NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Make Heroine ga Oosugiru Volume 8 Chapter 2 - Interlude 2

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


~Kekalahan Kedua~

Terguncang oleh Berat di Pundak


Awal minggu. Pelajaran hari Senin sudah selesai, tinggal homeroom saja.


Wali kelas 2-C, Amanatsu Konami, menatap kami sambil memukul meja guru dengan keras.


"Hei kalian── yang namanya June bride itu cuma jebakan!"


…Mulai lagi.


Setelah dua bulan sejak kenaikan kelas, para murid sudah mulai terbiasa dengan tingkah laku Amanatsu. Kalau dia sedang begini, lebih baik diam sambil mikirin cuaca.


"Mereka itu semua cuma ngincar bonus musim panasku. Kalian tahu nggak, umur 28 itu umur di mana semua orang di sekitarmu mulai nikah satu per satu. Hmm, biar gampang dipahami──"


Amanatsu mulai menggambar diagram di papan tulis dengan kapur.


"Begitu lulus SMA, anak-anak yang langsung kerja mulai ngalamin gelombang nikah pertama setelah 2–3 tahun. Nah, itu biasanya dapet istri muda dan imut. Terus, yang kuliah itu biasanya hubungan sosialnya ke-reset gara-gara pindahan dan semacamnya, jadi gelombang berikutnya datang setelah 5–6 tahun…!"


Dia menulis besar-besar di papan tulis: "GELOMBANG NIKAH KEDUA!" lalu berbalik menghadap kami.


"Dengerin ya, ini baru neraka yang sebenarnya!"


Bang bang bang! Dengan penuh semangat dia menepuk-nepuk papan tulis.


"Teman seperjuangan yang dulu saling mengobati luka, tahu-tahu berubah jadi musuh! Orang-orang bilang, ‘Konami itu manis, gampang lah dapet pasangan’, tapi kalau memang gampang, coba cariin dong! Gampang, kan?!"


Amanatsu Konami, 28 tahun. Seruan dari lubuk jiwa.


Sayangnya, rata-rata umur murid kelas 2-C adalah 16 tahun, jadi reaksinya hambar.


Sambil membiarkan monolog Amanatsu mengalir begitu saja, aku memandangi punggung Sakurai-kun.


Entah kenapa rasanya canggung, aku belum ngomongin soal pemilu sama dia.


Tiba-tiba mencalonkan diri, apa yang dia pikirkan? Seharusnya aku ngobrol langsung dengannya…


"Setiap akhir pekan bulan Juni itu penuh undangan nikah, nggak masuk akal, kan? Belakangan Konuki-chan juga jadi susah diajak ketemu, terus tahun ini nggak ada lagi foto perjodohan dari rumah. Katanya mau cari sendiri, tapi tolong pahami perasaan anak cewek yang cuma sok kuat gitu…"


Hari ini keluhannya lebih panjang dari biasanya.


Bulan Juni yang belum datang ini sudah cukup untuk menggerogoti hati Amanatsu-sensei.


"Kalian harus ikut arus waktu arusnya datang, ya. …Ah, ada info penting nggak ya?"


Amanatsu membolak-balik buku catatannya, lalu melambaikan tangan malas.


"Dengar ya, jangan sampai kalian hanyut dalam cinta atau asmara. Kalau begitu, selesai untuk hari ini─"


Begitu dia menepuk meja guru untuk terakhir kalinya, teman-teman kelasku berdiri serempak.


Sekarang, aku harus mengejar Sakurai-kun. Namun lebih cepat dari aku berdiri, pintu kelas terbuka dengan keras.


Yang masuk adalah──Tiara-san. Dia langsung berjalan ke arahku dan menaruh setumpuk kertas di mejaku.


"Nukumizu-san, ini kelanjutan dari pembicaraan hari Sabtu."


"…Pembicaraan yang mana ya?"


Tanpa sadar aku bertanya balik, dan Tiara-san mencondongkan tubuh ke arahku.


"Di kamarku! Jangan bilang kau lupa? Padahal aku sudah disuruh berpakaian seperti itu!"


"Itu kan kau sendiri yang memutuskan── maksudku, ini bukan tempat untuk berbicara seperti ini, bagaimana kalau kita pindah tempat?"


Percakapan ini bisa disalahartikan oleh orang lain. Tidak, bahkan bukan cuma salah paham, bisa jadi kenyataan juga── dan itu bahaya.


Dengan cemas, aku melirik sekeliling. Yanami dan Komari, bahkan Himemiya-san pun menatapku dengan pandangan tajam. Dan kenapa Amanatsu-sensei malah motret aku…?


Amasei-san melirik Sakurai-kun sebentar lalu berdeham kecil.


"Benar juga. Kita sebaiknya pindah ke tempat yang lebih tenang. Tempat yang bisa membuat kita berdua saja."


Ya, benar juga sih. Tapi cara ngomongnya, tolong dikoreksi, ya.


â—‡


Di halaman tengah SMA Tsuwabuki, ada meja dan kursi batu yang luas.


Setelah duduk di sebelahku, Tiara-san mulai menyusun dokumen di atas meja.


"Langsung saja soal pemilu. Satu minggu sebelum pemungutan suara adalah hari pengumuman resmi. Sampai saat itu, kita dalam masa persiapan, jadi masih diperbolehkan mengumpulkan pendapat dari para siswa──"


Tiara-san terus bicara cepat tanpa henti.


Para siswa yang lewat di koridor terdekat melirik kami dengan tatapan heran.


"…Umm, Tiara-san. Tempat ini agak terlalu terbuka, ya?"


"Jaraknya cukup jauh, jadi orang lain nggak akan dengar. Dan tolong jangan panggil aku dengan nama depanku."


Dengan santai dia membalik halaman kertas.


"Aku ingin melakukan persiapan sebanyak mungkin dari awal. Dan Nukumizu-san juga perlu tahu tentang kegiatan OSIS. Maaf, tapi bisa minta waktumu setelah pulang sekolah beberapa hari ke depan?"


"Umm, tunggu dulu."


"Ah, maaf, aku ngomong sendiri terus. Silakan, Nukumizu-san."


Tiara-san tersenyum malu-malu.


"Jadi, soal pemilu OSIS…"


"Ya!"


Dengan mata penuh harapan, Tiara-san menatapku.


Aku memalingkan pandangan sambil melanjutkan.


"Kayaknya aku tetap nggak bisa terlalu terlibat. Soalnya, aku juga punya kegiatan di klub sastra, jadi…"


"Tapi waktu di kamarku──"


Ucapan Tiara-san terputus.


Dia terdiam cukup lama, lalu mulai membereskan dokumennya sambil berdiri.


"Be… benar juga, ya. Nukumizu-san punya klub sastra."


Suaranya sedikit bergetar.


"Maaf, aku terlalu menganggap serius basa-basi. Tapi nggak apa-apa, aku akan usahakan sendiri. Besok mulai ganti seragam musim panas, jadi hati-hati ya."


Dengan tergesa-gesa dia memasukkan dokumen ke dalam tasnya dan bersiap pergi.


"──Tunggu."


Tanpa berpikir, aku berdiri dan meraih tangan Tiara-san.


"Nukumizu-san…?"


"Aku nggak bisa jadi pengusung resmi, tapi… setidaknya sampai kau dapat orang yang bisa, aku bisa bantu sebisanya."


Mungkin ini perasaan yang buruk, semacam belas kasihan yang bercampur dengan pembelaan diri. Aku pun sadar kalau aku mengulurkan tangan dengan niat yang setengah-setengah.


"Tapi, apa ini nggak merepotkanmu, Nukumizu-san?"


"Anak-anak OSIS sudah banyak membantuku, jadi setidaknya kali ini aku harus membalas budi."


Perlahan-lahan, genggaman tangan Tiara mulai melemah.


"…Yang ada di sini bukan OSIS, tapi aku sendiri."


"Maksudmu?"


Aku tak sengaja balik bertanya, dan Tiara menggelengkan kepala perlahan.


"Bukan apa-apa. Maksudku, Nukumizu-san juga dekat dengan Sakurai-kun, jadi kalau kau berpihak padaku, bukankah akan jadi canggung?"


"Kurasa nggak, sih. Dia punya banyak teman, dan nggak akan terlalu peduli."


"Aku juga punya teman, tahu."


Tiara menjawab lirih, lalu tertawa kecil seakan mencoba mengalihkan suasana.


"Terima kasih ya. Soalnya aku memang nggak punya kenalan cowok lain."


"Aku juga nggak banyak kenalan cowok."


"Kalau lebih banyak kenalan lawan jenis, itu agak mengkhawatirkan, lho."


Saat suasana antara kami mulai mencair karena candaan itu—


"Senpai, silakan tehnya."


""!?""


Sebuah cangkir termos tiba-tiba disodorkan ke depan Tiara.

Di balik uap hangat yang mengepul dari cangkir itu, Shiratama tersenyum manis.


"Shiratama-san?!"


"Eh? Kenapa kamu ada di sini?"


"Aku melihat kalian dari koridor. Dan karena kalian pegangan tangan, kukira mungkin sedang kedinginan."


"I-ini sa-salah paham! Ini semua gara-gara Nukumizu-san yang maksa!"


Huh, kesannya jadi buruk. Tiara buru-buru menarik tangannya dariku. Shiratama menyesap teh yang tak jadi diberikan, lalu mengangguk seolah sudah paham.


"Jadi ketua klub akhirnya memutuskan untuk membantu Tiara-san, ya."


"Kau dengar?—Maksudku, 'aku' memutuskan? Maksudmu apa?"


