NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V2 Chapter 1

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 1: Intrik Gelap di Ibu Kota Kekaisaran


Bagian 1

Sekitar dua minggu telah berlalu sejak keributan itu. Karena kekacauan yang cukup besar, belum ada pergerakan yang mencolok dalam perebutan takhta kekaisaran.

Dalam keadaan seperti itu, aku dan Leo bersama-sama mengunjungi suatu tempat.

Tempat itu bernama Harem, kediaman para selir sang kaisar.

Terletak di belakang Istana Pedang Kekaisaran, hanya kaisar dan orang-orang yang diberi izin khusus yang boleh memasukinya, sebuah istana khusus untuk para wanita.

Alasan kami datang ke tempat ini hanya satu, untuk menemui ibu kami.

Entah sejak kapan terakhir kali aku menemuinya. Mungkin sekitar tiga bulan lalu. Yah, yang sudah lama tidak bertemu hanya aku. Leo katanya sering menyempatkan diri untuk datang. Sungguh anak yang rajin. 

“Ibu, aku dan Leo datang untuk menyampaikan salam.”

“Selamat datang. Ibu membuat kue. Makanlah sebelum pergi.” 

Di Harem ini, mungkin hanya ibuku yang menyambut putranya yang sudah lama tidak ditemui dengan cara selugas itu.

Namanya Mitsuba. Rambut hitam panjang dan mata hitam. Begitu muda dan cantik hingga sulit dipercaya bahwa dia adalah ibu dari dua anak laki-laki dewasa. Menurut pengakuannya, dia memang sangat menjaga penampilan.

Dia adalah seorang penari dari Timur yang terkenal karena kecantikannya, dan Ayahanda, yang jatuh hati padanya, langsung melamarnya di tempat. Kisah itu masih sering diceritakan di Ibu Kota Kekaisaran sampai sekarang.

Yang membuat kisah itu legendaris adalah balasan Mitsuba terhadap lamaran ayahku, “Asal Anda tidak ikut campur dalam pendidikan anak-anak, saya tidak keberatan.” Betul-betul pernyataan yang tidak masuk akal, namun sangat khas dirinya.

Memang, dalam hal pendidikan, beliau sama sekali tidak membiarkan ayahku ikut campur. 

Hasilnya? Lahir anak seperti aku. Tapi karena Leo tumbuh menjadi anak yang hebat, anggap saja impas.

Kami duduk di meja yang telah disiapkan dan mulai mencicipi kue-kue yang ada. 

“Sudah lama ya, Al.”

“Benar, sudah cukup lama, Ibu.”

“Kamu tidak muncul karena terlalu asyik bermain? Atau karena sudah punya pacar?”

“Karena yang pertama.”

“Jawaban yang tidak menarik. Kalian berdua ini terlalu tidak tertarik pada wanita. Ceritakanlah hal-hal seperti itu pada ibumu sesekali.” 

Kadang-kadang, aku merasa orang ini lupa bahwa kami adalah pangeran.

Kalau Leo sampai punya pacar, itu bakal jadi masalah besar. Latar belakang dan silsilahnya harus diselidiki dengan cermat.

Tapi ya, kami memang dibesarkan seperti anak biasa. Kami diajarkan tata krama secukupnya, namun hanya itu yang dipaksakan. 

Prinsip pendidikan beliau adalah, kalau anaknya ingin melakukannya, biarkan saja. Bahkan ketika aku kabur dari pelajaran karena membosankan, beliau tidak pernah marah. Dia hanya bilang untuk belajar kalau aku merasa itu penting di masa depan. 

Kalau dipikir sekarang, itu menakutkan. Apa yang beliau pikirkan tentang pendidikan seorang pangeran?

Karena diserahkan sepenuhnya, hasilnya begini, sang kakak jadi pemalas, sang adik jadi disiplin. Bisa dibilang sifat kami mencerminkan hasil didikan itu. 

“Ngomong-ngomong, apa alasan kalian datang berdua seperti ini?”

“Ibu, aku ditunjuk sebagai Duta Besar Penuh Kuasa, dan kakak sebagai wakilku. Kemungkinan besar kami akan meninggalkan negeri ini dalam waktu dekat. Kami datang untuk memberi tahu hal itu.”

“Oh? Begitukah? Kalau begitu, Ibu ingin oleh-oleh yang bisa dimakan. Barang pajangan hanya akan merepotkan.”

“Haah...”

Bagaimana bisa orang dengan kepribadian seperti ini bertahan hidup di Harem?

Saat ini, Harem juga tengah dilanda perebutan kekuasaan. Para selir berlomba ingin menjadikan anaknya sebagai kaisar berikutnya.

Karena ada pengawasan dari Permaisuri dan sang Kaisar sendiri, mereka tidak bisa bertindak terang-terangan, tapi jelas tempat ini menuntut kehati-hatian yang tinggi. 

“Ibu, uhh... Bukankah Ibu khawatir?”

“Mau Ibu khawatir? Leo, kamu masih anak-anak rupanya. Ibu tidak akan berkata apa-apa kepada anak berusia delapan belas tahun. Jika Kaisar mempercayakan tugas itu pada kalian, berarti Beliau yakin kalian mampu. Ibu percaya pada penilaian itu.”

“Begitukah... Baiklah, kalau begitu aku akan menjalankan tugas ini dengan penuh keyakinan.”

“Aku cuma kebetulan ikut ditunjuk, jadi akan kulakukan sebisanya.”

“Lakukanlah sesukamu. Gagal pun kamu tidak akan dibunuh.” 

Sambil menyesap teh, Ibu berkata begitu santainya. Orang lain mungkin akan berkata ini kesempatan untuk menarik perhatian Kaisar, atau bahwa kegagalan tak akan ditoleransi. 

Saat sedang berpikir begitu, terdengar ketukan di pintu.

Setelah Ibu menjawab, pintu terbuka, dan Christa muncul sambil mengintip. 

“Oh, Christa. Selamat datang.”

“Ibu!” 

Dengan ekspresi cerah yang jarang terlihat, Christa berlari mendekati Ibu dan langsung duduk di pangkuannya.

Tubuh mungilnya tampak pas di pangkuan Ibu, dan dia menatap kue di atas meja dengan penuh harap.

Sepertinya dia masih sadar kalau kue itu disiapkan untuk kami.


“Makan saja. Al dan Leo tidak banyak makan.”

“Benar, ya? Kakak Al, Kakak Leo.”

“Iya, silakan. Makan sepuasnya.”

“Aku masih mau makan sedikit. Mau makan bareng, Christa?”

“Iya!” 

Christa meraih kue dengan tenang, seakan sedang berada di pelukan ibu kandungnya. Ibu kandungnya meninggal saat Christa masih kecil. Saat itu, Ibu menyatakan akan merawat Christa. 

Sejak saat itu, Christa menyayangi Ibu seperti ibu kandungnya sendiri. Kami pun ikut disayang berkat hubungan itu. 

“Oh ya, Elna tadi datang untuk menyampaikan salam. Dia juga meminta maaf tentang kamu, Al. Apa yang terjadi?”

“Yah, dia bertindak terlalu jauh. Gara-gara dia, aku malah ditunjuk jadi wakil duta besar yang merepotkan ini.”

“Kakak pemalas... Nakal!” 

Christa mengarahkan tangan boneka kelincinya padaku.

Sepertinya itu berarti bonekanya sedang menegurku. Aku mengerutkan dahi, dan semua orang tertawa. 

Namun suasana damai itu tak berlangsung lama. Saat kami bersiap untuk berpamitan, Ibu tiba-tiba mengajukan pertanyaan tak terduga. 

“Oh iya. Hampir lupa. Aku ingin menanyakan satu hal.”

“Apa itu?”

“Siapa yang akan menjadi suami dari Blau Mève?”

““Bwrrr!”” 

Aku dan Leo secara bersamaan menyemburkan teh kami.

Sambil terbatuk-batuk, aku mengelap mulut dengan handuk yang disodorkan Christa.

Ibu macam apa yang tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?

“Bu, Nona Fine bukan orang seperti itu...”

“Tapi memanggil seorang wanita dengan sebutan ‘Nona’ itu jarang sekali, kan? Jangan-jangan Leo yang lebih unggul, ya?”

“Yah, rakyat bilang mereka pasangan yang serasi, sih.” 

Aku langsung melemparkan semuanya ke Leo seolah ini adalah kesempatan emas.

Leo menatapku dengan ekspresi seakan berkata, “Kamu mengkhianatiku,” tapi aku tak ingin terlibat dalam urusan yang merepotkan ini.

Kupikir lebih baik segera pergi, namun justru ada penyerang tak terduga yang menghalangiku. 

“Ibu, Fine itu temannya Kakak Al.”

“Ya ampun! Benarkah?”

“Iya. Fine cantik sekali dan cocok dengan Kakak Al.”

“Oh, oh.”

“Bukan begitu maksudnya...” 

Ibu menatapku seakan berkata, “Ternyata kamu juga tidak bisa dianggap remeh, ya,” dan aku pun dibuat bingung olehnya.

Bagaimana bisa beliau menelan mentah-mentah omongan anak kecil? Aku dan Fine cocok? Kalau hal semacam itu dibicarakan di ibu kota, orang-orang akan menertawakannya. 

“Aku hanya sering bersamanya karena hubungan dengan Duke Kleinert. Tidak ada apa-apa di antara kami.”

“Meski begitu, dia wanita tercantik di seluruh kekaisaran, lho? Benar begitu, Christa?”

“Hmm... Ibu jauh lebih cantik!”

“Terima kasih, Christa! Ibu juga pikir Christa adalah gadis tercantik!” 

Melihat keduanya saling berpelukan entah kenapa, aku hanya bisa menghela napas, berdiri, dan membungkuk ringan sebelum meninggalkan ruangan. 

“Mau pergi sekarang?”

“Aku sudah cukup lama di sini. Lagi pula, aku ada janji bertemu orang hari ini. Kamu tinggal lebih lama saja di sini.”

“Kakak Al, sampai jumpa lagi!”

“Iya, sampai jumpa. Ibu juga.”

“Baiklah. Jaga kesehatanmu, ya. Kamu itu selalu memaksakan diri.”

“Aku tidak pernah memaksakan diri seumur hidupku. Hidupku ya mengalir saja.”

“Begitu ya? Ya sudah, anggap saja begitu. Kalau begitu, semangat ya.”

Setelah dilepas dengan kata-kata itu oleh Ibu, aku melangkah keluar dari Harem dan menarik napas dalam-dalam.

Aku merasa segalanya baru saja dimulai kembali. Demi menjaga ruang itu tetap seperti tadi, aku tak boleh bersantai. 

“Sebas.”

“Ya.”

“Selidiki kelemahan para bangsawan netral. Lakukan semua yang bisa dilakukan selama kita masih di ibu kota.”

“Siap.” 

Begitulah, manuver rahasiaku kembali dimulai.

 

Bagian 2

“Salam sejahtera. Count Belz.”

“Ah, Pangeran Arnolt. Ada keperluan apa hari ini?’ 

Count Belz adalah bangsawan istana yang tinggal di ibu kota kekaisaran dan tidak memiliki wilayah kekuasaan.

Keluarganya telah menduduki posisi penting dalam kekaisaran selama beberapa generasi, dan Count Belz sendiri menjabat sebagai Wakil Menteri Urusan Pekerjaan Umum, membantu dalam bidang konstruksi dan pengelolaan air.

Namun, Count Belz selalu menjaga jarak dari perebutan takhta. Karena posisinya tidak memiliki pengaruh langsung terhadap suksesi kekaisaran, ketiga kandidat utama pun tidak terlalu berusaha mendekatinya.

Alasanku mengunjungi kediaman Count Belz hari ini hanyalah satu, karena aku mendengar sebuah rumor. 

“Sebenarnya, aku mendengar sebuah desas-desus.” 

Count Belz adalah pria berusia tiga puluhan. Rambutnya sudah botak, dan penampilannya yang tampak lemah lembut membuatnya tak pernah menarik perhatian wanita. Namun, beberapa tahun lalu, akhirnya dia berhasil menikah.

Sebagai pewaris keluarga terhormat dan menjabat sebagai wakil menteri, dia sebenarnya pria yang cakap. Kalau saja dia mencari dengan cara yang benar, dia pasti bisa mendapat istri kapan saja.

Masalahnya, pria ini justru salah dalam cara mencari istri. 

“R-Rumor, ya...?”

“Ya, hanya sekadar rumor. Katanya, istrimu setiap malam berpesta dengan mewah. Gaya hidupnya konon seperti keluarga kekaisaran. Banyak orang bertanya-tanya dari mana datangnya uang untuk itu.”

“Itu... Itu pasti berlebihan. Memang benar istriku senang bersenang-senang, tapi sampai seperti keluarga kekaisaran, itu terlalu dibesar-besarkan...” 

Count Belz menyeka keringat dari dahinya dengan sapu tangan, tampak sangat panik. Sepertinya informasi yang Sebas kumpulkan memang akurat.

Menurut penyelidikan Sebas, Count Belz sering meluapkan ketidakpuasan terhadap istrinya kepada kenalan. Ketidakpuasan yang cukup ekstrem, bahkan mengatakan dia ingin bercerai, atau jika tak bisa, lebih baik mati saja.

Jika melihat dari tindak-tanduknya, dia tampaknya benar-benar muak dengan gaya hidup istrinya yang berlebihan. Pertanyaannya, sampai sejauh mana dia telah terlibat? 

“Count Belz.”

“Y-Ya!” 

Ketika suaraku berubah dan aku menatapnya tajam, tubuhnya langsung tegap, sangat mencolok.

Entah karena merasa bersalah atau memang sifat alaminya yang penurut, aku tak bisa memastikan. 

“Ada juga rumor lain. Bahwa Anda menggunakan uang negara.”

“S-Saya tidak mungkin melakukan hal seperti itu! Saya selalu setia menjalankan tugas sebagai abdi kekaisaran! Mohon percaya pada saya!”

“Meskipun kamu bilang begitu... aku ke sini karena rumor itu sudah sampai ke istana. Jika sampai ke telinga Ayahanda, ini akan menjadi masalah besar. Aku ingin membereskannya sebelum itu terjadi.” 

Warna wajah Count Belz langsung memudar.

Sungguh pria yang mudah dibaca. Mungkin dia memang hanya penakut, tapi jelas dia ingin agar ini tidak sampai ke telinga Kaisar. Ini bisa dimanfaatkan. 

“Jadi, Pangeran! Mohon bantu saya! Selamatkan saya!”

“Aku tidak berniat menyelamatkan penjahat. Begitu pula Leo.”

“S-Saya benar-benar tidak menyentuh uang negara!”

“Kalau begitu, dari mana kamu dapat uang untuk membiayai gaya hidup istrimu? Gajimu sebagai Count tidak akan cukup.”

“Awalnya saya menggunakan tabungan... Tapi itu cepat habis. Saya mulai meminjam uang dari kenalan, dan sekarang bahkan dari para pedagang. Saya merasa sangat bersalah, dan tenggat pembayaran dari para pedagang juga semakin dekat. Saya tak tahu harus bagaimana...” 

Kenapa dia bisa menikahi wanita seperti itu, ya...

Saat aku sedang memikirkan hal yang sangat tidak sopan, pintu ruangan terbuka kasar. 

“Kamu! Uang bulanan bulan ini terlalu sedikit, tahu!”

“B-Bettina!? Pergilah! Aku sedang berbicara hal penting dengan Pangeran!”

Yang masuk adalah wanita cantik berambut pirang mencolok. Umurnya mungkin tidak jauh dariku, atau sedikit lebih tua. Cukup muda untuk menjadi istri seorang pria berusia tiga puluh.

Pakaiannya pun mewah. Gaun yang biasa dipakai para wanita di istana bagian dalam, dan semua perhiasannya adalah asli.

Tak heran kalau Count Belz ingin bercerai. 

“Pangeran? Siapa dia?”

“H-Hei!”

“Namaku Arnold Lakes Ardler. Maaf telah mengganggu, Nyonya Belz.”

“Arnold? Ah! Pangeran yang tidak berguna itu? Putra Duke Holzwart sempat menceritakannya. Pangeran lemah yang diserap semua kemampuannya oleh adiknya. Tidak berguna, katanya. Jadi untuk apa kamu datang ke rumah kami?” 

“...”

Count Belz terdiam.

Yah, aku juga. Satu-satunya yang pernah mengejekku secara terang-terangan begini hanya Geed. Dan sepertinya karena Geed melakukannya, dia pikir dia juga boleh. Tapi Geed adalah teman masa kecilku dan putra seorang duke. Statusnya jauh berbeda.

Ah, wanita ini benar-benar bodoh. Aku pun merasa kasihan pada Count Belz. 

“Pergilah sekarang...”

“Hah? Kamu menyuruhku?”

“Aku bilang pergi!” 

Mungkin ini kali pertama dia marah begitu.

Bettina pun terkejut, memasang wajah kesal, lalu keluar dari ruangan. 

“Maafkan kelancangan istri saya, Pangeran!”

“Tidak masalah. Aku sudah terbiasa. Tapi... Dia sungguh mencengangkan.”

