NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V2 Epilog & Bonus SS

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Epilog


Setelah kembali ke ibu kota kekaisaran, aku disambut oleh banyak orang dan akhirnya bisa kembali ke kamarku sendiri. Karena Sebas selalu waspada terhadap sekeliling, aku bisa bernapas lega di tempat ini. Dan seperti biasa, Fine sudah berada di kamarku seakan itu hal yang lumrah. 

Dia menuangkan teh sambil tersenyum padaku, sementara aku menjatuhkan tubuh ke sofa dan menghembuskan napas panjang. Hari-hari seperti ini, yang terlihat sepele, justru memberiku rasa tenang yang tak tergantikan. 

“Aku sudah pulang...” 

“Hehe, selamat datang kembali.” 

Sambil mengucapkannya dengan lembut, Fine menyodorkan secangkir teh kepadaku dan berdiri di dekatku dengan wajah ceria. Aku tak tahu kenapa dia begitu senang, jadi aku bertanya sambil meminum tehnya. 

“Kamu kelihatan senang, ya?” 

“Saya terlihat senang? Hmm, mungkin memang begitu.” 

“Ada sesuatu yang terjadi?” 

“Karena Anda telah kembali, Tuan Al.” 

“Hm? Ya tentu aku kembali. Ini kamarku sendiri.” 

“Ya. Ini tempat di mana Tuan Al kembali. Tuan Al, saya tidak bisa melindungi Anda seperti Nona Elna. Saya juga tidak sepintar Nona Lynfia. Mungkin saya juga tidak akan bisa banyak membantu ke depannya.” 

“Fine...?”

Aku menatap Fine, berpikir bahwa dia masih mengkhawatirkan hal itu. Tapi wajahnya tidak menunjukkan kesedihan, melainkan senyuman cerah. Aku jadi bingung dibuatnya. 

“Itulah sebabnya saya akan melakukan hal yang bisa saya lakukan. Tempat ini adalah tempat di mana Anda bisa menjadi diri Anda sendiri. Bukan sebagai pangeran tak berguna, bukan sebagai petualang terkuat Kekaisaran, tetapi sebagai Tuan Al yang biasa. Karena itu saya akan tetap di sini. Saya akan selalu berada di sisi Anda. Saya akan berusaha menciptakan tempat yang nyaman untuk Anda. Saya akan berkata ‘hati-hati di jalan’, dan juga ‘selamat datang kembali’. Saya akan berkata ‘semoga berhasil’, dan ‘terima kasih atas kerja kerasnya’.”

“...Lakukan itu, ya. Itu saja sudah cukup menyelamatkanku.” 

“Baik. Saya ini burung. Saya akan tinggal di sini, menjadikan Anda sebagai pohon tempat saya bersandar. Jadi, saya akan sangat senang jika Anda benar-benar pulang. Jika Anda tidak pulang, saya tidak bisa tinggal. Jadi, tolong pulanglah. Teruslah kembali ke tempat ini, ya?” 

“Aneh juga kamu bilang begitu. Tapi kalau itu maumu, aku akan berusaha. Kalau yang kamu butuhkan bukan pangeran buangan, bukan Silver, tapi hanya Arnold, maka aku tidak punya alasan untuk tidak kembali.” 

Mendengar jawabanku, Fine tersenyum lembut. Lalu, perlahan dia meletakkan tangannya di atas tanganku yang diletakkan sembarangan di atas sofa. 

“Apakah suatu saat nanti, akan tiba saatnya Anda bisa menjadi dirinya sendiri di luar kamar ini?” 

“Entahlah... Pertama-tama aku harus menang dalam perebutan takhta dan menyelesaikan semuanya. Dan kalaupun Leo menjadi kaisar, tetap lebih aman bagiku untuk tetap menjadi orang yang tak berguna. Dengan begitu aku tidak akan menarik perhatian para bangsawan atau menteri.” 

“Begitukah...”

Fine menundukkan pandangannya sambil berkata demikian. Wajahnya tampak sedih, jadi aku menggenggam tangannya. 

“Tidak apa-apa. Kalau memang begitu, tak masalah. Lebih baik begitu daripada menjadi sasaran pembunuhan. Lagi pula, aku punya kamu. Kalau kamu tetap bersamaku dan menyimpan rahasiaku, aku tak butuh yang lain.” 

“Meski begitu... Saya tetap berharap suatu hari nanti, seluruh kekaisaran mengakui keberadaan Anda.” 

