Chapter 71 – “Takayagi Mendapatkan Bukti”
Takayanagi POV
“Aku selalu menonton videomu. Teruskan ya!”
Aku bicara kepada Uncle Gourmet. Sepertinya ia baru saja selesai merekam video hari itu, karena ia membalas dengan senyum ramah.
“Oh, benar? Senang sekali mendengarnya. Terima kasih!”
“Maaf kalau langsung saja, tapi di video terakhirmu, kamu sempat menyebut melihat pertengkaran beberapa remaja….”
Wajahnya terlihat agak heran, tapi ia mengangguk.
“Iya, memang aku sempat sebutkan itu.”
Tidak ada yang perlu ditutupi. Bahkan ibu Aono yang berdiri di sampingku pun tampak terkejut.
“Aku Takayanagi, guru SMA. Salah satu muridku jadi korban pengeroyokan saat itu. Aku ingin melaporkan ke polisi, tapi tanpa bukti video, aku tak bisa memulai penyelidikan. Bisa kamu tunjukkan videonya? Hanya untuk memastikan kalau anak yang dipukul itu muridku.”
Sejujurnya aku ragu ia mau. Baru-baru ini perhatian publik pada streamer meningkat karena masalah privasi dan kepatuhan. Uncle Gourmet termasuk yang sangat hati-hati—selalu meminta izin merekam, menghindari waktu sibuk demi mengurangi gangguan.
Namun kalau ada kemungkinan, aku akan lakukan apa pun demi muridku.
“Hmm, bagaimana ya…”
Cepat-cepat aku menyerahkan kartu nama.
“Aku tahu ini bukan bukti objektif, tapi aku guru. Kalau perlu, aku juga bisa tunjukkan SIM. Lagi pula restoran ini milik orang tua salah satu muridku…”
Uncle Gourmet memandang ke arah dapur, dan pemilik—ibu Aono—mengangguk mantap.
“Kalau kamu benar-benar bersikeras… Aku masih punya videonya. Tunggu sebentar ya.”
Aku menghela napas lega, tapi bahuku masih terasa tegang.
“Ini dia.”
Suara kota yang sibuk terdengar kala video diputar. Tiba-tiba suara jeritan nyaring: “Kyaa!!”
Seseorang berteriak, “Ada pertarungan di situ!” Kamera bergerak cepat ke arah keributan.
Tapi bukan pertarungan, melainkan satu pihak yang dipukuli. Seorang remaja marah menghujani korban dengan pukulan tanpa henti.
Korban dilempar ke tanah. Suara terdengar tipis, namun kemarahan si pelaku jelas terasa lewat nada suaranya.
Di samping pelaku, seorang gadis muda berdiri dengan tenang. Dia tidak campur tangan, hanya tersenyum dingin, melontarkan beberapa kata pelan lalu meninggalkan lokasi bersama si pelaku.
Kamera sesaat fokus pada remaja yang terluka.
“Hey, kamu baik-baik saja? Jangan berjalan dulu. Mungkin kamu perlu berbaring sebentar. …Hey, hey, anak!”
Remaja itu, hampir terjatuh, berusaha bangkit dan berjalan menjauh dari tempat itu.
Suara Uncle Gourmet terdengar pelan: “Semoga dia baik-baik saja…”
Lalu video terhenti.
Aku menelan ludah. Di layar terlihat jelas tiga wajah—Aono Eiji, Amada Miyuki, dan Kondo Seiji, anggota tim sepak bola.
“Kamu pikir ini video yang kamu maksud? Aku sudah serahkan data video ini ke polisi. Nanti kamu bisa menanyakan lebih lanjut ke mereka…”
“Terima kasih. Aku sudah hampir yakin itu muridku. Bisa kirim alamat kantor polisi agar aku bisa followup?”
Setelah mendapat alamatnya, aku berbicara pada ibu Aono dan menceritakan apa yang kulihat.
“Ternyata benar, Eiji-kun. Video ini jelas menunjukkan dia dipukuli.”
Suaranya berubah dingin, marah yang tertahan.
“Sensei, aku mungkin akan membuat masalah bagi sekolah, tapi aku tak akan memaafkan mereka yang menyakiti Eiji. Aku tak akan pernah memaafkan mereka.”
Seorang guru biasa mungkin menyarankan memberi kesempatan pada pelaku. Tapi sekolah kami berbeda.
“Tidak, Bu Aono. Ini keputusan beliau sendiri. Sekolah tak punya wewenang di sini. Tapi lebih penting, ini tugas kami sebagai guru untuk memastikan murid tahu saat mereka salah. Murid yang menyimpang seperti ini bisa melakukan hal yang jauh lebih fatal. Tugas kami juga untuk membimbing mereka, menawarkan jalan untuk perbaikan.”
“Terima kasih. Maafkan aku, Oniichan. Aku akan ikut Takayanagi-sensei. Mohon jangan beri tahu Eiji dulu. Aku ingin konfirmasi semuanya terlebih dahulu.”
Tanpa membuang waktu, kami langsung menuju kantor polisi tempat video tersebut sudah diserahkan.
Chapter 72 – “Rencana Endo”:
Endo POV
Senja telah tiba, dan aku duduk di bangku taman, mengamati dunia sementara rencanaku perlahan berjalan sesuai harapan.
Retakan mulai muncul dalam tim sepak bola. Kini, yang perlu kulakukan hanya menunggu retakan itu berkembang secara alami. Mitsuda, sahabat Kondo di klub, segera akan terisolasi juga. Kelak, kabar tentang foto itu akan sampai ke Kondo. Saat ia menyadari telah dikhianati oleh orang yang paling ia percaya, ia akan terjerumus dalam keputusasaan.
