akhirnya, tatapannya mengarah pada Hajime, matanya yang sipit makin menyempit seperti seutas benang. Ini sudah biasa. Tampaknya Hajime memang menjadi sasaran perhatiannya.

“Nagumo, jawab soal ini.”

“Baik, Pak.”

Meski dihadapkan dengan soal sulit di papan tulis, Hajime tetap ditunjuk tanpa ampun. Ia menjawab dengan tenang dan berdiri sambil merespons. Beberapa suara tawa tertahan terdengar—Ryuutarou dan yang lain menunduk di atas meja, menahan tawa.

“Saya pikir jawabannya adalah... begini, Pak.”

Tiba-tiba terdengar suara seperti babi mendengus, “Puhik!”—itu Shinji, yang tak mampu lagi menahan tawa. Di sebelahnya, Yoshiki menggigil begitu keras menahan tawa sampai meja bergetar.

“Kalian lagi! Apa yang kalian tertawakan, hah?!”

Asada-sensei marah besar. Kali ini, tampaknya ia benar-benar tidak bisa mentolerir kelakuan mereka.

Seperti biasa, setiap kali Hajime ditunjuk untuk menjawab, tawa pun bocor dari para murid. Mungkin karena itu, Asada-sensei merasa seolah-olah dirinya yang sedang ditertawakan.

“Maaf, Pak. Saya akan menegur mereka sendiri nanti,” kata Hajime sambil membentuk alisnya seperti angka delapan, menunjukkan ekspresi penuh rasa bersalah.

Nana tak mampu menahan tawa dan meledak. Di sebelahnya, Taeko sampai memegangi perut karena tertawa terpingkal-pingkal. Yuka mencubit-cubit punggung tangannya sendiri terlalu keras sampai matanya berkaca-kaca.

Atsushi, dengan suara gemetar karena terlalu keras menahan tawa, tanpa sadar membisikkan isi hatinya.

“Na-Nagumo pakai bahasa sopan... nggak cocok banget sumpah...”

Seragam saja sudah tidak cocok dengannya, apalagi bahasa sopan! Ya, begitulah kira-kira maksud mereka.

“Memakai bahasa sopan kepada guru itu hal yang wajar!” bentak Asada-sensei.

“Benar sekali, Pak. Mereka ini memang bodoh. Saya benar-benar minta maaf,” kata Hajime, tetap dengan bahasa sopannya.

Tiba-tiba, terdengar teriakan penuh rasa putus asa dari sebagian siswi, “Sudah, berhentii~!” Ada yang bahkan meratap, “Raja Iblis kita itu nggak mungkin membungkuk seperti itu!”

Ternyata bukan hanya tawa, ada pula rasa sedih yang muncul di antara mereka. (ciwi-ciwi yang ngefans Hajime)

Dengan kata lain, bagi teman-teman sekelas Hajime, penggunaan bahasa sopannya itu “nggak bisa diterima” dalam berbagai arti.

Padahal, terhadap orang tua dari teman-temannya dan bahkan kakek Tio, Adul, Hajime pun menggunakan bahasa sopan—hal ini diketahui oleh semua murid. Tapi entah mengapa, kalau bukan kepada orang-orang itu, mereka seakan tak tahan melihatnya.

Walau Hajime sendiri sebenarnya sudah jauh lebih terbiasa dibandingkan dulu... sepertinya masih butuh sedikit waktu lagi sebelum mereka benar-benar bisa menerima hal itu.

“Nagumo, apa kau mengerti posisi dirimu sekarang?”

“Apa yang Anda maksud?”

“Bahwa kau berada di posisi yang cukup rumit sebagai seorang ‘Returnees.’ Sebagai sosok pemimpin, jika kau memprovokasi kelas untuk menertawakan guru, tahukah kau betapa berbahayanya itu bagi posisimu?”

Memang, ruangan isolasi ini dibuat karena adanya kekhawatiran seperti itu. Jadi tentu saja, Hajime harus berperilaku sepatutnya, kalau tidak, tak tahu omongan apa yang bisa muncul.