“Istriku datang ke rumah ini saat berumur tujuh belas. Dia putri bangsawan daerah yang terkenal akan kecantikannya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dan memberikan berbagai hadiah untuk bisa menikahinya. Setelah menikah, aku terus memenuhi semua permintaannya karena tidak ingin dibenci. Tapi... Semuanya semakin menjadi-jadi, sampai sekarang dia berpikir dirinya bangsawan tingkat tinggi atau keluarga kekaisaran...”

“Istrimu jelas bersalah, tapi kamu juga bersalah karena membiarkannya begitu. Sebagai suami, kamu harus menegurnya dan memperbaiki sikapnya.”

“Benar sekali... Seperti yang Anda katakan...” 

Kelihatan jelas hatinya sudah hancur.

Wajah Count Belz yang menunduk penuh dengan keputusasaan.

Sekarang, bagaimana aku harus bertindak? Sepertinya rencananya harus diubah. Awalnya aku berniat perlahan membangun kepercayaan dengannya, tapi kalau dibiarkan begini, dia bisa bunuh diri sewaktu-waktu.

Tak ada pilihan lain. 

“Kamu tak bisa menggugat cerai karena kamu yang meminangnya?”

“Itu salah satu alasannya... Tapi juga karena ketika aku melaporkan pernikahan itu kepada Kaisar, beliau tampak sangat senang... Bahkan memberikan beberapa hadiah.”

“Begitu ya. Kalau begitu memang akan sulit untuk bercerai.” 

Aku menaruh perhatian pada Count Belz bukan hanya karena kelemahan berupa istrinya.

Ayahanda sangat mempercayainya.

Mungkin beliau mengincarnya untuk menjadi Menteri Pekerjaan Umum di masa depan. Karena Count Belz adalah pria yang setia pada tugas dan tidak berfoya-foya, mudah dipercaya.

Kalau Ayah tahu situasinya, beliau pasti menyarankan perceraian. Tapi sebagai bawahan, Count Belz tak bisa tahu itu.

Di sinilah peran orang perantara dibutuhkan. 

“Count Belz. Kamu bukan orang yang bodoh. Pasti kamu tahu kenapa aku datang ke sini?”

“Y-Ya... Untuk mengajak saya bergabung ke fraksi Pangeran Leonard, bukan?”

“Benar. Sebenarnya aku ingin meluangkan waktu untuk memastikan apakah kamu bisa dipercaya. Tapi kurasa waktunya tidak cukup. Aku akan minta Leo menyampaikan situasimu ke Ayah. Kalau tanggapan Ayah mendukung perceraian, langsung bercerailah. Aku juga akan mengirim surat ke keluarga istrimu, jadi tenang saja.”

“S-Sungguh...?” 

Count Belz menatapku seperti melihat penyelamat. Betapa terpojoknya dia...

Yah, agak egois memang, tapi ini demi perebutan takhta.

Istrinya harus menahan air mata. Toh keduanya sama-sama bersalah. Tapi Count Belz masih punya nilai guna. 

Masalahnya, bagaimana menjelaskannya pada Leo? Dia pasti akan bilang bicarakan baik-baik saja.

Tapi aku tak ingin Leo bertemu wanita kasar itu. Nanti dia bisa trauma pada wanita. 

“Count Belz. Maaf, tapi bisakah kamu menulis surat permohonan kepada Leo sekarang juga?”

“S-Surat...?”

“Ya. Sekarang. Akan lebih mudah meyakinkannya.”

“Meyakinkan?”

“Leo itu orang baik. Kalau aku hanya bicara, dia bisa jadi malah ingin mendamaikan kalian. Itu bukan yang kamu inginkan, bukan?”

“B-Benar! Akan kutulis sekarang!” 

Didorong olehku, Count Belz mulai menulis surat permohonan untuk Leo.

Lahir sebagai bangsawan ibu kota, meniti karier dengan lancar, tapi jadi sebegitu menyedihkan hanya karena satu wanita.

Memang harus hati-hati dalam memilih istri. 

Sesaat, bayangan Fine dan Elna melintas di pikiranku.

Bayangan mereka sebagai istri membuatku mengerutkan dahi. Siapa pun dari mereka pasti akan membawa banyak kerepotan. Lebih baik jangan.

Aku hanya ingin wanita biasa. 

“Pangeran, apakah surat ini sudah sesuai?”

“Coba kulihat...” 

Aku melihat suratnya dan wajahku langsung tegang.

Isinya penuh dengan keluhan tentang istrinya. Bahkan lewat tulisan saja terasa dendamnya.

Melihat surat yang hampir seperti kutukan itu, aku menghela napas. 

“Setelah bekerja sama dengan kami, hati-hati dengan jebakan wanita.”

“Y-Ya! Saya tak akan tergoda wanita lagi! Saya akan mengabdi sepenuh hati pada Pangeran Leonard dan Pangeran Arnold!”

“Jangan salah paham. Kami hanya bekerja sama. Tuanmu tetaplah Kaisar. Bukan kami.”

“M-Maafkan kelancangan saya...” 

Hal semacam ini harus diingatkan.

Kalau sampai Leo dianggap sebagai tuan, itu bisa jadi celah bagi musuh. 

“Baiklah, surat ini akan kubawa. Hasilnya akan kusampaikan dalam beberapa hari.”

“Baik! Saya serahkan pada Anda!” 

Begitulah, aku meninggalkan kediaman Count Belz.

Dari kejauhan, aku melihat istrinya menatap tajam ke arah Count, tapi yah... Tahan saja beberapa hari lagi. 

Setelah itu, saat aku menunjukkan surat itu kepada Leo, dia hanya bertanya, “Kenapa orang ini menikahinya?”

Pertanyaan yang sangat wajar. Tapi aku berhasil meyakinkannya, dan ketika Ayah mengetahui situasinya, beliau langsung memerintahkan agar perceraian dilakukan.

Tentu saja, Ayah tidak akan rela calon menteri masa depan dihancurkan oleh putri bangsawan kecil. 

Dengan demikian, Count Belz pun bergabung, dan kekuatan fraksi Leo bertambah sedikit lagi.

 

Bagian 3

“Apakah ini keputusan yang tepat?”

Saat aku sedang membereskan dokumen di dalam kamar, pertanyaan yang cukup tajam meluncur dari Fine, yang sedang menuangkan teh. 

“Apa maksudmu?”

“Menjadikan Count Belz sebagai sekutu, maksud saya. Memang, ada hal-hal yang membuatnya layak disayangkan, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa semua itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Memberi terlalu banyak pada istri muda, lalu menceraikannya ketika tak lagi bisa mengendalikan, bagi seorang wanita, sulit untuk menerima hal semacam itu.” 

“Kalau dilihat hanya dari situ, Count Belz memang pria yang menyedihkan.”

“Ada sudut pandang lain?” 

Melihat betapa langsung dan lugasnya dia bertanya, jelas sekali Fine cukup kesal. Wajar juga, karena bagi seorang wanita, semua ini terdengar seperti kisah cinta yang diputus secara sepihak saat mulai merepotkan. 

Namun, masalah ini bukan semata urusan pribadi mereka berdua.

Sambil tetap menyusun dokumen, aku mulai menjelaskan. 

“Rumah asal istri lama Count Belz, Bettina, adalah keluarga Count Daum, bangsawan selatan. Keluarga Daum sendiri memiliki hubungan darah dengan keluarga Duke Krüger, bangsawan terbesar di selatan. Pernah dengar namanya?”

“Tentu saja. Bukankah salah satu selir Yang Mulia Kaisar berasal dari keluarga Duke Krüger?”

“Ya. Selir Kelima adalah adik dari Duke Krüger saat ini. Artinya, keluarga bangsawan ini punya hubungan cukup dekat dengan keluarga kerajaan. Sekarang, pertanyaannya, siapa anak dari Selir Kelima?” 

Setelah berpikir sejenak, Fine menepukkan tangan seakan mengingat jawabannya, tapi segera menjawab dengan nada kurang yakin.

“Putri Zandra... Dan...”

“Pangeran Kesembilan. Tapi kali ini, adik laki-lakinya tidak ada kaitannya. Yang penting adalah, Bettina punya hubungan dengan Zandra.” 

“Hubungan? Tapi... Hubungan sepupu dari pihak ibu rasanya tidak terlalu berarti, bukan?”

“Biasanya memang begitu. Tapi kali ini, agak berbeda. Fine, kamu masih ingat basis dukungan dari para pesaing kita?”

“Ah, ya. Pangeran Eric mendapat dukungan dari kalangan birokrat, Pangeran Gordon dari militer, dan Putri Zandra dari para penyihir, bukan?” 

Setidaknya dia masih mengingatnya.

Aku memberinya konfirmasi bahwa jawabannya benar, dan bersorak pelan, “Saya berhasil!”

Anak ini memang mudah senang, pikirku sambil melanjutkan penjelasan. 

“Lalu, di antara mereka, siapa yang punya basis dukungan paling lemah di ibu kota?”

“Ibu kota? Bukan seluruh kekaisaran?”

“Ya, khusus ibu kota.”

“Kalau begitu... Yang paling kuat jelas Pangeran Eric, jadi mungkin antara Gordon atau Zandra... Hmm, saya tahu! Pangeran Gordon!”

“Kenapa?”

“Karena militer berada di garis depan, mereka pasti tidak terlalu banyak di ibu kota.”

“Logikamu tidak salah, tapi itu keliru. Masih banyak perwira yang bertugas di ibu kota juga. Jawabannya adalah Zandra.” 

“Ugh, saya salah... Kenapa basis Putri Zandra lemah di ibu kota?” 

Aku berpikir bagaimana menjelaskannya dengan mudah.

Kemudian, aku mengambil beberapa kue berbentuk hewan yang ada di meja, kue singa, burung, dan serigala. Kue singa dan burung kutaruh di piring, lalu kue serigala kuremukkan dan sebarkan di sekelilingnya. 

“Aduh... Padahal bentuknya bagus...”

“Maaf soal itu. Nah, dua kue yang utuh ini adalah Eric dan Gordon, sedangkan yang hancur dan tersebar adalah Zandra. Paham maksudku?”

“???”

“Sepertinya kamu tak paham. Baiklah. Birokrat dan militer umumnya bertugas di ibu kota karena jabatan mereka. Tapi penyihir tidak selalu begitu. Mereka tersebar di wilayah kekuasaan bangsawan, perbatasan, dan tempat lain. Jadi basis dukungan Zandra lebih menyebar.” 

“Ah, jadi maksudnya, pendukung Zandra tidak banyak yang tinggal di ibu kota, ya?”

“Tepat. Dan sekarang bagian yang penting.”

“Eh? Tadi itu bukan bagian pentingnya...?” 

Fine tampak mundur selangkah, seperti cemas akan penjelasan yang semakin rumit.

Aku tersenyum kecil dan mencoba menjelaskan sejelas mungkin. 

“Intinya begini. Karena basis dukungannya tersebar, Zandra punya sedikit pendukung yang menjabat posisi penting di negara. Gordon dan Eric bisa menyampaikan kehendaknya ke Kaisar melalui pejabat tinggi yang mendukung mereka. Tapi Zandra tak punya relasi itu. Baginya, ini masalah besar bukan?”

“Tentu saja. Jika tidak punya pendukung yang duduk dalam Dewan Sidang Agung, itu seperti langit dan bumi bedanya.”

“Tepat. Karena itulah Zandra selama ini berusaha menempatkan pendukungnya sebagai menteri.”

“Apa itu mungkin? Bukankah pengangkatan menteri ditentukan oleh Kaisar?”

“Ada cara-caranya.” 

Kali ini aku menumpuk kue di piring secara vertikal.

Fine memiringkan kepala, menatap bentuk itu dengan ekspresi manis yang bisa meluluhkan siapa pun. Tidak boleh kulibatkan dia dalam pertemuan dengan Count Belz, nanti Belz bisa langsung melamarnya. 

Lalu, aku menghancurkan kue singa yang berada di atas tumpukan itu.

“Aduh... Lagi-lagi...”

“Toh nanti dimakan juga. Jadi, ini adalah cara menempatkan orang yang diinginkan sebagai menteri.”

“Maksudnya...?”

“Baik, kujelaskan ulang. Kue singa tadi adalah menteri saat ini. Burung di bawahnya adalah kandidat yang diinginkan. Kalau yang di atas hancur, jabatan akan jatuh ke yang di bawah.”

“Jadi maksudnya, tempatkan pendukung sebagai wakil menteri, lalu jatuhkan menterinya agar jabatan itu jatuh ke pendukung kita?” 

Dia mulai bisa menangkap intinya. Bukan karena dia bodoh, dia hanya tidak terbiasa dengan skema licik seperti ini. Kadang malah terlalu polos. 

“Benar. Tempatkan orang dekat sebagai wakil menteri atau posisi serupa, lalu jatuhkan menteri di atasnya agar pendukungnya naik jabatan.”

“Begitu ya... Lalu apa hubungannya dengan Count Belz?”

“Haa... Kamu tahu jabatan Count Belz?”

“Wakil Menteri Urusan Pekerjaan Umum... Eh?” 

Akhirnya semua benang mulai tersambung di kepalanya.

Yah, ini memang cukup rumit. 

“Zandra mengendalikan Bettina lewat keluarga ibunya. Dan Bettina, dengan senang hati menuruti perintahnya untuk hidup mewah. Tapi baru-baru ini, Zandra memberi perintah baru.”

“Ada lagi...?”

“Ini bagian pentingnya. Bettina berselingkuh dengan Menteri Pekerjaan Umum saat ini. Kabarnya si menteri yang memulai, tapi jelas Bettina yang menggoda. Dan istri menteri itu adalah putri sahabat Kaisar. Kaisar sendiri yang memperkenalkan mereka. Kalau sampai skandal ini diketahui, Kaisar pasti murka.”

“...Jangan-jangan semuanya dari awal sudah direncanakan?”

“Benar. Semua itu bagian dari rencana Zandra. Dia menjodohkan Count Belz, pria tak laku, dengan wanita cantik yang kemudian menyiksanya. Di saat bersamaan, dia menjebak Menteri Pekerjaan Umum, lalu bersiap menjatuhkannya. Begitu waktunya tepat, dia menyelamatkan Count Belz dan memintanya melaporkan perselingkuhan ke Kaisar. Hasilnya? Pendukung Zandra jadi menteri.” 

“T-Tunggu! Itu berarti...” 

Melihat wajah Fine yang terkejut bukan main, aku tersenyum miring.

Rencana bertahun-tahun yang disusun rapi, dia mungkin memulainya sejak putra mahkota meninggal. Tapi satu langkah terakhir mereka salah.

“Ya, aku merebut seluruh rencana Zandra bulat-bulat. Sekarang dia pasti sedang murka.”

“Ya ampun... Padahal Tuan Al dan Tuan Leo akan segera meninggalkan ibu kota, kenapa malah memancing kemarahan Putri Zandra?”

“Justru karena kami akan meninggalkan ibu kota, maka perlu menyerang Zandra lebih dulu. Begitu kami pergi, serangan dari pihak lain tak bisa dihindari. Tapi kalau diserang tiga kekuatan sekaligus, kami takkan sanggup bertahan. Tapi bagaimana kalau keseimbangan tiga kekuatan itu goyah? Zandra yang barusan menerima pukulan dari kami kehilangan rencana besarnya. Fraksi pendukungnya pasti akan goyah. Dan Eric serta Gordon takkan melewatkan kesempatan itu. Kami bisa disingkirkan kapan saja, tapi Zandra yang sedang lemah hanya bisa diserang sekarang. Kalau aku di posisi mereka, aku pasti akan segera menggerogoti kekuatan Zandra.”

“Anda sudah memikirkan sejauh itu...?”

“Itu semua berkat Sebas. Dialah yang berhasil mendapatkan informasi penting dari sang pembunuh, dan dia juga yang menyelidiki segala hal di sekitar Count Belz.” 

Zandra sungguh bodoh.

Menggunakan pembunuh bayaran yang sama untuk operasi terhadap Count Belz, lalu mengirimnya padaku pula.

Karena itulah semua rencananya sekarang terbaca jelas. Mungkin dia tak menyangka orangnya akan buka mulut, tapi dia terlalu meremehkanku. 

“Uhh... Sudah lama aku ingin menanyakannya. Sebenarnya, siapa sih Sebas itu?”

“Hm? Belum kukatakan, ya? Sebas itu mantan pembunuh bayaran. Bahkan dulu dikenal dengan julukan Dewa Kematian, salah satu yang paling ditakuti di seluruh benua.”

“Kenapa orang seperti itu bisa jadi kepala pelayan Tuan Al...!?”

“Itu nanti saja, ceritanya panjang. Nah, setelah semua yang kamu dengar, masih mau protes karena aku membantu Count Belz?”

“T-Tidak...”

“Ya kan. Kurasa, bahkan fakta bahwa dia tak laku di mata wanita pun mungkin bagian dari rekayasa Zandra. Dia sudah jadi wakil menteri sejak tiga tahun lalu. Normalnya, wanita yang mendekat justru lebih banyak.”

“Jadi... Sebenarnya dia sangat menyedihkan, ya...”

