NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Make Heroine ga Oosugiru Volume 8 Chapter 1 - Interlude 1

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


~Kekalahan Pertama~

Sama Sekali Tidak Ada Niat Tersembunyi


Akhir-akhir ini, matahari terbenam terasa jauh lebih lambat.


Sinar matahari senja yang masuk ke ruang klub menyinari Tiara yang duduk di kursi, dikelilingi para gadis klub sastra.


"Ini tehnya, Basori-senpai."


"Ah, terima kasih."


Yang meletakkan cangkir teh panas dengan senyum adalah Shiramata Riko, siswi tahun pertama. Sambil tersenyum sempurna, dia berdiri di belakang Tiara-san seolah mengawasinya.


Saat Tiara-san terlihat tak tenang, Yanami mengulurkan kotak kue.


"Basori-san, mau makan ini?"


"Ah, iya, terima kasih."


Tiara menerima kue itu dengan lega, tapi ekspresinya perlahan berubah jadi bingung.


"Umm… aku merasa tidak nyaman kalau terus ditatap seperti itu."


Wajar kalau Tiara merasa canggung. Yanami membungkuk dan menatap tajam ke arah tangan Tiara-san.


Aku menahan napas dan menepuk-nepuk kursi.


"Yanami-san. Ayo duduk yang manis, ya."


"Nukumizu-kun, kamu pikir aku nyesel ngasih kue ke orang, ya?"


Iya, aku pikir begitu. Yanami mengangkat bahu dengan ekspresi ‘ya ampun’ lalu menjatuhkan diri ke kursi.


"Dengar baik-baik, Nukumizu-kun. Satu keping kue ini tuh 70 kalori."


"Hmm."


"Kalau kue yang harusnya kumakan malah dimakan Basori-san, tahu artinya apa? Ayo, Komari-chan!"


"Eh?! A-aku?"


Komari, yang sedang menatap ponselnya di pojok ruangan, kaget dan mengangkat wajahnya.


"U-umm, jadi, Yanami nggak jadi gemuk… sedikit?"


"Salah. Selanjutnya, Nukumizu-kun."


Jadi ini sistem giliran, ya.


"Kasih aku petunjuk dong."


"Baiklah. Karena aku ngasih kue itu, kira-kira gimana nasib kalori yang seharusnya aku konsumsi?"


Yah, kamu nggak makan, jadi…


"Nol kalori?"


"Salah. Kalori yang seharusnya aku terima pindah ke Basori-san—jadi minus 70 kalori buat aku."


"Ya enggak juga, dong?"


Meski aku sudah menyanggah dengan tulus, Yanami tetap menyilangkan tangan dan melanjutkan teori anehnya.


"Kalau Basori-san makan 110 keping kue ini, berat badanku bakal turun satu kilogram. Ayo, Basori-san, makan lagi."


"Satu keping saja—ah, iya, terima kasih."


Tak sanggup menolak, Tiara-san menerima keping kedua sambil melirik ke arahku.


"Umm, kenapa aku makan kue di ruang klub sastra, ya?"


"Perpustakaan tutup, dan pustakawannya datang setelah jam buka. Kupikir di sini lebih sepi."


"Bukannya di sini justru lebih ramai?"


Sepertinya sih iya. Tapi Yanami  sudah seperti fenomena supranatural lokal, jadi percuma dipikirkan.


"Walau kadang percakapan kita masih bisa kedengaran orang luar… tapi santai aja."


"Mendengar itu justru bikin aku makin nggak tenang, tahu…"


"Ini tehnya, senpai."


"Eh?"


Tok. Shiramata meletakkan cangkir kedua di depan Tiara-san. Menatap kedua cangkir yang berjajar, Tiara-san membuka mulut dengan ragu.


"Shiramata-san, kan? Aku tadi sudah…"


"Silakan diminum sebelum dingin."


"Ah, iya."


Slrupp… Suara Tiara-san menyeruput teh.


Lalu Yanami menatap kue Tiara-san tanpa berkedip. Ya, ini memang klub sastra seperti biasanya.


"Jadi, Basori-san. Katanya kamu mau bicara denganku?"


"Kamu serius mau bicara dalam kondisi kayak gini?"


Iya, serius. Seolah sudah pasrah, Tiara-san menyumpalkan kue ke mulutnya dan meletakkan selembar kertas di atas meja.


"Sebenarnya ini cerita panjang… tapi intinya, aku ingin meminjam nama Nukumizu-san—"


"Tulis namaku di sini, ya?"


Saat aku mengeluarkan bolpoin,


"Ketua klub!"


Shiramata buru-buru menghentikanku dengan wajah panik.


"Kenapa? Ada yang salah?"


"Iya! Jangan sembarangan nulis nama tanpa diperiksa dulu!"


"Yang bener aja, Nukumizu-kun. Ayahku dulu pernah asal cap stempel terus malah jadi masalah besar, tahu."


Yanami mengambil kertas di meja dan memandanginya dengan bingung.


"Formulir pencalonan pemilihan OSIS…? Kenapa ini ada hubungannya sama Nukumizu-kun?"


"Seperti yang kalian tahu, masa jabatan OSIS akan berakhir setelah festival olahraga bulan depan."


Tentu saja aku nggak tahu.

Tiara-san duduk tegak dan menatapku langsung.


"Aku akan mencalonkan diri sebagai ketua OSIS berikutnya. Karena itu, aku ingin Nukumizu-san menjadi pengusungku."


"Pengusung? Aku?"


Dengan nada bingung, aku mengulang kata-katanya, dan Tiara-san mengangguk serius.


"Iya. Kalau bisa, aku juga ingin kau membacakan pidato dukungan."


Pidato dukungan—yang dibacakan di aula saat hari pemungutan suara, kan?


Berpidato di depan seluruh siswa… begitu ya…


"Enggak, aku nggak bisa."


Aku mengambil formulir dari tangan Yanami dan meletakkannya di depan Tiara-san.


"Maaf, tapi cari orang lain, ya."


"Nukumizu-san, tolong dengarkan dulu penjelasanku."


Tiara tetap memohon, tapi ini hal yang nggak bisa kulakukan.


"Ayolah, Nukumizu-kun. Dengerin dulu aja, kan nggak rugi."


Sambil bicara, Yanami menyodorkan keping kue ketiga. Tiara-san ragu-ragu menerimanya, lalu Yanami tersenyum.


"Jadi, kalau Basori-san terpilih, Nukumizu-kun juga bakal masuk OSIS dong?"


"Iya. Karena posisi pengurus ditunjuk langsung oleh ketua, aku ingin Nukumizu-san jadi wakil ketua."


"Kenapa harus Nukumizu-kun? Kan masih banyak yang lebih cocok."


Yanami, tetap saja kasar seperti biasa.


Ucapan itu membuat Tiara-san mengangguk dalam-dalam. Bukankah yang dia inginkan itu bukan aku?


"Karena ketua dan wakil ketua OSIS saat ini adalah perempuan, kami diminta oleh guru agar setidaknya salah satunya laki-laki untuk periode berikutnya. Jadi…"


"Jadi pilihannya jatuh ke aku? Bukannya Sakurai lebih cocok?"


Sudahlah, Yanami. Bisa diam sebentar nggak?


"Sakurai sepertinya tidak berniat melanjutkan di OSIS, dan aku juga tidak terlalu dekat dengan siswa laki-laki lainnya…"


Tiara menunduk dengan canggung.


Jadi begitu, ya. Kalau berdasarkan sistem eliminasi, aku sudah terbiasa. Aku pun mencoba bersikap tenang dan menyela.


"Memangnya harus laki-laki? Sekarang aja dua-duanya perempuan dan nggak masalah, kan? Kalau dijelaskan baik-baik ke guru, pasti bisa dimengerti."


"Karena OSIS adalah perwakilan siswa, kami ingin menjadikannya tempat yang mudah untuk menyerap aspirasi sebanyak mungkin. Kalau semua pengurusnya lawan jenis, siswa lain bisa jadi segan untuk bicara."


Benar juga. Saat ini, Sakurai satu-satunya cowok sekaligus suara hati OSIS. Memang butuh cowok, sih.


"Waktu aku diangkat jadi wakil ketua pun sempat ada perdebatan. Setelah terpilih, kegiatan OSIS juga butuh pemahaman dari guru dan orang-orang di sekitar. Sebagai perwakilan siswa laki-laki Tsuwabuki, bisakah aku meminta bantuanmu?"


Aku mengerti maksudnya, tapi jadi perwakilan cowok? Cocok nggak, ya? Saat aku masih mencari alasan untuk menolak, Yanami buka suara.


"Aku ngerti maksud Tiara-san, tapi Nukumizu-kun itu ketua klub sastra. Kalau dia pergi, kita juga bakal kesulitan."


Wow, pertama kalinya Yanami berkata-kata mendukung. Baiklah, aku akan ikuti arus ini.


"Ah, iya juga. Karena aku punya kegiatan klub, jadi nggak bisa ikut OSIS."


"Kalau mau ‘minjem’ Nukumizu-kun, harus ada keuntungan juga buat klub sastra."


Yanami menyeringai licik. Bahaya, aku salah ikut arus.


"Keuntungan?"


Tiara-san memandang dengan mata membelalak.


"Betul, keuntungan! Misalnya kalau masuk OSIS bisa atur anggaran sesuka hati, atau bisa makan gratis di kantin. Nggak ada gitu kah, hak istimewa OSIS?"


"Eh… hak istimewa ya… Memang sih, anggaran klub disusun OSIS, tapi tetap harus disetujui guru…"


"Serius OSIS yang nentuin anggaran klub?! Nukumizu-kun, gabung aja, dong!"


Cepat banget dia ‘menjual’ aku.


"Kan nggak bisa. Kamu juga ngerti, kan, Yanami?"


"Tapi kamu nggak pengen ruang klub punya kulkas dan microwave? Terus, kalau ada meja rias, pasti seru!"


Itu nggak ada hubungannya sama kegiatan klub.


Lalu Shiratama-san, yang berdiri di belakang Tiara-san, menyatukan tangan dengan mata berbinar.


"Meja rias? Keren banget! Komari-senpai juga pengen, kan?"


"Eh… Meja…?"


Komari yang tiba-tiba diseret dalam pembicaraan, kaget dan tersentak di pojok ruangan.


"Maksudnya meja rias. Tapi nggak mungkin beli begituan pakai dana klub."


"Memang sih, meja rias agak sulit. Tapi kalau kulkas, mungkin bisa kami berikan yang ada di ruang OSIS."


"Kalau gitu, udah pasti dong. Nukumizu-kun, semangat ya!"


"Belum pasti apa-apa. Aku nggak niat masuk OSIS."


Saat aku menolak dengan tegas, Yanami menatap tajam dengan ekspresi menantang.


"Kalau begitu, kita voting aja. Gimana, Shiratama-chan?"


Shiratama menempelkan jari telunjuk ke pelipis dan memiringkan kepala dengan manis.


"Hmmm… kupikir ketua klub yang jadi pengurus OSIS itu keren juga."


"Eh, serius?"


Shiratama tersenyum padaku.


"Iya, aku bisa pamer ke teman-teman. Ketua klubku itu wakil ketua OSIS, lho."


"Begitu ya… bisa buat pamer juga, sih… tapi…"


"Kenapa sih kamu langsung goyah begitu pas Shiratama-san ngomong?"


Kenapa dia malah memelototiku begitu? Padahal tadi dia yang suruh aku masuk OSIS.


"Pendapat anggota klub itu penting. Kita juga harus dengerin pendapat Komari."


"Ma—mati aja."


"Tuh, dia nolak. Jadi suaranya…"


Yanami mengangguk pelan.


"Yup, berarti 2 lawan 1, suara setuju lebih banyak."


"Lho, aku nggak punya hak suara?"


"Kamu kan subjeknya. Jelas nggak punya. Jadi Tiara-san, udah beres ya urusannya."


Tiara-san yang dari tadi diam saja menyimak, mendadak tegap dan siaga.


