Translator : Konotede
Editor : Konotede
Chapter 1 : Reuni
"Gimana? Apa kamu kaget?"
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku bertemu kembali dengan Sayu di bawah tiang telepon, seperti "Waktu Itu". Dan ketika aku pulang ke rumah sambil berbicara dengannya, Asami Yuki, yang telah memainkan peran utama dalam reuni itu menyambutku dengan wajah terbaiknya.
"Yah, aku kaget banget malah."
Aku menjawab dengan jujur sambil melepas sepatuku dan Asami yang mengangguk berulang kali, terlihat sangat puas.
"Ini sangat layak untuk disiapkan . Dalam perjalanan pulang seperti biasa, terjadi reuni dramatis di tengah jalan! Apakah kamu tidak sedikit bersemangat?"
"Aku nggak tahu."
"Malah malu, mou~"
Kupikir akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa itu terjadi secara perlahan daripada secara tiba-tiba, tapi Asami sepertinya menganggapnya sebagai sebuah kenyamanan.
Saat aku tiba-tiba berbalik, Sayu sedang berdiri di pintu masuk sambil menatapku dan Asami secara bergantian.
"Kamu kenapa?"
Saat aku memanggilnya, dia mulai melepas sepatunya dengan kaget.
"Ah, tidak. Aku cuma ingin tahu saja. Btw, sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke rumah Yoshida-san."
Sayu mulai melepas sepatunya dan merapikannya sambil menatapku.
"Entah bagaimana, meski aku tidak ada disini, aku merasa kalian berdua sering menghabiskan waktu bersama di sini, ya."
Saat Sayu mengatakan itu, wajah Asami terlihat kering.
"Ah, tidak! Tidak ada hal aneh yang terjadi kok, jadi tidak apa-apa, kan? Lihat, rumah ini adalah tempat pengungsianku! Aku hanya ada disini sebentar saat orang tuaku bertengkar atau saat aku ingin berkonsentrasi belajar saja!"
Sayu dan aku tertawa terbahak-bahak saat Asami membela dirinya dengan volume dan kecepatan yang mengejutkan.
"Aku sih tidak masalah, aku juga tidak menyalahkanmu. Lagi pula, sejak awal aku tidak punya hak tentang itu."
Sayu menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Aku hanya berpikir kalau aku merasa sedikit cemburu."
"Maafin, lah~"
Asami memeluk Sayu sambil sedikit menangis.
Aku sedikit terkejut ketika melihat kedua teman itu sedang berpelukan.
Sayu yang kuingat sepertinya bukan tipe orang yang menggunakan kata-kata langsung seperti "Aku Sedikit Cemburu." Asami yang berteman dengan Sayu bahkan setelah dia meninggalkan Tokyo, sepertinya menerimanya tanpa rasa tidak nyaman, tapi entah kenapa aku langsung terkejut.
Ah begitu. Sayu sudah mulai menjalani hidupnya sendiri. Mungkin ada banyak sisi Sayu yang belum kuketahui.
Saat rasa terkejutku mereda, aku merasa sedikit bahagia.
"Gimana kehidupan kuliahmu?"
Aku ingin tahu.
Seperti apa kehidupan kuliah Sayu ketika dia 'memulai kembali' dirinya.
"Santai-santai, tidak perlu terburu-buru! Waktu kita juga banyak. Ah iya, apa Sayu-chan mau minum teh dulu?"
Tentu saja, Asami membuka kulkasku dan mulai menuangkan teh oolong yang kubeli ke dalam cangkir.
Sambil melihat ke arah Sayu yang sedang duduk di depan meja, aku mengeluarkan pakaian santaiku dari lemari dan langsung menuju ke ruang ganti.
Aku segera berganti pakaian yang lebih nyaman dan aku ingin mendengarkan cerita tentang Sayu.
"Jadi gimana? Apa kamu membuat kemajuan dengan anak itu?"
Asami bertanya dengan bersemangat sambil mencondongkan tubuhnya ke depan meja.
"Hmm, entahlah. Aku cuma bisa bilang iya atau enggak saja."
Sayu menjawab dengan tawa yang sedikit kesal. Kemudian, dia melirik ke arahku. Aku langsung membuang muka.
Awalnya kami hanya ingin tahu bagaimana Sayu menghabiskan waktunya ketika dia kuliah. Begitulah awalnya, tapi ketertarikan Asami sepertinya lebih terfokus pada topik cinta dan romansa, seperti yang diharapkan dari gadis seusianya. Saat ini, dia sedang bersemangat membicarakan Siapa yang duduk disebelahmu saat ajaran baru?.
Asami ingin tahu tentang kehidupan cintanya di universitas, dan Sayu menunjukkan sedikit keengganan, tapi Asami bersikeras sambil berkata dengan lantang "Gimana ya? Sayu-chan pasti populer, kan?" .
Aku juga setuju dengan pendapat itu. Dia memiliki wajah yang cantik, agak dewasa, dan juga baik hati. Dan meskipun aku tidak pernah mengatakannya dengan lantang, menurutku untuk anak seusianya, gaya Sayu yang baik mungkin cukup kejam. Singkatnya, dari sudut pandang laki-laki, Sayu tidak memiliki apa pun yang membuatnya tidak populer.
"Eh, perasaan apa-apaan itu! Tolong jelasin lebih detail dong~"
Asami anehnya sangat bersemangat. Apakah ini hanya imajinasiku saja kalau dia sengaja?
Sayu dipaksa oleh Asami untuk terus berbicara. Aku merasakan perasaan aneh ketika aku mendengarkan mereka berdua bersemangat tentang pembicaraan gadis mereka.
Tentu saja, kupikir begitu Sayu kembali ke kehidupan kuliahnya, akan ada beberapa cerita menarik. Aku berharap itu terjadi, dan aku ingin dia tumbuh menjadi dewasa setelah mengalami beberapa kisah cinta itu.
Namun, "perasaan aneh" seperti tulang kecil yang menancap di tenggorokanku pada akhirnya berujung pada satu pertanyaan.
Seandainya kisah cinta itu terpenuhi di universitas nya, bukankah Sayu akan muncul di hadapanku lagi seperti ini? Itulah yang ingin kutanyakan.
"Nee, Sayu."
Sedari tadi aku hanya diam, tetapi sekarang aku mencoba mengatakan sesuatu.
"Kenapa kamu kembali ke Tokyo?"
Ketika aku bertanya, ruangan itu seketika menjadi sunyi. Sayu menatapku seolah menahan napas, dan Asami menatapku dengan penasaran.
"Itu...."
Sayu mengedipkan pandangannya lalu mengatakan.
"Tentu saja, karena aku mendaftar di sebuah universitas di Tokyo."
Kali ini giliranku yang kehilangan kata-kata menanggapi jawaban Sayu.
Mendaftar di sebuah universitas.
Mendengar kata-kata itu dari mulut Sayu membuatku merasakan kegembiraan yang tak terlukiskan.
"Ah, begitu ya? Universitas ya?"
Tentu saja dia tahu bahwa dia harus memulai semuanya dari awal lagi, tetapi dia tidak pernah berpikir jernih tentang apa yang akan dia lakukan setelah itu. Dia hampir saja pensiun dari sekolah SMA, tetapi dia memulai lagi dari awal dan berhasil masuk ke universitas. Dia mulai menaiki tangga menuju kedewasaannya sendiri.
"Selamat, ya!"
Kata-kata dari hatiku nampaknya bocor keluar.
"Makasih~"
Sayu juga tertawa agak malu-malu.
Namun, Asami yang duduk di sebelahnya tampak tidak yakin dan menghela nafas.
"Sungguh, ini adalah kesempatan yang membahagiakan tau."
"Emang benar~, tapi..."
Asami dengan sengaja mencibirkan bibirnya dan menatap Sayu. Sayu menyadari tatapannya dan tersenyum seolah-olah mengabaikannya.
Meskipun aku merasa sedikit terganggu, aku merasa senang karena Sayu berhasil masuk universitas.
Bahkan kalau mengingat kejadian di masa lalu saat Sayu mengaku padaku kalau dia merasa malu pada dirinya sendiri karena begitu pemalu.
Sayu kembali ke Tokyo sebagai sebuah pilihan dalam hidupnya. Baru setelah itu dia menunjukkan wajahnya kepadaku.
Aku bisa merasakan perasaan gelisah yang selama ini kupegang, perlahan-lahan mulai menghilang. Akhirnya, aku merasa cukup aman untuk mendengarkannya.
Asami dan aku mendengarkan pengalaman Sayu di sekolah SMA nya dan kehidupannya di Hokkaido seiring berjalannya malam. Beberapa jam berlalu dalam sekejap mata, tapi saat aku melihat mereka terus berbicara dengan gembira bahkan setelah jam 10 malam, aku menyadari sekali lagi bahwa mereka sudah bukan lagi anak SMA.
Aku ingin mendengarkan percakapan itu sedikit lebih lama lagi, tetapi seperti yang sudah diduga, aku tidak bisa membiarkan Sayu tinggal di rumahku sekarang.
Setelah pukul 23:00, kami memutuskan untuk berpisah.
Aku berencana mengantarkan Asami pulang terlebih dahulu, tetapi dia bersikeras, "Aku bukan anak kecil lho, aku baik-baik saja kok!" Dengan tegas aku diberitahu untuk mengantar Sayu pulang terlebih dahulu. Tentu saja, sejak awal aku sudah merencanakan untuk mengantar Sayu setelah Asami, tetapi karena dia menolak dengan tegas, aku tidak bisa ikut campur lagi. Seperti yang dia katakan, dia sudah bukan lagi seorang anak kecil.
Aku berjalan bersama Sayu dalam perjalanan ke stasiun terdekat.
Di kawasan perumahan yang sepi, hanya suara langkah kaki kami yang terdengar.
Rasanya...
"Rasanya agak aneh gimana gitu ya?"
Sayu mengatakan itu sambil tertawa.
"Apa maksudnya “pulang” dari rumah Yoshida-san?"
Mendengar kata-kata Sayu, aku juga mengangguk sambil tersenyum masam.
"Aku juga. Aku juga memikirkan hal yang sama sekarang."
Sayu sekarang tinggal sendirian di Tokyo. Jaraknya cukup jauh dari rumahku, tetapi hanya 40 menit saja kalau naik kereta. Sekarang sudah lewat pukul 23:00, mungkin saat aku sampai di rumah, waktunya mungkin sudah tengah malam.
"Hati-hati ya saat pulang."
"Mou, sampai kapan kamu memperlakukanku seperti anak kecil?"
"Orang dewasa tidak ada hubungannya dengan itu. Aku hanya khawatir denganmu."
"Makasih deh karena udah menghawatirkanku."
Sayu tersenyum sedikit malu-malu.
Bagian lucu ini tidak berubah sama sekali sejak saat itu.
Sambil berjalan dan mengobrol tentang hal-hal sepele, kami tiba di stasiun dalam waktu singkat.