“Ya, dari pernikahan sampai semuanya, dia sudah dipermainkan selama bertahun-tahun. Jadi bisa dibilang kita menolong Count Belz yang malang. Yah, walaupun pada akhirnya, kita juga memanfaatkannya.” 

Sambil berkata begitu, aku menyusun dokumen terakhir.

Isinya tentang perselingkuhan Menteri Pekerjaan Umum. Dokumen ini akan diserahkan ke Ayahanda oleh Count Belz. 

Setelah ini, akan dimulai lagi permainan bayangan melawan Zandra. Gordon pasti tak akan melewatkan kesempatan ini untuk bergerak, dan persaingan perebutan takhta akan semakin sengit. 

Tapi itu tak jadi masalah. Gordon memusuhi Zandra secara terang-terangan, dan dengan kepribadian Zandra, dia pasti paling benci kalau dikalahkan oleh Gordon.

Kalau dua orang itu saling hancur, kami akan diuntungkan. Dan dalam situasi seperti itu, Eric juga pasti tak akan bergerak terlalu aktif. 

Selama kami tak ada di ibu kota, lebih baik kekuatan mereka terkuras oleh pertikaian internal. 

Sambil memikirkan semua itu, aku memasukkan serpihan kue yang remuk ke dalam mulutku.

 

Bagian 4

“Apakah ini benar!?”

Kaisar Johannes menyorongkan dokumen yang diajukan oleh Count Belz kepada Menteri Pekerjaan Umum.

Mata sang kaisar berputar-putar oleh bara amarah yang menyala.

Menteri Pekerjaan Umum, yang kini mengetahui bahwa perselingkuhannya telah sampai ke telinga Kaisar, segera berlutut dan memohon maaf. 

“Ampuni hamba! Itu hanya godaan sesaat!”

“Menjalin hubungan dengan istri orang lain adalah kejahatan berat! Kamu seorang menteri, mustahil tidak tahu hal itu! Terlebih lagi, dia adalah istri bawahannya sendiri! Apa maksudmu dengan perbuatan itu!?”

“I-Iya... Tapi... Itu... Itu Bettina yang mendekati saya duluan! Saya mohon, saya hanya tergoda! Saya dijebak!”

“Jadi kalau digoda, kamu akan menjalin hubungan dengan istri bawahanmu? Kalau para selirku menggodamu, kamu akan tidur dengan mereka juga, hah!?”

“T-Tentu saja tidak...”

“Omong kosong! Kamu dengan enteng menyalahkan wanita yang menggodamu!” 

Amarah Johannes belum mereda.

Selama bertahun-tahun, dia mempercayakan tugas-tugas kepada sang menteri. Bahkan dia sendiri yang menjodohkan pria itu dengan putri sahabatnya. Namun kini, kepercayaan itu telah dikhianati secara menyakitkan. 

Alasan lain dari amarah yang tak mereda adalah karena wanita yang menjadi selingkuhan si menteri adalah istri dari Count Belz, pria yang sangat dipercayainya.

Bahkan Kaisar sendiri yang memerintahkan investigasi atas istrinya kepada Count Belz. Dia bersedia menghukumnya secara pribadi, karena dia sangat menghargai Count Belz. 

Salah satu dasar utama dari rencana Zandra adalah bahwa Johannes sangat mempercayai Count Belz. Johannes tidak pernah mengira bahwa Count Belz akan merencanakan intrik atau menjatuhkan atasannya, dan memang nyatanya Count Belz bukan orang semacam itu. 

Karena itu, di mata Johannes, Menteri Pekerjaan Umum-lah yang mencoba mempertahankan posisinya dengan menjebak bawahannya lewat sang istri.

Zandra telah memperhitungkan bahwa Johannes akan berpikir demikian. Padahal, dalam situasi ini seharusnya ada kecurigaan bahwa Count Belz menggunakan istrinya untuk menjatuhkan sang menteri, namun kepercayaan Johannes dan kepribadian Count Belz telah menutup kemungkinan itu. 

Terlebih lagi, Kaisar telah mengetahui sejak awal bahwa Count Belz telah lama menderita karena sang istri. Maka keputusannya pun cepat. 

“Aku mencopotmu dari jabatan Menteri Pekerjaan Umum! Jalani tahanan rumah dan tunggu hukumanmu!”

“Ampuni saya! Mohon ampun, Yang Mulia Kaisar!”

“Panggil Count Belz!” 

Dengan amarah yang belum reda, Johannes memerintahkan.

Tak lama kemudian, Count Belz masuk dengan tubuh merunduk ke hadapan kaisar. 

Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah permohonan maaf. 

“Maafkan saya! Ini semua kesalahan saya karena gagal mengawasi mantan istri saya!”

“Belz... Kenapa kamu berkata begitu? Kamu tidak perlu menanggung tanggung jawab sejauh itu.”

“T-Tapi...”

“Aku mempercayaimu. Ada yang mungkin menganggap kepolosanmu sebagai kelemahan karena mudah tertipu oleh wanita jahat, tapi aku justru menyukai sifat itu. Kamu orang yang jujur dan berdedikasi. Sudah lama aku ingin mempercayakan jabatan menteri kepada orang sepertimu. Maukah kamu menggantikan posisi Menteri Pekerjaan Umum?”

“Saya tidak pantas menerima tugas sebesar itu! Istri saya telah melakukan dosa! Hukumlah saya!”

“Dia bukan lagi istrimu. Dan dalam kasus ini, yang salah adalah menteri itu. Diselingkuhi karena tergoda bukanlah alasan yang bisa diterima. Aku tidak akan menghukummu, dan siapa pun yang mencemarkan namamu akan kuhukum sendiri.”

“Y-Yang Mulia...”

“Aku perintahkan lagi. Count Belz diangkat sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Layanilah negara dengan lebih tekun dari sebelumnya.”

“...Saya tidak akan melupakan anugerah ini. Demi nama keluarga Belz, saya akan menjalankan tugas ini sebaik mungkin.” 

Dengan itu, Count Belz menerima jabatan Menteri Pekerjaan Umum.

Setelah mengucapkan beberapa patah kata lagi, Johannes mempersilahkannya mundur. 

Begitu dia pergi, Kaisar Johannes menyandarkan tubuhnya dalam-dalam di singgasana, lalu menghela napas. 

“Situasi semakin memanas, ya.”

“Franz...” 

Yang muncul tanpa izin adalah seorang pria seumuran dengan Johannes.

Pria berambut perak pucat itu mengenakan seragam putih khusus birokrat tinggi. Di kekaisaran ini, hanya satu jabatan yang boleh memakainya.

Kanselir, pemimpin tertinggi para birokrat. 

Nama pria itu adalah Franz Zebeck. Karena tidak menyandang nama bangsawan, jelaslah bahwa dia bukan dari kalangan bangsawan. Dia adalah seorang jenius yang naik dari anak pemilik penginapan menjadi kanselir kekaisaran. 

Johannes berkata kepadanya, “Rebutan jabatan menteri adalah bagian dari perebutan takhta. Para menteri pun tahu itu. Karena itulah, kita harus waspada. Terjerat godaan lalu berhubungan dengan istri bawahan, itu tak bisa ditoleransi. Itu akan membahayakan negara. Maka mereka harus segera diganti, sebelum aku sendiri ikut terseret.”

“Aku tak mempersoalkan keputusan itu. Tapi bukankah terlalu tergesa-gesa mengangkat Count Belz menjadi menteri? Aku mencium aroma konspirasi dari kasus ini.” 

Franz, yang telah mengikuti Johannes sejak masih pangeran sebagai penasehat, merasa bahwa semua yang mengelilingi Count Belz terlalu mencurigakan.

Namun dia tak menyelidiki lebih jauh karena dilarang ikut campur dalam perebutan takhta. Kalau tidak, dia pasti sudah membongkar semuanya. 

“Kalau ini konspirasi pun tak masalah. Count Belz punya kemampuan, dan dia bukan tipe orang yang menyusun konspirasi. Maka tak jadi masalah. Lagipula, orang yang tak bisa merancang strategi tak pantas menjadi kaisar.”

“Lucu sekali, padahal saat masih pangeran, Andalah yang membiarkan saya menyusun semua strateginya.”

“Itu pun salah satu syarat jadi kaisar, mampu mengenali bakat orang lain dan mampu mempercayakannya. Aku dulu melihat bakatmu lebih awal, makanya semua strategi kuserahkan padamu. Berkat itu, aku duduk di sini sekarang.”

“Aduh, jangan merendah. Tanpa saya pun Anda pasti tetap naik takhta. Anda memang cerdik.” 

Franz terdiam sejenak, mengingat masa lalu, dan Johannes pun demikian.

Dulu jalan yang mereka tempuh, kini sedang dilalui oleh anak-anak mereka. Jalan yang mereka tempuh akan menjadi jalan berdarah. Walau Johannes tahu itu, dia tak bisa menghentikannya. 

Justru karena perebutan takhta itulah Johannes bisa jadi kaisar seperti sekarang. Dan dari pengalaman itulah yang menjadikannya penguasa tangguh. 

Meski kekaisaran ini kuat, ia bukan negara hegemonik. Mereka punya banyak saingan dan harus terus bertarung. Karena itulah, kekaisaran selalu membutuhkan kaisar yang unggul dan kuat. Perebutan takhta menjadi cara untuk menyeleksi pemimpin terbaik, semacam pelatihan sebelum benar-benar menjadi kaisar. 

Jika tak bisa melewati itu, maka mereka tak layak menjadi kaisar. Itulah tradisi yang diwariskan di kalangan bangsawan kekaisaran. 

“Dulu Anda berpura-pura dungu, ya, Yang Mulia. Meski Anda anak sulung, Anda disebut pangeran pemabuk.”

“Bahaya jika aku terlihat unggul dalam perebutan takhta. Makin menonjol aku, makin mudah dibunuh. Putraku pun begitu...”

“Tapi tak ada bukti bahwa Yang Mulia Putra Mahkota dibunuh. Saya dan Anda sudah menyelidiki habis-habisan. Anda masih curiga dia dibunuh?”

“Aku yakin dia dibunuh. Dia memang cerdas, tapi terlalu lembut. Itu kelemahannya. Andaikan ada orang di sisinya yang bisa menutupi kelemahan itu.”

“Itu soal takdir, ya. Tapi kalau bicara soal generasi sekarang, kekuatan keempat itu cukup menarik.” 

Mendengar itu, Johannes menyeringai.

Johannes sepakat dengan pendapatnya. 

“Jadi kamu juga melihatnya? Sekilas, kelihatannya Leonard yang memimpin fraksi itu dengan karisma. Tapi jelas ada sosok di balik layar. Tanpa itu, mereka takkan tumbuh secepat ini.”

“Anda pikir itu Pangeran Arnold, bukan?”

“Ya. Dia mirip denganku. Rasanya dia pura-pura bodoh.”

“Saya juga berpikir begitu. Tapi berbeda dari Anda, dia tidak menunjukkan ambisi menjadi kaisar. Bahkan dia rela menanggung aib sendiri. Katanya apa pun yang dilakukan padanya, dia tak pernah membalas. Para bangsawan pun kini menghinanya terang-terangan.”

“Aku belum tahu apa yang dia pikirkan. Tapi saat kerusuhan kemarin, dia mengirim Elna lebih dulu. Dia juga menghancurkan gelangnya agar tak menyeret Elna dan para kesatria. Itu bukti bahwa dia sudah memikirkan kemungkinan terburuk jika Keer jatuh. Dia tidak sebodoh seperti yang dikatakan orang. Mungkin aku terlalu melebihkannya.”

“Jadi karena itu Anda menjadikannya Wakil Duta Besar? Tapi keputusan itu malah membuat kubu Leonard kehilangan pemimpin di dalam negeri.”

“Ya, aku akui itu agak emosional. Aku tak suka wajah percaya dirinya itu. Seolah semuanya berjalan sesuai keinginannya. Wajah seperti itu sungguh membuatku muak.” 

Franz hampir mengucapkan, “Itu karena Anda membencinya karena dia seperti Anda,” tapi dia menahan diri.

Tak ada gunanya, karena sang kaisar pasti akan menyangkalnya. 

Namun Franz tahu persis.

Arnold jauh lebih mirip dengan Johannes daripada yang disadari Johannes sendiri.

Bedanya, Johannes punya tujuan yaitu menjadi kaisar. Sedangkan Arnold tidak menunjukkan ambisi semacam itu. 

Mereka yang tak punya tujuan atau tekad yang kuat hanya akan menyebabkan kekacauan. Mereka yang punya kekuatan, akan menimbulkan kekacauan yang lebih hebat.

Jika Arnold benar-benar punya tekad, dia pasti akan bertahan dari krisis ini. Dan Johannes ingin melihat itu. 

Barulah jika berhasil melewatinya, Johannes akan mengakui Arnold dan Leonard. 

“Jadi, kita tinggal melihat bagaimana kemampuan Pangeran Kembar Hitam itu.”

“Kembar Hitam, ya... Nama yang bagus. Dua orang itu seperti dua sisi satu koin. Leonard yang berjalan di jalur lurus mengingatkanku pada Putra Mahkota. Jika Arnold bisa mendukungnya dari bayangan, maka mungkin mereka yang akan memenangkan takhta.”

“Belum tentu. Pangeran lain juga luar biasa. Dalam zaman yang berbeda, masing-masing dari mereka pantas menjadi kaisar. Jadi peluang mereka masih tipis.”

“Itu justru baik. Saat orang-orang luar biasa berebut takhta, kaisar bijak akan terlahir. Maka kekaisaran ini akan tetap aman.” 

Sebagai kaisar yang selalu memikirkan masa depan kekaisaran, itu adalah kabar paling menggembirakan bagi Johannes.

Namun dalam hatinya, Johannes masih satu pikiran. 

Dia berharap anak-anaknya bisa menumpahkan darah sesedikit mungkin. 

Tanpa bisa mengucapkannya sebagai kaisar, Johannes pun beranjak menunaikan tugas kenegaraan berikutnya.

 

Bagian 5

“Lapor! Tampaknya tangan-tangan perayu mulai menjangkau ke arah Viscount Helmer!”

“Kirim orang untuk meyakinkannya! Jangan sampai dia berpihak ke fraksi lain!”

“Lapor! Kapten Rehmer dari pasukan penjaga ibu kota telah direkrut oleh Yang Mulia Zandra!”

“Apa!? Sial! Jangan biarkan pembelot lain muncul! Kerahkan semua orang yang bisa digerakkan untuk mempertahankan para pendukung! Aku juga akan turun tangan!” 

Malam hari. Di ibu kota kekaisaran, pertempuran perekrutan dan siasat sedang berlangsung sengit.

Sejak rencana Zandra direbut, dia mulai melancarkan aksi balasan dengan merebut para pendukung Leo satu per satu.

Leo kini kewalahan menangani hal itu. 

“Repot juga ya.”

“Kakak juga bantu dong! Awalnya yang memulai keributan ini kan kakak!”

“Yah, memang aku yang mengusulkan untuk menyelamatkan Count Belz yang malang itu, tapi kamu juga setuju, kan? Memang aku minta maaf karena akhirnya jadi pertikaian, tapi toh kalau kita diam saja, dia pasti akan menyerang juga. Jadi ini malah pas, kan?”

“Kalau begitu bantu dong...”

“Aku bukan tipe yang jago dalam pertarungan terbuka, jadi itu urusanmu. Lagipula, aku juga tak bisa banyak membantu.”

“Kalau kakak saja tak bisa bantu, apalagi aku!”

“Jangan merendah berlebihan, bisa bikin orang benci, lho. Kalau kamu sendiri yang mendatangi mereka, para pendukung pasti ragu untuk meninggalkanmu. Mereka yang bertahan, itulah pendukung sejati. Semangat!”

“Enak saja ngomongnya. Pokoknya nanti kerjaan duta besar itu harus kakak bantu, ya!” 

Setelah berkata begitu, Leo mengenakan jaket dan keluar dari ruangan.

Aku menghela napas panjang sambil mengantarnya dengan tatapan. Zandra memang sedang menyerang, tapi tokoh inti dari kekuatan kami belum disentuh. Yang sedang disasar sekarang hanyalah pendukung baru. Kehilangan mereka tentu menyakitkan, tapi bukan kehancuran.

Masalah utamanya adalah bagaimana mempertahankan fondasi kekuatan. Tapi itu tugas Leo. 

Yang harus kupikirkan adalah motif di balik gerakan musuh. 

“Sebas.”

“Ya, ada apa?”

“Kalau kamu adalah Zandra, siapa yang akan kamu incar?”

“Kalau saya, saya tidak akan menyerang. Karena jelas akan disabotase oleh pihak lain. Kalaupun harus menyerang, saya akan menunggu waktu yang lebih tepat. Sekarang, lebih baik fokus mempertahankan pendukung yang ada.”

“Aku juga tahu itu. Tapi Zandra yang terbakar emosi justru melancarkan serangan. Kalau begitu, menurutmu apa artinya?” 

Setelah berpikir sejenak, Sebas memandangi kantong kue di atas meja dan tampak tersadar.

Dia menyadarinya juga, ya. Siapa pun yang berpikir sedikit saja pasti akan sampai ke titik itu. 

