Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 3
Keesokan harinya, setelah mendapat pelepasan dari Lucas dan Valk, tim investigasi akhirnya berangkat. Pelatihan untuk anggota tim lainnya telah diserahkan kepada Wisel, yang akan bertanggung jawab dalam memimpin mereka di medan pertempuran. Raid dan Eluria percaya bahwa mereka dapat memahami tujuan di balik program latihan tersebut.
Dengan itu, tim yang terdiri dari tiga penyihir kelas spesial dan dua murid melewati pos pemeriksaan terdekat dari Palmare dan akhirnya melangkah ke dalam gurun yang luas dan tak bernyawa.
“Whew. Tempat ini pernah mengalami masa-masa yang lebih baik, itu sudah pasti,” ujar Raid.
Setelah melewati wilayah yang begitu melimpah akan air, rasanya mereka baru saja melangkah ke dunia lain. Berlawanan dengan suburnya Palmare, yang terhampar di hadapan mereka hanyalah bentangan pasir tak berujung, dihiasi reruntuhan yang terkikis waktu dan hampir tidak lagi mempertahankan bentuk aslinya. Bangunan buatan manusia yang tersisa pun hanya bertahan seadanya, terkubur tak berdaya di bawah gempuran pasir yang terus bergolak.
“Hm... Tempat ini memang sesuai dengan reputasinya yang suram,” Savad mengamati, matanya menyapu lanskap yang kosong melompong.
Di sampingnya, Totori mengangguk setuju. “Benar... Sulit dipercaya bahwa dulu ada negara yang berdiri di sini.”
“Tempat ini benar-benar tanah kelahiranmu, Raid?” tanya Eluria.
“Ya. Dulu di sinilah ibu kota kekaisaran Altane berdiri seribu tahun yang lalu. Yah, mengingat seberapa dekat kita dengan Palmare, kemungkinan besar ini adalah area kumuh di pinggiran kota,” Raid menjelaskan, pikirannya melayang ke masa lalu. “Ibu kota Altane dibangun di sini karena ini adalah satu-satunya daerah di wilayah timur dengan mana yang stabil. Semakin jauh dari kota, semakin buruk kondisi tanahnya.”
“Hm?” Totori memiringkan kepalanya. “Tapi kamu bilang kita cukup dekat dengan ibu kota... Kenapa daerah ini sudah termasuk kawasan kumuh?”
“Memang sengaja dibangun seperti itu.”
“Sengaja...?”
“Penduduk daerah kumuh ditugaskan untuk mengolah limbah dari ibu kota. Selain itu, ketidakstabilan mana menyebabkan bencana alam tidak jarang terjadi. Kadang-kadang, sungai meluap dan menyebabkan aliran balik limbah. Dalam situasi seperti itu, penduduk daerah kumuh bertindak sebagai ‘bendungan hidup’, secara harfiah melindungi warga ibu kota dengan nyawa mereka.”
“Hoh...” Totori menyipitkan matanya. “Mungkin aku tidak seharusnya mengatakannya di depan mantan warga negara itu, tapi tampaknya Altane dikelola dengan buruk.”
Raid menggeleng. “Oh, tak perlu sungkan. Memang aku punya sedikit status di sana, tapi aku juga bisa melihat betapa bobroknya Altane. Itu hanya negara bejat khas zaman itu.”
Karena ia telah diasuh oleh kelompok tentara bayaran sejak kecil, Raid bahkan tak lagi tahu di mana letak desa kelahirannya. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di ibu kota, selain medan perang. Meski begitu, ia tak akan menyebut tempat itu sebagai sesuatu yang berharga layaknya “kampung halaman”. Setiap kali kembali ke ibu kota, ia hanya mendapat cemoohan dari para bangsawan. Bahkan para prajurit menyebutnya sebagai “orang gila yang haus pertempuran” di belakang punggungnya.
Untungnya, perlakuan itu hanya datang dari pasukan ibu kota yang hidup santai layaknya para aristokrat parasit. Sementara itu, pasukan di garis depan—orang-orang yang benar-benar bertempur bersamanya—sangat menghormatinya.
Bagaimanapun juga, Raid sangat dibenci oleh masyarakat ibu kota, sehingga melihat tempat ini kini terkubur menyedihkan di bawah pasir sama sekali tak membangkitkan emosi dalam dirinya.
“Bagaimanapun juga...” lanjutnya. “Bahkan dengan seribu tahun yang telah berlalu, sangat tidak wajar jika seluruh tempat ini sudah berubah menjadi gurun.”
Ryatt dan para pengikutnya telah membangun kembali wilayah timur dengan memanfaatkan semburan mana di sekitar ibu kota untuk menghidupkan kembali tanah di sekitarnya. Meskipun hal itu mungkin telah menguras sebagian mana di wilayah ibu kota, mustahil itu menjadi satu-satunya penyebab yang mengubah seluruh tempat ini menjadi gurun. Satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah bahwa kondisi ini diciptakan secara sengaja.
Ibu kota kekaisaran terkubur di bawah pasir, sementara wilayah di sekelilingnya berkembang pesat... Seakan-akan ini adalah bentuk balas dendam yang sempurna terhadap Altane, negara yang dulu makmur dengan mengorbankan yang lain.
Raid menghela napas. “Bagaimanapun juga, seperti yang kukatakan tadi, aku bisa memimpin jalan. Semuanya mungkin sudah terkubur, tapi aku masih mengingat area ini dengan baik.”
“Baiklah. Kami serahkan padamu,” kata Savad. “Kami akan menangani para manabeast... dan siapa pun yang mungkin bersembunyi di sini.”
Savad berpisah dari Totori sehari sebelumnya karena sedang mengumpulkan informasi tentang kemungkinan adanya orang mencurigakan yang terlihat di sekitar perbatasan Gurun Libynia. Tak ada laporan yang menunjukkan keberadaan sosok seperti itu, tapi usahanya tetap membuahkan hasil.
“Kabarnya, jumlah manabeast di sini jauh lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya,” ia mulai. “Dan para penjaga yang berpatroli di sekitar perbatasan gurun juga mengaku melihat sosok hantu di antara reruntuhan.”
Gurun Libynia dikelilingi oleh benteng besar yang dibangun untuk mencegah manabeast memasuki wilayah sekitarnya. Setiap wilayah mengirim penyihir mereka sendiri untuk berpatroli dan mengawasi gurun dari atas benteng, meskipun masuk ke dalam gurun itu sendiri dilarang keras demi menghindari kemungkinan memprovokasi manabeast hingga menyerang penjaga lainnya.
Hantu reruntuhan adalah rumor yang beredar di antara para penyihir, beberapa mengaku telah melihat sosok samar yang berkelebat di antara hamparan pasir. Mengingat keberadaan reruntuhan di gurun ini, cerita hantu semacam itu tidaklah mengejutkan, namun, bila dikaitkan dengan berkurangnya populasi manabeast secara drastis, hal ini tentu patut dicurigai.
“Para penyihir tidak memburu manabeast kecuali mereka mendekati benteng. Jika jumlahnya berkurang, itu berarti ada pihak lain yang telah memasuki gurun ini,” jelas Savad.
Raid mengangguk. “Setuju. Jika mereka ingin tetap bersembunyi di gurun, mereka harus memburu manabeast untuk mengamankan wilayah dan jalur mereka. Ini bukan sekadar penyusupan sekali jalan seperti saat mereka membobol istana di Legnare.”
“Jadi kamu juga berpikir begitu? Hm... Mungkin manabeast yang lebih dekat ke pusat gurun mulai gelisah karena mereka. Jadi, Raid, aku ingin meminta satu hal lagi darimu.” Savad menatap mata Raid dengan serius. “Tolong...jaga mereka berdua.”
“Urghhh... Aku benci hidupku...”
“Lima menit lagi...”
Raid melirik kedua gadis di sampingnya dan menghela napas. “Ya... Serahkan saja pada aku.”
Alma memang masih bisa berdiri, tapi mabuk berat membuatnya terlihat tak ada bedanya dengan pasukan kerangka miliknya. Sementara itu, Eluria masih menempel pada Raid, berjuang mati-matian untuk tetap membuka matanya. Kisah hantu tadi malam membuat tidurnya tidak nyenyak, dan kini efek mengigaunya masih tersisa meski sudah cukup lama sejak ia bangun.
Raid menghela napas lagi. “Ini parah sekali... Bahkan mandi pun tak bisa menghilangkan mengigaunya.”
“Aku tidak terlalu paham mengigau seperti apa yang kamu maksud, tapi Totori juga cukup merepotkan, seperti anak kecil yang terlalu penasaran dan manja, jadi aku bisa mengerti perasaanmu...”
Raid dan Savad saling bertukar pandang dan mengangguk pelan, seolah menemukan solidaritas baru dalam penderitaan mereka masing-masing.
“Ngomong-ngomong, Alma,” Raid berkata. “Kita punya petarung lain di sini hari ini, jadi cukup jaga barang-barang dan awasi keadaan sekitar. Kita tidak mau kehilangan semua persediaan dan mati di tengah gurun.”
“’Okeee... Aku memang merasa bersalah karena mabuk di waktu yang tidak tepat ini. Setidaknya aku bisa melakukan itu.”
“Eluria,” lanjut Raid, “tetap di dekatku sampai mengigaumu hilang.”
“Mngh...” Gadis itu hanya bergumam dan mengangguk.
Sementara itu, Alma mulai memanggil beberapa prajurit kerangka untuk berjaga di sekitar mereka, serta seekor kuda kerangka dan kereta untuk membantu perjalanan mereka melintasi gurun.
“Ngomong-ngomong, seberapa kuat manabeast di Gurun Libynia?” tanya Raid.
Alma merenung sejenak. “Berdasarkan survei sebelumnya, mereka tidak memiliki kecerdasan seperti yang ada di Celios, tapi mereka tetap tangguh karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang keras. Selain itu, kurangnya manusia—satu-satunya predator alami mereka—membuat mereka tumbuh lebih besar dari biasanya.”
“Dan si penyusup setidaknya cukup kuat untuk memburu mereka,” Raid menyimpulkan dengan sebuah helaan napas.
Biasanya, perburuan manabeast dilakukan dalam kelompok. Satu penyihir cukup untuk menghadapi manabeast kecil, tapi untuk ukuran sedang dibutuhkan beberapa orang, sementara untuk ukuran besar diperlukan satu unit lengkap dengan setidaknya satu penyihir kelas satu. Langkah-langkah ini diambil untuk memastikan penaklukan yang aman dan pasti. Menghadapi manabeast berukuran sedang atau lebih besar seorang diri adalah tindakan yang sangat berbahaya dan sulit.
Jika asumsi mereka benar bahwa manabeast di Gurun Libynia berkisar antara ukuran sedang hingga besar, maka musuh mereka pasti cukup kuat untuk memburu makhluk-makhluk buas itu.
Namun, hal ini sama sekali tidak membuat Totori gentar. “Hmph. Haruskah kita benar-benar khawatir tentang seberapa kuat musuh kita?” Dia melangkah ke depan dengan kepala terangkat tinggi. “Kita ke sini untuk menyelidiki reruntuhan, mengonfirmasi apakah si pencuri bersembunyi di sini, dan menangkapnya jika memungkinkan. Tapi di permukaan, kita juga di sini untuk mengurangi populasi manabeast dan mengurangi risiko bagi wilayah sekitar.” Totori menyeringai, dan kilat berdesir di bawah kakinya. “Itu berarti semakin mencolok kita dalam membantai para makhluk itu, semakin baik.”
Kilat menyambar dan meledak ke segala arah, berkicau dan berdesis seperti kawanan burung. Di tangan Totori terdapat sebuah tongkat perak yang ujungnya dihiasi dengan beberapa lapisan lonceng, semuanya berdenting dengan merdu seiring dengan setiap kilatan petir.
“Dance of the Mystic .” Begitu Totori mengucapkan kata-kata itu, empat pilar petir meledak dari tanah, bersinar terang di antara pasir dan menjulang tinggi ke langit. Manabeast yang bersembunyi di bawah tanah terlempar ke udara, dan ular-ular petir yang muncul dari pilar melilit tubuh mereka, menggigit mereka dengan taring listrik.
“Hahaha! Hasil tangkapan yang luar biasa! Ini adalah ladang perburuan yang mantap!”
Totori menampakkan taringnya saat ia melangkah maju, dan kilat kembali berdesir di bawah kakinya ketika ia melesat ke langit. Tubuhnya bersinar putih saat ia meluncur di atas ular-ular petir, mendekati para manabeast dengan kecepatan yang tidak manusiawi.
“Sekarang, persembahkan leher kalian padaku!”
Totori berputar seperti sedang menari, staf loncengnya berdenting seirama. Detik berikutnya, sebilah sabit putih berkelebat dari tiang petir dan memisahkan kepala seekor manabeast dari tubuhnya. Makhluk itu begitu besar hingga seorang manusia harus mendongak untuk melihat keseluruhannya, namun dalam sekejap, ia dipenggal tanpa perlawanan. Darahnya menyembur ke udara, hanya untuk menguap seketika akibat panas dari serangan petir, dan kepalanya jatuh tanpa suara, tak berarti, ke dalam pusaran pasir.
Dari sana, Totori dengan lincah melompat dari satu kilatan petir ke kilatan berikutnya, menyiksa para manabeast di sepanjang jalannya. Lonceng berdenting, petir berderak, dan satu per satu kepala terpenggal dalam sekejap.
Saat menyaksikan perburuan sepihak itu, ekspresi linglung Eluria akhirnya mulai fokus. “Sungguh berbeda dari sihir Vegalta,” gumamnya.
