NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V1 Chapter 3

Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 3: Pertahanan Keer


Bagian 1

“Haaaaahhh...!!” 

“Heh, sungguh... Dia benar-benar bisa melakukan apa saja, ya...” 

Aku menegang saat melihat Elna bertarung tidak jauh di depan. 

Yang sedang dilawan Elna adalah monster berbentuk serigala merah kehitaman bernama Bloodhound. Jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor. Monster ini bergerombol saat beraksi dan jika jumlahnya lebih dari lima, maka termasuk dalam peringkat A. Bila sudah mencapai tiga puluh ekor atau lebih, maka masuk dalam kategori AAA, monster yang merepotkan untuk ditangani. 

Namun, Elna sama sekali tak gentar menghadapi jumlah sebanyak itu dan malah menghancurkan kawanan Bloodhound satu per satu. Bahkan petarung kelas atas pun pasti akan terkejut melihatnya. 

Dalam hitungan menit, Elna berhasil memusnahkan seluruh kawanan Bloodhound dan mencatat hasil pertarungan itu menggunakan alat sihir khusus berbentuk kristal. 

Laporan ini akan segera sampai ke markas pusat di Keer dan dilaporkan kepada rakyat. Dalam laporan sementara, kami berada jauh di posisi pertama. Elna telah mengalahkan satu monster kelas AAA dan Bloodhound yang jumlahnya setara. 

Karena sifat festival ini, cukup menumbangkan satu monster besar saja bisa membalikkan keadaan. Tapi tidak diragukan lagi bahwa kami berada dalam posisi unggul. 

“Al! Aku melihat monster di sana! Ayo kita kejar!”

“Aku sudah capek hari ini. Gimana kalau kita istirahat di kota terdekat dulu?”

“Apa-apaan itu? Bukankah kita harus menang?” 

“Aku nggak pernah bilang kita harus menang...” 

Elna dan para kesatria tak bisa bertindak sendiri. 

Anak-anak kaisar yang berangkat bersama pasukan kesatria telah diberi alat sihir berbentuk gelang. Kapten pasukan kesatria pun memakai alat yang sama. Bila mereka berpisah melebihi jarak tertentu, alat itu akan hancur. Mungkin batasnya sekitar satu kilometer. Karena itu, mustahil bagi para kesatria untuk bergerak sendiri. 

Sementara itu, kesatria Christa tidak terkena batasan itu. Tapi bila mereka menemukan monster, mereka harus mendapatkan izin dari Christa yang berada di Keer melalui sihir komunikasi jarak jauh. Jika diserang, mereka diperbolehkan membalas, tapi nyaris tidak ada monster yang cukup nekat menyerang kesatria yang bersenjata lengkap. 

Karena kendala komunikasi itu, hingga sekarang, kesatria Christa belum menunjukkan hasil. Kemungkinan besar, monsternya sudah kabur sebelum balasan izin tiba. 

Akhirnya, keputusan untuk maju bersama para kesatria memang benar. 

“Kamu mungkin masih kuat, tapi orang lain sudah kelelahan. Ini baru hari pertama, tak perlu memaksakan diri. Festival ini berlangsung tiga hari, santai saja.” 

“Kamu ini, ya...” 

“Eh? Bukannya sekarang aku ini tuanmu untuk sementara? Apa mau melawan perintahku?” 

“Tch... Baiklah. Aku akan patuh...” 

“Bagus. Kalau begitu, mari kita pindah ke kota terdekat.” 

Begitulah, kami pun menuju kota terdekat. 

Kota itu juga sedang dalam suasana festival, dan penginapan yang sudah dipesan oleh Kaisar menyambut kami dengan hangat. 

Seluruh wilayah timur memang ikut terlibat dalam festival ini. Biasanya, kesempatan untuk melihat langsung keluarga kerajaan atau kesatria terkenal sangat jarang. Tapi saat mereka datang ke kota, suasananya langsung jadi meriah. Dalam kasus kota ini, suasana meriah itu muncul karena kedatangan Elna. Yah, setidaknya mereka punya alasan yang layak untuk bergembira. 

“Benar-benar pesta besar, ya.” 

“Itu memang tujuan Yang Mulia Kaisar. Dengan menggelar festival seperti ini, beliau meredam keresahan rakyat di timur.” 

Elna masuk ke kamar yang dialokasikan untukku. 

Masuk tanpa mengetuk, sungguh tak sopan. Tapi memang aku sendiri yang tak menutup pintunya. 

“Minimal ketuklah dulu.” 

“Oh? Memangnya perlu?” 

“Kalau aku masuk ke kamarmu tanpa mengetuk, apa yang kamu lakukan?” 

“Aku akan menebasmu.” 

“Itu terlalu kejam...” 

Aku refleks membalas, dan karena itu, anggur yang sedang kupegang sedikit tumpah. Ah, sayang sekali.

“Kamu ini benar-benar tidak seperti bangsawan... Jangan pasang wajah seolah dunia kiamat hanya karena sedikit minuman tumpah.” 

“Padahal kamu seorang kesatria, tapi tak bisa menghargai pentingnya minuman? Benar-benar bukan kesatria sejati. Jelas-jelas kamu hanya gadis manja. Tak tahu apa-apa.” 

“Aku tak mau dinasehati oleh anak manja yang jarang keluar dari ibukota... Lagipula, kamu yakin boleh minum? Kalau nanti mabuk, jangan salahkan aku.” 

Elna duduk di kursi tepat di depanku, sambil menghela napas heran. 

Dia telah melepas baju zirahnya dan kini mengenakan pakaian santai. Dia mengenakan kemeja putih dan rok merah pendek yang membuatnya tampak jauh lebih santai dari biasanya. Kaki jenjangnya yang terbuka mencolok pun menarik perhatianku. Namun, aku menyadari sesuatu. 

Ya. Ada satu hal yang tampaknya tak berubah sejak beberapa tahun lalu. Sebagai pria sehat dan sedikit nakal, aku selalu memperhatikan penampilan wanita. Dan dari pengamatanku, dada Elna tak menunjukkan perkembangan sejak dulu. 

“Al? Matamu melihat ke mana itu?” 

“Ke dada.” 

“Setidaknya berpura-puralah! Astaga...!” 

Elna buru-buru menutupi dadanya yang mungil. 

Tapi aku tetap saja menatapnya tanpa rasa bersalah. Elna, yang usianya satu tahun lebih muda dariku, baru berusia tujuh belas. Tapi, untuk usia segitu, yah, hasilnya cukup mengecewakan. Mungkin kata “turut berduka” lebih tepat. 

Tanpa ragu, Fine jauh lebih unggul. Sebenarnya, dia hanya terlihat biasa karena pakaiannya longgar, tapi kenyataannya cukup besar. Mungkin karena Elna terlalu sibuk berlatih, jadi nutrisinya tak sampai ke bagian itu. 

“Hiduplah dengan kuat.” 

“Jangan ucapkan itu dengan nada bijak! Setelah memandangi lama-lama, kamu hanya bilang itu!?” 

“Aku cuma berpikir, rasanya tidak ada pertumbuhan, ya... Ternyata memang tidak tumbuh...” 

“Ada sedikit, tahu! Aku hanya tumbuh lebih lambat dari orang lain! Bukan berarti kecil!!” 

“...Begitu, ya.” 

Argumen yang lemah, tapi baiklah. Demi Elna, aku menerimanya. 

Saat aku berpikir begitu, bahunya mulai bergetar karena marah. Wah, ini berbahaya. 

“A-Aku pikir itu hal baik! Suatu hari nanti, pasti ada orang yang menyukai ukuran kecil begitu!” 

“Jangan bilang kecil! Aku hanya agak lambat berkembang! Dalam beberapa tahun lagi, pasti akan tumbuh besar!” 

“Itu mungkin sulit... Paling banter setara rata-rata.” 

“Al... Aku ingin olahraga ringan setelah makan...” 

“Baik-baik! Pasti akan tumbuh besar! Tenang dulu!” 

Aku buru-buru mengambil jarak jauh dari Elna yang mulai menghela napas seperti hendak bertarung lagi. 

Melihatku gemetar di sudut ruangan, Elna pun kembali duduk di kursinya, kehilangan semangat bertengkar. 

“Sungguh... Kamu memang tak pernah berubah, Al.” 

“Orang tak akan berubah hanya dalam beberapa tahun. Memangnya kamu berharap aku jadi orang macam apa?” 

“Seorang pangeran yang normal. Setidaknya, seseorang yang tidak jadi bahan olok-olokan...” 

“Itu bukan urusanmu, bukan? Dari dulu aku memang sering jadi bahan olok-olokan. Tak punya bakat, tak mau berusaha, kerjaannya cuma bermain. Disebut Pangeran Sisa yang semua potensinya sudah diambil oleh Leo. Aku sendiri merasa itu deskripsi yang pas.” 

“Aku sedih dan kesal mendengarnya...” 

“Yah, terima kasih.” 

Aku mengucapkannya ringan, dan langsung ditatap tajam olehnya. 

Saat aku mengangkat bahu, Elna menghela napas lagi. Gadis ini benar-benar punya beban pikiran yang banyak. Harusnya dia tak punya waktu untuk peduli padaku. 

“Kamu sadar nggak? Karena kamu tak pernah bicara dan tak melakukan apa pun, para bangsawan merasa bebas merendahkanmu. Bahkan di depan umum. Aku bisa mengerti kalau rakyat mengeluh, karena kamu tidak memenuhi tanggung jawabmu sebagai anggota keluarga kerajaan. Tapi bangsawan adalah bawahanmu. Mereka punya kewajiban untuk tetap menghormatimu, setidaknya secara formal.” 

“Bangsawan pun berhak mengkritik. Menyatakan bahwa orang bodoh itu bodoh adalah hal wajar. Itu malah hal yang sehat, menurutku.” 

“Lagi-lagi kamu bicara begitu! Yang mereka lontarkan bukan kritik! Mereka menghinamu! Ini bukan sekadar ejekan anak-anak waktu kecil!” 

Elna, untuk pertama kalinya, mengungkapkan amarahnya dengan sungguh-sungguh. 

Mungkinkah Geed membuat kesalahan di depannya? Atau menteri? Entahlah, tapi yang jelas, ada sesuatu yang memancing emosinya. 

Mungkin itu sebabnya dia tiba-tiba datang menemuiku. 

“Jadi, apa? Kamu ingin memenangkan festival ini supaya bisa menghapus reputasi burukku? Kamu ingin aku jadi apa, Elna?” 

“Selama Leo mengincar takhta, kamu juga harus serius. Aku percaya padamu. Kamu selalu tidak mengeluarkan kemampuanmu yang sebenarnya. Kamu selalu menghindar dari segalanya. Semakin buruk reputasimu, semakin baik Leo terlihat. Karena itu, kamu tak pernah serius terhadap apa pun.” 

Dia benar-benar memperhatikanku dengan baik. 

Memang, hanya sahabat masa kecil yang bisa bicara seperti ini. 

Namun, kalau dia sudah tahu, maka dia juga tahu jawabanku. 

“Aku akan tetap seperti ini. Dan setelah festival ini berakhir, berhentilah ikut campur dalam hidupku.” 

“Aku...”

“Aku nyaris dibunuh.” 

“...Eh?” 

Kalimatku yang mendadak membuat Elna membeku sejenak.

Ketika aku memandang keluar dari jendela, kulihat orang-orang di kota sedang ribut. 

Sambil mengamati pemandangan itu, aku menjelaskan dengan nada seolah-olah itu bukan urusanku. 

“Tadi malam, saat berjalan di dalam istana, aku diserang. Kalau bukan karena Sebas, entah apa yang akan terjadi. Kamu pasti tahu alasannya tanpa perlu kujelaskan, kan?” 

“...Karena... aku...?” 

“Festival kali ini sangat penting dalam perebutan takhta. Jabatan duta besar dipertaruhkan. Selama ada kamu, kemenangan sudah hampir pasti. Wajar jika kakak-kakakku tidak menyukainya dan menganggapmu sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Bahkan aku pun begitu.” 

“Tak mungkin...” 

“Kamu mungkin tidak tahu karena sibuk menjalankan tugas ke berbagai tempat, tapi akhir-akhir ini, kakak dan kakakku tidak kenal ampun. Mereka berniat merebut takhta dengan cara apa pun. Mereka tahu, kalau kalah, kematian pasti menanti. Tak ada yang akan menahan diri, tak ada yang berbelas kasih. Kalau Leo tidak menjadi kaisar, aku pun pasti akan dibunuh. Tapi kalau orang yang tak punya kemampuan tiba-tiba mencoba melangkah lebih tinggi, maka akan berakhir seperti ini. Karena itu, jangan ikut campur. Kekuatanmu terlalu besar.” 

Ucapanku itu menolak Elna mentah-mentah. 

Itu kulakukan demi dirinya juga. Terlalu berbahaya jika seorang jenius dari keluarga Armsberg seperti Elna terlalu memihak pada salah satu pihak. 

Ke depannya, sudah pasti kakak-kakakku akan mencoba menyingkirkan Elna. Bukan lewat kekuatan, tapi lewat permainan politik. 

Sudah ada anggota keluarga Armsberg yang disingkirkan dengan cara seperti itu di masa lalu. Karena itulah, keluarga Armsberg cenderung menjauhi dunia politik. 

Aku tidak bisa membiarkan Elna terseret dalam konflik perebutan takhta, yang merupakan medan pertempuran politik paling kejam. 

Tidak diragukan lagi, dia bisa menjadi sekutu yang sangat kuat. Tapi sekaligus, itu juga akan menciptakan musuh yang sama kuatnya. Baik secara emosional maupun strategis, yang terbaik adalah membuat Elna menjaga jarak. 

“...Maafkan aku.” 

“Tak perlu dipikirkan. Untuk festival ini saja, aku akan berusaha. Jadi tenanglah.” 

“...Ya.” 

Setelah mengatakan itu, Elna keluar dari kamar dengan raut wajah yang suram. 

Punggungnya tampak begitu sepi, tapi aku tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menghentikannya. 

Sejak saat itu, peringkat kami dalam kompetisi menurun drastis.

 

Bagian 2

“Ugh...! Kenapa bisa jadi begini!?”

Pagi hari di hari ketiga. Sementara Elna terlihat begitu menyesal, aku justru merasa semua ini memang pantas terjadi. 

Karena kata-kata Christa yang terus mengganjal di benakku, aku memilih untuk tetap berada di sekitar Keer sebisa mungkin, sambil perlahan bergerak ke arah selatan. Elna yang kehilangan semangat sejak malam pertama tidak menentang keputusan ini. Sepertinya keinginannya untuk menang dengan cara apa pun sudah mulai meredup. 

Karena itu, sejak hari kedua, tingkat pertemuan dengan monster menurun drastis. Itu memang hasil yang wajar bila mengingat kebiasaan monster. 

Insting bertahan hidup monster jauh lebih kuat daripada manusia. Karena itu, mereka akan menghindari pertarungan dengan individu yang lebih kuat dari mereka sebisa mungkin. 