"Kalau begitu, sampai jumpa lagi ya, Yoshida-san."
"Ah, sampai..."
Sayu melambai pelan dan berjalan melewati gerbang tiket tanpa menoleh ke belakang.
Aku mengawasinya sampai aku tidak bisa lagi melihat punggungnya, lalu aku berbalik.
Kalau dipikir-pikir, satu-satunya saat aku pernah "Mengantarnya Pergi" adalah saat ketika aku mengantar dia kembali ke Hokkaido.
Pada waktu itu, kupikir aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.
Namun...
Aku merenungkan kata-kata Sayu "Sampai jumpa lagi, ya!" di pikiranku.
Kami tidak tinggal di rumah yang sama, dan kami tidak bekerja di perusahaan yang sama. Kami hanya bisa bertemu 'Lagi' sebagai teman biasa.
Bahwa kami telah bertukar kata-kata perpisahan yang biasa saja membuatku memiliki perasaan aneh yang tidak bisa aku klasifikasikan.
Chapter 2 : Perasaan Tidak Nyaman
Terlepas dari kembalinya Sayu yang tiba-tiba, kehidupan juga berlanjut seperti biasa.
Aku juga cukup penasaran dengan masa depan Sayu, tapi ketika aku mulai berangkat kerja, otakku penuh dengan kerjaan di hari itu, dan setelah semuanya selesai...
Aku memikirkan tentang Gotou-san.
Seperti yang dia duga, Sayu kembali ke Tokyo. Tapi sejujurnya, menurutku tidak ada yang akan berubah antara dia dan Gotou-san.
Namun, aku merasa tidak nyaman menyimpan berita bahwa Sayu sebenarnya datang ke Tokyo, jadi aku ingin memberitahunya secepatnya kepada Gotou-san.
Aku memasuki kantor dan menyapanya dengan Selamat Pagi seperti biasa. Dengan sedikit gugup, aku mencoba melirik ke arah meja Gotou-san dan mata kami bertemu.
Aku segera memalingkan wajahku dari Gotou-san. Biasanya dia akan tersenyum ringan dan melambaikan tangan atau membalas sapaanku, tapi tampaknya terlihat sikap acuh tak acuh dalam dirinya.
"...?"
Rasanya masih terlalu dini untuk mengatakan kalau aku sedang dihindari, tapi aku merasakan perasaan aneh sedang menusuk dadaku.
Walau begitu, prioritas ku hari ini adalah bekerja . Sekarang, aku harus mengerjakan kerjaanku sendiri dan kerjaan yang dipimpin oleh Mishima, Aku harus efisien selama hari kerja. jika tidak, Aku kemungkinan akan lembur nanti.
Setelah menarik napas dalam-dalam seolah mencoba mengubah pikiran, aku menuju ke mejaku dan menyalakan komputerku. Rutinitas awalku adalah menunggu komputer menyala dan membaca keluaran analog. Dengan kata lain, kertas dan dokumen.
"Met pagi!"
Mishima datang ke kantor beberapa menit kemudian.
"Ah, Misima. Bisakah aku minta waktumu sebentar?"
"Ya?"
"Ah, tidak apa-apa. Aku yang kesana saja."
Aku menghentikan Mishima, yang mencoba datang ke mejaku tanpa menaruh barang bawaannya terlebih dahulu. Setelah itu, aku menuju ke mejanya dengan membawa materi di tangan.
"Aku sedang mengerjakan ini, apakah kamu bisa menundanya sehari lebih lambat dari yang direncanakan? Maaf, tetapi ada beberapa pekerjaan yang tidak terjadwal di kerjaanku dan aku harus menyelesaikannya lebih dulu."
"Ah Klien Yoshida-san sepertinya cukup banyak menuntut, ya?"
Mishima terlihat sedikit mengeluh dan dia menyalakan komputernya.
"Tunggu bentar, aku mau buka lembarannya sambil mencoba memeriksanya."
"Ah, tolonglah."
Saat aku melihat Mishima dengan cepat mengeluarkan barang-barangnya dan menunggu komputernya menyala, aku merasa dia telah menjadi karyawan yang jauh lebih dapat diandalkan dibandingkan saat pertama kali dia datang ke perusahaan ini.
Faktanya, hal itu membuatku sedikit bernostalgia dengan keadaannya saat pertama kali bekerja, yaitu ketika dia memfokuskan seluruh energinya pada Mengambil jalan pintas.
Tiba-tiba, aku merasakan seseorang sedang menatapku.
Saat aku menoleh, aku melihat Gotou-san yang sedang memalingkan muka dariku.
Gotou-san menatap monitor sambil menggerakkan mouse seolah-olah dia tidak sedang melihat ke arah kami.
"Ah, Awalnya aku merencanakannya dengan selisih dua atau tiga hari, jadi aku sendiri yang melupakannya. Tapi tidak apa-apa!"
"..."
"Yoshida-san?"
"Ya? Ah..."
"Mou, malah nggak dengerin. tidak apa-apa kok kalau telat satu hari saja!"
"Ah, maaf. Aku lagi sedikit bingung. Soal tadi, makasih ya."
Melihatku mengangguk dengan tergesa-gesa, Mishima langsung melirikku, lalu melirik ke arah Gotou-san.
Dan kemudian dia mengatakan sesuatu kepadaku dengan suara kecil.
"Apa-apaan itu? Apakah kamu lagi capek?"
"Hah? Apa sih?"
"Maksudku dengan Gotou-san...! Yoshida-san yang kaget banget sejak pagi tadi pasti ada hubungannya dengan orang itu, kan?"
"Eh? Enggak. Nggak ada apa-apa kok."
"Hmmm...."
Mishima masih mengalihkan pandangannya yang penuh tanda tanya ke arahku, kemudian dia menarik napas, lalu mengerutkan bibirnya.
"Oke, aku harap semua baik-baik saja. Tapi ingat ya, fokuslah saat kerja."
"Aku tidak pernah menyangka aku akan mendapatkan perhatian seperti itu dari Mishima."
"Hehehe, apa ini semua berkat senpai galak?"
Mishima berkata sambil tersenyum dan berbalik menghadap mejanya.
Sambil menghela nafas, aku juga kembali ke mejaku.
Akan sangat menyedihkan jika kouhai-ku memperingatkanku tentang hal itu. Meskipun aku sedang khawatir tentang Gotou-san, aku berubah pikiran untuk berkonsentrasi pada pekerjaan untuk saat ini.
"Apa kamu lagi marah?"
Saat aku kembali ke mejaku, Hashimoto yang sudah sampai di tempat kerja berkata dengan suara menjengkelkan.
"Kau berisik!"
"Apakah terjadi sesuatu dengan Gotou-san?"
"...! Kalian semua kenapa sih?"
"Mau bagaimana lagi, kan? Kalian mudah ditebak."
"Gak ada apa-apa kok!"
"Kau kenapa?"
"Yosh, kerja-kerja."
Saat aku menyuruhnya berhenti bicara, Hashimoto mengangkat bahu dan tidak menanyakan apa pun lagi.
Ya, seharusnya tidak ada hal khusus yang terjadi.
Aku bingung dengan perubahan sikap Gotou-san yang tiba-tiba.
Benar saja, tampaknya menjadi seorang wanita itu terlalu sulit bagiku...
Menyadari kalau pikiraku dipenuhi oleh Gotou-san, aku menampar pipiku dan berbalik menghadap komputer.
Aku mendengar Hashimoto tertawa dari sebelah.
Pada akhirnya, aku tidak bisa berbicara dengan Gotou-san bahkan saat istirahat makan siang.
Ketika aku menyelesaikan pekerjaanku dan melihat ke atas, Gotou-san sudah menghilang dari kantor.
Aku pergi ke kantin bersama Hashimoto, tapi Gotou-san juga sudah tidak ada di sana.
Kecurigaanku kalau aku sedang dihindari sekarang menjadi sangat kuat.
Setelah istirahat makan siang, aku bekerja dengan penuh semangat saat sore.
Sejujurnya, semakin banyak pekerjaan yang harus kulakukan ketika aku berada dalam kondisi pikiran yang tidak jelas seperti ini, aku malah semakin lebih mendingan. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.
Saat aku berurusan dengan kerjaan yang terus bermunculan satu demi satu seperti Daruma, hari kerja pun berakhir dalam sekejap mata.
Saat Hashimoto menepuk pundakku dan meninggalkan kantor, aku juga mulai melaporkan tentang pekerjaan harianku.
Aku masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan bekerja lembur membuat segalanya menjadi lebih mudah keesokan harinya, namun akhir-akhir ini, aku berubah pikiran dan berusaha menghindari lembur sebisa mungkin.
Jika pemimpin proyek secara aktif bekerja lembur, akan sulit bagi karyawan lain untuk pergi, dan kriteria jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan tanpa kewalahan akan menjadi semakin kabur.
Hal ini mungkin tidak terpikirkan olehku beberapa tahun yang lalu, namun karena tinggal bersama Sayu, aku merasa menjadi lebih sadar akan fakta bahwa tindakanku mempunyai dampak yang besar terhadap orang lain. Karena aku sedang termotivasi, aku punya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Sangat mudah untuk memutuskan tindakanku berdasarkan alasan sederhana seperti itu, tapi aku harus bisa memikirkan dampak yang aku timbulkan pada orang lain dengan melakukan hal itu.
Tugas menulis laporan kerja sehari-hari sudah menjadi sekedar formalitas belaka sekarang, namun dalam artian mencatat kemajuan tugas seseorang pun membutuhkan waktu yang lama untuk mengisinya dengan cukup akurat dan menghilangkan bagian-bagian yang perlu dihilangkan.
Biasanya, aku menulis laporan harianku dengan santai untuk merilekskan tubuhku yang tegang akibat konsentrasi karena kerjaan, tapi hari ini aku sedang terburu-buru.
Alasannya sederhana, ada kemungkinan Gotou-san bakal pulang saat aku sedang santai melakukan pekerjaan ini.
Aku buru-buru menyelesaikan laporan harianku, dan ketika aku menoleh, untung Gotou-san masih di mejanya. Sebaliknya, dia langsung menoleh kepadaku.
Kupikir dia akan membuang muka lagi, tapi kali ini Gotou-san tersenyum tipis dan berdiri. Kemudian dia berjalan ke arahku.
"Makasih atas kerja kerasnya, Yoshida-kun."
"Ah, makasih atas kerja kerasnya juga."
"Apakah kamu punya waktu setelah ini?"
Gotou-san berbicara kepadaku seperti biasa, sangat berbeda dari sikapnya tadi pagi.
"Ah, tentu saja. Aku juga luang kok."
"Benarkah? Syukurlah. Bisakah kamu naik ke atas?"
"Oke, aku juga baru saja selesaiin laporan harian."
"Baiklah. Kalau begitu, ayo siap-siap dulu."