Dan jika hubungannya dengan Amada Miyuki juga runtuh, Kondo akan benar-benar sendirian.
Inilah rencanaku — membalas semua keputusasaan yang Aonokun dan aku alami.
Bagi Aonokun, mungkin rasa sakitnya jauh lebih dalam: dikhianati oleh teman masa kecilnya, dituduh melakukan hal yang tak pernah dilakukannya, dan sepenuhnya dikucilkan di sekolah. Apa yang Kondo dan dalangnya lakukan bukan sekadar kejam—itu sudah di luar kemanusiaan.
Jadi, aku akan menghancurkan mereka habishabisan. Pertama Kondo, menjebloskannya dalam isolasi sampai tak ada tempat ia tuju. Kemudian, pasti ia akan mencari dalang yang menarik semua tali. Saat itu terjadi, aku akan menangkap mereka berdua — dan menyeret mereka bersamasama ke neraka bersamaku.
Setelah itu, aku akan menerima apapun hukumannya. Aku rela mengorbankan segalanya demi melihat keadilan ditegakkan.
**
“Hey, Endo! Sepertinya kita sering bertemu akhirakhir ini!”
Suara tibatiba memaksaku terjaga dari pemikiran. Aku menoleh dan melihat sahabatku, Imai, berlari mendekat.
“Aku tadi cuma jalanjalan. Kamu lagi latihan stamina ya, Imai?”
Ia terengah, mengenakan jersey ringan. Meski sudah September, udara senja masih terasa hangat.
“Ah, jangan terlalu dipaksakan, Endo. Kalau butuh apaapa, kasih tahu ya.”
Ia tersenyum, tapi ada yang aneh.
Ada nada khawatir di suaranya.
Imai tajam. Apa salahnya aku bertemu dengannya tepat saat rencanaku mulai di tim? Tidak. Imai bukan tipe pengkhianat. Kalau ada, ia memilih berpaling, menghormati keputusan ku.
“Ada apa sama wajahmu? Aku cuma jalanjalan. Kamu terlalu merasa, walau aku agak kacau.”
Aku tertawa dipaksakan, menutupi retakan di topeng. Dadaku terasa sesak karena rasa bersalah.
“Iya. Yang mau kukatakan ini mungkin aku saja yang cemas berlebihan, jadi jangan diambil pusing.”
Nada lembutnya menusukku seperti pisau. Sesaat, topeng yang kukenakan sebagai pembalas malah hampir runtuh. Tapi aku menelan suara di tenggorokan dan mengangguk.
“Aku nggak tahu detail rencanamu, Endo. Tapi kurasa ini soal pengorbanan diri. Jangan bilang itu caramu membayar Eiji?”
Dadaku semakin sesak, jantung berdebar, napas tercekat.
“Kamu ngomong apa sih? Salah kaprah kamu.”
“Mungkin. Ini cuma opini ku sendiri. Tapi, Endo… aku ingin tetap jadi temanmu. Aku ingin melihat kamu bahagia lagi. Aku yakin Eiji juga merasa begitu. Kalau kamu terluka, dia pasti hancur.”
Aku terdiam. Cara Imai bicara seolah memahami segalanya, membuatku kehilangan kata.
Kepedihan dan kepedulian dalam ucapannya—mengingatkanku pada tempat yang dulu kurindukan. Tempat aku diterima. Dimana aku berarti.
Tapi sudah terlambat untuk mundur. Aku telah melangkah terlalu jauh. Aku takkan berhenti sampai Kondo dan dalangnya jatuh.
“…Terima kasih, Imai.”
Itu satusatunya yang bisa kuucapkan.
Imai tersenyum dan mengacungkan jempol.
“Oke. Sampai nanti.”
Dengan itu, ia berlari pergi, hilang dalam kabut senja.
**
Aku punya agenda pagi esok hari, jadi saatnya pulang.
Namun saat kugeser langkah meninggalkan taman, kulihat seorang siswi dari sekolah lain berdiri di bawah lampu jalan yang remang. Aku menoleh menjauh dan mencoba melewatinya.
“Tunggu, kamu Endo Kazuki, kan?”
Napasku tersentak mendengar suara yang begitu familiar.
Bukan Eri. Ini teman masa kecil lain—yang dulu pernah mencoba menarikku bangkit meski Eri telah mengkhianatiku.
“Aku Domoto Yumi. Ingat aku?”
Chapter 73 – Di Kantor Polisi
Takayanagi POV
Kami tiba di kantor polisi di depan stasiun kota sebelah. Menjelaskan keadaan, kami memohon untuk memeriksa ulang data video. Saat diputar, video yang sama seperti yang kulihat muncul, membuat Aono-san terlihat sangat terpukul—karena ini pertama kalinya dia melihatnya.
“Tidak mungkin... dipukul begitu saja secara sepihak.”
“Kenapa anak saya, hanya karena memegang bahu pacarnya, bisa diperlakukan seperti ini?”
“Begitulah, ini kejam sekali terhadap Eiji… Miyuki juga mengkhianatinya, meninggalkannya terkapar tanpa menolong... Kenapa kami tidak menyadari hal ini lebih cepat...”
Sorot mata Aono-san meredup, meredam emosinya pelan-pelan. Aku hanya bisa menunduk, tak mampu berkata apa-apa.
Cuplikan kekerasan itu terasa sangat tidak adil—hanya satu pihak menyerang. Tidak ada tanda kekerasan dari Eiji, seperti yang diklaim Kondo. Ini murni kebohongan.