“Itu hanya akan merepotkan. Kalau semua jasaku diakui, nanti aku malah dibebani pekerjaan. Aku sudah menghabiskan seluruh energi dan kerja keras hidupku di perebutan takhta ini. Setelah semua ini selesai, aku hanya ingin hidup santai. Mungkin akan kuceritakan pada orang-orang terdekatku, tapi... Cukup sampai di situ. Aku sudah puas dengan itu.”

Aku tidak menginginkan apa-apa lagi. Aku hanya ingin kehidupan sehari-hari yang damai seperti sebelum semua perebutan takhta ini dimulai. Dan demi hari-hari itu, aku terus berjuang sekarang. 

“Asalkan kamu, Leo, Elna, dan semua orang yang dekat denganku tetap ada di sisiku dan bisa tertawa bersama, itu sudah cukup. Aku hanya ingin duduk santai dan melihat semua itu dari kejauhan. Demi itulah aku bertarung sekarang. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mati, apa pun yang harus kuhadapi.” 

Sambil berkata begitu, aku menggenggam tangan Fine lebih erat. Mungkin aku sebenarnya takut. Aku tidak cukup kuat untuk menanggung kehilangan. Sejak bergabung dalam perebutan takhta, orang-orang yang harus kulindungi terus bertambah.


Saat aku hanya seorang petualang bernama Silver yang membasmi monster, hidup terasa lebih ringan. Cukup dengan menghempaskan monster dengan sihir kuno. Tapi sekarang semuanya berbeda. 

Masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan sihir menumpuk di hadapanku. Satu kesalahan saja, dan seseorang akan terluka atau bahkan jatuh. 

“Tuan Al. Saya percaya pada Anda. Saya yakin, Tuan Leo dan Nona Elna juga. Karena itu, mari kita hadapi semua ini bersama. Anda tidak sendirian.” 

Fine mengucapkannya sambil tersenyum padaku. Dan akhirnya aku sadar bahwa bahkan di tempat di mana seharusnya aku bisa bersantai, aku tetap menegangkan diri. 

Ketika saatnya istirahat, aku harus benar-benar beristirahat. Menyadari hal sekecil itu saja, aku masih belum cukup baik rupanya.

“Maaf...” 

Aku melepaskan tangan Fine yang tadi kugenggam erat. Lalu, sambil menyandarkan tubuh lebih dalam ke sofa, aku mengajukan sebuah permintaan padanya. 

“Boleh minta satu cangkir lagi?” 

“Tentu saja. Dengan senang hati.” 

“...Kali ini sangat berat secara mental. Sebenarnya, aku bertukar tempat dengan Leo.” 

“Tuan Leo dan Anda saling bertukar tempat? Bagaimana rasanya menjadi Tuan Leo?” 

“Tak ingin lagi mengulanginya.” 

“Hehe, itu sangat khas seperti Anda. Sepertinya Tuan Leo pun pasti berpikiran sama.” 

“Pasti. Dia itu terlalu serius orangnya.” 

Sambil berbicara ringan seperti itu, aku membagikan semua yang terjadi di Selatan kepada Fine. 

Dia adalah seseorang yang berbagi rahasia denganku. Hal-hal baik maupun buruk akan selalu kami bagi bersama. Karena dia adalah orang yang menopangku.


* * *


“Sungguh... Usaha yang sia-sia,” ujar Pangeran Ketiga, Gordon, dengan ekspresi kesal terpampang di wajahnya. Di sekelilingnya, para pengikut setianya berkumpul. 

“Padahal kita sudah mengeluarkan banyak uang dan barang berharga untuk mendapatkan informasi dari staf guild petualang, tapi pada akhirnya tidak ada armada yang dikirim. Padahal, jika usulan Yang Mulia diterima, kita pasti sudah memulai perang... Sungguh menjengkelkan.” 

Orang yang membuang keluhan itu adalah seorang perwira militer bertubuh gemuk. Mereka yang hadir di ruangan itu adalah para tokoh utama dari fraksi garis keras di tubuh militer, orang-orang yang menginginkan kenaikan pangkat melalui perang melawan negara lain. 

“Sejak Putra Mahkota wafat, Yang Mulia Kaisar menjadi lemah. Karena itu, kekuatan militer kekaisaran dianggap menurun di berbagai wilayah...” 