Saat aku balik bertanya, Shiratama memiringkan kepala imutnya sambil menjawab:


"Belum dengar, ya? Orang yang jadi pengusung Sakurai-senpai itu… ternyata Yanami-senpai."


â—‡


Keesokan harinya, pelajaran pertama di hari Selasa adalah latihan untuk festival olahraga.


Hari-H nanti akan ada pertandingan yel-yel antar kelas, tapi keikutsertaannya bersifat sukarela.


Tentu saja, karena aku nggak daftar, aku hanya bersandar santai di bawah pohon di ujung lapangan dan mengamati dari kejauhan.


Di antara peserta yel-yel ada Yanami, Himemiya, juga Sakurai dan Ayano dari pihak cowok.


Saat hari-H, cowok akan pakai seragam sekolah, sementara cewek pakai kostum pemandu sorak. Tapi kupikir Himemiya nggak cocok pakai itu deh. Ada lompatan dan gerakan lompat segala…


Sambil melamun tentang hukum inersia, tahu-tahu latihannya selesai.


Musik berhenti, dan para anggota yel-yel mulai bubar.


Saat melirik ke lapangan, kulihat Sakurai sedang mengobrol dengan para cewek sekelas dengan santai.


Bahkan di jam pelajaran pun masih bisa ngobrol santai, benar-benar tipe populer. Eh, dia juga pinjam handuk dari salah satu cewek, lagi.


"Sakurai-kun emang populer, ya."


"Yah, iya sih. Tapi kau juga nggak kalah, Nukumizu."


Yang datang menghampiriku sambil berkata begitu adalah Ayano. Sambil mengikuti arah pandangku, dia berkata heran.


"Ada apa dengan Sakurai? Dari kemarin kalian kelihatan agak canggung."


"Bukan masalah besar, sih. Cuma ada hal yang bikin kepikiran."


"…Oh, aku paham sekarang."


Ayano membuat kacamatanya memantulkan cahaya dramatis. Tapi jelas dia nggak paham.


"Nukumizu, jadi akhirnya kau naksir seseorang ya?"


"Bukan, bukan itu."


Ya ampun, bener-bener nggak nyambung.


"Bukan? Tapi kemarin kau sama Tiara-san, kan?"


"Aku bantu Tiara-san itu karena situasi aja, kayak rekan bisnis gitu."


Ngomong-ngomong, aku belum dapat barang-barang Chikapyon, ya.


Cuma penampilan Tiara pakai kuping kucing doang jelas belum cukup.


"Kalau bukan Tiara-san, berarti—"


Kilap!—Kacamata Ayano kembali menyala.


"Eh, apa?"


"Nukumizu, semangat ya."


Ayano mengacungkan jempol seolah mengerti sesuatu, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan.


Apa-apaan sih? Yah, Ayano emang agak aneh sih kadang-kadang…


Saat aku masih merenung sendiri,


"Bolos itu nggak boleh, tahu, Nukumizu-kun."


Kini giliran Yanami yang datang menghampiri sambil tersenyum nakal, lalu mengambil pose dengan kedua tangan terangkat.


"Nah, gimana menurutmu penampilanku?"


"Umm, kayak pose mengancam dari trenggiling kerdil?"


"Bukan itu! Maksudku, apa pendapatmu soal aku pakai kostum pemandu sorak!"


"Yanami-san, kamu masih pakai baju olahraga."


Jawabanku yang logis membuat Yanami mengangkat bahu, seolah putus asa.


"Begitulah kamu, Nukumizu-kun. Waktu dengar aku ikut yel-yel, pasti langsung ngebayangin aku pakai kostum cheerleader, kan?"


"Nggak juga."


"Tapi boleh juga sih kalau dibayangin?"


Ugh… aku lagi capek, dan otakku nggak mau dipakai buat hal-hal aneh.


Hmm, penampilan cheerleader-nya Yanami, ya… Mungkin dia pegang pom-pom di tangan, rambut diikat ke belakang…


Roknya pendek, bagian dadanya tampak agak sempit──


"Ah, kamu sebaiknya hati-hati, perutmu agak menonjol sedikit."


"Imaginasi macam apa yang kamu pikirkan?!"


"Itu... tentangmu, maksudku, bukan apa-apa."


Yanami tersenyum kecut sambil melambaikan tangan seolah jengkel.


"Jadi begini, kamu kelihatan murung dari tadi pagi, jadi aku berusaha perhatian padamu, tahu?"


Dan itu caramu menunjukkan perhatian? Setidaknya lakukan dengan lebih lembut.


"Eh… Yanami-sam, kamu jadi orang yang merekomendasikan Sakurai-kun, kan?"


"Heh, jadi kamu peduli ya."


Suara Yanami seolah memotong ucapanku. Aku merasa seperti sedang dibaca isi hatiku, jadi aku pun mengalihkan pandangan.


"Yanami-sam itu sebenarnya cukup gugupan, kan? Jadi aku cuma khawatir soal pidato dukungan dan semacamnya."


"Aku yang dulu memang begitu, tapi sekarang sudah beda. Lagipula, kalau aku atau kamu menang, bukankah bagus kalau ada wakil ketua OSIS dari klub sastra?"


"Jadi kamu berniat jadi wakil ketua OSIS?"


Aku bertanya dengan terkejut, dan Yanami mengangguk seolah itu sudah jelas.


"Soalnya Tsukinoki-senpai dulu gabung OSIS dan klub sastra juga, kan. Berarti mungkin bisa."


"Mungkin sih… tapi…"


Yanami cepat-cepat melirik sekeliling, lalu membisikkan sesuatu dengan nada serius.


"──Intinya itu soal kekuasaan."


Kekuasaan? Aku cuma bengong, dan Yanami pun menjelaskan dengan gaya sok tahu.


"Daripada minta kulkas kecil, kita pasang sistem dapur lengkap di ruang klub. Yang model menghadap langsung itu."


"OSIS nggak punya kuasa sampai segitunya."


Yanami ternyata serius mau gabung OSIS, ya… Saat aku cuma diam, Yanami menyenggol bahuku pelan.


"Eh, kamu dan Tiara-san ada apa, ya?"


"Enggak ada apa-apa."


"Padahal sebelumnya kamu kelihatan nggak begitu antusias, tapi kemarin kalian kayak mesra-mesra gitu."


"Kita nggak mesra."


Aku membantah tegas, tapi Yanami menatapku dengan mata menyipit ke atas.


"Kamu ke rumah Tiara-san, kan?"


"Nggak per… eh, iya, sih."


Aku memang ke sana. Tiara-san pakai telinga kucing waktu itu. Saat aku ragu menjawab, Yanami menaikkan sebelah alisnya.


"Serius? Kamu kena jebakan rayuan atau gimana?"


"Bukan begitu. Aku cuma tukar barang, dapat merchandise anime aja."


"Merchandise anime…?"


Sementara Yanami tampak menimbang-nimbang dalam pikirannya, sebuah bayangan kecil mendekat.


"Y-Yanami-san, kita mulai lagi latihannya."


Yang datang adalah Komari. Dia membawa radio kaset tua yang tampak berat.


"Ah, Komari-chan. Jadi kamu berhasil dapat baterainya."


"R-Ruangan guru olahraga… serem banget…"


Komari mengangguk sambil hampir menangis. Hm, kalau dia yang bawa radio itu, berarti…


"Jangan-jangan kamu juga ikut daftar buat lomba yel-yel?"


"A-Aku bagian musik dan perekaman."


Entah kenapa Komari kelihatan bangga.


"So-Soalnya kalau ikut lomba yel-yel, nggak usah ikut lomba individu lain."


Begitu ya. Enak banget. Aku malah harus lari di lomba halang rintang yang bahkan nggak aku minati.


"Kalau gitu, ayo pergi Komari-chan. Ngomong-ngomong, kamu nggak mau jadi cheerleader?"


"T-Tidak mau!"


Yanami meraih gagang radio dan bersama Komari berjalan menuju lapangan.


…Sepertinya aku berhasil mengelak.


Tentu saja bukan berarti ada sesuatu yang perlu dihindari.


Bukan, tapi kalau aku bilang terus terang bahwa aku ikut ke rumah Tiara dan main peran pakai telinga kucing, atau bahwa aku terbawa emosi dan memutuskan membantu dia, pasti hanya akan menimbulkan salah paham.


Saat aku sibuk mencari alasan di dalam kepala──


Entah kenapa, Yanami dan Komari berhenti melangkah dan menatap ke arahku dari balik bahu mereka.


"……Kenapa?"


Kepada aku yang bertanya dengan hati-hati, mereka berdua menjawab dengan nada menantang.


"Ayo kita lakukan dengan jujur dan adil, Nukumizu-kun."


"Ka-kamu selingkuh."


…Sungguh tuduhan yang terdengar buruk.


Untuk menghindari tatapan penasaran dari teman sekelas yang lewat, aku menengadah menatap langit biru.


â—‡


Dua hari kemudian sepulang sekolah. Pertarungan pemilihan ketua OSIS akhirnya dimulai.


Aku berjalan di lorong bersama Tiara-san sambil membalik kertas di tanganku.


"Eh, selanjutnya kita kunjungi klub seni rupa. Kita ada janji dengan klub softball 30 menit lagi, jadi dengan waktu pindah tempat, kita harus selesaikan ini dalam 20 menit."


"Dimengerti. Aku sudah dapat informasi sebelumnya karena kenal dengan wakil ketuanya."


Aku mengikuti Tiara yang menaiki tangga dengan langkah cepat.