Menyadari maksud yang ingin disampaikan Asada-sensei, teman-teman sekelas Hajime pun segera merapikan posisi duduk mereka...

“Pak, ini hanya kesalahpahaman. Yang ditertawakan itu saya, bukan Bapak. Sama sekali bukan. Dan lebih jauh lagi, saya benar-benar berterima kasih kepada Bapak dari lubuk hati saya! Tolong percayalah, Pak!”

Seluruh wajah teman-teman sekelasnya pun terpelintir dalam ekspresi yang sangat jelek. Karena “Raja Iblis” mereka sedang berbicara dengan begitu sungguh-sungguh—seperti adegan di drama sekolah. Padahal Hajime benar-benar serius dan tulus mengatakannya, namun dari sudut pandang luar, pemandangan itu terasa terlalu absurd.

Tentu saja, mata sipit Asada-sensei tidak melewatkan hal itu!

“...Nagumo, sesuatu bernama ‘kepercayaan’ dibangun dari akumulasi perilaku sehari-hari.”

“Benar sekali, Pak.”

“Dan perilaku sehari-hari itu, meski disembunyikan, tetap akan terdengar ke telinga orang lain. Aku sudah mendengarnya, kau ini rupanya sangat ceroboh dalam hubungan asmara, ya?”

Mata seperti rubah milik Asada-sensei menelusuri ke arah Yue, Shea, Kaori, dan Shizuku.

“Aku benar-benar tidak bisa memaafkan orang ringan seperti kamu. Kau memberi pengaruh buruk kepada murid-murid yang serius. Apa kau tidak merasa malu pada dirimu sendiri?”

Yah, aku juga murid, tahu, perlu sampai ngomong segitunya? Pikir Hajime sambil tetap memasang wajah serius dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

『...Hajime. Mau kubereskan dia?』

Tatapan Yue-sama penuh aura mengancam. Bahkan dalam “komunikasi batin” ketidaksenangannya terasa begitu jelas.

『Jangan. Dia itu guru yang sejak awal tetap mau berdiri di depan kelas, kan.』

Sebenarnya, sejak insiden setahun lalu dan keributan kepulangan kami kali ini, cukup banyak guru yang mengundurkan diri.

Penanganan media yang terus-menerus, wawancara mendadak, serta banjir pertanyaan dan keluhan dari wali murid maupun orang-orang tak terkait, bagaikan tembakan mesin tanpa henti.

Guru juga manusia, bukan malaikat. Mereka punya kehidupan mereka sendiri. Jadi wajar saja jika ada yang berpikir, “Aku tidak bisa terus bekerja di tempat seperti ini!” lalu memilih pindah ke sekolah lain atau berganti profesi.

Bahkan guru-guru baru yang dengan susah payah direkrut oleh Wakil Kepala Sekolah, yang sampai mengeluarkan darah dalam usahanya, maupun guru-guru yang bertahan, banyak yang pada awalnya ragu-ragu, “Kalau untuk mengajar mereka... rasanya agak...”

Karena itu, meskipun ada perasaan bahwa kami dijadikan sasaran kemarahan, Hajime tetap benar-benar berterima kasih kepada Asada-sensei yang mau berdiri di depan kelas sejak awal.

“Kau dengar, kan, Nagumo?” “Ya, Pak. Hubungan tidak murni antar lawan jenis, mutlak tidak boleh. Begitu, kan.”

Sudut mata Asada-sensei berkedut-kedut. Seolah ingin berkata, “Dari mulut siapa itu keluar?”

Sekilas, tatapannya kembali menyapu Yue, Shea, Shizuku, dan Kaori. Sepertinya beliau sudah cukup memahami hubungan Hajime dengan mereka.

Namun, di luar itu...

(Hm? Barusan...)

Hajime sedikit menyipitkan mata. Apa itu hanya perasaannya saja? Tadi, dia sempat merasakan sesuatu.

Asada-sensei memang dari dulu orang yang sedikit sinis dan agak pesimis, tapi tatapan yang barusan ia berikan pada Yue dan yang lainnya terasa berbeda—ya, seperti ada kebencian yang samar terselip di dalamnya.