“Jika kita menunjukkan kelemahan, kita akan dimanfaatkan! Begitulah hubungan antara Tiga Kekuatan Besar di benua ini! Kekaisaran harus tetap kuat! Pangeran Gordon harus mewarisi takhta dan membawa Kekaisaran menjadi negara hegemonik! Kenapa mereka tidak bisa menyadari bahwa itu demi Kekaisaran!” 

“Benar sekali! Terutama fraksi Pangeran Leonard! Baru saja muncul dan langsung menghalangi Yang Mulia dalam festival perburuan kesatria dan sekarang juga! Mereka terus merebut semua momen penting! Yang Mulia Kaisar pasti akan memberi mereka penghargaan! Padahal yang benar-benar menyelesaikan masalah adalah keajaiban dari keluarga pahlawan dan si Silver itu!” 

“Kalau saja Yang Mulia Gordon memimpin armada, kita bisa menyelesaikan masalah dan merebut wilayah selatan juga... Hanya karena berada di sana, Pangeran Leonard mendapatkan semua pujian. Sungguh tidak bisa diterima!” 

Para pengikut Gordon menyuarakan ketidakpuasan mereka satu per satu. Gordon mendengarkan, lalu tertawa ringan dan berkata, “Tak masalah. Masih ada hasil yang kita peroleh.” 

“Hasil?” 

“Ya. Dalam dua insiden terakhir ini, Silver selalu berpihak pada Leonard. Tampaknya dia cukup menyukai anak itu. Bisa dibilang, perkembangan pesat mereka selama ini adalah karena bantuan Silver.” 

“Tak bisa dibiarkan! Petualang SS ikut campur dalam perebutan takhta!” 

“Hmph, tak perlu terlalu khawatir. Silver bukan orang bodoh. Dia tahu dirinya pengguna sihir kuno dan berada di atas keseimbangan yang rapuh. Karena itu, dia tidak akan secara terang-terangan mendukung Leonard. Dia hanya bisa bergerak ketika masalah muncul... Tapi saat itu terjadi, semuanya sudah terlambat. Perebutan takhta berubah begitu cepat. Serangan cepat mereka berhenti di sini. Pada akhirnya, jika perang pecah, akulah pemenangnya.”

“Tepat sekali! Itulah Tuan Gordon!” 

“Perbedaan dengan Pangeran Eric pun bisa ditutup dengan prestasi militer! Pangeran Leonard dan Putri Zandra bukan tandingan!” 

“Benar. Aku adalah seorang prajurit. Berbeda dengan tiga orang itu. Medan perang adalah tempatku. Selama aku bisa menciptakan tempat itu, Kekaisaran akan menjadi milikku.” 

Gordon tertawa dengan nada penuh percaya diri. Melawan Eric, yang didukung oleh para birokrat, dalam perebutan kekuasaan adalah kerugian bagi Gordon. 

Maka, tidak perlu bertarung di ranah yang dikuasai lawan. Dalam peperangan, yang penting adalah menyeret musuh ke medan yang dikuasai sendiri. 

“Bagaimana perkembangan senjata yang kita pesan pada organisasi itu?” 

“Terkait hal itu, progres berjalan lancar. Kami mohon sedikit lagi waktu hingga selesai.” 

“Tak usah tergesa-gesa. Kekaisaran memiliki banyak musuh. Perang pasti akan pecah suatu saat nanti. Dan saat itu tiba, ayah akan bergantung padaku. Di tengah situasi yang kacau, yang dibutuhkan adalah kaisar yang kuat. Segalanya berpihak padaku. Gunakan cara apa pun untuk memperkuat militer. Aku akan membuat tentara kekaisaran menjadi layak untuk dipimpinku. Menggunakan organisasi bayangan pun merupakan strategi yang sah.” 

Gordon tertawa sambil berkata demikian. Dalam ekspresi percaya dirinya, tak tampak sedikit pun rasa khawatir akan kekalahan. 

“Yang perlu diwaspadai adalah Pangeran Eric. Dan Putri Pertama.” 

“Hmph, sejak Putra Mahkota wafat, dia seolah kehilangan taring. Tak perlu ditakuti.” 

Dengan itu, Gordon menepis pandangan hati-hati yang baru saja disampaikan. Namun, anak buah yang menyampaikan pendapat itu tetap bersikeras. 

“Namun... Masih banyak orang di militer yang setia padanya. Dan sekalipun kita memulai perang, bisa saja semua prestasi akan diambil oleh sang putri...” 

“Kamu mau bilang aku kalah dari perempuan itu?” 