…Aku benar-benar meremehkan persiapan pemilihan ketua OSIS.


Kupikir hanya akan menyiapkan selebaran, tapi ternyata harus keliling mendekati para pemilih, seperti pemilu sungguhan.


"Eh, ini nggak melanggar aturan pemilu? Maksudku, kita minta mereka memilih kita secara langsung."


"Mendengarkan pendapat para pemilih diperbolehkan. Aku juga sudah konfirmasi ke guru."


Setelah mencapai puncak tangga, Tiara-san melirik jam tangannya sekilas.


"Sepertinya kita akan tiba tepat waktu."


"Nggak juga, lorong ini lebih panjang dari yang terlihat. Kalau nggak sedikit buru-buru, kita bakal terlambat."


"Kenapa kamu tahu sedetail itu?"


Tak perlu dijelaskan. Itu hasil dari latihan intensifku dalam menghabiskan waktu istirahat seefisien mungkin.


Aku tersenyum tanpa berkata apa-apa, lalu mempercepat langkahku melewati Tiara.


â—‡


Dalam perjalanan pulang setelah selesai bertemu dengan klub softball, Tiara-san berhenti di depan gedung olahraga.


"Ada apa? Jadwal kita untuk hari ini sudah selesai, kan?"


"Bukan, aku cuma ingat kalau klub basket putra sedang latihan. Soalnya aku kesulitan membuat janji dengan ketua klub, jadi kupikir langsung datang saja."


Sambil melepas sepatu di samping Tiara-san, aku bertanya dengan rasa penasaran.


"Kesulitan buat janji? Klub basket putra sibuk banget, ya?"


"Manajernya yang menghalangi. Sepertinya mereka curiga aku mendekati mereka demi cowok…."


Tiara-san menghela napas. Klub basket dan sepak bola memang jadi idola para cewek. Aku pernah dengar cewek-cewek sekelasku ngomong begitu.


"Jadi klub populer juga repot, ya. Untungnya klub sastra nggak ada urusan cinta-cintaan."


"…………"


Tiara-san menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu.

Apa? Kalau ada yang ingin dikatakan, bilang saja.


"Aku memang punya banyak hal untuk dikomentari, tapi yang utama sekarang adalah mendapatkan janji temu."


Tiara pun meletakkan tangannya di pintu berat gedung olahraga.


Saat aku membantunya membuka pintu itu, suara bising langsung menyembur keluar.


Di satu sisi, klub basket putra sedang latihan. Di sisi lain, klub voli putri juga sedang latihan.


Aku melihat ke arah Tiara-san yang sedang mendekati manajer klub, lalu memperhatikan anak-anak klub basket.


Aku nggak ngerti soal perasaan cewek, tapi cowok tinggi dan segar itu memang kelihatan keren.


Ah, nomor 10 itu barusan cetak poin, keren juga…


Sambil menatap dengan kosong, aku sadar anak-anak klub basket menatap ke arahku beberapa kali.


Kenapa? Seaneh itukah anak pendiam seperti aku?


Saat aku bersiap menutup diri, ternyata yang mereka lirik bukan cuma aku.


Arah pandangan mereka tertuju ke tempat latihan klub voli putri… dan, eh? Ada dua orang yang kukenal di antara para pemain.


──Yanami dan Sakurai Hiroto.


Mereka masih pakai seragam sekolah, saling mengoper bola sambil tertawa-tawa.


…Apa-apaan sih itu, akrab banget.


Sebagai cowok, harusnya jangan sampai terbuai seperti itu, main-main dikelilingi cewek. Menyedihkan.


Saat aku sedang merasa muak, waktu bermain mereka rupanya sudah selesai. Sakurai meninggalkan Yanami yang sedang mengobrol dengan seseorang yang tampaknya ketua klub, dan berlari mendekat ke arahku.


"Nukumizu-kun juga datang ya. Keliling salam-salaman bareng Basori-chan?"


"Yah… semacam itu."


Aku menjawab dengan agak ragu, dan Sakurai menundukkan kepala kecil-kecil seolah merasa bersalah.


"…Maaf ya."


"Hah? Kamu minta maaf soal apa──"


Saat aku hendak menjawab, Sakurai menampilkan senyum khasnya yang sedikit canggung.


"Aku bilang bakal mundur, tapi ujung-ujungnya malah ganggu Basori-chan. Jadi secara nggak langsung, aku juga bohong ke kamu."


"Aku sih nggak masalah, tapi…"


Aku melirik ke arah Tiara-san, yang tampaknya sedang berdebat dengan manajer klub basket.


Sakurai tersenyum pahit.


"Di ruang OSIS juga suasananya agak canggung, sih."


Yah, memang begitu kenyataannya.


Tiara-san memang gadis yang baik, tapi dia sedikit kurang pandai menyembunyikan perasaannya.


"Tapi kalau dia sampai berniat mencalonkan diri jadi ketua OSIS, pasti ada banyak hal yang dia pikirkan, kan?"


"Entahlah. Perasaan itu, justru sering kali paling sulit dipahami oleh pemiliknya sendiri."


Sambil tersenyum, Sakurai terlihat sedikit sedih.


"──Aku sendiri nggak nyangka kalau ternyata aku sekeras kepala ini."


Mendengar nada suaranya yang seperti sedang berbicara pada diri sendiri, aku tanpa sadar memandang wajah Sakurai. Dalam keheningan sesaat itu, suara ceria tiba-tiba menyela.


"Eh, jadi kamu juga ke sini, Nukumizu-kun?"


Yanami mendekati kami sambil mengusap keringat dengan sapu tangan.


"Ah, iya. Aku ada urusan sedikit dengan tim basket cowok."


"Itu, kan? Kamu mau bagi-bagi manju beracun, kan?"


"Manju beracun?"


Kata-kata mencurigakan itu membuatku spontan bertanya balik. Yanami menyilangkan tangan dengan ekspresi puas.


"Katanya sih, waktu pemilihan, suka ada yang bagi-bagi manju beracun. Pasti manju-nya enak banget sampai bikin orang ‘mati’ bahagia!"


Itu benar-benar pernah dibilang? Meski begitu, Yanami sepertinya memang akan tetap memakannya meski manju-nya beracun.


"Maaf menunggu, Nukumizu-san. Besok sepulang sekolah, sebelum latihan──"


Tiara kembali sambil mencatat sesuatu di bukunya, lalu mengangkat wajah.


"Eh, Sakurai-kun juga ke sini, ya?"


"Yah, begitulah. Kamu hebat, bisa janjian sama tim basket cowok. Padahal aku pernah ditolak."


Sambil melirik Yanami penuh makna, Sakurai tersenyum.

Kalau nggak salah, Yanami pernah nolak mantan kapten basket cowok, ya…


Entah dia sadar tatapan itu atau tidak, Yanami menepuk pundakku pelan.


"Eh, Nukumizu-kun. Itu, dia lagi ngapain, ya?"


"Hm?"


Di luar pintu gedung olahraga, ada seorang cewek berdiri sambil memegang kamera DSLR.


Gadis stylish dengan rok pendek itu langsung menghilang begitu menyadari kami melihatnya.


"Itu sisa-sisa Klub Pengamat Burung. Sekarang mereka gabung ke Klub Koran."


Tiara berkata dengan nada kesal. Jadi itu yang namanya Klub Koran yang sering dibicarakan orang.


Penampilannya imut, tapi ternyata orang memang nggak bisa dinilai dari luar, ya…


"Nukumizu-kun, ada sesuatu di wajahku?"


"Ah, enggak, bukan apa-apa."


Wah, aku tanpa sadar terus menatap Yanami. Sebelum Yanami sempat bicara lagi, Tiara-san segera menyela dan berdiri di antara kami.


"Kalau begitu, Nukumizu-san, ayo kita lanjut ke tempat berikutnya."


"Bukannya jadwal hari ini udah selesai?"


"Masih banyak pekerjaan menunggu. Ayo, jangan ganggu kegiatan klub orang lain."


Tiara-san lmulai mendorongku dengan bahunya.

Saat aku bingung dengan tekanan misterius itu, Yanami menarik lengan baju Sakurai.


"Ayo, Sakurai-kun. Kita juga mulai rapat strategi, yuk."


"Iya. Kalau begitu, kami pergi duluan ya."


"Eh? Ah……."


Yanami melirikku sebentar, lalu menggandeng lengan Sakurai.


"Oh iya, aku punya dua roti kacang. Satu buat kamu, Sakurai-kun."


"Bukannya dua-duanya buat kamu?"


"Kalau lagi diet, aku cuma makan satu."


Sambil melirik ke arah mereka, aku bertanya pada Tiara-san.


"Jadi, setelah ini kita ada tugas apa?"


"Hmm, coba tebak."


Eh? Bukannya tadi dia bilang pekerjaannya masih banyak?

Melihatku yang bingung, Tiara memalingkan wajah dengan ekspresi sedikit jengkel.


â—‡


Keesokan harinya, Jumat sore.


Dengan tubuh yang kelelahan, aku akhirnya sampai di tempat parkir sepeda.


Iya, kunjungan ke klub-klub selama beberapa hari terakhir akhirnya selesai juga.


Dan yang mengejutkan, Tiara-san tidak bertengkar denganku di akhir-akhir. Hebat juga dia.


…Ngomong-ngomong, apa dia sudah menemukan orang yang mau jadi pengusungnya?


Kalau dia berniat menyeretku secara tidak langsung, aku tidak akan menuruti harapannya.