Setelah mengatakan itu, Gotou-san langsung kembali ke meja kerjanya.
Aku tidak bisa mengikuti perubahan sikapnya, dan untuk sesaat aku melihatnya dengan cepat mulai mempersiapkan semuanya.
Saat sudah selesai, kami langsung meninggalkan kantor.
"Biasanya kamu bilang yuk makan dulu."
"Apakah nggak boleh?"
"Yah, hari ini...eh bentar, yuk kencan!"
"Jadi, apa ujung-ujungnya kencan?"
"Benar, kencan."
Sambil menunggu lift, Gotou-san mengatakan itu sambil tersenyum seperti biasa.
Saat aku melihat ekspresinya dari samping, aku merasakan sangat tidak nyaman kepada Gotou-san. Segalanya terasa aneh saat tadi pagi, tetapi sekarang dia menjadi sangat normal.
Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan , dan itu membuatku merasa tidak nyaman.
Chapter 3 : Pemindahan
“Airi, maaf. Apakah kamu bisa pindah ke cabang Sendai sekitar dua minggu?”
Aku dipanggil oleh Shido Tsukasa, seorang teman sejak masa kuliah dan ketua perusahaan. Sebelum jam kerja dimulai, panggilan semacam ini bukanlah hal yang aneh bagiku, jadi tanpa persiapan khusus, aku pergi ke ruangan ketua.
“Eh, Sendai?”
Aku sekarang merasa sangat bingung.
“Yap. Yang pertama, ini bukanlah sebuah pemindahan yang merugikanmu. Ada proyek baru di cabang Sendai dan aku ingin kamu menjadi pengawasnya,” kata Tsukasa dengan nada tenang seperti biasanya, tetapi pikiranku masih belum bisa memahami arti kata-kata tersebut.
Pemindahan? Kenapa harus aku? Kenapa harus sekarang?
Aku bisa membayangkan bahwa pasti ada alasan kenapa Tsukasa meminta kepadaku, tetapi sulit bagiku untuk segera menerima kenyataan.
“Jika proyek berjalan lancar dan kita sudah melatih ketua berikutnya, aku ingin kamu kembali kesini.”
“Kenapa harus aku yang pindah?”
“Tidak ada eksekutif lain yang memiliki waktu luang selain kamu.”
“Sekarang pun, aku memiliki beberapa proyek yang aku urus....”
Meskipun aku mencoba untuk menentangnya, Tsukasa hanya mengangguk dengan tegas.
“Aku mengerti dengan perasaanmu. Tapi santai saja, para eksekutif di Tokyo akan mengambil alih kerjaanmu dengan baik.”
Aku hanya bisa terdiam di hadapan jawaban yang tampaknya sudah diatur ini.
Aku biasanya selalu mengatakan “Baiklah” terhadap permintaan Tsukasa terkait pekerjaan. Aku telah menetapkan pekerjaan sebagai prioritas utama dan tidak pernah melibatkan kehidupan pribadiku.
Namun, untuk menolak permintaan ini hanya dengan alasan “Aku nggak mau berpisah sama Yoshida-kun” itu tidak mungkin.
“Baiklah, dua minggu,kan?”
“Aku sungguh minta maaf”
Tsukasa merendahkan kepala dengan tenang sebelum akhirnya tersenyum.
“Yah, aku lega banget kalau kamu mau menerimanya.”
Itu mungkin adalah kata-kata hiburan, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara meresponsnya. Aku hanya tersenyum tipis dan memberi hormat saat meninggalkan ruangan ketua.
Saat pintu terbuka, aku merasa sesuatu yang sangat sakit di dadaku.
Kenapa hidupku selalu seperti ini?
Aku telah memutuskan untuk sepenuh hati mencurahkan semua perhatianku kepada Yoshida-kun. Dan sekarang, ketika terjadi sesuatu seperti ini—ini adalah salahku sendiri, tapi aku sudah memiliki banyak hal untuk dipikirkan ketika Sayu-chan kembali ke Tokyo. Dan sekarang juga, sebuah berita tentang pemindahan yang harus kuterima tanpa pilihan untuk menolak telah datang.
Meninggalkan Yoshida-kun dan Sayu-chan di Tokyo sementara aku pergi ke suatu tempat adalah sesuatu yang sangat tidak adil.
Mungkin benar kalau cintaku tidak akan pernah berbuah. Apakah aku lahir di bawah bintang yang seperti itu?
Namun, aku menepuk pelan diriku sendiri dan menggelengkan kepala.
Yang terpenting, aku harus berhenti berpikir seperti ini.
Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Jika aku hanya mengundurkan diri sebagai korban seperti biasanya, aku akan mengkhianati Yoshida-kun yang berkata untuk menunggu dan juga aku akan menghianati tekadku sendiri.
Berjuanglah, Gotou Airi.
Meski begitu, aku masih tidak tahu harus berjuang dalam hal apa dan bagaimana cara melakukannya?
Sementara aku akan pergi, Sayu-chan sedang berada di tokyo.
Aku masih mengingat hari yang cerah ketika Sayu-chan datang melihatku.
“Gimana denganmu?”
Aku berjalan bersama Sayu-chan di depan apartemen dan melakukan perjalanan santai ke sekitar apartemen.
“Yah, tidak ada perubahan yang terjadi kok.”
Aku menjawab seperti itu, dan Sayu-chan tersenyum polos sambil mengatakan, “Yah, itu bagus.”
Sayu-chan mengenakan gaun putih tipis dengan kardigan cokelat. Meskipun berpakaian dengan sangat cantik, dia tetap memiliki aura dewasa yang melekat padanya sejak dulu.
Dengan riasan yang terlihat alami tetapi lebih rapi dibandingkan pertemuan sebelumnya, dia telah menjadi lebih “Cantik”. Aku tidak bisa tidak tersenyum melihatnya. Dia terlihat begitu sempurna.
“Bagaimana denganmu, Sayu-chan? Bagaimana kehidupan kuliahmu?”
Saat aku bertanya, Sayu-chan tersenyum dengan canggung tetapi menjawab dengan tegas.
“Haha. Yah, ada berbagai hal, tapi aku baik-baik saja. Ketika kita mencobanya, semuanya akan baik-baik saja, kan?”
Pandangan sampingnya saat dia mengatakan ini, meskipun dia tersenyum canggung, dia terlihat kuat di mataku. Aku yakin perkembangan gadis ini masih akan terus berlanjut.
“Aku pernah melarikan diri dari kehidupan SMA sekali , tapi setelah melarikan diri sejauh itu sekali, aku tidak ingin melarikan diri lagi.”
“Begitukah? Kamu tumbuh menjadi lebih kuat, ya?”
“Bukan begitu...” katanya sambil menggelengkan kepala. Ini mungkin adalah tanda bantahan yang jujur, tetapi aku tahu bahwa Sayu-chan tidak ingin terlalu sombong.
"Aku percaya kalau kamu sudah tumbuh lebih dewasa dari aku."
“Eh? Enggak, Nggak ada yang begituan!”
“Hehe, kamu menilaiku terlalu tinggi.”
Sayu-chan tampak sedang panik, itu bukan karena merasa rendah diri, tetapi aku tahu dia tidak benar-benar merasa bahwa aku lebih dewasa darinya.
“Baiklah, mau masuk ke kafe?”
Ketika aku bertanya, Sayu-chan melihatku dengan mata berkaca-kaca.
“Boleh sih, apakah kamu tidak ada rencana habis ini?”
“Tidak, aku hanya berencana pergi berbelanja sendirian. Lebih dari itu, aku mau ngobrol dengan Sayu-chan yang sekarang. Apakah itu tidak apa-apa?”
“Jika itu yang kamu mau, boleh!”
Sayu-chan mengangguk dengan semangat, dan aku tersenyum pada kepolosannya. Meskipun aku menyadari bahwa dia adalah pesaing cintaku, aku merasa terlalu nyaman dengannya, mungkin karena kepribadiannya yang ramah.
Setelah berjalan sejenak, kami tiba di sebuah kafe yang kadang-kadang aku kunjungi saat aku merasa ingin berjalan sendirian pada hari libur. Ini adalah tempat yang dijalankan oleh seorang pria tua yang menjalani hobinya, sehingga meskipun hari libur, tempatnya tidak terlalu ramai, seperti yang kuperkirakan.
Hanya satu meja yang terisi, jadi kami bisa berbicara dengan tenang.
“Mau pesan apa?”
Meskipun pelayan tidak seperti yang kamu temui di rantai kafe, suaranya sangat hangat, dan seorang pria tua dengan postur yang tegap mendekati kami untuk mengambil pesanan.
Aku memesan kopi latte, sementara Sayu-chan memilih kopi es.
Ketika pelayan pergi ke belakang, kami berbicara.
"Seleramu sekarang menjadi dewasa, ya?"
Aku berbicara sambil menggoda, dan Sayu-chan tertawa dengan malu-malu.
“Hehe, itu...” dia menjawab dengan ragu.
“Apa kamu punya teman saat di SMA?”
“Ada, meskipun nggak banyak.”
“Menurutku, satu teman saja sudah cukup.”
“...Iya, aku merasa begitu juga.”
“Kamu masuk universitas?”
“Ya, entah bagaimana!”
“Bagus. Kamu sudah bekerja keras. Kamu belajar pelajaran dua tahun dalam satu tahun, kan?”
“Iya, itu adalah konsekuensi dari tindakanku sendiri sih.”
Sayu-chan terus merendahkan diri meskipun dia menceritakan perkembangannya dengan rendah hati. Meskipun dia telah kembali ke sekolah setelah absen satu tahun dan akhirnya berhasil masuk universitas, kupikir dia boleh merasa bangga dengan pencapaiannya.
Ketika kami berbicara tentang masa SMA nya, aku melihat ekspresi Sayu-chan sedikit berubah. Aku juga dengan diam-diam bersiap-siap dalam hatiku.
Terlihat sekali Sayu-chan tampak lebih tertarik pada minumanku, dan kemudian dia merasakan sesuatu yang membuat mata kirinya sedikit berkedip. Aku pura-pura tidak melihatnya. Sementara dia terus mengamati dengan hati-hati, aku menunggu dengan tenang.
Setelah menyesap kofi late yang hangat, aku menambahkan sedikit gula hanya untuk pamer dan menunjukkannya kepadanya. Saat aku melirik ke arah Sayu-chan, dia sedang menatap tajam ke arahku sambil mengaduk isi cangkir. Kemudian, Sayu-chan memperhatikan tatapanku, menggerakkan matanya seperti binatang kecil, lalu menyesap es kopi lagi. Kali ini, aku tidak melihat perubahan apa pun pada ekspresinya, mungkin karena dia gugup.
Saat aku menikmati mengamati Sayu-chan, aku melihat sedikit perubahan pada ekspresinya. Aku juga diam-diam mempersiapkan diri.
“Gotou-san!”
“Ya?”