"Nona Fine, sepertinya. Kalau saya, saya akan mengincar Nona Fine."

“Tepat. Fine satu-satunya yang bisa jadi simbol setelah kita pergi dari ibu kota. Maka, kalau mau menyerang, dia yang paling mungkin dijadikan sasaran.”

“Benar. Namun jika Nona Fine diserang secara terang-terangan, akan menimbulkan masalah besar.”

“Ya, Ayah pasti tidak akan tinggal diam. Tapi bagaimana jika misalnya, saat Fine sedang berusaha mempertahankan pendukung dan diserang preman di jalan? Kemarahan Ayah akan diarahkan kepada kita.”

“Kalau begitu, lebih baik Nona Fine tetap tinggal di istana? Tapi saya tidak melihat beliau.”

“Tidak. Aku sudah mengirimnya ke tempat yang aman. Istana ini pun tidak sepenuhnya aman. Kalau ada orang dalam yang membantu membawanya keluar, itu akan menyulitkan.” 

Keamanan di Istana Kekaisaran memang luar biasa. Tapi itu hanya untuk ancaman dari luar. Kalau dari dalam, beda lagi ceritanya. Apalagi bagian atas istana yang dijaga ketat karena ada Kaisar, tidak bisa dijadikan tempat perlindungan untuk Fine. 

“Tempat yang aman, ya? Menurut pengamatanku, tempat paling aman di dekat Tuan Arnold adalah tepat di sisi Anda sendiri.”

“Nggak bisa. Sudah jelas aku yang menghubungi Count Belz. Zandra pasti paling ingin membunuhku sekarang. Tak bisa kubiarkan dia bersamaku.”

“Saya mengerti. Tapi, bukankah merekrut Count Belz adalah kesalahan? Mungkin sekarang Zandra menyadari bahwa Anda selama ini menyembunyikan taring. Rasanya tidak sepadan risikonya.”

“Toh aku tak bisa terus pura-pura jadi orang bodoh selamanya. Lagipula, begitu aku mengirim Elna ke Ayah, dia pasti mulai curiga. Dan kalau mereka menyelidiki lebih lanjut, mereka akan tahu kalau kamu mantan pembunuh legendaris. Sekarang mereka mungkin mengira semua ini adalah jasamu.”

“Anda terlalu meremehkan saudara-saudara Anda. Jangan terlalu optimis. Mereka juga keturunan Kaisar.”

“Aku tahu. Aku tak meremehkan mereka. Justru aku yakin akulah yang paling menghargai kemampuan mereka.” 

Justru karena aku waspada semaksimal mungkin, aku menjauhkan Fine dari sisiku.

Serangan Zandra ini pasti bertujuan untuk memancing Fine keluar. Kalau tak berhasil, maka cukup membuat beberapa pendukung kabur. Memang menjadi kerugian, tapi jauh lebih baik daripada kehilangan Fine. 

“Kelihatannya Anda tidak meremehkannya. Kali ini Anda tampak sangat serius. Karena ini menyangkut Nona Fine, ya?”

“Ya. Fine adalah putri Duke Kleinert. Kalau kita kehilangannya sekarang, kita tak akan bisa bangkit lagi.”

“Apakah hanya itu alasannya? Biasanya Anda pasti akan membalas jika tahu maksud lawan. Tapi kali ini Anda malah bertahan total. Karena tak ingin Nona Fine terluka, bukan?”

“Apa maksudmu?”

“Ah, saya hanya pikir itu hal yang baik. Nyonya Mitsuba pasti juga akan senang.” 

Aku hendak membalas perkataan Sebas yang sok tahu itu, tapi langsung menutup mulut.

Berdebat dengan pelayan satu ini hanya akan berakhir dengan kekalahan.

Jadi aku hanya diam dan mulai bersiap untuk keluar. 

“Mau pergi, Tuan?”

“Ya. Soalnya ada pelayan tertentu yang bilang jangan meremehkan mereka. Jadi aku mau pastikan sendiri soal keamanan.”

“Itu ide yang bagus. Setelah bertemu, tinggal bilang saja kalau Anda cemas dan datang, jadi sempurna.”

“Aku nggak akan bilang begitu!”

“Sayang sekali. Jadi, di mana Anda menyembunyikan Nona Fine?”

“Di tempat yang sangat kamu kenal. Tempat paling aman di ibu kota ini. Tempat di mana orang terkuat di ibu kota tinggal.”

“Ah, kediaman Armsberg, ya. Memang benar, kalau di sana tak akan ada yang berani menyentuhnya.” 

Tepat seperti itu.

Setelah Sebas tampak mengerti dan mengangguk, kami pun menuju kediaman Armsberg.


* * *


 Kediaman Keluarga Pahlawan Armsberg terletak di dekat istana.

Begitu aku mengunjungi rumah besar itu, aku langsung dipersilakan masuk. Walau aku seorang pangeran, sepertinya hanya aku yang bisa masuk semudah ini.

Aku, Elna, dan Leo adalah teman masa kecil, tapi yang paling aktif berinteraksi sejak kecil adalah aku.

Tak terhitung sudah berapa kali aku diseret ke rumah ini sambil menangis karena Elna.

Setelah kejadian itu berlangsung berulang kali, para kesatria penjaga gerbang mulai menyambutku setiap aku datang. Saat itu aku benar-benar merasa bahwa kebiasaan bisa jadi mengerikan.

Kali ini pun, meski sudah bertahun-tahun tidak datang, penjaga gerbang menyapaku lagi seperti dulu. Bagi orang-orang di rumah ini, aku adalah teman dari nona kecil kesayangan mereka. 

“Kalau dipikir-pikir, menyambut anak yang menangis itu agak aneh ya...”

“Bagi orang dewasa, kalian terlihat akrab, barangkali.”

“Menurutmu sendiri bagaimana?”

“Saya tahu betul bahwa Anda tidak menyukainya, tentu saja.”

“...”

Ucapan “Kalau begitu hentikanlah” sempat muncul di tenggorokanku, tapi aku telan kembali. Sudah pasti dia akan menjawab seenaknya dan mengalihkan pembicaraan. Lagipula itu semua sudah berlalu, dan kalau dipikir-pikir, berkat masa lalu itulah aku bisa mengirim Fine ke sini dengan mudah. Maka, semuanya tak bisa dibilang sia-sia. 

Sambil memikirkan itu, aku sampai di pintu masuk. Di sana berdiri seorang wanita dengan warna rambut yang sama seperti Elna. Warna matanya biru. Tampak muda dan cantik. Kalau tak diberitahu, siapa pun akan mengira dia kakak Elna, tapi... 

“Sudah lama ya. Arnold.”

“Lama tak jumpa. Kak Anna.”

“Sebas juga baik-baik saja?”

“Ya. Nyonya Armsberg.” 

Wanita ini adalah Anna von Armsberg. Istri dari Kepala Keluarga Armsberg dan ibu dari Elna.

Ibuku juga terlihat awet muda, tapi wanita ini sungguh seperti tersihir. Seolah-olah usia itu tak berlaku baginya. Sejak dulu, karena penampilannya ini, aku merasa tak enak hati memanggilnya “Tante”, jadi sampai sekarang tetap memanggilnya dengan “Kakak”. 

Dengan senyum hangat, Anna mempersilahkanku masuk. 

“Sayangnya suamiku sedang tak ada di rumah. Ah, tapi kamu sudah jadi pangeran yang terhormat, ya. Apa cara bicara seperti ini tidak sopan?”

“Tidak, mohon tetap seperti biasa. Kalau Anda berbicara dengan sopan, aku malah merasa tidak nyaman.”

“Aduh, kalau begitu biar kuturuti permintaanmu. Elna dan Fine sedang mandi sekarang. Kalau mau, kamu juga bisa ikut?”

“Terima kasih, tapi aku masih ingin hidup.”

“Wah, menyeramkan sekali. Dulu kalian sering mandi bersama, bukan?”

“Itu waktu masih kecil. Lagi pula, aku pernah hampir tenggelam karena Elna di kamar mandi rumah ini, Anda lupa?”

“Oh iya, benar juga. Ngomong-ngomong, dulu kalian pernah pulang sambil menangis, ingat? Kamu dilatih Elna agar bisa mengalahkan perundung, tapi kamu malah menangis. Dan Elna pun ikut menangis karena kamu tak juga berkembang.”

“Kalau diingat sekarang, tetap saja itu tidak adil.” 

Memang, dia itu musuh alamiku.

Aneh rasanya aku tak sampai mengalami trauma berat karenanya.

Orang dengan hati lemah bisa-bisa bunuh diri karena itu. Dan wanita ini menceritakan semuanya sambil tersenyum, cukup menakutkan, sebenarnya. 

“Kalau begitu, bisakah kamu menunggu di kamar tamu yang paling ujung?”

“Baik.”

“Sebas, bolehkah kamu membantuku menyajikan teh?”

“Dengan senang hati.” 

Kalau aku sering datang ke sini, berarti Sebas juga sering.

Dia mengikuti Anna seperti kepala pelayan pribadi saja. 

Aku pun menuju kamar tamu paling ujung seperti yang diperintahkan dan, tanpa berpikir panjang, langsung memegang kenop pintu.

Namun, saat sedikit membuka pintu, aku merasakan keberadaan orang lain. Suara wanita juga terdengar samar.

Tapi aku mengira itu hanya pelayan yang sedang merapikan tempat tidur, jadi aku pun membuka pintu tanpa ragu.

Dan itulah kesalahan fatalnya. 

“...”

“Nona Elna juga cocok sekali memakai gaun! Selanjutnya, bagaimana kalau gaun putih ini?”

“F-Fine... Sudahlah, hentikan memperlakukanku seperti boneka...” 

Di dalam ruangan, ada dua wanita yang sedang hanya mengenakan pakaian dalam. Fine memakai lingerie putih polos, sedangkan Elna mengenakan yang berwarna merah muda. Tak kusangka, ternyata Elna yang memakai model lucu dengan renda-renda. 

Keduanya memperlihatkan kulit putih yang biasanya tak akan mereka tunjukkan pada siapa pun. Karena mereka mengira hanya berdua, tak seorang pun dari mereka berusaha menutupi diri.

Fine biasanya mengenakan pakaian longgar, jadi bentuk tubuhnya tak terlalu tampak, tapi ternyata dia lebih berisi dari yang kuduga.

Sementara Elna, seperti yang pernah kulihat sebelumnya, tak banyak berubah, tapi tubuh langsing seperti miliknya mungkin justru lebih disukai oleh beberapa orang.



Saat aku tengah larut dalam pikiran, kedua gadis itu menyadari kehadiranku.

Sejenak mereka tampak bingung, namun dalam waktu singkat, wajah mereka sama-sama memerah hebat.

Dengan cepat, Elna pun mengambil posisi melempar, menggenggam bantal yang ada di dekatnya. 

Mencoba untuk membantah pada titik ini sudah tak ada gunanya, jadi aku hanya bisa menyesali tindakanku.

Aku lupa. Yang paling merepotkan dari semuanya adalah Anna. Siapa sangka dia akan membiarkanku mengintip anak perempuannya yang belum menikah sedang berganti pakaian? Ini jelas kejahilan yang disengaja. 

“Al! Kamu ini...!!”

“Tuan Al...!?” 

Sambil merasa telah dijebak, aku pun menerima nasibku berupa bantal yang dilempar dengan kecepatan luar biasa menghantam tepat di wajahku.

 

Bagian 6

“Bwah!” 

Aku, yang terkena lemparan bantal dengan penuh tenaga, langsung terguling ke belakang dan membentur bagian belakang kepalaku ke dinding dengan keras. 

“Ugh...!! Kepalaku...!!”

Wajahku sakit, kepalaku juga sakit.

Sambil bertanya-tanya mengapa aku harus mengalami ini, aku terus berguling-guling di tempat dengan menahan rasa sakit.

Sementara itu, Elna menutup pintu kamar. 

Tak lama kemudian, Anna dan Sebas datang membawa teh dan kudapan. 

“Ada apa, Al? Sedang mengingat kenangan memalukan, ya?” 

“Bukan begitu! Elna dan Fine sedang berganti pakaian di dalam, dan aku diserang!” 

Ketika aku menjelaskan kepada Anna yang berpura-pura tidak tahu padahal bertindak dengan sengaja, dia hanya menjawab dengan reaksi pura-pura polos, “Oh ya?” 

Orang ini...! Sebenarnya maunya apa, sih? 

“Tadi katanya mereka sedang mandi... Ya sudahlah. Lebih penting, bagaimana dengan Elna? Kamu sedikit merasa tertarik, bukan?” 

“Ya sudahlah apanya, dan bukannya tertarik, aku malah merasakan ancaman pembunuhan...”

Kenapa dia begitu santai? Gila. 

Kalau yang melayang ke arahku bukan bantal, mungkin aku sudah mati sekarang.

Aku mengelus wajahku yang masih terasa nyeri. Hanya karena bantal empuk saja begini, bagaimana kalau tadi benda keras? 

Saat aku sedang merinding membayangkannya, pintu terbuka dengan keras.

Sudah bisa ditebak, yang keluar tentu saja Elna. 

“Al? Kamu cukup berani tidak melarikan diri, ya? Bagus. Karena itu, kuberikan kesempatan untuk membela diri. Ayo, beri penjelasan atas aksi mengintip tadi.” 

“H-Hei! Itu pedang latihan, kan? Bukan pedang sungguhan, kan!? Tenanglah! Ini semua karena Kak Anna...”

“Jangan salahkan Ibu! Kamu yang tidak mengetuk pintu itu yang salah!” 

“Kamu sendiri juga tidak pernah mengetuk saat masuk ke kamarku!” 

“Kalau aku sih tidak masalah!” 

“Ini tidak masuk akal!!” 

Elna mengayunkan pedangnya, dan aku menghindar dengan cara berguling menjauh.

Meskipun itu bukan pedang sungguhan, di tangan Elna, pedang latihan itu cukup untuk menjadi senjata mematikan. Kalau kena, mungkin aku tak akan mati, tapi ingatanku bisa melayang. 

“Elna. Itu memalukan.” 

“Ibu! Tapi Al itu...!”

“Tak apa-apa, kan? Hanya melihat pakaian dalam saja. Dulu kalian sering mandi bersama, bukan?” 

“I-Itu kan waktu masih kecil! Sekarang kami sudah dewasa!” 

“Kalau sudah dewasa, bersikaplah lebih tenang.” 

Mendengar itu, Elna langsung menatapku tajam.

Kenapa aku yang ditatap seperti itu...? 

Kata “tidak masuk akal” kembali melintas di kepalaku untuk entah yang keberapa kalinya. Benar juga, dulu waktu kecil juga seperti ini. Kalau sedang bersama Elna, rasanya dunia ini tidak adil. 

“Sudah, mari kita minum teh dulu.” 

Anna berkata begitu sambil tersenyum, lalu masuk ke ruang tamu.

Elna juga mengikutinya, entah kenapa sambil menutup pintu dengan keras. Ada apa dengannya...

Yang tersisa hanyalah aku dan Sebas. 

“Nasib buruk, ya.” 

“Hei, Sebas...”

“Ada apa? Oh, sebagai catatan, saya benar-benar tidak menyadarinya. Tak kusangka mereka sedang berganti pakaian di kamar itu. Meski kupikir akan ada sesuatu, sih.” 

Kalau kamu sudah berpikir akan ada sesuatu, kenapa tidak bilang!? Teriakan hatiku itu kutahan sendiri. 

Dari dulu memang begitu. Kalau bukan situasi berbahaya, Sebas tak pernah mengomentari atau ikut campur. 

“Sekarang aku kagum pada diriku sendiri... Bisa-bisanya aku tumbuh jadi orang lurus begini.” 

“‘Lurus’? Itu lelucon yang lucu.” 

“Oceh sesukamu.” 

Sambil melirik tajam ke arah Sebas, aku pun masuk ke ruang tamu. Kali ini, tentu saja aku tidak lupa mengetuk pintu terlebih dahulu.


* * *


“Maaf ya, Al. Aku tidak menyangka kalian sedang memilih pakaian di kamar ini.” 

“Tidak, tak apa...” 

“Aku benar-benar minta maaf... Ini semua karena aku melakukan hal yang tidak perlu.”

“Ini bukan salahmu, Fine. Ini semua salahnya Al.” 

Fine meminta maaf, sementara Elna bersikap tinggi hati. Memang menunjukkan kepribadian masing-masing. 

Kalau diringkas, begini ceritanya. 

Karena rumah ini memiliki banyak pakaian untuk tamu, Elna dan Fine mampir ke kamar ini sebelum mandi untuk memilih pakaian untuk Fine. Entah kenapa, acara coba-coba pakaian pun dimulai, dan waktu pun berlalu tanpa terasa. 

Tentu saja, Anna mengira mereka sudah mandi dan secara alami mengantarku ke kamar ini. Dan terjadilah insiden itu. 

Yah, wajar sih. Tapi rasanya terlalu disengaja. Kenapa harus diantarkan ke kamar ini? Rasanya seperti direncanakan. Tapi menyelidikinya pun percuma. Mustahil aku bisa menang beradu kata dengan Anna. 