"Ah, iya! Kalau begitu, Nukumizu-san, tolong tanda tangan di sini—"


Saat Tiara-san hendak mengambil dokumen, Shiratama meletakkan cangkir ketiga di atas kertas itu.


"Eh, ini…?"


"Suaraku abstain. Jadi skornya 1 banding 1, ya."


Di balik uap yang mengepul, Shiratama menebar senyuman malaikat.


"Tiara-senpai—sebelum dingin, silakan diminum."


â—‡


Dua hari setelah ajakan mendadak itu, sepulang sekolah di ruang tata boga.


Aku memperhatikan keterampilan Sakurai mengupas burdock dengan penuh kekaguman.


"Itu buat lauk bekal ketua OSIS? Dibuat di sekolah, ya?"


"Iya. Sayur awetan aku buat setelah pulang sekolah. Nanti lauk utama aku masak di rumah pagi-pagi."


Dari sisi lain ruangan terdengar suara tawa riang anggota klub masak. Sakurai memang bukan anggota klub, tapi kadang dia pinjam ruangan seperti ini.


"…Aku sudah dengar ceritanya. Kamu juga lagi repot, ya, Nukumizu."


Sambil tersenyum kecut, Sakurai merendam irisan burdock dalam air.


"Kalau kamu tahu aku kesulitan, gimana kalau kamu aja yang jadi rekomendasi buat Tiara? Dia bahkan nunggu aku di lorong hari ini."


"Tiara-chan sepertinya nggak mau minta bantuan anggota OSIS. Yumeko-san sempat menawarkan diri jadi pemberi rekomendasi, tapi langsung ditolak mentah-mentah."


"Jadi senior kelas 3 boleh juga jadi pemberi rekomendasi, ya?"


"Gak ada aturan khusus kok. Rekomendator juga nggak wajib masuk OSIS."


Begitu ya… Meski begitu, Tiara-san benar-benar nggak mau bergantung pada tiga orang OSIS lainnya, ya…


Aku merasa makin sulit untuk bertanya lebih jauh, jadi pandanganku beralih ke panci yang mendidih dengan suara gemuruh.


"Panci yang itu sedang merebus apa?"


"Fuki dan abura-age. Itu makanan favorit Hiba-nee."


Sakurai-kun mengangkat ujung aluminium foil yang digunakan sebagai penutup panci.


"Jadi ketua itu suka makanan yang cukup klasik, ya."


"Dasarnya sih makanan Jepang. Kalau dibiarkan, dia nggak akan makan daging atau makanan berminyak, jadi aku harus memperhatikan itu."


Oh begitu. Kalau dia dikombinasikan dengan Yanami… atau mungkin dibagi empat baru seimbang.


"Aku hanya bisa mengurus Hiba-nee sampai festival olahraga nanti. Sebelum itu ada pemilihan ketua OSIS juga, jadi kupikir setidaknya aku bisa buatkan bekal untuknya."


—Hanya bisa mengurusnya untuk sedikit waktu lagi ya.


Kebanyakan siswa kelas tiga akan meninggalkan kota ini untuk melanjutkan studi mereka. Siswa-siswa yang kini belajar di gedung yang sama, sebentar lagi akan mulai menempuh jalan masing-masing.


"Kalau begitu, setelah lulus, ketua OSIS akan meninggalkan Toyohashi juga, ya."


"Dia bilang ingin pergi ke Tokyo demi masa depannya. Aku juga sebentar lagi—"


Saat dia melanjutkan dengan nada sedikit sedih…


"Sakurai-kuuun! Nih, aaan~!"


Tiba-tiba seorang gadis dari klub masak menyela pembicaraan.


Seorang siswi dengan penampilan mencolok menyodorkan sendok kayu ke mulut Sakurai-kun.


Sakurai-kun, tanpa terlihat kikuk, memakannya lalu mengangguk sambil tersenyum.


"Chawanmushi dingin, ya? Kaldu ini campuran kombu dan katsuobushi?"


"Ya, aku agak repot sedikit buat kaldunya. Nanti kuajarin, ya."


"Ku tunggu, deh."


"Kalau mau, malam ini main ke rumahku? Orang tuaku nggak ada."


"Wah, aku merasa nggak enak, jadi aku nggak bisa."


Siswi itu tertawa lalu melambai ringan dan pergi dari tempat itu. Sakurai-kun membalas lambaian ringan itu, lalu kembali mengambil wortel.


"Eh? Barusan itu apa?! Kalian pacaran?!"


"Bukan. Dia wakil ketua klub masak yang membantuku agar bisa pakai ruang ini."


Oh, jadi dia yang membuat kami bisa pakai ruang tata boga… begitu ya…


"Eh, tapi bagian 'aaan~' tadi jelas nggak ada hubungannya, kan? Biasanya itu cuma pacar yang begitu!"


"Bukan kok. Klub masak nggak ada anggota cowok, jadi dia cuma iseng aja."


Sakurai-kun tersenyum canggung. Ngomong-ngomong, aku juga cowok.


"Sejujurnya, aku merasa tenang kalau kamu yang bantuin Tiara-chan. Soalnya kenalan cowok dia cuma kita-kita aja."


"Kalau aku nolak, gimana?"


"Pasti gurunya bakal nyariin cowok lain buat jadi kandidat."


Sakurai-kun berkata dengan santai sambil mematikan kompor.


"OSIS di Tsuwabuki nggak terlalu aktif, jadi setiap tahun guru-guru yang memastikan ada calon yang mendaftar."


"Kalau begitu, berarti aku nggak perlu bantu, dong…"


"Itu kalau Tiara-chan cocok sama calon pengganti itu, sih. Tapi, semua yang pernah kerja bareng dia pasti bilang baik tentangnya. Dia tipe yang tulus dan perhatian pada orang lain."


"Kamu memperhatikannya dengan baik, ya."


"Yah, OSIS cuma empat orang, dan kami sama-sama kelas dua."


Saat sedang mengupas wortel, gerakan pisau Sakurai-kun terhenti.


"Sekarang, keberadaan Hiba-nee di OSIS memang sangat besar. Tapi menurutku dia sengaja nggak banyak minta bantuan. Jadi aku juga memilih untuk nggak ikut campur."


Sakurai-kun menyatakan itu dengan tegas lalu kembali memotong wortel.


Sepertinya suasananya nggak memungkinkan untuk menggali lebih dalam soal Tiara...


Aku pun mencoba mengalihkan pikiran, mengambil wortel yang sudah dikupas.


"Mau aku bantuin?"


"Kalau begitu, tolong iris tipis pakai pengupas di sana, ya."


"Siap. Hari ini mau masak apa?"


"Kinpira gobo dan kacang panjang dengan saus wijen, mungkin."


Saat kami berdua sibuk bekerja dalam diam, terdengar suara ramai dari belakang.


"Sakurai-senpai, maaf ganggu di tengah kesibukan!" 


"Ganggu~!"


Yang mendekat kali ini adalah tiga siswi kelas satu yang tampak malu-malu. Siswi di tengah yang menunduk terus-menerus didorong oleh kedua temannya di sampingnya.


"Ayo cepat bilang!"


"Bilang~!"


Didesak dari kedua sisi, si gadis yang pemalu itu tiba-tiba mengulurkan sebuah bungkusan kecil.


"U-um, Sakurai-senpai! Aku bikin ini, jadi tolong makan, ya!"


Di tangannya, ada madeline yang dibungkus dengan rapi.


"Makasih. Nanti aku makan, ya."


"A-a-aku selalu dukung senpai!"


Tiga gadis kelas satu itu pun kabur sambil berteriak-teriak kegirangan.


"…Barusan itu apa? Event spesial gitu?"


"Mungkin karena aku nggak kelihatan seperti cowok banget, jadi mereka lebih mudah mendekat."


Begitu ya… aku juga sering dibilang nggak cowok banget. Tapi nggak pernah ada adik kelas cewek yang minta tolong cicipin masakan.


Saat aku sedang merenungkan ketimpangan sosial ini, Sakurai-kun berbicara dengan nada tenang.


"…Aku ingin menghargai satu tahun terakhir ini."


Sambil menghentikan gerakan tangannya yang memegang pisau, ia melanjutkan dengan suara yang hanya bisa kudengar.


"Bagiku, OSIS itu ya Tiara-chan, Yumeko-san, dan Hiba-nee. Jadi, ini akhirnya. Aku akan melihat hasil pemilihan, lalu setelah festival olahraga, fokus belajar."


Sakurai-kun melirikku sebentar, lalu membuka mulut dengan sedikit rasa bersalah.


"Maaf ya, aku nggak bisa bantu."


Aku juga mau minta maaf—begitu ingin kukatakan, tapi aku malah tersenyum pahit.


Sejujurnya, aku memang berniat melempar masalah Tiara ke Sakurai-kun. Tapi malah dia yang minta maaf dengan senyuman. Itu benar-benar kekalahan telak.


…Nggak heran sih kalau Sakurai-kun digilai banyak cewek.


Dengan perasaan aneh seperti itu, aku melanjutkan mengiris wortel dalam diam.


â—‡


Aku sudah cukup terbiasa berangkat sekolah naik sepeda.


Sambil melaju melintasi kota di waktu senja dengan sepeda kesayanganku, aku melihat sekilas halte trem Higashiyamachi, tempat aku biasa naik dan turun saat kelas satu.


Angin yang biasanya terasa dingin saat matahari mulai condong, kini justru terasa nyaman.


Setelah selesai membantu Sakurai, aku pulang langsung agar tidak bertemu dengan Tiara-san.


Belakangan ini, karena Tiara-san sering muncul di area gelap gedung barat, aku sudah memutuskan untuk tidak mendekat ke sana.


"Aku pulang."


Saat membuka pintu masuk, aku melihat sepasang sepatu wanita yang asing dan tersusun rapi.


...Yah, kali ini pola yang mana, ya. Sepatu kulit mengkilap itu milik perempuan, tapi bukan milik para gadis klub sastra. Mungkin teman Kaju atau kunjungan rumah dari guru.


Tanpa banyak berpikir, aku membuka pintu ruang keluarga—dan yang kulihat adalah Tiara-san memakai celemek, berdiri di dapur bersama Kaju.


"?! Kenapa Tiara-san ada di sini?"


Pertanyaan wajar dariku dibalas Kaju dengan tatapan menegur.


"Onii-sama, Basori-san itu tamu Kaju. Kami sudah janjian untuk memasak bersama."


"Terima kasih sudah menerima kedatanganku, Nukumizu-san. Dan tolong jangan panggil aku dengan nama depan."


Tiara dan Kaju… memasak bersama? Di saat seperti ini?


Berusaha bersikap tenang, aku meletakkan tas di sofa sambil melirik ke arah mereka.


Kaju menjelaskan dengan penuh semangat sambil memegang katsuobushi dan kombu, sedangkan Tiara-san mengangguk terus-menerus sambil mencatat.


Sepertinya mereka benar-benar membahas masakan, tapi aku tak bisa lengah.


Saat aku mengamati dengan cermat, suara bel pintu depan berbunyi. Kaju menyeka tangannya dengan celemek dan menuju ke pintu.


"Kaju akan keluar dulu, ya. Onii-sama, tolong temani Basori-san."


Temani? Padahal dia sudah SMA, kurasa tak masalah kalau dibiarkan sendiri, tapi mengabaikan juga aneh rasanya.


Aku berdiri di samping Tiara dan mengintip ke dalam panci yang mengeluarkan uap.


"…Miso sup?"


"Benar. Aku tak mau dianggap sebagai perempuan yang bahkan tak bisa membuat miso sup."


Sambil berkata begitu, Tiara menatap kombu di dalam panci dengan sungguh-sungguh.


…Jadi dia masih kepikiran kejadian saat pelatihan di rumah ketua bulan Maret lalu, waktu dia lupa membuat kaldu, ya.


"Miso sup waktu itu juga enak, kok. Rasa miso merahnya terasa langsung, atau bisa dibilang sangat miso merah."


"Itu sama sekali bukan pujian, kan? Ayo, coba rasakan ini."


Tiara menyodorkan piring kecil dengan sikap dingin.