“Bagaimana hubunganmu dengan Yoshida-san setelah itu?”
Dengan pertanyaan yang sudah kuduga, aku menyipitkan mata sambil berpikir, “Akhirnya, pertanyaan itu datang juga.”
Aku perlahan-lahan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku sudah mengungkapkan perasaanku kepadanya.”
Itu adalah fakta. Aku telah menyatakan perasaanku, tapi hanya itu.
Setelah mendengar jawabanku, ekspresi Sayu-chan tiba-tiba menjadi suram. Aku tahu dia mungkin merenungkan hal-hal lebih jauh daripada apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Dan itu wajar. Jika aku berada dalam posisi Sayu-chan, aku mungkin juga akan memikirkan hal yang sama.
“Jadi...,” Sayu-chan berhent saat berbicara, tetapi kelanjutannya mudah ditebak. Aku buru-buru menggelengkan kepala sebelum dia membuka mulut lagi.
“Kami belum resmi berpacaran.”
“Huh?”
Sayu-chan tiba-tiba terkejut, dengan ekspresi yang menunjukkan kekaguman yang murni, tanpa jejak kebahagiaan. Aku tahu, itulah cara dia. Itu adalah yang dia pikirkan.
Aku mengaduk-aduk segelas kopi latte tanpa alasan yang jelas, kemudian aku memberitahuSayu-chan. “Aku sudah tahu kalau kamu akan kembali kesini.”
Setelah mengatakan itu, Sayu-chan tampak bingung sejenak, tetapi kemudian dia tampak menyadari sesuatu dan menghela nafas dengan keras. Setelah itu, dia membuka dan menutup bibirnya beberapa kali.
“Berarti...” setelah dia akhirnya memilih kata-kata dengan hati-hati, Sayu-chan berkata, “Apakah itu berarti kamu menghormati perasaanku?”
Tentu saja, dia tampak sangat serius. Bahkan dia tampak seperti sedang marah. Aku mulai mengingat bahwa dia adalah tipe yang seperti itu.
“Aku bukan bermaksud untuk menghormati mu.”
Aku membantahnya dengan tegas. Aku tahu baik aku maupun dia tidak akan bisa melanjutkan jika aku tidak melakukannya.
“Aku tahu ini akan memakan waktu, tapi apakah aku bisa menceritakan semuanya tentang apa yang terjadi setelah kamu pergi dari Tokyo?”
Ketika aku mengatakan itu, Sayu-chan ragu-ragu, tetapi akhirnya dia mengangguk dengan serius.
Aku menceritakan bagaimana hubunganku dengan Yoshida-kun semakin dekat setelah dia pergi dari Tokyo. Bagaimana dorongan dari Kanda-san dan Mishima-san sangat membantuku melakukan perjalanan bersama Yoshida-kun. Dan juga, bagaimana aku akhirnya mengkhianati harapannya.
Semua itu kuceritakan dengan urutan yang tepat.
“Sayu-chan, aku hanya ingin Yoshida-kun memilihku saja.”
Setelah aku mengakhiri cerita, Sayu-chan mendengarkan dengan serius tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Aku hanya ingin dia memilihku.”
Setelah mendengar kata-kata tadi, Sayu-chan perlahan-lahan melepaskan nafas. Kemudian, dia mulai memilih kata-kata dengan hati-hati, matanya bergerak ke sana kemari seperti mencari jawaban.
“Gotou-san...apa menurutmu ada kemungkinan Yoshida-san akan menganggapku romantis?”
Entah kenapa, aku merasakan keringat yang tidak enak muncul di punggungku saat aku mendengar kata-kata itu dan mata itu menatap lurus ke arahku.
“Ya, tidak peduli apa yang terjadi, menurutku tidak ada keraguan bahwa kamu adalah orang yang spesial bagi Yoshida-kun. Dan sekarang kamu sudah lebih dewasa dari sebelumnya, tidak heran jika itu berubah menjadi cinta. Itulah yang kupikirkan.”
Mendengarku mengatakan itu untuk menyembunyikan emosiku, Sayu-chan berkata dengan suara rendah, ``Begitu, ya?’’ Lalu, dia berkata dengan suara agak datar.
“Dari sudut pandangku...kurasa itu tidak mungkin.”
“Eh?”
Tiba-tiba aku menjerit panik mendengar kata-kata yang tidak terduga itu.
“Yoshida-san, dia hanya melihat Gotou-san. Aku mengerti itu karena kami sudah bersama selama lebih dari setengah tahun.”
"Yang seperti itu...”
Aku mencoba mengatakan kalau bukan seperti itu, tapi saat aku menatap mata Sayu, aku kehilangan kata-kata.
Aku tahu dia tidak mengatakan itu untuk menenangkan pikirannya.
“Tentu saja, Yoshida-san merawatku dengan baik. Aku juga menyukainya. Tapi menurutku ‘merawat’ itu berbeda dengan memperlakukan sebagai ‘pacar.”
“Itu kan dulu.”
“Itu benar, tentang hari-hari itu. Tapi aku menghilang lagi dari kehidupan Yoshida-san, dan Gotou-san bersamanya selama waktu itu.”
Muncul rasa dingin di area perutku.
Dia mungkin tidak bermaksud seperti itu, tapi aku merasa dia seperti menuduhku , ``Apa yang sudah kamu lakukan selama lebih dari setahun?’’ Dan ketika seorang gadis yang lebih muda membuatku merasa seperti itu, aku menyadari bahwa aku masih muda secara mental.
“Gotou-san, kamu baik banget, yah?”
“...Eh?”
“Gotou-san, mungkin kamu tidak bermaksud begitu. Seperti yang kamu katakan tadi, kamu mungkin takut kepada hubungan antara aku dan Yoshida-san, dan kamu mungkin benar-benar memikirkan hal itu. Tapi...”
Ketika Sayu-chan berbicara, matanya tidak pernah beranjak dariku. Matanya menatapku seperti menyusup masuk ke dalam hatiku.
“Selain itu, kupikir mungkin ada sedikit keragu-raguan terhadapku. Mungkin kamu tidak ingin aku terlihat seperti mengambil Yoshida-san darimu. Mungkin kamu takut untuk mencuri hati dia sebelum aku melakukannya.”
“Tidak, aku tidak....”
“Aku tahu kamu tidak bermaksud begitu kok.” kata Sayu-chan.
“Aku hanya ingin bilang kalau aku tidak ingin mengganggu kehidupan orang lain. Aku hanya ingin menjalani hidupku, yang telah aku usahakan dengan bantuan banyak orang. Itu sebabnya aku kembali ke Tokyo.”
Aku pikir Sayu-chan mungkin kembali ke Tokyo hanya untuk bertemu Yoshida-kun. Atau setidaknya, itu yang kupikirkan. Aku masih merasa itu benar, tetapi...
“Aku...” aku mendesah kecil. “Aku tidak tahu bagaimana mengatakan ini dengan benar...”
Saat aku mengatakan ini, Sayu-chan mengangkat bahu dengan serius.
“Apa yang ingin kamu katakan?”
“Aku, aku minta maaf.” Aku menjawab dengan jujur. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah berbicara dengan jujur.
“Gotou-san, kamu itu memiliki sifat baik. Tapi...”
Sayu-chan menekan bibirnya dan berkata, “Tolong, sudah cukup.”
Aku menelan kata-kata itu. Aku tidak bisa merespon dengan kata-kata apa pun.
“Aku tidak ingin menghalangi hidup orang lain. Aku hanya ingin menjalani hidupku setelah berjuang begitu keras untuk memperbaikinya. Itulah sebabnya aku kembali ke Tokyo.”
Aku berpikir Sayu-chan kembali ke Tokyo hanya untuk bertemu Yoshida-kun, tapi sekarang aku tahu itu hanya sebagian kecil dari tujuannya. Dia sudah memiliki pemahaman diri yang kuat dan berkomitmen untuk menjalani hidupnya dengan penuh tanggung jawab.
“Uughhh...”
“Ada apa?” tanya Sayu-chan ketika aku menghela nafas kecil.
“Aku hanya berpikir kalau kamu sudah dewasa. Sedangkan aku...”
“Aku ingin kamu berhenti sampai situ saja.” kata Sayu-chan dengan keras.
Aku tidak bisa menjawab. Aku merasa semakin tidak suka kepada diriku sendiri. Sayu-chan sudah mengungkapkan kelemahanku, dan aku merasa bersalah. Dalam situasi seperti ini, aku merasa diriku masih kurang matang emosionalnya.
“Tapi... Aku sungguh percaya kalau Yoshida-kun mungkin akan memilihmu.”
“Eh...”
“Setidaknya itu adalah perasaan jujur ku.”
Sayu-chan terlihat sangat bingung saat aku mengatakan itu, matanya terlihat bergerak-gerak.
“Kamu adalah orang yang menarik, dewasa, dan sangat cantik. Dan kupikir kamu memiliki kemampuan komunikasi yang unik untuk mendekati siapa pun.”
“Jangan bilang gitu, ah.”
Sayu-chan terkejut dan malu.
“Ada kemungkinan besar bahwa kamu akan menangkis hati seseorang dengan pesona mu. Sejujurnya, aku mengharapkanmu kembali ke Tokyo dengan keyakinan untuk bersaing denganku.”
Sayu-chan menarik napas dalam-dalam, suara napasnya terdengar jelas.
“Aku sudah pura-pura dewasa. Dan sekarang kamu mengajarinya kepadaku. Jadi, tolong hentikan.”
Setelah aku mengatakan itu, Sayu-chan tampak terguncang, matanya bergerak liar sejenak, dan dia menyentuh rambut sampingnya dengan jari.
“Kamu...”
Aku menghela napas kecil dan mengakui kelemahanku.
“Sayu-chan, aku minta maaf. Sekarang, aku akan berhenti berpura-pura.”
Ketika aku mengatakannya, Sayu-chan mengangguk dengan tulus.
Setelah itu, Sayu-chan tertawa dengan wajah yang sedikit kesulitan.
“Ah, bagaimana ya...”
Dengan tatapan yang polos dan penuh selipan, Sayu-chan melihat ke arahku.
“Akhirnya, kamu bisa melihatku seperti itu juga, kan?”
“Nampaknya, aku benar-benar sudah terbaca ya? Sepertinya kita saling memahami dengan cara yang berbeda.”
“Manusia itu memang rumit, ya.”
“Iya.”
Aku merasakan udara yang tegang perlahan-lahan melonggar.
“Apakah aku boleh nambahin sedikit susu dan gula di kopi ini?”
Saat aku menunjuk gelas kopi es yang diletakkan di depan Sayu-chan, dia tersenyum malu-malu.
“Apakah itu juga terbaca...?”
Sayu-chan memerah dan dengan malu-malu menambahkan susu dan gula ke dalam gelasnya. Melihatnya mencoba minum kopi hitam saat ada orang dewasa di sebelahnya, itu terlihat sangat lucu dibandingkan dengan perilakunya yang dewasa biasanya. Aku pun tertawa karena tidak bisa menahan diri.