Meskipun kelihatannya aku mudah terbawa suasana, aku bukan orang yang gampang luluh begitu saja──


Saat aku meneguhkan tekad itu, aku melihat Komari berdiri di depan sepedaku.


"Komari? Ngapain kamu di sini?"


"A-aku lagi nunggu kamu."


…Ya, seperti dugaanku. Aku jadi merasa canggung dan menggaruk pipi.


"Maaf, aku belum sempat nongol ke Klub Sastra akhir-akhir ini. Apa Yanami-sam masih sering datang?"


"S-sesekali dia datang, terus ngasih aku sandwich katsu."


Ternyata itu strategi kampanye versi Yanami. Tapi bikin gemuk, tuh.


"Minggu depan aku bakal datang lagi ke Klub Sastra. Tiara juga bakal sibuk dengan acara festival olahraga."


"K-kali ini beneran?"


"Iya. Tinggal nulis pidato pernyataan visi-misi sama sesi pemotretan buat poster. Setelah itu kami nggak boleh terlalu aktif sampai hari pemungutan suara…… Jadi, serius deh."


Komari menatapku tajam tanpa sepatah kata pun.


"Udah sering aku bilang, aku nggak akan masuk OSIS."


"T-tapi, kamu bantuin si wakil ketua OSIS itu, kan?"


"Iya."


Aku kembali memalingkan pandangan.


"Ka-kau itu, Nukumizu, begitu saat genting datang, gampang kebawa arus."


"Nggak, aku tuh nggak segampang itu, tahu."


Aku protes dengan suara pelan, tapi Komari menatapku tajam dari balik poni.


"K-kau lupa waktu gabung klub pulang cepat?"


"Iya…"


Sudah tak ada lagi kata-kata untuk membalas. Saat aku tertunduk seperti duduk di atas duri, Komari mulai berbicara pelan-pelan.


"B-besok kamu ada rencana enggak?"


"Kalau Sabtu sih, enggak ada apa-apa."


"K-kalau gitu kosongin. A-ada yang mau kubicarakan."


Dengan nada kaku, Komari mengatakan itu lalu membalikkan rok dan lari pergi.


Apa ya itu… ajakan kencan—nggak mungkinlah. Tadi juga dia kelihatan marah… serem.


Aku menghela napas dalam dan melemparkan tas ke dalam keranjang sepedaku.


â—‡


Sabtu pagi. Saat kuangkat wajah, langit biru cerah membentang tanpa batas.


Naik bus sekitar sepuluh menit dari Stasiun Toyohashi, aku tiba di depan sebuah toko diskon besar.


Sambil menatap papan iklan bergambar penguin dengan topi Santa, aku bergumam pada diri sendiri.


"…Aku bakal dimarahi nih."


Undangan mendadak dari Komari—pasti maksudnya adalah sesi ceramah.


Fakta bahwa tempat janjian diubah dari perpustakaan pusat ke toko ini sudah jadi tanda yang jelas.


Soalnya, toko diskon ini adalah salah satu tempat nongkrong paling populer di kota. Dia pasti berniat menyudutkanku waktu aku lengah. …Walaupun Komari juga kelihatan bakal keteteran.


Oh iya, kalau begitu aku harus siapkan semacam persembahan untuk menenangkan hatinya.


Kalau itu Yanami, cukup dikasih ubi panggang. Tapi kalau Komari, mungkin barang BL atau semacamnya?


Tapi BL itu seleranya beda-beda… gimana kalau kartu hadiah? Atau sekalian aja uang tunai?


Saat aku memeriksa isi dompet, aku sadar kalau Komari sedang menatapku.


Komari memakai atasan katun polos berlengan pendek, rok, dan rompi coklat. Gayanya yang agak kampungan justru terlihat imut, tapi kalau aku ngomong, dia pasti marah. Jadi aku diam saja.


Sambil menunduk malu, Komari bergumam pelan.


"Nu-Nukumizu, maaf, aku telat."


"Eh, anak-anak itu…"


Benar. Si Chibisuke alias adik-adiknya, Susumu dan Hina, berdiri di sisi kanan dan kiri Komari.


"E-ehm, soalnya orang tuaku mendadak harus kerja… jadi aku bawa mereka."


Komari memainkan poninya dengan ujung jari.

Melihat kakaknya, Susumu membungkuk sopan.


"Onii-chan, hari ini mohon bantuannya."


"Iya, sama-sama. Senang bisa jalan bareng kalian."


Kalau nggak salah, Susumu itu kelas empat ya? Lebih dewasa dari aku dan kakaknya. Waktu seusia dia, pikiranku cuma diisi game.


Dan si kecil yang mengintip dari belakang Komari itu pasti Komari Hina.


Diperkirakan umur empat tahun, makhluk paling imut seantero Toyohashi.


"…Temannya Neechan."


"Sudah lama, ya. Kakak ini namanya Nukumizu."


Saat aku menatap matanya sambil tersenyum, Hina keluar perlahan dari balik tubuh Komari.


"…Nukumizu."


"Benar, Nukumizu."


Hina mengangguk pelan, lalu kembali bersembunyi di belakang Komari. Lucunya…


Melihat interaksi itu, Komari menghela napas lega.


"B-baik-baik aja, kan?"


"Sama sekali nggak masalah. Malah aku senang mereka ikut."


Kalau bawa adik-adik, dia pasti nggak bakal bisa marah keras-keras. Kesempatan emas!


Aku jongkok dan tersenyum pada Hina.


"Baiklah, Hina-chan. Hari ini mau ke mana?"


Masih memegang rok kakaknya, Hina menjawab pelan.


"Hina… mau belanja."


"Oke! Kakak siap—"


"H-hei! Jangan asal janji begitu!"


Langsung dimarahi. Kakaknya memang galak, ya.


"Yuk, langsung masuk. Mau beli apa dulu?"


"H-Hina mau— h-hei! Jangan lari!"


Komari mengejar kedua adik yang sudah berlari masuk sambil bergandengan tangan.


Melihat pemandangan itu dengan rasa nostalgia aneh, aku pun ikut masuk melewati pintu otomatis.


â—‡


Suasana di dalam toko sangat ramai. Barang-barang memenuhi rak, dan harga-harga warna mencolok bikin kepala pusing.


Aku berjalan berdampingan dengan Komari di belakang kedua Chibisuke yang mondar-mandir. Mataku tertuju pada diskon detergen.


Ini murah juga ya. Saat aku berhenti, Komari menarik-narik bajuku.


"Nu-Nukumizu, nanti kamu tersesat."


"Nggak, lihat deh. Ini jarang ada diskon, tahu."


"H-hari ini tahan dulu!"


Baik, aku tahan.


Chibisuke sedang melihat-lihat paket makanan di bagian bingkisan musim panas.


"Tadi Hina-chan bilang mau belanja, apa dia mau kasih bingkisan musim panas?"


"G-gak mungkinlah. So-soalnya ada acara menginap di TK. Jadi mau beli piyama baru."


Oh ya, mana mungkin anak umur empat ngirim bingkisan segala. Komari yang mengawasi kedua adiknya, berlari kecil menyusul dan menggandeng tangan mereka.


"J-jangan jauh-jauh, nanti bisa nyasar kayak Nukumizu."


Komari jago juga jagain anak-anak ya. Saat aku memperhatikannya dengan perasaan hangat, dia menatapku tajam.


"A-apa sih. Liat-liat kayak gitu. Menyeramkan."


"Aku cuma mikir… Komari kayaknya bakal jadi ibu yang hebat nanti."


"Ugh?! M-mati aja──"


Saat hendak bicara, Komari menyadari tatapan mata Hina yang sedang menatapnya dan langsung berdeham.


"Nu-Nukumizu, kamu selalu saja begitu, ya."


Melihat Komari membetulkan ucapannya, mata Hina langsung berbinar.


"! Nukumizu, kamu selalu saja begitu ya!"


Hina yang menirukan gaya bicara itu kelihatan imut banget. Dan Komari, jangan menatapku seolah aku ini sampah.


Didorong oleh Komari, kami naik eskalator, dan sampai di lantai mainan.


Anak-anak kecil langsung lari dengan mata berbinar, dan Komari menghela napas.


"Ka, kau harus siap. Kalau sudah begini, bakal repot."


Melihat Komari yang mengejar Hina, aku pun pergi ke arah Susumu.


Susumu berdiri diam sambil melirik ke arah sabuk pahlawan yang bisa berubah bentuk.


…Mainan zaman sekarang rumit juga ya. Aku mengambil contoh sabuknya.


"Eh? Ini cara kerjanya gimana?"


"Kartunya bukan dimasukkan begitu aja, tapi harus digeser supaya bisa terbaca."


Oh begitu ya. Saat aku mengikuti instruksinya dan menggeser kartu, sabuknya menyala, dan pahlawan itu meneriakkan nama jurus andalannya.


"Jadi begitu cara pakenya. Ini semua kartunya suaranya beda? Keren banget, ya?"


"Nggak cuma itu lho. Kalau pakai dua kartu sekaligus, bisa gabungin jurus juga."


Serius? Keren banget.


Dengan bimbingan Susumu, aku mencoba semuanya. Mainan zaman sekarang memang luar biasa.


"Selanjutnya, Susumu mau coba juga?"


"Aku nggak apa-apa. Aku udah nggak main kayak gini lagi."


Oh begitu. Padahal aku tadi serius banget maininnya.


"Kalau di sekolah, yang lagi tren sekarang apa?"


"Ya tetap game sih. Kamu tahu Montore?"


Itu kan game berburu monster raksasa bareng teman-teman. Seri terbarunya katanya keren banget, dan aku sebenarnya cukup tertarik.