“Al, apa kita akan diam saja di sini...?”

“Tunggu sebentar. Aku sedang berpikir.” 

Aku menjawab sambil menyadari adanya keanehan, semuanya berjalan terlalu sesuai dengan perhitunganku. 

Di hari pertama, Elna membuat kekacauan besar di sekeliling. Monster yang sensitif dengan bahaya pasti menganggap Elna sebagai ancaman besar dan akan menjauh darinya. 

Bagi petualang, ini adalah pengetahuan dasar, tapi sebagai seorang kesatria, Elna tampaknya tak memahami hal itu dengan baik. Diamemang bisa membasmi monster, tapi pemahamannya terhadap monster masih kalah dari para petualang. Petualang akan bertindak hati-hati, lalu memastikan memburu monster besar pada hari ketiga untuk dibasmi. 

Dan aku tak menghentikannya karena memang menginginkan skenario seperti ini. 

Saat ini, hanya tiga kelompok yang telah membasmi monster peringkat AAA: kelompokku, Gordon, dan Leo. Masing-masing dari kami baru membunuh satu. Meski kami juga mengalahkan kawanan Bloodhound yang setara, dan untuk sementara berada di peringkat pertama, posisi itu kini mulai terancam. 

Itu karena aku memang sengaja bergerak ke arah selatan. Sebab, di sisi selatan kami hanyalah Leo dan adik bungsu. Aku ingin menarik monster ke arah mereka. Seperti mengerahkan umpan dalam perburuan, aku menggunakan Elna yang ditakuti monster untuk mengusir mereka menuju ke selatan, ke arah Leo. 

Saat merancang strategi, sempat muncul ide untuk menggunakan Silver sebagai umpan monster, tapi aku memutuskan untuk melakukannya dengan Elna. Berkat itu, Leo pun berhasil membunuh monster peringkat AAA. 

Yang paling ideal tentu saja jika kami yang menang, tapi skenario terbaik adalah Leo yang keluar sebagai juara. Dengan hasil hari pertama saja, sebenarnya kami masih punya peluang untuk menang. Karena itu, aku mengalihkan fokus untuk membantu Leo. Tapi entah kenapa, semuanya terasa terlalu lancar. 

Kalau saja Leo bisa membasmi satu monster AAA lagi, maka rencanaku akan sempurna. Tapi mungkin itu harapan yang berlebihan. 

Kalau pemimpin pasukan kesatria elit berada di dekatnya, mereka bisa membasmi monster AAA. Tapi hanya para kapten tingkat atas yang bisa melakukannya dengan mudah. Jika Leo dan pasukannya tidak punya cukup kemampuan, maka sia-sia saja mengarahkan monster ke sana. 

Selain itu... 

“Kalau kita mau bergerak, seharusnya sekarang, ya...”

“Al...?”

“Hm? Ah, maaf. Aku hanya merasa aneh dengan Kak Eric dan Kak Zandra...”

“Monster peringkat AAA bukan sesuatu yang mudah ditemukan, lho. Aku saja terkejut ada tiga ekor di wilayah timur.” 

“Ya, benar juga...”

“K-Kapten! Yang Mulia! L-Lihat ini!” 

Saat aku dan Elna berbincang, seorang kesatria datang tergesa-gesa, memperlihatkan kristal sihir. 

Tertampang di dalamnya adalah peringkat terbaru. 

Peringkat kami telah turun ke posisi dua. Di atas kami tertera nama Pangeran Kelima, Carlos Lakes Ardler. 

“Apa-apaan ini?” 

“P-Peringkatnya tiba-tiba berubah drastis... Sepertinya mereka membasmi dua monster AAA...”

“Tak mungkin! Tanpa petualang peringkat SS atau kapten dari pasukan atas, itu mustahil! Yang mendampingi Pangeran Carlos hanyalah Kapten Ketujuh. Memang tidak lemah, tapi tetap tidak mungkin!” 

“Mungkin mereka tidak menghadapi secara langsung. Bisa saja menyerangnya saat monster itu tidur, atau saat dua monster AAA saling bertarung. Banyak kemungkinan.” 

“Tapi mana mungkin kebetulan seperti itu terjadi...!!”

Memang mustahil. Tapi nyatanya itu terjadi. 

Jadi begitu. Akhirnya dia tak tahan juga dan menunjukkan taringnya. Kukira dia bersembunyi untuk sesuatu yang lebih besar, tapi kalau itu Carlos, aku bisa mengerti. Dia orang yang bodoh, dan kemungkinan sedang dimanfaatkan oleh seseorang. 

Pangeran Kelima Carlos, usianya dua puluh tiga. Tak ada ciri menonjol dari dirinya. Tak pernah disebut sebagai orang hebat, tapi juga tak pernah dianggap orangyang bodoh. Namun, bila berbicara dengannya cukup lama, terlihat jelas bahwa dia punya obsesi menjadi pahlawan. 

Kalau ada yang bisa memancing obsesi itu, mengendalikannya bukan hal sulit. 

“Kalau kita asumsikan ini bukan kebetulan, apa kita akan menuduhnya berbuat curang?” 

“Itu...”

“Tak ada gunanya bicara di sini. Bagaimanapun, batas waktunya malam hari ini, hari ketiga. Kita lakukan saja apa yang bisa kita lakukan.” 

Meski aku berkata begitu, dalam hati aku sudah nyaris menyerah untuk mencari monster. 

Maaf, tapi tak ada monster yang tidak akan lari bila Elna mendekat. Tidak mungkin kami bisa membalikkan keadaan. 

Namun, setelah Carlos naik ke posisi pertama, hal seperti itu pun tak lagi penting. 

Kakek pernah berkata, tujuan festival ini bukan untuk menang. Dia adalah orang yang merebut takhta melalui intrik, jadi ucapannya bisa dipercaya. 

Dan kemudian ada mimpi buruk Christa. 

Jika benar kota Keer akan dikepung monster seperti dalam mimpi itu, maka skenarionya akan sangat mengerikan. 

Tentu saja Keer memiliki pasukan penjaga. Tapi pasukan pengawal kaisar kini tersebar di seluruh timur bersama anak-anak kaisar. Kaisar belum pernah se-tidak terlindungi seperti sekarang. 

Yang paling dekat dengan Keer hanyalah aku, Leo, dan Carlos. Yang lainnya justru makin jauh. Kalau Carlos dengan cerdiknya menjaga jarak seperti ini, mungkin dia berpikir bisa datang menyelamatkan kaisar saat diserang monster. 

Bodoh sekali. Mana bisa semua berjalan semulus itu. 

“Semoga saja kamu cukup pintar...”

Aku berbisik kecil, dan dalam hati berharap kakakku tak bertindak ceroboh.


* * *


Tanah berguncang. 

Orang pertama yang menyadarinya adalah Elna. 

“Tidak mungkin... Ini...” 

“Elna! Apa yang sedang terjadi!?” 

Aku turun dari kuda yang meringkik liar dan bertanya pada Elna. 

Sudah pasti sesuatu sedang terjadi, tapi dari tempatku berdiri, aku tidak bisa memastikan apa pun. Tentu saja, aku tidak bisa menggunakan sihir di depan Elna. 

Jadi aku hanya bisa mengandalkannya. 

Elna turun dari kudanya dan menempelkan telinganya ke tanah. 

Lalu, perlahan, dia berdiri kembali. 

“...Kawanan besar monster sedang berlari... Ini Tsunami...” 

“Tsunami...?” 

“Fenomena ini terkadang terjadi di wilayah dengan populasi monster yang tinggi, di mana gerakan monster yang berbarengan menyebabkan perpindahan massal... Karena kita telah memojokkan monster-monster di wilayah timur, mereka semua melarikan diri sekaligus...!”

Begitu ya. Jadi begitu cara dia menafsirkan ini. 

Itu penjelasan yang paling masuk akal dan cukup bisa diterima. 

Jauh lebih mudah diterima daripada ide mengendalikan monster dengan seruling sihir. Mungkin Carlos juga akan memanfaatkan penafsiran itu untuk menyelamatkan dirinya. 

Namun, kalau aku boleh memberikan pendapat sebagai petualang, sangat tidak wajar bagi monster untuk lari ke arah yang sama secara serempak. Tsunami biasanya dipicu oleh bencana alam seperti letusan gunung atau badai besar. Dan satu-satunya yang bisa disamakan dengan itu di tempat ini hanyalah Elna. Kalau mereka melarikan diri dari Elna, itu masih masuk akal. Tapi jejak langkah terdengar sangat dekat. Fakta bahwa mereka mengabaikan Elna sangatlah janggal. 

“Mereka menuju ke mana?” 

“Kalau begini terus... Sepertinya akan mencapai Keer...” 

“Bisakah pasukan penjaga Keer menahannya?” 

“Aku rasa tidak... Komandan Kesatria Pengawal sedang mengawal para nyonya dari ibu kota untuk upacara pengumuman besok. Di sisi Kaisar hanya ada segelintir pasukan pengawal... Tidak mungkin bisa menahan serbuan ini...” 

Kaisar bisa saja melarikan diri. 

Pasti ada cukup kekuatan untuk itu. Tapi hal itu tidak akan berarti apa-apa. 

Festival ini diselenggarakan untuk meredam ketidakpuasan wilayah timur. Jika setelah menciptakan tsunami monster, sang Kaisar malah melarikan diri, maka ketidakpuasan itu hanya akan bertambah. 

Dalam skenario terburuk, akan muncul pemberontakan. Jika itu sudah diperhitungkan oleh orang yang memanfaatkan Carlos, maka dia benar-benar berbahaya. 

Dalam perang, mereka bisa mengukir prestasi militer. Entah itu Eric atau Gordon, mereka semua menyusun rencana yang mengabaikan keselamatan rakyat. 

Kalau mereka berniat merebut takhta, bukankah sudah seharusnya mereka memikul tanggung jawab untuk melindungi rakyat...? 

“Memang, mereka adalah orang-orang yang tak boleh menjadi kaisar...” 

“Al?” 

“...Elna. Kalau aku memintamu untuk menyelamatkan Keer, apa kamu bisa melakukannya?” 

“...Tentu saja. Melindungi rakyat dan Kaisar adalah tugas kami para kesatria.” 

“Jumlah monsternya belum diketahui. Bisa saja ini seperti terjun ke neraka.” 

“Aku tak takut mati.” 

“...Bagaimana dengan yang lain?” 

“Tentu saja! Kami akan mempertaruhkan nyawa untuk melindungi mereka!” 

“Kami pasti akan menyelamatkan Keer!” 

Anak buah Elna satu per satu menyuarakan semangatnya dengan lantang. 

Perkataan seperti tak takut mati atau mempertaruhkan nyawa. Itu kata-kata yang paling tidak kusukai. 

Aku tidak ingin mendengar kata-kata yang hanya berisi kepuasan diri seperti itu. 

“...Satu hal yang harus kalian bersumpah. Elna. Bersumpahlah atas pedangmu.” 

“Eh...? Sumpah apa?” 

“Bersumpahlah bahwa kalian akan tetap hidup. Kalian semua. Bersumpahlah pada pedang kalian bahwa kalian tidak akan mati. Kalau tak bisa bersumpah, maka aku tak akan biarkan kalian berangkat.”

“Al...” 

Elna menyebut namaku dengan nada terkejut, lalu berlutut, menancapkan pedangnya ke tanah, dan menempelkan dahinya ke gagang pedang itu. Para kesatria lain pun mengikutinya. Lalu... 

“Aku, Elna von Armsberg, sebagai kesatria pengawal, bersumpah atas pedang ini bahwa aku tidak akan mati.” 

Mereka semua bersumpah untuk tidak mati.


Dengan ini, tidak akan ada masalah.

“Ayo, kita berangkat! Al! Kalau jumlah monsternya sebanyak itu, bukankah ini kesempatan kita untuk membalikkan keadaan...” 

“Tidak... Aku hanya akan jadi beban. Kalian saja yang pergi.” 

Setelah berkata begitu, aku mencopot gelang sihir yang terpasang di tanganku dengan paksa. Gelang yang sebenarnya tidak boleh dilepas. Di saat itu juga, aku resmi dianggap melanggar aturan dan dinyatakan gugur dari kompetisi. 

“A-Al...?” 

“Ah, nggak sengaja terlepas saat aku main-main. Tak bisa dihindari, ya. Ceroboh sekali. Ya sudahlah, aku akan pergi ke kota terdekat dan minum-minum saja.”

“Kenapa... Padahal kita masih punya kesempatan untuk membalikkan keadaan. Kenapa?” 

“Aku sudah didiskualifikasi. Jangan pikirkan aku dan pergilah. Kalian bukan penyebab aku didiskualifikasi. Aku didiskualifikasi karena keputusanku sendiri. Jadi, jangan dipikirkan.” 

Jika aku hanya mengatakan akan tetap tinggal di sini dan membiarkan Elna serta yang lainnya pergi, maka akan timbul keraguan dalam hati mereka. Untuk memutus keraguan itu, aku dengan cepat melenyapkan akar penyebabnya. 

Di hadapan krisis yang mengancam kaisar dan rakyat, peringkat dalam festival ini jadi tak penting lagi. 

“Al... Kamu...” 

“Sampaikan dengan jelas pada Ayahanda juga. Bahwa akulah yang menghancurkan gelang itu.” 

Karena kaisar sudah menggunakan istilah “satu tubuh satu jiwa”, maka tindakan seorang kesatria yang menyebabkan seorang pangeran didiskualifikasi seharusnya tidak dapat dimaafkan, meski itu adalah perintah dari pangeran sendiri. 

Dengan aku yang mencopot gelang itu sendiri, maka seluruh tanggung jawab ada padaku. 

Elna maupun para kesatria tidak akan dijadikan kambing hitam. Yah, kalau mereka berhasil menyelamatkan Keer, semua itu tak akan menjadi masalah. Tapi aku juga harus mempertimbangkan kemungkinan jika mereka gagal. Kalau tidak berhasil, maka akan dimulai saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Aku tidak boleh memberi celah sedikit pun untuk itu. 

Mungkin menyadari maksudku, Elna memasang ekspresi seakan akan menangis. 

Para kesatria lainnya pun menundukkan kepala mereka. 

Aku berbicara dengan para kesatriaku, “Aku memerintahkan kalian, kesatriaku.” 

“...”

“Lindungi Yang Mulia Kaisar dan rakyat yang ada di Keer. Kehilangan kota Keer pun tidak masalah. Dahulukan nyawa untuk diselamatkan.” 

“Perintah Yang Mulia... Hamba terima.” 

“Juga, Christa dan Fine ada di sana. Mereka pasti ketakutan. Tolong lindungi mereka juga.” 

“Baik... Kami akan tinggalkan beberapa orang untuk menemani Anda,” jawab Elna dengan wajah yang menyiratkan rasa frustrasi, ketidakberdayaan, dan kesedihan yang bercampur jadi satu. 

Begitu pula dengan para kesatria lainnya. 

Di tengah suasana itu, Sebas muncul di belakangku tanpa suara sedikit pun. 

