NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V1 Epilog & Kata Penutup

Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Epilog


Setelah rapat selesai, Fine tengah menyiapkan teh di kamarnya. Dia tahu bahwa sebentar lagi tamu akan datang. 

“Ini aku. Boleh masuk?” 

“Silakan, Tuan Al.” 

Tamu yang ditunggu, Al, masuk ke dalam ruangan dan sedikit terkejut melihat teh sudah disiapkan. Namun, saat melihat Fine tersenyum manis, dia tidak berkata apa-apa dan langsung duduk di kursi. 

“Ini teh yang berbeda dari biasanya...”

“Kupikir Anda pasti lelah, jadi aku siapkan teh yang berkhasiat memulihkan tenaga. Meski pun Anda tak menyukainya, Anda tetap harus meminumnya.” 

“Aku tidak terlalu lelah.” 

Al bergumam begitu, namun di mata Fine, jelas dia masih tampak kelelahan. Padahal sudah beberapa hari berlalu sejak pertempuran dan seharusnya Al sudah cukup beristirahat. Itulah sebabnya Fine menyiapkan teh itu. 

Teh itu memiliki rasa pahit yang khas dan aroma yang unik. Saat menyeruputnya, Al langsung meringis. Dia mengenali rasa itu. 

“Dulu, Ibu yang menyuruhku minum teh ini... Teh dari Timur, dibuat dengan cara yang sedikit unik.” 

“Ibuku juga yang mengajarkannya. Daunnya aku dapatkan dari persediaan di kediaman ini. Karena Tuan Al terlihat sangat lelah.” 

“Haa... Memang aku lelah, tapi tak perlu secemas itu.” 

“Itu kabar baik. Tapi tetap harus diminum, ya.” 

Fine tersenyum manis, namun ada tekanan kuat di balik senyuman itu yang tak memberi ruang untuk menolak. Kalah oleh tekanan itu, Al pun diam-diam melanjutkan minum tehnya. 

Hening menyelimuti ruangan beberapa saat. Tapi itu bukan keheningan yang tidak menyenangkan. Ada suasana damai yang terasa meski tanpa kata, dan bagi Al, itu sungguh menenangkan. Di depan publik, dia memainkan peran sebagai pangeran bodoh yang tidak berguna. Di balik layar, sebagai Silver, dia adalah petualang terkuat. Dan sekarang, dia juga ikut terlibat dalam perebutan takhta demi mendukung Leo. Al nyaris tak punya waktu untuk bernapas. Tapi Fine menciptakan waktu berharga itu untuknya. Mungkin karena itu, dari mulut Al pun meluncur ucapan yang keluar begitu saja. 

“Terima kasih... Untuk semuanya.” 

“Tidak, justru aku yang harus berterima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkanku. Dan maaf karena sudah merepotkan Anda...” 

“Tidak, bukan merepotkan! Justru karena kamu berhasil mengamankan seruling saat itu, tsunami monster tidak meluas dan korban pun bisa dihindari. Hanya saja...” 

“Hanya saja?” 

“Yah, jangan lakukan hal berbahaya lagi. Saat itu, rasanya jantungku nyaris berhenti.” 

“Ya... Aku juga mengira aku akan mati saat itu. Tapi Anda datang. Aku sangat senang.” 

Fine tersenyum. Senyuman itu lembut dan damai, namun sedikit berbeda dari senyuman yang biasa dia tunjukkan kepada orang lain. Itu bukan senyum yang dibuat-buat, melainkan senyum yang lahir dari rasa percaya. 

Al sempat terpana oleh senyum itu, namun segera menyadarinya dan meneguk teh untuk menyembunyikan rasa malunya. Begitu dia mengira minumannya habis, Fine segera menuangkan teh tambahan. 

“Ah...” 

“Tolong habiskan dua atau tiga cangkir.” 

“Kasihanilah aku...”

Sambil mengeluh, Al kembali meminum teh dengan ekspresi masam. Fine memandangi Al dengan wajah senang. Keheningan kembali hadir di antara mereka, dan tak ada yang merasa perlu untuk memecahnya. Jika ingin bicara, salah satu dari mereka pasti akan melakukannya. 

Dalam diam yang nyaman itu, Fine terus memandangi Al. Wajah Al saat meminum teh dengan enggan seperti anak kecil, sangat berbeda dengan saat dia datang ke rumah Duke Kleinert. 

Melihat sisi Al yang seperti itu membuat Fine merasa tenang. Karena dia merasa Al tidak berubah, seperti saat mereka pertama kali bertukar kata. Al memang tak mengingatnya. Fine sudah tahu itu. Saat itu, dia mengenakan kerudung untuk menutupi wajahnya. Hari itu adalah hari ketika dia mulai dikenal sebagai Blau Mève. 