Di sampingnya, Alma mendesah. “Serius, ini selalu mengesankan setiap kali kulihat. Memenggal kepala manabeast berukuran besar hanya dengan satu ayunan jari... Aku tak mungkin bisa melakukan itu dengan sihirku.”
“Oh? Jarang sekali kamu merendahkan dirimu sendiri,” ujar Raid heran. “Kamu tidak akan mengatakan bahwa kamu juga bisa melakukannya dengan mudah karena kamu juga seorang penyihir kelas spesial?”
“Ugh... Bahkan penyihir kelas spesial pun punya kelebihan dan kelemahan, tahu? Dead Man’s Brigade-ku mungkin lebih lemah dalam hal daya serang, tapi jangkauannya luas dan sangat efektif melawan banyak lawan sekaligus. Selain itu, bisa digunakan untuk mendirikan kemah, mengangkut perbekalan, dan berbagai kegunaan lainnya—sangat serbaguna dan berguna dalam banyak situasi.”
“Itu benar,” Savad setuju. “Sebaliknya, Dance of the Mystic milik Totori memang sangat kuat, tapi terlalu terspesialisasi dalam serangan, sehingga kurang fleksibel. Dalam kasusku, aku lebih unggul dalam pertarungan satu lawan satu, jadi jangkauanku terbatas. Tanpa orang lain seperti Alma atau Totori untuk melengkapi kemampuanku, ada batasan pada misi yang bisa kutangani.” Savad menggaruk pipinya dengan sedikit canggung.
Meski begitu, kemungkinan besar Savad hanya merujuk pada misi yang bisa ia tangani dengan cara paling sempurna dan ideal. Dari apa yang Raid lihat dari sihir Totori, gadis itu seharusnya tetap mampu menerobos keluar dari situasi sulit dengan kekuatan murni. Sedangkan Alma, meskipun lebih lemah dibanding penyihir kelas spesial lainnya, tetap jauh melampaui penyihir kelas satu mana pun. Dari seluruh penyihir di dunia, hanya sembilan yang diakui sebagai penyihir kelas spesial. Tidak diragukan lagi bahwa setiap dari mereka memiliki kekuatan yang melampaui akal sehat.
“Bagaimanapun juga, tidak ada di antara kita yang bisa menyaingi Yang Mulia atau Eluria...” gumam Alma.
“Oh... Jadi laporan itu benar, ya?” Savad terkekeh. “Katanya mereka bertarung melawan empat Naga Penjaga sekaligus atau memukul sihir dengan tangan kosong...”
“Oh iya, memang terjadi,” Raid dan Eluria mengingatnya dengan santai.
Savad mengangguk dengan wajah serius. “Sepertinya aku dan Totori harus memikirkan ujian yang cukup aman agar kami tidak berakhir sebagai mayat.”
Sementara itu, Totori telah menyelesaikan pembantaian manabeast di jalur mereka dan kembali dengan langkah angkuh, dada membusung dan ekor bergoyang bangga di belakangnya. “Heh! Aku memberi sedikit tambahan tenaga! Bagaimana menurut kalian?”
“Sihirmu luar biasa,” puji Eluria.
“Memang! Aku akan menambahkan lebih banyak tenaga dalam ujianmu, jadi bersiaplah!”
“Oke. Aku benar-benar bersemangat.” Eluria tersenyum hangat dan menepuk kepala Totori. Telinga beastdweller itu berkedut, dan ekornya bergoyang dengan senang. Mereka berdua terlihat begitu akrab dan nyaman saat ini, tapi jika mereka benar-benar bertarung satu sama lain, kemungkinan besar seluruh area di sekitar mereka akan hancur berkeping-keping.
Totori berseri-seri. “Sekarang jalurnya sudah aman, bisakah kita berangkat?”
“Benar. Kita masih cukup jauh dari tujuan, dan kita tidak bisa mendirikan kemah di tengah gurun. Kita harus mencapai reruntuhan sebelum matahari terbenam.” Raid menyapu pandangannya ke seluruh gurun, membandingkannya dengan peta yang ada dalam ingatannya.
Altane pernah menguasai seluruh wilayah timur sambil mengumpulkan kekayaan dari berbagai penjuru negeri, sehingga ibu kotanya jauh lebih besar dari ibu kota Vegalta. Raid masih mengingat di mana distrik utama dan bangunan penting seharusnya berada, tetapi sebagian besar dari semua itu kini telah terkubur di bawah pasir, sehingga ia harus menyusun peta baru berdasarkan struktur apa pun yang masih menyembul ke permukaan.
“Sekarang jalurnya aman, kita bisa menggunakan kereta untuk menghemat tenaga. Alma, kamu harus bekerja lebih keras agar kita bisa mengawasi sekitar dari posisi yang lebih tinggi.”
“Iya, iya... Ugh, naik kereta di atas pasir ini makin memperburuk mabukku...”
“Aku akan mengusap punggungmu kalau kamu ingin muntah, jadi lakukan saja yang terbaik.”
“Raid, aku tidak mengigau lagi. Biarkan aku membantu juga,” kata Eluria.
“Kamu perlu tidur siang. Kamu bisa mengigau lagi kalau kelelahan menumpuk.”
Eluria manyun. “Aku tidak mungkin bisa tidur dalam cuaca seperti ini.”
“Aku akan meminjamkan pahaku, jadi cobalah sebisamu.”
Setelah Raid berhasil menenangkan dua gadis yang tampak kecewa itu, tim mereka naik ke dalam kereta yang ditarik oleh kuda kerangka dan mulai melintasi gurun. Tujuan mereka bukanlah reruntuhan di permukaan, melainkan pusat ibu kota kekaisaran yang telah tenggelam di bawah pasir—lebih spesifiknya, sebuah ruangan tertentu yang terletak jauh di bawah tanah.
“Nah, kalau begitu...” Bibir Raid melengkung menjadi senyum pahit. “Bagaimana kalau kita beri penghormatan kepada takhta kekaisaran yang telah jatuh?”
* * *
Viteos Altane, kaisar ketujuh belas Altane, adalah seorang tiran.
Dua generasi sebelum dirinya, wilayah timur sepenuhnya jatuh ke tangan Altane berkat eksploitasi kaisar saat itu, menjadikan kekuatan fraksi kekaisaran lebih tak tergoyahkan dari sebelumnya. Siapa pun yang berani melawan dihukum mati atas nama kaisar, mengubah takhtanya menjadi simbol kekuasaan mutlak.
Ayah Viteos—yang kala itu masih merupakan kaisar muda—menggunakan kekuatan absolut ini dengan sembrono sejak usia belia. Setelah kematian sang kaisar, ia naik takhta untuk menjalani kehidupan penuh kemewahan, hanya memberi berkah kepada sekutu-sekutunya yang paling setia dengan segala bentuk kekayaan—semuanya menggunakan uang hasil jerih payah rakyat, tanpa pernah benar-benar mengurus pemerintahan dengan baik.
Sejak kecil, Viteos Altane menyaksikan ayahnya menjalani kehidupan penuh dekadensi, dan ia pun percaya tanpa sedikit pun keraguan bahwa begitulah cara seorang penguasa agung Kekaisaran Altane seharusnya bersikap.
Namun, Viteos juga seorang pengecut. Sang kaisar sebelumnya tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya; mereka hanyalah kaisar dan pewaris takhta, bukan ayah dan anak. Konon, Viteos akan dipukuli kapan pun ia berbicara di luar batas. Setelah mengalami masa kecil seperti itu, ia pun mulai meniru perilaku ayahnya yang keterlaluan—mencopot status orang-orang, mengusir mereka dari posisi mereka hanya karena kesalahan sekecil apa pun. Ia mewarisi citra seorang kaisar, persis seperti yang diinginkan ayahnya.
Namun demikian, Viteos tak pernah benar-benar lepas dari bayang-bayang ayahnya. Ketakutan akan dikritik dan dihukum jika ia menentang ayahnya sudah tertanam dalam dirinya sejak lama. Karena itu, Viteos memutuskan untuk berhenti berpikir. Ia hanya perlu melakukan apa yang dilakukan ayahnya—bertindak seperti ayahnya, hidup seperti ayahnya, dan menyenangkan sekutu-sekutunya demi mempertahankan posisinya. Selama ia mengikuti jejak sang ayah, segalanya pasti akan berjalan dengan baik.
Keyakinan ini tak berubah bahkan setelah ayahnya—yang menjalani hidup dalam kehinaan dan pemborosan—jatuh sakit dan meninggal sebelum mencapai usia lima puluh tahun. Meski telah mengambil alih posisi sang kaisar, Viteos tetap percaya bahwa ayahnya telah menunjukkan bagaimana seharusnya seorang kaisar Altane bertindak, dan bahwa meniru perilaku tersebut adalah satu-satunya cara untuk terhindar dari kritik orang-orang di sekitarnya. Selama ia berperilaku dengan cara yang benar—persis seperti ayahnya—maka tak ada yang perlu ia takutkan.
Namun, ada satu hal yang harus dihadapi Viteos yang tidak pernah dihadapi kaisar sebelumnya: seorang pria bernama Raid Freeden. Rakyat jelata itu telah mencetak namanya sendiri berkat kekuatannya yang mengerikan. Takut akan kekuatan yang seakan melanggar hukum dunia, Viteos mengirimnya ke medan perang, hanya untuk melihatnya kembali dalam keadaan hidup—bahkan dengan pencapaian militer yang luar biasa.
Di mata Viteos, sang Pahlawan adalah hal paling menakutkan yang pernah ada. Apa yang akan terjadi jika kekuatan besar itu diarahkan kepadanya? Ia tak berani mencari tahu, dan karena itu ia mengangkat sang Pahlawan menjadi seorang jenderal, menempatkannya dalam fraksi kekaisaran dengan gelar kepahlawanannya, serta melakukan segala cara untuk memastikan pedang itu tetap terarah jauh darinya. Di saat yang sama, sang kaisar tak pernah membiarkan Raid ikut campur dalam politik negara maupun pasukan kekaisaran, sebagai gantinya, ia memberinya komando penuh atas penaklukan ke barat, semata-mata untuk membuatnya tetap berada di medan perang dan jauh dari ibu kota.
Dengan begitu, akhirnya, segalanya kembali normal bagi Viteos. Ia berdoa dan berharap, dengan sangat tulus, agar sang Pahlawan tewas dalam pertempuran melawan sang Bijak dari barat, agar ia bisa terus menjalani hari-harinya dengan damai sebagai kaisar.
Tentu saja, Raid dapat membaca pria itu layaknya buku terbuka.
“Jadi, ya, dia agak menyebalkan, jadi aku sengaja memperpanjang perang hanya karena dendam pribadi,” ujar Raid, mengakhiri kisah panjangnya tentang masa lalu.
Alma menatapnya dengan tak percaya. “Wow... Aku tak menyangka kebencian kecilmu bisa sampai sejauh itu, Yang Mulia.”
“Aku bersyukur kepada para dewa karena kamu bukan musuh kami...” gumam Totori.
“Hampir mengesankan bagaimana kamu sama sekali tidak terpikir untuk beralih pihak atau melakukan kudeta...” Savad bergidik.
“Aku...tak menyangka ada begitu banyak hal yang terjadi,” Eluria bergumam.
Secara keseluruhan, tim itu kini memandang Raid dengan tatapan serupa—ekspresi penuh kelelahan mental.
“Tapi ini cara paling efektif,” Raid bersikeras. “Tak ada yang lebih menguras sumber daya selain perang, dan karena Altane dibangun di atas invasi dan perampasan, mereka tak bisa menyelesaikan perang ini secara politik atau ekonomi. Sebagai tambahan, Viteos tak bisa begitu saja membunuh akar masalahnya, karena masalah itu adalah aku sendiri. Saat aku mengambil posisi sebagai jenderal, aku bahkan mereformasi seluruh fraksi militer dan rantai komando, memastikan bahwa tentara tidak akan bisa berfungsi sebagai organisasi jika ia mencoba menggantikanku.”
“Ngomong-ngomong,” Eluria bergumam, “aku ingat ada masa ketika kami bisa merebut beberapa titik strategis dengan sangat mudah.”
“Oh, itu pasti saat aku dipecat karena ‘kepemimpinan yang bermasalah.’ Penggantiku praktis menyerahkan lima titik strategis kepada Vegalta di atas piring emas, jadi aku hampir langsung diangkat kembali.”
Eluria mendesah. “Kamu tak akan percaya betapa sulitnya memberi makan semua tawanan perang kami sampai kamu kembali.”
“Aku bertaruh kalian membicarakan kisah-kisah perang kalian sambil menikmati teh sore...” Alma berkomentar dengan datar.
“Yah, kami menyebutnya perang, tapi sebagian besar pertempuran berakhir dengan aku dan Eluria saling berhadapan. Itu lebih sering berupa bentrokan kecil untuk saling mengendalikan satu sama lain, daripada pembantaian besar-besaran. Kami menyerah saat kalah dan memperlakukan tawanan perang dengan baik; lagipula, kami dengar bahwa Vegalta akan membalas jika kami melakukannya. Faktanya, lebih banyak korban jatuh akibat insiden saat mundur atau kecerobohan selama penyerangan, daripada pertempuran itu sendiri.”
“Tapi...” Savad merenung. “Bagaimana kamu bisa mempertahankan perang sementara negara sedang dalam kondisi ekonomi yang begitu buruk? Makanan dan suplai sudah pasti diperlukan, tapi pastinya sulit juga untuk menjaga moral pasukan...”