Aono-san bersumpah keras:
“Saya tidak akan memaafkan pria yang memukul anak saya. Itu siswa sekolah yang sama, bukan?”
“Iya, salah satu murid kelas 3 bernama Kondo,” jawabku tegas.
Sebelumnya, kami sudah memberi tahu pihak sekolah. Direktur juga sudah setuju: keputusan untuk melapor ada di tangan Aono-san, dan pihak sekolah akan mendukung sepenuhnya.
Aono-san menggenggam nama itu penuh kemarahan:
“Kondo… Kondo! Aku akan mengajukan laporan. Apa yang harus saya lakukan?”
Dia tegas melanjutkan proses pelaporan. Petugas menjelaskan bahwa orang tua dapat membuat laporan untuk anak di bawah umur.
Saat itu, dua petugas lain masuk.
Petugas baru dengan sopan menyapa, lalu yang lebih senior bertanya:
“Apakah kalian kerabat dari bocah dalam video itu?”
Petugas senior segera mengangguk:
“Ini ibu korban dan guru sekolah. Mereka sedang membuat laporan.”
Petugas senior, bernama Domoto, kemudian menanyakan hal lain:
“Maaf mendadak, tapi kami ingin agar kalian juga melihat video lain. Ini tidak terkait kasus kekerasan. Beberapa anak, termasuk anak Anda, kemarin mungkin membantu seseorang yang pingsan di jalan. Ingin tahu apakah itu anak Anda?”
Aono-san terlihat lega dan mengizinkan.
Video berikutnya menunjukkan Aono-san dan Ichijo Ai (murid kelas 1) menyelamatkan seorang pria yang pingsan. Mereka membantu dengan sigap dan tenang.
Aono-san mengenali putranya:
“Itu Eiji... Dan gadis yang bersamanya... dia teman baik Eiji.”
Petugas menjelaskan bahwa pria tersebut sudah pulih dengan cepat, dan mereka ingin berterima kasih. Pihak pemadam kebakaran juga ingin memberi penghargaan atas tindakan mereka.
Dari adegan kekerasan ekstrim ke tindakan heroik—perubahan itu benar-benar seperti dari neraka ke surga.
Aku benar-benar terpukau. Seorang siswa yang sempat mengalami perlakuan kejam, namun masih mau bergerak cepat menolong orang lain. Bukan hal mudah, bahkan untuk orang dewasa sekalipun.
Aono-san menitikkan air mata:
“Eiji... aku tidak tahu apa-apa... karena dia tidak pernah bilang apapun.”
Petugas Domoto tersenyum:
“Anak yang luar biasa. Saya punya anak perempuan seumur dia, tapi sulit sekali melakukan apa yang Eiji lakukan. Dia anak yang hebat. Kami akan menangani kasus ini dengan serius.”
Kata-katanya penuh empati dan meyakinkan, membuat kami merasa tenang.
Aono-san mengucapkan terima kasih sambil menunduk, air mata membasahi pipinya.
Aku mencermati dalam hati: "Mengapa dunia ini begitu kejam? Kenapa Eiji, orang baik seperti dia, harus diperlakukan seperti ini? Kenapa dia jadi target bullying?"
Tapi aku sadar: tidak boleh menyerah. Eiji—yang sedang tersakiti—justru tetap berani bangkit dan menolong orang lain.
Sebagai orang dewasa, aku harus bertindak agar rasa sakitnya sedikit berkurang.
Langkah pertama adalah memastikan pelaku—orang yang sewenang-wenang memukulnya—bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan aku sudah siap.
Chapter 74 – Endo dan Teman Masa Kecil lainnya
Endo POV
“Yumi... Mana mungkin aku bisa melupakanmu. Sudah lama, ya.”
Suaranya yang lembut, suara teman masa kecilku yang sudah lama tak kudengar, kini terdengar kembali. Nadanya jauh lebih tenang dari dulu. Rambut kastanye panjang yang dulu dimilikinya saat SMP kini sudah jauh lebih pendek. Terakhir kali aku melihatnya adalah di hari kelulusan, setelah aku mengurung diri di rumah.
Setelah dibuang oleh Eri dan dilanda keputusasaan, aku menjadi siswa yang tidak masuk sekolah. Banyak teman datang menjenguk, tapi aku tak ingin bertemu siapa pun, jadi aku menolak mereka semua dengan dingin, dan jumlah yang datang pun makin lama makin sedikit.
Namun di antara semua itu, hanya Yumi—teman masa kecilku—yang tetap datang sampai akhir.
“Aku lega... karena kamu nggak menghubungiku sama sekali, aku sempat pikir kamu benar-benar melupakanku.”
Ia tersenyum sedikit, tampak agak sedih. Melihatnya seperti itu, dadaku terasa nyeri.
“Mana mungkin bisa lupa? Aku bahkan nggak punya hak untuk itu.”
Pada akhirnya, aku merasa takut pada kebaikannya. Trauma dari Eri yang dulu begitu baik lalu tiba-tiba berubah membuatku menutup diri.
“Hak? Hak untuk apa? Tapi aku tetap merasa kesepian karena kamu nggak menghubungiku.”
Nada manja dalam suaranya itu tidak berubah sejak dulu.
“Dulu aku bersikap paling buruk ke kamu yang sudah begitu baik. Mana mungkin aku berani menghubungimu. Aku bahkan nggak punya hak untuk bahagia.”
Pada akhirnya, aku adalah pengecut yang melarikan diri dari kebaikan seseorang.
Sejak kejadian itu, semua teman SMP-ku pun menjauh.
Akhir yang sepadan untuk pengecut sepertiku.