"Aku tahu. Tapi itu kan harus kerja sama, ya? Main sendiri pasti sepi banget."


"Ya jelas dong. Mainnya sama teman. Itu udah pasti."


Oh begitu, main sama teman ya. Ya gitu deh…


Setelah melewati pojok tokusatsu, kami sampai di bagian penjualan game. Susumu mengambil satu paket dari rak.


"Aku doang yang belum punya, jadi selama ini cuma bisa lihat-lihat. Tapi kalau uang sakuku bulan depan turun, aku bisa beli."


"Hebat dong. Kamu nabungnya bagus."


"Iya, akhir-akhir ini aku nggak ngeluarin duit sama sekali."


Susumu tersenyum malu tapi bangga. Kakaknya harusnya juga bisa belajar dari ini.


Saat aku sedang kagum, Susumu berbisik pelan.


"…Nii-chan, hari ini kamu kencan sama Nee-chan, ya?"


"Bukan kok."


Tanpa sadar aku menjawab jujur, dan Susumu tampak bingung.


"Kalau dua orang pergi main bareng, apa bedanya sama kencan?"


Iya juga sih, bedanya apa ya. Pengalaman kencanku juga baru sekali waktu sama Yakishio…


"Bedanya kencan dan main bareng itu…"


"Bedanya apa?"


Aku menatap mata Susumu yang serius, dan menjawab dengan tegas.


"Pegangan tangan─mungkin."


"Tangan? Tapi aku juga sering pegangan tangan sama Hina dan Nee-chan, lho."


"Aku juga sering pegangan tangan sama adikku, tapi sayangnya keluarga itu nggak dihitung. Kalau cowok dan cewek yang seharusnya orang asing pergi berdua dan pegangan tangan─nah, itu yang namanya kencan."


Aku menyampaikan dengan gaya sok tahu, dan Susumu menunjukkan ekspresi sedikit kecewa.


"Nee-chan dari kemarin udah sibuk banget milih baju, jadi aku kira emang kencan."


Hmm, jadi Komari juga mulai memperhatikan penampilan ya.


Saat aku terharu melihat perkembangan Komari, Susumu menolah-noleh melihat sekitar.


"Ngomong-ngomong, Hina ke mana?"


"Sama kakaknya. Hmm, kalau nggak salah ke arah sana."


Kami mencari Komari dan Hina, dan akhirnya menemukan mereka di salah satu sudut lantai mainan.


Itu adalah seri mainan populer sejak dulu, di mana boneka-boneka hewan kecil hidup di rumah miniatur.


Saat Hina melihatku, dia menunjukkan boneka kelinci dan beruang.


"Ini, Nee-chan dan Nii-chan!"


"Oh ya, ini Onii-chan dan Onee-chan, ya."


Hmm… maksudnya apa ya itu.


Saat aku meminta bantuan lewat tatapan, Komari menjawab sambil mengelus kepala Hina.


"Uu, dia suka pakai boneka yang sama, terus ngasih nama aku dan Susumu, buat main."


Oh begitu, jadi gitu ceritanya. Kelinci dan beruang sebagai kakak-adik, rasanya agak rumit ya…


Saat aku merenung tentang makna "keluarga", Hina mengambil boneka berang-berang.


"Ini, Nukumizu~!"


Aku? Jadi maksudnya aku jadi kakaknya Hina─atau ayahnya? Yah, itu juga nggak buruk sih. Saat aku sedang menatap boneka berang-berang itu,


"Ah!"


Hina meraih kotak kecil dari rak. Miniatur tempat tidur susun tiga yang sangat lucu.


"Ini! Yang dari dulu nggak ketemu di mana-mana!"


"H-hey, kita nggak beli itu ya."


Saat Komari hendak mengambil kotak itu, Hina langsung memeluknya erat di dadanya.


"Karena Hina sudah lama banget nyari ini."


"Ki-kita nggak beli ya. A-ayo, Susumu, kita pergi."


"Hei, Komari."


Komari tampak seperti pergi meninggalkan tempat itu sambil menggandeng Susumu, tapi ternyata dia hanya bersembunyi di balik rak terdekat.


…Ketahuan banget. Bukan cuma hiasan di rambutmu yang kelihatan, mukamu juga kelihatan.


Saat aku mendekat, Komari buru-buru menggelengkan kepala.


"Nu-Nukumizu, nanti ketahuan kalau kita sembunyi."


"Udah ketahuan kok. Aku jagain Hina-chan, jadi kalian duluan aja."


Komari menatapku dengan tatapan curiga, lalu berbisik pelan,


"Ja-jangan dibeli."


…Iya, aku usahakan. Begitu Komari dan Susumu pergi, aku jongkok di samping Hina-chan.


"Itu, kamu pengen banget, ya?"


Hina-chan hanya mengangguk pelan tanpa berkata apa pun.


"Kayaknya di rumah juga ada yang mirip, deh. Gimana kalau kita tahan dulu, terus coba cari yang di rumah, ya?"


"Yang di rumah beda. Cuma ada dua tempat tidur."


…Oh, begitu? Jadi yang di rumah cuma dua tingkat, sedangkan ini tiga tingkat.


Hal-hal kecil yang mungkin tampak sepele buat orang lain bisa jadi masalah besar bagi yang mengalaminya.


Itu hal yang pernah diajarkan oleh kakak kelasku yang berkacamata. Soalnya dia selalu ngomel soal sepatu kanan dan kiri yang nggak cocok.


"Ya, sih. Memang keren juga. Hina-chan suka bagian mananya?"


Diam sebentar, lalu Hina-chan berbisik pelan,


"Karena aku bisa tidur bertiga sama Nee-chan dan Nii-chan."


Ah, jadi begitu. Buat Hina-chan, ini hal penting yang kalau ditolak bisa bikin sedih. Tapi kalau dibeli diam-diam, nanti Komari marah...


"Tapi ya, kalau tidurnya pisah-pisah, nanti malah jadi sepi, lho."


"Sepi?"


Hina-chan terlihat heran. Aku mengangguk.


"Iya. Susumu dan Chika-nee-chan juga pasti masih pengen tidur bareng Hina-chan. Jadi, boleh nggak, untuk sekarang, tetap tidur bareng mereka dulu?"


Hina-chan terdiam lama, lalu mengangguk pelan dan mengembalikan kotaknya ke rak.


"Pintar. Yuk, sekarang kita cari kakakmu."


Aku menggandeng tangan Hina-chan dan mulai berjalan ke arah Komari pergi.


Sambil merasakan tangan kecil dan hangat di genggamanku, aku jadi teringat saat aku masih kecil.


Rasanya frustasi karena perasaanku nggak tersampaikan. Tapi di sisi lain, aku sendiri juga belum paham sepenuhnya soal perasaan itu...


"Hina-chan juga udah dewasa, ya."


Saat aku bergumam, nyaris saja aku menabrak Komari yang sedang jongkok di balik rak.


"Ueh!? U-um…"


"Oh, Komari, kamu di sini."


Hina-chan melepaskan tanganku dan langsung memeluk Komari.


"Ketemu, Nee-chan!"


"A-a, iya. Yuk, kita lanjut belanja."


"Iya!"


Hina-chan langsung lengket sama Komari dan berjalan pergi, seolah-olah aku sudah dilupakan.


Sedikit merasa kesepian, aku mempercepat langkah dan berjalan di samping mereka.


"Kita ke sini buat beli piyama Hina-chan, kan?"


"Be-benar. Ke bagian pakaian anak-anak."


Kalau nggak salah, Hina-chan bakal ada acara menginap di taman kanak-kanaknya.


Saat aku sedang melamun mengingat masa kecilku, Komari bicara sendiri seperti menggumam.


"Hi-Hina kebanyakan pakai baju bekas dari aku dan Susumu, jadi aku pengin beliin yang baru."


Baju bekas, ya. Karena aku anak pertama, justru adikku Kaju sering ngotot pengen pakai bajuku sampai bikin orang tuaku bingung.


Sambil memikirkan betapa aku kurang bisa relate dengan cerita itu, Komari tampak menyadari sesuatu dan menoleh ke sekeliling.


"Nu, Nukumizu, Susumu ke mana?"


"Eh? Bukannya sama kamu tadi?"


"A-aku cari dia dulu."


Komari segera berbalik ke arah tempat mainan, dan saat itu juga Susumu muncul dari arah sebaliknya. Dia mendorong kantong plastik berwarna kuning ke arah Hina-chan.


"Hina, nih."


"Nii-chan, ini apa?"


"Kali ini aja, ya."


Dengan nada ketus, Susumu memalingkan wajah.


Hina-chan yang bingung membuka isi kantong itu, lalu ekspresinya langsung bersinar.


Di dalamnya, ada tempat tidur bertingkat tiga miniatur yang tadi diinginkannya.


"Nii-chan! Ini buat Hina?"


"Makanya, sembunyiin baik-baik biar nggak ketahuan Nee-chan."


"Iya!"


Jadi Susumu tadi pergi buat beli ini, ya. Saat aku sedang merasa terkesan, Komari kembali sambil terengah-engah.


"Su-Susumu… jangan jalan-jalan sesuka hati…"


Susumu pura-pura nggak melihat kakaknya yang sedang ngos-ngosan itu.


"Aku cuma belanja sedikit, kok."


Sepertinya Komari langsung menyadari segalanya saat melihat kantong yang dipeluk Hina-chan.


Sambil tersenyum kecut, dia mengusap kepala kedua bocah kecil itu.


"H-Hina, sudah bilang terima kasih belum?"