Sayu-chan kemudian menyedot sedikit kopi es melalui sedotan dan tampaknya dia merasa lebih nyaman sekarang.
“Ah, aku sekarang tiba-tiba merasa nyaman.”
Aku juga meminum sedikit tegukan kecil dari kopi latte ku dan merasa sedikit lebih tenang. Terasa seperti perasaan hangat mengalir melalui tenggorokanku dan itu sangat menenangkan hati.
“Benar, aku sebenarnya tidak perlu berpura-pura.” kata Sayu-chan dengan suara yang gemetar.
Saat itu, mata Sayu-chan tertuju ke arahku.
“Seperti yang Sayu-chan katakan, aku mungkin merasa memiliki tanggung jawab yang tidak sadar kepadamu.”
Ketika aku mengatakan itu, aku menggigit bibir bawahku. Ini membuatku merasa kesal dan lemah, karena aku masih merasa takut meskipun sudah sejauh ini.
“Jadi, untuk kedepannya aku mau berusaha untuk tidak membawa perasaan itu.”
Aku mengucapkan kata-kata tersebut dengan suara yang gemetar, dan Sayu-chan menghirup nafas panjang.
“Terima kasih atas kata-kata itu. Ini memberiku rasa lega,” kata Sayu-chan, tersenyum lebar dengan sengaja.
“Sekarang aku bisa membuktikan cintaku dengan sepenuh hati.”
“Ahaha, aku akan mendukungmu.”
“Meskipun kamu memberi dukungan, kamu tidak boleh kalah, ya?”
“Aku mendukungmu kok, tapi aku tidak akan kalah.”
“Ahaha, aku juga tidak berharap bisa menang.”
Meskipun Sayu-chan mengatakan itu seperti candaan, mata dia turun ke kanan bawah sejenak. Wajahnya terlihat ceria, tetapi ada sesuatu yang rapuh dalam cahaya mata dia.
Oh, itu benar-benar apa adanya, hanya itu. Sayu-chan benar-benar hanya sedang menjalani cintanya sebagaimana adanya. Dia tidak akan menyerah pada cinta, tetapi dia juga tidak berharap untuk berhasil.
Aku menyadari bahwa dia benar-benar tidak berpikir demikian. Dia mungkin ingin melihatku sebagai ancaman serius, tetapi pada akhirnya, dia adalah orang yang paling tulus dalam hal ini.
Dia tidak akan menyerah pada cinta, tetapi dia juga tidak mengejar dengan sepenuh hati. Aku merasa ini sangat berlawanan dengan situasiku sendiri. Namun, saat aku merenungkan hal itu, aku menyadari bahwa tindakan dan tekad Sayu-chan sebenarnya menginspirasiku.
Aku selalu diinstruksikan oleh orang lain, tetapi aku sering kali merasa puas dengan sedikit perubahan. Aku lebih mudah terganggu oleh diriku sendiri daripada Sayu-chan yang lebih teguh.
Karena itulah, aku merasa penting untuk benar-benar mencoba, bahkan jika itu tampak gila. Mungkin hanya dengan begitu, aku bisa mendapatkan perubahan yang nyata.
Aku ingin mendukung cinta Sayu-chan yang realistis ini. Namun, aku juga ingin dapat membantu perasaan cintaku sendiri seiring waktu.
Kami terus berbicara tentang berbagai hal yang tidak ada hubungannya dengan Yoshida-kun hingga akhirnya sore tiba. Saat kami berpisah, aku merasa aku telah menemukan tekad untuk menghadapi perasaan cintaku.
Beberapa hari setelah aku memutuskan dengan tekad baru, aku tidak pernah berpikir bahwa hal seperti ini akan terjadi. Setelah meninggalkan ruang kerja ketua, langkahku tanpa pikir panjang menuju kamar toilet, di mana aku berdiri di depan cermin dan memandang wajahku sendiri.
Aku merasakan kepanikan dan kebingungan yang muncul dan hilang begitu saja. Aku tanpa sadar menggigit bibir bawahku, dan saat menyadari hal itu, aku perlahan-lahan menghembuskan nafas dan memperbaiki lipstik ku.
Tidak ada gunanya terus menatap cermin, jadi mau tidak mau aku kembali ke mejaku dan mulai bersiap-siap untuk bekerja, meskipun masih sedikit orang yang datang ke kantor pada saat itu.
Memasuki rutinitas untuk memulai pekerjaan membuatku merasa sedikit lebih tenang. Tetapi pikiran negatif seperti “Apakah benar kalau aku akan dipindahkan?”, “Bagaimana caraku berbicara dengan Yoshida-kun?”, atau “Apakah mungkin untuk menjalani hubungan jarak jauh pada usia seperti ini?” masih muncul seperti gangguan teratur.
“Selamat pagi.”
Saat Yoshida-kun memberi salam, suaranya terdengar di dalam kantor, dan reflek aku memaksakan mata ku untuk melihat ke arahnya. Reflek ternyata bisa menjadi sesuatu yang menakutkan.
Pandangannya juga menuju ke arahku, dan mata kami bertemu sejenak. Pada saat itu, jantungku berdegup dengan keras, dan aku buru-buru mengalihkan pandanganku.
Yoshida-kun tampaknya melihat ke arahku untuk beberapa saat, tetapi kemudian dia berjalan menuju meja kerjanya sendiri.
Setelah itu, aku diam-diam mengamatinya dari belakang, dan akhirnya aku bisa melepaskan napas panjang. Aku tahu betul bahwa dengan caraku menolak pandangannya tadi, itu akan membuatnya khawatir lagi. Tetapi, kali ini aku tidak bisa mengendalikan diriku.
Bagaimana seharusnya aku mengungkapkan perasaanku dan berbicara dengan dia? Itu harus dilakukan malam ini. Aku tidak boleh menunda seperti biasanya.
Namun, aku merasa sulit untuk berinteraksi dengan Yoshida-kun dengan baik selama jam kerja. Aku merasa tidak bisa melakukannya. Karena itu, aku terus berusaha menghindarinya sepanjang hari kerja.
Chapter 4 : Karaoke
“Pemindahan, ya?”
Setelah diajak Goto-san untuk keluar dari kantor, kami berdua masuk ke restoran Jepang dengan ruangan pribadi. Aku merasa kaku karena tiba-tiba dia mengungkapkan sesuatu yang tak terduga. Aku ingin bertanya, kenapa harus sekarang? Tapi aku tahu bahwa tidak ada gunanya mengatakannya pada Gotou-san.
Tapi, ini adalah saat yang sangat tidak tepat. Sesuai dengan yang sudah Gotou-san katakan sebelumnya, Sayu kembali ke Tokyo. Aku berencana untuk memikirkan ulang hubungan kami dengan lebih baik, tetapi sekarang dia akan dipindahkan ke Sendai.
“Maaf ya, keputusan ini sudah bulat.”
Gotou-san mengatakannya dengan rasa penyesalan.
“Gak apa-apa, itu juga bagian dari pekerjaan.” aku mengatakannya tanpa benar-benar berpikir. Aku melihat Goto-san menatapku dengan tenang setelah aku mengucapkan kata-kata itu. Matanya berkedip-kedip dan bibirnya bergetar.
Tentu saja, yang seharusnya aku katakan bukanlah kata-kata sembrono seperti itu. “Aku akan memikirkannya dengan serius, tidak peduli walaupun Gotou-san sedang berada dimana.”
Aku yakin dia merasa khawatir. Aku berpikir, "Kenapa harus sekarang?” Namun, aku yakin aku bukan satu-satunya yang berpikir seperti itu. Aku merasa kesal pada diri sendiri karena tidak segera menyadari itu.
Saat hubungan kita mungkin akan berkembang lebih jauh, Gotou-san terpaksa harus pindah. Jadi, hal yang seharusnya aku lakukan adalah memberinya kata-kata yang membuatnya merasa tenang.
“Walaupun begitu, pindah bukan berarti kita tidak akan pernah bertemu lagi, kan?”
“Nggak, tempatnya tuh Sendai, lho?”
“Aku akan kesana.”
“Huh...?”
“Aku bakal datang menjenguk setiap hari Minggu. Mungkin tidak setiap minggu sih...”
Gotou-san terkejut saat aku mengatakan itu dan dia menggelengkan kepalanya dengan panik.
“Bukannya malah merepotkan?”
"Aku pergi untuk menemui orang yang kucinta. Apakah ada yang salah dengan itu?"
“Masalahnya bukan itu....”
Meskipun Gotou-san merasa malu, aku melihat senyumannya. Tapi meskipun dia malu-malu, aku merasa ada sesuatu yang tidak enak dalam hatinya.
Aku pikir dia mungkin tidak merasa sepenuhnya tenang, meskipun dia mengatakan bahwa dia senang. Tentu saja, tidak ada yang bisa memastikan masa depan, dan aku tahu bahwa hanya dengan janjiku saja tidak cukup untuk membuatnya merasa aman.
Tapi... dia mungkin tidak perlu menunjukkan perasaannya seperti dia sudah menyerah. Aku mulai merasa sedikit kesal padanya. Aku merasa aku bisa memahami perasaan dan emosinya lebih dari yang dia kira.
“Tentu saja, aku bakal pergi!”
Aku mengatakannya dengan perasaan yang belum sepenuhnya merasa puas. Gotou-san mengangguk dengan malu-malu.
“Terlalu dramatis..., tapi makasih ya. Yuk, kita makan sekarang.”
Kami mengangkat gelas dan mulai minum, tetapi sejauh ini kami belum menyentuh makanan yang kami pesan.
Meskipun kami masih memiliki beberapa keraguan, kami memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan ini dan menikmati makanan kami. Gotou-san mulai berbicara tentang kehidupan sehari-harinya dan pekerjaannya, tetapi aku masih merasa canggung dengan perasaanku yang belum sepenuhnya hilang.
“Hmm, mungkin aku sudah makan terlalu banyak.”
Setelah keluar dari restoran, Gotou-san berjalan dengan tidak teratur, bergoyang-goyang ke kiri dan kanan, bukan seperti langkah teratur yang biasa dia tunjukkan di kantor. Ketika aku memperhatikannya, aku merasa dia mungkin sudah minum dan makan lebih banyak dari yang biasanya.
Cara berjalan yang goyah itu memberikan kesan santai yang agak berbeda, dan itu membuatku terkejut.
“Kamu jalan sedikit goyah, tahu?”
Ketika aku memperingati Gotou-san yang berjalan sedikit di depan, dia berbalik dan tersenyum dengan genit.
“Aku sengaja melakukannya,” jawabnya.
“Kalo kamu jatuh gimana?”
“Aku baik-baik saja, aku bukan anak kecil!”
Dengan kata-kata itu, dia tertawa dengan lembut, sangat berbeda dengan suasana yang ada di restoran sebelumnya.