“Aku yang akan mengawal Yang Mulia. Kalian semua, silakan lanjutkan tanpa khawatir.” 

“Sebas... Kenapa kamu...” 

“Aku khawatir, tentu saja. Terutama soal kehidupan sehari-hari Anda. Jadi biarkan saya yang mengurus semuanya, Nona Elna.” 

Elna tampak sedikit terkejut mendengar bahwa pengawalan dirinya tidak diperlukan. Mungkin dia merasa bahwa bahkan untuk melindungiku pun dia tidak diizinkan. Padahal bukan itu maksudnya, tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskan kesalahpahaman ini. 

Namun, sebagai kesatria sejati, mereka semua segera mengalihkan fokus dan mulai mempersiapkan kuda. 

Dan ketika mereka hendak berangkat, aku memberikan kata-kata terakhir kepada mereka. 

“Para kesatriaku. Aku percayakan semuanya padamu. Hanya kalian yang bisa kupercayai.” 

Begitu mendengar kata-kata itu, setetes air mata tampak menggantung di sudut mata Elna. 

Namun, seolah menepis air mata itu, Elna menghunus pedangnya dan berseru, “Aku, Elna von Armsberg, seorang kesatria pengawal, akan mewujudkan harapan Yang Mulia! Demi nama dan pedangku, aku akan menumpas setiap musuh dan menyelamatkan Keer!” 

“Ya. Aku percayakan padamu.” 

Begitu aku mengatakannya, Elna dan yang lainnya melesat pergi dengan kecepatan luar biasa. 

Saat dulu menunggang kuda bersama mereka, aku merasa itu sudah cepat. Tapi rupanya waktu itu mereka masih menahan diri. 

Ketika sosok mereka sudah tak terlihat lagi, aku memanggil satu-satunya pelayan terbaikku. 

“Sebas.” 

“Ya, Yang Mulia.” 

“Bersiaplah. Mulai dari sini, waktunya kita bergerak dalam bayang-bayang.” 

“Dimengerti, Yang Mulia.” 

Mengenakan jubah hitam seperti biasa dan topeng perak, aku bertransformasi menjadi Silver, lalu meninggalkan tempat itu dengan sihir perpindahan.

 

Bagian 3

“Yang Mulia Kaisar! Mohon segera mengungsi!” 

“Aku tidak akan lari. Siapkan pertahanan!” 

Menerima laporan bahwa tsunami monster semakin mendekat, Kaisar Johannes memilih untuk tetap tinggal di tempatnya. 

Bukan karena rasa belas kasih terhadap rakyat, tentu saja tidak. Perasaan pribadi seperti itu telah dia kubur sejak dia menjadi kaisar. Dia menetap karena menilai bahwa jika dia melarikan diri, maka kerusuhan, bahkan pemberontakan, akan pecah di wilayah timur Kekaisaran. 

Karena itu, Johannes menempatkan sedikit pengawal pribadi yang dia miliki di tembok kota Keer, mengangkat mereka sebagai komandan pasukan pertahanan. Dan dia sendiri mengenakan zirah, menggenggam pedang, dan maju ke garis depan. 

“Wahai kalian semua! Jangan biarkan rakyat timur menderita lebih dari ini! Lindungi mereka meski nyawa menjadi taruhannya!” 

Dengan sang kaisar sendiri berdiri di garis depan, semangat pasukan penjaga meningkat drastis. 

Namun, dengan semangat saja tidak cukup untuk melawan gelombang demi gelombang monster yang terus menyerbu. 

Kawanan monster datang terus-menerus dari arah timur Keer, memenuhi luar tembok kota dalam sekejap. Monster-monster yang terbakar emosi dan kehilangan akal menyerbu kota Keer, dan pasukan penjaga berusaha menahan serangan itu sebisanya. 

Johannes sendiri menebas banyak monster dengan pedangnya, tapi jumlah mereka terlalu banyak. 

Pasukan penjaga berjumlah tiga ribu. Tapi jumlah monster hampir tiga kali lipat dari itu. 

Melihat para prajurit tumbang satu per satu tanpa bisa menghentikan arus musuh, Johannes menggeram. Situasi jelas tidak berpihak pada mereka. Dia memang bisa saja melarikan diri, tapi bila dia kabur, maka musuh yang dihadapi bukan hanya monster. 

Saat Johannes tengah memikirkan langkah yang harus diambil.

Terdengar tawa dari langit. 

“Hahahaha! Lihat itu, Kakak! Sang Kaisar memasang wajah serius banget!” 

“Benar, Adikku. Sangat menggelikan.” 

Johannes menatap ke langit dengan tatapan tajam karena hinaan mendadak itu. 

Di sana ada dua orang lelaki. 

Salah satunya adalah seorang pemuda berambut perak. Tubuhnya kecil, wajahnya penuh tawa polos layaknya seorang anak kecil. 

Yang lainnya adalah lelaki berambut pirang panjang. Dengan wajah rupawan, dia tersenyum tipis sambil menatap sang kaisar dari atas. 

Keduanya memiliki kesamaan, yakni kulit mereka sangat pucat, seputih mayat, dan kecantikan mereka tidak manusiawi. 

“Siapa kalian?” 

“Aku Sam.” 

“Aku Dean.” 

Johannes merasa pernah mendengar nama mereka. 

Dan saat dia melihat taring yang mencolok di mulut keduanya, mereka mengejek dengan desisan kecil. 

Taring itu sangat menyerupai ciri khas salah satu ras setengah manusia yang masih ada di benua ini,kaum vampir. 

Kaum vampir adalah ras yang memiliki umur panjang dan memiliki kekuatan besar. Mereka menguasai wilayah tertentu secara terang-terangan dan meski jumlah mereka sedikit, mereka membentuk satu negara sendiri. 

Dahulu, mereka diklasifikasikan sebagai monster dan pernah berperang melawan manusia. Namun kini mereka lebih memilih bersikap netral dan hampir tidak pernah memperlihatkan diri. 

Di antara mereka, ada dua nama yang sangat dikenal umat manusia. 

“Itu terjadi di masa kaisar terdahulu... Ada dua vampir yang diusir dari kaum mereka karena kekejaman yang melampaui batas. Keduanya kemudian menjadi buronan petualang, dinyatakan sebagai monster peringkat S. Namanya Sam dan Dean, seperti kalian. Jadi, kalian yang dimaksud?” 

“Benar. Itu kami!” 

“Guild Petualang menyamakan kami dengan monster rendahan. Itu penghinaan yang tak termaafkan. Kami tidak pernah melupakan penghinaan itu. Dan tentu saja, juga dendam pada mereka yang ikut terlibat.” 

“Hoh? Dendam yang begitu lama. Kaisar terdahulu sudah tiada. Apa kalian ingin membalas dendam padaku sebagai penggantinya?” 

“Tentu saja! Manusia itu rapuh dan mudah mati!” 

“Aku sudah menyerah membalas dendam pada perseorangan. Waktu hidup kita berbeda. Karena itu, kami akan melampiaskan dendam kami pada keturunan dan semua yang mereka miliki.” 

Mendengar mereka menyatakan bahwa seluruh kekaisaran adalah sasaran balas dendam, Johannes mengklik lidahnya kesal. Biasanya dia akan membalas dengan kata-kata, tapi dalam situasi ini, tak perlu diragukan lagi bahwa tsunami monster adalah ulah mereka. 

Menghadapi tsunami saja sudah cukup membuat mereka kewalahan. Dan kini, dua vampir dengan kekuatan setara monster peringkat S muncul. Bahkan Johannes tidak punya solusi. 

Andai saja para kesatria pengawal kesayangannya berada di sini.

Namun Johannes telah menyerahkan mereka kepada anak-anaknya. 

Mereka berada jauh dari Keer, dan meskipun segera bergerak, hanya segelintir yang akan sempat kembali. 

“Yah, nikmatilah masa-masamu sebagai kaisar sebelum waktunya habis. Setelah kami hisap darahmu dan mengeringkan tubuhmu hingga jadi mumi, kami akan melemparkan jasadmu ke ibu kota!” 

“Hmph! Coba saja kalau bisa! Meski aku mati, Kekaisaran tidak akan binasa! Para elit Kekaisaran pasti akan membinasakan kalian! Kalau kalian tak takut akan hal itu, datanglah!” 

“Keberanianmu patut dihargai. Tapi meski menggonggong sekeras apa pun, kamu tetap di pihak yang kalah.” 

Dean mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. 

Dari tangan itu, berkumpul kekuatan sihir dan membentuk bola hitam. Itu bukanlah sihir manusia. Itu adalah serangan murni dari energi sihir, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh vampir dengan kekuatan luar biasa. 

“Matilah sembari menyesali telah menjadikan kami musuhmu!!”

Bola sihir itu dilemparkan ke arah Johannes. 

Dean menampilkan senyum kejam, yakin akan kemenangannya. Namun senyum itu segera berubah menjadi beku. 

Sebelum bola sihir itu mencapai Johannes, bolanya telah terbelah dua. 

“...Yang Mulia, apakah Anda baik-baik saja?” 

“Oh... Elna, syukurlah kamu datang. Bagaimana dengan menjaga Arnold? Apa kamu meninggalkannya?” 

“...Maafkan hamba. Hamba tidak bisa menepati perintah untuk menjadi satu tubuh satu jiwa dengannya...” 

Melihat wajah Elna yang tertunduk, Johannes memahami situasinya. 

Kalau Elna datang bersama Arnold, dia tak mungkin tiba tepat waktu. 

Namun Johannes tersenyum padanya. 

“Melihat putraku tumbuh dewasa adalah hal yang menyenangkan. Itu semua berkatmu, Elna.” 

“Yang Mulia... Hamba...” 

“Arnold mengirimmu ke sini. Dan kamu menjawab harapannya dan datang tepat waktu. Aku sangat senang. Dan sebagai tambahan, maukah kamu menunjukkan pada kami pertumbuhanmu?” 

Mendengar permintaan itu, Elna mengangguk mantap. 

Dia lalu menatap lurus ke arah dua vampir dan mengangkat pedangnya. 

“Sesuai perintah, Yang Mulia. Akan hamba tunjukkan pedang keluarga Armsberg!” 

“Huh! Satu orang saja? Aku tahu kamu! Kamu kesatria yang mengikuti si pangeran gagal itu! Karena si pangeran tak berguna, kamu pun tidak pernah ke mana-mana, ya? Wah, sungguh memalukan. Jangan kotori rencana Kakakku dengan tangan si bodoh!” 

“Jangan lengah, Sam. Keluarga Armsberg adalah garis keturunan para pahlawan. Mereka berada di luar standar manusia. Jangan anggap perempuan itu manusia.” 

Meski Dean memperingatkan, Sam tidak mencoba menyembunyikan rasa angkuhnya. 

Namun, begitu dia melihat mata Elna, dia seketika bersiap tempur. 

“...!”

Seketika tubuh Sam dipenuhi keringat dingin akibat aura membunuh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. 

Sambil membentuk sabit dari sihir, Sam mundur beberapa langkah menjauh dari Elna. Itu sudah tergolong mundur total, hanya saja Sam sendiri tidak menyadarinya. 

Sementara itu, Elna yang telah melepaskan niat membunuh yang dahsyat, perlahan-lahan terangkat ke langit. 

Bagi penyihir unggulan, sihir terbang memang bukan hal sulit. Tapi bisa bertempur bebas di udara adalah cerita lain. Meski bukan seorang penyihir, Elna telah mencapai level itu. 

Dalam segala aspek pertempuran, anak ajaib dari keluarga Armsberg tidak kekurangan satu pun. 

Dan kini, Sam telah menginjak ranjau berupa anak ajaib itu. 

“Kamu telah mengucapkan kata-kata yang paling kubenci... Berani-beraninya kamu mengatakannya tepat di depan wajahku!! Kamu pantas dihukum mati. Bersiaplah!” 

“Tch! Jangan sombong!!” 

Dalam sekejap, Sam menyerang Elna dengan sabitnya. 

Namun Elna menghindar dengan mudah dan membalas dengan satu tebasan. 

Sam berhasil menahan serangan itu dengan sabitnya, tapi kekuatan yang jauh di luar dugaan membuatnya gentar dan dia melirik ke arah kakaknya. 

“Seperti yang diduga dari anak ajaib keluarga Armsberg. Pantas saja disebut pahlawan masa kini. Tapi kami akan membuatmu menyesal telah melawan kaum vampir!” 

Dengan itu, Dean pun turut menyerang Elna. 

Pertempuran sengit pun pecah di langit kota Keer antara mereka bertiga. 

Sementara itu, di bawah, Johannes mengangkat suara, memotivasi pasukan penjaga. Dengan bergabungnya para kesatria dari Pasukan Ketiga yang dipimpin Elna, tekanan monster sedikit berhasil didorong kembali. Tapi jumlah mereka masih belum berkurang secara signifikan. 

Dalam kondisi mendesak yang membutuhkan bala bantuan lebih banyak, seorang pangeran pun muncul. 

“Ayahanda! Carlos datang! Carlos datang membawa bantuan!” 

Pangeran Kelima Carlos. Dua puluh tiga tahun. 

Seorang pria muda berambut cokelat yang dikenal berhati lembut. Namun dia juga dikenal sebagai pemimpi, yang mengagumi kisah-kisah pahlawan masa lalu dan ingin bersinar di medan perang seperti mereka. 

Bagi Carlos, datang bersama para kesatria di tengah krisis demi menyelamatkan Kaisar dan rakyat adalah realisasi sempurna dari impiannya. 

Orang-orang menatapnya sebagai penyelamat. Melihat sorotan dan kegembiraan itu, Carlos berlari paling depan. 

“Yang Mulia! Mohon mundur! Ini sangat berbahaya!

“Tidak apa-apa! Sekarang ini, aku adalah seorang pahlawan!” 

Ucapan itu memang lahir dari perasaan yang terbuai situasi, tapi dia punya alasan kuat. 

Beberapa waktu lalu, Carlos telah bertemu Sam dan Dean melalui perantara tertentu. Dia dan dua vampir itu telah merencanakan kekacauan ini bersama, dan Carlos yang akan menyelesaikannya. 

Sebagai imbalan, Carlos menjanjikan bahwa setelah menjadi kaisar, dia akan meminta Guild Petualang menghapus status buronan dari Sam dan Dean.

Carlos merasa puas dengan alasan mengapa Sam dan Dean mau bekerja sama dengannya. Penghapusan status buronan dari Guild Petualang adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi. Namun, jika yang memintanya adalah Kaisar Kekaisaran, hal itu menjadi mungkin. Bahkan Guild Petualang pun tak bisa begitu saja mengabaikan kehendak seorang kaisar. 

Itulah sebabnya Carlos percaya. Bahwa begitu dia muncul, Sam dan Dean akan mundur. 

Dan setelah itu, dia membayangkan dirinya membasmi sisa monster yang tertinggal, dan tampil sebagai pahlawan di mata seluruh rakyat, sekaligus dinobatkan sebagai putra mahkota. 

Namun pada saat itulah, Carlos terhempas keras oleh peluru sihir yang ditembakkan Sam. 