“Ya, kami harus melakukan beberapa upaya. Kadang-kadang aku mengirim prajurit ke desa-desa terdekat untuk membantu berburu atau memancing, kadang-kadang kami meminjam lahan untuk menyimpan hasil panen dengan imbalan berburu manabeast. Kami bahkan meneliti cara mengekstrak mana dari manabeast dan tanaman obat untuk mengubahnya menjadi bahan makanan.”
“Oh... Jadi itu sebabnya ada budaya masakan berbasis manabeast di wilayah timur...”
“Selain itu, sebagian besar prajurit berasal dari desa nelayan dan petani miskin. Mereka sudah punya pengetahuan bertahan hidup dan cukup terampil dengan tangan mereka. Kami hanya perlu merombak kapal perang kami agar bisa digunakan untuk memancing, memberi pekerjaan pada para wanita dan anak-anak untuk mengolah hasil panen, serta mengolah tanah dan membantu mereka menemukan jenis pertanian yang paling cocok... Pada satu titik, sebuah desa di perbatasan bahkan berkembang menjadi kota dalam semalam.”
Totori menyipitkan matanya. “Pada titik ini, aku mulai curiga namamu dihapus dari sejarah karena alasan yang berbeda...”
“Ya...” Alma menggaruk kepalanya. “Kamu telah berkontribusi begitu banyak terhadap budaya dan standar hidup di wilayah timur, jadi namamu seharusnya seterkenal Nyonya Alicia...”
Jika dampak sang Pahlawan terhadap dunia menjadi alasan mengapa namanya dihapus dari sejarah, maka segalanya akan jauh lebih masuk akal.
“Yah, bukan berarti semua itu idenya datang dariku. Aku hanya mengumpulkan pendapat para bawahanku dan mulai mengerjakan rencana yang tampaknya masuk akal.”
“Meski begitu, kamu tetap berhasil mewujudkan banyak hal. Kamu luar biasa, Raid,” puji Eluria sambil mengangguk, terlihat agak bangga sendiri.
“Bagaimanapun, kembali ke topik...” Raid terkekeh. “Viteos adalah penguasa bodoh yang melakukan segala cara demi menjaga keselamatannya—contohnya, menghancurkan terowongan pelarian keluarga kekaisaran di belakang takhta dan menggantinya dengan yang baru, hanya agar ia sendiri yang tahu tata letak internalnya.”
Totori mengerutkan kening. “Lalu kenapa sekarang kamu ingin menyelidiki ruang takhtanya?”
“Melalui sihir Putri Kris, aku mengirim pesan ke bawahanku di masa lalu. Aku ingin memastikan apakah dunia ini benar-benar terhubung dengan masa lalu yang pernah kita jalani.”
Karena mereka menghadapi seseorang dengan kemampuan di luar nalar manusia, mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan—bahkan jika itu berarti meragukan dunia itu sendiri. Apakah garis waktu yang mereka jalani sekarang benar-benar kelanjutan dari masa lalu mereka? Ataukah ini hanyalah dimensi yang identik, diciptakan oleh pihak ketiga yang misterius? Raid mengirim pesan kepada Ryatt untuk mendapatkan jawabannya.
“Pesanku padanya, ‘temukan pedangku dan kembalikan ke tempatnya,’ adalah bagian dari sandi,” jelas Raid. “Ketika ibu kota kekaisaran diserang, kaisar akan dievakuasi ke tempat aman melalui terowongan pelarian di bawah ruang takhta. Dan jika aku menambahkan perintah ‘pastikan untuk meninggalkannya di sana,’ itu berarti menyimpan informasi rahasia di lokasi yang telah ditentukan.”
Ini adalah sandi yang digunakan oleh pasukan Altane seribu tahun lalu. Raid telah menginstruksikan Tiana untuk menyampaikan pesan tersebut kata demi kata, jadi dia pasti telah menangkap maksudnya dan melakukannya persis seperti yang diminta.
“Mengingat semua insiden yang terjadi di sekitar kita, ada kemungkinan besar mereka sudah mengetahui pergerakan kita dalam satu atau lain cara. Itu sebabnya aku menyampaikan pesan dengan sandi.”
Alma bergumam, “Tujuan kita ke Gurun Libynia kali ini sudah diketahui, jadi jika kita melihat ada gerakan mencurigakan di sini, maka itu akan mengonfirmasi bahwa informasi kita telah bocor. Dan jika informasi rahasia itu tidak ada di sana, maka kita bisa lebih yakin bahwa orang ini adalah orang Altania dari seribu tahun lalu. Intinya, kita bisa menyusun deduksi secara bertahap.”
Namun, ada kemungkinan besar bahwa pihak ketiga itu akan tetap bersembunyi untuk menghindari kecurigaan. Meskipun Raid sengaja memengaruhi masa depan, dampaknya bisa jadi terlalu kecil untuk membuat dalang di balik semua ini turun tangan.
“Bagaimanapun...” Raid menyipitkan matanya, menatap ke depan. “Kita bisa melanjutkan pembicaraan ini setelah sampai di sana.”
Kini, dalam pandangan mereka, tampak sebuah struktur buatan manusia yang telah usang. Permukaannya telah memerah akibat oksidasi dan karat, dengan beberapa bagian berlubang seperti dirusak oleh angin gurun dan serangan manabeast. Meski kini sebagian besar tertimbun pasir dan mulai miring, Raid mengenali bangunan ini—itu adalah menara istana yang dulu berdiri di pusat ibu kota kekaisaran. Ibu kota Altane dulunya berada di cekungan yang lebih rendah dari daratan sekitarnya, sehingga ketika semuanya tertimbun pasir, hanya menara ini yang masih menjulang di permukaan.
Tim mereka turun dari kendaraan di hadapan menara yang telah lapuk itu dan mulai mengamati sekeliling.
“Begitu reyot,” gumam Eluria.
“Yah, sudah seribu tahun sejak tempat ini terakhir kali dikunjungi...” jawab Raid.
“Tunggu...” Alma menyipitkan mata. “Apakah bagian dalamnya masih utuh? Bagian yang terkubur mungkin masih bertahan, tapi bisa saja seluruh kota sudah hancur karena tertindih beratnya pasir, kan?”**
Raid menggeleng. “Setidaknya, istana kekaisaran dan semua bangunan pusat lainnya seharusnya masih aman. Kota ini cukup kokoh karena terus diperluas ke bawah, dan bahkan tembok serta struktur di permukaan dibangun menggunakan paduan khusus untuk menahan serangan dari luar.”
Altane memang memiliki kecenderungan untuk memperluas wilayahnya ke bawah tanah karena lokasinya yang berada di cekungan, serta untuk menghindari lingkungan yang tidak stabil akibat kurangnya mana. Sebagian besar permukaan mungkin telah tertutup pasir, tetapi Raid yakin bahwa lorong-lorong di dalamnya setidaknya masih sebagian utuh.
Jadi, itu bukanlah kekhawatiran utama mereka.
“Aku hanya berharap tempat ini tidak terlalu rusak karena mereka!” Raid mengayunkan kakinya dengan kuat, menendang seekor manabeast berbentuk serangga besar yang tiba-tiba melompat dari balik pasir. Cangkangnya langsung penyok, dan cairan hijau menyembur dari tubuhnya. Serangga itu mengeluarkan jeritan sebelum terjatuh dan mati seketika.
Savad menyipitkan matanya dan mengangguk. “Kamu benar. Manabeast mungkin telah merusak interiornya. Karena tempat ini sudah lama ditinggalkan, manabeast pasti sudah lama menjadikan reruntuhan ini sebagai sarang mereka.”
“Ya. Untuk saat ini, kita harus menghindari penggunaan sihir dengan daya ledak besar. Benturan kuat bisa membuat kita semua terkubur hidup-hidup.”
Totori mengerang. “Aku tidak keberatan menahan diri, tapi merepotkan juga kalau harus memperhitungkan begitu banyak hal saat bertarung. Aku serahkan semuanya padamu, Savad!”
“Baiklah. Kamu sudah membersihkan jalannya untuk kita. Aku bisa menggunakan sihirku jika ada area luas di bawah tanah, jadi simpan saja kekuatanmu sampai saat itu tiba.”
“Tentu saja! Kamu harus menunjukkan pada semua orang seperti apa dirimu sebenarnya!”
“Ya, ya... Dan kamu juga harus berperilaku baik.” Savad tertawa dan menepuk kepala Totori.
“Nah, begitulah,” kata Raid. “Kamu juga dilarang menggunakan sihir mencolok, Eluria.”
“Mm... Jadi boleh selama tidak mencolok?”
“Asalkan tidak menimbulkan kejutan besar, kurasa?”
“Kalau begitu... Aku akan menggunakan sesuatu seperti...” Eluria mengangguk dan mengayunkan tongkatnya, menciptakan bilah mana kecil di ujungnya. “Ini seharusnya cukup.”
“Ohhh. Itu agak mirip dengan pedang yang kamu buat untukku, bukan?”
“Mhm. Kita serasi.” Eluria menggenggam tongkatnya yang telah berubah menjadi tombak dengan senyum puas, bahkan memutarnya beberapa kali untuk memamerkannya. Gerakannya begitu luwes, menandakan ini bukan pertama kalinya dia menggunakannya.
“Nah, kita akan serasi... kalau saja aku juga punya pedang...”
“Menggunakan keduanya sekaligus sedikit terlalu sulit bagiku...”
“Oh, baiklah. Kita bisa menunggu sampai kita menemukan pedangku. Bagaimanapun, ini akan menjadi pertama kalinya aku melihatmu bertarung jarak dekat dengan senjata. Aku cukup bersemangat, kamu tahu?”
“Mm. Aku akan memberikan pertunjukan yang bagus untukmu.” Eluria menganggukkan kepala, meniru senyum Raid.
Sementara itu, Alma duduk di tanah, memeluk lututnya, dan menatap kosong ke arah suasana hangat dan akrab di antara pasangan-pasangan itu. “Oh, betapa malangnya diriku, si roda kelima yang menyedihkan...” gumamnya muram. “Maksudku, tidak apa-apa, sungguh... Aku menikmati masa-masa penelitianku saat masih sekolah dan bersenang-senang saat beraksi di pekerjaanku sekarang... Selain itu, kakakku sudah menikah dan aku punya keponakan kecil yang lucu, jadi garis keturunan Kanos tetap berlanjut... Ya, jadi tak masalah aku masih lajang...”
Raid menatapnya dengan bingung. “Dengan penampilan dan posisimu, bukankah seharusnya kamu punya banyak pria yang mengantre dan memohon untuk menikahimu?”
“Tapi aku hanya akan menikah dengan seseorang yang lebih kuat dariku.”
“Kurasa antrean itu langsung bubar dengan kepala tertunduk putus asa, ya...”
Alma menghela napas. “Yang Mulia, kalau aku masih tidak menemukan siapa pun, jadikan aku selirmu, ya?”
“Hanya keluarga kerajaan yang diizinkan memiliki selir, jadi sebaiknya kamu bersiap untuk menjalani hidup lajang.”
“Baiklah... Aku bisa jadi hewan peliharaan juga...”
“Jadi kamu lebih rela melepaskan kemanusiaanmu daripada menikahi seseorang yang lebih lemah darimu...?”
Setelah Raid berhasil menghibur Alma dari kelakuannya yang aneh itu, mereka melanjutkan perjalanan ke dalam menara dan mendapati diri mereka berada di sebuah ruangan dengan dinding-dinding polos dan membosankan.
Eluria melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Gaya arsitekturnya benar-benar berbeda dari Vegalta.”
Totori mengernyit. “Memangnya ini bisa dibilang sebuah ‘gaya’? Ini terlalu polos, terlalu... tidak bernyawa. Bukankah ini seharusnya istana penguasa? Kenapa tidak ada ornamen dan desain apa pun?”
“Nah, yang kamu lihat sekarang adalah dinding bagian dalam dari struktur logam campuran. Permukaan luarnya pasti memiliki beberapa desain, tapi semuanya telah terkikis seiring waktu.” Tampaknya bagian dalam juga telah mengalami kerusakan cukup parah karena sebagian ini mengintip keluar dari permukaan, tetapi dinding logam campuran itu tetap utuh dan tidak menunjukkan tanda-tanda pelapukan atau kerusakan berarti. “Sepertinya kita tidak perlu khawatir akan runtuh. Mari kita turun lebih jauh dan periksa.”
“Tapi aku tidak melihat ada tangga,” Eluria menyoroti.
“Benar juga...” Totori melihat sekeliling. “Seharusnya ada tangga yang mengarah ke bagian bawah menara, bukan?”
“Oh, di Altane, kami berpindah lantai menggunakan mesin yang disebut lift.” Raid mengetukkan kakinya di lantai beberapa kali sebelum menghentakkan kaki dengan kuat. Besi berderit keras saat sebuah lingkaran terbuka di bawah kakinya dan jatuh ke dalam lubang gelap di bawah. Beberapa detik kemudian, suara benturan logam yang nyaring menggema dari dalam lubang menganga itu. “Nah, sekarang kita bisa turun.”
“Orang ini baru saja merusak reruntuhan kuno tanpa rasa bersalah sedikit pun...” Alma berkomentar datar.
“Setelah tadi kamu mengatakan pada kami untuk tidak menghancurkan apa pun,” gumam Eluria dengan nada kesal.
“Tangga darurat tertimbun pasir, dan kita tidak bisa menggunakan lift ini tanpa memasok listrik yang stabil dan konsisten, jadi ini benar-benar satu-satunya cara kita turun.”
Savad terkekeh. “Itu memang solusi yang cukup kasar, tapi setidaknya kita mengetahui beberapa hal. Karena suara gema tadi cukup lama, sepertinya kamu benar, Raid—pasir belum membanjiri koridor bagian dalam. Setidaknya masih ada ruang di bawah sana.”