Hari ini sepertinya “mode pembinaan” Asada-sensei benar-benar aktif; beliau melanjutkan ceramah tambahan.

Para teman sekelas pun saling berpandangan, seolah berkata, “Kami memang salah sih... tapi, gimana dengan pelajaran hari ini?”

Isi ceramahnya sendiri adalah tentang pentingnya menjaga tata tertib. Karena itu adalah nasihat yang benar, Hajime mendengarkannya dengan tenang... tapi saat itu, lagi-lagi, sebuah komunikasi batin (telepati) menghampirinya.

『Hajime-san, Hajime-san.』

『Hm? Ada apa, Shea?』

『Sebenarnya... Akhir-akhir ini, aku sering dipanggil oleh Asada-sensei...』

『Dipanggil? Ada urusan apa?』

『Asada-sensei sering bertanya banyak hal tentang Kamu... atau malah, kadang menceritakan kisah masa lalumu...』

Awalnya, Shea mengira bahwa Asada-sensei hanya khawatir setelah melihat perubahan Hajime. Namun, Shea yang telah menempuh kehidupan penuh suka duka punya insting tajam dalam menilai orang.

『Entah kenapa... rasanya seperti beliau sengaja ingin memberi kesan buruk tentang Hajime-san.』

Nada suara Shea mengandung ketidaksenangan.

Meskipun belum ada bukti pasti, dan di atas itu semua, Asada-sensei adalah salah satu guru yang sangat Hajime hargai. Karena posisi mereka yang agak rumit, Shea berusaha mempertahankan senyuman dan menghindari memperkeruh suasana...

『Omong-omong, Kaori-san, Shizuku-san, dan Yue-san juga mengalami hal yang sama, lho.』

Artefak komunikasi untuk telepati (percakapan batin) sudah dibagikan ke semua teman sekelas, dan saat ini percakapannya tidak dibatasi hanya untuk orang tertentu. Artinya, semua bisa mendengar isi pembicaraan mereka.

Ketika Hajime melirik Kaori dan yang lainnya, mereka mengangguk pelan. Tatapan mereka mengandung ketidaknyamanan yang sama.

Katanya, mereka juga merasa hal serupa.

Mereka sadar bahwa hubungan mereka dengan Hajime mungkin bukan sesuatu yang dipuji oleh norma umum. Jadi, mereka tidak terlalu mempermasalahkan bila seorang guru yang sangat peduli terhadap kedisiplinan bertindak agak keras.

Namun tetap saja... mereka juga samar-samar menangkap adanya niatan buruk terhadap Hajime.

『Eh, tunggu. Kenapa aku malah tidak pernah “dibina” langsung sama beliau?』

『Ya ampun, Kenapa kamu malah menginginkannya!?』

(Tanggapan spontan Ryutaro.)

Mengabaikan komentar Ryutaro, Hajime sekali lagi mengalihkan pandangan tajamnya ke arah Asada-sensei.

Karena sebelum dipanggil pun dia sudah terkenal suka tertidur, maka wajar saja jika dari awal dia tidak terlalu disukai. Aku pikir harus menerima sikap keras dan perkataannya... tapi...

(Biasanya, kalau ada masalah, bukankah seharusnya yang dibimbing adalah siswa penyebab masalah?)

Begitu ya. Memang terlihat ada sesuatu yang lebih emosional daripada sekadar bimbingan siswa. Terutama hari ini.

Mungkin, bimbingan terhadap Yue dan yang lainnya terasa seperti “mendorong tangan ke tirai” (sia-sia), sehingga frustrasinya sudah hampir tidak bisa disembunyikan.

『Bagaimanapun juga, sepertinya aku perlu berbicara secara jujur dengan guru itu sekali.』

Dari teman-teman sekelas terdengar bisikan dan ekspresi terkejut seperti, “Eh? Tidak akan diinterogasi, ya...” dan “Sudah jadi lebih kalem, ya...”