“Benar-benar bodoh, datang ke sini beneran. Dasar pangeran tolol.” 

“Jangan pedulikan pecundang itu. Fokus pada lawan di depan! Dia datang!” 

Keduanya sama sekali tidak menganggap Carlos sebagai ancaman. 

Sejak awal, mereka tidak melihat Carlos sebagai mitra yang setara. 

Sam dan Dean hanya memanfaatkan Carlos. Sebaliknya, seandainya Carlos juga berniat memanfaatkan mereka, dia tak akan terburu-buru maju begitu saja. Tapi karena sifatnya yang polos dan kurang memahami dunia, Carlos benar-benar mempercayai mereka. 

Tanpa sempat menyesali kebodohannya, tubuh Carlos terhempas hebat dan kesadarannya mulai menghilang. 

Seorang kesatria berhasil menangkap tubuh Carlos yang terlempar, namun luka-lukanya sangat parah, cukup untuk mengancam nyawanya. 

Namun para kesatria yang datang bersama Carlos, menyaksikan pangeran mereka terkapar, justru semakin bersemangat. Dengan penuh amarah, mereka menyerbu ke arah monster. 

Meski tampak menyedihkan, fakta bahwa Carlos yang pertama kali tumbang bisa dianggap sebagai satu-satunya pencapaiannya dalam pertempuran ini. 

Dan waktu yang berhasil diulur oleh para kesatria Carlos itu, perlahan-lahan mulai mengubah jalannya situasi.

 

Bagian 4

Aku berpindah dengan sihir ke tempat Leo berada. 

Meski begitu, karena sihir perpindahan individu sifatnya cukup kasar, aku tak bisa langsung muncul tepat di hadapannya. 

Tiba sedikit meleset, aku mengejar rombongan yang menerbangkan debu pasir di udara. 

Mereka sudah mulai bergerak di waktu seperti ini? Seperti yang diharapkan dari Leo. 

Tujuan mereka adalah Keer. Dia berlari sekuat tenaga bersama para ksatria. 

Aku mendarat di jalur yang akan dilewati Leo dan menunggu kedatangannya. 

Beberapa saat kemudian, Leo menyadari kehadiranku dan menghentikan kudanya. 

“...Kamu Silver?” 

“Benar. Senang akhirnya bisa bertemu langsung, Pangeran Leonard.” 

“Aku tak punya waktu untuk menyapa dengan santai. Kalau kamu datang dalam situasi seperti ini, boleh kuanggap sebagai bala bantuan?” 

“Itu memang tujuanku. Tapi menurutku, lebih baik kita tidak langsung menuju ke sana begitu saja.” 

“Apa maksudmu?” 

Leo bertanya dengan nada yang tak biasa, suaranya terdengar marah. 

Wajar jika dia ingin tiba di Keer secepat mungkin setelah mendengar kabar tsunami. Justru karena itu aku datang. 

Tak bisa kubiarkan Leo menerobos kawanan monster hanya dengan sejumlah kecil kesatria. 

“Dalam situasi di mana ribuan monster menyerbu Keer, sekalipun ini adalah kesatria pengawal, jumlah ini tak akan berarti banyak.” 

“Kita tak akan tahu sebelum mencoba! Mungkin masih ada nyawa yang bisa diselamatkan!” 

“Sikapmu terpuji, tapi andai menyelamatkan orang cukup dengan niat baik saja, hidup ini tak akan sulit. Kesatria di sekelilingmu pasti sudah menyadari itu.” 

Leo menatap para kesatrianya. 

Melihat wajah-wajah mereka yang serius, Leo tampak sedikit terguncang. 

Aku memanfaatkan momentum itu dan melanjutkan, “Kalau tsunami telah terjadi, maka kita butuh kekuatan militer untuk menghentikannya.” 

“Di mana kita bisa menemukan militer sebesar itu...? Jadi kita hanya bisa menonton tanpa berbuat apa-apa!? Ayah dan adik perempuanku ada di Keer! Rakyat yang harus kulindungi juga ada di sana! Kalau aku meninggalkan mereka, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri!” 

“Hah... Aku tak pernah bilang untuk meninggalkan mereka. Aku hanya mengatakan kita harus bersiap sebelum bergerak.” 

“...?”

Leo yang semula terbakar semangat mulai tenang karena penjelasanku yang berputar-putar. 

Saat itulah aku masuk ke inti pembicaraan. 

“Pangeran Leonard, kesatria di timur ini bukan hanya para pengawal yang bersamamu.” 

“...Maksudmu kita harus menggunakan kesatria para bangsawan sekitar?” 

“Mana mungkin aku mengusulkan hal bodoh seperti itu! Menggerakkan kesatria bangsawan adalah pelanggaran wewenang, bahkan untuk seorang pangeran! Lagipula, mereka tak tahu situasi saat ini. Kalau kita harus kumpulkan mereka satu per satu, butuh waktu berhari-hari!” Kapten kesatria pengawal menimpali dengan suara kesal. 

Baginya, itu pasti terdengar seperti usulan yang mustahil. Tentu saja, hanya untuk berpindah lokasi pun butuh waktu. 

Mengumpulkan kesatria terdengar konyol. Tapi aku bisa mewujudkan hal mustahil itu. 

“Serahkan metodenya padaku. Yang jadi pertanyaan hanya satu, apakah Pangeran memiliki tekad untuk melakukannya? Setelah semuanya selesai, mungkin akan ada teguran. Bisakah Anda menerima kemungkinan itu? Seberapa besar tekad Anda untuk menyelamatkan keluarga dan rakyat?” 

“...Kalau bisa menyelamatkan mereka, aku tak peduli pada statusku sebagai pangeran. Aku tak keberatan menggerakkan para kesatria atas namaku. Jelaskan caranya.” 

“Yang Mulia...” 

“Ini darurat. Selama tujuannya untuk melindungi Kaisar, aku bisa mempertanggungjawabkannya. Tidak masalah. Baiklah, Silver, bagaimana caranya?” 

“...Aku hormati tekadmu. Bagus sekali. Caranya sederhana. Aku akan membuka gerbang sihir perpindahan di bukit dekat Keer. Lewat gerbang itu, Anda bisa berpidato. Ajak para kesatria yang tidak memahami situasi untuk masuk melalui gerbang itu.” 

Itu adalah rencana yang gila. 

Tanpa menunjukkan bukti apa pun sebagai pangeran, dia harus meyakinkan para kesatria yang kebingungan agar masuk ke dalam sihir misterius hanya dengan pidato. 

Para kesatria itu tunduk pada para bangsawan. Jika para bangsawan melarang, semuanya akan berakhir. 

Artinya, semuanya bergantung pada pidato Leo. 

Jika tidak banyak kesatria yang berkumpul, aku hanya akan membuang waktu dan energi sihirku. 

Tapi, itu adalah risiko yang layak diambil. Festivalnya masih berlangsung. 

Carlos, yang sekarang berada di posisi pertama, kemungkinan besar akan didiskualifikasi, dan aku yang di posisi kedua juga sama. Gordon dan Leo ada di peringkat tiga. Jika Leo bisa memimpin para kesatria dan membasmi monster, maka dia akan menang. Di sisi lain, berkumpulnya pasukan ini bisa jadi penentu penyelamatan Keer. 

Satu-satunya kekhawatiranku adalah apakah Keer bisa bertahan sampai saat itu, tapi aku sudah mengirim Elna ke sana. Kalau Elna pun tak sanggup menahannya, maka Leo tak akan bisa berbuat banyak meski datang lebih cepat. 

“Bagaimana? Anda tak yakin?” 

“Yah... Aku tak yakin. Tapi akan kulakukan. Karena kurasa kakakku juga akan menyuruhku mencoba.” 

“Aku ragu pangeran gagal itu akan mengatakan hal seperti itu.” 

“Kamu tak mengenalnya. Kakakku itu punya ketegasan luar biasa saat dibutuhkan. Dia mungkin sudah bertindak bahkan sebelum kita selesai bicara.” 

Aku terkejut mendengar betapa tinggi penilaian Leo terhadapku. 

Aku tidak keberatan dengan itu. Malah, rasanya menyenangkan. 

“Begitu ya... Kalau begitu, lakukanlah.” 

Aku menyatukan kedua tanganku. Ini bukan sihir perpindahan untuk individu, melainkan sihir pembuka gerbang agar banyak orang bisa lewat. 

Beberapa saat kemudian, terbentuklah lubang besar yang mengarah ke bukit. Ukurannya cukup besar untuk dilalui sepuluh orang sekaligus. 

Lubang itu berputar-putar tak stabil, tampak tidak menyenangkan untuk dimasuki. Tapi aku melangkah lebih dulu. 

Tanpa ragu, Leo pun mengikutiku. 

Dalam sekejap, pandangan kami terdistorsi, lalu kami pun berdiri di atas bukit dekat Keer. 

“Jadi ini sihir perpindahan...” 

“Aksi sesungguhnya dimulai dari sini.” 

Sambil meyakinkan diriku sendiri, aku menciptakan lubang-lubang perpindahan ke tujuh kota besar di sekitar Keer. 

Sisanya tergantung pada pidato Leo. 

“Aku sudah mengaktifkan sihir pengeras suara. Mulailah.” 

“...Kepada para kesatria di timur yang mendengar suara ini, mohon dengarkan aku. Aku adalah Leonard Lakes Ardler, Pangeran Kedelapan Kekaisaran.” 

Leo mulai berbicara dengan tenang. 

Dia paham bahwa kegagalan bukanlah pilihan. Dia tak tergesa-gesa berbicara dengan cepat, tapi lebih memilih agar kata-katanya tersampaikan dengan jelas. 

Dia tenang. Mungkin ini bisa berhasil. 

“Saat ini, tsunami monster terjadi di wilayah timur, dan kota Keer berada dalam bahaya sebagai jalur lintasannya. Aku memohon pada para kesatria yang mendengar suara ini untuk datang ke tempatku lewat gerbang sihir yang muncul di dekat kalian. Tidak perlu menunggu keputusan bangsawan. Gunakan penilaian pribadi kalian. Aku akan menanggung seluruh tanggung jawab.” 

Saat orang-orang mengira pidatonya selesai, Leo menarik napas dalam dan mencabut pedang dari pinggangnya. 

Dengan suara paling penuh semangat yang pernah dia keluarkan, dia menyerukan, “Lindungilah warga Keer!! Wahai kesatria yang berhati mulia! Wahai kesatria yang pemberani! Jika kalian merasa pantas, datang dan bergabunglah denganku!! Aku menaruh harapan pada keputusan kalian!”

Penutup yang Leo ucapkan membuatnya tampak seperti Ayahanda di medan perang. 

Para kesatria pengawal yang berada di dekatnya pun menatapnya dengan terkejut. 

Namun hanya Leo yang tetap menatap gerbang-gerbang sihir dengan wajah serius. 

Tak ada yang muncul dengan segera. 

Saat aku mulai berpikir semuanya sia-sia, satu orang keluar dari salah satu lubang. 

Seorang pemuda, terkejut oleh pengalaman pertama perpindahan, buru-buru turun dari kudanya dan membungkuk. 

“Namaku Hans, kesatria dari Hessen! Aku datang untuk bergabung di bawah komando Pangeran Leonard!”

“Terima kasih telah datang, Hans. Aku sangat menghargainya.” 

“Tidak, seharusnya akulah yang berterima kasih! Sejak aku mendengar bahwa Yang Mulia Leonard mengunjungi desa-desa untuk memberi penghiburan, aku sudah lama ingin berperang di bawah komandomu! Dan aku bukan satu-satunya! Kesatria lain pasti akan segera menyusul! Mohon tunggu sebentar!” 

Orang yang mampu menarik perhatian dan menghimpun orang secara alami disebut sebagai karismatik. 

Kalau memakai definisi itu, maka Leo sekarang adalah karisma yang sejati. 

Satu per satu kesatria mulai bermunculan dari gerbang. 

Hingga akhirnya. 

“Namaku Volker, penguasa Ulm! Aku membawa lima ratus kesatria untuk bergabung di bawah komando Yang Mulia!” 

Lelaki tua yang muncul menunggangi kuda. Dilihat dari rambut putih dan posturnya, usianya pasti sudah melewati enam puluh. 

“Volker, aku menghargai kedatanganmu. Tapi apakah kamu baik-baik saja?” 

“Aku punya hati dan keberanian! Apa itu tidak cukup?” 

“...Kalau kamu baik-baik saja, maka tidak masalah. Terima kasih sudah bergabung. Aku ingin kamu menyerbu bersamaku dari sisiku. Aku mengandalkanmu.” 

Mendengar itu, Volker tampak kaget, mungkin dia sempat mengira akan ditolak. Tapi dengan cepat, dia tertawa dan menjawab lantang, “Ha, haha! Akan kutunjukkan kemampuanku pada Yang Mulia!” 

“Aku menantikan itu.” 

Dengan begitu, jumlah kesatria timur yang berkumpul melampaui tiga ribu orang. Mungkin mereka adalah kumpulan tak terorganisir, tapi karena datang atas kehendak sendiri, bukan melalui perintah, semangat mereka sangat tinggi. 

Melihat itu, aku merasa tenang. 

Seharusnya tidak ada masalah. 

“Silver, terima kasih atas bantuanmu.” 

“Aku hanya bertindak sebagai petualang demi rakyat. Dan terlalu cepat untuk berterima kasih. Terimalah ucapanku setelah Keer diselamatkan. Sekarang, aku akan berangkat lebih dulu.” 

Setelah berkata begitu, aku memindahkan diriku ke Keer. 

Dan sesampainya di atas langit Keer, aku menyaksikan pemandangan yang luar biasa.

 

Bagian 5

“Aku takut...!” 

“Tak apa, Yang Mulia Putri. Para kesatria pasti segera datang.” 

Di dalam mansion, Fine menenangkan Christa sambil lembut membelai rambutnya. 

Saat itu, para pelayan datang ke arah Fine dengan ekspresi bingung di wajah mereka. 

“N-Nona Fine... Uh...” 

“Ada apa?” 

“Ini... banyak warga yang ingin masuk ke dalam mansion...” 

Atas perintah Kaisar, warga dilarang keluar dari rumah atau penginapan mereka. 

Namun, karena pertempuran terdengar di dekat mereka, wajar jika mereka menganggap rumah bangsawan sebagai tempat yang aman dan ingin masuk ke dalamnya. 

Fine tidak menyalahkan mereka karena hal itu. 

"Di mana istri bangsawan wilayah ini?" 

“Karena beliau tak bisa memutuskan, beliau menyerahkan keputusannya pada Putri Christa dan Anda...” 

“Begitu, ya... Yang Mulia, apa yang ingin Anda lakukan?” 

“Aku tak tahu... Tapi aku takut...” 

Karena ketakutan, Christa menggenggam erat pakaian Fine. 

Fine menggenggam balik tangan kecil itu dan menanggapi dengan suara menenangkan. 