“Yah, kamu sudah membayar dengan cukup mahal untuk pemandangan indah itu, jadi sudahlah, Elna.” 

“Mana bisa dimaafkan begitu saja! Seorang gadis yang belum menikah sampai dilihat saat berganti pakaian! Dan bukan sembarang gadis, putri dari rumah Keluarga Pahlawan dan Duke pula!” 

“Kalau begitu, mau dia bertanggung jawab? Aku tak keberatan.” 

“Apa!?” 

“Eh!?” 

“Haa...” 

Anna melemparkan pernyataan bom dengan tenangnya, membuat wajah Elna memerah dan terdiam, sementara Fine menjadi gugup karena terkejut. 

Benar-benar, wanita ini... 

“Aku rasa dia juga tak akan keberatan kalau Al yang bertanggung jawab, bukan? Bagaimana menurutmu?” 

“A-Apa maksudmu dengan ‘bagaimana’? I-Itu... A-Aku ini seorang kesatria, dan soal seperti ini...” 

“Kalau kamu tak bisa memaafkan karena dilihat pakaian dalammu, maka pembicaraannya akan ke arah sana. Tapi yang jadi masalah adalah persaingan dengan keluarga Duke Kleinert. Kamu populer juga ya, Al.” 

“Benar juga, sepertinya kita perlu memberi tahu keluarga Fine.” 

“Uhh... M-Memberi tahu Ayah. I-Itu...” 

“Tolong berhenti memutuskan jalan hidupku seperti itu hanya karena kalian merasa lucu. Maaf, tapi aku belum berniat menikah dengan siapa pun.” 

“Jadi kamu tidak akan bertanggung jawab?” 

“Tidak.” 

“Sayang sekali.” 

Begitu ucap Anna, lalu dengan santai memasukkan kue ke dalam mulutnya. 

Akhirnya Elna sadar kalau dirinya dipermainkan, wajahnya memerah saat memalingkan muka. Fine, yang juga sadar ini hanya lelucon, menundukkan kepala dengan wajah merah padam.

“Ngomong-ngomong, Al. Haruskah kita masuk ke topik utama sekarang? Kamu tak datang hanya untuk bersantai, bukan?” 

Memang, sebagai nyonya rumah Armsberg, dia tahu dengan baik. 

Aku pun mengubah sikap dan menghadap Anna dengan serius. 

“Mungkin ini permintaan yang kurang ajar, tapi bolehkah Fine tinggal di sini untuk sementara waktu? Dan sebisa mungkin, aku ingin dia selalu bersama Elna.” 

“Itu ada kaitannya dengan perebutan takhta, kan? Kalau begitu, tidak bisa. Kami ini Keluarga Pahlawan Armsberg. Kami tak ikut campur dalam perebutan takhta.” 

Yah, tentu saja. 

Aku menerima jawaban yang memang sudah kuduga. 

Kalau hanya mengungsikan Fine sehari dua hari mungkin tidak masalah, tapi kalau dia tinggal di sini lebih lama, maka bisa dianggap Keluarga Pahlawan berpihak padaku. Mereka tak bisa membiarkan itu terjadi. 

Namun.

“Blau Mève adalah kesayangan Yang Mulia Kaisar. Kalau terjadi sesuatu padanya, akan membuat murka Yang Mulia. Akan terlihat wajar kalau Keluarga Pahlawan melindunginya, bukan?”

“Oh? Jadi kamu ingin membawanya ke arah itu?” 

“Kalau tidak ke arah itu, Anda tak akan menerima, kan?” 

“Tak perlu sejauh itu. Kalau tadi kamu bilang demi menjaga citramu, aku pasti menerimanya. Kamu memang selalu payah soal membujuk orang. Itu bisa merugikanmu nanti, lho?” 

Anna menjawab dengan nada ringan. 

Itu berarti dia akan menerimanya. 

Dengan ini, keselamatan Fine untuk beberapa hari ke depan terjamin. Selama Keluarga Pahlawan Armsberg ada, kemungkinan buruk pun tak akan terjadi. 

“Akan kuingat baik-baik. Dan, terima kasih. Aku sangat menghargai bantuan ini. Aku akan membalas budi ini suatu saat nanti.” 

“Begitu ya. Aku akan menantikan balasannya. Tapi... Waktu benar-benar cepat berlalu, ya. Kamu yang dulu itu anak kecil yang sering menangis. Tak kusangka sekarang kamu ikut dalam perebutan takhta...” 

“Aku tak bisa terus menangis selamanya. Fine, untuk sementara, tinggallah di sini. Mungkin hanya beberapa hari, jadi tenanglah.” 

“Baik... Tapi, apakah Anda sendiri tidak dalam bahaya?” 

“Aku justru menyuruhmu tinggal di rumah ini karena keberadaanku yang berbahaya. Jujur saja, kalau kepala Zandra sedang panas, dia mungkin menyerangku tanpa peduli untung-rugi. Dia pasti sangat ingin membunuhku sekarang.” 

Zandra memang kejam dan berwatak kasar. Seperti yang diperlihatkan dengan serangannya kali ini, tak ada satu pun dari pihaknya yang bisa sepenuhnya mengendalikannya. Setidaknya tak ada yang cukup dekat dengannya untuk itu. 

Jika demikian, aku pun tak bisa menjalankan segalanya sesuai rencana. 

Beberapa hari ke depan akan sangat berbahaya. Tapi kalau beberapa hari lagi Gordon mulai menyerang fraksi Zandra, maka tekanannya terhadap kami akan berkurang. Meski begitu, bahkan Gordon pun butuh waktu untuk bergerak. 

Pertanyaannya adalah, apakah kami bisa bertahan sampai saat itu tiba. 

“K-Kalau begitu, Anda juga sebaiknya bersembunyi...” 

“Kalau aku bersembunyi, maka yang akan jadi target adalah Leo. Untuk menarik perhatian Zandra, aku tak bisa bersembunyi. Mungkin akan ada satu atau dua kali percobaan pembunuhan.”

“Jangan bilang begitu...!” 

“Tenang saja. Aku punya Sebas. Dan kalau situasinya makin parah, aku juga punya seseorang yang bisa kuandalkan.” 

Mendengar itu, akhirnya Fine pun menurut. 

Meski aku merasa bersalah melihat wajah cemasnya, aku takkan terbunuh. Mereka mungkin berpikir bisa membunuhku setelah menaklukkan Sebas, tapi bahkan setelah itu, aku masih punya pertahanan tersendiri. 

Selama mereka belum tahu kalau aku adalah Silver, mustahil mereka membunuhku.

 

Bagian 7

Karena Fine kini dijaga oleh Keluarga Pahlawan, kami pun bisa bergerak dengan lebih tenang. 

Selama dua hari sejak itu, kami berkeliling menemui para pendukung yang mungkin menjadi sasaran Zandra untuk memberikan peringatan. Dan pada malam hari di hari kedua, akhirnya Zandra benar-benar melancarkan serangan. 

“Musuh telah muncul.” 

“Datang juga, ya.” 

Saat kereta tengah melaju, Sebas menyampaikan kabar itu. 

Meski telah kuduga, aku tetap tak bisa menahan helaan napas. Sepertinya darahnya benar-benar sedang naik ke kepala. Menyerang pada saat seperti ini berarti secara tidak langsung dia menyerahkan keuntungan kepada Gordon dan Eric. Dengan adanya Sebas, sekalipun mereka berhasil membunuhku, kekuatan mereka tetap akan berkurang. Dalam kondisi begitu, jika diserang dua fraksi sekaligus, sudah pasti mereka takkan sanggup menahan. Bahkan pembunuhanku bisa menjadi alasan bagi dua fraksi lain untuk menyerang balik dengan dalih pembalasan. 

“Benar-benar perempuan yang tak bisa melihat ke depan.” 

“Bisa dibilang dia justru melihat terlalu jauh. Targetnya Anda, itu menunjukkan pandangan yang tajam.” 

“Terima kasih banyak. Tapi tetap saja menyusahkan.” 

“Memang. Aku berharap para penasihat Zandra bekerja lebih baik.” 

Fraksi Zandra memang berpusat pada para penyihir. Tentu, ada juga selain penyihir di dalam fraksinya, tetapi para birokrat dan militer yang unggul lebih memilih Eric dan Gordon. Karena itu, fraksi Zandra kekurangan penasihat yang andal dalam urusan politik. Meski punya banyak penyihir kuat, tak mampu melampaui Eric dan Gordon adalah bukti nyata kekurangan itu. 

Jika saja dia punya penasihat yang benar-benar hebat dan bisa mendengarkan saran orang itu, mungkin ceritanya akan lain. 

“Saya akan urus mereka.” 

“Baiklah. Aku akan menuju istana.” 

“Mohon berhati-hati. Bisa jadi ada pasukan tersembunyi.” 

“Kalau begitu, akan kuhadapi saat waktunya tiba.” 

Setelah pertukaran singkat itu, Sebas meloncat keluar dari kereta yang sedang melaju. 

Bisa dibilang hampir pasti ada pasukan tersembunyi. Dari sudut pandang lawan, ini pasti terlihat seperti sukses memancing Sebas keluar. Kalau begitu, besar kemungkinan mereka mengirim pembunuh yang cukup tahu situasi internal kami. Ini kesempatan bagus untuk mengumpulkan informasi. 

Saat aku sedang merencanakan hal itu, kusir kereta yang membawaku berteriak. 

“Hiih! P-Pangeran! Ada orang di depan!” 

“Abaikan. Jalan saja.” 

“T-Tidak bisa! A-Aku tidak mau mati!” 

Tampaknya dia menyadari orang itu adalah pembunuh. 

Kusir muda itu menghentikan kereta lalu kabur, meninggalkanku sendirian. 

Tinggal sendiri di dalam kereta, aku mendesah panjang. Ini memang sudah kuduga dan bahkan lebih memudahkan, tapi aku tetap merasa muak pada betapa tak punya wibawanya diriku. Kalau yang menumpang Leo, pasti si kusir tidak akan lari begitu saja. 

“Silakan turun. Menyeretmu keluar dari kereta akan terlalu kasar.” 

“Padahal kamu hanya ingin melihat wajahku, kan.” 

Aku menanggapi ucapan pembunuh itu dengan nada datar, lalu turun dari kereta tanpa banyak perlawanan. 

Di depan kereta berdiri seorang pria paruh baya dengan rambut cokelat dipangkas rapi. Wajahnya penuh wibawa, dan jelas dia seorang petarung berpengalaman. Rupanya Zandra cukup serius. Dia mungkin mengirim salah satu dari lima orang terkuat di fraksinya. 

Sekilas saja, aku bisa menilai kekuatannya selevel petualang peringkat A. 

Sebagai pembunuh, yang tugas utamanya menyerang secara mendadak, memiliki kekuatan selevel itu membuatnya sangat berbahaya. Kalau seorang petualang peringkat A muncul di belakangmu, nyawamu bisa melayang dalam sekejap. Pembunuh bukan seperti petualang biasa. Mereka adalah profesional dalam membunuh. 

“Menyedihkan sekali, ditinggalkan oleh pelayanmu.” 

“Tak heran. Aku memang tak punya karisma.” 

“Tak goyah, ya. Itu karena kamu percaya pada pelayanmu?” 

“Benar. Sebas pasti segera datang dan menghabisimu.” 

“Hubungan yang indah antara tuan dan pelayan. Tapi itu takkan terjadi. Meski sehebat apa pun pelayanmu, butuh waktu baginya untuk mengalahkan dua belas pembunuh sekaligus lalu kemari.” 

“Benarkah?” 

Aku tetap mempertahankan sikap tenang. Mungkin dia mengira itu hanya gertakan, karena pria itu menyeringai dan mendekat. 

Di tangannya, terbentuk belati dari api. 

“Perintahnya memang pembunuhan, tapi aku takkan membunuhmu. Aku hanya akan melumpuhkanmu dan membawamu ke hadapan tuanku.” 

“Aku tidak ingin pergi ke tempat kakakku yang suka menyiksa itu.” 

Dia memang anak buah yang tahu situasi. Dalam kasus ini, penculikan lebih efektif dari pembunuhan. Jika aku hanya dinyatakan hilang, masih banyak skenario yang bisa dijalankan. Eric dan Gordon pun takkan terlalu repot-repot mencariku. Kalau beruntung, mereka bisa menyelipkan pengganti di posisi wakil duta besar. 

Sebagai awalan, mereka cukup membawaku keluar dari ibu kota sebelum pencarian dimulai dan menyiksaku sesuka hati. Kalau pikiranku hancur, Zandra bisa mengendalikan segalanya. Bahkan jika aku diselamatkan, aku takkan mampu membocorkan apa pun tentang Zandra. Atau mereka bisa melenyapkan pikiranku. Itu bahkan lebih efektif daripada pembunuhan. 

“Kasihan sekali. Salahkan saja adikmu yang terlalu sempurna,” ucapnya sambil melemparkan belati api. 

Namun, penghalang sihir sudah kugunakan di sekeliling tubuhku. Sihir serendah itu takkan mampu menembusnya. Tapi, sebelum belati itu mengenaiku, sebuah pedang muncul dari samping dan menebasnya.

“!?”

“...Siapa kamu?” 

“Seorang petualang yang kebetulan lewat.” 

Aku menoleh pada penyusup itu. 

Yang kulihat adalah seorang gadis dengan rambut cokelat dikuncir kuda. Tapi karena topi dan pakaian longgarnya, dia sekilas tampak seperti anak laki-laki. Aku mengenalnya. 

Petualang peringkat A yang ikut serta dalam perburuan slime raksasa di wilayah Duke Kleinert. 

“Kalau kamu memang petualang, minggirlah. Kamu tidak dapat kontrak untuk ini, kan?” 

“Memang tidak. Aku tidak tahu siapa orang di belakangku, aku tak tahu kenapa dia diserang. Aku juga tak punya alasan atau kewajiban untuk menolongnya.” 

“Kalau begitu...” 

“Tapi melihat pembunuhan di depan mataku itu rasanya tidak enak. Apalagi orang itu ditinggal pelayannya. Kalau tidak ada satu pun yang membelanya, rasanya tidak adil, kan?” 

“Berarti kamu berpihak padanya. Kamu sadar itu berarti memusuhi bangsawan tinggi?” 

“Lebih baik menyesal karena menolong daripada menyesal karena membiarkan.” 

Mendengar itu, pria itu langsung menilai gadis itu sebagai musuh. 

Dia menarik dua belati dan melemparkannya ke arah gadis itu. Kali ini bukan sihir, melainkan belati asli. Gadis itu menangkisnya dengan pedang, tapi ternyata ada belati es yang tersembunyi di belakangnya. Jika dia menghindar, belati itu akan menghantamku yang berada di belakangnya. 

Dengan refleks luar biasa, gadis itu mengubah pedangnya menjadi perisai dan menahan belati es tersebut. 

“Pedang sihir yang bisa berubah bentuk, ya... Barang aneh juga.” 

“Aku menemukannya di reruntuhan kuno. Bisa begini juga, lho.” 

Dengan itu, dia mengubah perisai itu menjadi tombak. Dia mulai mengayunkannya sambil perlahan mendekat. 

Sekilas, tombak itu tampak biasa saja. Namun, tak butuh waktu lama untuk menyadari keanehannya. 

“Ugh...”

“Hebat juga kamu masih terjaga. Padahal suara ini bahkan bisa membuat monster kuat terlelap.” 

“Suara...!”

Tombak itu mengeluarkan suara yang memancing kantuk. Aku tak bisa mendengarnya, tapi tampaknya bagi si pria, suara ayunan tombak itu terdengar seperti nyanyian nina bobo. 

Kemampuan yang sangat menyusahkan. Siapa yang mau melawan musuh sambil mengantuk? Bahkan jika bisa melawan rasa kantuk, kamu tetap tak bisa bertarung dengan maksimal. Pria itu pun menyadari bahaya itu. 

Dia langsung mengambil jarak dari gadis itu. Setelah melempar sekilas pandang padaku, dia mengklikkan lidah dan memilih mundur.

Tak lama setelah itu, Sebas pun datang. 

“Apa yang sedang terjadi di sini?” 

“Aku terjebak dalam situasi berbahaya, dan dia menolongku. Terima kasih.” 

“Tidak perlu. Aku tidak bisa membiarkan pembunuhan begitu saja. Ngomong-ngomong, melihat keretanya, tampaknya Anda adalah orang terpandang, bukan?”

“Ah, maaf. Namaku Arnold Lakes Ardler. Pangeran Ketujuh Kekaisaran.”

“Pangeran Ketujuh? Begitu ya, jadi ini tentang perebutan takhta yang sering dibicarakan. Menolong orang memang tidak ada ruginya. Aku telah selangkah lebih dekat ke tujuanku.” 

Mengucapkan itu, gadis itu melepas topinya dan berlutut di tempat. 

Wajahnya tampak rapi meski agak androgini. Mungkin dia seumuran denganku? 

“Yang Mulia Pangeran, namaku Lynfia. Meski ini bukan cara yang tepat untuk membalas budi, bolehkah aku memohon sesuatu kepada Anda?”



Eh, aku sama sekali tidak ingat pernah meminta bantuan. Kalau begitu, justru aku kehilangan kesempatan untuk menangkap pembunuh tadi. 