『Yue, temani aku setelah sekolah. Kurasa tidak akan ada masalah... tapi kalau perlu, kita harus membuat Asada-sensei mengerti.』

『...Hmm. Serahkan padaku! Divine Word-ku akan membara!』

Teman-teman sekelas kembali berbisik dan memberikan ekspresi lega yang aneh, seperti, “Ah, tetap bakal diinterogasi juga!” dan “Ternyata dia memang belum berubah!”

Selain itu, Yue terlihat sangat bersemangat. Sepertinya dia siap melewati pembicaraan dan langsung melontarkan “Divine Word” yang membara. Asada-sensei tampaknya benar-benar sangat dibenci.

Lalu, tanpa mengetahui percakapan rahasia para murid yang sedang berlangsung...

“Pada dasarnya, kau ini dari dulu sudah—“

...Asada-sensei terus memberikan ceramah sampai bel berbunyi.

Sebagai catatan, kalau dilihat dari hasil akhirnya, “Divine Word” Yue benar-benar membara.

Entah apa yang terjadi di masa lalu, tampaknya Asada-sensei bukan hanya menolak hubungan asmara di kalangan siswa, melainkan membencinya dengan sepenuh hati.

Bimbingan siswa yang ia lakukan dengan penuh semangat rupanya bertujuan untuk menikmati momen saat ia menegur para siswa semacam itu.

Selama tidak menimbulkan kerugian nyata dan pekerjaannya dilakukan dengan baik, tidak perlu sampai menuntut kepribadian yang bersih sempurna. Dan sejauh ini, sepertinya memang begitu.

Namun, kelainan sifatnya yang sudah menyimpang itu tampaknya semakin sulit dikendalikan sejak kehadiran Hajime. Fakta bahwa seseorang yang sebelumnya dianggap berada di “bawah” kini hidup dalam situasi seperti harem membuatnya semakin tidak bisa menerimanya. Jika bimbingan tetap tidak efektif, ia bahkan mulai mempertimbangkan untuk membocorkan tentang “hubungan abnormal para Returnees” itu ke media.

Tidak jelas secara rinci seperti apa percakapan yang terjadi, tetapi bahkan bagi teman-teman sekelas pun sudah jelas bahwa apa yang terjadi sudah melewati batas.

Di kemudian Hari...

Setelah kejadian itu, entah kenapa Asada-sensei mulai berbicara dengan gaya seperti tentara ceria, berkata, “Dengan segala kerendahan hati, saya akan mengajar kalian hari ini!”

Asada-sensei sendiri menyebut perubahan sikap ini sebagai “makeover” dan meskipun membingungkan, rupanya para siswa merasa bahwa ia “jauh lebih baik dari sebelumnya.”

...Tapi itu hanya sekadar selingan.

Setelah itu, pelajaran berjalan dengan lancar, hingga pelajaran keempat.

Begitu bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, kejadian itu terjadi — guru Bahasa Inggris, Yanagi Sachiko (45 tahun), melesat keluar dari kelas.

Bukan karena Hajime dan teman-temannya mengganggunya.

Sebaliknya, para siswa sangat serius. Bahkan ketika Hajime berbicara dengan bahasa sopan, mereka sudah tidak tertawa lagi.

Tentu saja, itu bukan karena sebelumnya Hajime berkata dengan ekspresi serius, “Kalau ada yang tertawa lagi, aku akan pasang pilebunker* di pantat kalian semua”. Melainkan karena tertawa di tengah pelajaran memang tidak sopan!

(*Pilebunker adalah senjata berat seperti paku raksasa, biasanya ada dalam cerita Sci-fi.)

Kalau begitu, kenapa Sachiko-sensei seperti kabur keluar dari kelas?

“Ini jelas Cheat, kemampuan memahami bahasa,” kata Noboru dengan penuh rasa kagum.

“Aku rasa ini satu-satunya hal yang pantas kita syukuri dari Ehite,” sambung Akito.

Ya, penyebabnya adalah cheat “Language Comprehension ” yang mereka miliki. (Skill Pemahaman Bahasa yang diterima semua Returnees dari Ehite setelah memanggil Mereka ke Isekai)

Berkat kemampuan itu, semua orang sekarang mampu berbicara dan memahami bahasa apapun seperti seorang penutur asli. Bahkan, kemampuan mereka mengalahkan Sachiko-sensei sendiri.