Gordon berdiri dengan marah dan meraih pedang yang tergeletak di dekatnya. Anak buah yang sadar telah menyulut amarah Gordon langsung mundur dengan suara gemetar. 

“M-Maafkan saya... Mohon ampun!” 

“Singkirkan dia. Aku tak butuh bawahan yang tak bisa menilai dengan benar.” 

“T-Tunggu! Aku hanya ingin mengatakan agar kita tetap waspada!” 

“Itu justru yang membuatmu tak berguna.” 

Dengan begitu, bawahan yang menyuarakan kehati-hatian itu diusir keluar. Melihatnya, Gordon kembali duduk dengan kasar di kursinya. 

“Perempuan yang bersembunyi di perbatasan timur bukanlah lawanku. Jika aku menjadi Kaisar, dia yang pertama akan kueksekusi. Kekaisaran tak butuh dua jenderal dalam satu darah kerajaan.” 

Gordon tersenyum sombong dan mulai mendiskusikan masa depan bersama para pengikutnya. 

Sementara itu, Eric, calon terkuat dengan kekuatan fraksi terbesar, namun paling sedikit bergerak, hanya menuang minuman ke dalam gelasnya dengan tenang. 

“Sepertinya Pangeran Gordon menyingkirkan satu lagi bawahannya.” 

“Begitu ya. Tak berubah.” 

Eric tersenyum tipis setelah mendengar laporan dari jaringan informasinya. 

“Kalau dia menyingkirkan semua yang tak sejalan dengannya, yang tersisa hanyalah para penjilat. Bodoh sekali, Gordon.” 

“Namun tampaknya ada sesuatu yang sedang dia rencanakan. Bagaimana Anda akan menanggapinya?” 

“Biarkan saja. Mereka akan saling menghancurkan di bawah. Lawanku hanyalah mereka yang berhasil bertahan hidup.” 

Eric menenggak habis minumannya dan meletakkan gelas itu di meja. Di meja itu, terdapat papan nama dengan tulisan: Gordon, Zandra, dan Leonard. 

“Yah, siapa pun yang menjadi lawanku nanti, hasilnya takkan berubah.” 

Dengan ekspresi tenang tanpa cela, Eric berbisik. Tidak ada kesombongan seperti milik Gordon, yang ada hanyalah penilaian yang dingin dan rasional. Baginya, yang memegang kekuatan terbesar di kekaisaran, perebutan takhta hanyalah sebuah tahap. Menjadi Kaisar sudah merupakan keniscayaan baginya. 

Dan demikianlah, intrik para calon pewaris takhta semakin bertaut, membuat perebutan kekuasaan dalam kekaisaran ini kian kacau dan tak menentu.

 

Bonus Cerita Pendek: Taktik Licik

“Kak, mau latihan pedang lagi nggak? Udah lama nih.”

“Ogah.” 

Di suatu siang yang damai.

Saat waktunya tidur siang, waktu yang paling sempurna untuk bermalas-malasan, Leo datang mengunjungi kamarku. 

Kalau cuma sampai situ sih nggak masalah. Tapi ngajakin latihan? Gila apa dia. 

“Eh, sesekali kan nggak apa-apa?”

“Nggak. Emangnya kamu pikir kita berdua bisa disebut latihan?”

“Ya iya, makanya aku ngajak.”

“Itu salah kaprah. Salah kaprah kayak gitu bisa bikin mati di medan perang.” 

Latihan bareng aku dan Leo? Itu ide paling konyol. 

Kalau aku sebagai Silver, mungkin bisa mengakalinya dengan sihir. Tapi sebagai pangeran payah yang nggak punya kemampuan apa-apa, aku ini sama sekali nggak bisa urusan fisik. 

Meski dibantu sihir sekalipun, kemampuan alami yang nol tetap aja nol.

Contohnya, ambil pukulan biasa saja, meskipun ditambah kekuatan lewat sihir, caraku memukul nggak akan berubah.

Kuat sih, tapi nggak ada tekniknya. Hasilnya ya pukulan tanpa seni. 

Itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Itulah sebabnya aku disebut sebagai pangeran sisa. 

Dan si bocah ini... 

“Aku ngerti kok batas kemampuanmu. Aku juga nggak ngajak latihan serius kok. Cuma mau sparing ringan aja.”

“Kenapa nggak cari orang lain?”

“Soalnya, kakak itu yang paling cocok buat sparing.” 