“Kamu tetap baik hati, ya. Seperti dulu.”
“Baik hati? Aku?”
Aku terkejut mendengar kata itu keluar darinya, dan tanpa sadar menanggapi.
“Iya. Terus terang, kalau kupikir-pikir lagi, aku terlalu nggak peka waktu itu. Aku nggak memikirkan perasaan Kazuki yang pasti sangat tersakiti dan ingin ditinggal sendiri. Tapi aku malah melampaui batas. Aku benar-benar menyesal soal itu. Kamu itu orangnya terlalu baik, jadi kamu pasti menyalahkan diri sendiri. Tapi aku juga salah, maaf ya.”
Hari itu. Hari kelulusan SMP. Saat aku tak masuk sekolah, dia datang membawakan buku tahunan dan piagam kelulusan. Karena aku masih percaya padanya, orang tuaku membiarkannya masuk ke kamarku.
**
“Hei, Kazuki? Walaupun sebentar saja, gimana kalau kita pergi ke suatu tempat pas libur musim semi nanti? Kalau cuma diam di kamar, kamu pasti makin sesak, kan?”
Seperti biasa, dia mencoba menghiburku dengan tulus.
Tapi karena aku tak ikut ujian masuk dan tak datang ke upacara kelulusan, aku merasa tertekan dan akhirnya malah melampiaskannya ke dia.
“Berisik. Mana mungkin kamu bisa ngerti perasaanku. Enak ya jadi kamu. Kamu masih bisa menantikan masa SMA yang menyenangkan. Nggak kayak aku. Mau simpati, atau rasa kasihan, aku nggak butuh itu. Tolong tinggalkan aku sendiri.”
Sekarang saat kuingat lagi, kata-kataku sangat kejam.
Padahal dia yang setiap hari membawakanku lembar materi pelajaran, formulir pendaftaran ujian sekolah negeri, dan membantuku agar tidak tertinggal pelajaran.
Dan kepada orang sebaik itu, aku melontarkan kata-kata terburuk.
Saat itu juga, seolah tali kesabarannya putus, dia pun menangis.
“Maaf ya. Aku benar-benar nggak ngerti perasaan Kazuki sama sekali. Semua ini cuma paksaan dari aku. Maaf banget…”
Mendengar itu, penyesalan yang luar biasa menghantamku. Aku benar-benar manusia paling buruk.
Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya diam dalam kebencian pada diri sendiri.
Beberapa detik kemudian, dia bilang “Maaf, aku pulang dulu,” lalu meninggalkan kamar.
Dan sebelum pergi, dia mengucapkan kalimat terakhir:
“Selamat tinggal, Kazuki. Aku tahu kamu pacaran sama Eri, teman dekatku, jadi aku terus menahan diri… tapi mungkin, sebenarnya aku… suka kamu.”
**
“Berkat kamu, Yumi. Aku bisa sekolah SMA sekarang.”
Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, aku merasa bisa berkata jujur dari hati.
“Begitu ya... Kalau bantuanku ada gunanya meskipun sedikit, aku senang. Mungkin sikap cerewetku ada gunanya juga ya?”
“Itu bukan cerewet. Waktu itu aku cuma melampiaskan kemarahan... Tapi setelah aku bisa berpikir jernih, aku sadar betapa berartinya bantuanmu. Memang benar ya, orang baru sadar setelah kehilangan.”
Dia tersenyum dengan lembut.
“Hei, Kazuki. Aku udah dengar sebagian dari cerita kamu dari Imai-kun. Dia itu pintar ya. Dia sadar kamu lagi dalam masalah, lalu mulai nyari-nyari info—lewat medsos juga, kayaknya. Dan akhirnya dia bisa sampai ke aku lewat berbagai teman.”
Jadi benar ya… semua ini...
“Makanya, biar aku yang ngomong langsung. Ini dari aku sendiri, ya. Tolong maafkan dirimu sendiri. Kamu bukan orang yang nggak layak bahagia. Aku tahu itu lebih dari siapa pun. Lagi pula, teman-teman SMP kamu juga semua khawatir tentang kamu. Meskipun mereka sibuk ujian masuk atau cari kerja, mereka tetap bantu Imai-kun. Dan saat tahu kamu udah sekolah SMA, mereka semua senang banget. Mereka senang kamu punya teman baik seperti Imai-kun.”
Kenangan masa SMP yang hangat langsung mengalir dalam benakku. Kenangan yang seharusnya sudah kukunci rapat demi menjadi seorang ‘pendendam’… kini perlahan terbuka kembali.
“Tapi... aku...”
Wajah-wajah teman yang pernah kutolak dengan sangat kasar terus muncul dalam pikiranku.
“Bahagialah, Kazuki. Karena kamu orang yang begitu baik.”
Ia menggenggam tanganku yang dingin. Sedikit demi sedikit, kehangatan itu kembali ke dalam diriku.
Chapter 75 - Ibu dan Anak
Aku pulang ke rumah dan membuka situs web novel yang dulu pernah aku daftarkan tanpa banyak pikir. Situs besar yang sebenarnya menarik perhatianku, tapi sampai sekarang cuma sekadar daftar saja, tak pernah benar-benar kupakai.
Kata-kata yang dikatakan oleh Ichijou-san tempo hari kembali terlintas di kepalaku. Aku sendiri tak tahu apakah aku punya bakat atau tidak, tapi setelah kehilangan tempat bernama klub sastra, satu-satunya tempatku bisa terus berkarya adalah di situs ini.