“Benar. Kemudian...” Raid mengintip ke dalam kegelapan di bawahnya. “Kurasa aku sedikit membuat terlalu banyak suara.” Raungan dan suara gerakan merayap terdengar dari dalam lubang. Ini, tentu saja, adalah sesuatu yang sudah mereka duga: para manabeast telah bersarang di dalam istana. “Huh. Kamu mungkin akan dimakan hidup-hidup saat mendarat. Mau melompat duluan, Savad?”
“Itu terdengar seperti kamu sedang mengirimku ke misi bunuh diri...”
“Bukankah ini bukan masalah besar bagi seorang penyihir kelas spesial?”
“Yah, kamu tidak salah.”
“Kalau begitu bagaimana kalau kita berdua melompat dan membuka jalan?”
“Biar aku yang memimpin. Dewa Kemenangan atau tidak, kamu tetap seorang murid.” Savad menoleh ke belakang dengan senyum dan berkata, “Kami akan maju lebih dulu untuk membasmi serangga-serangga itu,” sebelum melemparkan dirinya ke dalam kegelapan.
Menyadari kehadiran musuh, para manabeast yang memenuhi ruang sempit itu menoleh ke atas dan menampakkan taring mereka pada pria yang jatuh. Namun, mata yang menatap balik dari atas tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun.
Senyum tersungging di bibir Savad. Ia mengayunkan gada besinya saat mana berkilat dan mengalir deras melalui lengannya. “Pertama,” gumamnya, “kurasa aku akan menyingkirkan sepuluh dari kalian.”
Para manabeast menerjang ke atas, tetapi hanya dalam sekejap tubuh mereka remuk dan hancur di bawah ayunan berat Savad. Duri-duri pada gadanya mencabik daging mereka dan menghancurkan tubuh mereka. Itu adalah satu serangan yang begitu kuat hingga para monster itu bahkan tak sempat mengeluarkan jeritan sebelum mereka binasa.
Meskipun memiliki kekuatan luar biasa, gerakan Savad tetap cepat dan lincah. Ia menjaga keseimbangan tubuhnya saat jatuh, menginjak para manabeast yang mendekat untuk bermanuver di udara, lalu menendang dinding untuk mempercepat gerakannya dan melanjutkan serangan.
Tak lama, ia mendarat di atas gunungan bangkai yang baru saja ia ciptakan dan menatap ke bawah dengan senyum masam. “Kurasa ini akan memakan waktu cukup lama.”
Lebih banyak manabeast membanjiri koridor dari ujung lainnya. Mereka pasti mendengar keributan atau tertarik oleh aroma darah, karena bukan hanya manabeast tipe serangga yang ikut bertarung kali ini.
Sesaat kemudian, Raid mendarat di sampingnya dan mengamati para manabeast yang menggeliat di dalam kegelapan. “Yap. Pesta besar di sini,” katanya setuju. “Kurasa ini bakal lebih lama dari yang kita kira... Bagaimana kalau kita ngobrol sebentar?”
“Sekarang...? Ada sesuatu yang khusus untuk dibicarakan?”
“Tentu. Aku punya satu topik yang pas.” Senyum tipis di bibir Raid lenyap saat tatapannya yang dingin dan menusuk mengunci Savad. “Pertama... Aku ingin tahu kenapa mana-mu sama seperti milikku.”
Savad menegang, meski nyaris tak terlihat, tetapi mata Raid yang menyipit tidak melewatkan hal itu.
“Jadi aku benar,” desisnya. “Yah, aku tidak bisa menggunakan perangkat sihir, apalagi sihir itu sendiri, jadi kurasa tidak persis sama.”
Savad mengatupkan bibirnya. “Bagaimana kamu mengetahuinya…?”
“Dari cara Totori berbicara tentangmu,” jawabnya. “Gadis kecil yang dulu kuselamatkan masih hidup dan kini menjadi Imperial Lord. Seharusnya mudah bagimu untuk memastikan bahwa Dewa Kemenangan yang ia bawa hanyalah seorang manusia. Namun, Totori malah berspekulasi bahwa kamu ada hubungannya dengan Dewa Kemenangan, yang berarti kekuatanmu setidaknya mirip denganku.”
Malam sebelumnya, itu tak lebih dari sekadar dugaan. Namun setelah melihat Savad bertarung, kini Raid benar-benar yakin. Tak ada orang yang lebih memahami kekuatan itu dibanding dirinya—Savad memiliki kekuatan yang sama seperti dirinya, dan Totori mencoba menyembunyikan fakta ini.
“Kalian menyembunyikan sesuatu—sesuatu yang begitu besar hingga bahkan seseorang dengan kemampuan serupa pun tidak boleh mengetahuinya.”
“Jadi... apakah kami menjadi tersangka dalam penyelidikanmu?”
“Yah, kalau kamu bicara sekarang, kamu pasti terhapus dari daftar. Kalau tidak, berarti ini benar-benar rahasia besar, jadi aku tak akan memaksa.”
“Maksudmu... kamu tidak keberatan, apa pun jawabannya?”
“Tidak.” Raid menyeringai. “Kemarin, kamu menyerahkan keputusan pada Totori. Tapi kali ini, kamu yang harus memutuskan sendiri.”
Savad merasakan ujung bibirnya ikut tertarik ke atas. “Ya... Aku sudah menduganya. Kamu memang luar biasa.”
“Yah, di kehidupan sebelumnya aku dipanggil Pahlawan.”
“Kalau begitu, lebih baik aku jujur dan menjadikanmu sekutu.” Senyum Savad menegang getir saat ia dengan mudahnya mengangkat gadanya ke bahu. “Sejauh yang bisa kuingat, ada kekuatan aneh yang bersemayam dalam tubuhku. Bahkan sejak kecil, aku cukup kuat untuk melempar seorang pria dewasa dengan mudah. Penduduk desa memandangku dengan ketakutan dan menyebutku iblis, dan orang tuaku pun tak jauh berbeda. Mereka menyuruhku tinggal jauh di dalam pegunungan... jauh dari mereka.”
Itu adalah kisah yang sangat tak asing. Pernah ada seorang anak laki-laki yang sangat menginginkan kekuatan lebih dari siapa pun, dan ketika keinginannya terkabul, semua orang di sekelilingnya—bahkan orang tuanya sendiri—menatapnya dengan ketakutan dan meninggalkannya sendirian.
“Tapi aku tak keberatan,” bisik Savad. “Sendirian lebih baik daripada secara tak sengaja melukai seseorang.” Savad selalu menjadi manusia yang baik hati. Alih-alih menggunakan kekuatannya untuk menyombongkan diri dan menindas orang lain, ia justru takut akan menyakiti mereka, sehingga memilih untuk menjalani hidup yang tenang dan sepi. “Tahun demi tahun berlalu dalam kesendirianku. Pada akhirnya, kekuatan dalam diriku terus berkembang dan membesar, bahkan mulai bermanifestasi di luar kendaliku.”
“Mana-mu mengamuk…?”
“Kalau dipikir-pikir, mungkin begitu.” Savad tersenyum miris. “Aku diusir dari desa sebelum sempat belajar apa pun tentang sorcery.”
Namun, Raid mengerutkan kening. Masa kecil Savad memang mirip dengannya, tetapi mana-nya sendiri tidak pernah sampai meluap dan mengamuk.
“Yah, itu tidak terjadi lagi sekarang. Bagaimanapun, mana-ku telah berubah sejak saat itu.”
“Mana... berubah?”
“Benar. Kamu tahu, aku mati ketika mana-ku mengamuk,” kata Savad begitu santai seolah sedang membahas cuaca.
Seorang manusia yang telah mati seharusnya tidak bisa berdiri di sini dan berbicara sekarang, tetapi Raid terlalu memahami betapa lemahnya logika semacam itu.
“Tapi sepertinya aku tidak kembali dengan sempurna. Aku adalah manusia saat itu, tetapi ketika aku terbangun, aku telah menjadi sesuatu yang mirip beastdweller.” Savad meletakkan tangan di topengnya dan dengan tenang melepaskannya. “Ini adalah kisah Savad,” bisiknya, “seorang mantan manusia yang terlahir kembali melalui ilmu terlarang.” Senyum pahit terlukis di bibirnya. Di dahinya, sepasang tanduk terlihat jelas—identik dengan yang terpahat di topengnya.
* * *
Setelah Savad dan Raid melompat ke dalam lubang, para gadis dengan sabar menunggu di puncak menara untuk menerima sinyal mereka.
“Hrgh... Aku penasaran apakah Savad baik-baik saja...” gumam Totori sambil mengintip ke dalam lubang, ekornya melambai-lambai gelisah di belakangnya.
“Jangan masukkan kepalamu ke sana, Totori. Itu berbahaya.” Eluria melingkarkan lengannya di sekitar beastdweller itu dan menariknya kembali ke pangkuannya. Tentu saja, dia tidak benar-benar khawatir tentang keselamatan Totori; dia hanya tidak ingin membuat Raid dan Savad terkejut dengan tiba-tiba menjatuhkan ‘paket’ yang begitu ceria. “Raid dan Savad akan baik-baik saja, dan Bu Alma sedang berjaga di luar. Mari kita lakukan bagian kita dan menunggu dengan sabar.”
“Kamu benar... Tapi tetap saja, aku khawatir. Savad kadang-kadang anehnya pelupa. Aku merasa cemas hanya dengan melihatnya.” Kerutan muncul di antara alis Totori saat telinganya merosot muram.
Eluria tersenyum dan menepuk kepalanya. “Kamu benar-benar peduli pada Savad, ya?”
“Hm? Kenapa tiba-tiba mengatakan itu?”
“Itu hanya menarik perhatianku karena hubungan kalian mengingatkanku pada hubunganku dengan Raid.”
“Hm... Yah, kami tentu tak akan kalah dari kalian berdua dalam hal kedekatan!” Totori tersenyum lebar, seakan kebahagiaan itu berasal dari lubuk hatinya—perasaan yang sangat dipahami oleh Eluria.
“Ya... Aku mengerti bagaimana perasaanmu.” Saat Eluria kehilangan kesadaran untuk terakhir kalinya dalam kehidupan lamanya, senyum Raid—selalu hangat, selalu tanpa pertahanan—menjadi hal pertama yang muncul dalam benaknya. Kenangan tentang senyum itu dan keinginannya yang tulus untuk melihatnya sekali lagi telah mendorongnya untuk mencari Raid segera setelah dia menyadari bahwa dia telah bereinkarnasi.
Dan karena itulah, dia bisa memahami perasaan Totori.
“Aku mengerti mengapa... kamu menghidupkan kembali Savad dengan ilmu terlarang.”
Mata Totori membelalak lebar, tetapi setelah kilatan kesadaran melintas, tatapannya kembali tenang. “Kenapa kamu berpikir begitu?” tanyanya pelan.
“Karena kamu mengatakan bahwa kamu adalah seekor harimau, dan Imperial Lord-mu adalah seekor rubah.”
“Apa...?”
“Fakta bahwa kamu bisa memberikan jawaban yang jelas tentang hewan apa yang mewakili ciri-cirimu menunjukkan adanya catatan yang bisa membuktikannya. Lagipula, kamu tak mungkin bisa memastikan hal itu hanya dengan sepasang telinga dan ekor.” Telinga dan ekor bukan satu-satunya ciri yang digunakan untuk mengklasifikasikan dan membedakan hewan serta makhluk buas. Ukuran mereka, pola, kebiasaan, dan berbagai hal lainnya juga menjadi pembeda—hal-hal yang tidak dimiliki oleh para beastdweller. Bisa saja Totori sebenarnya adalah seekor kucing belang, sementara Imperial Lord Legnare hanyalah seekor anjing hitam atau serigala yang kebetulan sangat mirip dengan rubah.
“Dengan kata lain, catatan Legnare tentang ilmu terlarang di masa lalu cukup rinci hingga bisa digunakan untuk mengidentifikasi asal-usul para beastdweller. Mungkin para peneliti serta hasil penelitian mereka juga dicatat. Namun, Savad tetap merupakan beastdweller yang tidak teridentifikasi—yang berarti dia adalah hasil dari ilmu terlarang yang dilakukan baru-baru ini.”
Tanpa pengecualian, semua ilmu terlarang yang dilakukan di masa lalu dikatakan berakhir dengan pengorbanan besar dan kegagalan total. Itulah sebabnya penelitian dan praktiknya kini dilarang dengan ketat, dan tidak ada jenis beastdweller baru yang lahir setelahnya. Maka, seorang beastdweller yang tidak teridentifikasi dan tidak tercatat hanya bisa berasal dari ilmu terlarang yang dilakukan setelah larangan itu ditegakkan.
“Dan bukankah tadi aku sudah mengatakan,” lanjut Eluria dengan suara pelan, “bahwa kalian berdua sangat mirip dengan kami?” Savad adalah seorang manusia yang menjadi beastdweller—tidak jauh berbeda dengan seorang elf yang bereinkarnasi menjadi manusia. “Sama seperti yang terjadi padaku.”
Eluria telah bereinkarnasi menjadi manusia, dan jika dia harus menentukan penyebabnya, maka itu adalah kematiannya. Jika Savad juga telah terlahir kembali sebagai wujud yang berbeda, maka dia pasti telah mengalami kematian juga. Karena itulah, Eluria sampai pada kesimpulan bahwa Savad telah dihidupkan kembali melalui ilmu terlarang.
Totori mendengarkan sampai akhir dan mengangguk pelan. “Kamu benar-benar layak disebut sang Bijak.”
“Jadi... apakah ritualmu berhasil?”