Meski begitu, gadis ini tidak tahu bahwa aku adalah Silver. Dan sebagai Arnold yang seolah telah diselamatkan nyawanya, aku tak bisa begitu saja menolak permintaannya. Sekali aku menolak, maka tak akan ada lagi orang yang sudi membantu aku atau Leo. 

Tapi berdasarkan pengalamanku sejauh ini, aku tahu pasti, ini pasti akan menjadi urusan yang merepotkan. Meski begitu.

“Untuk sementara, kita bicara di istana dulu. Silakan naik ke kereta. Aku tidak tahu apakah bisa membantu, tapi akan kuusahakan.” 

Sambil memasang benteng terakhir dalam kata-kataku, aku mengundang Lynfia masuk ke dalam kereta. 

Sungguh, masalah ini tak pernah ada habisnya.

Yang bisa kulakukan hanyalah mendesah kecil dan meratapi.

 

Bagian 8

Setelah kembali ke istana, aku mengundang Lynfia ke dalam ruanganku.

Lalu aku duduk di sofa, berhadapan langsung dengannya. 

“Biarkan aku mengucapkan terima kasih sekali lagi. Lynfia, kalau bukan karenamu, aku pasti sudah mati.” 

“Belum tentu begitu. Pembunuh itu tidak berniat untuk membunuh. Jika benar-benar berniat, pelayan Anda di belakang tadi mungkin sempat datang menyelamatkan Anda.” 

“Meski begitu, aku bisa selamat tanpa luka sedikit pun. Terima kasih.” 

“Itu semua demi kepentinganku sendiri. Dan akan lebih baik jika ungkapan terima kasih itu bukan hanya dalam bentuk kata-kata.” 

Tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun, Lynfia menyampaikan itu.

Anak ini benar-benar tipe yang tenang. Cara bicaranya datar, tanpa emosi di wajahnya. Sebagai petualang solo, mungkin dia kekurangan pesona, tapi tampaknya dia cukup tangguh untuk tetap bertahan hidup dengan kemampuannya sendiri. 

“Baiklah. Kalau begitu, mari kita dengar ceritamu.” 

“Terima kasih. Desa tempat aku dilahirkan terletak di dekat perbatasan selatan Kekaisaran. Kalau aku sebut sebagai desa kaum pengungsi, Anda mungkin sudah bisa membayangkannya, bukan?” 

Desa pengungsi. Mendengar kata itu, aku mengerutkan kening. Aku memang sudah menduga akan jadi urusan yang merepotkan, tapi ternyata jauh lebih rumit dari yang kubayangkan. 

Kaum pengungsi, seperti namanya, adalah orang-orang yang melarikan diri dari tempat asalnya. Mereka bukan warga asli Kekaisaran. Mereka diusir dari kampung halaman akibat perang atau serangan monster. 

“Ya, aku paham. Dan aku juga tahu ini bukan masalah yang mudah diselesaikan untukku. Tapi lanjutkanlah ceritamu.” 

“Baik. Seperti yang Anda tahu, desa pengungsi tersebar di banyak tempat, dan kebanyakan tidak diakui oleh Kekaisaran. Itu wajar saja, karena kami masuk secara ilegal dan membangun desa sendiri. Aku tidak berniat mengeluh soal itu. Desa kami pun salah satu dari mereka. Tapi... Saat ini kami sangat membutuhkan bantuan dari Kekaisaran.” 

“Ada masalah yang terjadi?” 

“Benar. Desa kami telah menjadi target para penculik. Gadis-gadis muda dan anak-anak diculik satu per satu. Ini terjadi karena desa kami terdiri dari para pengungsi dari berbagai ras. Banyak dari kami, termasuk aku, adalah keturunan campuran.” 

Keturunan campuran bukanlah hal yang langka. Bahkan aku pun tergolong begitu.

Di Kekaisaran, rambut hitam tidak terlalu aneh, tapi memiliki mata hitam juga tergolong cukup langka. Mungkin orang akan mengira aku berasal dari timur. Tapi tingkat kelangkaan itu belum cukup untuk jadi alasan penculikan. 

“Karena keturunan campuran, apa yang terjadi di desa kalian?” 

“...Iris heterokromia.” 

Begitu aku mendengar itu, aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Ya, tentu saja itu alasannya. Jika desa mereka menjadi target penculikan dan terdiri dari ras campuran, maka kemungkinannya hanya satu, mereka anak-anak dari ras setengah manusia atau ras lain. Aku mengklik lidahku dan menyilangkan kakiku.

Cerita yang menjijikkan dan menakutkan. Heterokromia, fenomena langka ketika warna mata kiri dan kanan berbeda. Masalahnya, anak-anak seperti itu dihargai sangat tinggi di pasar budak. Selain karena kelangkaannya, mereka juga biasanya memiliki kekuatan sihir yang besar. 

“Kalau ini menyangkut perdagangan manusia, aku tidak bisa tinggal diam. Tapi kalau itu di perbatasan selatan, bukankah lebih cepat untuk bicara dengan penguasa wilayah atau petugas militer di kota besar terdekat daripada datang jauh-jauh ke ibu kota?”

“Saya sudah mencobanya. Tapi tak seorang pun bergerak. Katanya tidak ada bukti. Bahkan sampai dibilang, desa kami itu tidak ada. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk pergi ke ibu kota dan meminta bantuan dari orang berpengaruh. Untungnya, saya tidak memiliki heterokromia, jadi bisa meninggalkan desa dengan aman. Saat menerima pekerjaan di wilayah barat, aku sempat bertemu dengan seseorang bernama Silver. Lalu kudengar desas-desus bahwa Silver memiliki hubungan dengan keluarga kerajaan. Maka saya pergi mencarinya ke ibu kota. Tak kusangka, saya bertemu Anda terlebih dahulu.” 

“Benar-benar kebetulan. Tapi tak ada yang bergerak, ya...” 

Kemungkinan terburuk pun terlintas dalam pikiranku, yang paling merepotkan.

Yaitu, bahwa para bangsawan atau pejabat militer di wilayah itu terlibat dengan jaringan penculik tersebut. Kalau itu benar, maka ini bukan hanya masalah desa pengungsi, melainkan sudah menjadi persoalan korupsi di kalangan bangsawan dan militer. 

Dan kalau begitu, aku tidak akan punya cukup waktu untuk menyelesaikannya. 

“Yang Mulia Arnold. Meski ini permintaan dari penyelamat nyawa sekalipun, jika tidak memungkinkan, Anda sebaiknya katakan saja.” 

“Sebas...” 

“Mengapa begitu?” 

“Yang Mulia Arnold dan adiknya, Pangeran Leonard, akan segera berangkat sebagai duta besar ke luar negeri. Dia tak akan kembali setidaknya selama setengah bulan, mungkin bahkan berbulan-bulan. Sekalipun ingin membantu, waktunya tidak memungkinkan.”

“Begitu ya... Kalau begitu, bolehkah saya meminta bantuan dana? Saya sudah merekrut beberapa petualang tepercaya dan memberi mereka bayaran untuk menjaga desa kami. Untuk saat ini, desa aman terkendali. Tapi, kami tak punya cukup uang untuk mempertahankan mereka dalam waktu yang lama. Uang yang kami punya hanya cukup sebagai uang muka...” 

Jadi itulah alasan dia menjadi petualang. Sambil menghasilkan uang, dia juga menilai siapa saja petualang yang bisa dipercaya. Dan cara terbaik untuk menilai adalah melalui misi bersama. 

Anak ini benar-benar berpikir matang. Sekarang, apa yang harus kulakukan?

Meninggalkannya begitu saja itu mudah. Tidak perlu membebani diri dengan urusan serumit ini di saat yang genting.

Lagipula, meski dia menyelamatkanku, itu hanya secara formal. Bukan berarti nyawaku benar-benar dalam bahaya. Dan ada permintaan yang bisa dipenuhi, ada pula yang tidak. Ini jelas termasuk yang kedua. 

Namun, ada beberapa orang yang pasti akan keberatan kalau aku menolaknya. Bahkan lebih buruk lagi, mungkin mereka akan bertindak sesuka hati. Itu akan lebih merepotkan. Tak ada pilihan lain. 

“Lynfia. Aku mengerti ceritamu. Boleh aku mengajukan tawaran kompromi?” 

“Tawaran kompromi?” 

“Ya. Aku dan Leo harus pergi ke negeri lain. Itu tidak bisa dihindari. Tapi setelah kami kembali, aku akan membantu sebisanya. Aku hanya minta kamu menunggu sampai saat itu. Dan agar desa tetap aman sampai saat itu, aku akan mengatur misi baru untuk petualang yang dapat dipercaya. Biayanya akan kutanggung. Bagaimana?” 

“...Benarkah?” 

“Yang Mulia... Itu sangat berbahaya. Kita sedang berada di tengah perebutan takhta. Menambah masalah lain hanya akan menciptakan celah. Hal seperti hari ini bisa terjadi lagi.” 

“Kalau begitu, izinkan saya ikut membantu. Bagaimana kalau begitu?” 

Sambil berkata demikian, Lynfia meletakkan pedangnya di atas meja.

Tampak seperti pedang ramping biasa, tapi seperti yang kulihat tadi, itu adalah pedang sihir. Pedang itu bisa berubah bentuk menjadi tombak atau perisai. Melihat dari kemampuan suara tombaknya, sepertinya setiap bentuk memiliki kekuatan berbeda. 

Tanpa mengubah ekspresinya, Lynfia melanjutkan, “Jika Anda bersedia menjaga desa saya, maka saya akan melindungi Anda. Saya akan melindungi semua yang ingin Anda lindungi. Bukankah itu sebuah bentuk pertukaran yang setimpal? Saya cukup percaya diri dalam hal menjaga tokoh penting.” 

“Itu tawaran yang sangat baik, tapi bagaimana dengan desamu?” 

“Kalau Anda benar-benar mengirim petualang andal, maka tidak akan masalah. Saat saya berada di sana, saya bisa menjaga desa sendirian. Kalau ada petualang kelas A, keselamatan desa sudah lebih dari cukup.” 

Dia ini benar-benar setia dan hati-hati. Dia mempertimbangkan kemungkinan aku tidak akan bertindak hanya dengan janji, jadi dia menawarkan diri untuk tetap berada di sisiku. 

Dan memang, aku sempat memikirkan untuk menunda-nunda atau mengabaikan hal ini tergantung situasi. Karena itu aku memakai kata-kata seperti “sebisa mungkin membantu”, frasa yang bisa diartikan sesuka hati. Mungkin ini benar-benar keberuntungan? 

Baiklah, mari uji sedikit lagi. 

“Lynfia. Kalau aku melanggar janjiku, apa yang akan kamu lakukan?” 

“Saya akan membawa bukti yang memberatkan Anda ke pihak lain dalam perebutan takhta. Dan menjadikannya sebagai imbalan untuk menyelamatkan desa saya.” 

Aku dan Sebas saling berpandangan dalam diam. 

Petualang kelas A yang punya kemampuan tempur mumpuni, bisa menghadapi berbagai situasi, dan pandai bernegosiasi. Kalau dia bisa bertahan hidup sebagai petualang solo, tentu dia juga punya pengetahuan luas. 

Aku tidak bisa terus-menerus membebankan tugas menjaga Fine pada Elna. Elna pun punya tugasnya sendiri. Dalam hal ini, Lynfia adalah kandidat terbaik untuk mengisi celah itu. 

Jujur saja, baik dari segi kepribadian maupun kemampuan, dia lebih cocok jadi pengawal daripada Elna. 

“Kalau aku bilang tidak setuju dengan kesepakatannya?” 

“Itu tidak masalah. Saya hanya akan menawarkan permintaan yang sama pada kandidat takhta lainnya. Dan saya katakan juga bahwa Anda menolaknya. Itu saja sudah cukup untuk membuat mereka tertarik.” 

“Hmm...” 

Dia bahkan mampu membaca situasi. Tetap tenang tanpa menggerakkan alis sedikit pun di tengah tekanan seperti ini juga nilai plus. Karena saat ini, Lynfia sedang berjalan di atas tali yang sangat rapuh.

Jika aku menolak di sini, Lynfia sudah pasti akan jatuh ke dalam kesulitan besar. Tidak ada jaminan bahwa para kandidat takhta lainnya akan menawarkan syarat yang sama denganku. Lynfia memang berkata bahwa mereka akan menerima tawarannya, tapi itu hanya sikap percaya diri yang disengaja, sebuah gertakan. Meskipun begitu, Lynfia tidak goyah, juga tidak mencoba merendah padaku. Karena dia tahu. Bahwa ini adalah ujian. 

“Sebas. Bagaimana menurutmu?” 

“Tidak ada yang perlu dikeluhkan. Jika dia bersedia bekerja sama, dia akan menjadi sekutu yang sangat kuat. Hanya saja, masalah desa tetap harus diselesaikan.” 

“Menimbang untung ruginya, ya... Yah, mau bagaimana lagi. Aku memang tidak punya banyak pilihan. Lynfia, aku terima tawaranmu. Kamu bekerja sama denganku, dan aku membantumu. Begitu, bukan?” 

“Aku tidak keberatan... Tapi, mengapa Anda bilang tidak punya pilihan?” 

“Adikku orang yang terlalu baik hati. Begitu juga dengan putri duke yang menjadi sekutu terkuat kami. Kalau aku meninggalkanmu, mereka pasti akan marah, bahkan mungkin bertindak sendiri untuk menolongmu. Kalau begitu, lebih baik aku bantu dari awal.” 

“...Terus terang, saya cukup terkejut. Reputasi Anda tidak pernah baik. Disebut tidak berguna dan tak bersemangat. Seorang pangeran yang hanya tahu bersenang-senang. Orang-orang bilang Anda hanya cangkang kosong yang ditinggalkan oleh adik Anda yang jauh lebih hebat. Banyak rakyat menggambarkan Anda seperti itu. Tapi, kesan yang saya dapat setelah berbicara langsung sangat bertolak belakang. Anda bukan orang yang tak berguna, juga bukan orang tanpa semangat. Jangan-jangan Anda sebenarnya Pangeran Leonard?” 

Lynfia menatapku dengan pandangan sedikit curiga. Aku hanya bisa tersenyum masam menanggapi itu.

Benar juga. Karena masalah yang terlalu merepotkan ini, aku sampai lupa memainkan peran sebagai orang bodoh. Semakin kuat alasan bagiku untuk tidak melepaskan Lynfia sekarang. 

“Tenang saja. Aku Arnold yang sungguhan. Yah, yang jelas kesepakatan sudah dibuat. Aku mengandalkanmu, Lynfia.” 

“...Senang bekerja sama dengan Anda.” 

Dengan begitu, aku dan Lynfia pun saling menjabat tangan dengan erat.

 

Bagian 9

Pada suatu hari, ketika persiapan keberangkatan berjalan dengan lancar, aku mengunjungi kediaman Keluarga Pahlawan.

Alasanku datang ke sini adalah karena ingin secara pribadi mengucapkan terima kasih karena telah menyembunyikan Fine. 

“Ada apa, Al? Bukankah kamu sedang sibuk sekarang?”

“Aku nggak terlalu sibuk. Semua aku serahkan ke Leo.” 

Mendengar jawabanku, Elna yang menyambutku di pintu rumah, meletakkan tangan di pinggang dan menghela napas panjang dengan ekspresi jengkel. 

“Kamu lagi-lagi seperti itu... Kalau terus-menerus menyerahkan semuanya ke Leo, dia bisa kewalahan, lho?”

“Aku sudah tahu kadar yang pas. Lagipula nggak masalah. Kalau dia nggak punya kerjaan, dia malah cari sendiri.” 

Memberikan pekerjaan seadanya adalah solusi terbaik berdasarkan pengalamanku selama ini.

Meskipun begitu, wajah Elna tetap menunjukkan rasa tidak puas. Mungkin bukan karena aku menyerahkannya ke Leo, tapi lebih karena aku terlihat seperti bermalas-malasan. 

“Kamu itu cuma mau bersantai, kan, sebenarnya?”

“Seorang adik ada untuk membuat hidup kakaknya lebih mudah.” 

Saat aku menjulurkan lidah sambil berkata begitu, Elna kembali menghela napas.

Percakapan ringan seperti biasa. Setelah itu, aku menatap Elna lurus-lurus dan masuk ke topik utama. 

“Kamu kosong setelah ini?”

“Apa maksudmu? Kamu mau ngajak kencan? Kalau niatnya begitu, setidaknya bikin ajakan yang lebih menarik.”

“Yup, semacam itu.” 

Elna yang tadinya bersiap-siap mengejekku, langsung membeku. Dan dalam keadaan membeku itu, wajahnya mulai memerah perlahan.

Sungguh anak yang ekspresif. 

“Aku berpikir untuk mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menyembunyikan Fine. Bagaimana?”

“J-Jadi itu maksudnya! Sebagai ucapan terima kasih! K-Kalau begitu masuk akal!”

“Aku nggak tahu kamu mikirnya ke mana... Jadi gimana? Kamu kosong nggak?”