Meski merasa tertekan, aku mencicipinya, dan rasa yang sudah akrab menyebar di lidahku.


"Hmm, rasanya enak. Karena pakai kombu yang biasa, rasanya mirip masakan Kaju."


"──Onii-sama, memakai bahan yang sama tidak berarti rasanya juga sama."


Saat mengatakan itu, Kaju kembali.


"Cara memperlakukan bahan saja bisa membuat rasa berbeda. Itulah rasa khas masakan rumah."


"Begitu ya. Tapi ini tetap mirip dengan rasa biasanya."


Kaju melangkah cepat ke kulkas dan mengambil teh barley.


"Karena diajarkan langsung oleh Kaju, tentu saja. Kalau terus diulang, Basori-san juga bisa membuat rasa khas keluarga Nukumizu sendiri. Kami selalu menunggu kedatanganmu."


"Eh?!"


Tiara yang memegang sendok sup terkejut hingga tubuhnya tersentak.


"Ti-tidak, aku belajar bukan karena maksud seperti itu! Memang aku penasaran dengan rasa yang biasa Nukumizu-san makan, tapi… e-eh, apa aku mau menikah?!"


Eh, siapa juga yang bilang begitu. Seperti biasa, orang ini emosinya naik turun banget…


"Ehmm, bukan begitu, jadi tenang saja—"


"Hei, itu Baso-chan, kan? Kenapa kamu ada di sini?"


Suara yang tiba-tiba datang itu milik Yakishio.


Dengan tank top dan celana pendek olahraga, dia masuk ke ruang keluarga sambil menenteng handuk di leher.


"Hari ini aku masak berdua dengan Basori-san. Silakan, Yakishio-san."


"Makasih, Kaju-chan."


Yakishio menenggak teh barley yang diberikan, lalu menghela napas puas.


"Ahh, segar banget. Kalau begitu, aku numpang mandi ya."


"Ya, handuknya sudah aku siapkan."


Yakishio melambaikan tangan dan pergi. Sejak rumahku jadi ruang klub sementara, dia sering mandi di sini, ya…


"Tiara-san, panci kamu mendidih tuh, nggak apa-apa?"


"Eh? Ah, u-um, kenapa Yakishio-san bisa mandi di rumah ini sih?!"


Entahlah. Aku juga nggak tahu.


"Hmm… mungkin karena rumah ini ada di sini."


"Meski begitu, kan nggak wajar cewek mandi di rumah cowok?! Apa kalian berdua, ada hubungan khusus?!"


"Benarkah, Onii-sama?!"


Kenapa Kaju juga ikutan heboh, sih.


"Kamu sendiri yang pertama kali nyuruh dia mandi di sini. Udah deh, matikan kompornya dulu."


Setelah mematikan kompor, aku mengabaikan mereka dan mencicipi kaldu.


Dibandingkan buatan Kaju, rasanya sedikit ada sisa rasa kasar di lidah—tapi… ini juga lumayan enak, ya.


Tak terdengar suara air dari kamar mandi.


Saat aku mempercepat langkah melewati pintu itu—


"──Hei, Nukkun."


Yakishio memanggilku dari balik pintu.


"A-a-apa?!"


Aku panik tanpa sengaja, tapi Yakishio tetap bicara dengan nada biasanya.


"Pekan olahraga, sebentar lagi kan mulai latihan. Nukkun ikut lomba apa?"


...Pekan olahraga? Kenapa bahas itu sekarang?


"Kalau nggak salah, lomba rintangan, ya."


Aku menjawab dengan nada santai, tapi suara dia yang sedang mengelap tubuh dengan handuk… entah kenapa, bikin aku makin tak tenang.


Hanya dipisahkan satu pintu, ada teman sekelasku yang baru selesai mandi. Aku juga cowok normal, tahu?


"U-um, soal itu kita bahas lain kali aja—"


"Eh, nggak mau tanya aku ikut lomba apa?"


Apa-apaan itu, kayak pacar yang ngambek aja.


"Kalau begitu… Yakishio-san ikut lomba apa?"


"Estafet antar kelas, lari 200 meter, sama perang yel-yel, kayaknya. Nukkun nggak ikut perang yel-yel?"


Perang yel-yel, ya. Itu yang anak-anak populer kelas tampil nyanyi dan nari bareng tiap kelas, kan.


"Nggak ikut. Aneh aja, masa kita nyemangatin diri sendiri?"


"Apaan tuh, mikirnya ribet banget."


Yakishio tertawa cekikikan. Saat aku ikut tertawa, tiba-tiba suara Yakishio berubah sedikit serius.


"──Aku dengar dari Komari-chan."


Dengar apa? Sebelum aku sempat bertanya balik, Yakishio melanjutkan.


"Katanya Nukkun mau ninggalin klub sastra lagi."


"…Yakishio-san yang ngomong begitu?"


"Eeh, itu beda urusan, dong."


Oh gitu ya, beda urusan. Kalau Yakishio yang bilang, ya sudahlah.


"Jadi, begini. Basori-san minta aku jadi pendukung pencalonannya di pemilihan ketua OSIS. Aku susah menolaknya."


"Pendukung pencalonan? Cuma itu?"


"Itu, dan… dia juga minta aku jadi wakil ketua kalau dia terpilih—"


"Nukkun, mau masuk OSIS?!"


Graaak!


Pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras, dan aku buru-buru memalingkan wajah.


"Wah! Jangan buka pintunya, dong!"


"Aku sudah pakai baju, kok. Nih, aku pakai handuk, kan?"


Handuk itu bukan baju. Sama sekali bukan. Titik.


Tanpa peduli bahwa aku sedang berjuang menahan diri, Yakishio mendekat dengan langkah kaki telanjang yang menepak-nepak lantai.


"Hmm, waktu aku ngajak kamu gabung klub pulang-cepat, kamu langsung nolak. Tapi pas Baso-chan ngajak kamu masuk OSIS, kamu malah bimbang, ya. Hmm."


"Udah aku tolak, kok. Dia aja yang nggak nyerah-nyerah."


"Udah kamu tolak, tapi dia masih sampai ke rumah dan masakin kamu makan. Hmm."


Dari luar sudut pandangku, aku bisa merasakan Yakishio makin mendekat sedikit demi sedikit.


Aroma shampoo setelah mandi dan wangi khas Yakishio menyelimuti leherku…


"Yakishio-san, kamu lagi marah… ya?"


"Aku nggak marah, kok?"


Ah, ini jelas marah. Aku punya adik perempuan, jadi cukup paham soal hati cewek. Masih membelakangi Yakishio, aku menundukkan kepala sambil minta maaf.


"Eh, maaf. Aku bakal hati-hati supaya nggak bikin Komari khawatir lagi."


"...Hmm, ya udah, untuk hari ini aku maafin, deh."


Dimaafkan. Saat aku menghela napas lega, Yakishio tiba-tiba muncul di depanku dengan santai.


"?! Cepetan pakai baju, nanti masuk angin!"


"Kan udah pakai baju. Nih, aku pakai handuk, kan."


Handuk itu bukan baju. Sama sekali bukan.


"Nukkun, jaga Komari-chan ya."


"Ya, ya! Cepat sana balik!"


Begitu memastikan Yakishio kembali ke ruang ganti, aku menghela napas panjang.


Aroma shampoo yang tak kukenal masih menggantung di udara…


…………Hah?


"Jangan-jangan Yakishio bawa shampoo sendiri?"


"Iya, aku pakai yang dikasih Chiharu-chan. Nukkun juga boleh pakai, kok."


Berarti, orangtuaku juga pasti sadar soal shampoo asing ini…


…Nggak, mending jangan dipikirin lebih jauh.


Aku mengibaskan semua kegelisahan di hati, lalu berlari menaiki tangga.


â—‡


Keesokan harinya, saat istirahat siang.


Dengan roti kari dan susu di tangan, aku menuju tangga darurat gedung sekolah lama.


Hari ini cuacanya bagus, dan udaranya juga sejuk. Kalau dia nggak di kelas, pasti ada di sini—


"Ah, bener, kan."


Di lantai 3 dekat tangga, Komari bersandar di pagar sambil makan roti manis.


Begitu melihatku, dia kaget dan buru-buru menelan rotinya.


"N-Nukumizu selamat datang…"


"Iya, kupikir kamu pasti di sini."


"Ueeh…"


Aku duduk di sebelahnya, meski Komari tampak terganggu.


Yakishio yang setengah telanjang udah nitipin, jadi aku harus ngejaga Komari. Timbal balik, istilahnya.


Sambil menyerahkan kotak susu, aku melontarkan kalimat yang sudah kusiapkan.


"Eh, aku nggak sengaja beli dua susu. Komari, mau satu?"


"Nggak mungkin nggak sengaja beli dua."


Meski begitu, Komari tetap menerima susunya.


"Kalau dipikir-pikir, bener juga. Boleh aku ganti naskahnya?"


"S-Secepatnya, sebelum jam istirahat habis."


Melihat Komari menyedot susu lewat sedotan, aku mulai membuka bungkus roti kari.


Nah, gimana cara mulai pembicaraannya…


"Komari, waktu itu Basori-san datang ke ruang klub, kan?"


"Ma—mati aja."


Responsnya cepat banget.


Tapi ya, wajar juga Komari jadi sensitif.


Setelah drama Yakishio mau keluar klub, sekarang malah harus ngurus anak baru yang bermasalah dan bikin klub nyaris dibekukan selama dua minggu.


Komari sebagai wakil ketua klub pastinya sangat stres. Meski aku juga lumayan kewalahan, sih.


"Tenang aja, nggak akan jadi masalah kayak yang kamu khawatirin. Aku ini ketua klub sastra, lho."


"J-Jangan terus-terusan ngandelin jabatan."


"Baik… Aku akan lebih hati-hati."


Hmm, itu juga nggak berhasil ya. Saat aku terpaksa cuma menyedot susu, Komari melirikku tajam dari samping.


"K-Kamu… Yakishio bilang sesuatu, kan?"


"Y-ya, sedikit…"


Aku bingung jawabnya, lalu menggigit roti kari.


Komari menghela napas kecil.


"A-Aku tahu kamu itu orangnya terlalu baik. Te-Terserah deh, lakuin aja semaumu."


"Aku nggak ada niat ikut campur urusan pemilihan OSIS, kok. Kemarin itu pun, Basori-san datang ke rumah tanpa permisi."


"D-Dia sampai ke rumahmu?"


Eh, Yakishio nggak bilang, ya? Gawat, aku jadi gali lubang sendiri.


"U-Um, katanya ada perlu sama adikku. Kan kenal lewat OSIS juga. Lagian, waktu itu Yakishiojuga ada di rumah."


"Y-Yakishio juga?"


Tatapan Komari mulai seperti melihat sampah basah. Lubang yang kugali makin dalam.


"E-eh, maksudku, aku cuma mau bilang kamu nggak perlu khawatir."


"K-Kamu nggak punya prinsip."


Setelah berkata begitu, Komari mulai makan roti manisnya dengan semangat.


Aku yang merasa canggung ikut makan roti kari juga.


Lalu Komari bergumam pelan.


"K-Kamu tuh, pada akhirnya pasti nggak bakal bisa nolak juga, kan?"


"Eh—"


"Kamu bisa nggak bilang ‘nggak mungkin’, dengan yakin gitu?"


...Aku tak bisa mengatakannya dengan tegas. Setelah menghabiskan roti dalam diam, aku akhirnya membuka mulut dengan ragu.


"Ini cuma misalnya, ya. Tapi kalau misalnya aku jadi orang yang merekomendasikan Basori-san, kau nggak masalah?"


Komari memainkan bungkus susu kosong di tangannya dan bergumam seakan sudah pasrah.


"T-terserah kamu, mau itu OSIS atau apalah, lakukan sesukamu."


"Aku nggak berniat masuk OSIS, kok."


"M-makanya, lakukan sesukamu."


…Yah, nggak heran kalau aku nggak dipercaya. Aku pun sadar sendiri betapa banyak rekam jejak burukku.