Harga yang harus dibayar untuk ilmu terlarang sangatlah tinggi, sebagaimana dibuktikan oleh catatan tentang kota dan desa yang lenyap karenanya. Namun, tidak ada kabar semacam itu yang pernah sampai ke Vegalta belakangan ini. Pelakunya sendiri tidak dicap sebagai penjahat; justru, dia kini bekerja dengan bangga sebagai seorang penyihir kelas spesial. Ini berarti tak ada seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi, dan untuk itu, ritual tersebut pasti berhasil tanpa pengorbanan yang besar.
Namun, senyum Totori tampak getir saat ia mendengus. “Apakah aku berhasil? Aku sendiri tidak yakin.”
“Apa maksudmu...?”
“Aku memang menghidupkan kembali Savad dengan ilmu terlarang—kamu benar soal itu. Yang kugunakan saat itu adalah ritual untuk membangkitkan orang mati, bukan reinkarnasi. Namun, Savad kembali sebagai beastdweller sepertiku.” Totori tertawa hambar dan menyeret pandangannya untuk bertemu dengan Eluria. “Jadi? Apakah kamu akan mengungkap kejahatanku? Aku mungkin tidak menyebabkan kerugian yang nyata, tapi aku sudah menentang dunia dengan menodai tanganku melalui ilmu terlarang.”
“Mm... Aku hanya bertanya karena kupikir ini mungkin berhubungan dengan reinkarnasiku. Ceritakan lebih banyak tentang ritual yang kamu lakukan saat itu. Itu saja yang kuminta.”
“Maksudmu... kamu akan menyimpan rahasiaku sebagai ganti informasi?”
“Mhm. Jika aku membocorkannya, maka orang lain mungkin akan mengetahui tentang reinkarnasi kami dan mencurigai keterkaitan kami dengan ilmu terlarang. Pada akhirnya, kita semua hanya akan berakhir sebagai teman satu sel.” Eluria menggeleng dengan kecewa. Mengingat kesamaan antara kasus mereka, sangat mungkin bahwa sihir reinkarnasi memiliki akar dalam ilmu terlarang. Meskipun mereka sendiri tidak pernah mempelajarinya, Raid dan Eluria mungkin tetap harus menanggung konsekuensinya. “Jadi aku hanya ingin tahu apa yang terjadi. Itu saja.”
Totori mengatupkan bibirnya dan menundukkan kepala. Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk dan mengeluarkan perlengkapan sihirnya. “Kalau begitu,” katanya, “aku akan membalas kemurahan hatimu dengan setimpal.”
“Apakah kamu akan memberitahuku apa yang kamu ketahui?”
“Tidak... Aku akan langsung menunjukkan ingatanku padamu. Dengan begitu, kamu tidak perlu meragukan kata-kataku dan bisa melihat serta menilainya sendiri.”
Eluria menyipitkan mata. “Kamu yakin dengan ini?”
Proyeksi ingatan adalah jenis sihir unik yang lahir dari sorcery Legnaria, yang biasanya digunakan pada para kriminal. Sihir ini menyebabkan rasa sakit yang cukup besar bagi penggunanya, sehingga hanya penyihir kelas satu ke atas yang diizinkan menggunakannya. Terlebih lagi, jika Totori menggunakan mantra semacam itu, maka dia harus mengulang kembali ingatan tentang kematian Savad—menyaksikan kematian orang yang dicintainya, seseorang yang telah dia hidupkan kembali dengan mempertaruhkan hati dan jiwanya. Menggunakan sihir ini akan membebaninya, baik secara mental maupun fisik.
Namun, Totori dengan tegas menggelengkan kepala. “Aku adalah seorang kriminal yang menodai tanganku dengan ilmu terlarang, tetapi sang Bijak yang terhormat telah menunjukkan kemurahan hati dan belas kasih padaku. Ini adalah bentuk rasa terima kasih terbaik yang bisa kuberikan sebagai balasan,” bisiknya seraya menyerahkan perlengkapan sihirnya ke tangan Eluria. “Dan mungkin, jauh di lubuk hatiku... aku hanya ingin seseorang mengetahui kebenarannya.”
Di hadapan mata Eluria, senyum rapuh Totori terdistorsi bersama dengan sekeliling mereka.
Di sebuah gunung yang asing, diselimuti pepohonan dan rerumputan hijau, seorang gadis kecil menangis dalam diam. Eluria menyaksikan dari sudut pandang gadis itu, melihat air mata jatuh satu per satu ke tanah di bawahnya.
Tak lama kemudian, dia mendengar langkah kaki menerobos rerumputan dan suara nyaring lonceng yang berdenting. Gadis itu mendongak dengan cepat dan berteriak, “Savad!” sebelum mendorong dirinya dari tanah dan memeluk pemuda yang berdiri di hadapannya.
Dia adalah seorang manusia biasa, tanpa topeng yang menghalangi matanya. “Kamu menangis lagi, Totori?”
“Iya... Tapi... Tapi semua orang terus mengatakan hal-hal jahat...!” isak Totori kecil, air matanya kembali mengalir deras. “Mereka bilang aku tidak bisa menjadi seorang penyihir... bahwa sorcery keluargaku itu tak berguna dan cacat...!”
Di Legnare, pengetahuan tentang sorcery secara tradisional diwariskan melalui keluarga dan klan. Eluria teringat bahwa dalam beberapa dokumen yang pernah dibacanya, sering kali warisan ini—bukan kapasitas mana, usaha, atau keterampilan seseorang—yang menentukan kedudukannya dalam masyarakat. Maka dari itu, mereka yang seperti yatim piatu, yang tidak bisa mewarisi sorcery apa pun, akan hidup dalam kemiskinan tanpa bisa mengubah nasibnya.
Savad menatap gadis kecil yang menangis itu dengan senyum lembut. “Jangan memelukku, Totori. Kamu akan kotor.”
“Lalu kenapa? Aku bisa mencuci bajuku!”
“Musim dingin hampir tiba. Airnya semakin dingin.”
Gadis itu merengut dan bergumam, “Bukan berarti aku tidak bisa mencucinya...”
“Oh, kamu keras kepala sekali... Kamu juga terus datang meskipun aku sudah menyuruhmu untuk tidak melakukannya.” Dengan senyum masam yang begitu akrab, Savad meletakkan tangannya di atas kepala Totori. “Apa yang akan kamu lakukan jika tanganmu terkena radang dingin? Kamu tidak akan bisa berlatih sorcery atau bahkan memegang pena untuk belajar.”
“Hmph. Lalu kenapa? Aku toh tidak bisa menjadi penyihir...”
“Itu tidak benar. Aku tidak tahu apa-apa tentang sorcery atau mantra, tapi tarian yang kamu tunjukkan padaku waktu itu... benar-benar indah.”
Gadis itu langsung berseri-seri. “Benarkah?! Aku terlihat keren?!”
“Ya. Saat kamu menari di atas aliran air yang berkilauan... Itu sangat memikat.” Senyum muncul di bibir Savad saat melihat ekspresi gadis itu yang kembali cerah. “Jadi aku yakin kamu akan menjadi penyihir yang sangat keren. Tidak peduli apa yang orang lain katakan, aku ingin melihatmu menjadi seperti itu.”
“Kalau begitu... Kalau begitu aku akan berlatih lebih banyak dan menunjukkan padamu semua jenis sihir keren! Lalu aku akan menjadi penyihir hebat, menghasilkan banyak uang, dan mentraktirmu makanan yang enak!”
“Hmmm... Aku memang ingin melihatmu menjadi penyihir, tapi bukankah sebaiknya kamu menggunakan uangmu untuk dirimu sendiri? Aku sudah cukup senang dengan lonceng yang kamu berikan padaku.” Savad dengan lembut menjentik lonceng di pinggangnya, menghasilkan suara nyaring yang jernih.
Totori terkikik. “Kalau begitu, aku akan membelikanmu yang lebih besar setelah aku menjadi penyihir! Dengan begitu, aku bisa menemukanmu di mana pun kamu berada!” serunya, wajahnya dipenuhi impian yang begitu polos.
Saat itulah, pemandangan di hadapan Eluria kembali terdistorsi, membawanya ke dalam sebuah rumah tua. Orang dewasa berlalu-lalang dengan gelisah, ekspresi mereka muram, sementara seorang anak laki-laki terisak, wajahnya dipenuhi ketakutan.
“Kenapa kamu masuk ke gunung iblis?!”
“Gara-gara kalian, iblis itu menyerang rumah Viju kemarin!”
Anak laki-laki itu hanya bisa meringkuk di bawah teriakan orang-orang dewasa. “T-Tapi Totori bilang iblis di gunung itu tidak menyeramkan—bahwa kita jauh lebih pengecut dan jahat! Jadi kami menggunakannya untuk memancing iblis itu keluar... u-untuk memberinya pelajaran...!”
Ding...
Tiba-tiba, suara dentingan lonceng yang jernih menggema di udara.
Ding... Ding... Ding...
Lonceng itu terus berdentang, mengumumkan kehadirannya di dunia.
“Eek! I-Iblisnya di sini! Dia datang untuk membunuh—”
Anak laki-laki itu tak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena di detik berikutnya, dinding rumah itu hancur berantakan. Kekuatan yang menghantamnya membuat bocah itu dan orang-orang dewasa terpental bersama dengan puing-puing.
Kini, Savad berdiri di depan lubang menganga yang baru tercipta. Di atas bahunya terangkat sebuah batang kayu yang lebih tebal dari tubuhnya, berlumuran merah dan meneteskan darah segar. “Maaf, Totori.” Kelembutan dalam senyumannya yang familier begitu kontras dengan darah yang berceceran di wajahnya. “Maaf... kamu harus terluka begitu parah hanya untuk melindungiku.”
Dia menatap ke bawah, ke arah gadis di hadapannya—ke tubuhnya yang menyedihkan. Tak ada satu pun kuku yang tersisa di tangan dan kaki kecil Totori, dan memar menghiasi setiap inci kulitnya yang pucat. Anak laki-laki itu dan teman-temannya mencoba memancing iblis keluar dengan jeritan Totori—namun Totori telah menahan semuanya, menanggung rasa sakit itu hingga akhir, sampai-sampai kini dia bahkan tak mampu mengeluarkan suara untuk berbicara dengan Savad.
Semua itu karena dia tidak ingin Savad melukai penduduk desa dan semakin dicap sebagai iblis.
“Tapi aku... Aku tak bisa menahannya.” Wajah Savad berlumuran darah yang bukan miliknya, merah seperti amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Aku akan menjadi iblis seperti yang mereka katakan... jika itu yang diperlukan untuk melindungi dirimu dan senyummu.”
Bibir Savad melengkung aneh, senyumnya getir dan penuh kepasrahan.
“Maaf,” bisiknya sekali lagi, “karena aku tidak tetap berada di sisimu sampai akhir.”
Savad meninggalkan desa dan kembali ke pegunungan. Begitu sosoknya menghilang di antara pepohonan, pemandangan itu kembali berubah—masih desa yang sama, tetapi kini telah lama ditinggalkan dan hancur hingga tak bisa dikenali lagi.
“Target ‘iblis’ telah terlihat, Nona Totori,” lapor seorang penyihir. “Tim penaklukan dalam posisi siaga. Kita harus bergerak sebelum target mencoba—”
“Tidak perlu. Beri tahu yang lain untuk mundur. Aku akan menangani ini sendiri.”
Penyihir itu terdiam. “Targetnya adalah monster aneh, bukan manusia maupun manabeast. Ia telah menghancurkan semua desa di sekitarnya. Jika mulai mendekati kota—”
“Aku adalah seorang beastdweller dan penyihir kelas spesial. Kamu pikir aku akan kalah? Jika ada terlalu banyak orang, mereka hanya akan menghambatku untuk menggunakan seluruh kekuatanku.”
Menolak segala keberatan, Totori berdiri dan melangkah menuju gunung. Dia menyusuri jalan yang sangat tak asing baginya, dikelilingi pemandangan yang sangat dikenalinya—persis seperti hari ketika dia menangis dalam pelukan Savad.
Akhirnya, dia berhenti dan mendongak, menatap iblis yang berdiri di hadapannya.
“Aku datang untuk memenuhi janji kita, Savad.”
Pemuda yang dulu menjadi tempatnya menangis kini telah tiada. Tubuhnya menjulang di atas pepohonan, dan kulitnya menghitam karena pendarahan akibat mana yang mengamuk. Rambut panjangnya menjuntai, kusut dan berlumuran tanah serta lumpur, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang terdistorsi oleh penderitaan. Sepasang mata yang menatapnya dari balik helaian rambut berantakan itu liar dan gila.
Namun, Totori hanya menatap balik ke arah iblis di hadapannya. “Sudah puluhan tahun... tapi kamu tetap tak berubah sedikit pun.” Pandangannya jatuh melewati bahu iblis itu, ke pinggangnya—ke arah lonceng yang kini begitu bengkok hingga tak lagi mampu mengeluarkan suara. “Kamu menekan mana-mu yang mengamuk dan menanggung semua rasa sakit itu... Seharusnya kamu sudah kehilangan kesadaran, namun kmau tetap turun ke desa untuk mengusir orang-orang... Sekali saja, saat ajalmu semakin dekat, tidakkah kamu ingin memikirkan dirimu sendiri?”
Totori perlahan mendekati iblis itu, air matanya meninggalkan jejak di tanah di sepanjang langkahnya.
“Kamu sudah... cukup menderita,” katanya, suaranya bergetar dalam bisikan. “Karena kekuatanmu yang meluap, kamu dicap sebagai iblis, berubah menjadi monster, bahkan kehilangan kewarasanmu... Namun, meski begitu, kamu tetap berpegang pada kemanusiaanmu dan menanggung semuanya sendirian.”