Karena itu, setiap kali mengajar, Sachiko-sensei merasa tegang luar biasa dan sangat tidak nyaman, sampai akhirnya kabur dari kelas setiap selesai mengajar.

“Kalau dipikir-pikir, mungkin ini juga salah kita, jadi ya mau bagaimana lagi...” kata Shizuku sambil tersenyum masam.

“Kita bahkan bisa memahami sastra klasik dan kanbun* dengan lancar... rasanya agak berdosa ya...” tambah Kaori dengan wajah bingung.

(*Kanbun adalah teks klasik Tiongkok yang dibaca dengan metode Jepang.)

“Kalau kayak gini, ya wajar aja orang-orang ngira kita aneh...”

“Padahal sudah setahun nggak belajar, tapi malah kemampuan akademis kita naik. Siapa yang nggak heran, coba?”

“Meski begitu, menahan diri itu susah juga...”

Yuuka menunjukkan ekspresi pahit, Nana menatap pintu tempat Sachiko-sensei pergi dengan wajah merasa bersalah, dan Taeko mengernyitkan dahi. Sepertinya mereka semua sedang berusaha beradaptasi kembali dengan kehidupan di Jepang.

Bagaimanapun juga, pelajaran di pagi hari selesai. Ini waktu istirahat siang — waktunya makan siang.

Biasanya, beberapa siswa akan pergi ke kantin untuk membeli makanan, tetapi...

Semua orang langsung mengeluarkan bekal mereka secara bersamaan. Tidak ada seorang pun yang beranjak keluar dari kelas.

Bahkan sebaliknya, terdengar suara langkah kaki kecil berlari dari ujung lorong, dan sesaat kemudian, pintu terbuka dengan keras. Sosok kecil berlari masuk ke dalam kelas.

“Ai-chan sensei, hari ini juga makan siang di kelas ya,” sapa salah satu siswa.

“Y-ya, begitulah... entah kenapa, ya... entah kenapa...” jawab Aiko sambil mengalihkan pandangan sedikit canggung, mengayun-ayunkan kantong bekal makan siangnya.

Sejak hari pertama mereka kembali bersekolah, Aiko selalu datang ke kelas mereka untuk makan siang — dengan kecepatan luar biasa.

Sudah terbiasa dengan itu, Yue segera mengosongkan tempat duduknya dan dengan natural berpindah ke pangkuan Hajime.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara panik bergema di dalam kelas:

“Y-yabai... aku lupa bawa bekal...”

Itu adalah Nomura Kentarou.

Dengan suara gertak dari kursinya, dia berdiri terpaku dengan ekspresi seolah baru saja melakukan kesalahan fatal.

“Kentarou, ambil saja sedikit dari bekalku,” kata Juugo.

“Maaf banget ya, Juugo.”

“Ah, Nomura-kun, kamu boleh makan bekalku juga, kok!” tambah Ayako.

“Tsuji... makasih, ya. Kamu bikin sendiri, kan? Bekalnya kelihatan enak.”

“Ehehe, semoga cocok di lidahmu...”

“Aku juga nggak keberatan berbagi,” tambah seseorang lagi.

“...Kousuke? Ternyata kamu ada di sini juga ya?”

“Dari tadi pagi Aku sudah disini.”

Setelah dipastikan bisa mendapatkan makanan dari Juugo, Ayako, dan juga Endou Kousuke, ekspresi Kentarou akhirnya sedikit mencair, dan ia duduk kembali di kursinya.

Sementara itu, Hajime, yang baru saja sadar kalau Kousuke sudah ada di sekolah sejak pagi, terkejut.

“Aku tidak menyadarinya!?” — tanpa sadar Hajime melirik ke arah Yue dan yang lainnya, hanya untuk melihat mereka semua membelalak kaget. Ternyata mereka juga baru sadar.

Sebagaimana layaknya seseorang yang dijuluki “trump card kelas” oleh sang Raja Iblis, yang bahkan mampu mengelabui “utusan dewa”, kedalaman eksistensi Kousuke benar-benar luar biasa.