“Yah... Kosong sih. Seharusnya ada salah satu Count yang mau berkunjung, tapi yah, nggak ketemu juga nggak masalah.” 

Kasihan benar Count itu. Pasti dia sangat menantikan bisa bertemu dengan putri Keluarga Pahlawan, tapi malah dibatalkan. Dari sudut pandangnya, ini seperti mimpi buruk. 

“Cuma makan siang, ya. Malamnya kamu tetap temui dia.”

“Siapa yang aku temui dan dengan siapa aku habiskan waktu itu urusanku. Kebetulan aku ingin jalan-jalan di ibu kota setelah sekian lama. Temani aku.”

“Nggak, aku cuma ngajak makan siang...”

“Ini kan sebagai ucapan terima kasih, kan? Aku bersiap-siap dulu, tunggu sebentar, ya.”

Tak memedulikan kata-kataku, Elna pergi ke dalam mansion dengan senyum di wajahnya. Aku hanya bisa membuka dan menutup tangan yang sempat ingin menahannya, lalu menghela napas dalam-dalam. Awalnya niatku hanya makan siang, tapi sepertinya ini bakal jadi acara seharian. 

Akhirnya, aku menunggu sekitar tiga puluh menit. Yah, wajar sih kalau perempuan butuh waktu lama untuk bersiap-siap, dan aku juga nggak keberatan menunggu. Tapi ini agak tidak biasa untuk Elna. Biasanya dia cukup cepat. 

“Maaf sudah menunggu.” 

Elna datang sambil setengah berlari.

Dia mengenakan blus putih dan rok mini berwarna merah, dengan topi hitam kecil di kepalanya. Pakaian itu cocok dengannya, bahkan aku merasa dia terlihat cantik. Tapi dia pasti bakal menarik perhatian. 

Saat aku berpikir begitu, aku sadar satu hal, topi Elna adalah alat sihir. 

“Ada perlindungan dari jadi pusat perhatian?”

“Topi ini memiliki sihir penghalang persepsi, jadi orang-orang nggak akan sadar kalau aku ini dari keluarga Armsberg.” 

Luar biasa memang keluarga pahlawan. Mereka memang punya alat sihir seperti itu.

Tapi meski sihir itu menghalangi orang menyadari identitasnya, itu bukan berarti penampilannya tak mencolok. Wajah cantik seperti itu tetap akan menarik perhatian. Tapi ya, itulah Elna, sepertinya dia tidak menyadarinya. 

“Kalau begitu, ayo berangkat. Kamu ingin ke mana?”

“Aku ingin mengunjungi tempat-tempat yang membawa nostalgia. Akhir-akhir ini jarang punya waktu untuk keliling ibu kota.”

“Kayaknya ibu kota nggak banyak berubah, sih.” 

Dengan percakapan seperti itu, kami pun mulai berjalan mengelilingi ibu kota.


* * *


“"Tempat ini tidak berubah, ya.” 

Begitu kata Elna sambil berhenti di sebuah gang kecil yang terletak di samping jalan besar.

Bagiku pribadi, ini bukanlah tempat yang menyimpan kenangan indah, namun Elna tampak senang saat melangkah masuk ke sana. 

“Ingat nggak? Dulu kamu dirundung di sini, kan?” 

“Ya, aku ingat betul.” 

Itu mungkin terjadi saat aku berumur tujuh atau delapan tahun.

Aku menyelamatkan seekor kucing dari sekelompok anak-anak yang menyiksanya, lalu melepaskannya. Namun karena tak punya cara untuk melawan, aku akhirnya dikeroyok oleh empat atau lima anak dan dihujani tendangan.

Saat aku tergeletak di tanah seperti kura-kura yang menahan diri, Elna muncul entah dari mana. Lalu.

“Menghentikanmu yang memukuli anak-anak itu justru lebih susah.” 

“Yang salah mereka, karena ramai-ramai menyerang satu orang. Dan mereka juga menyerang seorang pangeran.” 

“Aku nggak bilang kalau aku pangeran, kan.” 

Orang-orang memang sering mengejekku sebagai pangeran yang tak berguna, tapi tetap saja, jarang ada rakyat yang berani memukul seorang pangeran. Kalau aku menyatakan diriku sebagai pangeran, mereka mungkin akan berhenti. Tapi ada kemungkinan juga mereka tak percaya. Pada akhirnya, sebelum sempat mencoba cara itu, Elna sudah datang. 

“Aku tetap nggak bisa memaafkan mereka. Kamu kan waktu itu menangis.” 

Elna mengepalkan tangannya, seolah kembali merasakan amarah masa lalu. Tapi aku mengangkat tangan menghentikannya. 

“Hei, tunggu dulu. Jangan ubah ingatanmu. Aku nggak menangis, tahu?” 

“Eh? Tapi kamu menangis waktu itu, kan?” 

“Bukan waktu itu. Yang benar itu, aku menangis setelahnya, saat kamu menyiksaku dengan dalih latihan pedang.” 

“Menyiksa? Dan kamu menangis gara-gara latihan bersamaku?” 

“Soalnya jauh lebih menyakitkan daripada dikeroyok. Aku masih ingat dengan jelas. Tanpa diminta, aku dipaksa memegang pedang, dipukuli, jatuh lalu disuruh bangkit, lalu dipukuli lagi. Iya, itu jelas penyiksaan.” 

“Itu bukan penyiksaan! Aku cuma ingin kamu jadi pangeran yang hebat! Lagipula, kamu itu lemah dan rapuh, tapi suka ikut campur urusan orang. Makanya aku khawatir dan berpikir kamu butuh latihan bela diri!” 

“Jadi maksudnya itu latihan bela diri? Ah, sekarang aku mengerti. Maksudmu agar aku bisa melindungi diri dari kamu, bwah!” 

“Bukan itu maksudku!” 

Aku langsung mendapat pukulan telak di bagian pinggang dari arah samping. Karena pukulan itu menghindari tulang rusuk dan langsung menghantam organ dalam, aku tergeletak kesakitan tanpa bisa bernapas untuk sementara. 

“Aduh! Padahal aku lagi larut dalam kenangan indah...” 

“Kenangan indah itu cuma buatmu saja...” 

Ketika akhirnya aku bisa bernapas kembali, aku membalas perkataan Elna yang tak masuk akal. Kalau saja semua berakhir saat dia menyelamatkanku, itu sudah cukup. Tapi tidak. Karena Elna adalah Elna, dia tak berhenti di situ. Dia justru mulai ikut campur dan memaksaku untuk bisa mengalahkan anak-anak nakal itu. Masa kecilku selalu penuh dengan kejadian seperti itu. 

Setiap kali aku keluar, mungkin Sebas diam-diam mengikutiku sebagai pengawal. Tapi Sebas tidak pernah menunjukkan diri di hadapanku. Mungkin karena dia tahu Elna akan datang, jadi dia merasa tidak perlu muncul.

Waktu kecil aku belum bisa menggunakan sihir kuno, jadi aku benar-benar pangeran yang tak berguna. 

“Jadi, maksudmu... Kenanganmu denganku tidak menyenangkan?” 

Elna bertanya dengan ekspresi seakan sedikit ngambek. Itu hal yang jarang terjadi darinya, tapi tidak ada gunanya berbohong. 

“Yah, hampir semuanya begitu.” 

“Al? Apa aku salah dengar?”

“Aku tak akan tunduk pada ancaman. Lagipula, kamu juga nggak punya banyak kenangan menyenangkan denganku, kan?” 

“Aku senang, kok! Di sela latihan, jalan-jalan bareng kamu dan yang lainnya jadi pelarian buatku... Aku jadi sedih dengarnya. Kamu yang dulu itu jujur dan manis...” 

“Jangan dibesar-besarkan... Aku dari dulu ya tetap begini.” 

Aku hanya bisa menghela napas saat Elna mulai membumbui kenangan masa kecilku. Mungkin memang dulu aku sedikit lebih pendiam, tapi sifat dasarku tak berubah. Aku cukup yakin dulu pun aku selalu mengatakan hal-hal yang ingin kukatakan padanya. Kalau Elna masih menganggapku manis, berarti waktu itu dia tidak benar-benar mendengarkanku. 

Memang, dia itu orang yang sulit dipahami. Tapi satu hal mengganjal di pikiranku. 

“Hei, Elna. Kalau dipikir-pikir, kenapa setiap kali aku keluar, kamu selalu muncul di hadapanku?” 

“Sebas yang memberitahuku.” 

“Dasar pelayan itu... Jadi dia cuma malas menjagaku, ya...” 

Misteri yang sudah lama kusimpan akhirnya terpecahkan. Meski aku keluar dari istana seenaknya, Elna selalu datang menyusul. Ternyata karena ada konspirasi seperti itu. 

Dari dulu Elna sudah sangat kuat. Kalau dia ada di dekatku, memang tidak butuh pengawal lagi. Mungkin juga Sebas berpikir anak seumuran akan lebih nyaman dijadikan teman, tapi Sebas bisa menyembunyikan kehadirannya. Artinya, ini murni karena dia malas. 

“Ayah juga selalu mengizinkanku pergi ke tempatmu, bahkan saat latihan.” 

“Yah, keluarga pahlawan memang menghormati keluarga kerajaan.” 

“Benar. Tapi itu bukan satu-satunya alasan.” 

Elna berkata dengan nada misterius. Itu hal yang sangat langka dari seseorang yang biasanya selalu to the point. Ketika aku memiringkan kepala penasaran, Elna mengulurkan tangan padaku. 

“Akan kuceritakan nanti. Sekarang ayo lanjut ke tempat berikutnya!” 

“Berikutnya? Kamu mau mutar-mutar ibu kota terus?” 

“Tentu saja!” 

Dengan ekspresi ceria, Elna menarik tanganku. Di usia sebelas tahun, Elna menjadi kesatria pengawal kerajaan, dan menjalankan berbagai misi ke seluruh penjuru negeri. Ayahku juga sering bepergian ke seluruh negeri waktu itu, dan Elna sebagai pengganti beliau kerap dikirim ke berbagai daerah. 

Apalagi, Elna dikenal sebagai keajaiban keluarga Armsberg yang berhasil memanggil pedang suci di usia dua belas tahun. Hanya dengan keberadaannya di dekat perbatasan, diplomasi pun bisa berjalan lebih lancar. Karena alasan itu, Elna jarang pulang ke ibu kota, paling banyak hanya setahun sekali. 

Karena insiden dalam Festival Perburuan Kesatria kemarin, sebagian besar kesatria pengawal kini berada di ibu kota. Tapi mereka pasti akan segera diberi tugas dan dikirim ke berbagai daerah lagi. Bagi Elna, sekarang adalah satu-satunya kesempatan untuk berkeliling ibu kota. 

Sejujurnya, aku tadinya ingin cukup dengan makan siang saja... Tapi, ini kan sebagai ucapan terima kasih. Yah, kurasa aku akan menemaninya. 

“Kalau begitu, habis ini mau ke mana?” 

“Hmm, kita tentukan sambil jalan!” 

“Haaah, dasar asal-asalan...” 

Dengan begitu, kami pun mulai menjelajahi tempat-tempat kenangan lama.


* * *


Setelah berkeliling berbagai sudut ibu kota dan larut dalam kenangan masa lalu, aku dan Elna mengisi perut di sebuah tempat makan yang seadanya. Awalnya, aku berniat mentraktir makan siang di tempat yang lebih layak, tapi Elna menolaknya karena katanya akan memakan waktu terlalu lama.

Bagi Elna, berkeliling ibu kota jauh lebih penting. 

“Ayo, kita lanjut terus!” 

“Semangat banget, ya...” 

Aku bergumam sambil mengikuti di belakang Elna. 

Setelah itu, Elna menuju ke bagian pinggiran ibu kota, memberi pelajaran dengan dalih bermain kepada anak-anak nakal yang dulu mengejeknya sebagai wanita berpayudara kecil, mengambil alih lapangan tempat mereka biasa bermain, marah karena anak-anak itu menyebut gadis yang pernah berjalan denganku lebih berdada daripada dia, serta mengeluh lantang tentang toko-toko lama yang sudah tutup. 

Dan ketika aku mulai merasa kelelahan mengikuti dia, tetesan air jatuh ke pipiku. 

“Aduh, repot juga...” 

Aku mendongak ke langit sambil bergumam pelan.

Langit yang tadinya cerah berubah mendung begitu saja. Petir terdengar menggelegar, dan gerimis mulai turun. 

Akan lebih bijak untuk mencari tempat berteduh.

Elna sepertinya juga menyadarinya, karena dia mulai berjalan cepat ke suatu arah. Aku mengikutinya dalam diam untuk beberapa saat, tapi karena firasat tak enak mulai muncul, aku memutuskan untuk bertanya ke mana arah tujuannya. 

“Elna?” 

“Apa?”

“Mau ke mana ini?”

“Penginapan. Yang dulu sering kita datangi, ingat?”

Tentu saja aku ingat. Penginapan yang sering kami singgahi sepulang bermain. Alasannya sederhana, karena penginapan itu, meskipun tergolong mewah, memiliki kamar mandi pribadi di setiap kamar.

Rakyat biasa mungkin tak pernah ke sana seumur hidup mereka. Itu berarti, setiap kamar dilengkapi alat sihir pemanas air. Tentu saja itu barang mahal, karena penggunaannya menguras banyak energi sihir. Biayanya pun tinggi. 

Tapi Elna dari dulu menggunakan penginapan mewah itu hanya untuk mandi dan menyegarkan diri. Alasannya, saat penginapan itu pertama kali buka, kakek Elna, sang Keluarga Pahlawan generasi sebelumnya, menyumbangkan banyak alat sihir pemanas air ke tempat itu. Itulah mengapa Elna bisa masuk tanpa dihalangi, seperti memiliki akses istimewa. Mungkin dia berpikir masih bisa masuk seperti dulu, tapi itu kesalahan besar. 

“Elna, dengar. Aku bilang ini demi kebaikanmu, sebaiknya batalkan saja niat itu.” 

“Apa? Memangnya ada yang salah?” 

“Bukan salah sih... Tapi tolong, hentikan.” 

“Curiga deh... Jangan-jangan kamu pernah ke sana dengan perempuan yang disebut-sebut anak-anak tadi?” 

Elna menyipitkan matanya penuh kecurigaan ke arahku. Astaga, dalam situasi seperti ini pun dia masih tetap lamban memahami maksud orang lain. 

Aku menghela napas panjang dan bersiap mengungkapkan kebenaran yang akan mengguncangnya, tapi sebelum aku sempat bicara, dia sudah lebih dulu berkata. 

“Elna, dengar dulu...”

“Kalau aku bilang mau ke sana, ya aku akan ke sana! Seorang kesatria tidak pernah menarik kata-katanya!” 

“...Haaah.” 

Aku menarik napas panjang dengan ekspresi tak percaya. Kenapa dia suka sekali menggunakan kata “kesatria” sebagai alasan setiap tindakannya? 

“Apa?” 

“Ya sudah, lihat sendiri saja.” 

Akhirnya aku yang memimpin jalan dan membawa Elna ke penginapan yang dimaksud. Penginapan itu memang masih ada, tapi penampilannya sudah banyak berubah. Dan yang paling mencolok adalah plang namanya. Melihat itu, wajah Elna memerah dan dia kehilangan kata-kata. 

“...Eh?” 

“Sudah paham?” 

Plang itu bertuliskan, “Penginapan Cinta”. Ya, tempat itu kini menjadi salah satu dari sedikit penginapan mewah khusus pasangan di ibu kota, tempat yang dirancang untuk pasangan tidur bersama. Tak banyak rakyat biasa yang tahu tentang keberadaannya. 

Beberapa tahun lalu, pemilik generasi kedua tempat ini memutuskan untuk mengubah konsep penginapan menjadi seperti ini, dan ternyata sangat sukses, sekarang tempat ini sangat populer di kalangan bangsawan muda. 

Fasilitasnya sudah mewah sejak dulu, dan konsep baru ini menjadikannya tempat sempurna untuk bangsawan membawa kekasih atau selir mereka. 

“Tempat ini hanya untuk pasangan. Kalau kamu masuk ke sini sambil mengungkapkan identitasmu, bisa-bisa jadi skandal besar.” 

Pihak penginapan memang menjaga kerahasiaan, tapi tamu-tamunya belum tentu. Kalau Elna terlihat masuk ke tempat ini, seluruh ibu kota pasti geger. Apalagi dia adalah pewaris keluarga Armsberg. Pernikahannya menyangkut dengan kepentingan negara. Ayahnya pasti juga akan terseret dalam kekacauan besar. 

Karena itulah aku berniat mengajak Elna pergi ke tempat lain. Tapi dia mengatakan sesuatu yang tak kuduga.

“Ayo kita pergi ke tempat lain.”

Aku tak mau basah karena air hujan, tapi aku tak punya pilihan lain. Masuk ke penginapan ituhanya untuk menghindari hujan sesaat hanya akan menimbulkan masalah. Akan lebih rumit jika orang yang bersamaku adalah Elna. Kurasa dia akan sependapat denganku, jadi aku berbalik arah. Namun.

“Tidak, aku mau masuk...” 

“Haaah?” 