Petir berkilat di tangan kanan Totori, menyambar air mata yang jatuh dari pipinya.
“Aku telah menepati janji kita... Aku menjadi penyihir yang dibanggakan dan diakui semua orang, seperti yang kamu inginkan. Dan sekarang, semua orang memuji sihirku, persis seperti yang selalu kamu lakukan.”
Iblis itu menggeram seperti binatang buas yang waspada, tetapi tatapannya tak pernah lepas dari Totori, seolah-olah dia mendengarkan.
“Jadi lihatlah ini... dan jangan pernah melupakannya!”
Petir yang terkumpul di lengan kirinya mulai membentuk wujud, mendengung seperti seribu burung yang bernyanyi. Totori mengarahkan ujung tombak petir itu ke arah iblis, sementara air mata mengalir melewati senyumannya yang penuh kepedihan dan kehancuran.
“Aku adalah Totori, seorang penyihir yang gagah dan perkasa!”
Tombak petir itu melesat dari tangan kanannya dan terbang menuju iblis. Seketika, ledakan dahsyat mengguncang pegunungan, dan kilatan petir membutakan langit di atas pepohonan.
Dalam dunia yang terselimuti cahaya putih, sebuah lonceng berdenting.
Saat pemandangan di sekelilingnya kembali normal, Totori hanya melihat tanah yang hangus oleh petirnya sendiri.
Senyuman dari masa lalu yang jauh telah tiada.
Tubuh yang terdistorsi oleh penderitaan telah tiada.
Iblis itu telah tiada.
Totori jatuh berlutut, bibirnya bergetar. “Kenapa... Kenapa kamu harus disebut iblis...?!” teriaknya. “Kamu begitu baik... begitu lembut! Kamu memilih hidup dalam kesendirian karena takut menyakiti orang lain secara tidak sengaja! Kamu hanya... terlalu baik untuk dunia ini!”
Amarah ini ditujukan kepada siapa? Kepada kekasihnya, yang telah memilih jalan kesendirian? Kepada dirinya sendiri, yang tak bisa memberikan apa pun selain kebebasan melalui kematian? Atau kepada semua orang dan segala sesuatu yang telah mengutuknya pada takdir yang begitu kejam?
“Aku hanya ingin menghabiskan hidupku bersamamu! Jika seluruh dunia terus memanggilmu iblis, maka aku ingin berada di sisimu dan memanggil namamu seribu kali lebih banyak!”
Gadis itu menjeritkan isi hatinya, sementara mana di sekelilingnya bersinar dan berpendar. Putih murni dan hitam mengilap mengalir dari tubuhnya, menyebar dan bercampur menjadi abu-abu pucat yang mendistorsi udara dan menembus ruang.
“Tolong... Tolong, Savad...”
Dia menangis ke arah kehampaan yang menganga, memohon.
“Tolong... biarkan aku melihat senyummu sekali lagi.”
Saat harapan terdalam dan paling putus asa Totori tumpah dari bibirnya, pemandangan di hadapan Eluria kembali terdistorsi, kali ini memudar menjadi kegelapan yang pekat.
Tak lama, cahaya kembali memasuki penglihatannya. Adegan berikutnya adalah sebuah ruangan luas, dikelilingi dinding polos dan lapuk—dibutuhkan beberapa saat bagi Eluria untuk menyadari bahwa dia telah kembali ke kenyataan.
“Itulah ritual kebangkitan yang kulakukan,” Totori berucap lemah sambil duduk di lantai di hadapannya. “Aku kehilangan kesadaran pada saat itu. Ketika aku terbangun, tim penaklukan sudah membawaku kembali... bersama dengan Savad, yang telah kembali sebagai seorang beastdweller.”
“Aku mengerti...” bisik Eluria, perlahan mengusap matanya dengan lengan bajunya.
Totori mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis, mengulurkan tangan untuk menepuk kepala gadis itu. “Maaf. Seharusnya aku hanya menunjukkan bagian di mana aku menggunakan ilmu terlarang, tapi proyeksi ingatan mereproduksi kenangan yang meninggalkan kesan paling kuat, jadi aku malah menunjukkan beberapa adegan yang tidak perlu.”
Eluria dengan cepat menggelengkan kepala. “Itu bukan sesuatu yang tidak perlu,” tegurnya tegas. “Itu adalah kenangan berhargamu. Jangan menyebutnya tidak berarti.”
Bibir Totori melengkung menjadi senyum masam. “Astaga. Kamu juga terlalu baik untuk kebaikanmu sendiri,” desahnya. “Aku tidak tahu mengapa ritualku berhasil... Kupikir mungkin karena ada keselarasan antara mana Savad dan mana yang lahir dari ilmu terlarang. Mungkin juga penambahan mana milikku telah mempengaruhi proses dan membuat Savad terlahir kembali sebagai beastdweller daripada manusia.”
Eluria mengangkat alis. “Bukankah itu karena kamu menggunakan ilmu terlarang?”
Totori menggeleng. “Para beastdweller memiliki ciri fisik yang unik karena ilmu terlarang meninggalkan jejak pada penggunanya. Catatan dari masa lalu juga dengan jelas menyebutkan hal ini.”
Dengan kata lain, sebagai pelaku ritual, seharusnya Totori-lah yang terpengaruh oleh prosesnya, bukan Savad. Namun, Totori sudah menjadi seorang beastdweller sejak awal, yang berarti tubuhnya telah mengalami dampak dari ilmu terlarang di masa lalu. Dengan demikian, tubuhnya tidak mengalami perubahan lebih lanjut.
Oleh karena itu, bukan ritual itu sendiri, melainkan keberadaan Totori dalam prosesnya yang telah mengubah Savad menjadi beastdweller—atau setidaknya, begitulah dugaan Totori.
Namun, hal itu membuka kemungkinan lain.
“Kamu dulunya seorang elf, lalu bereinkarnasi menjadi manusia, bukan?”
Dengan hanya satu pertanyaan itu, Eluria sudah memahami apa yang ingin Totori sampaikan. Karena dia telah berubah menjadi ras yang sepenuhnya berbeda melalui reinkarnasi, pasti ada seseorang yang mempengaruhi proses itu—dan kebetulan ada seorang manusia yang bereinkarnasi seperti dirinya.
“Kalau begitu,” gumam Totori, “sangat mungkin bahwa Raid-lah yang memicu reinkarnasimu.”
Alam Ilahi adalah dunia di luar pemahaman manusia, tempat sekumpulan mana yang abnormal, unik, dan maha kuasa bersemayam. Kemungkinan besar... di sanalah asal mula sebenarnya dari mana yang ada dalam tubuh Raid.
“Mengingat dia tidak bisa menggunakan sihir dan tidak tahu apa-apa tentang sihir reinkarnasi,” lanjut Totori, “bisa jadi ada celah dalam ingatannya... atau reinkarnasimu hanyalah hasil dari sebuah formula sihir yang sudah ditetapkan sebelumnya. Setidaknya, ini kemungkinan besar tidak terjadi atas kehendak Raid sendiri.”
Eluria tidak tahu mengapa kekuatan seperti itu ada dalam tubuh Raid. Mungkin itu ditanamkan oleh dalang di balik semua ini. Namun, dia yakin akan satu hal:
“Meskipun begitu, aku tetap ingin berterima kasih pada Raid.”
Mungkin dia memperoleh mana itu karena kebetulan atau rencana seseorang, dan mungkin reinkarnasi mereka bukanlah keinginannya, tetapi tetap saja, Raid-lah yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menemui Eluria setelah kematiannya.
“Berkat dia, aku bisa bersama dengan orang yang kucintai sekarang. Kami bisa menghabiskan waktu bersama dan berjalan berdampingan dengan senyum di wajah kami.” Itu adalah kehidupan yang telah dia rindukan selama seribu tahun, dan kini akhirnya menjadi kenyataan berkat Raid. “Orang yang kucintai datang menemuiku dan mengabulkan keinginanku... Apa lagi yang bisa kukatakan selain ‘terima kasih’? Hari-hariku dipenuhi begitu banyak kebahagiaan hingga rasanya masih seperti mimpi.”
Eluria tersenyum dan dengan lembut menarik Totori ke dalam pelukannya. “Jadi,” bisiknya, “tidak apa-apa bagimu untuk bahagia bersama orang yang kamu cintai juga, Totori.”
Totori gemetar dalam pelukannya dan membenamkan wajahnya di dada Eluria. “Aku... Aku selalu meragukan diriku sendiri!” isaknya, air mata mengalir seperti anak kecil yang tersesat dan kesepian. “Savad sudah cukup menderita, dan karena keinginanku yang egois, dia mungkin harus menderita lebih banyak lagi...! Aku bahkan mengubahnya menjadi ‘iblis,’ akar dari semua penderitaannya... Aku begitu takut bahwa... dia sebenarnya membenciku karena itu...!”
Rasa bersalah ini pasti telah menggerogoti dirinya sejak saat dia membangkitkan Savad. Maka, sebagai seseorang yang juga telah hidup kembali karena kehendak orang lain, Eluria dengan tegas menepis kekhawatirannya. “Itu tidak benar,” katanya. “Kalau memang begitu, dia tidak akan tetap berada di sisimu selama ini.”
“Tapi... Tapi aku...!”
“Dan dia tersenyum,” lanjutnya. “Dia tersenyum dan tertawa tepat di sampingmu... karena kali ini, dia tidak sendirian.” Senyuman Savad saat ini sama seperti yang Eluria lihat dalam ingatan Totori. “Jadi... kamu juga tidak perlu menangis sendirian lagi, Totori.”
Tangis Totori menggema di dalam ruang reruntuhan, sementara Eluria dengan lembut membelai kepalanya, berharap kenyamanan kecil ini suatu hari nanti akan menghapus semua kegelisahannya—berdoa dan berharap, dengan tenang dan tulus, agar keduanya bisa memiliki banyak hari bahagia di masa depan.
* * *
Setelah Raid dan Savad selesai memusnahkan para manabeast, mereka memanggil anggota tim lainnya untuk turun dan melanjutkan perjalanan menuju ruang takhta.
“Dan aku pikir aku adalah ahli dalam pertempuran jarak dekat,” gumam Savad. “Tapi setelah melihat cara bertarungmu dan bagaimana kamu bergerak, aku benar-benar banyak belajar.”
“Yah, aku sudah berpengalaman lebih dari lima puluh tahun,” jawab Raid. “Selain itu, aku juga belajar banyak darimu. Gaya bertarungmu menggabungkan sihir, jadi itu akan menjadi referensi bagus saat aku melatih anak itu.”
“Anak itu beruntung sekali memiliki guru sepertimu.”
“Mengapa kita tidak bertanding suatu saat nanti? Aku lebih senior dalam hal pengalaman bertarung, dan dengan keahlianmu, kamu pasti bisa belajar banyak bahkan hanya dari pertarungan singkat.”
“Itu terdengar menarik! Aku menantikannya setelah semua ini selesai.”
Eluria memperhatikan pertukaran ramah mereka dengan tatapan ingin tahu. “Kalian berdua tampak akrab,” komentarnya.
“Yah, kami sedikit berbagi isi hati.” Raid mengangkat bahu. “Savad menceritakan semuanya padaku—tentang kekuatannya dan masa lalunya.”
Savad menggaruk kepalanya dan menoleh ke Totori dengan senyum canggung. “Itu benar. Maaf, Totori.”
“Aku tidak keberatan. Aku juga sudah mengakui semuanya kepada Eluria.” Totori tersenyum cerah, bebas dari beban. “Berkat itu, aku dan Eluria juga menjadi jauh lebih dekat!”
“Mhm. Kami sekarang sahabat baik.” Eluria meraih tangan Totori dan menampilkan senyum ceria yang sama. Raid dan Savad menatap mereka dengan lega.
Namun, tidak semua orang tampak ceria seperti mereka.
Alma mengikuti di belakang dengan bahu merosot, tertawa hambar tanpa semangat. “Hahaha... Betapa malangnya aku, si roda kelima... lagi.” Untungnya, tampaknya luka yang ia rasakan kali ini tidak terlalu dalam—dia mengusir suramnya dengan hembusan napas berat dan menegakkan punggungnya. “Sepertinya kalian sudah berbagi kisah masa lalu, jadi... jangan pikirkan aku dan lanjutkan saja. Aku bisa mengisi celahnya sendiri—dan tentu saja, aku tahu bagaimana menyimpan satu atau dua rahasia.”
“Itulah satu hal yang kusukai darimu, Alma,” ujar Raid.
“Hanya satu?” Wanita itu mengerutkan kening. “Ah, sudahlah... Ngomong-ngomong, di mana ruang takhta ini sebenarnya?”
“Kita sudah cukup jauh ke bawah, jadi kurasa kita hampir sampai...” Raid menghela napas. “Sial, ini memakan waktu lama hanya untuk turun sejauh ini. Kenapa tempat ini harus begitu mewah?”
Alma mengangkat alis. “Karena... ini adalah istana penguasa?” katanya, dan memang benar demikian, tapi Raid hanya mengangkat bahu dengan malas.
“Tapi agak aneh kalau ruang takhta berada di bawah tanah,” ujar Savad. “Setahuku, di istana Vegalta, ruang takhta dan tempat tinggal keluarga kerajaan berada di lantai atas.”
“Itu hanya tradisi Altane,” jawab Raid. “Iklim yang keras dan tak terduga membuat bawah tanah selalu menjadi tempat paling aman, jadi semakin tinggi statusmu, semakin dalam tempat tinggalmu.”
