Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Prolog
Saat masih kecil, dia sering menghabiskan waktunya menatap langit-langit—terbuat dari kayu yang sudah lapuk, dan tampak hampir runtuh.
“Ibu... Maaf...”
Ibunya meletakkan handuk basah di dahinya, wajahnya tampak suram dan muram. “Raid... Bukannya sudah Ibu bilang untuk tidak memaksakan diri?”
Ekspresi seperti itu juga bukanlah hal asing baginya. Hari demi hari, helaan napas demi helaan napas, tak sekalipun wajah ibunya terlihat cerah. Ia selalu berusaha agar tidak mengeluh di hadapan anaknya yang masih kecil, tetapi itu justru semakin menyakitkan bagi Raid, karena ia semakin sadar betapa dirinya hanyalah beban di desa miskin dan terpencil ini.
Pintu berderit saat terbuka, diikuti oleh suara langkah kaki yang berat.
“Oh... Selamat datang kembali, sayang,” ujar ibunya.
“Ya...” Ekspresi ayahnya pun tak lebih cerah dibanding ibunya saat pria itu menjawab singkat sapaan istrinya.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini...?”
“Hah... Apa lagi? Dengan satu tangan, satu pohon saja sudah yang terbaik yang bisa kutebang dalam sehari.” Pria itu menundukkan kepala, kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Setelah kehilangan lengan kirinya dalam perang, ayah Raid hanya menerima sejumlah uang yang sangat kecil sebelum diusir dari pasukan, meski tanpa kata-kata langsung. “Tapi setidaknya lebih baik daripada tidak ada sama sekali... Kurasa semua latihanku dulu masih ada gunanya. Lagipula, tidak banyak pria sehat di desa ini, dan mendapatkan kayu bakar adalah soal hidup dan mati, jadi para tetua desa sangat berterima kasih.” Dengan senyum lemah, ayahnya meletakkan tasnya dengan suara gedebuk yang berat. Beberapa kentang kecil yang bentuknya tidak beraturan berguling ke lantai. Saat pandangannya beralih ke anak laki-laki yang terbaring di tempat tidur, alisnya berkerut. “Raid sakit lagi...?”
“Ya... Gurd menemukannya pingsan di hutan.”
Pria itu menundukkan pandangan, diam untuk waktu yang lama sebelum akhirnya menghela napas. “Begitu ya...”
Raid tahu bahwa dia tidak bisa menyalahkan ayahnya karena tampak begitu pasrah. Bagi para pria yang lahir di desa miskin, bergabung dengan tentara adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Perang memang semakin memperburuk kemiskinan di Altane, tetapi di saat yang sama, perang juga memberi pekerjaan yang stabil bagi mereka yang bersedia mengangkat senjata. Namun, Raid terlalu lemah untuk ikut berperang. Bahkan lebih buruk lagi, ia bahkan terlalu lemah untuk bisa bertahan menghadapi setiap musim dingin yang kejam tanpa takut akan mati begitu saja—seperti nyala lilin yang tertiup angin... dan tentu saja, terlalu lemah untuk layak mendapatkan makanan mereka yang sedikit. Namun, orang tuanya tak pernah meninggalkannya.
“Raid, kenapa kamu pergi ke hutan?” Ayahnya mengernyit, nada suaranya mengandung sedikit kejengkelan. “Kamu tahu betul seberapa lemahnya tubuhmu.”
Anak itu menoleh, matanya yang panas karena demam menatap ayahnya. “Aku ingin... berlatih memegang kapak...”
“Kapak...?”
“Aku tidak bisa menjadi tentara... jadi setidaknya aku ingin membantu menebang kayu...” Raid tahu bahwa bergabung dengan tentara adalah hal yang mustahil baginya, tetapi ia tetap ingin membantu ayahnya, yang berjuang menebang kayu dengan satu tangan yang tersisa.
Sebuah senyum kecil terbentuk di bibir ayahnya. “Begitu ya... Kalau begitu, aku akan mengajarimu begitu kamu sembuh.”
“Benarkah...?”
“Ya. Aku mungkin menebang kayu sekarang, tapi dulu aku pernah mengayunkan kapak perang yang jauh lebih besar dan keren di medan perang, tahu?” Pria itu menepuk kepala Raid dan berusaha menampilkan senyum terbaiknya untuk anaknya. “Jadi, pastikan kamu beristirahat dan segera sembuh.”
Ibunya memperhatikan ayah dan anak itu dengan senyum kecil di bibirnya.