Ia baru diakui keberadaannya setelah pelajaran pagi selesai...

Tingkat ke-tidak-terlihat-annya sudah di luar akal sehat — lebih fantasi daripada dunia fantasi itu sendiri.

“Kalau dipikir-pikir, kemarin aku juga tidak lihat Kamu—“

“Aku ada, tahu!? Malah lebih parah lagi, Nagumo, kita bahkan ngobrol kemarin!”

“...Apa yang kau lakukan pada ingatanku?”

“Apa yang kau lakukan pada air mataku, hah? Ini, keluar terus dan tidak mau berhenti!”

Melihat Kousuke yang perlahan meneteskan air mata dengan tenang, Hajime — yang benar-benar, tanpa bercanda, sama sekali tidak ingat — wajahnya jadi kaku. Sekaligus merasa sangat bersalah. Sungguh sangat.

“...Endou. Kamu sudah pakai artefak peningkat hawa keberadaan, kan?”

“Yue-san, saya Endou, tahu. Tolong jangan panggil saya seolah saya makhluk imajiner seperti ‘John Doe’.”

Yue juga tersenyum kaku. Tidak mungkin, pikirnya.

Di masa-masa Kacau saat pertama kali Mereka kembali dari Isekai, Kousuke membantu Hajime dengan setia, sampai-sampai disebut sebagai tangan kanan Hajime. Seharusnya, mereka semua mengingat namanya dengan baik... Tapi, tunggu? Apa nama depannya tadi?

“Ngomong-ngomong, artefaknya entah kenapa mental ke luar. Maaf, Nagumo?”

“Kalau artefaknya Hajime-san sampai rusak, itu berarti keadaannya sudah benar-benar parah, tahu!? Abyssgate, apa sebenarnya yang kamu lakukan?”

“Nama saya Endou Kousuke, Shea-san. Tolong, jangan pernah lagi panggil aku dengan nama itu.”

Suara Kousuke terdengar sangat datar. Tapi tekadnya terasa begitu kuat, sampai-sampai Shea secara refleks tersentak.

Sepertinya, dia benar-benar membenci dipanggil dengan sebutan “Abyss Gate”.

Seorang Abyss Lord (Penguasa Kedalaman) yang mampu membuat Sang Raja Iblis pembunuh dewa, sang vampir terkuat dalam sihir, dan kelinci terkuat dalam fisik, sama-sama menunjukkan ekspresi kaku.

Memang pantas, mengingat dia adalah pria yang bahkan membuat Utusan Dewa, Para Malaikat Ehite, merasa ngeri... Kentarou dan yang lainnya memandangnya dengan mata penuh ketakutan.

Yang lain pun separuh takjub, separuh menahan tawa.

“Ah, tapi, lihat. Endou-kun kan sudah pacaran dengan Lana-san. Kalau pada Akhirnya nanti Kau akan menjadi Anggota keluarga Haulia, lebih baik dari sekarang sudah terbiasa sama ‘chuunibyou’ kayak gitu, kan?”

“Ugh, Shirasaki-san... itu menusuk banget...”

Satu-satunya orang yang bisa mengenali keberadaan Kousuke tanpa kesulitan — kekasihnya, Lana Haulia, si gadis kelinci berambut perak — disebut-sebut, dan tampaknya itu menjadi titik lemahnya Kousuke.

Sebenarnya, ras Haulia memang menyukai perilaku ‘chuunibyou’ (tingkah laku ala remaja delusi) secara alami, dan Kousuke sendiri punya skill yang memaksanya bertingkah demikian setiap kali mengaktifkannya. Jadi secara teori, mereka sangat cocok satu sama lain...

Namun, tampaknya Kousuke masih belum sepenuhnya menerima “mode Abyss Lord”-nya sendiri.

Dengan ekspresi galau, ia duduk kembali ke tempatnya.

Begitu dia duduk, kehadirannya langsung hilang... kalau tidak fokus, orang-orang bisa lupa dia ada di situ.