Sebelumnya aku terlalu terpuruk untuk bisa menulis, tapi berkat dirinya, sedikit demi sedikit semangatku kembali. Aku menyalin naskah yang sebelumnya kutulis untuk buletin klub sastra, lalu menempelkannya di kolom unggah naskah.
Setelah mengisi semua kolom yang dibutuhkan, aku akhirnya menekan tombol unggah yang selama ini tidak pernah berani kusentuh. Biasanya, sampai di sini saja aku sudah diliputi rasa takut. Menunjukkan tulisanku ke orang banyak bukan hal mudah.
Kalau ditanya apakah aku tertarik dengan novel daring, jawabannya tentu iya. Tapi keberanian untuk membagikannya ke situs yang bisa dilihat siapa pun selalu tak pernah terkumpul.
Dengan perasaan waswas takut mendapat kritik pedas, tombol itu biasanya terasa sangat berat ditekan. Tapi kali ini terasa sangat ringan.
“Yah, paling tidak aku nggak bakal dimaki-maki sekeras waktu di sekolah,”
Aku merasa diriku sedikit lebih kuat sekarang. Pengalaman itu memberiku keberanian dalam bentuk lain.
Tanpa alasan jelas, aku menekan tombol refresh.
“Eh, sudah sepuluh orang yang lihat?”
Belum ada komentar memang, tapi cuma dengan tahu ada yang membaca saja, hatiku terasa hangat. Saat itu, terdengar ketukan di pintu kamar.
“Eiji, bisa bicara sebentar?”
Suara ibu terdengar dari balik pintu.
“Ya, nggak dikunci kok.”
Begitu kujawab, ibu masuk ke kamar dengan senyum yang tampak lebih lembut dari biasanya.
“Sebenarnya, tadi ibu ke kantor polisi bareng Takayanagi-sensei.”
“Eh? Polisi?”
Aku sedikit terkejut. Tapi begitu disebut bersama guru, aku langsung punya dugaan.
“Iya, soal kejadian waktu kamu dipukul itu. Ternyata ada orang yang merekam kejadian itu di video, dan Takayanagi-sensei yang mencaritahu. Jadi kami ke sana buat melihat buktinya. Maaf ya, ibu nggak menyadarinya lebih awal. Pasti sakit ya?”
Ternyata benar. Ibu memelukku dengan penuh kelembutan.
“Gak apa-apa kok. Aku udah baik-baik aja. Kan ada banyak yang peduli.”
“Iya, kita memang dikelilingi orang-orang baik. Ayahmu yang sudah meninggal juga pasti melindungi kita dari sana. Tadi kami juga sekalian buat laporan ke polisi. Untuk anak kelas 3 bernama Kondo.”
Mendengar itu, perasaan lega dan cemas bercampur aduk di dalam dada.
“Begitu ya...”
Kalau bukti rekaman itu sudah ada di tangan polisi, Kondo tidak akan bisa mengelak. Dia pasti akan hancur. Ada rasa takut juga—bagaimana kalau dia membalas dendam? Tapi aku mencoba menenangkan diri dengan mengingat bahwa aku tidak sendirian.
“Terus, kamu hebat banget, Eiji. Polisi bilang kamu dan Ai-chan kemarin menyelamatkan pria yang pingsan, ya? Ibu sampai kaget loh. Kamu luar biasa. Ibu bangga banget.”
Mendengar itu, emosiku langsung memuncak. Rasanya ingin menangis seperti bayi.
“Kenapa…?”
Entah kenapa, ibu langsung paham perasaanku tanpa perlu dijelaskan.
“Itu polisi yang menyadarinya. Mereka bilang wajah kamu sama dengan yang waktu kejadian pemukulan. Terus, katanya kamu dan Ai-chan akan diberi penghargaan oleh pemadam kebakaran. Besok, petugasnya mau datang ke sekolah.”
“Terus... laki-laki yang pingsan itu, gimana keadaannya?”
Nada suaraku tanpa sadar kembali seperti anak SD.
“Dia selamat. Katanya karena penanganan kalian cepat. Sekarang dia ingin sekali mengucapkan terima kasih langsung…”
“Syukurlah…”
Itu yang paling aku khawatirkan selama ini. Sudah beberapa kali kucari di internet dan media sosial, tapi tak ada informasi yang kutemukan.
“Kamu dan Ai-chan benar-benar luar biasa. Ayahmu pasti senang sekali.”
“Iya…”
Untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih dekat dengan sosok ayah yang selama ini hanya bisa kukagumi karena terlalu hebat.
Diselimuti rasa aman yang luar biasa, aku membiarkan diriku manja seperti anak kecil.
**
Keesokan harinya.
Begitu kabar itu menyebar, suasana di sekolah berubah drastis.
Dalam waktu seminggu, seakan-akan posisi berbalik, dan kini dia-lah yang mulai terpojok.
Saat itu aku sadar, Kondo sudah menapaki jalan menuju kehancurannya sejak hari itu.
Chapter 76: Rapat Umum Sekolah Dadakan
Miyuki POV
Aku sedang bermimpi.
Dalam mimpi itu, aku dan Eiji berada di atap sekolah. Aku berkali-kali memanggil namanya, tapi dia seolah tak melihatku, mengabaikanku, lalu perlahan memiringkan tubuhnya ke arah luar pagar atap.
“Jangan, Eiji. Maaf… Aku minta maaf, jadi tolong jangan lakukan hal yang aneh. Yang seharusnya mati itu bukan kamu. Aku. Aku yang seharusnya mati. Aku nggak mau… Aku nggak mau kehilangan kamu. Padahal aku yang salah, kenapa kamu malah menyalahkan diri sendiri? Jangan tinggalkan aku sendirian. Kalau kamu pergi, aku benar-benar akan sendirian.”