Saat mengingat kembali, Raid menyadari bahwa ini adalah salah satu dari sedikit momen di mana ia melihat orang tuanya tersenyum. Sayangnya, kebahagiaan sekecil ini pun tak bisa bertahan lama. Semakin musim dingin mendekat, semakin berat perjuangan mereka untuk bertahan hidup setiap harinya. Saat kelaparan mulai melanda, pertengkaran antara kedua orang tuanya semakin sering terjadi, dan akhirnya mereka mulai melampiaskannya pada Raid juga, menghujani anak kecil itu dengan kata-kata kasar.
Namun bagi Raid, ibunya tetaplah ibunya. Dan bagi ibunya, Raid tetaplah anaknya yang satu-satunya di dunia ini. Suatu hari, dengan air mata mengalir di pipinya, ia berteriak, “Kenapa? Kenapa kamu begitu lemah?!” Matanya tertuju pada Raid, anaknya yang rapuh. Namun, di saat yang sama, ia juga tengah meratapi dirinya sendiri—seorang ibu yang tak berdaya, yang tak bisa melakukan apa pun untuk anaknya yang malang—bahkan tak mampu menghentikan dirinya sendiri dari melampiaskan amarah padanya.
Ia pasti sudah mencapai batasnya—Raid tahu itu, dan ia ingin menyelamatkan ibunya. Dia memang tak berguna, hanya beban belaka, tetapi ia masih punya satu pilihan.
“Begitu kamu naik ke kereta itu, kamu tak akan pernah bisa kembali ke desa.”
Anak-anak sering berbisik ketakutan di antara mereka—tentang rumor kereta pedagang budak. Para orang tua yang dilanda kemiskinan menghadapi kebutuhan putus asa untuk mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan, namun sering kali mereka tak tega membunuh anak-anak mereka sendiri. Bagi jiwa-jiwa yang terpojok seperti itu, kereta ini datang membawa godaan akan pilihan yang jauh lebih berbelas kasih: menjual anak-anak mereka dengan imbalan sedikit makanan dan uang.
Anak-anak desa membicarakan ini dengan ketakutan, tetapi bagi Raid, ini adalah satu-satunya harapannya. Ia bisa menyelamatkan orang tuanya dengan menghilang. Mereka tak perlu lagi menanggung beban sepertinya. Meskipun dirinya tak lebih berharga dari recehan atau sepotong roti basi, ia akhirnya bisa membantu mereka.
Maka ketika kereta budak tiba pada suatu malam, Raid melarikan diri dari rumah dengan niat menjual dirinya sendiri sebelum orang tuanya menyadarinya. Namun, dunia bahkan tak mengizinkannya untuk mendapatkan satu harapan itu pun.
“Oh? Apa yang dilakukan seorang anak sendirian di luar malam-malam begini?”
Ia mencoba memotong jalan melalui hutan agar tak terlihat oleh penduduk desa, tetapi seorang pria tiba-tiba menyapanya. Wajah di balik tudungnya tersinari cahaya bulan: sebuah senyum lembut dan sejumput rambut perak yang berkilau.
Raid memandang lelaki itu dengan hati-hati. “Jangan beri tahu penduduk desa,” katanya.
“Hm... Aku tidak begitu yakin tentang itu. Malam hari berbahaya. Lagipula, orang tuamu pasti khawatir.”
“Meski begitu, aku harus pergi. Demi mereka,” Raid bergumam sambil menatap cahaya kereta di kejauhan. “Jika aku menjadi budak, ibu dan ayah akan dibayar... Aku akhirnya bisa membantu mereka.”
“Apakah kamu memutuskan itu sendiri?”
“Ya. Jadi tolong jangan beritahu siapa pun dan biarkan aku pergi.”
Lelaki itu mengusap dagunya sejenak, matanya menelusuri tubuh anak itu. “Seorang Pahlawan atau seorang Bijaksana,” katanya tiba-tiba. “Mana yang kamu inginkan?”
Raid menatap lelaki itu dengan bingung. “Apa...?”
“Ini pertanyaan penting. Jawabanmu akan sangat memengaruhi masa depanmu.” Lelaki itu dengan santai memalingkan pandangannya dari Raid dan menuju cahaya kereta budak. “Kamu anak yang cerdas. Kamu menyadari ketidakberdayaanmu, menemukan pilihan terbaik yang tersedia, dan mengambil tindakan untuk membantu orang tuamu.” Pandangannya kembali jatuh pada Raid. “Jadi, bahkan jika kamu naik ke kereta itu dan menjual dirimu, suatu hari nanti kamu akan dihargai. Orang-orang akan memuji kebijaksanaanmu yang mendalam dan akan menyebutmu sebagai sang Bijak. Tapi...”