Baik Hajime maupun teman-teman sekelasnya berpikir hal yang sama:

—Serius, makhluk apa sebenarnya dia ini...?

“Ehem! Lebih penting, Nomura. Cepat pergi ke kantin. Makanan yang kamu punya itu jelas nggak cukup, kan?”

Sambil berganti topik untuk menghilangkan suasana aneh tadi, Hajime menegur Kentarou.

Memang, melihat Kentarou yang hanya bisa mengunyah perlahan bekal kecil yang dibagi-bagi, rasanya cukup menyedihkan.

Sebenarnya, sejak hari pertama mereka kembali bersekolah, Hajime sudah cukup lama merasa aneh dengan teman-teman sekelasnya yang hanya saat jam makan siang tidak pernah meninggalkan kelas.

Awalnya dia pikir mereka hanya tidak suka menjadi pusat perhatian para siswa lain, tapi kalau dipikir-pikir, sikap mereka terlalu keras kepala untuk sekadar alasan itu.

Saat Hajime menatap mereka dengan pandangan curiga, Kentarou cepat-cepat mengalihkan pandangan.

Lalu, dia bergumam pelan.

“…Aku nggak mau jauh dari Nagumo.”

“Ja, jangan bilang hal menjijikkan kayak gitu tiba-tiba, bodoh.”

Hajime menatapnya dengan ekspresi jijik, tapi Kentarou buru-buru melambaikan tangan dan membantah.

“Be-beda! Maksudku bukan gitu! Maksudku, kalau kita dipanggil lagi kayak dulu gimana!? Aku nggak mau ditinggal sendirian, dan juga nggak mau jadi satu-satunya yang disummon!

Tempat paling aman waktu istirahat siang adalah di samping Nagumo!”

Hajime menatapnya dengan mata seolah berkata, apa sih yang dikatakan orang ini..., penuh rasa muak.

Namun saat ia melirik ke sekeliling, semua teman sekelasnya serempak memalingkan pandangan dengan cepat.

“Se-Serius? A, apa jangan-jangan... alasan Aiko juga selalu datang ke kelas saat makan siang...”

“A-aahaha…”

Saat Hajime memperhatikan lebih cermat, ternyata semua orang menyimpan artifact pribadi mereka di dalam tas atau tersembunyi di balik pakaian.

Tampaknya, mereka selalu siap bertempur kapan saja, berjaga-jaga kalau-kalau sesuatu yang tak terduga terjadi.

“Kalian... sepertinya benar-benar trauma dengan istirahat siang, ya?”

Para teman sekelas menampilkan senyum canggung secara serempak. Mereka tetap bersikukuh tidak mau keluar dari kelas, tampaknya karena mereka tidak ingin menjauh dari “Raja Iblis milik semua orang”.

Melihat teman-teman sekelasnya seperti itu, Hajime mengedarkan pandangan dengan ekspresi heran, namun setelah jeda sejenak, ia menghela napas sambil berkata:

“Benar-benar...”

Teman-teman sekelasnya, Aiko, dan juga Yue dan yang lainnya memusatkan perhatian pada Hajime.

Lalu mereka terkejut. Karena Hajime tersenyum. Bukan senyum mengejek, melainkan senyum hangat yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa tenang. Itu adalah senyum dalam yang menunjukkan betapa lapangnya hati Hajime.

“Kalau kalian sampai menghilang, aku pasti akan membawa Kalian kembali.”

Kousuke dan Atsushi membelalakkan mata, dan Ryutarou tersenyum lebar sambil berkata, “Ooh, kalau begitu aku serahkan padamu!” sambil mengacungkan jempol. Anak laki-laki lainnya pun membalas dengan senyum penuh keyakinan.

“…Itu, hal seperti itu benar-benar bikin—“

“Nyaa-ha-ha, bahkan Nana-san yang biasanya cuek jadi agak berdebar barusan.”

“Yuuka, kamu gak apa-apa? Wajahmu kayak mau kebakar tuh.”