Teriakanku tidak sampai kepadanya.
Lalu dengan wajah pucat, ia menatapku selama beberapa detik. Di detik berikutnya, tubuhnya melayang ke udara. Wajah putus asanya seperti berkata:
“Karena kamu, aku harus mati.”
Terdengar suara benturan yang berat. Lapangan menjadi merah darah.
Aku mendengar suara sesuatu yang hancur di dalam diriku.
“Ini cuma mimpi, kan…”
Aku terbangun dalam peluh dingin. Dengan tubuh yang berat, aku berjalan ke sekolah. Aku sama sekali tak nafsu makan.
Kalau Eiji sampai benar-benar mati, aku tak akan bisa menanggung rasa bersalah ini. Rasanya benar-benar menakutkan.
**
Sesampainya di sekolah, aku tak bicara dengan siapa pun. Aku hanya menunggu pelajaran pertama dimulai dengan tatapan kosong.
Kalau aku bisa pingsan karena anemia, itu pasti lebih mudah. Aku ingin mati.
“Semua, dengarkan. Akan diadakan rapat umum sekolah secara darurat. Harap berkumpul di aula.”
Mendengar suara Pak Takayanagi, aku berjalan ke arah aula seperti zombie. Teman-temanku menyuruhku untuk tidak memaksakan diri. Aku bahkan tidak pantas menerima kata-kata sebaik itu. Justru, aku ingin ada seseorang yang memarahiku.
Kalau saja Eiji marah, memaki, atau bahkan menamparku, mungkin aku akan merasa sedikit lebih lega. Tapi, dia menunjukkan arti dari ‘lawan dari cinta adalah ketidakpedulian’ melalui tindakannya. Dia tidak bisa bersamaku lagi. Meski di hadapan diriku yang hina ini, Eiji tetap menunjukkan sedikit kepedulian, lalu memutuskan semuanya dengan dingin.
Meskipun aku bisa memahaminya secara logis, tetap saja… itu sangat menyakitkan.
Sambil menahan tangis berkali-kali, aku melangkah menuju rapat umum.
**
“Kalian semua dikumpulkan hari ini untuk mendengarkan dua pengumuman.”
Kepala sekolah berbicara dengan wajah serius yang jarang terlihat.
Biasanya pidatonya panjang, tapi kali ini ia langsung ke pokok permasalahan.
“Ada kabar baik dan kabar buruk. Saya akan mulai dari yang buruk. Beberapa waktu lalu, pihak kepolisian menghubungi kami terkait dugaan keterlibatan siswa sekolah kita dalam kasus kekerasan yang terjadi dua minggu lalu di kota sebelah. Saat ini, pihak kepolisian belum bisa memastikan siapa pelakunya. Namun, jika memang ada siswa kita yang bersalah, maka sekolah berkewajiban untuk memperbaiki kesalahan itu. Tidak perlu mengaku di sini, tapi jika ada yang merasa terkait atau tahu sesuatu, silakan laporkan ke wali kelas kalian sebelum tengah hari. Jangan berbohong. Segala sesuatunya akan terbongkar saat diselidiki. Perlu saya tegaskan, ini adalah peringatan terakhir.”
Mendengar itu, dadaku terasa sesak. Pasti ini tentang Kondo dan Eiji. Sepertinya kebenarannya sudah mulai terungkap. Sekolah sudah bergerak. Polisi juga? Jangan-jangan… kita bakal ditangkap lagi?
Sekeliling mulai ribut dengan suasana yang menegangkan.
“Eh, ini pasti tentang Aono Eiji yang sempat viral di SNS, kan?”
“Itu yang katanya mukulin Amada, ya?”
“Wah, akhirnya sampai ke polisi juga…”
Tidak, bukan itu… Kami yang bersalah. Dan kabar yang tersebar itu sama sekali tidak benar.
Ketika aku hampir roboh karena rasa bersalah, kepala sekolah kembali berbicara, kali ini dengan nada lebih ceria.
“Selanjutnya kabar baik. Hari Sabtu lalu, siswa kelas dua Aono Eiji dan siswa kelas satu Ichijou Ai menyelamatkan seorang pria yang pingsan di jalan. Berkat tindakan cepat mereka, pria itu berhasil dilarikan ke rumah sakit dan nyawanya selamat. Dalam waktu dekat, keduanya akan menerima penghargaan dari pemadam kebakaran. Sebagai kepala sekolah, saya merasa bangga atas tindakan mulia yang dilakukan siswa kita. Semoga kalian semua bisa menjadikan mereka panutan dan menunjukkan sikap teladan sebagai siswa sekolah ini. Mari kita beri tepuk tangan meriah untuk mereka.”
“Eh? Aono Eiji nyelametin orang? Bukan dia yang mukul orang?”
“Tapi masa sih, kalau memang dia pelaku kekerasan, sekolah malah muji-muji dia kayak gini?”
“Ya juga sih… Mana mungkin orang yang sampai diproses polisi dapat penghargaan dari pemadam kebakaran?”
“Berarti ada yang bohong, dong!?”
Ketakutan luar biasa menyelimuti tubuhku. Pandanganku mengabur karena belum makan dengan baik.
Dan sekali lagi… aku pingsan di lantai aula sekolah.
Chapter 77 – Hakikat Para Bajingan
Kondo POV
Aah, sialan. Ribet banget sih. Dari pagi udah disuruh ikut rapat dadakan seluruh sekolah.
Kenapa? Ada masalah apa, nih?