Sang bangsawan penguasa sedang bertempur bersama Kaisar. Karena istrinya menyerahkan keputusan, maka pendapat Christa akan menjadi yang diprioritaskan. 

“Aku mengerti... Jadi, haruskah kita meninggalkan orang-orang yang merasakan hal yang sama?” 

“Itu... Tidak boleh...” 

“Mengapa tidak?” 

“...Kakak akan marah.” 

“Benar. Maka, mari kita prioritaskan orang tua, anak-anak, dan orang sakit untuk masuk ke rumah ini. Tapi nanti jadi berisik, tidak apa-apa?” 

“Aku tidak apa-apa...” 

“Aku akan pergi keluar sebentar. Tak apa, ya? Mereka pasti sangat ketakutan. Kita harus menenangkan mereka.” 

“...Ya...” 

Wajah Christa jelas menunjukkan bahwa dia tidak suka, tapi Fine tersenyum, membimbingnya duduk di kursi, dan menyerahkan sisanya pada para pelayan. 

Kemudian, dia berjalan menuju gerbang utama mansion. 

Di sana, beberapa prajurit yang ditinggal untuk menjaga rumah mengacungkan pedang ke arah warga. 

“Kembali ke rumah kalian! Tak dengar perintah dari Yang Mulia Kaisar!?” 

“Kami mohon! Biarkan kami masuk!” 

“Kamu ini...!”

“Berhenti!” 

Dalam situasi yang nyaris memanas, Fine membentak para prajurit dengan suara tajam. 

Meski hanya seorang putri bangsawan, Fine dikenal luas sebagai Blau Mève dan Kaisar sendiri memberinya kedudukan setara dengan anggota keluarga kekaisaran. 

Di tempat ini, ucapannya memiliki bobot setara dengan keluarga kekaisaran. Maka, para tentara segera menurunkan pedang mereka dan berlutut di hadapan Fine. 

“Nona Fine...” 

“Yang harus kalian hadapi bukanlah rakyat. Bukankah begitu?” 

“Ya... Benar, kami telah ceroboh...” 

Setelah merasa cukup dengan jawaban mereka, Fine memandang warga yang berkerumun di depan gerbang. 

Jumlah mereka lebih dari seratus, bahkan mungkin dua ratus orang. 

Ada rakyat jelata, bangsawan yang datang berkunjung, dan para pedagang. Wajah semua orang dipenuhi kecemasan. 

“Aku Fine von Kleinert. Mungkin kalian lebih mengenalku sebagai Blau Mève.” 

Sambil berkata begitu, Fine menunjuk hiasan rambut berbentuk camar biru di kepalanya. 

Itu adalah simbol kecantikan luar biasa yang dianugerahkan langsung oleh Kaisar. 

Rakyat yang menyadari bahwa dia adalah putri bangsawan yang begitu dicintai Kaisar, serempak berlutut. 

Namun, di tengah kerumunan itu, beberapa pemuda maju ke depan, menyibak warga lain. 

“Oh! Nona Fine! Ini aku! Geed!” 

Itulah suara yang paling tak ingin didengar oleh Fine. 

Geed von Holtzwart, teman masa kecil Arnold yang melakukan tindakan tak termaafkan dengan memukulnya. Dia dan pengikutnya kini menatap Fine sambil tersenyum. 

Tanpa rasa bersalah, mereka menyibak rakyat dan menganggap diri mereka layak diterima lebih dulu. Padahal mereka tidak akan bertempur, hanya ingin berlindung di tempat aman sambil bertingkah seolah orang penting. 

Melihat itu, darah bangsawan dalam diri Fine merasa ternoda. 

Dia tak pernah merasa seperti itu saat melihat ayahnya. Bahkan kakaknya yang pemalas tidak pernah mencoba menyelamatkan diri sendiri dalam keadaan bahaya. Jika sampai melakukan itu, maka dia tak pantas disebut bangsawan. 

Karena kehormatan itu datang dari tindakan yang pantas dihormati. 

Maka, Fine mengabaikan Geed. 

“Kami akan menerima anak-anak, orang tua, dan orang sakit terlebih dahulu ke dalam mansion. Bagi yang sehat, silakan berkumpul di bangunan besar dan memperkuat pintu masuk. Tsunami ini adalah migrasi besar monster. Mereka tidak mengincar nyawa manusia. Sekalipun ada monster yang menerobos Keer, jika kita bisa menghambat mereka, kita punya harapan. Jika kalian setuju, aku akan buka gerbangnya.” 

“F-Fine? Ini aku, Geed! Kamu tidak ingat?” 

“Aku ingat dengan jelas. Tuan Geed dari keluarga Holtzwart.” 

“Oh, syukurlah. Kalau begitu, bolehkah aku masuk?” 

Nada suaranya seakan menganggap itu adalah hal yang wajar. Fine, yang sudah bersabar, akhirnya merasa jengkel. 

Memikirkan Arnold, mungkin lebih baik jika dia menerima Geed. Tak ada gunanya menciptakan permusuhan. 

Namun, Fine menolak. Karena menurutnya itu bukanlah kehendak Arnold. 

Maka...

“Kamu harusnya malu pada dirimu sendiri! Kamu tidak ikut bertempur bersama Yang Mulia Kaisar, dan malah ingin menyelamatkan diri sendiri! Kamu tak malu pada leluhur keluarga Holtzwart yang membangun nama besar itu!?” 

“Apa...! Berani-beraninya! Tahukah kamu siapa aku!?” 

“Aku tak peduli siapa dirimu. Mansion ini hanya akan menerima anak-anak, orang tua, dan orang sakit. Selain itu, silakan pergi ke tempat lain. Ini adalah keputusan Putri Christa. Jika kamu ingin membuang-buang waktu lebih lama, silakan laporkan tindakanku pada Kaisar nanti. Tapi menurutku jelas siapa yang layak dihukum.” 

“Keparat...! Jangan besar kepala hanya karena Leonard ada di belakangmu! Akan kubalas ini! Aku takkan memaafkanmu!” 

Setelah berkata begitu, Geed pergi dari tempat itu bersama pengikutnya. 

Fine menghembuskan napas panjang sambil memandangi mereka pergi, lalu memerintahkan gerbang dibuka dengan senyum tenang. 

Melihat itu, warga saling mengingatkan satu sama lain tanpa perlu disuruh, memasukkan anak-anak, orang tua, dan orang sakit ke mansion, sementara sisanya pergi ke tempat lain. 

Setelah memprioritaskan penerimaan warga, Fine memerintahkan para pelayan untuk menghalangi pintu masuk rumah dengan perabot. 

“Tutup sekuat mungkin! Jika monster datang, kita semua akan menahan mereka! Kalau bisa memaksa mereka berbalik arah, itu sudah cukup!” 

“Ya, Nona Fine!” 

“Nona! Putri Christa memanggil Anda!” 

“Aku akan segera ke sana. Jangan takut, semuanya. Para kesatria pasti akan datang menolong kita.” 

Fine berbicara dengan suara cerah pada warga yang telah masuk ke dalam mansion. 

Dia tahu, setidaknya dirinya sendiri harus tetap tersenyum. Karena hanya itu yang bisa dia lakukan. 

Sebagai putri bangsawan, Fine memiliki dasar-dasar sihir, tapi dia hanya andal dalam penyembuhan, jadi dia benar-benar tak berguna ketika bertarung menggunakan sihir.

Dia tidak bisa bertarung berani seperti Elna. 

Itu membuatnya merasa bersalah. Dia meninggalkan wilayah demi ingin berguna, namun belum pernah membantu Arnold sedikit pun. 

Mendampingi Christa adalah tugas pertama yang benar-benar Arnold percayakan padanya. Maka, dia bersumpah takkan meninggalkannya apa pun yang terjadi. 

“Kalau tak ambil serulingnya, monster akan terus datang...” 

Mendengar Christa menangis seperti itu, Fine teringat sesuatu. 

Percakapan antara Arnold dan Christa yang dia dengar secara tak sengaja di balik pintu. 

Christa bilang kota Keer akan dikepung monster. Dan kini, itu menjadi kenyataan. 

Arnold pun mendengarkannya dengan serius, jadi Fine yakin pasti ada dasar di balik kata-kata Christa. Maka dia memeluk Christa erat-erat. 

“Yang Mulia Putri. Tidak apa-apa. Jika Anda mencari seruling itu, biar saya yang mengambilnya. Tolong beritahu saya di mana letaknya.” 

“Tidak... Nanti kamu mati...” 

“Tidak apa-apa. Aku ini wanita yang beruntung. Dan kalau pun dalam bahaya, Tuan Arnold pasti akan menolongku.” 

“...Benarkah?” 

“Benar. Maka dari itu, tolong beri tahu aku. Di mana seruling itu berada?” 

“...Aku melihatnya jatuh di menara jam... Benda itu penyebabnya...” 

“Baiklah. Kalau begitu, biar saya yang pergi mengambilnya.” 

Tanpa menghiraukan para pelayan yang mencoba menghentikannya, Fine pun berlari menuju menara jam, bangunan tertinggi di pusat kota.


* * *


Menara jam yang berada di kota Keer berbeda skala dibandingkan menara-menara jam di kota lainnya.

Menara jam setinggi puluhan meter itu merupakan objek wisata ternama di kota Keer dan menjadi sumber daya pariwisata yang berharga. 

Fine menaiki menara jam itu sambil terengah-engah. 

Sementara itu, di udara, Elna tengah bertarung seimbang melawan Sam dan Dean. 

“Sial! Menyebalkan!” 

Dean akhirnya menyerah menggunakan cara frontal untuk mengalahkan Elna. Meskipun mereka berdua bisa saja menjatuhkannya, pertarungan itu memakan waktu terlalu lama. 

Dean memutuskan untuk menggunakan taktik licik. 

Yang xia keluarkan adalah seruling sihir pengendali monster, Hamelin. Jika dia menambah jumlah monster dengan itu, maka Elna sebagai seorang kesatria akan dipaksa untuk kembali melindungi Kaisar. 

Kalau itu terjadi, Dean dan Sam hanya perlu menonton dari tempat yang aman. 

Dean mengangkat seruling Hamelin ke mulutnya untuk memanggil lebih banyak monster ke Keer. Namun, Elna, yang merasakan bahaya dari nalurinya, langsung meluncurkan serangan ke arah Dean. 

“Tidak akan kubiarkan!” 

“Sial!!” 

Dean menghindar secara refleks, tetapi seruling Hamelin terlepas dari tangannya dan jatuh ke arah kota Keer. 

Melihat itu, Dean panik dan segera mengejarnya. 

“Tidak!” 

“Berhenti di situ!” 

Seruling itu bukan milik Dean. Itu adalah benda yang diberikan oleh sekutu mereka, dan dengan seruling itu, mereka menyusun rencana melibatkan Carlos dalam konspirasi kali ini. 

Namun, dari sekutu mereka, Dean telah diperintahkan dengan tegas untuk menghancurkan seruling itu. Itu adalah bagian dari kesepakatan. 

Tanpa bantuan sekutu tersebut, bahkan jika mereka berhasil bertahan hidup, melarikan diri dari sini akan nyaris mustahil. Menghancurkan seruling adalah satu-satunya cara agar mereka bisa tetap hidup. 

Itulah sebabnya Dean mati-matian mengejar seruling itu. Melihat kesungguhannya, Elna pun merasa ada yang sangat mencurigakan dan ikut mengejar seruling tersebut. 

Keduanya bertabrakan di udara berkali-kali, sementara seruling itu terus jatuh dengan kecepatan tinggi. 

Dan tepat saat mencapai menara jam, sebuah tangan putih menjulur keluar dan menangkap seruling itu. 

“...!”

Fine, yang hampir terjatuh karena momentum tangkapannya, berhasil mempertahankan tubuhnya tetap bergantung pada menara jam. 

Dia menarik napas lega karena berhasil menangkap seruling itu, namun suara tajam Elna segera menyusul dari atas. 

“Lari! Fine!” 

Saat Fine mendongak, bola sihir yang ditembakkan Dean menghantam bagian atas menara jam. 

Akibatnya, pijakan Fine runtuh, dan dia terjatuh dari ketinggian. 

Namun, Fine mengabaikan semua itu. 

Sejak awal dia sudah siap menghadapi bahaya. Karena itulah, sebelum tubuhnya benar-benar jatuh, dia melemparkan seruling itu ke arah Elna yang sedang meluncur mendekat. Elna menangkap seruling itu dengan ekspresi terkejut, dan Fine pun tersenyum melihatnya.

“Akhirnya... Aku bisa berguna juga.” 

“Dasar gadis sialan!” 

Diliputi amarah, Dean melemparkan bola sihir ke arah tubuh Fine yang jatuh. 

Fine tidak memiliki kemampuan untuk menghindari bola sihir itu di udara. 

“Fineeeeee!” 

Teriakan Elna menggema di langit. 

Sambil mempercayakan nasib Arnold pada Elna, Fine perlahan menutup matanya. 

Sesaat sebelum dia memejamkan mata, dia merasa seolah melihat sesuatu bersinar jauh di langit. Namun, Fine tak punya waktu atau tenaga untuk memikirkannya. 

Dia sudah siap menutup mata dengan penuh keteguhan, tetapi rasa sakit dan hantaman yang dia duga akan datang, tidak pernah datang. 

Yang dia rasakan justru adalah kehangatan. 

Dengan takut-takut, dia membuka matanya, dan di sana, dia mendapati dirinya berada dalam pelukan seorang petualang bertopeng perak. 

Fine kehilangan kata-kata karena terkejut. Kata-kata bahwa Arnold akan menolongnya hanyalah untuk menenangkan Christa. Dia tak benar-benar mengira seseorang akan datang menolong. 

Namun bukan hanya Fine yang terkejut. 

Dean juga tertegun melihatnya. 

“Kamu... Berani-beraninya melenyapkan peluru sihirku... Siapa kamu sebenarnya? Sebutkan namamu.” 

“...Aku Silver. Petualang peringkat SS dari cabang ibukota Guild Petualang. Aku datang untuk membasmi kalian.” 

Topeng perak yang mencolok dan jubah hitam pekat. 

Petualang terkuat sepanjang sejarah Kekaisaran telah menunjukkan dirinya di tempat itu.

 

Bagian 6

Yang kulihat saat berpindah ke udara adalah pemandangan Elna tengah bertarung melawan dua sosok yang tampaknya adalah vampir. 

Sejujurnya, hal seperti itu saja tidak membuatku terkejut. 

Yang membuatku benar-benar terkejut adalah kenyataan bahwa Fine berada begitu dekat dengan pertempuran itu. 

Fine yang telah memanjat menara jam terus mengamati ke atas dengan penuh kewaspadaan. 

Kemudian, saat Elna berhasil memukul jatuh seruling dari tangan salah satu vampir, Fine merentangkan tangan sekuat tenaga dan berhasil menangkapnya. 

Melihat itu, aku langsung bergerak. 

Aku menukik turun dengan kecepatan maksimum. Menyematkan segala macam sihir pendukung, aku meluncur seperti meteor menuju tempat Fine berada. 