Hujan dan angin mungkin bukan masalah besar mengingat topografi mereka, tetapi musim panas begitu terik dan banyak warga Altane yang membeku hingga mati setiap musim dingin. Sementara itu, para bangsawan dan orang-orang berkuasa sering bersembunyi di bawah tanah.
“Tapi sekarang,” gumam Raid, mengangkat kakinya untuk menendang, “mereka semua sudah mati juga!”
Pintu kokoh di hadapannya roboh, memperlihatkan takhta besar di ujung ruangan luas. Lapisan debu menandakan perjalanan waktu, tetapi desain yang megah dan ornamen yang gemilang tetap menjadi lambang kejayaan Altane di masa lalu.
“Wow, ini mengingatkan pada begitu banyak kenangan buruk. Aku jadi kesal sekarang. Bolehkah aku menghancurkan takhtanya juga?”
Alma dan Eluria langsung mencengkeram lengannya.
“Yang Mulia, tolong jangan menghancurkan reruntuhan kuno hanya karena dendam pribadi,” ujar Alma datar.
“Kebencianmu pada kaisar lama benar-benar terasa,” Eluria menggumam kecewa.
Karena mereka bersikeras, Raid memutuskan untuk menunda niatnya menghancurkan takhta—dengan penekanan pada kata “menunda.” Dia masih berencana melampiaskan kekesalannya sebelum pergi.
Sementara itu, Savad melihat sekeliling. “Di mana terowongan pelarian daruratnya?”
“Di belakang takhta, di bawah lantai,” jawab Raid. “Mekanisme di ruangan ini dibuat berdasarkan automata Legnaria, jadi bisa dibuka bahkan tanpa listrik.” Dia mengangkat bagian lantai di belakang takhta dan dengan hati-hati mengoperasikan perangkat di dalamnya. Tak lama, lantai itu tenggelam, memperlihatkan tangga batu yang mengarah lebih dalam ke bawah. “Nah, selesai... Yah, turku berakhir di sini. Aku sendiri belum pernah melewati titik ini sebelumnya.”
“Seharusnya setidaknya ada jalan keluar di sisi lain, mengingat ini adalah terowongan pelarian,” kata Savad. “Mungkin ‘hantu reruntuhan’ itu masuk dari sana.”
Raid mengangguk. “Mungkin. Sekarang pertanyaannya adalah: apakah mereka sekelompok pencuri makam yang menemukannya secara kebetulan? Atau mereka memang sudah tahu lokasinya sejak awal? Ayo kita lihat.”
Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar saat tim itu dengan hati-hati menuruni tangga. Di dasar tangga terbentang ruang terbuka yang dipenuhi peti harta karun mencolok dan tong-tong kayu yang telah membusuk, menandakan kemungkinan bahwa keluarga kekaisaran dulu menggunakan tempat ini untuk menyimpan kekayaan tersembunyi dan aset darurat mereka.
Namun, tim tidak memedulikan harta tersebut; perhatian mereka tertuju pada bagian tengah ruangan—ke arah lambang Altane yang terbentang di lantai. Itu bukan hitam dan merah seperti yang diingat Raid, melainkan putih dan biru. Itu adalah bendera gabungan Pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Tiana von Vegalta, murid sang Bijak, dan Ryatt Kanos, ajudan sang Pahlawan.
Raid dengan khidmat mengambil bendera itu. “Kerja bagus, Ryatt,” bisiknya, memberikan pujian tulus kepada bawahan yang paling ia percayai, yang kini telah lama tiada.
Dia menggali tanah di bawah bendera itu dan menemukan sebuah kotak sihir berisi dua surat. “Untuk jenderalku yang terhormat,” ia baca dengan suara pelan. Raid membuka surat yang telah menunggu penerimanya selama seribu tahun dan mulai membacanya:
“Aku telah menerima pesanmu dari Tiana dan melaksanakan perintahmu. Setelah penyelidikan, anggota keluarga kekaisaran yang tersisa bersaksi bahwa mereka melihat Viteos melarikan diri dengan pedang Yang Mulia. Namun, keberadaannya—serta pedangmu—masih belum diketahui. Berdasarkan laporan saksi dan kesaksian yang ada, kemungkinan besar ia membawanya saat ia tenggelam di laut timur.”
“Laporan selesai,” Raid menutup suratnya.
Alma berkedip. “Apa? Hanya itu?”
“Sepertinya begitu.”
“Oh, leluhurku yang terhormat... Setelah membuat semua keturunanmu membaca tentang betapa kamu terus-menerus mengagumi Yang Mulia... Serius? Seharusnya suratmu untuknya mengandung sedikit lebih banyak, entahlah, sentimental mungkin...?”
“Dia orang yang sangat serius.” Raid mengangkat bahu. “Mungkin dia tidak ingin mencampurkan perasaan pribadi ke dalam laporan. Kalau ada yang bisa membuatku lega, itu berarti dia tidak berubah sama sekali dalam sepuluh tahun.” Ia terkekeh dan menyerahkan surat lainnya kepada Alma. “Yang ini untukmu. Mungkin isinya pesan pribadi, jadi kamu tidak perlu membacanya keras-keras.”
Alma menyipitkan mata. “Untukku?”
“Yep. Tertera di sana—‘Untuk keturunanku yang terhormat, Alma Kanos.’”
Dengan enggan, Alma menerima surat itu dan mulai membaca baris demi baris teksnya:
“Aneh rasanya mengatakan ‘senang bertemu denganmu’ kepada keturunanku sendiri, jadi maaf jika salamku kurang pantas. Tiana memberitahuku bahwa dia bertemu denganmu, dan dia cukup bangga mengatakan bahwa kamu membantu Yang Mulia. Namun, aku belum bisa memastikan apakah kamu benar-benar mampu mendukungnya. Tentu saja, aku telah mendengar bahwa kamu adalah seorang penyihir kelas spesial yang sangat dihormati di masamu—sebuah posisi yang, tanpa diragukan lagi, sepenuhnya merupakan hasil dari keahlian dan usahamu sendiri, tetapi tetap saja aku sangat bangga sebagai leluhurmu. Meski begitu, Yang Mulia adalah sosok dengan pemikiran yang sangat mendalam. Untuk mendukung individu yang begitu luar biasa, kamu tidak boleh berpuas diri. Tetaplah rendah hati, terus tingkatkan dirimu, dan abdikan dirimu pada pelatihan. Untuk membantumu memahami seberapa besar tanggung jawab ini, izinkan aku berbagi salah satu dari sekian banyak pencapaian luar biasa Yang Mulia...”
“Tunggu sebentar,” potong Raid. “Seberapa panjang surat itu?”
“Kelihatannya aku punya sepuluh halaman penuh ocehan dari penggemarmu ini...”
“Lewati saja. Orang itu suka mengomel panjang lebar.”
“Siap.” Alma mendesah. “Perintah Yang Mulia didahulukan, seperti yang mungkin dikatakan leluhurku...” Tatapannya yang kosong menelusuri sisa surat Ryatt yang penuh semangat, hingga akhirnya matanya berbinar di halaman terakhir.
Dia menyipitkan mata dan membacakan, “Terakhir, Tiana dan aku telah meninggalkan sebuah hadiah untukmu. Kamu adalah anggota keluarga Kanos yang bangga dan bijak, jadi ini seharusnya berguna bagimu. Aku menaruh harapan besar padamu, Alma Kanos.”
Alma berlutut dan menggali lebih dalam, menemukan sebuah kotak sihir yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Di dalamnya terdapat sebuah bendera Pasukan Sekutu yang terlipat rapi dan sebuah buku.
Bendera itu langsung menarik perhatian Eluria. “Itu terbuat dari benang manaworm,” bisiknya, matanya membesar.
“Manaworm... Bukankah manabeast itu punah akibat perburuan berlebihan?” tanya Alma.
“Benar. Benang yang mereka hasilkan dilapisi mana, membuatnya kuat tetapi tetap lembut saat disentuh. Dulu, aku sempat mempertimbangkan membuat sirkuit mana dari mereka, tapi aku membatalkannya karena populasinya sudah sangat menipis.”
“Seberapa mahal harganya waktu itu?” Alma bertanya.
“Cukup untuk membeli kastil besar beserta tanahnya, dan masih ada sisa.”
Rahang Alma terjatuh. “Bukankah itu terlalu mahal untuk dibiarkan begitu saja selama seribu tahun?!”
“Aku rasa Tiana menyukaimu, Bu Alma, dan bisa kupastikan dia tidak mudah menyukai banyak orang,” ujar Eluria sambil mengangguk dan meletakkan tangannya di bahu Alma.
Raid diam-diam terhibur melihat bahwa baik Alma maupun Eluria tampaknya tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah kerabat jauh, tetapi ia menyimpan pemikiran itu untuk dirinya sendiri. “Lalu, mengenai buku ini,” lanjutnya. “Sepertinya ini adalah daftar tentara Altane... Tidak, ini lebih tipis, jadi mungkin hanya daftar orang-orang yang berafiliasi dengan Pasukan Sekutu.”
“Sepertinya begitu,” Alma setuju. “Tapi ini bukan sekadar daftar biasa. Leluhurku meninggalkan catatan dan komentar tentang kemampuan serta kepribadian mereka...” Dia terdiam, matanya membesar saat menyadari sesuatu. “Hah... Dia bilang dia menaruh harapan besar padaku, dan ternyata dia benar-benar serius.”
“Kamu menyadari sesuatu?” tanya Raid.
“Ya, kurasa aku tahu apa yang dia ingin aku lakukan dengan ini. Hanya saja... yah, aku tidak tahu apakah aku bisa mewujudkannya.” Alma menghela napas, lalu memasukkan bendera dan daftar itu ke dalam tasnya. “Ini pasti akan membuatku begadang beberapa malam... Belum lagi ujian sudah hampir tiba, jadi aku tidak punya banyak waktu. Kurasa aku harus menyerahkan semua tugas mengajar kepada Philia dan—”
“Diam,” potong Savad, matanya menyipit.
Di sampingnya, telinga Totori berkedut waspada. “Ada seseorang di sini.”
“Mm... Bukan hanya satu orang. Ada puluhan dari mereka,” bisik Eluria.
Tatapan mereka terarah ke satu titik, lalu tiba-tiba, kilatan cahaya melesat melewati mereka dan menembus tubuh Savad.
“Ugh...!” Savad terengah dan jatuh berlutut. Dia menekan tangannya ke luka itu, tetapi darah terus mengalir di antara jari-jarinya.
“Apa-apaan ini? Ada pesta besar di sini rupanya!”
Beberapa sosok muncul dari dalam kegelapan.
“Sial... Aku sudah cukup kesal melihat tanah airku hancur berantakan, dan sekarang ini? Aku harus berurusan dengan tikus got di tengah gurun juga?” Salah satu dari mereka adalah pria berambut putih yang mengenakan zirah hitam pekat. Sebuah bekas luka membentang horizontal di wajahnya, dan mata merahnya menatap kelompok mereka dengan jijik.
Namun, Raid hampir tidak memperhatikan kedatangan pria itu; matanya terpaku pada pakaian mereka—seragam hitam legam dengan aksen merah tua... serta lambang yang tak mungkin salah lagi, lambang Altane.
Raid menyipitkan mata ke arah pria berambut putih itu. “Kalau kami tikus got, lalu kalian apa? Perampok makam?”
“Hah? Kamu bicara padaku, dasar tikus busuk?”
“Dan kepada semua preman di belakangmu juga, ya.”
“Haha! Dengarkan si bocah ini ngoceh! Aku tidak tahu kalau tikus got sekarang suka bercanda!” Pria berambut putih itu menyeringai buas sambil mengangkat kapak perang besar ke bahunya. “Ah, tapi kurasa aku tak perlu tertawa. Lagipula, kalian cuma sekelompok idiot yang tidak tahu apa-apa tentang kami—atau tentang apa pun, dalam hal ini. Baiklah, dengarkan baik-baik.”
Pria itu dengan mudah mengangkat kapaknya, bibirnya melengkung menjadi senyum sinis. “Aku adalah sang Pahlawan,” ujarnya. “Mengerti? Sekarang pergilah ke neraka.”
Mengabaikan tatapan tajam dari tim, pria itu melirik ke samping ke arah salah satu pria berzirah lainnya. “Hei. Ada target kita di sini?”
“Ya, Tuan! Kami bisa memastikan bahwa Totori Yahigashi ada di antara mereka!”
“Tsk. Dan kamu berharap aku tahu yang mana dia?”
“Maafkan saya! Target kita adalah beastman—gadis kecil berambut emas!”
“Itu cukup. Sekarang... bunuh sisanya,” perintahnya.
Para pria berbaju hitam itu langsung bersiap dengan senjata mereka—senjata yang sangat familiar bagi Raid.
“Jangan menangkis! Hindari!!!” teriaknya kepada kelompoknya.
Serangkaian suara ledakan tajam mengguncang udara tepat saat mereka berhasil berlindung di balik reruntuhan. Proyektil musuh bergulir di kaki mereka—peluru kecil berwarna hitam, berkilau dengan kilap logam.
Alma mengangkat kepalanya dan berteriak, “Yang Mulia! Kenapa kita tidak bisa menangkisnya?! Benda sekecil ini bahkan tak akan bisa menembus pengha—”
“Penyihir tidak bisa menangkis peluru ini,” potong Raid, mengambil satu dari tanah dan mengangkatnya ke depan matanya. “Ini adalah peluru yang dibuat dari cangkang naga berzirah.”
Mata Eluria membesar, mengenali benda itu. “Senjata jarak jauh yang dulu digunakan Altane?”