Jangan-jangan... jangan-jangan soal hotel itu ketahuan? Tapi gak mungkin. Ayah bilang gak bakal ketahuan.
Gak apa-apa. Aku cuma parno aja.
Saat aku berusaha menenangkan diri, kepala sekolah mulai bicara.
“Ada dua hal yang ingin saya sampaikan hari ini: satu kabar baik, dan satu kabar buruk. Kita mulai dari yang buruk dulu. Pihak kepolisian telah menghubungi sekolah terkait dugaan keterlibatan siswa kami dalam kasus penganiayaan yang terjadi di kota sebelah dua minggu sebelum liburan musim panas. Saat ini, pihak kepolisian memang belum dapat memastikan pelaku adalah siswa dari sekolah ini. Namun, jika terbukti memang ada siswa kita yang terlibat, sekolah memiliki kewajiban untuk menegakkan kebenaran. Saya tidak meminta kalian mengaku sekarang juga. Tapi bagi yang merasa tahu sesuatu atau terlibat, harap melapor pada wali kelas masing-masing sebelum tengah hari. Jangan berbohong. Segala kebohongan akan terbongkar lewat penyelidikan. Saya tegaskan, ini adalah peringatan terakhir.”
Apa maksudnya ini? Tatapan kepala sekolah terasa seperti mengarah langsung padaku, membuat perutku mual.
Enggak, ini bukan tentang aku. Ini pasti bukan soal aku.
Seseorang berbisik, “Bukankah ini soal Aono?”
Ya, pasti itu. Soal Aono dan kekerasan terhadap Miyuki. Jadi maksudnya pasti itu.
Aku gak mau percaya. Aku ini raja. Aku bisa melakukan apa saja.
Lagipula, di tempat itu gak ada kamera pengawas. Polisi juga gak ada di sekitar. Kalaupun ada yang lapor, kami langsung kabur. Gak mungkin ada bukti yang tertinggal.
Lalu kepala sekolah melanjutkan. Katanya, Aono dan Ichijo Ai menyelamatkan nyawa seseorang dan akan mendapat penghargaan dari pemadam kebakaran...
Saat itu juga aku sadar kalau aku telah dijebak.
Sikap malas Takayanagi, interogasi seadanya — semua itu cuma sandiwara. Mereka sengaja membuat kami lengah.
Lalu ketika semua bukti sudah terkumpul, mereka menamparku dengan peringatan terakhir. Supaya aku bahkan gak sempat kabur atau menghilangkan bukti.
Gimana mereka bisa tahu? Karena setelah mengungkap berita buruk tadi, mereka langsung lanjut ke kabar baik — soal Aono. Tujuannya jelas: mengalihkan pikiran para siswa.
Gosip yang aku sebarkan membuat semua orang mengira Aono adalah pelaku kekerasan. Tapi setelah itu diumumkan bahwa dia akan menerima penghargaan karena menyelamatkan orang, kredibilitas gosip itu pun goyah.
Ini semua sudah diatur untuk menghancurkan gosip yang aku sebarkan.
“Sialan... ngejek gua, ya...”
Gak ada cara lain. Aku harus hubungi ayah dan minta dia tekan pihak sekolah...
Tapi kemudian aku sadar — ponselku udah rusak karena aku hancurin sendiri kemarin. Aku gak bisa telepon!
“Sial...”
Aku melontarkan umpatan kecil, tapi tak ada yang mendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan cewek. Ada yang manggil guru. Sepertinya seseorang pingsan karena anemia. Para siswa panik dan formasi mulai kacau.
Ini kesempatan.
Aku segera berlari menuju pintu keluar aula. Aku harus keluar dari sekolah dan hubungi ayah agar dia menyelamatkanku.
Kalau sampai ditangkap, aku tamat. Mimpiku di dunia sepak bola, cewek-cewek, semuanya akan hilang. Dan kalau itu terjadi, aku bukan diriku lagi.
Cepat, cepat, cepat...
Aku melarikan diri sendirian keluar dari sekolah.
Ketua Klub Sastra POV
Melihat kepala sekolah bicara dan Kondo yang lari terbirit-birit, aku cuma tersenyum puas dalam hati.
Oh, jadi akhirnya Kondo ketahuan juga. Kasihan, ya.
Tapi kalau aku sampai bergerak untuk bantu dia, aku juga bisa hancur.
“Kamu sampai di sini saja, ya. Selamat tinggal, Kondo.”
Aku hapus akun SNS yang dulu kupakai untuk berkomunikasi dengannya. Tentunya juga semua pesan-pesan yang ada di dalamnya. Sekarang hubungan kami benar-benar sudah terhapus.
Kalau nanti aku diselidiki soal Aono, aku tinggal bilang bahwa aku juga korban gosip. Aku percaya kabar bohong itu dan sudah minta maaf. Sekolah gak akan mempermasalahkan itu.
Lagi pula, banyak siswa lain yang juga bantu menyebarkan gosip. Gak mungkin semua dihukum.
Yah, mungkin aku sedikit kelewatan karena buang barang-barang pribadi Aono, tapi anak-anak klub bisa saja menyamakan alibi. Gak ada yang mau kena sanksi, kan?
Mainan bernama Kondo memang sudah rusak. Tapi melihat dia hancur perlahan juga cukup menyenangkan.
Dia sok jago bilang dirinya psikopat, padahal aslinya palsu.
“Ayo, kita lihat kelanjutan cerita ini.”
Takayanagi POV
Aku mengamati Kondo yang panik melarikan diri dari aula.