Lelaki itu menatap Raid, matanya yang biru laut yang dalam berkilau di bawah sinar bulan. “Jika kamu diberi pilihan, apa yang ingin kamu pilih?”
Raid sudah memiliki jawabannya.
Dia selalu membenci dirinya sendiri karena begitu lemah, membenci dirinya sendiri karena begitu tak berdaya.
“Aku... ingin menjadi pahlawan, lebih kuat dari siapa pun,” jawabnya dengan mengepalkan tangan. “Aku benci karena hanya membuat masalah untuk orang tuaku. Aku benci karena terlalu lemah untuk bahkan membantu ayahku. Aku hanya lemah dan tak berdaya, dan aku benci itu... Aku benci semuanya!” Air mata menggenang di matanya, meluap bersama emosi yang selama ini dia pendam.
Lelaki itu tersenyum tenang dan mengangguk. “Tapi itu sulit, kamu tahu, menjadi Pahlawan. Ibumu, ayahmu, dan semua orang di dunia akan takut padamu dan kekuatanmu yang luar biasa.”
“Itu masih lebih baik daripada menjadi lemah,” gumam anak itu.
“Tidak, tidak,” jawab lelaki itu, suaranya untuk pertama kali terdengar lebih tajam. “Aku mengenal seorang anak seperti kamu—seorang anak yang mencari kekuatan untuk mengejar cita-citanya. Dia menjadi lebih kuat dari siapa pun... dan mengubah seluruh dunia menjadi musuhnya. Setelah semua itu, dia berakhir sendirian, terpuruk dalam keputusasaan.” Mata lelaki itu memandang jauh, seolah menatap masa depan yang jauh. “Anak itu bermimpi tentang kedamaian dan kebahagiaan untuk semua orang di sekitarnya. Dia berharap dengan sepenuh hati... tapi kami menggunakan dia. Kami menggunakan dia, dan bahkan menetapkannya sebagai ‘jahat’ tanpa pernah memahami perasaannya yang sebenarnya.”
Senyum pahit dan pedih mengerut di bibir lelaki itu, seperti seorang pendosa yang menyimpan penyesalannya. Kemudian, dia menundukkan matanya dan menatap Raid sekali lagi. “Meski begitu, apakah kamu masih ingin menjadi Pahlawan?”
“Jika aku bisa, maka ya.”
“Wow. Kamu benar-benar memikirkannya dengan matang...”
“Aku lemah. Aku tidak akan tahu bagaimana perasaan anak yang kuat itu.” Raid jatuh sakit karena aktivitas sekecil apa pun dan bahkan hampir tidak bisa memegang kapak. Orang lemah seperti dia tidak akan mengerti masalah orang yang kuat. “Jadi aku ingin menjadi kuat. Aku bisa mengerti mereka yang lemah sepertiku, tapi tidak mereka yang kuat seperti anak itu.”
Raid terlahir lemah dan tidak bisa melakukan banyak hal yang dianggap biasa oleh orang lain. Orang “normal” tidak pernah mengerti bagaimana perasaannya, dan itu hanya membuatnya semakin sakit hati. Jadi Raid tahu, setidaknya, betapa sedihnya menjadi sendirian.
“Jadi jika aku bisa menjadi sekuat anak itu, jika aku bisa mengenalnya...” Raid menatap lelaki itu, matanya lebar dan jernih. “Aku yakin aku juga ingin berteman dengannya.”
Lelaki itu memandangnya, sejenak terdiam tertegun, sebelum akhirnya tertawa ringan. “Haha... Aku mengerti sekarang. Itulah mengapa kamu akan menjadi ‘Pahlawan’...” gumamnya, suaranya menghilang dalam senyuman cerah. Lelaki itu berdiri dengan tenang. “Kalau begitu, sebaiknya kamu tidak naik ke kereta itu. Kamu harus menjadi Pahlawan.”
Raid mengerutkan kening. “Sudah kubilang—aku lemah, jadi aku tidak bisa.”
“Tidak apa-apa. Teruslah berlatih setiap hari, dan semuanya akan berhasil,” janji lelaki itu sambil mengangkat tangannya menghadap Raid. “Karena para Pahlawan,” bisiknya, “mereka telah menitipkan semua harapan mereka padamu.”
Itu adalah hal terakhir yang Raid dengar sebelum dia kehilangan kesadaran malam itu.
Post a Comment