Aku menyandarkan siku ke pagar tangga dan menatap kosong ke kejauhan. Di balik kota yang terbentang, barisan pegunungan rendah yang sudah akrab di mata terbentang.


Dalam waktu singkat, warna hijau pegunungan itu tampak semakin pekat. Minggu depan sudah masuk bulan Juni—waktunya ganti pakaian musim panas.


Musim panas tahun ini pun akan segera dimulai.


â—‡


Sepulang sekolah hari itu, aku berada di board game cafe yang letaknya tak jauh dari sekolah.


Di meja lantai dua, aku duduk berhadapan dengan Sekretaris OSIS—Shikiya Yumeko.


Rambut panjang bergelombang berwarna putih kecokelatan.


Dengan leher yang bergerak perlahan, dia menatapku dengan mata putihnya yang tak jelas sedang melihat ke mana.


"Nukumizu-kun… giliranmu, lho…?"


"Ah, iya."


Supaya nggak ketahuan kalau aku terus menatapnya, aku buru-buru melempar dadu.


Sambil menggerakkan pion berbentuk beruang cokelat, aku mengamati situasi papan permainan.


Permainan yang sedang kami mainkan sekarang mirip sugoroku khusus dua pemain.


Meski tampilannya imut dengan tokoh utama beruang lucu dan beruang kutub, penempatan chip dan cara memakai aturan permainan sangat mempengaruhi hasil akhir. Sebenarnya ini game yang cukup membutuhkan otak.


Omong-omong, aku sudah kalah tiga kali berturut-turut.


"Chip itu milik aku. Silakan kembali ke start."


"B-boleh nih...? Kalau kamu melakukan itu…"


Gulir. Dadu yang dilempar Shikiya-san menunjukkan angka enam.


"Eh, jangan-jangan chip 20 poinku barusan diambil?"


"Nice assist…"


Shikiya-san yang tampak senang mengambil chip itu dengan ujung jarinya yang dihiasi nail art.


Tentu saja, kami bukan sedang pacaran manis di kencan sepulang sekolah.


Begitu aku bilang ingin ngobrol sebentar, tempat janjian kami tiba-tiba jadi di sini. Sungguh, itu saja alasannya.


Aku mencari momen yang tepat dan membuka pembicaraan seolah santai.


"Eh, belakangan Basori-san gimana kabarnya?"


"Gimana… maksudnya…?"


Tangan Shikiya-san yang sedang mengulurkan pion beruang kutub mendadak terhenti.


"Aku cuma penasaran, di OSIS dia akhir-akhir ini gimana?"


"Kamu… bukannya pengen ngobrol… sama aku…?"


Shikiya-san bergoyang pelan sambil berkata begitu. Entah kenapa aku jadi terintimidasi dan buru-buru mengangguk.


"A-ah, iya. Aku pengin konsultasi soal Basori-san sama senpai. Makanya kalau bisa ngobrol sebentar…"


Kenapa ya, suasananya terasa agak... mengkhawatirkan?


Saat aku mulai panik, Shikiya-san memiringkan kepala dengan gerakan mencolok.


"Kamu ngomongin… soal pemilihan ketua OSIS…?"


"Iya, aku dengar senpai ditolak waktu nawarin diri jadi pemberi rekomendasi."


"Yup… aku ditolak… sama Tiara-chan…"


Shikiya-san mengangguk sedih sambil bergoyang lembut.


"Boleh tanya kenapa senpai mau jadi pemberi rekomendasinya?"


"Tiara-chan… orang yang diperkenalkan sama guru… terus dia nolak…"


Dia memainkan pion beruang kutub sambil bergoyang pelan.


"Kalau… nggak ada yang bantu… dia bakal nggak kepilih…"


Setelah bergoyang sesaat, Shikiya-san menatapku dengan mata putihnya.


"Kamu… disuruh Tiara-chan…?"


"Ya, sepertinya dia pengen aku jadi pemberi rekomendasinya. Aku sudah nolak, tapi dia belum mau menyerah."


Tanpa kusadari, gerakan bergoyang Shikiya-san berhenti.


"Begitu… ya…"


Sunyi. Aku merasa nggak nyaman dan memainkan pion beruang cokelat dengan jariku.


"Tiara-chan… suka sama kamu…"


"Itu mungkin karena... karakterku cocok buat semacam hubungan BL... gitu…"


"Aku… nggak bisa… menyangkal…"


Shikiya-san meletakkan pionnya dengan bunyi lembut dan permainan berlanjut.


Aku melanjutkan percakapan sambil melempar dadu dengan setengah hati.


"Andai aku berpidato dukungan, bukannya menolong, malah bisa jadi makin buruk. Kalau guru bisa bawa pemberi rekomendasi yang beneran cocok, jelas lebih bagus."


"Kamu… nggak mau dukung dia…?"


Tatapan putih dari Shikiya-san.


Aku perlahan menggeleng.


"Dia orang yang serius dan rajin. Aku rasa akan bagus kalau dia terpilih."


Aku ragu sebentar, lalu menambahkan,


"Tapi karena aku nggak tertarik sama kegiatan OSIS, rasanya aneh kalau cuma karena kenal lalu jadi pemberi rekomendasi. Terus terang, aku juga kurang nyaman kalau harus berpidato di depan orang banyak──"


"Kamu… udah bilang itu… ke Tiara-chan…?"


"Belum sih, sejauh itu. Gimana kalau aku minta senpai lagi buat jadi pemberi rekomendasinya?"


"Mungkin… udah nggak bisa…"


Shikiya-san kembali menghentikan permainan dan menatap dadu dalam-dalam.


Bulu matanya yang panjang sedikit bergetar meski tak ada angin.


"Aku… terlalu ikut campur… sampai dia benci…"


"U-umm, nggak seburuk itu kok…"


Saat aku bingung harus bilang apa, Shikiya-san tiba-tiba berdiri.


"Nukumizu-kun… ke sini…"


"Eh, tunggu, senpai…"


Tanpa menjelaskan, dia menggenggam tanganku dan menarikku ke sudut ruangan.


"Senpai, ini ada apa, sih──"


"Nunduk…."


"Ah, iya…"


Aku menuruti ucapannya dan berjongkok di balik meja kosong.


…Tangan kami masih saling menggenggam, ya.


Kulit halus Shikiya-san terasa di telapak tanganku. Dingin yang perlahan menjalar dari genggamannya mulai membuat tanganku mati rasa.


"Ada apa…?"


"Ah, eh… nggak, nggak ada apa-apa kok."


Hari ini lumayan panas, jadi mungkin rasanya lebih enak kalau dingin begini. Iya, panas berlebihan itu berbahaya.


…Dengan lirikan sekilas, aku mencuri pandang ke arah Shikiya-san yang juga jongkok di sebelahku.


Wajahnya saja yang terlihat di atas meja, tetap tanpa ekspresi seperti biasa. Bulu matanya yang lentik menaungi mata putihnya yang jarang berkedip.


Aroma manis dan dewasa yang samar darinya—parfum yang belakangan ini sering dia pakai.


Saat aku terpaku memandang, Shikiya-san melirik ke jam tangan.


"Jam lima… tepat…"


"Kau ada janji dengan seseorang—"


"Diam… tundukkan kepala…"


Sambil ikut menunduk, aku mengikuti arah pandang Shikiya-san.


Seorang siswi Tsuwabuki naik tangga.


Yang muncul adalah Basori Tiara. Ia tampak gugup menelusuri lantai, lalu duduk di meja terdekat dari tangga.


Dengan punggung tegak, ia terus menatap tangga. Mungkin dia sedang menunggu seseorang.


"Kenapa Basori-san ada di sini?"


Aku bertanya pelan, dan Shikiya-san menjawab dengan nada agak bangga.


"Aku yang… memanggilnya…"


"Kalau memang bertiga ingin bicara, kenapa nggak di ruang OSIS saja?"


"Main bersamaku… kamu nggak suka…?"


"Bukan… bukan gitu kok."


Entah kenapa aku merasa malu, dan kembali memandang ke arah Tiara-san.


Saat itu, dia mulai mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bentuknya bulat kecil, seperti compact bedak.


Begitu dibuka, dia mulai menepuk-nepukkan bedak ke wajahnya.


…Rasanya seperti ibu-ibu zaman Showa, ya.


"Kenapa kita sembunyi-sembunyi begini, sih?"


"Aku senang… dia datang…"


Shikiya-san bergoyang pelan dengan riang.


Ngomong-ngomong, dua orang ini kayaknya cukup akrab sampai bisa lepas bra dengan santai, ya.


Aku nggak paham sepenuhnya, tapi mungkin ini bagian dari semacam permainan. Selevel ‘biarin aja & nikmati dari jauh’, huh…


Saat aku deg-degan menyaksikan dunia orang dewasa, tiba-tiba saja Tiara-san menatap ke arah kami dengan tatapan tajam.


"Basori-san ngelihatin kita, nggak? Wajahnya kelihatan galak banget."


"Momen ini… tak tergantikan…"


Oh, ternyata ini bagian dari ‘dunia orang dewasa’, ya.


Saat aku sedang mengagumi itu, Tiara-san mendekat dengan langkah cepat.


"Kalian berdua ada di sini, ya?! Kenapa nggak manggil aku?"


"Aku takut… ganggu kamu… dandan…"


Shikiya-san berdiri dan merangkul tubuh Tiara, mendekatkan wajahnya hingga hampir bersentuhan.


"Jeleknya dandananmu… terlalu imut… melanggar aturan sekolah…"


"Nggak ada aturan sekolah kayak gitu! Eh, jadi dandanan aku jelek, ya?!"


"Itu yang… imut…"


"Jangan gosokkan pipimu ke aku!"


Hmm, rasanya nggak pantas kalau aku ikut campur di antara dua orang ini.


Aku kembali ke tempat duduk dan menyeruput kopi yang sudah dingin. Di lidah, terasa perpaduan pahit dan asam.


"Hei, Nukumizu-san, jangan cuma nonton, bantu aku—eh, tanganmu pegang di mana itu?!"


Sambil melihat dua gadis itu saling bergumul, aku kembali menyesap kopi.


Kopi dingin… dan yuri… cocok banget.


â—‡


"Apa-apaan sih kalian ini?! Sebenarnya kalian itu apa, sih?!"


Tiara menatap tajam ke arahku sambil mengaduk kopi dengan sendok.


"Dan kenapa orang yang memanggilku ke sini malah pulang dengan puas?! Apa-apaan itu?!"


"Jangan tanya aku juga…"


Ya. Karena Shikiya-san sudah pulang, aku jadi satu-satunya yang harus menanggung kemarahan Tiara-san. Padahal aku nggak salah apa-apa.


"Kenapa kamu nggak menghentikannya, Nukumizu-san? Dan kenapa kamu malah asyik main ponsel?"


"Aku cuma mau rekam—eh, maksudku… Kan hubungan Shikiya-senpai dan kamu itu semacam… hubungan dewasa yang nggak perlu dibawa perasaan, ya? Jadi kupikir, mending nggak ganggu."


"Bukan begitu! Dan jangan panggil nama depanku sembarangan!"


Dengan wajah merengut, Tiara meneguk kopi yang telah dicampur tiga sendok gula dan susu.


Beberapa saat kemudian, setelah gula dan kafein mulai bekerja, dia tampak lebih tenang. Dia meletakkan cangkir dengan suara cukup keras, lalu berdeham kecil.


"Jadi… sebenarnya, pembicaraan penting apa yang mau disampaikan tadi?"


…Eh? Ngomongin apa, ya?


"Aku nggak tahu kalau Basori-san bakal datang, loh."


"Aku ke sini karena dibilang begitu oleh Shikiya-senpai."


Eh, jadi maksudnya… Shikiya-san pakai namaku sebagai alasan buat memanggil Tiara ke sini?


Saat aku masih bingung, terdengar suara kaca pecah dari kejauhan.


"Apa tuh barusan?"


"Ah, ada notifikasi dari Shikiya-senpai."


Kulihat ke layar ponsel, dan ada satu pesan masuk di tampilan notifikasi.