Vampir yang kehilangan serulingnya menghancurkan menara jam, dan Fine pun terlempar keluar. 

Namun saat itu, Fine tidak mencoba menyelamatkan dirinya. Dia justru melemparkan seruling itu ke arah Elna. 

Wajah Fine yang jatuh terlihat begitu puas. Dan aku sangat membenci ekspresi itu, hingga tubuhku bergerak semakin cepat. 

“Dasar gadis sialan!” 

Vampir itu melepaskan peluru sihir. 

Tepat sebelum sihir itu mengenai Fine, aku memukul peluru sihir itu menjauh dan menangkap Fine di udara. 

Rasa hangat yang kurasakan dari tubuhnya membuatku menghela napas lega. Aku berhasil. Aku sempat menyelamatkannya. 

Mungkin ini pertama kalinya dalam waktu lama aku merasa begitu panik. 

Dan... Mungkin juga sudah lama aku tidak merasa semarah ini. 

“Kamu... Berani-beraninya melenyapkan peluru sihirku... Siapa kamu sebenarnya? Sebutkan namamu.” 

 “Aku Silver. Petualang peringkat SS dari cabang pusat Guild Petualang. Aku datang untuk membasmi kalian.” 

Dengan penuh kemarahan, aku menjawab dengan tenang. 

Itu adalah sebuah pernyataan. Bahwa mereka tidak akan kubiarkan lolos. 

“T-Tuan Silver...?” 

“Jangan bertindak sembrono lagi.” 

“Maaf... Aku bertindak gegabah lagi...” 

“Kita bicarakan nanti. Tapi... Kamu sudah melakukan yang terbaik. Serahkan sisanya padaku.” 

Saat kugosok lembut kepala Fine, pipinya memerah samar. Setelah menurunkan Fine ke tanah, aku menatap para vampir yang berada di udara. 

Dari semua vampir, hanya ada dua yang mungkin merencanakan kejahatan sebesar ini. 

Dua vampir pemberontak yang dijadikan buronan oleh Guild Petualang, Sam dan Dean, buronan peringkat S. 

“Tuan Silver! Semoga Anda menang...!” 

“Ya. Serahkan padaku.” 

Setelah menjawab begitu, aku dengan mulus melayang naik ke langit. 

Sam dan Dean yang kini siaga penuh menatapku bersamaan. 

Tentu saja. Untuk mencapai peringkat SS, seseorang harus telah mengalahkan monster peringkat S. Artinya, aku pernah mengalahkan lawan yang sebanding atau bahkan lebih kuat dari mereka berdua. 

“Tak kusangka seorang petualang SS akan muncul... Aku terkejut juga.” 

“Sialan! Satu demi satu pengganggu datang! Kalian ini, jangan ganggu rencana kakakku!” 

Yang berteriak histeris itu sepertinya si adik, Sam. 

Dengan kata lain, yang lebih kuat dari mereka adalah sang kakak. 

“Akupun sama terkejutnya. Setelah jadi buronan, kalian berdua sempat menghilang. Aku kira kalian takut keluar karena tahu bahwa setiap pergerakan kalian akan memanggil petualang SS. Kalian hidup dalam rasa takut, bukan?” 

“Jangan menghina kami! Kami hanya menunggu waktu yang tepat!” 

“Tapi sekarang kalian kehilangan momen itu. Berkat perjuangan pasukan penjaga dan para kesatria, para monster telah tertahan. Dan sekarang aku di sini. Rencana kalian sudah berakhir.” 

“Hmph! Jangan sok menang! Serulingnya memang direbut, lalu kenapa? Masih banyak monster di luar sana. Kalau kami bisa mengalahkanmu dan si pahlawan itu, maka kamilah pemenangnya!” 

Apa-apaan mereka ini? 

Mereka ingin menghadapi aku dan Elna secara bersamaan? 

Terkejut, aku melirik ke arah Elna, dan dia juga tampak tidak senang. 

“Kita benar-benar diremehkan. Padahal mereka hanya bisa seimbang saat berdua melawan satu.” 

“Yang meremehkan justru kalian! Kami belum serius sama sekali!” 

“Kalau begitu, tunjukkan padaku. Atas nama Armsberg, akan kucincang kalian sampai habis!” 

“Tidak, Elna von Armsberg. Meski kamu bersemangat, aku yang akan mengurus mereka.” 

Kepada Elna yang baru saja dengan gaya anggun mengarahkan pedangnya, aku mengucapkan itu dengan tegas. 

Elna pun langsung menatapku. 

Keningnya berkerut, ekspresinya seolah tak percaya, dan dia menatap tajam ke arahku. Itu bukanlah wajah yang seharusnya dimiliki seorang gadis. 

“Silver? Apa aku salah dengar? Baru saja aku dengar kamu mau merebut buruanku?” 

“Aku tak pernah bilang seperti itu. Sepertinya telingamu memang buruk. Sebagai kesatria, lindungilah Kaisar. Urusan vampir ini serahkan padaku.” 

“Kamu! Itu sama saja artinya! Diamlah di sana! Aku yang pertama kali menghadapi mereka!” 

“Kelihatannya Kaisar dikelilingi tanpa perlindungan.” 

“Beliau yang memerintahkanku untuk bertarung! Aku tidak akan mundur! Dan lagi! Mereka mengucapkan kata-kata yang paling kubenci! Aku sudah memutuskan untuk menebas mereka! Menyingkirlah. Kalau tidak, kamu juga akan kutebas.” 

Seram sekali. 

Dia benar-benar murka. Apa sebenarnya yang diucapkan para vampir itu? 

Tadinya aku ingin menyuruh Elna bantu Leo, tapi sepertinya itu tidak akan berhasil. 

“Hah! Kalian tampak tenang sekarang karena ada pahlawan dan petualang SS di sini. Tapi sadarkah kalian, situasinya hanya seimbang?” 

“Seimbang? Menurutku, kalianlah yang sedang terdesak.” 

“Silver, kamu tak lihat situasi di bawah? Kaisar hampir terbunuh. Dan si pahlawan di sini tampak tak sabar ingin bertarung. Kenapa kamu tak pergi bantu saja? Bukankah petualang yang berafiliasi dengan Kekaisaran harus melindungi Kaisar?” 

Situasi di bawah memang sedang kritis. 

Salah satu dari kami seharusnya turun membantu. Jika keadaannya tetap seperti ini. 

Namun, ada satu kesalahan besar dalam logika mereka. 

“Aku bukan bagian dari Kekaisaran. Aku dari Guild. Petualang bertugas melindungi rakyat di seluruh benua, bukan negara. Kami tak punya kewajiban melindungi kerajaan. Lagipula, kami tak menerima bayaran dari negara. Jujur saja, kalau Kaisar mati, itu bukan urusanku.” 

“Apa!?” 

“Kalau tidak ingin dia mati, biar orang lain yang melindunginya. Yang kulindungi adalah rakyat kota ini, bukan golongan istimewa. Yang kulindungi adalah rakyat negeri ini, bukan negerinya. Tugas menjaga negara adalah milik para bangsawan dan kesatria yang diberi jabatan dan pungutan pajak. Jika mereka tak menjalankan tugasnya, maka tak ada gunanya mereka hidup. Jadi aku takkan mencuri pekerjaan mereka.” 

“Mencuri pekerjaan?” 

Dean tampaknya bingung mendengar cara bicaraku. 

Dan jawabannya segera datang. 

Di sisi selatan kota Keer. 

Terdengar suara derap kaki menghentak bumi dari arah samping gerombolan monster. Seperti guntur yang menggelegar, suara itu terus mendekat dan berhenti saat sosok seorang bangsawan muncul. 

“Itu...”

“Wahai para kesatria! Ini adalah perintah dari Pangeran Kedelapan, Leonard Lakes Ardler! Lindungi kota Keer!! Teruskan!!” 

Dengan seruan itu, Leo memimpin ribuan kesatria dan melancarkan serangan besar-besaran. 

Gerombolan monster tak sempat bereaksi terhadap munculnya pasukan kesatria yang tiba-tiba ini. 

Saat Sam dan Dean hendak bergerak untuk menghalangi, aku dan Elna masing-masing berdiri menghalangi mereka. 

“Silver, kalau begitu begini saja. Yang itu milikmu. Yang ini milikku, ya?” 

“Itu tawaran yang bagus. Aku terima.” 

Kami saling menetapkan target dan langsung bersiap untuk bertempur. 

Sementara itu, pasukan kesatria yang dipimpin Leo menggilas monster seperti arus banjir. Monster-monster yang sudah dalam keadaan kalap hanya bisa melihat ke depan. Saat diserang dari samping, mereka tak punya waktu untuk bereaksi. 

Yah, cepat atau lambat mereka pasti menganggap para kesatria sebagai ancaman dan mulai melawan, tapi untuk sementara ini seharusnya masih aman. 

Dalam waktu yang mereka berikan itu, aku akan menyelesaikan urusanku di sini. 

Pertempuran terakhir dalam perang pertahanan Keer pun akhirnya dimulai.


* * *


“Sial...! Manusia rendahan!!”

Dean menembakkan rentetan peluru sihir sambil bergerak, dan aku membalas satu per satu sambil mengejarnya. 

Cahaya berkilauan di langit seperti kembang api. 

Dean tampaknya semakin frustasi melihat pemandangan itu. 

Memang, saat bertarung dengan Elna, mereka belum bertarung serius. Sekarang jelas sekali bahwa kekuatan mereka meningkat. Sepertinya sebelumnya mereka masih menyisakan tenaga untuk melarikan diri, tapi kini karena tak ada jalan keluar, mereka terpaksa mengeluarkan kekuatan penuh. 

Menampakkan taring tajam khas vampir, Dean mendekat padaku. 

Tampaknya dia menyadari bahwa serangan sihir tak akan menyelesaikan apa pun. Wajar, dia memang terbiasa bertarung. 

“Tch!” 

Sambil mengeklik lidah, aku mencoba menangkis serangannya dengan sihir, tapi Dean dengan mudah menghindarinya. 

Saat aku hendak menjauhkan diri, dia lebih cepat memasuki jarakku dan menghantamkan tinjunya ke perutku. 

“Ugh!” 

“Ha! Bagaimana, petualang peringkat SS!?” 

“Diam!” 

Sihir yang kulepaskan sebagai serangan balasan berhasil dia hindari, dan Dean langsung bergerak ke belakangku. 

Sial. Aku segera mengalirkan sihir ke seluruh tubuhku sebagai perlindungan. 

Dean menyatukan kedua tangannya dan mengayunkannya keras ke arahku. 

Seperti dihantam palu raksasa, aku terlempar ke bawah dan menghantam jalan utama kota. 

“Ugh... Sial, seenaknya main hantam saja...”

“Kenapa? Saat aku serius begini, kamu tak bisa berbuat apa-apa ya?” 

“Apa yang kamu lakukan! Lawanmu tidak sekuat itu, kan! Kamu sengaja menahan diri? Sengaja, ya!? Apa kamu pikir gaya bertarung santai seperti itu keren? Sama sekali tidak keren!” 

Lawan mengejek, dan entah kenapa, sekutuku sendiri juga memarahiku. 

Menjadi petualang memang tak mudah. 

Tapi, hal seperti ini masih bisa kuterima. 

Untuk adikku yang berharga, para kesatria yang dia libatkan demi dirinya, para penjaga kota yang kukorbankan untuk memperlancar perebutan takhta.

Dan warga yang tinggal di kota ini. 

Demi mereka, maka luka semacam ini tak ada artinya. 

Namun, sepertinya batas kesabaranku sudah hampir habis. 

“Dasar bodoh! Kami bersembunyi selama ini karena takut pada manusia macam kalian! Tapi ternyata cuma begini! Kalian hanyalah manusia biasa!” 

“Jadi kalian memang bersembunyi, ya? Vampir ternyata tidak seistimewa yang dibayangkan.” Sambil berkata demikian, aku bangkit berdiri seolah tak terjadi apa-apa. 

Tak ada luka di tubuhku. Tak ada rasa sakit juga. 

Dean tampak terkejut melihat itu, tapi segera menyadari ada sesuatu yang janggal di sekitarnya. 

“Gyaaah! Tanganku...! Hah? Apa ini!?” 

“Sakit! Sakit...? Tapi... sudah sembuh!?” 

Baik pasukan penjaga di balik dinding kota Keer, maupun kesatria-kesatria yang dipimpin Leo dan menyerbu ke arah gerombolan monster.

Sejak aku tiba, tak ada satu pun yang mati. 

Luka mereka langsung sembuh seketika. 

“Jangan-jangan... Kamu menggunakan penghalang penyembuh sambil bertarung...!?”

“Kamu setengah benar.” 

Yang kugunakan bukan hanya penghalang penyembuh. 

Sejak pertama tiba, aku membentuk penghalang penyembuh, mempertahankannya sambil bertarung, dan pada saat yang sama mempersiapkan sihir lainnya. 

Dan kini, persiapan itu telah rampung. 

“Aku membentuk dua penghalang sekaligus sambil bertarung. Salah satunya baru saja selesai.” Saat aku mengucapkan itu...

Sebuah lingkaran sihir raksasa muncul dan melingkupi seluruh kota Keer. Dari sana, rantai-rantai dalam jumlah besar muncul dan melilit Dean dan Sam. 

“Apa ini...!?”

“Sial! Lepaskan!”

“Kalian tak akan bisa melepaskannya. Ini adalah Sihir Kuno: Penghalang Rantai Kutukan. Siapa pun yang terikat olehnya akan dikutuk dan kehilangan kekuatan. Nah... Sudah siap?” 

Saat orang sedang sibuk-sibuknya, kalian seenaknya menghantam ke sana kemari. 

Sekarang waktunya hukuman.

 

Bagian 7

Rantainya terus bertambah banyak.

Itu berarti kutukan pelemahan juga terus bertambah.

Setelah menangkap mereka berdua, aku perlahan naik ke udara. Dengan ini, mereka tak lebih dari serangga. Tinggal dimusnahkan saja. 

“Kekuatan vampir terletak pada sihirnya yang luar biasa besar. Mereka memang berumur panjang, tapi selain sihir, kekuatan fisik mereka tak jauh beda dengan manusia. Artinya, jika sihir mereka disegel, mereka bukanlah ancaman.”

“Tunggu! Rantai ini juga mengejarku, tahu!” 

“...”

Padahal aku sedang mencoba tampil keren, tapi perempuan ini...

Saat aku menoleh, memang benar rantainya mengejar Elna. Mungkin karena aku menyetel agar rantai itu otomatis menangkap siapa pun yang punya niat bermusuhan padaku.

Tapi kenapa dia tidak tertangkap? Dia ini benar-benar manusia, bukan? Padahal seharusnya sihir ini aktif secara tiba-tiba. 

“Maaf. Aku menyetel sihir ini agar menangkap siapa pun yang punya niat bermusuhan denganku.” 

Saat aku menghentikan rantainya dengan tatapan, Elna terengah-engah sambil menatapku tajam.

Aku tertawa kecil melihatnya, dan wajah Elna langsung memerah. 