"Sudah—eh, belum! Nii-chan, terima kasih!"


"Bukan apa-apa, aku juga pengin. Ayo, lanjut belanja."


Kasih sayang antar kakak beradik yang manis—dan tsundere yang bagus.


"H-Hey, Susumu, jangan lari!"


"Nii-chan, tungguu~"


Komari dan Hina mengejar Susumu yang mulai lari karena malu.


Aku, sebagai pengamat, perlahan mulai mengikuti mereka dari belakang.


â—‡


Setelah belanja, kami duduk mengelilingi meja di food court.


Rasanya aneh makan spaghetti saus kental sambil duduk di kursi rendah di kids space.


Saat aku memperhatikan Komari yang sedang merawat Hina-chan, dia menatapku dengan pandangan curiga.


"A-Ada apa? Kenapa nggak makan Nukumizu?"


"Komari, biar aku yang gantian. Kamu belum makan sama sekali, kan?"


"N-Nggak apa-apa. Kamu jagain Susumu."


"Nee-chan, aku bisa makan sendiri kok."


Susumu cemberut lalu memasukkan kroket krim ke mulutnya. Yang kami makan adalah pasta saus kental dari toko terkenal di Toyohashi, Chao.


Senang juga bisa makan di food court, tapi porsinya benar-benar besar.


Komari dan Susumu berbagi seporsi, dan Hina makan menu anak-anak. Aku sendirian makan satu porsi penuh, agak berat juga... Kalau saja Yanami lewat, bisa kubagi.


Saat aku terus menyuapkan pasta ke mulut, tiba-tiba Hina-chan mencoba mengeluarkan isi kantong plastiknya.


"Ini, piyamanya ada gambar bintang kayak punya nee-chan."


"H-Hey, makan dulu. Tuh, ada saus di mulutmu."


Melihat Komari mengelap mulut Hina-chan, aku melilit pasta yang agak gosong di tepi wajan ke garpu.


Ini benar-benar terasa seperti acara keluarga di akhir pekan. Kenapa aku ikut dalam ini ya...?


Sampai akhir, aku tetap merasa aneh saat memasukkan suapan terakhir ke mulut.


â—‡


Belanja selesai, makan siang juga sudah.


Setelah semua urusan selesai, kami—berada di game center sebelah.


Sambil melihat bocah-bocah kecil berlarian di antara mesin crane game, aku mengusap perut yang terlalu kenyang.


"Bocah-bocah ini enerjik banget ya."


"H-Hari ini ada kamu, jadi mereka agak tenang."


Serius? Komari, kamu hebat juga. Melihat anak-anak kecil bersenang-senang, Komari tersenyum lembut.


"Ta-Tapi... senang lihat mereka bersenang-senang."


"Setidaknya mereka terlihat menikmati ya."


Komari mengangguk kecil.


"Ayah ada kerjaan mendadak, jadi janji jalan-jalan dibatalkan. Hina sampai nangis tahu."


"Pantasan. Jadi hari ini aku menggantikan posisi Ayah, ya?"


"U-uh?!"


Karena ucapanku yang ceroboh, aku bersiap dimarahi, tapi Komari hanya memerah wajahnya dan diam sambil gemetaran.


"E-eh, maksudku bukan yang aneh-aneh ya?"


"...b-bodoh."


Komari memalingkan wajahnya. Aah... aku mengacaukannya. Saat aku menyesal, bocah-bocah itu datang berlari ke arah kami.


"Nee-chan, ayo main itu! Pas banget ada empat orang!"


"Ugh... se-sekali aja ya."


"Itu apa?"


"Sini, sini!"


"Nukumizu, sini juga~!"


Aku ditarik oleh anak-anak ke arah mesin air hockey.


"Kita main berempat di sini?"


"A-Apa kamu takut, hah?"


Komari menatapku penuh tantangan sambil menyeringai. Oh, jadi ini tantangan, ya? Aku mulai pemanasan, dan Susumu berdiri di sampingku.


Berarti Komari berpasangan dengan Hina-chan.


"Nggak perlu ngasih handicap?"


"K-Kamu yang perlu dikasih handicap, Nukumizu."


Dengan tenang Komari membalas sambil memasukkan koin.


"...Nee-chan itu kuat, loh."


Susumu berkata dengan wajah serius. Kalau tidak salah, Komari juga pernah bilang begitu… Tapi kuatnya mungkin cuma dibandingkan adik-adiknya, kan?


Dari sisi, puck merah meluncur keluar.


Permainan dimulai. Puck perlahan mendekat ke arah Komari, lalu—


Skank! Dengan suara nyaring, puck menghilang ke dalam gawang di depanku.


"!? Eh, aku nggak lihat barusan!"


"Tuh, udah dibilang, kan! Nih, datang lagi!"


Eh, bukannya sekarang giliranku?


Saat aku bingung, banyak puck kecil mulai keluar ke arena.


Sejak kapan air hockey punya fitur beginian?! Saat aku masih panik, puck-puck itu masuk ke gawangku satu demi satu.


"Nukumizu, jagain dong!"


"Ya, aku juga nggak bisa lihat apa-apa!"


Dan hasil akhir permainan adalah—870 melawan 120. Bisa dibilang pembantaian sepihak.


Saat Komari dan Hina bersorak sambil tos, Susumu menepuk bahuku.


"Jangan pikirin, Nukumizu-nii-chan."


Disemangati oleh anak kelas 4 SD. Susumu, kamu baik banget.



 Dan ekspresi bangga di wajah Komari terasa seperti mengorek luka di hatiku.


"...Komari, di mana mesin penukaran uang?"


Saat aku mengeluarkan uang seribu yen, Komari mendengus sambil tertawa kecil.


"U-untuk jumlah segitu cukup, ya?"


"Tenang saja, Shibusawa Eiichi juga masih ada sebagai cadangan."


Aku tidak akan menuliskan hasil pertandingannya di sini.


Tapi kalau harus menyebut satu hal—uang bergambar Shibusawa-san di dompetku berubah jadi beberapa lembar uang dengan wajah Kitasato-sensei.


â—‡


Ada teori bahwa anak umur 5 tahun punya energi tak terbatas. Terlepas dari benar atau tidaknya teori itu, setidaknya mereka punya ‘saklar’.


Begitu saklar itu mati, anak umur 4 tahun langsung terlelap dalam tidur yang dalam—


Di dalam bus kota yang mengarah ke kawasan grosir, kami berempat duduk di kursi panjang belakang.


Hina tertidur lelap di pangkuanku, sementara Susumu duduk di sisi berlawanan, dengan Komari di antara kami, memejamkan mata dan menikmati guncangan bus.


"B-berat, nggak?"


"Enggak. Aku biasa memangku Kaju sih, jadi Hina terasa seringan bulu."


"Ka-kalau begitu, kembalikan Hina."


Kenapa, sih. Saat aku menepuk-nepuk punggung Hina perlahan, Komari berbisik pelan.


"Te-terima kasih untuk hari ini."


"Air hockey tadi juga aku yang pengin main, kok."


"Ka-kamu sudah nemenin seharian, itu udah cukup."


Oh, itu maksudnya. Aku nggak merasa sudah melakukan hal yang layak diberi ucapan terima kasih, tapi aku terima saja.


Suasana di dalam bus terasa sunyi dan nyaman, guncangannya perlahan membuatku mengantuk.


Komari membetulkan poni Susumu dengan ujung jarinya.


"Su-Susumu itu terlalu memanjakan Hina, sampai-sampai bikin repot."


Meski kata-katanya begitu, senyum lembut menghiasi wajahnya. Sambil merasakan berat tubuh Hina di pangkuanku, aku membuka mulut.


"Susumu kan bilang dia mau nabung buat beli game. Nggak apa-apa, ya? Mainan buat Hina tadi pasti mahal, kan."


"Se-semua orang terlalu lembek sama Hina…"


Komari menoleh padaku sambil tersenyum seolah bilang, ‘nggak usah khawatir’.


"Pa-paling nggak aku harus manjain Susumu sebagai gantinya."


Di sekolah, Komari adalah maskot lucu, tapi di sini dia benar-benar seorang kakak.


Sambil memandangi papan reklame bergambar kepiting yang terlihat di luar jendela, aku berbicara pelan.


"...Ngomong-ngomong, bukannya hari ini kamu mau bicara sesuatu ke aku?"


Sore kemarin. Komari memang bilang begitu—dengan tatapan yang sedikit serius.


Waktu itu aku cuma mikir jangan-jangan aku bakal dimarahi, tapi aku juga nggak bisa pura-pura lupa.


Komari melirik wajah Susumu yang tertidur, lalu membuka mulut.


"A-a-aku tadinya mau bilang, tapi sekarang udah nggak apa-apa."


"Soal pemilihan OSIS, kan?"


Saat aku yang mulai duluan, Komari pelan-pelan menggeleng.


"A-a-aku nggak percaya sama kamu, tapi... aku percaya."


Dengan ekspresi lembut, Komari membelai kepala Susumu sambil berbisik.


"Ka-kamu bilang bakal tetap di sampingku, kan..."


── Grukk. Bus berguncang, dan keheningan kembali menyelimuti kami.


Pengumuman terdengar dari speaker bus, tapi sepertinya nggak ada penumpang yang turun, jadi bus lewat saja tanpa berhenti.


"Jadi aku se-nggak dipercaya itu, ya?"


Ucapku setengah bercanda, dan Komari kembali menunjukkan wajahnya yang biasanya menyebalkan.


"Ka-kamu kan gampang banget ditipu."