—Balasan untuk malam Natal.


…Kena aku.


Aku langsung mendongak. Malam Natal tahun lalu. Aku memanggil Shikiya-san dengan dalih melihat iluminasi supaya dia bisa bertemu Tsukinoki-senpai.


Jadi ini… semacam balas dendamnya.


"Nukumizu-san, jangan diam sendiri. Sebenarnya ada apa sih?"


"Eh, maksudku… sepertinya aku kena balas dendam dari Shikiya-senpai. Jadi ini kayak… aksi balasannya gitu."


"Balas dendam? Emangnya kamu ngapain sampai dibenci?"


Yah… banyak hal. Aku mengelak sambil pura-pura minum dari cangkir yang sudah kosong.


Apa maksud Shikiya-senpai mempertemukan kami berdua seperti ini?


Sambil memikirkan itu, aku mulai berbicara.


"Ngomong-ngomong soal pemilihan OSIS…"


"Ya, kenapa?"


Aku berhenti sejenak untuk melihat ekspresi Tiara.

Dia duduk tegak dan menungguku melanjutkan.


—Alasan aku menolak tawaran dari Shikiya-san. Aku hendak menjelaskan, tapi ragu.


"Aku ini ketua klub sastra, dan sebenarnya nggak berniat ikut campur urusan OSIS. Jadi kalau aku jadi pendukung pencalonanmu hanya sebagai formalitas, rasanya nggak tepat. Lagipula aku ini…"


Aku berniat tertawa kecut, tapi wajahku malah kaku.


"Aku nggak pandai bicara di depan umum."


Tiara mendengarkan dengan tenang. Dia seperti hendak berkata sesuatu, tapi akhirnya menarik napas panjang.


"…Baiklah. Aku mengerti. Aku nggak akan memaksa lagi."


Hah? Semudah itu? Aku sampai kehilangan kata-kata, lalu melihat dia meletakkan ponselnya di atas meja.


Layar menyala, dan muncul gambar ilustrasi gadis cantik—bukan, itu foto merchandise karakter cewek anime. Kenapa Tiara punya barang seperti itu…?


Aku refleks menatap dua kali. Dan di saat berikutnya, tubuhku terangkat dari kursi.


"Eh?! Itu kan pop display Chikapyon dari The Fine Line Between Safe and Dangerous! Kenapa kamu punya itu?!"


"Ada kerabat yang bekerja di bidang dagang, jadi kadang aku dapat barang promosi seperti ini. Katanya, karena aku anak-anak, aku pasti suka anime dan manga."


Dengan wajah tenang, Tiara mendorong ponselnya ke arahku.


"Aku sih nggak terlalu paham hal beginian, jadi kupikir mungkin lebih baik kuberikan pada orang yang suka."


"Kalau begitu…!"


Grak! Aku refleks condong ke depan, tapi segera duduk kembali dengan tenang.


"Eh… ya, gitu ya. Semoga kamu bisa menemukan orang yang benar-benar menginginkannya."


"Eh? Beneran? Soalnya aku merasa kamu pernah pakai gantungan kunci yang mirip banget dengan ini, Nukumizu-san."


"Yah… mungkin. Banyak karakter yang desainnya mirip, kan."


Aku buru-buru menggeser posisi tasku.

Bukan mirip—itu memang Chikapyon.


Artinya, Tiara tahu siapa karakter favoritku… dan sengaja memakai itu sebagai taktik. Aku nggak bisa asal terpancing begitu saja.


…………Tapi, kalau cuma ngobrol dikit, boleh lah ya……


Saat aku melirik-lirik ponselnya, Tiara tersenyum kecil.


"Kalau kamu mau ini, jadilah pendukung pencalonanku—"


"…!"


"Nggak kok. Aku cuma bercanda. Kalau memang ada yang mau, aku bakal kasih."


"Eh, beneran?!"


Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku—aku sadar sudah kalah.


Tiara tersenyum geli, seolah sedang menikmati semuanya.


"Aku sih nggak keberatan, tapi belakangan aku mulai merasa sayang juga. Jadi, kalau kamu bisa membalasnya dengan sesuatu yang ringan saja, aku akan senang."


Tch, jadi memang begitu ya. Saat aku bersiap siaga, Tiara berkata dengan nada santai.


"Boleh nggak… kamu ngajarin aku pelajaran lagi?"


…Eh, pelajaran? Cuma itu?


Aku yang merasa kehilangan momentum, menatap Tiara yang terlihat agak canggung.


"Tes beberapa hari lalu juga... hasilnya tidak terlalu bagus."


"Aku juga belakangan ini nilainya agak turun sih. Tapi kalau kamu tetap oke saja...bisa aja sih."


"Ya, cara mengajar kamu mudah dipahami, jadi sangat membantu."


Dipuji seperti itu tentu saja membuatku merasa senang. Tapi soal pemilihan OSIS, benarkah dia menyerah semudah ini...?


Saat aku masih merasa agak janggal, Tiara bertanya sambil mengalihkan pandangannya.


"Kamu mengganti nada dering dari Shikiya-senpai ya? Suara pecahan kaca tadi itu."


"Ah, iya. Jadi tanpa lihat pun aku tahu siapa yang menghubungi. Kalau disetel seperti itu, lumayan praktis."


Kemudian, Tiara tiba-tiba memainkan ponselnya.


—Chirin.


Nada notifikasi terdengar dari ponselku.


Kulihat layarnya, dan ada pesan kosong dari Tiara.


"Apa ini?"


Saat aku kebingungan dengan tindakannya, Tiara tampak kesal dan menyimpan ponselnya ke dalam tas.


"Nada deringku ternyata masih pengaturan awal ya."


"Yah, iya sih..."


Kenapa ini. Dia tiba-tiba terlihat kesal.


Tiara menepuk-nepuk roknya sambil berdiri.


"Kalau begitu, tolong kosongkan jadwalmu besok Sabtu, mulai siang."


"Besok? Bukannya itu terlalu mendadak?"


"Oh, kamu sudah ada janji?"


Janji... yah, sebenarnya tidak ada.


Aku menggeleng pelan, dan Tiara pun tersenyum tipis sambil membalikkan badan.


â—‡


Malam itu, aku menata buku-buku pelajaran matematika di meja belajarku dan menyilangkan tangan sambil memandanginya dari atas.


Untuk sesi belajar besok, mana saja yang harus kubawa, ya. Kalau bawa semua, terkesan terlalu serius dan nggak keren. Tapi kalau terlalu sedikit, takutnya malah tidak cukup bahan.


Buku teks dan catatan sih sudah pasti. Untuk buku referensi dan kumpulan soal, pilih satu yang terbaik saja.


Setelah kumasukkan ke tas, tidak terlalu tebal, paslah. Sekarang cek pakaian.


Kuhamparkan di lantai: kemeja lengan pendek berkerah dan celana chino tipis. Semuanya polos, tentu saja.


Belakangan ini, gara-gara serangkaian nasib sial, sebagian besar pakaianku yang bermotif rusak, jadi sekarang pilihanku cuma pakaian polos.


"Baiklah, sempurna—"


"Onii-chan, besok mau pergi ya?"


Tiba-tiba adikku, Kaju, berdiri di belakangku.


"Iya, ke arah stasiun sebentar."


"Oh, mau belajar di perpustakaan ya?"


Kaju melirik tasku sebentar.


Besok, aku janjian dengan Tiara di toko buku Seibunkan cabang utama di depan Stasiun Toyohashi, lalu pindah ke tempat belajar bersama.


Nggak ada yang mencurigakan sih, tapi kalau sampai Kaju tahu, bisa ribet. Ya, pasti ribet.


"Eh, ya, cuma mau belanja dikit."


"...Kamu ada belajar bareng seseorang ya?"


Kaju bergumam pelan.


"Hah, nggak, bukan begitu."


"Jangan-jangan perempuan?! Apa kamu bakal belajar di rumah cewek itu?!"


"Enggak, enggak, bukan seperti itu. Cuma... teman, iya, teman cowok aja kok."


Aku asal menjawab begitu, tapi Kaju justru menatapku penuh semangat sambil menggeleng pelan.


"Aku dengar Sakurai besok bantu panen kubis di rumah saudaranya. Ayano juga ikut bimbel. Jadi Onii-chan nggak punya teman cowok lain buat belajar bareng."


Kaju, kalau urusan pertemanan, memang kejam.


"Memang sih, kalau teman cowok cuma mereka berdua. Tapi kok kamu tahu jadwal mereka?"


"Waktu Basori-nee datang tempo hari, aku sempat tanya soal pergaulan Onii-chan. Jadi ini pasti belajar bareng cewek ya?! Apa ketua OSIS? Atau Shikiya-san?! Atau mungkin—"


"Ya ya ya, bukan begitu. Udah, waktunya anak SMP tidur."


"Ugh, Kaju ini sudah dewasa tahu!"


Kubiarkan protesnya mengalir masuk telinga kiri, keluar telinga kanan, sambil mendorongnya keluar kamar.


... Kaju dan rasa ingin tahunya itu bikin repot saja.


Tapi, tunggu. Kaju seharusnya nggak kenal Ayano. Ayano dan Tiara pun cuma saling tahu wajah. Kontak Asagumo-san juga sudah kuhapus dari ponselnya.


"Eh? Apa aku pernah cerita soal Ayano ke Kaju ya...?"


Duh, bahkan ingatanku sendiri jadi nggak bisa diandalkan sekarang.


Aku mengecek isi tas sekali lagi, lalu memasukkan tempat pensil yang tadi kelupaan.


â—‡


Tempat janjian dengan Tiara adalah di toko buku Seibunkan cabang utama di depan Stasiun Toyohashi.


Aku tiba lebih awal dari waktu yang ditentukan, jadi setelah memeriksa novel ringan dan manga terbaru, aku menuju ke pojok majalah di lantai satu. Kami janjian untuk ketemuan di sana jam dua siang.


"Masih ada waktu, ya..."


Saat aku berjalan santai melewati rak-rak majalah info lokal, aku melihat sosok yang familiar di depanku.


"Loh, itu kamu, Nukumizu-kun."


"Yanami-san? Ngapain di sini?"


Ternyata yang sedang membaca majalah sambil berdiri itu adalah Yanami Anna.


Dia menyerahkan majalah "Keliling Makanan Enak di Mikawa" yang tadi dibacanya padaku.


"Aku dipanggil Shiramata-chan. Katanya ada tiket gratis, jadi mau ajak ke buffet dessert. Nih, buka halaman ini."


"Kalian sedeket itu ya, sampai jalan bareng segala?"


"Enggak juga sih, tapi ini tiket buffet dessert gratis, loh? Makan sepuasnya, loh?"


Yanami mengibaskan rambutnya dengan gaya dramatis.


"Shiramata-chan itu baik ya! Aku sampai salah paham soal dia."


Kepercayaan Yanami bisa dibeli dengan satu sesi makan dessert gratis. Murah juga.


"Sepertinya bakal seru, ya. Kalau begitu aku duluan deh—"


"Toko ini kayaknya enak ya? Katanya ramen mereka pakai lobak. Kalau dimakan, bisa bikin langsing nggak ya?"


"Mungkin sih. Eh, aku—"


"Acar telur puyuh bumbu manisnya juga kayaknya enak. Eh, buka halaman berikutnya dong."


...Jangan jadikan aku alat untuk baca majalah sambil berdiri, dong.


Sambil membalik halaman sesuai permintaan, aku melirik ke sekeliling.


Kurasa sebentar lagi Tiara-san akan datang. Bukan berarti pertemuan kami rahasia, tapi kalau sampai ada yang melihat kami berdua bersama di tengah situasi kacau karena pemilihan ini, bakal repot juga...


Saat aku gelisah dan celingukan, Yanami bergumam pelan sambil tetap menatap majalah.


"Hey, kamu tetap berencana jadi pendukung Tiara-san?"


"Aku sudah menolaknya kok. Kurasa dia sudah mengerti. Mungkin."


"Hmm. Dari tadi kamu kelihatan gelisah, kamu lagi janjian sama seseorang, ya?"