“Kamu ini, berusaha mengikat rekan sendiri dengan rantai sihir!? Gila ya!?” 

“Rantai ini tidak bereaksi pada mereka yang menganggapku sebagai teman. Kamu saja yang terlalu memusuhiku. Lagipula, rantai itu tidak terlalu menyusahkan, kan?” 

“Kamu masih dendam soal waktu itu ya!? Kekanak-kanakan sekali! Aku hanya mengkhawatirkanmu karena kamu sedang terdesak, tahu!” 

“Kalau khawatir lalu memaki, orang-orang di sekitarmu pasti sangat menderita.” 

Wajah Elna memerah sepenuhnya. Jelas sekali dia sedang marah.

Melihat Elna seperti itu cukup menghibur, tapi masih ada urusan yang harus dibereskan. 

“Maaf, aku terlalu lama meladeni si kesatria cerewet ini. Sampai mana tadi? Ah, ya. Kalau sihir vampir disegel, mereka tidak lebih dari makhluk lemah.” 

“Berani-beraninya kamu menghina kami!” 

“Lepaskan! Kalau kamu lepaskan, aku akan membunuhmu, dasar manusia sialan!” 

“Kalau mau bebas, lepaskan sendiri saja. Meski butuh seumur hidup pun takkan bisa. Nah... Sekarang waktunya penghakiman. Ada yang ingin kalian sampaikan?” 

Aku mulai mengumpulkan sihir dalam jumlah besar di kedua tanganku. Sihir ini jauh berbeda dari semua yang kugunakan sebelumnya. Melihat itu, Sam dan Dean mulai berkeringat dingin. 

“T-Tunggu...! Kamu tak punya dendam pribadi pada kami, kan? Kalau kamu membiarkan kami pergi, kami akan membalas budi!” 

“Dendam, ya... Bukan berarti tak ada.” 

Tadi, Dean jelas-jelas mengincar Fine. Kalau aku ingat kembali kemarahan waktu itu, aku bisa membunuh mereka beribu kali tanpa ragu.

Fakta bahwa dia menargetkan Fine. Fakta bahwa Fine berada dalam bahaya. Meski Fine tidak terluka sedikit pun, itu saja cukup membuat mereka layak dihukum mati. 

“Kami tak pernah menyakitimu! Kamu bukan datang karena permintaan guild, kan? Harusnya menunggu kontrak resmi untuk membasmi kami!” 

“Manusia itu makhluk yang rumit. Tak ada yang tahu kapan dan kenapa mereka menyimpan dendam. Dan meskipun bukan karena permintaan guild, aku tetap seorang petualang. Di mana pun aku berada, status itu tak berubah. Baik dengan kontrak atau tidak, aku punya kewajiban untuk melindungi rakyat dari monster.” 

“K-Kami bukan monster!” 

“Guild sudah mengklasifikasikan kalian sebagai monster. Dan apa yang kalian lakukan pun tak ada bedanya. Masih ada yang ingin kalian katakan? Kalau kalian sebutkan siapa dalangnya, mungkin kesatria di sebelahku akan mengampunimu.” 

Sambil berkata begitu, sihirku semakin kuat.

Jelas sekali aku hendak melancarkan serangan yang benar-benar berlebihan. Kedua vampir itu pasti tahu bahwa nyawa mereka akan berakhir.

Namun, meski wajah mereka berubah karena ketakutan, Sam dan Dean tetap tak membuka mulut.

Apakah karena setia? Atau karena dalangnya begitu menakutkan? Kurasa bukan karena kesetiaan. Mereka ini bukan tipe yang punya perasaan seperti itu. Jadi kemungkinan kedua. Siapa sebenarnya orang yang bisa membuat dua buronan kelas S ketakutan begini? 

“Ayo cepat bicara! Kalau tidak, kalian akan kubunuh.” 

“K-Kami adalah vampir yang bangga! Kami tak akan tunduk pada manusia!” 

“Begitu ya. Kalau begitu, kita akhiri saja. Aku juga sudah selesai bersiap.” 

Mendengar itu, akulah yang paling terkejut. Kedua vampir itu belum menyadarinya, tapi kalau Elna bilang sudah siap, sudah pasti maksudnya itu. 

“Eh, Elna von Armsberg? Jangan-jangan kamu mau memanggil pedang suci itu?” 

“Dan kalau iya kenapa?” 

“Cukup aku saja! Apa kamu mau menghancurkan kota ini!?” 

“Tenang saja, aku akan menyesuaikan kekuatannya. Lagipula, ada seseorang yang sudah repot-repot mengikat lawanku, jadi aku bisa bebas mengeluarkan ini.” 

“H-Hei...” 

“Aku adalah anggota keluarga Armsberg. Musuh kekaisaran harus dibasmi. Aku tidak akan menyerahkannya padamu!” 

Elna mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke langit. Lalu, “Dengarlah panggilanku dan turunlah! Pedang bintang yang bersinar gemilang! Sang pahlawan kini memanggilmu!” 

Cahaya putih turun dari langit.

Cahaya itu ditangkap oleh tangan Elna, lalu berangsur memudar dan berubah menjadi pedang tipis berkilauan berwarna perak. 

Pedang suci legendaris, Aurora, yang digunakan sang pahlawan lima ratus tahun yang lalu untuk menaklukkan Raja Iblis. Konon pedang itu dibuat dari meteor, dikatakan dapat membelah segalanya dan menolak keberadaan iblis sepenuhnya.

Karena kekuatannya yang terlalu besar, pedang itu disegel oleh pahlawan pertama keluarga Armsberg, hanya bisa dipanggil oleh orang yang benar-benar layak.

Mampu untuk memanggilnya berarti orang itu layak menjadi seorang pahlawan.

Elna mampu memanggilnya di usia dua belas tahun. Inilah alasan dia disebut anak ajaib. 

“Ugh...!!” 

Sebagai pedang yang pernah mengalahkan Raja Iblis, keberadaannya saja sudah memberi tekanan luar biasa.

Di tangan Elna, yang kekuatannya luar biasa, pedang itu menjadikannya sosok yang tak terkalahkan. Inilah mengapa negara-negara lain takut pada keluarga Armsberg. Jika pedang suci ini dipanggil, bahkan satu pasukan pun bisa dilenyapkan dalam satu tebasan. 

Meski sebenarnya, kasus pemanggilannya sangat jarang. Dan Elna memanggilnya hanya karena kesal. 

“Ayo... Bersiaplah.” 

“Sungguh... Baiklah, lawan itu kuberikan padamu.” 

“Hmph! Dari awal dia memang milikku! Aku hanya membiarkanmu ambil bagian!” 

“Ya ya, anggap saja begitu.” 

Aku mundur selangkah dan mulai melantunkan mantra. Sampai sekarang aku belum pernah menggunakan mantra dalam pertarungan, tapi untuk menghancurkan mereka sepenuhnya, sihir berkekuatan maksimum diperlukan. 

“Akulah sang perampas. Aku merebut hitam dari dasar neraka. Hitam itu lebih gelap dari kegelapan. Hitam itu lebih pekat dari malam. Kegelapan laut lepas. Kegelapan yang mutlak. Segala sesuatu lahir dari hitam itu. Segala sesuatu kembali pada hitam itu. Infinity Darkness.” 

Sebuah bola hitam raksasa muncul di atas kepalaku.

Untuk menandingi kegelapan yang melahap segalanya itu, cahaya putih raksasa menjulur dari pedang suci Elna ke atas, seolah ingin menggapai langit. 

Hitam dan putih. Kegelapan dan cahaya.

Dua kekuatan yang tak pernah bisa bersatu. Namun, hasil akhir bagi siapa pun yang terkena tetap sama. 

Kami mengatur arah serangan kami. Toh, sekalian saja memusnahkan para monster. Kebetulan, Leo dan pasukannya sedang bersiap melakukan serangan ulang setelah menembus kawanan monster. 

Sekilas kulihat tak ada manusia di tengah-tengah monster.

Namun, untuk berjaga-jaga, kami memberi peringatan. 

“Siapa pun yang masih di antara kawanan monster, cepat pergi dari sana!” 

“Tak ada jaminan kami bisa menghindarkanmu dari ledakan ini!” 

Mereka saling menyeru satu sama lain. Mendengar seruan itu, Leo dan para kesatria segera mundur menjauhi kawanan monster, dan para penjaga di atas dinding juga mulai mengungsi. 

Sementara itu, monster-monster yang menjadi target hanya bisa terpaku menatap langit.

Mungkin ada beberapa yang tak pernah menyakiti manusia dan hanya ingin hidup damai. Tapi, maaf. Begitu kalian menyerang manusia, walau karena dimanfaatkan, kalian tak bisa dibiarkan hidup. 

Mereka menyerang demi melindungi sesama, dan kami juga harus melindungi sesama manusia.

Itu saja permintaan maaf yang bisa kuberikan dalam hati. Sedangkan dua vampir di depanku, tak ada ampun untuk mereka. 

“Ayo... Tapatkan gigimu.” 

“Bertobatlah!” 

“Aaahhhhh!”

“Uwaaaaaaaa!” 

Bola hitam menelan Dean dan seluruh kawanan monster bersamanya.

Pedang suci Elna juga menelan Sam dan seluruh monster di jalurnya.

Seolah saling bentrok, dua kekuatan itu saling menelan dan menghancurkan segalanya, hingga tak tersisa apa pun. 

Tak ada sorak kemenangan. Kulirik sekilas, sang kaisar memandang kami dengan wajah keheranan. Mungkin menurutnya kami sudah keterlaluan.

Ya, toh yang akan dimarahi cuma Elna. Tak apa-apa. 

Oh, ngomong-ngomong...

“Yang Mulia Kaisar! Kali ini aku bertindak sebagai individu. Tapi... Semoga ini cukup untuk membuat Anda berpikir dua kali sebelum meremehkan guild ke depannya.” 

“Hmm... Baiklah. Terima kasih atas bantuanmu, Silver.” 

Dengan ini, pihak guild juga akan puas, dan takkan mempersoalkan masalah ini lagi.

Aku membungkuk pada kaisar dan mulai mempersiapkan sihir perpindahan.

Saat itulah Elna memanggilku. 

“Silver.”

“Apa lagi? Masih mau mengomel?” 

“Banyak, sih. Tapi kali ini aku akan tahan. Terima kasih, terutama karena sudah menyelamatkan Fine. Dia temannya teman masa kecilku.” 

“Teman masa kecil maksudmu si Pangeran Sisa itu?” 

“Kamu tahu... Aku baru saja memusnahkan vampir yang berani mengucapkan kata-kata itu. Kalau kamu juga ingin dibinasakan, lanjutkan saja. Teman masa kecilku adalah pangeran terbaik. Aku takkan mengizinkan siapa pun menghina dia di depanku!” 

Sambil berkata begitu, Elna mengacungkan pedang sucinya padaku.

Tatapannya serius. 

Dia benar-benar siap bertarung denganku demi kehormatan sang pangeran. 

Aku hanya bisa tersenyum kecut dan membalas. 

“Aku minta maaf. Kalau sampai kamu bilang seperti itu, maka menyebutnya Pangeran Sisa memang tidak pantas. Tapi, aku juga merasa kasihan padanya. Punya teman masa kecil sepertimu pasti sangat merepotkan.” 

“Apa!?” 

“Kalau begitu, sampai jumpa.” 

Dan sebelum Elna sempat melontarkan omelannya, aku sudah menghilang dengan sihir perpindahan.

Dan ketika aku akhirnya tiba di ruangan tempat Sebas menunggu, aku memaksa tubuhku yang terasa berat untuk melepaskan topeng dan jubah. 

“Selamat datang kembali. Saya sudah menyiapkan teh untuk Anda.”

“Terima kasih... Maaf sudah merepotkan...”

“Kelihatannya Anda sangat kelelahan.”

“Iya... Seperti yang bisa diduga, ya...” 

Setelah serangkaian sihir perpindahan, ditambah pengaktifan penghalang penyembuhan, penghalang kutukan rantai, dan sihir serangan terakhir, belum termasuk sihir-sihir lainnya yang juga menguras banyak energi sihir, jujur saja, energi sihirku hampir habis total. Begitu pula dengan tenaga fisikku. 

“Aku lelah... Dan ngantuk...”

“Serahkan urusan sisanya pada saya.” 

Setelah menyesap sedikit teh, aku mulai mengantuk di atas kursi. Aku mencoba untuk bangkit dan menuju tempat tidur, namun tubuhku tidak mau bergerak. 

Di tengah keadaan itu, suara lembut Sebas terdengar di telingaku. 

“Benar-benar kerja keras yang luar biasa. Anda sudah melakukan yang terbaik, Yang Mulia Arnold.”

“Begitu ya... Kalau begitu, aku rasa tak ada salahnya kalau aku istirahat...” 

Entah kapan terakhir kali aku mendapat pujian dari Sebas.

Dengan pikiran itu, aku pun membiarkan kesadaranku perlahan menghilang dalam kantuk yang begitu nyaman.

 

Bagian 8

Tiga hari telah berlalu sejak insiden itu terjadi.

Di antara anak-anak sang kaisar, akulah yang terakhir tiba di kota Keer.

Meskipun saudara-saudaraku tidak sempat ikut serta dalam pertempuran, mereka tetap terus berlari bersama para kesatria, dan kabarnya malam itu mereka hampir semuanya sudah berkumpul. 

“Kali ini pun pasti kamu akan jadi bahan olokan lagi.”

“Biar saja. Kalau mau mengejek, biar saja.” 

Sambil bertukar kata seperti itu dengan Sebas, aku turun dari kereta di depan kediaman.

Namun, hal yang jarang terjadi, ada orang-orang yang menyambut kedatanganku. 

“Kakak...!”

“Hup, ada apa, Christa?”

“Aku ketakutan sekali...”

Seperti biasa, Christa memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil berlari kecil dan menubrukku. Setelah mengusap kepalanya beberapa kali, aku menggenggam tangannya dan melangkah maju.

Yang menyambutku adalah Fine, Leo, dan juga...

“Selamat datang kembali, Al.”

“Selamat datang, Yang Mulia Pangeran Arnold.”

“Ya, aku pulang.” 

Elna dan para bawahannya berdiri berjajar menyambutku. Dari penampilannya, tampaknya tak seorang pun mengalami luka. Aku menghela napas lega, lalu menoleh ke arah Leo. 

“Elna dan yang lainnya memang sudah sewajarnya, tapi kamu juga tiba tepat waktu ya?”

“Itu karena Silver membantu kami.”

“Sebagaimana layaknya petualang peringkat SS. Dia benar-benar orang yang hebat.”

“Al. Bagian mana dari pria itu yang membuatmu bilang dia hebat, hah?” 

Elna menunjukkan ekspresi tak puas. Aku hanya mengangkat bahu menjawabnya. 

“Bukankah dia sudah menolong kita? Menolong Kekaisaran.”

“Itu cuma karena dia iseng. Aku tahu persis.”

“Meski dia iseng, kita tetap tertolong, bukan? Betul tidak, Christa?”

“Iya.”