Setiap kali dia melangkah, suara hak sepatu tinggi yang dipakainya menghasilkan suara yang cukup keras, bahkan di tengah keramaian di jalanan yang cukup berisik, aku merasa itu adalah suara paling mencolok.
Melihat Gotou-san yang tertawa dan berjalan dengan bahagia meskipun situasinya agak aneh, aku merasa yakin kalau aku benar-benar menyukainya. Ini adalah perasaan yang sudah lama kumiliki.
Namun, ketika aku bersama Gotou-san, aku merasa sangat lelah. Tidak ada yang berjalan sesuai rencana, dan itu membuatku merasa frustrasi dan bingung. Meskipun begitu, aku akan selalu mencintainya.
Entah karena ini adalah pengalaman cinta pertamaku sejak masa sekolah, atau karena dia adalah Gotou-san, aku tidak tahu. Tapi aku bertanya-tanya, apakah cinta selalu seperti ini, sulit dan menyakitkan?
“Hei, Yoshida-kun?”
Saat aku melihat Gotou-san dari belakang, dia tiba-tiba berbalik dan aku kembali ke kenyataan.
“Ya?”
Aku sangat terkejut hingga suaraku terdengar sangat aneh, untung saja Gotou-san tidak terlalu memperhatikannya.
“Kayaknya aku gak mau pulang...”
Gotou-san mengatakannya dengan nada polos.
“Heh!”
Aku terkejut lagi karena kata-kata yang tiba-tiba itu.
'Kayaknya aku gak mau pulang'. Ini adalah kata-kata pertama yang diucapkan kepadaku, meskipun aku tahu artinya kalau orang dewasa yang mengatakannya.
Pikiran jahatku meledak sebentar. Kami “masih belum” menjadi pacar. Tidak mungkin sesuatu yang seperti itu akan terjadi dalam suasana seperti ini. Jika itu terjadi, maka pemikiran bahwa kami “belum berkencan” akan benar-benar sia-sia.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
“Ayo main sebentar lagi sebelum pulang!” kata Goto-san dengan manja.
“Gimana maksudnya?”
“Semuanya akan baik-baik saja selama kamu mengikutiku.”
Dengan kata-kata itu, Gotou-san tiba-tiba berjalan dengan mantap. Momen ini begitu tiba-tiba sehingga aku agak terdiam, tapi kemudian dia mengundangku dengan genit.
Aku menghela nafas dan berlari mengejar Gotou-san. Sekarang aku merasakan sensasi seperti jantungku ditekan dengan lembut. Aku tidak bisa berbuat banyak kepada orang ini, pikirku.
Kami sampai di tempat tujuan, dan Goto-san mengatakan, “Nih tempatnya!” sambil menghentikan langkahnya.
Ini adalah tempat karaoke yang sepertinya tidak terlalu terkenal. Aku bahkan tidak pernah mendengar nama tempat karaoke ini sebelumnya.
“Karaoke...?”
“Ya!” kata Goto-san.
“Apa kamu mau nyanyi?”
“Hmm...”
Goto-san menggelengkan kepala dengan ragu dan tersenyum nakal.
“Oke, yang penting masuk aja dulu.”
“Eh, apa kamu benar-benar ingin masuk?”
Aku masih mencoba memahami mengapa kami ada di sini. Apakah dia sudah merencanakannya sejak awal, bahkan ketika kami masih berada di restoran?
“Kamu tahu tempat ini dengan baik ya?” kataku saat aku mengejar Gotou-san. Dia menjawab dengan santai, “Aku baru aja mencari tempat ini sebelumnya.” Aku tidak pernah melihat dia mengeluarkan ponselnya sepanjang perjalanan menuju ke sini, jadi mungkin dia mencarinya dengan cepat saat aku pergi ke kamar mandi saat masih di restoran. Jadi, apakah dia merencanakan untuk membawaku ke tempat karaoke sejak kami masih berada di restoran?
Kami naik ke lantai dua yang memiliki meja resepsionis yang sempit. Setelah Gotou-san membunyikan bel yang ditempatkan di sana, seorang pria yang tampak tidak terlalu bersemangat keluar dari dalam.
“Anda berdua? Apakah Anda memiliki kartu anggota? Jika tidak, Anda dapat menggunakan fasilitas ini sebagai tamu, tetapi biayanya akan menjadi 200 yen lebih murah jika Anda mendaftar sebagai anggota. Apakah Anda tamu? Apakah Anda memiliki preferensi untuk mesin karaoke tertentu? Tentu saja, kami akan meminta pesanan minumannya.”
Meskipun pria itu terlihat kurang bersemangat, dia dengan rapi mengikuti alur percakapan yang jelas-jelas telah diulanginya berkali-kali. Cara dia menjalankan prosedur ini sebenarnya cukup mulus.
Setelah pendaftaran selesai, kami diarahkan ke sebuah ruang karaoke di lantai empat. Sayangnya, tidak ada lift, jadi aku harus menaiki tangga lagi. Gotou-san juga mengikutiku. Saat aku mencapai lantai empat, aku menyadari bahwa terdengar beberapa suara menyanyi dari ruangan-ruangan lain, meskipun terdengar cukup pelan. Aku terkejut karena aku selalu membayangkan tempat karaoke selalu penuh dan berisik. Ini membuat ku bertanya-tanya apakah bisnis tempat karaoke ini akan bertahan jika sepi seperti ini setiap hari.
Aku menyadari kalau pikiran tadi hanyalah usaha untuk mengalihkan perhatian dari situasi seperti “kencan di ruangan pribadi” yang tiba-tiba muncul dengan Gotou-san. Meskipun kami sering pergi berlibur bersama dan menghadapi berbagai situasi yang menantang, ini selalu membuatku merasa gugup.
Ketika kami masuk ke ruang yang telah ditunjukkan, hanya lampu di dalam TV yang menyala, sehingga ruangan menjadi remang-remang. Ini jelas ruang karaoke untuk dua orang dan jauh lebih sempit dari yang ku bayangkan. Anehnya, ruangan ini tidak memiliki larangan merokok, dan aku segera merasakan bau asap tembakau yang tertinggal di dinding.
Gotou-san duduk di sofa sambil tersenyum, “Ini seperti ruang klasik, kan?”
Ketika aku duduk di sebelahnya, dia tampaknya memiliki sesuatu yang ingin dia katakan, tapi pada saat yang sama, ada ketukan di pintu yang baru saja ditutup, dan kami berdua terkejut.
“Maaf, izin sebentar, ya!”
Seorang wanita muda yang sepertinya adalah karyawan paruh waktu memasuki ruangan dengan minuman.
Karena kami telah minum sebelumnya, kami hanya memesan teh hijau. Wanita itu meletakkan dua gelas di ujung meja dan pergi tanpa berbicara banyak.
Ada beberapa detik keheningan. Meskipun TV menyiarkan iklan perangkat karaoke dengan volume yang cukup kecil, itu terdengar cukup keras di ruangan ini.
“Umm, apakah kamu ingin bernyanyi?”
Aku bertanya untuk mengisi keheningan.
Tidak tahan dengan keheningan itu, aku mengambil remote yang ada di meja, tetapi Gotou-san tertawa pelan, “Aku ingin melihat Yoshida-kun bernyanyi.”
“Tidak, jangan minta itu dariku. Aku benar-benar tidak bisa menyanyi, kamu tahu?" kataku.
“Apa, benarkah?”
“Ya, dulu waktu SMA, mereka selalu membuliku tentang nyanyianku.”
“Heh, aku gak pernah menduganya. Kupikir kamu bisa melakukan segalanya dengan baik.”
“Aku sungguh tidak pandai dalam bernyanyi...”
Ketika aku mencoba untuk memulai percakapan, tatapan mata Gotou-san terperangkap dalam tatapanku. Dia menatapku dengan mata yang sedikit kabur, mungkin akibat alkohol, dia tampak sangat seksi.
“Hei, Yoshida-kun...” katanya.
“Ya?”
“Apakah aku duduk di sebelahmu?”
“Boleh kok...,” kataku dengan gemetar. Aku setuju, dan dengan cepat Goto-san berdiri dan duduk di sebelahku, hampir bersentuhan dengan bahu.
”Haah...”
Sambil mendekatkan bahunya ke bahunya dengan erat, Goto-san menghembuskan napas dalam-dalam. Aku bertanya, “Ada apa?” sambil tidak dapat melihat wajahnya yang ada tepat di sebelahku.
Gotou-san tetap diam dengan kepalanya yang menempel pundakkuselama beberapa saat...
“...Ternyata, aku tidak ingin berpisah.”
Dengan kata-kata yang dia ucapkan untuk mengakhiri keheningan, aku secara refleks melihat ke arahnya. Gotou-san memandangku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Beberapa detik mata kami saling bertemu, tetapi dia meringis dengan bibir yang sedikit tersipu dan menekan kepalanya ke bahunya.
Sekarang hatiku berdegup tidak teratur, apakah itu karena dia terlihat menggemaskan atau karena aromanya yang harum.
“Mendadak dipindahkan begitu saja, aku mencoba sebaik mungkin. Aku benar-benar mencoba untuk mengatur perasaanku. tapi sepertinya aku tidak bisa.”
Gotou-san berbicara dengan agak pelan dan terbata-bata.
“Tentu saja, aku mengerti maksudmu.”
Aku juga mengungkapkan pikiranku. Selain merasa empati, aku merasa sedikit lega. Sampai saat ini, dia hanya mengungkapkan sedikit perasaannya yang rumit, tetapi akhirnya, aku mendengar perasaannya yang sebenarnya.
“Kenapa aku selalu seperti ini ya?”
“Untuk hal ini, itu bukan salah Gotou-san. Aku yakin.”
“Benarkah? Aku merasa seolah-olah aku hanya dilahirkan di bawah nasib yang seperti itu.”
“Apakah dalam hidup, hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan selalu sering terjadi?”
Aku juga tidak bisa menahan diri untuk mengungkapkan perasaanku seperti yang Gotou-san lakukan. Kepalanya bergerak sedikit, dan aku bisa merasakan matanya menatapku.
“Yoshida-kun, apakah kamu pernah berpikir seperti itu?”
“Yah, mungkin pernah. Bahkan aku, dalam hidupku, kadang-kadang membayangkan bagaimana “harusnya” dan mengharapkan itu terjadi, tapi hasilnya selalu mengecewakan , tahu?”
“Apa maksudmu?”
“Ya, ini hanyalah ceritaku. Tapi tidak semua orang bisa mengatakan hal yang sama.”
Dalam pikiranku, aku merasa semakin sulit menjelaskan, “Mungkin kata-kataku tidak terlalu bagus.” Dia merasa kebingungan karena pertanyaan yang semakin mendalam.