"Ah, enggak, aku cuma datang buat cek buku baru aja—"


Yanami merampas majalah dari tanganku dan menatapku dengan tatapan tajam.


"...Sama siapa? Kamu punya teman selain anak-anak klub sastra?"


"Ada, kok? Lihat aja, kayak Ayano atau Sakurai..."


"Kamu mau ketemu sama mereka?"


"Umm, itu..."


Sial, Yanami sekarang benar-benar mencurigaiku.


Saat aku berusaha menghindari tatapannya, tiba-tiba hidungku menangkap aroma manis yang lembut.


"Huh? Senpai, ya?"


Saat aku menoleh ke suara itu, aku melihat Shiratama berdiri di sana, mengenakan dress polkadot biru dongker dan putih.

Dari rok pendeknya, terlihat lutut yang indah.


Begitu mendekat, Yanami langsung memeluk Shiratama tanpa peringatan.


"Shiratama-chan! Makasih banget udah ngajak aku hari ini!"


"Aku juga senang bisa bareng senpai."


Setelah melepaskan diri dari pelukan, Shiratama memiringkan kepala manisnya ke arahku.


"Senpai juga mau ikut?"


"Eh? Nggak, aku ada keperluan... ya, bukan yang penting sih, tapi tetap ada urusan."


"Ohh, ditolak, ya."


Shiratama berkata sambil bercanda, lalu mengeluarkan dua tiket dari tas tangan kecilnya.


"Yanami-senpai, aku harus ambil buku yang aku pesan dulu, jadi bisa nggak kamu masuk duluan? Aku bakal nyusul kok."


"Boleh aja sih. Tapi kayaknya nggak enak juga kalau makan duluan sendirian..."


Ternyata Yanami juga bisa merasa nggak enak?


Aku masih terkejut, dan Shiratama menyatukan kedua tangannya sambil meminta maaf.


"Maaf ya, kalau telat sedikit dari waktu reservasi, tiketnya bisa dibatalkan. Kalau kita nggak cepat-cepat, bisa-bisa roast beef favoritnya udah habis."


"Eh, ada roast beef juga?! Baiklah, aku duluan ya!"


Murah dan gampang diajak ngomong. Yanami menerima tiket lalu langsung keluar lewat pintu kaca dengan langkah bersemangat.


Shiratama melambaikan tangan kecilnya, lalu tersenyum pelan.


"Senang deh dia suka. Aku buru-buru nyiapin tiketnya juga nggak sia-sia."


"Eh? Bukannya kamu bilang tadi itu tiket gratis?"


"Iya sih. Benar juga."


Shiratama lalu berbalik menghadapku.


"Akhir-akhir ini, aku tukeran kontak sama Kaju-chan, loh."


"Sama Kaju?"


Topik mendadak itu cukup mengejutkanku. Setahuku, mereka berdua nggak akur. Apa yang terjadi antara mereka...?


"Kapan kalian jadi akrab?"


Shiratama tidak menjawab pertanyaanku, hanya tersenyum.


"Kaju-chan itu lucu ya. Kalau soal kakaknya, langsung emosian."


"...Haah..."


Shiratama menyatukan jari-jarinya di belakang punggung dan menatapku dari bawah sambil membungkuk sedikit.


"Benar-benar lucu. Waktu pura-pura mengujimu, semuanya malah ketahuan. Bahkan tempat janjian juga keceplosan, kan."


"Umm, maksudmu apa...?"


"Coba tebak, maksudku apa."


Lalu dia menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah belakangku.


"...Hmm, jadi itu wakil ketua OSIS ya."


"Eh?"


"Kamu nggak mau Yanami lihat kamu, ya. Aku sih nggak masalah."


Apa yang dia bicarakan... atau lebih tepatnya, seberapa banyak yang dia tahu?


"Eh, jangan-jangan kamu sengaja tahu aku ada di sini dan—"


"Kalau begitu, aku pergi dulu ya. Aku nggak mau jadi pengganggu."


"Eh, ah, ya sudah kalau begitu."


Saat Shiratama lewat di sampingku, dia membisikkan sesuatu di telingaku.


"Senpai... meski begini, aku ini cewek yang cukup praktis, lho."


â—‡


Sejak kami bertemu, Tiara tiba-tiba jadi pendiam dan berjalan cepat.


Kami keluar dari pintu kaca di sebelah rak majalah, melewati antrean di kedai crepe, dan berjalan masuk ke lorong arcade. Aku akhirnya menyusul dan berjalan di sampingnya.


"Umm, kamu marah ya...?"


"Tidak, aku tidak marah. Hanya sedikit terkejut karena kupikir kamu juga mengundang mereka berdua ke sesi belajar ini."


"Enggak, aku nggak bilang ke siapa-siapa. Mereka tadi cuma nyamperin aja."


Tiara mengangguk tanpa bicara, lalu berbelok di sudut belakang toko cokelat di ujung arcade.


Setelah berjalan beberapa saat, dia menepuk dadanya dan menghela napas lega.


"Fuuh... kalau sudah sejauh ini, seharusnya aman."


"Aman? Maksudmu?"


"Di sekitar sana banyak orang. Akhir-akhir ini, suasana di sekitar cukup ramai."


Tiara menatap sekeliling, lalu mendekat satu langkah.


"...Kamu tahu soal klub pengamat burung?"


"Itu yang kena skandal karena jual foto diam-diam, lalu dibubarkan, kan?"


"Secara resmi statusnya dibekukan tanpa batas waktu. Tapi berkat mediasi ketua OSIS, mereka diperbolehkan lanjut sebagai klub koran."


"Sekolah kita punya klub koran?"


"Tidak. Karena itu, ketua berharap mereka berkontribusi sebagai klub koran agar bisa memulihkan nama baik klub pengamat burung..."


Apakah benar-benar perlu mempertahankan Klub Pengamat Burung sampai sejauh itu?


"Jadi, ada apa dengan klub koran itu?"


"Mereka mulai meniru majalah gosip dan membuntuti orang-orang yang terlibat dalam pemilu. Karena ini hanya klub hobi, OSIS tidak bisa ikut campur."


Tiara memegangi keningnya sambil menghela napas.


Sebagai sesama pecinta burung, aku ingin minta maaf, tapi mungkin orang-orang itu sebenarnya tidak suka burung.


Sambil berjalan berdampingan dengannya, aku mengamati sekitar. Begitu melewati arcade dari Jalan Hirokouji ke arah utara, jumlah pejalan kaki langsung berkurang drastis.


Meski begitu, tidak bisa dibilang sepi juga. Jalan yang dulunya dipenuhi toko dan kantor itu sekarang menjadi deretan rumah tinggal, masih menyisakan suasana masa lalu.


Beberapa bangunan masih menyimpan jejak masa ketika mereka adalah toko, dan ada juga yang tetap beroperasi hingga sekarang.


Sesekali terlihat restoran baru di antara bangunan-bangunan lama, mencerminkan wajah kota yang perlahan berubah tapi tetap bernapas.


Langkah kaki Tiara tampak mantap. Sepertinya dia memang akrab dengan daerah ini.


"Basori-san, belajar kelompoknya di mana?"


"Ah, maaf aku belum menjelaskan. Rumahku dekat sini, jadi kita ke sana."


Oh, jadi rumah Tiara ada di sekitar sini. Belajar kelompok... di rumah Tiara...?


"Eh?! Kita ke rumahmu? Sekarang?"


"Orang tuaku sedang keluar, jadi jangan khawatir—eh, bukan, bukan dalam arti seperti itu ya?! Aku punya adik laki-laki, jadi jangan pikir macam-macam! Dan lagi—"


Wajah Tiara memerah saat buru-buru menambahkan,


"Adikku sudah punya pacar, tahu!"


Kenapa dia menekankan itu? Tapi meski ada keluarganya di rumah, boleh nggak sih masuk ke rumah lawan jenis...?


Kalau ini cerita romcom, pasti langsung muncul event penting. Kalau ini dunia game dewasa, ini kesempatan dapat gambar spesial dengan banyak variasi.


"Eh, tapi kalau demi melengkapi semua gambar sih..."


"Nukumizu-san, dari tadi kamu ngelantur ngomong apa sih?"


Ups, bahaya. Aku nyasar ke dunia orang dewasa tadi.


Begitu sadar dan melihat sekitar, aku merasa tempat ini agak familiar. Lantai batunya ini...


"Ini daerah Hanazono, ya?"


"Iya. Kamu tahu tempat ini?"


"Aku sering ke supermarket di ujung sana, jadi kadang lewat sini."


Wilayah ini dulunya adalah kawasan pertokoan tua.


Walaupun disebut kawasan pertokoan, sebagian besar tokonya sudah tutup, dan jumlah yang masih buka semakin sedikit setiap tahun.


Di tengah-tengah itu, terlihat bangunan baru yang cukup besar.


"Eh, di sini ada apartemen ya?"


Tiara yang hendak lewat berhenti dan mendongak ke bangunan itu.


"Itu baru dibangun belum lama ini. Orang-orang yang dulu tinggal di sini juga sudah pindah semua."


"Begitu ya..."


"Sampai generasi kakek-nenekku, kawasan pertokoan ini katanya masih ramai. Tapi ya, mau bagaimana lagi."


Dia mengatakannya dengan nada datar, lalu kembali berjalan dan berbelok di ujung jalan.


"Rumahku sebentar lagi—"


"Eh, bukannya ini Tiara-chan?!"


Sebuah suara tante yang gembul dan penuh semangat memotong ucapan Tiara.


Tiara tampak sedikit tersentak, lalu menunduk sopan.


"Halo, Bu Michishige."


"Lho, kenapa jadi sopan begitu? Biasanya kamu manggil 'tante' aja."


"Ah, itu..."


"Tante sedih, deh. Tiara-chan sekarang sudah dewasa ya... eh?"


Tante Michishige akhirnya menyadari keberadaanku dan membelalak.


"Aduh, aduh! Tiara-chan? Wah, ya ampun!"


"Sa-salah paham! Bukan begitu!"


"Iya iya, tante ngerti kok. Bukan begitu, ya. Tante juga pernah kayak gitu dulu, lho. Sama orang yang bukan ayahmu sekarang. Ini rahasia ya."


"Ma-makanya bukan begitu maksudnya!"


"Iya iya, tante ngerti kok. Tante ngerti semua. Maaf ganggu ya."


Sambil mengangguk-angguk seakan berkata "nggak usah dijelasin lagi", tante Michishige lewat dengan senyum lebar.


Entah kenapa dia sempat mengacungkan jempol ke arahku juga.


 


"Tiara-chan juga sudah jadi dewasa ya… atau sedang menuju ke sana. Aduh, aduh..."


Daya serang tante dari lingkungan sekitar memang luar biasa. Wajar kalau Tiara sampai menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil gemetar.


...Apakah Yanami juga bakal jadi seperti itu suatu hari nanti?


â—‡


Rumah keluarga Basori hanya berjarak beberapa langkah dari tempat kami bertemu Bu Michishige. Bangunan tiga lantai yang menghadap ke jalan.


Bagian lantai satu sepertinya dulunya adalah toko, karena sisi yang menghadap ke jalan seluruhnya dari kaca.


Tiara membuka pintu geser kaca itu, masuk lebih dulu lalu melambaikan tangan padaku agar ikut.


Begitu masuk, bagian bekas toko itu agak gelap, dan rak-rak di sekelilingnya penuh dengan kotak pakaian dan kardus.


"Maaf ya, berantakan begini..."


Ucap Tiara malu-malu sambil berjalan ke bagian dalam ruangan.


"Nggak apa-apa kok. Dulu ini toko apa?"


"Sampai zaman kakekku, kami jualan kisho."


"Kisho?"


"Umm, seperti lencana, piala, spanduk... barang-barang semacam itu. Tapi karena nggak bisa bersaing, akhirnya tutup."


Oh, ada bisnis seperti itu juga, ya.


"Ah, makanya Tiara-ssn pakai papan nama di seragam, ya?"


"Bukan, itu memang peraturan sekolah. Dan jangan panggil nama depan, ya."