“Tuh, dengar sendiri.”

“Ugh, itu curang menyamakan pendapatku dengan Yang Mulia Christa!” 

Sambil melanjutkan obrolan itu, kami memasuki kediaman.

Dalam perjalanan, saat mataku bertemu dengan Fine, dia membalas dengan senyum lembut. Mungkin dia bermaksud bilang bahwa dirinya tak masalah dikesampingkan lebih dulu. Aku menafsirkan begitu saja dengan seenaknya, dan melangkah ke dalam bersama Christa yang masih menggenggam tanganku. 

Sebelumnya, sudah diberitahukan bahwa segera setelah aku tiba, Ayahanda akan memulai rapat. Tapi kemudian...

“Lama sekali kembali, Arnold. Apa saja yang kamu lakukan?”

“Wah, Kakak Eric. Karena tidak ada kesatria yang mendampingi, aku menunggu penjemputan. Mohon maaf atas keterlambatanku.”

“Tak perlu minta maaf. Kamu tak merasa bersalah juga, bukan?” 

Laki-laki berambut biru dan berkacamata itu berdiri menghadang di depan kami. Pangeran Kedua, Eric.

Tatapannya yang tajam meski tersembunyi di balik kacamata, seolah menilai segalanya hanya berdasarkan apakah sesuatu memiliki nilai atau tidak. Christa tampak takut dengan pandangan itu dan bersembunyi di belakangku. 

“Ada sedikit rasa bersalah, kok.”

“Salahku yang bertanya dengan cara yang kurang tepat. Maksudku, kamu tidak merasa bersalah pada kami, kan? Memang begitulah dirimu.”

“Kalau begitu, ya. Aku memang tidak merasa bersalah. Toh tidak menyusahkan siapa pun.” 

Aku hanya merasa bersalah kepada orang-orang dekatku. Tidak termasuk Eric, juga bukan kepada Ayahanda. Eric tertawa mendengar jawabanku. 

“Kamu memang menarik, Arnold. Mengirim Elna lebih dulu adalah keputusan tepat. Buatlah keputusan tepat seperti itu lagi ke depannya. Jika menurutku kamu berguna, kamu dan Leonard tidak akan kukasari.”

“Kamu berbicara seolah dirimu sudah jadi kaisar, ya?”

“Karena akulah kaisar selanjutnya. Apa pun yang dilakukan Gordon atau Zandra, bahkan kalian sekalipun, tak akan mengubah kenyataan itu. Ingat itu baik-baik.” 

Setelah berkata begitu, Eric memandangi kami sejenak, lalu tatapannya berhenti pada Leo.

Leo pun menatap balik dengan tegas. Itu benar. Tak perlu gentar, meski yang di hadapanmu adalah Eric. 

“Jangan terlalu besar kepala.”

“Akan kuingat baik-baik, Kak Eric.”


Elric pun membalikkan badan dan melangkah ke bagian dalam kediaman. Sementara itu, kami tidak bergerak sedikit pun.

Itu adalah deklarasi perang.

Kali ini, bisa dibilang kami berdua telah meraih prestasi.

Aku mengirim Elna secepatnya, dan Leo memimpin para kesatria untuk datang menolong. Memang ada bantuan dari Silver, tapi tetap saja itu prestasi.

Eric menyatakan bahwa jika kami jadi terlalu besar kepala karena itu, dia tak akan segan menghancurkan kami. 

Tampaknya kandidat kuat penerus takhta pun tak bisa lagi mengabaikan kami. Tapi dia hanya memberikan peringatan. Orang seperti dia takkan memakai cara sesederhana “menghancurkan langsung”. Jika kami tumbuh terlalu besar, dia pasti akan mengadu kami dengan Gordon atau Zandra. Kalau aku jadi dia, pasti akan kulakukan hal yang sama. 

“Kakak...”

“Ada apa? Kamu takut?”

“Tak usah khawatir. Kamu tidak akan disentuh. Dan tentu saja, kita pun tidak.” 

Aku tersenyum kecil melihat Christa yang mengangguk perlahan, lalu kami kembali melangkah. 

“Oh, Leo. Kalau nanti Ayahanda bertanya seperti ini, jawab saja begini.” 

Di tengah jalan, aku membisikkan sesuatu kepada Leo. Matanya langsung membelalak. Tapi aku kembali menegaskan padanya. 

“Kamu mengerti, kan?”

“Apakah benar-benar tak apa?”

“Ya. Hanya kamu yang bisa mengatakannya. Dan itu akan menyelamatkan orang itu.”

Ayahanda tetap tinggal di Keer bahkan setelah kericuhan mereda, memimpin langsung pemulihan wilayah timur. Meski begitu, itu hanya alasan resmi. Kerusakan akibat tsunami monster sebenarnya tidak terlalu parah.

Yang Ayahanda lakukan sebenarnya adalah menyelidiki siapa saja yang terlibat dalam insiden kali ini.

Dan sepertinya karena ada kemajuan dalam penyelidikan itulah, kami, anak-anaknya dan para kesatria pengawal, dipanggil untuk berkumpul setelah kedatanganku. 

“Semua, terima kasih atas jerih payah kalian.” 

Wajah Ayahanda saat mengucapkan itu terlihat jelas lelah.

Tak lagi muda, beliau turun ke medan perang, dan bekerja tanpa henti selama beberapa hari setelahnya. Tentu saja dia lelah. Apalagi mungkin beliau sudah tahu bahwa putra bodohnya ini terlibat dalam kejadian itu secara mendalam. 

“Alasan mengapa kalian dikumpulkan kali ini adalah karena kalian berhak mengetahui kebenarannya. Apa yang akan disampaikan setelah ini tidak boleh disebarluaskan. Tadi malam, Carlos yang terluka parah akhirnya sadar. Dan setelah diperlihatkan bukti yang berhasil dikumpulkan dalam beberapa hari terakhir, dia mengakui bahwa dirinya bersekongkol dengan dua vampir itu. Carlos berjanji akan mencabut status buronan mereka sebagai imbalan jika mereka membantunya berburu monster dengan menggunakan seruling yang mereka miliki, memenangkan festival, lalu mundur tepat saat dia tiba di Keer. Sungguh kebodohan yang tak termaafkan!” 

“Dengan kata lain... Kemunculan monster itu adalah bagian dari rencana Carlos?” 

“Itu benar. Lebih tepatnya, dia dimanfaatkan oleh para vampir. Tapi tetap saja, demi keuntungan pribadinya, dia mempertaruhkan keselamatan bukan hanya aku, tapi seluruh kekaisaran. Itu tidak bisa dibiarkan!” 

Mata Ayahanda tampak memerah saat mengatakan itu. Jelas sekali betapa geramnya beliau.

Namun, di tengah kemarahan itu, Eric berlutut dan memohon, “Yang Mulia Kaisar, mohon berkenan menunjukkan kemurahan hati Anda. Dia memang bodoh, tapi bagaimanapun juga, dia adalah adikku.” 

Sungguh akting yang penuh kepura-puraan.

Gordon dan Zandra pun ikut memohon.

Bukan karena rasa iba. Juga bukan karena takut penyelidikan akan merugikan mereka.

Tapi karena mereka tahu Ayahanda menginginkan hal itu. Jika Ayahanda benar-benar ingin menghukum Carlos, beliau pasti sudah melakukannya sejak awal. Tapi Ayahanda justru mengumpulkan semua orang dan menunjukkan kemarahan. Itu karena beliau tidak ingin keputusan pengampunan ini terlihat sepihak.

Kalau para anak-anaknya yang lain meminta ampun, barulah Ayahanda bisa mengabulkannya tanpa kehilangan wibawanya. 

Lagipula, membunuh Carlos memang tak perlu.

Carlos kehilangan tangan kanannya karena serangan Sam, dan tak bisa lagi menggerakkan tubuh bagian bawahnya. Dia akan lumpuh seumur hidupnya. Bahkan Ayahanda sekalipun tak sanggup menghabisi putranya yang sudah begitu hancur. 

Namun, jika semua orang memohon ampun, maka itu hanya akan terlihat seperti Ayahanda kalah oleh permohonan itu. Dari sisi citra, itu sangat buruk. 

“Leonard. Kamu bisa dibilang berperan paling besar kali ini. Bagaimana pendapatmu?” 

“Kalau begitu izinkan aku bicara. Dia tidak boleh diampuni. Lehernya harus dipancung.” 

Seketika, semua wajah membeku.Tak ada yang menyangka bahwa kata-kata seperti itu justru datang dari orang yang paling tidak terduga. Bahkan Ayahanda tampak cukup terkejut. 

“...Kenapa kamu berpikir begitu? Bukankah dia kakakmu?” 

“Sebelum sebagai kakak, dia adalah seorang pengkhianat Kekaisaran. Jika kita mengampuninya di sini, itu akan menjadi preseden yang buruk. Dan apa yang harus kukatakan pada para kesatria yang telah menumpahkan darahnya?” 

“Rakyat dan para kesatria biasa tidak akan diberitahu. Ini hanya akan diketahui di ruangan ini. Kamu tak perlu khawatir.” 

“Itu justru tidak boleh, Yang Mulia. Dia harus dihukum mati, dan semuanya harus diberitahukan dengan jujur. Dengan begitu, Yang Mulia akan menunjukkan keadilan kepada dalam dan luar negeri. Bahwa meski seorang anak, jika berbuat salah, tetap akan dihukum. Hanya itulah satu-satunya cara untuk menjaga kepercayaan rakyat.” 

Leo menyampaikan pendapatnya dengan nada tegas.

Kini ada dua pendapat yang berlawanan. Apa pun yang dipilih, akan menimbulkan reaksi. Dengan begini, Ayahanda punya alasan.

Dia bisa menyelamatkan Carlos tanpa mengabaikan Leo. Dan dengan itu, dia bisa mengangkat Leo sebagai duta besar bersama Gordon. Semuanya berjalan sesuai skenario Ayahanda. 

Saat Ayahanda merenung, pandangannya sekilas beralih padaku. Melihatku yang tampak tenang, beliau memasang wajah kesal. 

“Itu kamu yang menyuruhnya, ya?” 

“Apa maksud Yang Mulia?” 

“Hah... Sudahlah. Baiklah. Atas pertimbangan pendapat Eric dan yang lain, Carlos akan diampuni. Namun, Leonard, ini bukan berarti aku mengabaikanmu.” 

Setelah berkata demikian, Ayahanda memanggil Leo ke hadapan beliau. Leo maju dan berlutut dengan hormat.

Ayahanda kemudian menyerahkan pedangnya. Leo menerimanya. 

“Aku belum menyiapkan apa pun, jadi terimalah ini sebagai pengganti. Leonard, pemenang festival kali ini adalah kamu. Carlos didiskualifikasi, Arnold yang berada di posisi kedua juga didiskualifikasi. Peringkat ketiga ada Leonard dan Gordon. Tapi karena Leonard telah memimpin para kesatria dan juga mendapat popularitas di wilayah timur, maka untuk menenangkan pihak-pihak yang ada, dia yang akan ditetapkan sebagai pemenang. Setuju, Gordon?” 

“...Hamba patuh pada titah Yang Mulia.” 

Wajah Gordon terlihat menegang saat menunduk. Suaranya gemetar. Pasti dia sangat menyesal. Namun, dia tak bisa membantah. Tak ada bahan untuk menentangnya. 

Lalu Elna melangkah maju. 

“Yang Mulia Kaisar. Mohon izinkan saya untuk menyampaikan permohonan.” 

“Apa itu?” 

“Mohon, batalkan diskualifikasi Pangeran Arnold. Dia didiskualifikasi karena mengirimkan para kesatria. Itu justru tindakan yang patut dipuji. Mencorengnya dengan status diskualifikasi terlalu kejam.” 

“Mohon untuk dikabulkan, Yang Mulia Kaisar!” 

Melihat Elna, bawahannya pun ikut berlutut. Melihat itu, Ayahanda menutup mata sejenak dan bertanya padaku, “Arnolt... Kamu ‘tidak sengaja’ menghancurkan gelang itu, bukan?” 

“Benar. Aku menghancurkannya secara tidak sengaja.” 

“Kalau begitu diskualifikasi tak bisa dibatalkan. Jika kamu sengaja melakukannya untuk mengirim Elna, itu bisa dipertimbangkan. Namun aturan tetaplah aturan. Pemenangnya adalah Leonard.” 

Elna menatapku seolah tak percaya, tapi aku mengabaikannya.

Mengatakan bahwa aku sengaja melakukannya dan dibatalkan diskualifikasinya pun, aku tidak akan ditunjuk sebagai duta besar.

Paling-paling aku hanya mendapat pujian. Seperti yang Ayahanda katakan, alasan Leo ditetapkan sebagai pemenang adalah karena popularitasnya di timur. Tak ada yang akan menerimanya jika aku yang jadi pemenang. 

Jadi, biarlah aku dikenal sebagai pangeran bodoh yang merusak gelang karena ceroboh. 

Begitulah pikirku, namun,  “Tapi, nyatanya karena Elna datang, aku selamat. Artinya, kecerobohan Arnold telah menyelamatkanku. Maka, kecerobohan itu patut diberi penghargaan.” 

“Maaf?” 

“Aku tunjuk Arnold sebagai Wakil Duta Besar. Bantulah Leonard.” 

“...A-Ayahanda?” 

“Yang Mulia Kaisar. Arnold.” 

“U-Uh, Aku... Tidak mampu untuk itu...”

“Serahkan semuanya pada Leonard. Kamu juga harus membuktikan bahwa kamu bisa melakukan sesuatu. Topik ini selesai. Besok akan kusampaikan pengumuman resminya. Semuanya, silakan beristirahat sampai saat itu.” 

Selesai mengatakan itu, Ayahanda berdiri dari kursi. Saat beranjak pergi, dia tersenyum seperti anak kecil yang berhasil melakukan keisengan. 

Ayahanda sialan, ini pasti sengaja...!

Sial! 

Rencanaku kacau balau!

Kalau aku dan Leo pergi ke luar negeri, siapa yang akan memimpin kekuatan kami!?

Sungguh gila...

Terkejut oleh peristiwa yang tak terduga, aku hanya bisa terpaku. Sementara itu, para pesaing kami menatap dengan wajah mengejek, seolah berkata, “Rasakan itu!” 

Ini gawat... Kalau dibiarkan, kekuatan kami bisa dihancurkan saat kami tak ada. 

“Selamat ya, Al!” 

“...”

“Ada apa? Al?” 

“Jangan dekati aku lagi...”

“Kenapa sih?”

Sambil menekan pelipis, aku mengusir Elna yang sedang bersuka cita. Tapi aku tahu, ini bukan salahnya. Dia mencoba membatalkan diskualifikasiku, itu sudah kuduga. Yang tak kuduga adalah reaksi Ayahanda. Beliau pasti kesal melihatku terlalu percaya diri, seolah semua ini ada di genggamanku. Semua ini salahku...

Sambil memegangi kepala karena situasi yang benar-benar tak terduga, aku pun mengakhiri pertemuan itu.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close