Ucapan yang sama sekali nggak masuk akal. 

Meski aku berpikir begitu, aku akhirnya hanya bisa menghela napas dan berdiri dari kursi.


* * *


Tempat latihan di dalam istana.

Kurasa terakhir kali aku ke sini adalah saat dihajar habis-habisan oleh Elna.

Sekarang tempat ini sedang tidak dipakai siapa pun, jadi hanya aku dan Leo yang ada di sini.

Kami berdiri saling berhadapan sambil memegang pedang kayu. 

“Kalau begitu, aku mulai ya...”

Dari suara malas tanpa ketegangan itu, tiba-tiba saja datang serangan yang sangat tajam.

Bagi Leo, mungkin itu adalah serangan yang sangat ditahan, tapi bagiku, hanya untuk menahannya saja sudah memaksa sampai batasku. 

Begitu aku berhasil menahan serangan itu, Leo langsung melanjutkan dengan pukulan berikutnya.

Aku berusaha bertahan sebaik mungkin.

Dan siklus itu terus berulang. 

Leo mencoba mencari celah dalam pertahananku, tapi dia tidak mengandalkan kecepatan atau kekuatan. Dia mencoba menembus hanya dengan teknik.

Sementara itu, aku membaca ke mana kira-kira Leo akan menyerang dan menyesuaikan sikapku untuk mengantisipasinya. 

Pasti Leo ingin melakukan serangan yang tidak bisa dibaca oleh kembarannya sendiri, yaitu aku.

Namun, untuk menang dariku dalam hal adu baca-membaca seperti ini, dia butuh seratus tahun lagi. 

“Ada apa? Mulai monoton, nih.”

“Hmm, pedas banget komentarnya. Kalau begitu, bagaimana dengan ini!” 

Leo mengarahkan tusukan lurus ke arah tubuhku, terlihat seperti serangan biasa saja.

Mudah untuk ditangkis. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan.

Karena itu, sambil menangkis dengan pedangku, aku sedikit menarik tubuh ke belakang. 

Benar saja, pedang Leo berputar masuk ke dalam seperti melilit pedangku dan nyaris menyentuh pakaianku.

Hanya selisih sedikit. Kalau aku tidak mundur, pasti kena. 

“Wah, nyaris saja.”

“Ah, gagal juga ya... Padahal udah hampir berhasil, lho.”

“Masih terlalu lembek. Aku menang.” 

Aku menyatakan kemenangan dengan penuh kepercayaan diri.

Tapi Leo malah tersenyum lebar kepadaku. 

“Gimana ya... Elna, sesuai janji, aku berhasil bawa kakak ke tempat latihan, lho.” 

Apa!?

Aku refleks langsung menoleh ke belakang.

Kalau Elna melihat aku latihan pedang di tempat ini, dia pasti bakal mikir aku semangat latihan pedang, dan dari sana latihan brutal bakal dimulai. 

Tidak bisa dibiarkan! Aku harus kabur secepat mungkin!

Mode pikiranku berganti dari ‘siap bertarung’ ke ‘kabur secepatnya’. 

Aku buru-buru mencari sosok Elna, tapi tidak ada tanda-tandanya.

Tidak ada!? Jangan-jangan perempuan itu sudah berada tepat di belakangku!? 

Saat aku panik dan menoleh kembali, Leo dengan ringan menyentuh dadaku dengan ujung pedang kayunya. 

“Eits. Aku menang!”

“...Haah?” 

Aku mengerutkan wajah karena kesal, tapi Leo tetap tersenyum riang. 

“Aku coba pakai trik yang mirip gaya kakak. Gimana menurutmu?”

“...Menyedihkan. Trik itu taktiknya pihak lemah, tahu.”

“Benar juga. Soalnya tadi aku dalam posisi kalah, jadi ya aku bertarung seperti pihak lemah.” 

“...Sebagai kandidat pewaris takhta, apa kamu oke-oke aja pakai cara kayak gitu? Mumpung belum terlambat, mending bertobat. Ngaku kalah karena pelanggaran, nanti aku maafkan, deh.”

“Ogah. Aku tetap menang. Lagi pula, kalau mau jadi kaisar, harus bisa ngelakuin hal kayak gini juga.” 

Begitu katanya, Leo meletakkan pedang kayu dengan wajah lega.

Sementara aku, yang masih belum puas, mengikuti di belakangnya sambil terus-terusan bilang bahwa dia kalah karena curang.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close