Tiara menjawab dengan tenang, lalu membuka pintu di bagian belakang.


Di balik pintu itu ada area untuk melepas sepatu, dan setelah naik satu anak tangga, ruang hunian dimulai.


Begitu naik, di kanan langsung ada tangga menuju lantai dua. Di depan adalah ruang tamu.


"Kamarku di lantai tiga. Silahkan lepas sepatu di situ."


"O-oke. Baik, permisi."


...Entah kenapa aku jadi otomatis bicara pakai bahasa formal.


Rumah seorang gadis, penuh nuansa kehidupan. Dan justru karena kami nggak begitu dekat, kesan itu terasa lebih kuat. Tangga curam membawa kami ke lantai tiga. Ada dua pintu di sepanjang lorong.


"Takashi, kamu beresin tasmu dengan benar, dong."


Tiara memanggil sambil lewat di depan pintu pertama.


Jadi di rumah dia berperan sebagai kakak. Dan syukurlah, nama adiknya cukup normal.


"Kamarku sih nggak ada apa-apa, tapi silakan."


Dengan agak malu-malu, Tiara mengajakku masuk ke kamar berukuran enam tatami.


Perabotan yang menonjol cuma ranjang, meja belajar, rak buku, dan meja rendah. Sebuah kamar Jepang klasik yang simpel.


Untuk ukuran kamar siswi SMA, memang tidak banyak hiasan, tapi karpet di bawah meja rendah dan tirai berwarna merah muda muda itu benar-benar menarik.


Kesan feminim yang samar-samar tersembunyi dalam kesederhanaan itu bekerja dengan sangat baik.


"Silakan, duduk di bantal itu."


"Ah, iya."


Aku duduk bersimpuh dengan kaku di atas bantal.


Tak bisa disalahkan kalau aku merasa gugup. Bagaimanapun juga, ini pertama kalinya aku masuk ke kamar cewek.


Kamar Komari satu ruangan dengan adik-adiknya dan waktu itu pun dalam keadaan darurat, jadi tak kuhitung.


Tiara duduk di depanku, dengan ragu-ragu mulai memainkan poni rambutnya.


"Ka-kalau begitu, ayo kita mulai."


"Ah, iya… ayo."


Padahal cuma mau belajar, tapi kenapa suasananya begini? Kami pun diam-diam mengeluarkan buku pelajaran masing-masing.


"Umm… hari ini aku boleh minta bantuan lagi untuk pelajaran matematika? Aku agak lemah di bagian barisan bilangan."


"Kebetulan, aku juga lemah di bagian itu."


Begitu kujawab asal, Tiara terkikik pelan.


"Itu sama sekali bukan hal yang bagus. Tapi baiklah, ayo belajar bareng."


Entah kenapa dia tertawa, tapi aku jadi sedikit lega dan membuka bukuku.


"Ngomong-ngomong, gimana hasil ulanganmu kemarin?"


"Kalau boleh dibilang, terlihat ada peningkatan di sana-sini. Tidak lebih buruk dari angka sebelumnya, setidaknya."


Tiara mengepalkan tangannya dengan semangat. Ya, berpikir positif itu penting.


── Sekitar 30 menit setelah sesi belajar dimulai.


Setelah selesai memeriksa jawaban, aku mengangkat kepala, dan melihat Tiara sedang mengerjakan soal dengan ekspresi serius.


Rambut dikuncir, alis tebal. Tahi lalat di lehernya tampak jelas di atas kulit putihnya.


Wajahnya yang ternyata kecil itu terlihat seperti tanpa riasan, tapi mungkin di akhir pekan dia berdandan sedikit──


"……Ada sesuatu di wajahku?"


Entah sejak kapan Tiara sudah menatapku dengan heran sambil memiringkan kepala.


"Ah, enggak, bukan apa-apa. Aku cuma… kepikiran sedikit."


Saat aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan canggung, Tiara tampak tertarik dan mendekat sedikit.


"Eh? Apa itu? Sekarang malah aku yang penasaran."


"Ah, enggak… aku cuma berpikir, ternyata kamu bukan benar-benar sedang ngajak aku masuk OSIS ya."


Seketika, senyum di wajah Tiara menghilang.


……Kupikir aku barusan menjawab dengan buruk.


"Kalau situasinya mendukung, aku mungkin memang berniat begitu. Kalau sudah berhasil membawamu sampai ke rumah, maka sisanya tinggal aku atur."


Nada bicara Tiara sulit ditebak, entah bercanda atau serius.

Tunggu, kalau "kalau situasinya mendukung"… berarti?


"……Artinya sekarang kamu nggak ada niat begitu lagi?"


"Sebenarnya, pendaftaran untuk calon ketua OSIS sudah ditutup kemarin. Dan sampai sore pun, aku masih jadi satu-satunya pendaftar."


Wajahnya seakan menyembunyikan rasa bersalah seperti habis mengaku nakal.


"Eh, jadi… pemilihan ketuanya batal?"


"Begitulah. Hanya akan ada penyampaian visi misi dan pemungutan suara untuk kepercayaan. Nggak ada pidato dukungan segala."


Lalu keributan selama ini… buat apa?


Lagian kemarin kita baru ketemu di kafe board game, kan…?


"Kenapa kamu enggak bilang kemarin sore?"


"Maaf. Soalnya belum resmi sebelum tengah malam, jadi aku ragu bilangnya."


Begitu ya. Daripada marah, aku justru merasa lega dan tanpa sadar tersenyum.


"…Eh? Jangan-jangan kamu sedikit tertarik bantu aku?"


"Yah, aku sempat kepikiran, bantuin pemilihannya mungkin oke juga."


"Fufu, sekarang mah ngomong apa aja bisa, ya."


"Ngomong doang gratis."


Saat aku bercanda begitu, Tiara tertawa kecil. Ternyata dia bisa tertawa seperti ini juga, ya…


Setelah beberapa saat tertawa bareng, Tiara menyeka sudut matanya yang berair dan berkata,


"Kalau beneran darurat, aku masih punya senjata rahasia untuk membujukmu, tapi ternyata nggak perlu ya."


"Senjata rahasia? Kayak gimana tuh?"


"Nggak, bukan hal menarik kok."


Tiara tertawa sambil mengelak.


……Tunggu. Bukannya aku datang ke sini karena dia bilang punya barang promosi Chikapyon?


Kalau itu yang dimaksud "senjata rahasia"──


"Boleh aku lihat?"


"Eh, tapi…"


Saat aku mendekat, Tiara terlihat gugup dan mundur sedikit.

Reaksi ini… pasti barangnya langka banget.


"Aku penasaran banget sama senjata rahasia Tiara-san."


"U-umm… tapi itu bukan sesuatu yang layak dipamerkan dengan serius…"


"Enggak apa-apa. Ini rahasia kita berdua, aku enggak bakal cerita ke siapa-siapa."


"Ra-rah-rah-sia…!"


Entah karena semangatku tersampaikan, Tiara mengangguk pelan sambil bibirnya bergetar.


"E-err… semoga enggak mengecewakan, ya."


Tiara mengambil sesuatu dari laci meja, lalu duduk kembali sambil menyembunyikannya di belakang punggung.


Sepertinya barang itu tidak terlalu besar. Mungkin acrylic stand atau semacamnya?


Sementara aku menahan napas menanti──


"Kalau begitu, aku akan lakukan dengan nekat!"


Tiara pun langsung mengenakan barang itu di kepalanya.

Lalu dengan pose tangan seperti kucing dan suara imut, dia berkata:


"Dukung aku, nyaan~"


………………Apa-apaan ini, Tiara?


Yang sekarang ada di kepala Tiara──adalah bando telinga kucing.


Saat aku terdiam karena tiba-tiba dia melaju dalam kecepatan penuh, wajah Tiara memerah sampai ke leher.


"Heh…? Eh, bukan begitu maksudnya! Maksudku, aku cuma berpikir kalau Nukumizu-san suka hal seperti ini! Aku sendiri nggak punya hobi semacam itu!"


"Eh, yah, memang sih, aku suka…"


"Kau suka, ya?!"


Begitu Tiara yang panik berteriak──


Bam! Pintu kamar tiba-tiba terbuka.


"Kak, aku mau keluar bentar──"


"Takashi?!"


Yang muncul adalah seorang remaja tampan mengenakan jaket olahraga. Usianya mungkin sekitar sama dengan Kaju.


Anak itu sempat terdiam melihat kakaknya, lalu sepertinya memutuskan untuk mengabaikan semuanya.


Dia membungkuk hormat padaku.


"Eh… selamat datang. Aku adiknya."


"Ah, terima kasih sudah mengizinkan aku datang. Aku Nukumizu."


Suasana canggung kembali menyelimuti ruangan.


Adik Tiara menatap kakaknya dengan ekspresi rumit, lalu membungkuk sekali lagi.


"Eh… aku bakal makan malam di luar. Jadi, ya, silakan lanjut."


Klik. Pintu tertutup, dan terdengar suara langkah cepat menuruni tangga.


Tiara yang membeku perlahan menoleh ke arahku dengan wajah tegang.


"Nukumizu-san… gimana ini…"


Aku juga nggak tahu harus gimana. Wajah Tiara yang tadi merah padam sekarang pucat.


Aku menarik napas dalam untuk menenangkan diri, lalu mulai bicara.


"Eh, adikmu, penglihatannya bagus nggak?"


"Hmm… belakangan dia bilang penglihatannya sedikit menurun, sih."


Ini dia. Aku mengangguk mantap.


"Bisa jadi dia nggak lihat telinga kucingmu."


"Eh, mungkin begitu?"


"Coba pikir baik-baik. Kakaknya pakai telinga kucing, dan sedang bilang ‘nyaan~’ di depan cowok asing, lho?"


"Ugh!"


Tiara memegangi dadanya dan mengerang. Belum, tahan sedikit lagi.


"Dalam situasi biasa, mustahil tetap tenang. Tapi adikmu tadi bersikap biasa saja, kan?"


"Biasa aja? Tapi itu pertama kalinya aku lihat ekspresinya kayak gitu…"


"Nggak, dia terlihat tenang. Itu berarti, secara terbalik, dia nggak melihat telinga kucingmu. Nggak ada pilihan lain selain menganggap begitu."


Wajah pucat Tiara perlahan kembali berwarna. Bagus, hampir selesai.


"Kalau ‘nyaan~’-nya? Mungkin dia juga nggak dengar?"


"Pastinya nggak. Soalnya suara pintu yang terbuka pas banget menghilangkan suara itu karena efek fase terbalik. Aku belajar itu waktu pelajaran fisika, jadi pasti benar."


"Begitu ya… aku ambil mata pelajaran biologi, sih, jadi nggak tahu."


Kebetulan, aku juga ambil biologi.


Tiara tampaknya menerima omong kosongku dan mengangguk puas. Dia melepas telinga kucing dari kepalanya dan menghela napas lega.


"Benar juga. Aku merasa sedikit tenang sekarang. Maaf, aku tadi agak panik."


"Nggak apa-apa, yang penting kau paham aja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."


Dan, Tiara, lain kali kau sebaiknya sedikit lebih curiga pada orang lain.


"…Oh iya, mulai sekarang jangan panggil aku pakai nama depan, ya."


Tiara sudah termakan──eh maksudnya, sudah menerima penjelasanku, dan semuanya kembali tenang.


Tinggal menyelesaikan sesi belajar dan mendapatkan barang Chikapyon-nya.


Adiknya sudah pergi, jadi nggak bakal ada kesalahpahaman──


Tunggu. Orangtuanya dari awal nggak ada, dan adiknya juga keluar. Jadi sekarang…


"Berdua saja…?"


"Eh?!"


Gawat, itu keluar dari mulutku. Tiara langsung berdiri kaget.


"Tiba-tiba ngomong apa sih?!"


"Nggak, bukan bermaksud aneh. Maksudku, cowok masuk kamar cewek itu juga bikin aku harus jaga sikap. Kalau dilihat orang luar dan disalahpahami, bisa bikin repot."