Beberapa siswi, terutama Yuuka, secara refleks memerah. Ada yang sampai menjatuhkan sumpitnya dengan suara “klang” dan menekan dadanya. Sebagian bahkan mengalami krisis seperti:

“Haa, haa… Aku tetap ingin menjadi peliharaan Raja Iblis… Ja—“

“Hiperventilasi!? Woi, Sadarlah!”

Namun sisanya hanya membalas dengan senyum penuh kepercayaan sambil berkata:

“Kami serahkan padamu, yaa~!”

Ekspresi Yue dan yang lainnya tampak lembut. Terutama Kaori dan Shizuku, yang tersenyum manis seolah-olah melihat bayangan Hajime yang dulu.

“Yah, kalau Amanogawa sampai dipanggil juga, itu bukan urusanku.”

“Bisa nggak jangan pakai aku sebagai alasan buat nutupin rasa malumu?”

Hajime menyilangkan tangan dan memalingkan wajah ke arah yang tak tentu, sementara Kouki menatapnya dengan mata setengah menyipit. Interaksi mereka membuat para siswa yang tadinya hanya terkejut jadi tertawa tanpa sadar.

“Heii, Nagumo-cchi! Rencana kamu pas Natal gimana?”

Mungkin terbawa oleh suasana yang jadi ceria, Nana menanyakan rencana Hajime untuk acara penting yang tinggal seminggu lagi. Tujuannya jelas tanpa perlu dijelaskan. Yuuka menatap Nana dengan ekspresi mengerikan.

“Kalau kamu nggak keberatan, gimana kalau kita adain pesta?”

“Maaf, aku sudah ada rencana.”

Aduh~ yah, sudah kuduga sih. Soalnya ada Yue-san dan yang lain juga. Tapi… kalau bisa menyelinap sendirian, mungkin masih ada peluang?

Dengan ekspresi penuh harapan seperti hendak mengucapkannya, pipi Nana langsung ditarik kencang oleh Yuka.

“Ihyaaai! Ihyaaai!” protes Nana dengan mata berlinang air mata, sementara Taeko tertawa terbahak-bahak melihatnya.

Melihat Yuuka dan yang lainnya bercanda, Hajime tersenyum kecil, lalu seolah teringat sesuatu, ia berkata:

“Oh iya, ngomong-ngomong...”

“Menjelang Natal nanti, karena cadangan sihirku agak longgar, aku berniat memanggil Liliana.”

“Eh!? Putri Liliana akhirnya datang!?” Suasana kelas pun langsung riuh.

“Rencananya dia akan tinggal sampai awal tahun nanti, jadi aku juga bisa gantian pergi ke Tortus… Ada yang mau ikut?”

Ia menyapu pandangan ke seluruh kelas sambil tersenyum menyeringai.

Para teman sekelas saling pandang. Dari ekspresi mereka saja sudah jelas jawabannya bulat, namun Ryutarou yang mewakili, menjawab sambil tertawa kecut:

“Gak bakal ada yang mau, lah.”

Bukan karena mereka tidak suka Tortus. Tapi mereka baru saja kembali—baru dua bulan berlalu. Sekuat apa pun semangat petualangan mereka, tentu itu masih terlalu cepat.

Hajime pun mengangguk, seolah sudah menduganya.

“Akhirnya kita bisa pulang. Nikmatin saja waktu akhir tahun bareng keluarga, gak ada salahnya, kan?”

Teman-teman sekelasnya bahkan merasa gelisah hanya saat istirahat siang. Terlihat juga perasaan sedih karena selama liburan mereka tidak bisa bertemu dengan Hajime dan yang lainnya. Maka, Hajime menambahkan:

“Sampai kelulusan nanti, kita juga akan terus sekelas. Masih ada banyak waktu bagi kita untuk menikmati masa sekolah bersama-sama.”

Suaranya terdengar lembut. Bukan seperti sedang berusaha menghibur, Meski Begitu suara itu mampu memberikan rasa tenang.

“Tidak perlu terburu-buru, kan?”

Atas pertanyaan Hajime itu, tak ada satu pun yang menyanggah.

Jawaban penuh semangat yang tak menyisakan rasa gelisah Apapun menggema di ruang kelas saat waktu makan siang di hari itu.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close