Satu penumpang turun di halte berikutnya, menyisakan hanya kami berempat dan sopir di dalam bus. Bus kembali bergerak, dan tujuan kami sudah tinggal satu halte lagi.


Tiba-tiba, Komari membuka mulut.


"Ka-kamu... ke rumah Basori juga, ya?"


Dari mana dia tahu—ah, waktu itu Basori-san sempat ngomong di kelas, ya.


"Itu cuma buat ngambil barang Chikapyon, kok. Lagipula... adiknya juga ada di sana."


Aku nggak bohong. Meski barangnya sendiri belum aku terima.


"Te-terus... Basori bakal datang ke rumahmu juga, ya?"


"Eh? Dia belum pernah datang ke rumahku, deh—"


...Nggak, pernah. Tepatnya, dia datang buat ketemu Kaju.


Sambil mengalihkan pandangan dari tatapan sinis Komari, aku mencari-cari alasan.


"Tapi yang masuk ke dalam bak mandi cuma kamu, tahu? Yakishio cuma pakai shower."


"...Ma-mati saja."


Dasar mulutnya seenaknya, padahal adik-adiknya lagi tidur. Tiba-tiba, Hina menggeliat dan membuka matanya.


"...Nukumizu? Mana Nee-chan?"


"A-a-aku di sini, kok."


"Aku maunya Nee-chan..."


Dengan mata masih mengantuk, Hina mengulurkan tangan ke arah Komari.


Saat bus berhenti karena lampu merah, Komari mengambil Hina dariku dan menggendongnya dengan agak berat.


"Kamu nggak apa-apa?"


"Ti-tidak masalah. Susumu, kita mau turun. Bangun, ya."


Susumu mengusap matanya dengan malas.


"...Aku tadi sempat bangun, kok."


Begitu bus berhenti, Susumu langsung berdiri lebih dulu.


Entah kenapa dia tampak agak ketus, tapi kurasa selama hari ini kami berdua sudah cukup akrab. Meskipun beda umur, sebagai sesama cowok mungkin ada rasa saling memahami.


Saat kami turun dari bus dan mulai berjalan bersama—


Plakk! Tiba-tiba Susumu menampar pinggangku.


"Eh, kenapa tuh?"


"Nukumizu, dasar bodoh!"


"?!"


Susumu menamparku sekali lagi, lalu lari menjauh.


"H-hey, Susumu!"


Saat Komari menegurnya, Susumu menoleh dan menjulurkan lidah ke arahku.


"Nukumizu, dasar bodoh! Dasar bego enggak peka!"


Lalu ia berlari pulang ke rumahnya.


Eh... Sebenarnya apa yang terjadi di dalam pikirannya?


Sambil aku masih bengong, Komari menatapku dengan ekspresi canggung.


"Ma-maaf ya. Nanti aku tegur dia waktu sampai rumah."


"Enggak usah ditegur juga enggak apa-apa sih. Tapi barusan itu... kenapa, ya?"


Saat aku menoleh sambil bingung, Komari memberiku tatapan seolah ingin bilang sesuatu.


"Ta-tapi Nukumizu juga salah, tahu."


Oh, aku juga salah, ya... Begitu, ya...


"Eh, kenapa? Aku ngelakuin apa, sih?"


"Pi-pikir aja sendiri!"


Setelah mengatakan itu, Komari berbalik dan membelakangiku.


â—‡


Senin sore, di awal minggu.


Aku sedang mengadakan rapat rutin bersama Tiara di meja batu tengah taman sekolah.


Akhir pekan kemarin—pergi bersama keluarga Komari (bukan ‘pelayanan keluarga’ ya)—berjalan sangat damai. Tapi tetap saja, aku tidak bisa mengerti reaksi Susumu saat perjalanan pulang.


Kata "bego enggak peka" yang dia ucapkan merujuk pada orang yang tidak peka terhadap perasaan orang lain, tapi... apa keluarga Komari memang punya kebiasaan berkata kasar saat berpisah?


Saat aku tenggelam dalam pikiran, Tiara berdeham pelan.


"Nukumizu-san, boleh aku lanjutkan?"


"Ah, maaf. Tadi sampai mana ya?"


"Soal jadwal ke depan. Seminggu lagi kita akan mengumumkan visi-misi dan mulai menempel poster kampanye. Minggu berikutnya—"


"Hari pemungutan suara, ya."


Tiara mengangguk kecil.


"Benar. Akan ada pidato dari calon dan orasi dari pihak yang merekomendasikan. Hasil pemungutan suara akan sangat dipengaruhi oleh pidato itu. Karena itu, kita perlu menyelaraskan isi pidato masing-masing."


"Aku ini cuma bantu, bukan orang yang ngerekomendasiin, tahu."


"Aku tahu kok."


Tiara mengangguk serius.


"Kata Shikiya-senpai, Nukumizu-san itu gampang dibujuk kalau pakai pendekatan emosional. Jadi aku ingin mencoba itu."


Oh, jadi aku sudah dibujuk secara emosional, ya...


"Yah, aku enggak gampang terbawa suasana juga, tahu? Tapi ya, kita harus nyiapin visi-misinya dulu, kan."


"Soal itu, aku sudah membuat draft-nya."


Tiara menyerahkan beberapa lembar kertas padaku.


Di kertas itu tertera berbagai permintaan dari para siswa yang dikumpulkan lewat wawancara, lengkap dengan kutipan peraturan sekolah dan peraturan daerah yang relevan.


...Berat juga, ya.


"OSIS sampai segininya, ya?"


"Tentu saja kami tidak punya wewenang atau anggaran sebesar itu. Tapi kami bisa menyampaikan permintaan pada para guru. Yang penting adalah menyuarakan opini siswa."


Tiara membalik-balik naskah yang kupegang tanpa izin.


"Katanya tulisanku terlalu kaku dan sulit dipahami. Seandainya aku punya seseorang di dekatku yang ahli dalam menulis, pasti akan sangat membantu."


Begitu, ya. Ngomong-ngomong, orang di sebelahmu ini anggota klub sastra.


"Umm... bagaimana dengan kakak-kakak OSIS sebelumnya?"


Saat aku bertanya untuk mengalihkan suasana, ekspresi Tiara jadi kaku.


"Aku tidak berniat meminta bantuan mereka. Ini adalah perjuanganku sendiri."


Mungkin dia sadar nada bicaranya terlalu keras, karena ia langsung berdeham lalu memperbaiki ucapannya.


"...Soalnya Sakurai-kun juga mencalonkan diri. Aku tidak ingin membuatnya merasa tidak enak."


Baik bagi ketua OSIS maupun Shikiya-san, Tiara dan Sakurai adalah adik kelas yang menggemaskan. Memihak salah satu atau menolak permintaan keduanya pasti membuat mereka merasa tidak enak.


"Memang benar kalau dia lebih disukai banyak orang. Justru karena itu, untuk membicarakan masa depan sekolah, kita harus bertanya pada semua orang—"


"Tunggu sebentar."


Saat aku menyela, Tiara langsung menegakkan punggungnya dengan tegas.


"Ya, silakan, Nukumizu-san."


"Ehmm… tempat ini bisa kelihatan dari kelas lain atau ruang guru. Gimana kalau kita pindah ke dalam ruangan saja?"


Mendengar usulku, Tiara tampak terpaku sesaat dan berkedip beberapa kali.


"Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, tempat ini cukup jauh dari lorong penghubung maupun gedung sekolah, jadi tak perlu khawatir pembicaraan kita terdengar. Kupikir ini tempat yang ideal untuk membicarakan strategi pemilu."


Ngomong-ngomong, waktu aku dikasih syal dulu juga dipanggil ke tengah kolam ini, ya.


Aku paham maksud Tiara, tapi tetap saja rasanya tak nyaman karena tatapan para siswa yang lalu-lalang.


"Kalau begitu, mari kita lanjutkan. Pertama, kita kumpulkan pendukung lewat pernyataan visi dan misi, lalu unggah opini ke papan pengumuman—"


"Tunggu sebentar, aku dapat pesan masuk."


Aku langsung mengeluarkan ponsel seolah menunggu alasan untuk kabur, tapi lalu terdiam sesaat.


Di layar, terpampang pesan dari Komari.


──Cepat ke lorong kelas dua sekarang juga.


â—‡


Sekelompok siswa berkerumun di sekitar papan pengumuman di lorong.Biasanya setelah pulang sekolah, lorong-lorong sepi, jadi ini agak aneh.


Saat aku berdiri ragu-ragu, Tiara langsung menerobos kerumunan dengan semangat tinggi.


"Permisi, boleh aku lewat?"


Aku mengikuti jalur yang dibukanya sambil terkesima dengan kelancangannya.


Eh, jadi, apa yang ditempel di papan pengumuman itu?


"Nukumizu!"


"Ugh!?"


Duk! Sesuatu menghantam ulu hatiku dari arah buta. Menahan rasa sakit, aku menunduk dan melihat Komari berdiri di sana.


"A-ada apa ini…"


"S-sadar-sadar aku sudah terkepung dan nggak bisa keluar…"


Komari gemetar sambil mencengkeram dasiku. Saat kami saling tarik-menarik dengan dasi, Tiara sekarang yang menarik bajuku.


"Nukumizu-san, lihat itu!"


Tiara menunjuk ke papan pengumuman. Di sana tertempel selembar kertas sebesar halaman koran.


"Edisi khusus Pemilu OSIS, surat kabar Tsuwabuki…?"


Meski dia bilang untuk melihatnya, kelihatannya cuma artikel pemilu OSIS biasa…


Tapi saat aku membaca judulnya, mataku terbelalak.