Mendengar penjelasanku yang tulus, Tiara tampak waspada tapi akhirnya duduk kembali.


"Yah… yah, kalau itu Nukumizu-san sih, aku yakin nggak bakal ada yang aneh. Aku ini cewek juga, kok."


Tolong percayalah. Meskipun terakhir kau bilang sesuatu yang aneh banget.


"Eh, aku bukan tertarik sama sesama jenis, sih."


"Aku tahu kok. Jangan-jangan kau pikir aku nggak bisa bedain kenyataan dan khayalan?"


Yap, aku pikir begitu. Melihat ekspresiku, Tiara-san berdehem pelan.


"Yah, memang dulu sempat ada masa kayak gitu sih."


"Jadi emang pernah."


"Sebagai tindakan pencegahan, sekarang aku biasa menulis semua pikiran ke dalam tulisan."


"Kayak… semacam buku harian gitu?"


Tiara-san mengangguk, lalu meletakkan jarinya di antara alisnya, berpikir sejenak.


"Misalnya, dalam pikiranku, Nukumizu-san itu semacam cowok sadis dominan, dan ketua OSIS adalah cowok yang jadi pasif."


Jadi apa coba. Tapi Tiara-san tetap menjelaskan dengan wajah serius.


"Tapi kalau ditulis dulu, lalu dibaca ulang beberapa hari kemudian, aku bisa sadar ‘nggak mungkin lah’ dan bisa bedain mana yang nyata dan mana yang khayalan. Mungkin ini semacam terapi kognitif."


Tunggu, jadi kalau nggak ditunda beberapa hari, dia nggak bisa bedain? Parah juga.


Tiara-san membuka buku latihan dengan ekspresi bangga.


"Jadi tenang saja. Aku bisa lihat kenyataan kok. Ketua OSIS itu cewek, dan Nukumizu-san itu cowok sadis dominan yang suka cewek."


Masih agak kebawa khayalan tuh.


Sambil bersenandung, Tiara-san mengerjakan soal. Tapi tiba-tiba tangannya berhenti.


"...Apa aku barusan bilang sesuatu yang aneh?"


"Enggak kok, seperti biasa saja."


"Be-bener, kan, iya! Kamu itu suka perempuan dan... tipe pemangsa kejam yang... nggak punya kendali…"


Wajah Tiara-san yang sempat cerah langsung berubah warna.


"Eh, e-ehm. Aku ini, perempuan sih. Tapi bukan untuk, ya tahu lah, jadi objek nafsu…"


"Ah iya, tentu saja. Kamu bukan tipe yang seperti itu."


"Bukan ya?!"


Eeh… gimana aku harus ngejelasinnya.


Tapi ya, memang benar sih. Gadis seusia dia yang begitu saja membiarkan cowok masuk rumahnya itu agak berbahaya juga.


Untung saja aku ini cowok baik-baik. Kalau cowok brengsek, mungkin kakinya udah merayap ke arah yang enggak-enggak.


Aku berdehem, lalu berbalik menghadap Tiara-san.


"Ehm, begini, Tiara-san. Cowok itu, makhluk yang gampang salah paham."


"Salah paham?"


"Iya. Kalau cowok berduaan sama cewek di rumahnya, kadang suka mikir yang aneh-aneh. Kayak... merasa diajak, gitu."


"Hiiy?!"


Sambil tetap duduk, Tiara mundur geser-geser menjauh.


"Aku sih nggak masalah, tapi cowok lain mungkin──"


"E-eh, itu…."


Tiara menggenggam kedua tangan di depan dadanya, tubuhnya gemetar. Eh, jangan-jangan aku kebablasan ngomong.


Saat aku mulai khawatir, dari bibir Tiara-san yang bergetar, keluarlah suara lirih.


"Ka-kalau... kamu... memang pengin…?"


"Eh, pengen apa?"


Begitu aku tanya balik, wajah Tiara-san langsung memerah sampai telinga.


"Maksudnya itu, ya itu! Yang itu! J-Jangan paksa aku bilang!"


Makanya, "yang itu" tuh apa. Saat aku mau tanya lagi, tiba-tiba ponsel Tiara berdering.


"Te-telepon! Aku angkat dulu, ya!"


Tiara-san cepat-cepat berdiri dan menempelkan ponselnya ke telinga.


"...Sensei? Wah, kerja di hari Sabtu, terima kasih atas kerja kerasnya. Ah, iya, saya baik-baik saja."


Sambil bicara, Tiara-san melangkah keluar ke lorong.


Dari lorong terdengar suaranya yang agak serius. Apa jangan-jangan nilainya merah?


...Tapi ya, seperti biasa dia memang aneh.


Hanya demi mengajakku bergabung, dia sampai bawa aku ke rumahnya dan bahkan pakai kuping kucing segala.


Padahal ternyata semua itu nggak perlu. Benar-benar usaha yang sia-sia.


Kalau begitu, seharusnya kita nggak perlu belajar di rumah Tiara dari awal, kan…?


Klik. Lamunanku terputus oleh suara pintu yang terbuka.


Tiara-san kembali ke kamar, wajahnya tampak pucat.


"Ada apa?"


Tiara-san menaruh tangan di dadanya dan menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada serius.


"Katanya, semalam sebelum batas waktu, ada yang mendaftar sebagai calon ketua OSIS."


Artinya… bukan lagi pemungutan suara, tapi akan ada pemilihan sungguhan?


Saat aku masih terkejut, Tiara-san langsung duduk di depanku dengan semangat.


"Kamu kan pernah bilang, mau bantu kampanye pemilihan, kan?!"


"Eh? Aku bilang begitu──"


Mungkin aku memang pernah bilang. Keringat mulai muncul di dahiku.


"Tapi tunggu dulu. Memang aku bilang, tapi maksudnya bukan kayak gitu, tapi──"


"Tolong! Aku nggak yakin bisa menang lawan dia sendirian!"


Tapi meski aku bantu pun, rasanya tetap nggak ada gunanya.


…Tunggu, barusan Tiara-san bilang "dia"?


"Siapa yang mendaftar? Seseorang yang aku kenal?"


Tiara mengangguk pelan, lalu membuka mulutnya.


"──Sakurai Hiroto. Bendahara OSIS, Sakurai-kun."


"?! Tapi Sakurai-kun kan katanya nggak berminat──"


Kalau itu benar, aku nggak bisa bayangin masa depan di mana Tiara-san bisa menang. Jujur aja, aku sendiri pun mungkin bakal milih Sakurai-kun.


Saat aku terdiam tak tahu harus bilang apa, Tiara-san mengambil sesuatu──sebuah bando kuping kucing.


Dengan perlahan dia pasang di kepalanya, lalu membuka mulut dengan suara bergetar.


"A-a-aku mohon… hadapi pemilihan OSIS ini bersamaku… nyaan~…"


Dengan gemetar, Tiara-san mengangkat tangannya membuat pose kucing.


Eh… aku harus gimana ini. Nyaan.


 

Interlude 1

Kenangan Istimewa


Ruang OSIS seusai jam pelajaran.


Ketua OSIS, Hibari, sedang dengan cermat mengelap mejanya menggunakan kain pel basah yang sudah diperas kuat-kuat.


Sakurai Hiroto, bendahara OSIS yang sedang merapikan rak buku, menoleh ke belakang dan tersenyum kecil.


"Padahal masa jabatanmu masih sebulan lagi, tapi kamu sudah mulai bersih-bersih."


"Aku nggak suka buru-buru beres-beres di saat-saat terakhir. Penghormatan itu dibangun dari hal-hal kecil yang dilakukan terus-menerus."


Setelah berkata begitu, Hibari mencuci kain pelnya di ember.


Melihatnya, Sakurai menatap dengan raut sedikit khawatir, tapi Hibari hanya mengangkat bahu, seolah berkata "jangan khawatir."


"Aku sudah menerima banyak hal dari para senior sebelumku. Sekarang tugasku untuk meneruskannya ke generasi berikutnya."


Ia memeras kain pelnya sekali lagi, lalu mulai mengelap kursi.


"Kamu kan sudah dua tahun di OSIS, jadi pasti banyak kenangan ya."


Hibari tersenyum dengan penuh nostalgia.


"Ya. Ketua sebelumku juga orang yang cukup sulit dihadapi. Nggak kalah menyusahkan dibanding Koto-senpai."


"Untung aku baru gabung tahun ini."


Sakurai tertawa, tapi ekspresinya tiba-tiba menjadi serius.


"Kira-kira Yumeko-san nggak apa-apa, ya? Katanya dia habis bikin Basori-chan marah lagi."


"Itu justru tanda kalau mereka akrab. Shikiya selalu tampak hidup saat bersama Basori-kun."


Wakil ketua OSIS, Tiara Basori. Dia sudah mendaftarkan diri sebagai calon ketua OSIS berikutnya.


Saat ini belum ada kandidat lain, jadi selama dia lolos pemungutan suara, dia akan menjadi ketua berikutnya.


Begitu Hibari pensiun, Sakurai sudah memutuskan untuk tidak lagi terlibat di OSIS.


Karena OSIS tanpa dirinya tidak lagi menarik.


Sakurai mengulang kembali keputusan itu dalam hatinya, lalu tersenyum tenang seperti biasa.


Ia melihat Hibari yang tampaknya sudah puas dengan kegiatan bersih-bersihnya.


Hibari meletakkan kain pel di pinggir ember dan menatap mejanya.


"Oh iya, sebelum lupa, ada yang harus kuberikan padamu."


Hibari mengambil sebuah map.


"Di sini sudah dirangkum semua isu yang masih menggantung. Rapat anggaran tambahan tiap tahun selalu ribut, jadi bersiaplah."


Sakurai menatap map yang disodorkan itu, lalu menggeleng pelan.


"Hiba-nee, aku nggak akan tetap di OSIS."


"...Benar juga. Maaf, sudah kebiasaan."


Hibari tersenyum masam sambil membelai permukaan map.


"Entah kenapa, aku merasa kamu yang akan meneruskannya. Padahal aku tahu nggak begitu."


Hibari menatap map itu sejenak, lalu seperti ingin mengusir pikirannya, ia meletakkannya kembali di atas meja.


"Sudah, cukup untuk hari ini. Hiroto, ada yang bisa kubantu?"


Ia berkata sambil menggenggam pegangan ember.


Namun, pada saat itu juga, pegangan ember lepas dengan bunyi keras.


"Hiba-nee──"


Sakurai buru-buru mengulurkan tangan, tapi Hibari lebih cepat menangkap pinggiran ember dengan tangan yang bebas.


Mereka berdua menghela napas lega.


"Aku juga nggak selalu butuh ditolong, lho."


"Iya, sekarang bebannya udah lepas dari pundakmu."


"Pasti rasanya jauh lebih ringan, ya."


Mereka saling berpandangan dan tertawa.


Saat itu, ponsel Sakurai berdering. Begitu melihat layarnya, senyumnya menghilang.


"...Itu dari Koharu, kan? Jangan sungkan, angkat aja."


Sakurai memandangi layar ponsel itu sejenak, lalu membaliknya dan meletakkannya di atas meja.


"Nanti aja aku balas. Kalau dia menelepon di jam segini, pasti bukan hal yang mendesak."


Dengan nada datar, ia berjalan mendekat ke meja Hibari.


"Hiba-nee, boleh lihat map yang tadi?"


"Ada yang bikin penasaran?"


Hibari menyerahkan map itu. Sakurai baru sadar kalau sejak tadi matanya terus tertuju ke benda itu.


Dan karena itulah, dengan wajah serius seperti sudah mengambil keputusan, dia mengulurkan tangannya.


"──Iya. Entah kenapa, aku mulai tertarik."


Previous Chapter | Next Chapter

1

1 comment

  • Masmasbiasa0510
    Masmasbiasa0510
    15/6/25 07:42
    Itu nukumizu kasi penjelasan ke Tiara ngibul asli kayaknya terpengaruh oleh filsuf Yanami yang suka bikin gagasan aneh soal diet dan cara kerja tubuh manusia khususnya tubuhnya sendiri wkwk
    Reply



close