Aku merasa seperti selalu hidup dengan pemikiran semacam itu sejak dulu. Dari masa SMP sampai SMA, aku bermain baseball dengan tekun, bahkan menjadi pemain cadangan sebagai pitcher di SMA. Namun, jika ditanya apakah aku berhasil dalam turnamen atau tidak, jawabannya adalah tidak. Mimpiku sebagai pemain baseball untuk mencapai Koshien tidak pernah terwujud. Bukan berarti semuanya sia-sia, tapi aku bahkan tidak tahu apa yang telah ku pelajari dari pengalaman bermain baseball itu, baik dalam konteks kehidupan sekarang maupun dalam konteks pribadiku.
Cinta pertamaku berakhir dengan alasan yang alami. Aku telah mencoba memperlakukan cinta dan orang yang kucintai dengan baik. Tapi, apa yang aku inginkan tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang kucintai. Ini bukan hanya tentang hubungan dengan pacarku, tapi juga tentang diriku sendiri.
Aku merasa bahwa aku tidak pernah berhasil dalam hal-hal yang melibatkan “Hak orang lain.” Apa pun yang kuhadapi, aku selalu mencoba memahaminya, tetapi hasilnya selalu merasa kurang. Apapun yang ku usahakan untuk “menghadapinya dengan jujur,” begitu melibatkannya dengan diriku sendiri, aku merasa bahwa sesuatu selalu terdistorsi.
Sama halnya ketika dia meninggalkanku di rumah. Dia ingin ikut campur dengan satu-satunya niat baik. Tapi itu adalah perasaan yang sedikit bengkok, baik dalam konteks sosial maupun sebagai individu. Dia merasa bahwa dia mungkin melihat “dirinya sendiri” sedikit saat dia terjepit dalam kehidupan yang merusak karena roda yang tidak cocok, dan itulah sebabnya aku ingin membantunya. Namun, dia tidak bisa melakukannya sendirian.
Dia membutuhkan bantuan banyak orang, keberuntungan, dan kesempatan akhirnya memungkinkannya mengirimku kembali ke Hokkaido.
Tidak ada yang bisa kucapai sendirian. Aku tidak pernah merasa bahwa hidupku berjalan sesuai dengan keinginanku, bahkan sekali pun.
“Yoshida-kun ...?”
Mata Gotou-san dan suaranya membangunkanku dari lamunan yang panjang.
Dia membuka mulutnya untuk menjawab, "Emang benar. Sekarang pun, meskipun kami saling mencintai, tetap saja ada masalah.”
Ketika aku mengatakan itu, Gotou-san mendesah kesal, “Aku tahu, kamu berpikir kalau aku adalah wanita yang merepotkan, kan?”
“Bukan itu maksudku. Maaf, aku tidak bermaksud menyalahkanmu.”
“Aku tahu kalau kamu berpikir aku merepotkan!”
“Aku tidak berpikir seperti itu!”
Ketika aku jujur dengan jawabanku, Gotou-san menggerakkan bibirnya dengan marah. Setelah makan malam di restoran, Gotou-san memiliki sikap yang agak manja yang membuat hatiku berdebar.
“Maaf, aku tahu ini adalah kesalahanku juga. Aku ... “
“Aku tahu kalau kamu tidak mengerti apapun!”
Kata-kataku terpotong oleh suara Gotou-san. Dia memutar tubuhnya, mendekatiku dengan wajah yang semakin dekat. Aku tidak punya tempat untuk lari. Kepalaku juga hampir menabrak dinding.
Dengan jarak yang sangat dekat, mata kami bertemu. Mata Gotou-san benar-benar terlihat lembap meskipun ruangan gelap. Aku merasa aneh bahwa mata manusia bisa begitu lembut, dan aku merenung tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan situasi saat ini.
“Sekarang, apa kamu tahu apa yang sedang kupikirkan?”
“Ah, aku tidak tahu ...”
“Dengan begini...”
Gotou-san mengucapkannya, dan untuk sejenak dia terdiam. Bibirnya gemetar sedikit.
“Dengan begini, aku benar-benar ingin menciummu."
Dengan wajah memerah dan serius, dia mengatakan hal itu yang membuatku menelan ludah seolah-olah suraku begitu keras. Jantungku berdetak kencang.
Meskipun kami saling mencintai, kami belum resmi berpacaran, dan kami telah menetapkan batasan untuk tidak melakukan lebih dari sekadar mencium satu sama lain setelah malam itu. Tapi sekarang dia mengatakan bahwa dia ingin menciumku. Aku benar-benar bingung dengan perasaannya kepadaku. Meskipun merasa frustasi, pada saat yang sama, kegembiraan dan ketegangan dalam diriku lebih kuat daripada kekesalan.
“Ah, terserah!”
Sebelum memikirkannya terlalu dalam, suara gemetar terlepas dari mulutku.
“Aku tidak masalah kok!”
“...”
Ada suara setetes air liur ketika Gotou-san menelan.
Matanya yang berkaca-kaca masih memandangku. Wajahnya mendekat sedikit, membuatku menahan napas.
Namun, mata Gotou-san tiba-tiba terpejam, dia perlahan-lahan menjauh setelah bernafas dalam-dalam. Kemudian kepala Gotou-san bertumpu di bahuku lagi, dia berkata.
“Ternyata, tidak bisa ya...”
“A-apa yang kamu maksud?”
“Ciuman.”
Gotou-san mengatakan itu dengan senyum getir.
Dadaku sangat sakit. Satu-satunya hal yang terlintas dalam pikiranku dari perkataan Gotou-san hanyalah satu.
“Tentu saja. Itu benar.”
Aku menggigit gigiku dengan kuat dan mengangguk.
Gotou-san, setelah dia melihat kembali hubungan antara aku dan Sayu, dia memintaku untuk memilihnya. Dan pada dasarnya, kesimpulan di balik pernyataannya adalah bahwa “Sayu masih mencintaiku”. Ketika Gotou-san mengatakan “melompat terlalu dulu,” itu berarti dia menganggap tindakan seperti menciumku sebelum hubunganku dengan Sayu selesai adalah bentuk “curang” baginya.
Aku mengerti. Aku mengerti apa yang dia katakan.
Jika begitu, dia seharusnya perlu menciumku.
Aku memintanya untuk menahan semua perasaan itu, sensasi dan kehangatan yang pernah kurasakan ini...
Apakah dia benar-benar mengerti betapa tidak adilnya semua ini?
Namun, dia menerima semua keluhan itu.
Setelah aku memutuskan untuk menerima tawarannya, aku akan menerimanya. Tetapi, mungkin dia bisa memberikan usulan tengah jalan.
“Baiklah, ini udah cukup, kan?”
Aku mengelilingkan lengan kiriku di sekitar bahu kiri Gotou-san dan mendekapnya dengan erat.
Gotou-san menekan kepalanya ke dadaku seperti itu, dan perlahan-lahan ketegangan dalam tubuhnya mulai terasa mengendur.
“Yah, terima kasih.”
“Tidak perlu berterima kasih.”
“M-maaf...”
“Tidak apa-apa.”
Aku menghela nafas. “Terasa agak menyebalkan,” pikirnya.
“Kamu tahu, hanya dengan melakukan ini, aku merasa cukup bahagia,” kata dia.
“...Ehehe.”
Meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya, aku bisa merasakan kepala Gotou-san sedikit mengangguk. Lalu tangan kiri Gotou-san dengan lembut, menempel di atas tangan kiriku.
“Yah, aku juga.”
Dengan suara lembut, Gotou-san mengatakan itu, lalu dia menggosokkan kepalanya dengan lembut di dadaku.
Rasa kesal karena dipermainkan dengan ciuman segera menghilang, dan sekarang, aku hanya ingin terus seperti ini.
Siapa sangka aku begitu sederhana dalam hal cinta.
Kami berdua, di dalam ruangan gelap itu, terus seperti itu untuk waktu yang lama.
“Aku tidak ingin pergi ke Sendai.”
“Aku tidak ingin kamu pergi.”
“Mengapa selalu seperti ini?”
“Ini membuatku bingung.”
“Apakah kamu benar-benar akan datang menemuiku?”
“Aku akan datang, pasti.”
Obrolan singkat terulang beberapa kali, dan di dalam dadaku, aku bisa merasakan napasnya.
Hanya dengan menghabiskan waktu seperti itu, kebingungannya dan kegelisahan saat dia mengungkapkan “Aku akan dipindahkan” beberapa jam yang lalu menghilang entah ke mana, dan sekarang, hatinya merasa tenang.
Tetapi pada saat yang sama, rasa tenang ini juga membuatku merasa takut.
Chapter 5 : Setiap Malam
"Apa, pindah? Serius? "
Beberapa hari setelah perpindahan Gotou-san diputuskan , aku sedang dalam perjalanan pulang kerja seperti biasa dan Asami menghubungiku sambil mengatakan, Aku mau belajar di rumah Yoshida-chi hari ini!. Aku bertanya-tanya apakah orang tuanya bertengkar lagi, tapi aku juga berpikir akan lebih baik jika Asami datang pada waktu seperti ini sehingga aku tidak perlu memikirkan semua hal yang tidak perlu .
Namun, Selama asami belajar dengan serius selama beberapa jam setelah datang ke rumahku, dia juga menunjukkan kepekaan bawaannya dan mengatakan Yoshida-chi, bukannya tingkah lakumu berbeda dari yang biasanya?. Situasinya sekarang bikin kepalaku pusing hingga Asami menyadarinya.
Awalnya aku berusaha menyembunyikannya, namun dia begitu ngotot sehingga aku menjadi khawatir, dan akhirnya aku memberi tahu dia bahwa Gotou-san tiba-tiba dipindahkan.
"Kalian belum pernah berkencan sebelumnya, kan? Bukankah sulit untuk menjaga jarak sebelum pernah berkencan?"
"Yah, seperti yang kamu katakan . Itu sebabnya aku dalam masalah."
Aku menjawab sambil menghela nafas, dan Asami menjawabnya dengan sederhana.
"Kuharap kalian bisa berkencan sebelum dia pergi."
“Tidak semudah itu.”
“Menjadi dewasa itu merepotkan, bukan?”
Asami tersenyum pahit, lalu menatapku seolah dia ingin mengatakan sesuatu.
Asami hanya menatapku dan tidak berkata apa-apa.
"Apa-apaan itu?"
“Tidak, sekarang apa yang harus aku katakan?”
Asami ragu-ragu sebelum menjawab, matanya berkedip .
"Sekarang, Gotou-san sudah dipindahkan dan tidak akan berada di Tokyo untuk sementara waktu. Jadi, sebagai gantinya, Sayu-chan ada di sini, kan?"
Setelah mendengar kata-katanya, aku secara refleks berkata, "Terus kenapa?" Bahkan aku terkejut karena suaraku terdengar lebih keras dari yang kuduga. tapi karena aku bisa memahami apa yang ingin Asami katakan, sepertinya mau bagaimana lagi.