Mungkin pikirannya goyah karena situasi tak terduga ini. Dengan wajah merah padam, Elna tetap melangkah menuju penginapan. Aku buru-buru menarik tangannya dan mengingatkannya lagi. 

“Ini penginapan cinta, lho?” 

“B-Bebas saja... Kesatria tak boleh menarik ucapannya!” 

“Anggap saja aku nggak dengar...” 

“T-Tidak boleh! Sudah pakai kata ‘kesatria’, berarti harus ditepati! T-Tidak apa-apa kok! Selama tak ketahuan siapa aku, pasti aman!” 

Memang, kalau orang tak menyadari dia adalah Elna, tak masalah. Lagi pula aku bukan orang penting yang akan memicu gosip besar. Tapi tetap saja, sifatnya benar-benar merepotkan. Sekali dia mengambil keputusan, Elna tak akan menariknya kembali, meski itu masalah sepele. Karena, bagi Elna, sekali mengingkari keputusan berarti mengkhianati semua usahanya selama ini.

Aku pribadi tak sependapat, tapi kalau dia sudah yakin begitu, tak ada yang bisa dilakukan. 

“Aku masuk! Ini cuma untuk berteduh! D-Dan kita ambil kamar terpisah!” 

“Dasar bodoh. Nggak ada pasangan yang datang ke tempat ini dan ambil kamar terpisah.” 

“Eh!?” 

Wajah Elna langsung berubah panik.

Masuk kamar dengan laki-laki, meski hanya untuk berteduh, tetap saja adalah sesuatu yang berat untuknya, apalagi tempatnya begini. Tentu saja dia tahu kalau aku tak akan melakukan hal itu dengannya, bisa dibilang aku juga seperti saudaranya sendiri. Lebih baik masuk dengan pria lain walau dia sendiri masih gugup. 

Namun, pernyataannya tadi sudah seperti sumpah seorang kesatria. Dia tak bisa menariknya. 

Sementara itu, hujan semakin deras. Bajuku dan bajunya sudah basah. Kalau terus begini, bisa jatuh sakit, terutama aku. 

Menghela napas kecil, aku pun masuk duluan ke penginapan, langsung menyewa kamar, lalu menarik tangan Elna menuju kamar di lantai dua. 

“Kita habiskan waktu di sini dulu.” 

Aku menatap bajuku. Selama berdiri di depan pintu tadi, tubuhku sudah lumayan basah. Sepertinya perlu melepas baju dan mengeringkannya. 

“Hei, Elna...” 

“J-Jangan lihat ke sini!” 

Elna buru-buru menyilangkan tangan dan memeluk tubuhnya. Dari sekilas pandang, aku melihat bajunya yang basah membuat semuanya tampak jelas. Karena tak mengenakan pelindung dada, bentuk dadanya yang kecil pun terlihat dan tak bisa kulupakan. Berusaha tidak terlalu memikirkan itu, aku pun mengalihkan pandangan dan mencari kamar mandi. Namun, aku segera menyesal melakukannya.



“Serius...” 

Yang kulihat adalah kamar mandi dengan bak mandi putih, dikelilingi oleh kaca tembus pandang dari segala arah. 

Aku tak tahu apa aku bisa menyebutnya kamar mandi. Aku kesulitan memahami mengapa mereka mendesainnya seperti ini.

“Tak ada pilihan... Elna, kamu duluan saja mandi. Aku akan keluar kamar.” 

Aku tahu tubuhku akan makin kedinginan, tapi lebih baik begitu daripada kami berdua jatuh sakit.

Namun saat aku hendak membuka pintu, tiba-tiba bajuku ditarik.

“Tak apa... Aku saja yang keluar... Aku ini kesatria.”

“Aku nggak mungkin membiarkan perempuan melakukan itu. Kalau kamu berdiri sendirian di lorong, bisa saja dilihat tamu lain, tahu? Kamu nggak tahu bakal diejek seperti apa?” 

Seorang perempuan yang diusir dari kamar oleh laki-laki yang bersamanya, begitulah orang lain akan memandangnya. Dan itu pasti akan menjadi penghinaan yang tak tertahankan bagi Elna. 

“Itu kan juga berlaku buatmu, kan, Al? Identitasku nggak diketahui, tapi kamu jelas siapa dirimu. Pasti kamu bakal ditertawakan lagi...”

“Itu sudah biasa, kan?”

“Tapi aku nggak suka kalau kamu ditertawakan karena aku...”

“Kamu ini... Jadi, kita berdua sama-sama kena flu, gitu?”

“...Selama yang satu mandi, yang satu tinggal tidak melihat, kan?” 

Dengan wajah memerah, Elna mengajukan usul yang gila. 

“Kamu... Udah gila ya?”

“Aku masih waras! Sudah! Al, kamu duluan masuk!” 

Elna berkata begitu sambil berjalan ke sudut ruangan dan duduk di kursi.

Aku tak bisa langsung bergerak mendengarnya, tapi aku tahu, kalau aku biarkan begini, Elna tak akan masuk ke kamar mandi. Dan akhirnya kami berdua bisa saja jatuh sakit. 

Tak punya pilihan lain, aku pun mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.


* * *


“Giliranmu.”

“Cepat sekali.”

“Apa aku bisa mandi lama-lama di situ?” 

Sambil berkata begitu pada Elna, aku merapikan jubah mandi putihku. Pakaianku yang basah sudah dijemur, dan satu-satunya yang bisa kupakai hanyalah ini. Entah kenapa, mengenakan jubah mandi di depan Elna membuatku merasa sangat tidak nyaman, tapi aku tetap duduk di kursi tempat Elna duduk sebelumnya. 

Lalu terdengar suara kain bergesekan dari belakang. Elna sedang melepas pakaiannya. Saat aku sendiri yang melepas pakaian, aku tidak terlalu memikirkannya, tapi ketika hanya mendengar dari sisi lain, entah kenapa aku jadi tegang. 

Saat aku mencoba mengalihkan perhatian dan memalingkan pandangan, aku menyadari ada sebuah cermin di ujung ranjang. Aku melihatnya. 

“...!”

Di sana, pantulan Elna yang sedang melepas pakaian terlihat dengan sangat jelas.

Setelah melepas blus putihnya, Elna meletakkan tangan di rok merahnya, menjatuhkannya dengan gerakan halus, dan menarik kakinya keluar. Pakaian dalam berenda warna merah muda yang serasi atas-bawah itu sangat feminin, dan bagi orang yang mengenal Elna dalam kesehariannya, mungkin akan terlihat mengejutkan. 

Karena pakaian itu basah oleh hujan, kain dalamnya menempel ketat di kulitnya. Elna meringis tidak nyaman, lalu meletakkan tangan pada pakaian dalamnya juga. 

Di saat naluri bejat seorang pria yang ingin terus melihat itu mulai bergejolak, akal sehatku menahannya. Masalahnya, kalau sampai ketahuan aku mengintip, maka nyawaku pasti melayang. 

Di tengah tarik-menarik batin itu, Elna membuka bra-nya, memperlihatkan dadanya yang kecil dibandingkan rata-rata perempuan seusianya. Lalu dia pun menyentuh celana dalamnya. 

Di saat itulah aku akhirnya memalingkan kepala sekuat tenaga. 

Itu nyaris saja... Aku hampir kehilangan segalanya karena hawa nafsu. Terutama nyawaku. 

Aku tetap diam di tempat, dan mulai terdengar suara air. Suara mencuci tubuh pun menyusul, membuat bayangan tadi terlintas di benakku, dan tentu saja, imajinasiku mulai liar. 

Aku bukan anak-anak, hentikan khayalan bodoh ini. 

Aku menegur diriku sendiri dan mencoba mengusir pikiran tak berguna itu. Lalu waktu yang seperti surga sekaligus neraka itu akhirnya berakhir, dan Elna keluar dari kamar mandi. 

“Aku sudah selesai...” 

Elna berkata pelan. Saat aku memandang ke arahnya, dia juga mengenakan jubah mandi. Namun wajahnya sangat merah. Sepertinya dia berusaha terlihat tenang, tapi dia tidak tahan menahan tatapanku dan langsung menyusup ke dalam selimut. 

“Uuuh...”

“Kalau memang malu, kenapa dari awal kamu masuk ke penginapan ini...”

“Soalnya...” 

Sepertinya dia hampir menangis. Suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya. Rupanya situasi ini benar-benar memberi luka emosional yang dalam. 

“Kalau aku sekali saja melanggar kata-kataku sebagai kesatria... Maka semua ucapan yang pernah kuucapkan akan kehilangan makna... Termasuk sumpah dan keteguhanku...”

“Tidak juga. Setidaknya, aku tak berpikir begitu.”

“Aku yang merasa begitu... Karena itu aku tak bisa melanggar kata-kataku sebagai kesatria...”

“Kalau begitu, jangan sampai menangis.”

“Aku nggak nangis...” 

Meski begitu, suara Elna jelas suara orang yang hampir menangis. Aku menghela napas panjang, dan entah kenapa Elna malah mulai marah balik. 

“Itu semua salahmu, Al! Karena kamu ngomong hal-hal yang memancing!”

“Kok salahku...”

“Lagi pula, kenapa kamu tahu tempat ini sudah jadi penginapan cinta!? Kamu datang sama siapa!? Perempuan berdada besar yang disebut anak-anak tadi!?”

“Haaah... Kalau kamu masih bisa marah-marah, berarti kamu baik-baik saja.”

“Jangan mengalihkan topik!” 

Dibombardir oleh pertanyaan Elna, aku pun terdiam sejenak. Tadi, saat Elna menghukum anak-anak nakal itu, dia sempat mendengar bahwa aku pernah berjalan-jalan dengan perempuan lain. Dan sekarang hal itu sudah terungkap. Kalau begitu, tak ada gunanya menyembunyikannya lagi. Aku pun memutuskan untuk jujur. 

“Di rumah bordil yang kadang-kadang kudatangi, ada banyak wanita yang dijual oleh orang tuanya saat masih kecil, dan kini hanya bisa hidup sebagai pelacur.”

“Dan itu ada hubungannya?”

“Aku membeli satu hari mereka, lalu pura-pura membawanya ke penginapan cinta ini supaya bisa membawa mereka keluar. Anak-anak tadi mungkin melihat salah satu dari mereka. Kalau mereka bersamaku, mereka bisa masuk ke toko-toko yang biasanya menolak pelacur. Lagipula, siapa yang menyangka seorang pangeran berjalan-jalan bersama pelacur.”

“Kamu melakukan itu...?”

“Bagi rumah bordil, tak ada pilihan lain selain pekerjaan itu untuk mereka. Setidaknya mereka tak kelaparan. Tapi mereka juga ingin berjalan-jalan bebas di luar. Ingin masuk toko-toko, ingin bermain. Jadi aku membawa mereka keluar. Aku tak berpikir itu akan mengubah segalanya, tapi aku pikir lebih baik menjadi munafik daripada tak melakukan apa pun.” 

Para pelacur yang kubawa ke penginapan cinta ini sering berkata tak apa jika aku ingin menyentuh mereka. Tapi aku tak pernah menyentuh mereka. Karena jika aku melakukannya, itu akan membuat semua tindakanku tampak seperti punya maksud tersembunyi. 

Jika aku berpura-pura sebagai orang munafik, maka aku harus tetap berpura-pura sampai akhir. Itu yang disebut mempertahankan prinsip. 

“...Kamu seharusnya melakukannya dengan cara yang bisa dimengerti orang lain.”

“Kalau dimengerti orang, pasti dicegah. Kalau diketahui bahwa seorang pangeran bermain ke rumah bordil biasa, maka akan jadi masalah. Nanti malah disuruh ganti ke pelacur kelas atas. Itu bikin kesal.”

“Tapi... Reputasimu makin buruk... Orang akan menganggapmu tukang main perempuan...”

“Tidak apa. Memang aku suka main perempuan, dan bukan berarti aku belum pernah.” 

Aku bukan manusia suci. Justru karena aku sudah kotor, aku tak takut makin kotor. Lagipula, reputasiku sudah terlalu buruk untuk bisa lebih jatuh lagi. 

“Al... Kamu nggak merasa berat dengan semua ini?”

“Kalau sendirian, mungkin iya. Tapi aku tidak sendiri. Ada orang-orang yang benar-benar mengerti aku. Kamu juga, kan?”

“...Cara bicaramu itu curang...” 

Elna berbisik nyaris tak terdengar. Nada suaranya sedikit seperti orang yang ngambek, dan aku yakin bukan cuma perasaanku saja. 

Setelah itu, kami mengobrol hal-hal sepele sambil menunggu pakaian kami kering. Rasanya luar biasa menyenangkan bisa bercakap santai dengan Elna setelah sekian lama.

 

Bagian 10

Hari ketika Al dan Leo berangkat dari ibu kota kekaisaran sebagai duta besar.

Karena mereka berangkat dalam kapasitas resmi, sang kaisar menyampaikan sepatah dua kata, dan dengan pengawalan yang ketat, keduanya diarahkan menuju pelabuhan. 

Satu-satunya kekhawatiran bagi mereka berdua adalah apakah mereka yang ditinggalkan akan mampu menghadapi krisis yang akan datang setelah kepergian mereka. 

“Kalau begitu, sisanya aku serahkan padamu, Marie.”

“Ya. Serahkan saja pada saya.” 

Al telah lebih dulu menunjuk seseorang bernama Lynfia sebagai personel baru, dan menugaskannya untuk membantu Fine bersama Sebas, orang yang paling dia percayai. Sementara itu, Leo memutuskan untuk menyerahkan kekuatan politiknya kepada Marie, pelayannya yang juga merangkap sebagai sekretaris pribadi. 

“Dalam ketidakhadiran kami, aku yakin fraksi lain akan mulai melancarkan serangan. Kuharap kamu bisa mengatasinya bersama Nona Fine.”

“Semuanya akan baik-baik saja. Para pengikut dekat Anda akan tetap tinggal, dan Nona Fine juga akan hadir sebagai simbol kekuatan kami. Justru yang saya khawatirkan adalah keadaan Anda sendiri, Yang Mulia.” 

Mendengar kekhawatiran Marie, Leo hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu benar apa yang ingin dikatakan Marie.

“Kamu ingin bilang kalau aku kurang pengamanan, begitu?”

“Kalau boleh saya terus terang, memang begitu. Memang benar ada Nona Elna, jadi dari segi pengawalan fisik saya tidak khawatir. Namun, dalam hal lain, saya rasa Anda kekurangan sumber daya manusia.”

“Aku tak apa-apa. Karena ada kakakku.”

“Itulah yang paling membuat saya khawatir.” 

Marie menyatakan itu dengan tegas. Leo hanya bisa tertawa kecil melihat ketegasannya yang tanpa ampun. Marie selalu berbicara dengan wajah tanpa ekspresi dan nada suara yang tak berubah, meskipun menyampaikan kritik tajam. Kalau yang dikritik itu bukan Al, mungkin sudah marah. Namun, Al tidak pernah marah. Hal itu justru membuat Marie merasa makin jengkel. Kakak yang menjadi saingan Leo dalam perebutan takhta kekaisaran, jika dia diremehkan, berarti Leo pun dianggap remeh. Kalau begitu, paling tidak Al harus menunjukkan reaksi yang setimpal. Itulah yang Marie pikirkan. 

Namun Leo menenangkan Marie dengan lembut. 

“Dengarkan aku, Marie. Kamu mungkin tidak tahu, tapi kakakku itu orang yang luar biasa.”

“Anda terlalu mengagungkan Pangeran Arnold. Apa pun kenangan masa kecil Anda dengannya, tidak serta-merta berlaku untuk saat ini.”

“Bukan begitu. Kamu akan mengerti suatu saat nanti. Semua orang menyebut kakakku sebagai pangeran yang tak berguna, tapi sebenarnya tidak. Aku tidak sombong, tapi sebagian besar hal bisa kulakukan dengan usaha. Tapi kakakku berbeda... Kalau dia mau, kebanyakan hal bisa dia lakukan tanpa kesulitan. Jadi jangan khawatir. Selama aku punya kakak seperti itu di sisiku.” 

Melihat Leo yang berkata tanpa ragu, ekspresi Marie sedikit menggelap. Kalau apa yang dikatakan Leo itu benar, maka kakak yang begitu luar biasa itu suatu saat bisa menjadi penghalang bagi Leo. Dan kalau Leo terlalu mengandalkan Al, itu bisa menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pihak lain. 

Namun Marie mengubur kekhawatiran itu. Karena sejak dia bersumpah untuk melayani Leo, dia juga bersumpah akan mendukungnya sepenuh hati. Apa pun jalannya, selama Leo memilih untuk melangkah, dia hanya akan mendukungnya. 

“Jika itu yang Anda kehendaki, saya tidak akan berkata apa-apa lagi. Saya doakan keberuntungan menyertai Anda.”

“Ya. Maaf sudah merepotkanmu terus. Aku akan menjalankan tugasku dengan baik.” 

Setelah percakapan itu, Leo naik ke dalam kereta. 

Begitulah, delegasi kekaisaran pun berangkat meninggalkan ibu kota.

Tujuan mereka adalah wilayah selatan benua.

Daerah yang tengah dilanda ketegangan karena dua negara saling berseteru.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close