[Pemilu OSIS Ternyata Pertempuran Cinta?!]


…Apa-apaan ini. Serius, ini apaan.


Hmm, katanya pemilu kali ini bermula dari perselisihan cinta seputar gadis cantik dari kelas dua, dan salah satu pihak terkait adalah cowok yang punya reputasi buruk karena mempermainkan banyak cewek…?


Hah, ini pasti tentang Sakurai. Dia memang populer sih. Lalu, calon ketua OSIS yang menarik perhatian cowok demi jabatan wakil ketua itu maksudnya siapa…


Gemetar. Tiara memerah sampai ke leher sambil menggigil.


"…Ini s-salah paham! Aku sama sekali nggak berniat memanfaatkan jabatan begituan, tahu?!"


"Tenang, aku tahu kok. Iya, aku paham."


"Padahal jelas-jelas kamu nggak ngerti, kan?! Lagipula ini semua salahmu juga, Nukumizu-san! Kamu selalu bikin pernyataan ambigu dan mempermainkan perasaanku—!"


Eh, kenapa tiba-tiba aku diserang? Komari juga masih pegang dasiku dan sekarang ikut mengangguk-angguk setuju.


"O-oke, aku ngerti! Tapi tolong kecilkan suara, ini tempat umum."


Ugh… tatapan orang-orang sekitar menusuk banget… Sambil berusaha menenangkan Tiara, aku lanjut membaca koran sekolah itu.


Jadi, si cowok brengsek itu katanya merebut  si gadis cantik dari kelas dua, dari mantan kapten klub basket dan lalu mencampakkannya.


Bahkan saat menjalin hubungan dengan salah satu anggota OSIS perempuan, dia juga mengincar siswi baru lainnya.


Sakurai… ditulis dengan parah banget ya…


Aku lanjut membaca sambil merasa iba, tapi artikelnya malah berhenti di tengah jalan. Dan di bawahnya, tertulis huruf merah besar:


Lanjutannya di WEB! Pembelian bisa lewat situs klub koran!


Aku menatap huruf merah tebal itu sambil mengulang satu kalimat yang sudah berkali-kali keluar dari mulutku hari ini:


"…Apa-apaan ini."


 

Interlude

Meski Tak Terlihat, Aku Ini Sebenarnya Populer


Sore hari, di kafe UNO-UNO di depan Stasiun Toyohashi.


Yunami Anna dan Himemiya Karen duduk berdampingan di bangku counter, memandangi pemandangan depan stasiun dari balik kaca.


"Anna, persiapan untuk pemilihan ketua OSIS-nya sudah selesai?"


Sambil memegang cangkir stroberi susu, Karen memiringkan kepala. Rambutnya melambai ringan, dan butiran cahaya berkilau tersebar di sekitarnya.


"Naskah pernyataan visi-misinya udah jadi, jadi tinggal sesi pemotretan buat poster aja. Sakurai-kun mulai sibuk sama persiapan festival olahraga, jadi kayaknya dia bakal absen dulu dari urusan pemilu."


Mata Anna berbinar saat pelayan mengantarkan soda float ke hadapannya.


"Ngomong-ngomong, festival olahraga itu tugas terakhir OSIS, ya? Kedengarannya berat juga."


"Anak SMA ternyata sibuk juga, ya. Eh, ini enak banget."


Sambil menyuap es krim, Anna terlihat santai. Karen pun membuka mulut dengan hati-hati.


"Um… Anna itu sebenarnya hubungannya kayak gimana sih sama Sakurai-kun?"


"Hubungan apa? Kita satu kelas, kan. Kamu juga, Karen-chan."


Anna menjawab seolah itu hal yang sudah jelas. Karen tampak sedikit kecewa.


"Kalau cuma teman sekelas, kenapa kamu jadi pendukung resminya dia?"


"Soalnya si Nukumizu diajak sama Basori-san, kan?"


"Terus, kenapa kamu juga──"


Karen tampak berpikir keras, lalu mendadak kilauan muncul di sekitarnya.


"Itu maksudmu begitu, ya, Anna!"


Anna mengangguk pelan.


"Yap. Siapapun yang menang, aku tetap bisa punya utang budi dari pihak OSIS. Jadi wakil ketua OSIS diam-diam juga keren, dan itu bisa jadi nilai plus buat dapet rekomendasi kuliah."


Slurp... Anna menyeruput soda yang tercampur es krim langsung dari gelasnya.


"…Jadi gitu ya. Tapi kalau masuk OSIS, bakal repot juga loh."


"Nanti juga bisa minta bantuan Nukumizu-kun. Dia nggak bakal nolak permintaan dariku."


Apa segampang itu ya? Pertanyaan itu terlintas, tapi percuma saja mengkhawatirkan temannya ini.


Karen menghela napas, lalu menjulurkan lidah sambil tertawa kecil.


"Kalau begitu syukurlah. Soalnya aku sempat mikir, ini semacam... nyindir Nukumizu-kun gitu──"


Baru mau selesai bicara, Karen buru-buru menutup mulutnya.


"Karen-chan, maksudmu soal artikel koran sekolah itu?"


"Eh, itu──menurutku sih mending jangan terlalu dipikirin, ya? Semua orang juga tahu itu ngawur banget kok."


Anna tertawa nakal seolah berkata "nggak usah terlalu serius."


"Yah, mau gimana lagi. Lagipula dulu pas awal masuk, aku juga sempat lumayan populer kok?"


"Eh?"


Anna tersenyum bangga sambil mengangkat ponselnya.

Di layar tampak edisi berbayar koran sekolah Tsuwabuki.


"Anna, kamu beli itu?!"


"Yah, aku kan termasuk pihak yang disebut juga? Jadi kupikir mending dibaca dulu aja."


Anna tersenyum lebar sambil menatap layar.


"Benar-benar tulisan semaunya, ya. Dibilang aku pacaran sama Nukumizu-kun terus diputusin? Mana ada. Yang ada aku yang mutusin dia."


"Eh…"


Karen sampai tak sengaja bersuara, lalu menutup mulutnya.


"Tapi frasa 'perang cinta perebutan, si cewek populer' itu lumayan keren sih. Nukumizu-kun disebut musuh wanita juga, yah… nggak sepenuhnya salah sih."


Anna mulai bersenandung dengan riang.


Melihat itu, Karen dengan ragu mengangkat tangan.


"Umm, Anna, boleh tanya sesuatu?"


"Silakan, Karen-chan."


"Sekarang Anna sama Nukumizu-kun itu… nggak pacaran, kan?"


"Dari dulu juga nggak pernah, kok?"


Karen mengangguk dengan wajah serius.


"Kalau gitu... gimana kalau ini malah bikin Basori-san jadi dekat banget sama Nukumizu-kun?"


"Mana mungkin sih si wakil ketua OSIS yang super kaku itu ngelakuin hal seperti itu. Dia kan tiap ketemu Nukumizu-kun selalu ribut. Kayaknya malah nggak cocok deh."


"Terus kenapa dia ngajak Nukumizu-kun jadi pendukung resminya?"


"Katanya dia nggak kenal cowok lain. Soalnya anaknya serius, dan dia juga bilang kurang nyaman sama cowok."


"Begitu ya… Jadi kamu nggak masalah kalau Nukumizu-kun main ke rumah Basori-san?"


Ponsel di tangan Anna sedikit bergetar.


"Soalnya ini kan Nukumizu-kun. Aku main ke rumahnya juga udah biasa kok..."


Tiba-tiba Anna terdiam.


Tatapannya terpaku pada layar ponsel, tak bergerak. Karen pun memandanginya dengan cemas.


"Anna, kenapa?"


"…………"


Tak ada jawaban. Ponsel terlepas dari tangan Anna dan jatuh ke lantai.


Karen memungut ponsel itu dan tak sengaja membaca artikel yang sedang dibuka.


Sejak masuk sekolah, A-san selalu jadi idola para siswa laki-laki. Tapi masa kejayaannya hanya bertahan satu bulan.


Seorang murid pindahan bernama K merebut semua popularitas dan perhatian dari laki-laki.


Akankah A-san yang kehilangan segalanya bisa kembali bersinar lewat pemilihan OSIS ini──


Setelah membaca sampai akhir, Karen buru-buru menyembunyikan ponsel di balik punggungnya.


"Anna! Jangan dibaca hal-hal aneh kayak gini! Ini fitnah, tahu!"


"Aku nggak kepikiran kok… Iya… sama sekali nggak mikirin…"


Aura cerah dari Anna tiba-tiba menghilang drastis.


Ini nggak bagus. Karen langsung membuka menu dan menunjukkannya pada Anna.


"Nih, biar kamu semangat lagi, aku traktir sesuatu! Mau apa?"


"Eh, beneran? Apa aja boleh?"


Wajah Anna langsung cerah kembali.


"Tentu aja! Jangan sungkan! Di sini kue-kuenya enak, lho."


"Hmm, kalau apa aja boleh jadi bingung… Carbonara enak sih, tapi saus krim porcini juga nggak kalah menarik…"


"Anna, kamu pilih pasta ternyata."


"Hm? Karen-chan ngomong apa?"


Karen hanya menggeleng tanpa suara. Ya, di hadapan senyum Anna, menyela pun terasa sia-sia.


Sambil menatap wajah sahabatnya yang menikmati menu dengan bahagia, Karen dalam hati sungguh-sungguh berharap agar temannya itu selalu bahagia.


Previous Chapter | Next Chapter


Post a Comment

Post a Comment

close