“Jadi, dari sudut pandang Sayu-chan, ini adalah sebuah kesempatan, kan?”
“Jangan berkata apa-apa lagi.”
Saat cerita Asami mulai mengarah ke arah yang kubayangkan, aku menutup mataku dengan tanganku dan menunduk. Otakku berteriak, Jangan membuatku memikirkannya lagi.
"Aku tahu apa yang ingin kamu katakan. tapi..."
Aku tahu Asami mungkin mencoba mengatakan sesuatu seperti, Aku ingin Sayu-chan mendekatimu tanpa bermaksud jahat. Asami selalu menjadi sekutu Sayu. Aku tidak berpikir bahwa pendiriannya yang jelas itu buruk. Tapi, saat ini aku tidak mempunyai ruang mental untuk memikirkan hal-hal seperti itu.
“Maaf, tapi saat ini aku tidak ingin membicarakannya.”
Saat aku mengatakan ini dengan lemah, sambil menundukkan kepalaku, aku mendengar suara Asami menghela nafas kecil.
“Maaf, aku terlalu memaksamu.”
"Tidak, tidak apa-apa."
"Aku hanya memikirkan Sayu-chan dan malah aku tidak memikirkan perasaan Yoshida-san."
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Aku tidak ingat banyak tentang apa yang terjadi setelah itu.
Saat Asami sedang belajar, dia kadang-kadang memanggilku dengan malu-malu, dan aku akan membalasnya hanya dengan satu atau dua kata. Aku merasa kami sedang berkomunikasi dengan canggung.
Asami pulang ke rumah setelah beberapa waktu dan aku memikirkan hal yang sama, dan sebelum aku menyadarinya, aku sudah tertidur.
“Ha, pindah !? ”
Beberapa hari setelah pemindahan diputuskan.
Aku mencoba untuk berhenti khawatir atau lebih tepatnya, aku tenggelam dalam pekerjaanku agar tidak memikirkan hal-hal yang tidak perlu, tapi Kanda-san, yang memiliki intuisi yang baik, merasakan perubahan suasana antara aku dan Yoshida-kun . Aku meringkuk di saat di izakaya, aku juga dikelilingi oleh Kanda-san dan Mishima-san .
“Kenapa harus ke Sendai di saat seperti ini ? Tidak ada yang salah dengan cabang itu. ”
Mau tidak mau aku tertawa mendengar ucapan Kanda-san, seakan-akan dia marah. Namun, aku hanya menggelengkan kepala. Kalau dipikir-pikir, Kanda-san dipindahkan dari Sendai.
“Sepertinya kita akan meluncurkan proyek baru disana. Aku yang akan menjadi direktur dan eksekutifnya.”
“Begitukah? Kalau begitu tidak apa-apa.”
Sambil menganggukkan kepala , Kanda-san tak henti-hentinya bertepuk tangan karena dia membenci tempat itu.
Mishima-san, sebaliknya diam-diam meneguk gelas Casio au laitnya. Meskipun dia tampak tersenyum kecil mendengar ucapan ringan Kanda-san. Entah kenapa, sepertinya suasana hatinya sedang tidak baik.
"Apa yang akan kamu lakukan nanti dengan Yoshida?"
“Tentu saja, aku tidak punya niat untuk menyerah.”
Mendengar jawabanku, Kanda-san mengatakan, “Oh!”
"Kupikir dia akan mengatakan sesuatu seperti, Bagaimanapun juga, cintaku tidak akan pernah menjadi kenyataan!''
“Maaf, aku sama sekali tidak akan mengatakan itu.”
Aku mencoba berbohong. Sejujurnya, aku sudah memikirkan hal yang sangat mirip berkali-kali hingga perutku terasa merinding.
Kanda-san meneguk gelas wiski nya dengan suasana hati yang baik dan menatapku dengan tenang.
"...Jadi?"
"Huh?"
“Aku tahu kamu tidak akan menyerah, tapi apa sebenarnya yang akan kamu lakukan?”
Kanda-san bertanya padaku secara blak-blakan, tapi aku tidak bisa memikirkan jawabannya dan hanya membuka dan menutup mulutku.
Tiba-tiba, aku merasakan Mishima-san yang duduk di hadapanku sedang menatapku, dan ketika aku memandangnya seolah-olah aku melihat padanya, dia segera membuang muka.
Aku mengepalkan tangan dan mengatakan, Aku tidak akan menyerah! Hanya itu saja.
"Tidak, itu saja. Yoshida-kun juga bilang dia akan datang menemuiku..."
"Hah..."
Kanda-san menghela nafas lalu mengetuk meja dengan tangganya.
" Kenapa kamu begitu melindungi dirimu sendiri selama ini? Kamu sedang libur, kan? Kenapa kamu tidak datang ke sini saja, Gotou-san?"
Menurutku, wajar jika orang lain berkata seperti itu. Namun...
"Kukira aku hanya mencoba mencari alasan karena aku pasti datang kesini lagi.''
"Tidak, bukan itu!"
Aku menoleh ke Kanda-dan, seolah-olah dia hanya menuduhku dan tidak mendengarkanku.
Tapi, kata-kataku tidak keluar dengan baik.
Memang, aku bertanya-tanya kenapa aku tidak mau untuk datang jauh-jauh ke Tokyo pada hari liburku. Aku merasa ada alasan yang jelas untuk ini, tetapi kata-kataku tersangkut di tenggorokanku dan aku tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata.
Kanda-san menatapku, bertanya-tanya kenapa aku tiba-tiba kehilangan kata-kata, dan tatapanku berkeliaran dengan tidak teratur.
Aku mendengar suara gelas diletakkan di atas meja.
Ketika aku melihat ke arah suara, aku melihat Mishima-san sedang menatapku.
"Gotou-san, apa kamu tahu tentang situasi Sayu-chan sekarang?"
Saat Mishima-san menanyakan pertanyaan itu, aku merasakan sakit yang menusuk di hatiku, seolah-olah seseorang telah meraihnya dengan tangan kosong.
Pada saat yang sama, aku menyadari sifat sebenarnya dari kata-kata yang ingin keluar dari tenggorokanku beberapa saat yang lalu.
“Apakah kamu tidak tahu kalau Sayu-chan kembali ke Tokyo?”
Mishima-san terlihat sangat tenang saat dia menatapku dan.
Mengapa anak ini begitu tajam?
Saat aku tidak bisa langsung menjawab, Kanda-san yang ada di sebelahku terlihat bingung dan hanya bolak-balik melihat antara aku dan Mishima-san.
“Umm, siapa Sayu-chan itu?”
Kata-kata Kanda-san membuatku dan Mishima-san gemetar.
Itu benar, dia tidak tahu apa-apa tentang Sayu-chan.
"Ah, tidak. itu..."
Mishima-san, yang dengan tenang menanyaiku beberapa detik yang lalu, sekarang mulai panik.
“Dia adalah kenalanku dan kenalan Gotou-san.”
"Hmm? Jadi, kenapa anak itu sekarang yang dibicarakan?"
"Itu, um..."
"Kamu tahu..."
Kerutan di alis Kanda-san menjadi lebih gelap
“Sejauh ini kamu sering datang kepadaku untuk meminta nasihat, kan?”
Menyadari bahwa sasaran perkataannya ditujukan kepadaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain terdiam.
"Ya…"
“Sekarang, apakah kalian berdua diam-diam menyembunyikan sesuatu dariku?”
"Menurutku itu adalah sesuatu yang buruk. Tapi, ini sedikit berbeda dari yang biasanya."
"Apa bedanya?"
Kanda-san berbicara keras dengan nada marah. Aku bisa merasakan mata pelanggan lain di toko itu tertuju kepadaku.
"Baiklah, aku akan bicara. Tapi, kamu jangan terlalu berisik, oke?"
“Tidak apa-apa jika kamu sudah mengerti.”
Kanda-san segera mengetahuinya! Setelah menarik napas dalam-dalam, aku memiringkan kepalaku.
"Dulu..."
Ingatlah!
Aku melirik Mishima-san. Dia menundukkan kepalanya dengan sedikit meminta maaf.
"Umm, aku ingin kamu tidak akan pernah memberitahu orang lain tentang cerita ini."
Setelah aku mengatakan itu, dia mengatakan, Tentu saja, bukannya sudah jelas?. Dan seolah dia tidak sabar, dia mendesakku untuk terus berbicara.
Lalu, Aku memberi tahu Kanda-san tentang Yoshida-kun, Sayu-chan, diriku sendiri, dan Mishima-san lebih dari setahun yang lalu. Kanda-san terlihat terkejut, tapi sepertinya dia menyadari sesuatu, dan setelah aku mulai berbicara, dia mendengarkannya dengan cukup tenang.
"Kupikir ada tanda-tanda seorang wanita, tapi begitu ya? Aku tidak menyangka bakal melihat gadis SMA yang tidak kukenal..."
Setelah selesai berbicara, Kanda-san menghela nafas dan melihat ke kejauhan.
“Yah, dia seperti itu, ya?”
Dia menambahkan.
“Meski begitu, aku sekarang tahu kenapa Gotou-san begitu penakut sampai sekarang. Aku merasa seperti aku mengerti apa yang ingin dikatakan Mishima-chan sekarang.”
Setelah mengatakan itu, Kanda-san melihat ke samping ke arah Mishima-san.
Tatapannya jelas memiliki niat untuk Katakan saja padaku.''
Mishima-san mengangguk dalam diam, lalu menatapku dengan saksama.
"Sayu-chan, dia sudah kembali, kan?"
Setelah aku terdiam sebentar , aku mengangguk.
"Ya. Baru-baru ini."
"Apa yang mau kamu lakukan?"
"Yang harus kulakukan hanyalah masalah apa yang akan datang..."
"Apakah kamu mau menyerah?"
Suara Mishima terdengar tajam.
"Itu tidak benar..."
Mishima-san berbicara dengan jelas, berusaha menutupi suara rendahku.
“Tapi kamu terlihat masih ketakutan.”
Tidak mungkin.
Aku sudah berbicara dengan Sayu-chan dan kami memutuskan untuk jatuh cinta tanpa kelicikan.
Ya, Aku harap aku bisa mengatakannya dengan jelas, tapi sayangnya aku tidak bisa.
"Jika Gotou-san benar-benar ingin melawannya, kupikir Gotou-san akan mengatakan kalau kamu akan kembali ke Tokyo saat hari libur.''
"Aku tidak ingin mengatakan sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya..."
“Gotou-san!”
Mishima-san mengeluarkan suara kesal membuatku terkejut.
Es batu yang dipegang Kanda-san sampai mengeluarkan suara berdenging.
"Jika kamu lari dari sini, kamu mungkin akan kehilangannya."
Kata-kata kasar Mishima-san langsung terngiang di benakku.
"Apakah kamu selalu melakukan cara seperti itu setiap ada masalah?"
Aku hampir bisa merasakan kemarahan di matanya .
Post a Comment