Pertama kalinya dia menginjak ibu kota kekaisaran. Kerumunan orang yang belum pernah dia lihat sebanyak itu. Ditambah dengan harus bertemu sang Kaisar. Semua itu membuat Fine yang kala itu berusia empat belas tahun merasa kewalahan. 

Dipenuhi kecemasan dan nyaris pingsan, saat itulah Al datang dan menyapanya dengan santai. Sekarang Fine merasa itu mungkin tidak bertanggung jawab. Karena Al kabur dari acara penting itu hanya karena malas. Tapi, berkat percakapan singkat itu, Fine bisa menenangkan diri. Dan berkat itu pula, dia bisa menerima kehormatan sebagai Blau Mève. Mungkin bagi Al itu hal sepele, tapi bagi Fine, itu sangat besar. Sejak hari itu, Fine selalu mengagumi Al. 

Ketika akhirnya Al datang ke rumah mereka, Fine berpikir inilah saatnya dia mengucapkan terima kasih. Maka dia tidak menyapa dengan kata “senang berkenalan denganmu”. Tapi Al yang datang waktu itu dalam keadaan marah, dan Fine sempat merasa kecewa, merasa bahwa Al sudah berubah. Tapi ternyata, Al tidak berubah sedikit pun. Dia masih sebaik dulu. 

Mengetahui rahasia Al, Fine pun meminta izin pada ayahnya. Dia ingin berada di sisi Al dan menjadi kekuatannya. Mungkin dia akan jadi beban. Tapi Fine tetap ingin berada di sisinya. Dalam bentuk apa pun, dia ingin membantu Al. 

Tenggelam dalam pikiran-pikiran itu, Fine menyadari bahwa Al kini telah tertidur dengan napas yang teratur. Melihat wajah polosnya saat tidur, Fine terkekeh kecil, lalu mengambil selimut dan dengan lembut menyelimutinya. 

“Mungkin Anda sudah lupa, tapi...”

Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Fine berbisik sambil perlahan menggenggam tangan Al. Jantungnya berdebar, khawatir Al akan terbangun, tapi dia tetap mendekatkan wajahnya ke pipi Al. 

Dan dengan ringan, ia mengecupnya. Hanya dengan itu, wajah Fine pun sudah memerah sepenuhnya.


Sambil berpikir bahwa kemerahan di wajahnya tidak akan reda dalam waktu dekat, Fine meminum air yang tersedia untuk meredakan panas di wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam beberapa kali, dan akhirnya menoleh ke arah Al. Melihat Al yang tertidur lelap dengan napas teratur, Fine hanya bisa tersenyum pahit. 

Pemburu itu tidak tahu. Bahwa pada hari itu, dia telah menembak jatuh seekor camar.


* * *


“Yang Mulia Zandra. Ada pesan dari Nyonya. Katanya, waktunya sudah tiba.” 

Seorang pria paruh baya melapor dari balik bayangan ruangan. Mendengar laporan itu, Zandra menyesap anggur merah semerah darah, lalu menjawab singkat, “Baiklah.” 

“Memang menyakitkan kehilangan posisi Duta Besar Penuh Kuasa, tapi tidak masalah. Aku tidak butuh bantuan dari negara lain. Yang terpenting adalah seberapa besar kekuasaan yang bisa kugenggam di ibu kota. Sementara si kembar sibuk membangun jaringan di luar negeri, aku akan mendapatkan kekuasaan sejati di sini, di pusat kekaisaran.” 

“Sudah waktunya, akhirnya.” 

“Ya. Butuh waktu bertahun-tahun, tapi dengan ini aku pun akan mendapat kursi sebagai menteri. Aku akan punya suara dalam Sidang Dewan Agung yang selama ini dimonopoli oleh Eric.” 

Zandra tertawa dengan suara tinggi dan tajam. Tawa itu berlangsung lama hingga dia merasa cukup puas. Setelah itu, dia melontarkan pertanyaan pada pria itu, “Ngomong-ngomong... Bagaimana dengan orang-orang yang kukirim untuk menghadapi Arnold?” 

“Tak satu pun ada yang kembali. Mungkin mereka telah disingkirkan oleh sang pelayan.” 

“Jadi kita meremehkan orang tua yang katanya sudah pensiun, ya. Untuk aksi berikutnya, pastikan kamu bergerak dalam kondisi terbaik. Pelayan itu adalah satu-satunya ancaman nyata dari fraksi si kembar.” 

“Dia adalah mantan pembunuh legendaris yang dulu dijuluki Dewa Kematian. Entah mengapa, sekarang dia justru menjadi pelayan bagi sang Pangeran Sisa. Sangat membingungkan.” 