“Tepat. Dalam pertempuran jarak jauh, Altane menggunakan senjata yang disebut senapan,” jelas Raid. “Mereka lebih lemah dari sihir dan tidak mampu menembus penghalang, jadi kami hampir tidak menggunakannya selain sebagai tembakan perlindungan. Namun, peluru ini bisa melemahkan mana dan menembus pertahanan sihir.”
Peluru yang dibuat dari cangkang naga berzirah, jenis manabeast yang pernah mereka hadapi dalam ujian simulasi pertama mereka. Namun, seribu tahun yang lalu, peluru ini tidak pernah berhasil diproduksi.
“Naga berzirah juga memakan logam lain, bukan hanya bijih mana, jadi material mereka sangat kuat dan sulit diproses. Namun, jika diberi makan secara selektif, kekuatannya bisa dikurangi dan keseimbangan materialnya terganggu. Meski begitu, mereka tetap sulit dibentuk menjadi zirah, jadi idenya akhirnya ditinggalkan.”
Pada akhirnya, Altane memilih menggunakan naga berzirah itu sendiri sebagai senjata biologis. Namun, ketika mereka kehilangan kendali atasnya dan menyebabkan kehancuran besar bagi pasukan mereka sendiri, seluruh rencana itu ditinggalkan. Dengan kata lain, peluru ini adalah senjata yang belum pernah diciptakan di dunia ini.
“Kamu bisa menjatuhkan mereka dengan sihir, tapi daya seranganmu akan sangat melemah. Anggap saja ini sebagai senjata yang sangat efektif melawan sihir.”
“Jadi Totori dan aku tidak bisa bertarung,” gumam Alma dengan wajah muram.
“Benar. Kalian berdua harus bersiap untuk melarikan diri. Eluria bisa menerobos dengan Polyaggregate Expansion-nya, dan aku bisa membaca lintasan mereka dan menghindar.”
“Tapi... kita tidak bisa begitu saja membiarkan mereka pergi, bukan?” kata Savad melalui giginya yang terkatup, napasnya tersengal.
Totori mengerutkan wajahnya. “Aku merasakan sesuatu yang sangat jahat di balik mereka—sesuatu yang sangat... tak asing bagiku.” Jelas apa yang ia maksud: ilmu terlarang, praktik yang telah membawa begitu banyak pengorbanan dan bencana mengerikan bagi Legnare.
“Aku akan menangani mereka di sini,” kata Savad. “Raid dan Eluria, kejar pria berambut putih itu dan hentikan ritual yang sedang mereka lakukan.”
“Jangan.” Totori mengepalkan tinjunya. “Kamu terluka... Kamu bisa mati.”
“Sebaliknya, ini justru kesempatan terbaikku. Tentu saja, aku tidak berencana mati.” Savad berdiri, keringat membasahi dahinya dan darah masih mengalir dari tubuhnya. “Maaf, Totori. Aku akan pergi sebentar.”
Gadis itu mengerutkan kening. “Kamu harus kembali.”
“Aku pasti kembali.” Dia tersenyum lembut. “Itulah alasan aku menciptakan mantra ini—agar aku selalu bisa kembali ke sisimu.”
Savad melompat ke tengah hujan peluru tanpa ragu. Peluru-peluru itu mencabik dagingnya, menumpahkan darahnya ke udara, tetapi Savad tidak berhenti. Kakinya menjejak tanah, mendorong tubuhnya semakin dekat ke arah para prajurit berbaju hitam.
“Ayo bermain. Kamu yang ‘jaga’.”
Napasnya menggeram, kata-kata polos itu terdengar seperti mantra yang terus berulang. Darah yang menyembur dari tubuhnya membentuk benang-benang tipis yang menjalar di sekeliling luka-lukanya.
“Ketemu. Ketemu. Ketemu.”
Mata di balik setengah topengnya menyapu medan pertempuran, mengunci setiap penyusup satu per satu. Darah melumuri tubuhnya, tetapi tak satu pun target luput dari pandangannya.
“Sekarang,” geramnya, “aku yang ‘jaga’.”
Savad menggenggam gada besinya dan menusukkannya ke dadanya sendiri. Dibalut oleh darahnya sendiri, tubuhnya yang besar langsung membengkak dan berubah menjadi sosok monster.
“Ayo bermain dan bermain dan terus bermain,” ia menggumamkan mantra. “Sampai kutangkap kalian semua, sampai kalian menangis dan merangkak...”
Tangannya mencengkeram erat gada besi yang tertancap di dadanya.
“Ini,” geramnya, “adalah Demon’s Tragedy .”
Savad mengucapkan nama mantra yang kini menjadi akar kekuatannya dan menarik gada itu dari dadanya. Setengah topengnya lenyap menjadi mana—dan tak lama kemudian, dia pun menghilang.
“Apa?!” seorang prajurit tersentak. “Cepat! Konfirmasi lokasi tar—” Namun, dia tak sempat menyelesaikan perintahnya sebelum kepalanya terpenggal dari lehernya. Darah segar menyembur ke udara, dan kepalanya jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk tumpul.
“Dapat satu,” Savad bernyanyi lirih, bibirnya melengkung menjadi senyum menyeramkan. Tak ada lagi kelembutan yang biasanya menghiasi wajahnya, seolah sesuatu yang benar-benar jahat telah merasukinya.
Seorang prajurit lain menjerit. “B-Bagaimana?! Bagaimana dia masih hidup setelah tubuhnya tertembus peluru anti-mana se—” Namun, dia pun tak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena gada besi Savad menghantamnya dan merobek tubuhnya menjadi dua.
Iblis itu tersenyum dan tertawa, menikmati hujan darah yang membasahi sekelilingnya.
Mata Eluria membelalak saat akhirnya ia menyadari sesuatu. “Tunggu, itu...”
“Sebuah kutukan,” sahut Totori, tatapannya tertuju pada sosok iblis yang mengamuk. “Akar dari sorcery dalam bentuknya yang paling mendasar dan primitif. Ini adalah praktik yang menghubungkan takdir melalui dendam dan kebencian. Sekarang, sorcery lebih dekat dengan sihir, tetapi awalnya, sorcery bekerja dengan bereaksi terhadap mana dari penyihir maupun targetnya.”
Eluria menyipitkan mata. “Jadi peluru itu tidak berpengaruh... karena peluru itu hanya melemahkan mana Savad, bukan targetnya.”
“Tepat. Dan tidak peduli seberapa babak belur atau terluka dia, Savad akan terus meregenerasi tubuhnya selama dia dan targetnya terhubung melalui kutukan itu. Sihirnya, Demon’s Tragedy, pada dasarnya memberinya tubuh yang sementara tak bisa mati. Sebagai gantinya, dia kehilangan kesadarannya sebagai ‘Savad’ dan menjadi ‘iblis’ sampai mantranya dibatalkan.” Totori menghela napas dan perlahan bangkit. “Dan itu adalah tugasku, jadi aku harus tetap bersiaga. Alma harus menyiapkan jalur pelarian kita sendiri. Untuk mereka yang masuk lebih dalam ke reruntuhan... bisakah aku menyerahkan mereka padamu?”
Raid mengangguk. “Serahkan saja pada kami.”
“Mhm. Raid dan aku bisa mengurusnya,” tambah Eluria.
Dengan keputusan yang telah dibuat, keduanya melompati para prajurit dalam satu gerakan.
“Mereka menerobos! Pasukan belakang, siapkan— AAAAARGH!”
Baik Raid maupun Eluria tak menoleh ke belakang saat mereka berlari lebih dalam ke reruntuhan. Jeritan memilukan bergema di belakang mereka, sementara hawa aneh menyelimuti langkah-langkah mereka, merayap masuk ke dalam tubuh mereka seperti pelukan yang mengerikan. Itu adalah sensasi yang aneh dan sulit dijelaskan—sesuatu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Mereka akhirnya berhenti saat tiba di ruang terbuka. Di hadapan mereka berdiri sebuah altar yang diterangi oleh obor-obor tinggi, dikelilingi oleh para prajurit berbaju hitam. Ada sekitar tiga puluh orang, tetapi Raid dan Eluria tidak bisa menghitung dengan akurat... bukan dengan kondisi para prajurit itu saat ini.
“Apa-apaan ini? Tikus-tikus got itu benar-benar bisa lolos?” Pria berambut putih itu berbalik, matanya berkedut dengan jengkel... sambil menggenggam kepala salah satu rekannya yang terpenggal, tergantung lemas di tangannya. “Tsk. Aku tahu kita mengirimkan kelompok terlemah untuk menghadapi mereka, tapi apa mereka benar-benar lebih lemah dari tikus got? Rencana kita terus melenceng sialan.”
Pria itu melemparkan kepala terpenggal itu ke atas altar, di mana kepala-kepala lain, anggota tubuh, dan mayat-mayat yang tercabik tergeletak seperti persembahan.
Raid mengepalkan tinjunya melihat absurditas kengerian di hadapannya. “Bajingan,” geramnya. “Kamu membunuh anak buahmu sendiri? Kamu gila?”
“Memangnya kenapa, tikus? Sebentar lagi kamu juga akan kubunuh, jadi—”
Sebelum pria itu bisa menyelesaikan kata-katanya, Raid sudah melompat ke arahnya. “Aku bertanya—apa kamu tak merasakan apa pun setelah membunuh rekan-rekanmu sendiri?!” Mana mengalir deras ke kakinya, meledak dalam tendangan yang cukup kuat untuk menghancurkan tengkorak.
Kekuatan di baliknya fatal; tak ada manusia yang bisa menyadari apa yang terjadi sebelum mereka mati, tak ada manabeast yang sempat mengerang sebelum mengembuskan napas terakhir. Raid melayangkan tendangannya dengan niat penuh untuk membunuh pria itu.
Namun, pria itu hanya menancapkan kakinya ke tanah dan menangkisnya dengan kapak perangnya.
Raid menelan keterkejutannya dan mundur dengan tatapan dingin.
Pria berambut putih itu membalas tatapannya, mata merahnya berkilat tajam. “Hei,” geramnya. “Apa-apaan itu barusan? Bukankah di era ini hanya ada sihir?” Matanya menyipit, tajam dan penuh perhitungan, saat ia mengamati Raid dari atas altar. “Dasar bocah sialan. Kenapa kamu bisa menggunakan kekuatan yang sama denganku?”
Itu sudah cukup bagi Raid untuk memahami segalanya. Peluru yang seharusnya tidak ada, ucapan pria itu tentang “era ini,” kekuatan yang mencerminkan kekuatan Raid... serta apa yang dikatakan Naga Penjaga setelah dipanggil menggunakan mana masa depan Lufus. Semua itu mengarah pada satu jawaban:
“Kamu... Pahlawan dari masa depan.”
Pria berambut putih itu mengklik lidahnya. “Sial. Jadi kamu bekerja sama dengan bajingan bernama Wallus itu?”
“Dan kamu pikir aku akan menjawab pertanyaanmu begitu saja, muka penuh bekas luka?”
“Bocah,” pria itu meludah. “Itu bukan cara bicara yang pantas kepada seorang Pahlawan... Tapi kalau kamu memang berhubungan dengan si pengkhianat itu, maka kurasa kami tidak perlu membuang waktu di sini.”
Saat kedua pria itu saling menatap dengan penuh kebencian, seorang prajurit berlari dari sisi lain ruangan. “Yang Mulia! Persiapan sudah selesai!”
“Sudah waktunya,” desis pria itu. “Sial, anak kecil pun bisa menyelesaikan ini lebih cepat.”
“Mohon maaf!”
“Tak perlu. Sebut saja namamu.”
Prajurit itu memberi hormat ala Altane. “Saya William Haust!”
“Kelompok yang mengulur waktu dengan tikus-tikus got itu tidak akan kembali,” kata pria berambut putih itu, “dan mereka ini mungkin ada hubungannya dengan Wallus, jadi kita lewati stimulasi dan langsung ke tahap kebangkitan. Sekarang, jalankan tugas terakhirmu.”
“Siap, Tuan!” Prajurit itu menghunus senjata dari pinggangnya dan berteriak sekuat tenaga, “Kejayaan bagi Altane, tanah air kita!!!”
BANG! Suara ledakan bergema di dalam ruangan, diikuti suara tubuh yang jatuh dengan tumpul ke lantai.
Pria berambut putih itu hanya mengangguk puas. “Kerja bagus, William Haust.”
Kesiapan mutlak prajurit itu dalam mengorbankan nyawanya demi tanah air membuat Raid terdiam sejenak. Namun, ia segera tersadar saat tanah mulai bergetar hebat. Langit-langit runtuh, memenuhi altar dengan puing-puing dan pecahan batu.
“Nah, sampai jumpa.” Pria itu menyeringai mengejek di tengah reruntuhan. “Jadilah anak baik dan tunggulah Wallus di sisi lain, ya?” Mata merahnya berkilat penuh penghinaan. “Tapi jika kamu berani muncul di hadapanku lagi... Aku sendiri yang akan mengirimkanmu ke sana.”
Meninggalkan ancaman itu, pria berambut putih itu menghilang di balik tirai reruntuhan.
Raid menatapnya dengan tajam sampai dia benar-benar lenyap, lalu mengklik lidahnya dan segera menoleh ke belakang. “Eluria! Tahan reruntuhan dengan—” teriaknya, sebelum suaranya terhenti di tenggorokan. Tatapannya jatuh pada tangan yang gemetar, mencengkeram bajunya erat.
“Wallus...” Eluria berbisik, bahunya bergetar. “Kenapa... Kenapa dia menyebut nama itu?” Matanya, kehilangan arah dan dipenuhi ketakutan, menatap Raid dengan penuh keputusasaan. “Kenapa... dia tahu nama ayahku?”
Dia terlihat seolah akan menangis.
Post a Comment