“Itu namanya menyia-nyiakan harta karun. Dan dia juga punya hubungan dengan si jenius dari keluarga Armsberg. Kenapa ya, harta berharga selalu jatuh ke tangan orang yang tak tahu nilainya?” 

“Kelak, semuanya akan menjadi milik Anda.” 

Mendengar kata-kata pria itu, Zandra mengangguk puas. Ya, semuanya akan menjadi miliknya. Demi itu, dia telah mempersiapkan diri selama bertahun-tahun. 

“Benar, tepat sekali! Aku akan merebut takhta ini dengan tanganku sendiri. Akan kuatur segalanya sesuai kehendakku! Semua pesaing menyebalkan itu akan kupenggal satu per satu! Ahh... Aku tak sabar...” Sambil mengatakannya, Zandra menyesap anggurnya dengan penuh kenikmatan. Di dalam pikirannya, dia sudah membayangkan para pesaingnya memohon ampun sambil disiksa hingga akhirnya kepala mereka dipenggal. 

Dengan demikian, perebutan takhta kekaisaran pun kembali memasuki babak yang semakin penuh gejolak...

 

Kata Penutup

Salam kenal bagi yang baru pertama kali membaca, dan selamat berjumpa kembali bagi yang sudah lama tidak bertemu. Saya Tamba. 

Terima kasih telah mengambil dan membaca The Strongest Dull Prince’s Secret Battle for the Throne. Saya sungguh terharu dan bersyukur. 

Di tengah rasa terima kasih ini, saya mohon maaf karena, akibat batasan jumlah halaman, saya harus menyisipkan catatan penutup dari saya. Terus terang, saya tidak merasa bahwa catatan penulis itu sesuatu yang penting, tapi karena halaman berlebih pun tidak bisa dibiarkan kosong, saya memutuskan untuk mencoba menulis catatan penutup pertama saya dalam hidup ini. 

Namun begitu, saya sebenarnya tidak punya banyak topik untuk dibicarakan. Jadi, saya pikir akan saya bagikan sedikit cerita di balik proses pembuatan Dull Prince ini. 

Saya cukup sering bermain gim, dan di antara teman bermain saya, ada beberapa anak SMA. Sebagai bagian dari proses kreatif saya, saya sering menjelaskan setting atau plot yang saya pikirkan kepada mereka untuk mendengar kesan pertama mereka. Dull Prince juga bermula dari sana. 

Awalnya saya berkata, “Bagaimana kalau tentang pangeran yang bergerak di balik layar? Tipe yang sebenarnya kuat tapi menyembunyikan kekuatannya.” Saya sendiri belum terlalu yakin, tapi ternyata reaksi mereka cukup bagus, jadi saya mulai merancang alur ceritanya. Namun, cerita semacam intrik di balik layar itu sulit untuk ditulis. Apalagi ditambah elemen karakter yang menyembunyikan kekuatan, makin menantang saja. Saat saya sampaikan kesulitan itu kepada anak-anak SMA tadi, mereka malah menjawab, “Bukankah di situlah letak kemampuan seorang penulis diuji?” 

Setelah dijawab begitu, saya tentu tidak ingin menyerah begitu saja. Saya pikir ini adalah tantangan yang patut dicoba, jadi saya terus menulis, lalu mempublikasikannya di situs Shousetsuka ni Narou. Ceritanya mendapat sambutan baik, menarik perhatian editor, dan sampai akhirnya bisa diterbitkan seperti sekarang. 

Ya, semuanya berawal dari para anak SMA itu! Masa muda memang luar biasa. Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak membaca Dull Prince. Katanya, mereka berkontribusi dengan cara “tidak membaca”. Anak SMA zaman sekarang memang pandai berkelit, ya. 

Begitulah asal muasal karya Dull Prince ini. Di situs Shousetsuka, banyak orang yang telah membaca karya ini, dan berkat itu pula karya ini bisa diterbitkan. Saya belajar banyak dan merasa karya ini membuat saya bertumbuh. Saya hanya berharap, kalian yang telah mengambil dan membaca buku ini merasa bahwa waktu dan uang yang kalian habiskan untuknya sepadan. Tak ada kebahagiaan yang melebihi itu. 

Terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Editor O yang telah mengangkat karya ini, kepada Yuunagi-san yang telah memberikan ilustrasi yang luar biasa, kepada keluarga saya yang telah mendorong saya, kepada teman-teman yang selalu bersedia mendengarkan cerita saya setiap hari, serta kepada semua pihak yang terlibat dan telah memberikan dukungan. Terima kasih banyak. 

Tamba.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close