“Bodoh. Kabur sekarang sama aja dengan mengaku. Anak-anak itu pasti akan memanfaatkan momen ini. Mereka akan bilang, ‘Aono ternyata tidak bersalah,’ dan tiba-tiba Kondo yang dekat dengan Amada malah kabur. Ini akan memperkuat arah gosip.”
Gosip itu cepat menyebar. Tapi kayaknya, Kondo tahu itu lebih dari siapa pun.
Aku mendesah muak pada si brengsek itu, lalu meninggalkan tempatku untuk membantu Amada Miyuki yang pingsan.
Chapter 78 – Eiji dan Kepala Sekolah
Setelah apel pagi selesai, aku mengikuti pelajaran bahasa Inggris bersama kepala sekolah di ruang kelas kosong. Terus terang, selama ini aku kurang suka pelajaran bahasa Inggris. Aku kesulitan dalam pelafalan, dan teks bacaan yang seharusnya bisa kubaca lancar seperti dalam pelajaran bahasa Jepang, jadi terasa lambat saat dalam bahasa Inggris dan itu membuatku stres.
Tapi, pelajaran bahasa Inggris dari kepala sekolah sangat menyenangkan. Beliau punya hobi bepergian, dan saat liburan panjang sering bepergian ke negara-negara berbahasa Inggris seperti Filipina, Australia, Selandia Baru, Amerika, dan Kanada. Karena itu, beliau banyak mengajarkan bahasa Inggris yang benar-benar bisa digunakan.
Waktu pelajaran tambahan sebelumnya, beliau bercerita tentang hal yang menarik.
“Saya ini suka wiski Amerika, tahu nggak? Tempat asal wiski itu sebenarnya di Skotlandia, Inggris, dan disebut scotch whisky. Tapi antara scotch whisky dan wiski Amerika, penulisannya berbeda—WHISKY dan WHISKEY. Hal ini karena banyak produsen wiski Amerika berasal dari imigran Irlandia. Mereka punya kebanggaan sebagai bangsa pertama yang menciptakan wiski, jadi mereka menggunakan ejaan yang berbeda dari Skotlandia. Jepang sendiri meniru gaya wiski Skotlandia, jadi kita menggunakan ejaan versi Skotlandia. Menarik, ya? Begitulah, dalam bahasa yang sama pun, cara menggunakan katanya bisa berbeda tergantung tempatnya. Itu semua berakar dari sejarah. Kalau bisa memahami hal-hal di balik kata seperti itu, kamu akan lebih cepat mahir dalam bahasa Inggris.”
Beliau memahami bahasa Inggris di tingkat yang berbeda dari sekadar pendidikan sekolah. Buatku yang dulu sering berpikir “buat apa belajar bahasa Inggris di Jepang?”, ini sungguh membuka cara pandangku.
Sejak saat itu, aku mulai merasa belajar bahasa Inggris jadi menyenangkan. Aku jadi rutin menonton drama berbahasa Inggris lewat layanan langganan yang dibayar oleh Ibu untuk melatih listening-ku.
Kemudian kepala sekolah pun masuk ke ruang kelas.
“Aono-kun, sebelum kita mulai pelajaran, bolehkah kita ngobrol sebentar?”Beliau memulai pelajaran dengan senyum khasnya.
“Baik,” jawabku.
“Pertama-tama, soal kejadian hari Sabtu. Seperti yang tadi sudah saya sampaikan, saya sungguh bangga. Kami para guru telah membuatmu mengalami masa-masa sulit karena kelalaian kami. Tapi kamu tidak menyerah. Kamu memilih untuk menghadapi kenyataan pahit itu. Itu saja sudah luar biasa. Tapi kamu lebih dari itu—kamu punya karakter yang luar biasa. Saat melihat orang dalam kesulitan, kamu langsung mengulurkan tangan untuk menolong. Padahal kamu sendiri sedang berada dalam situasi sulit. Tidak banyak siswa seperti itu. Sebagai seorang pendidik, tidak ada yang lebih membahagiakan. Tahun depan saya pensiun, tapi bisa bertemu siswa sepertimu di akhir masa jabatan saya, rasanya benar-benar sebuah kebahagiaan. Terima kasih.”
Kepala sekolah menundukkan kepala dalam-dalam.
“Ah… bukan karena aku saja kok. Aku bisa bertahan karena ada teman-teman dan guru-guru yang mendukungku. Di tempat kejadian juga ada paman yang menelepon ambulans, dan suster yang menolong. Dan juga, Ichijou-san yang membawakan AED.”
“Kalian benar-benar hebat… Barusan Ichijou-san juga mengatakan hal yang sama. Kalian saling menyebut kebaikan satu sama lain, tapi bersikap rendah hati soal diri sendiri. Kalian pasangan yang cocok.”
Saat beliau berkata seperti itu, aku merasa agak malu, tapi senang juga karena dipuji sebagai pasangan serasi dengan orang yang kusukai.
Wajahku memerah sedikit, dan kepala sekolah tersenyum.
“Petugas pemadam kebakaran akan datang ke sekolah setelah jam pelajaran selesai nanti. Sampai saat itu, ayo belajar dengan semangat.”
Pelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan pun dimulai.
Chapter 79 – Takayanagi dan Amada
Ruang UKS, Takayanagi POV
Karena tidak ada pelajaran di jam kedua, aku menunggu di ruang UKS bersama Guru Mitsui sampai Amada sadar kembali.
Wajahnya tampak sangat pucat. Sepertinya dia tidak makan maupun tidur dengan baik.
Penyebabnya pasti adalah rasa bersalah.
Amada dan Aono sangat akrab hingga semester pertama. Melihat hubungan mereka bisa sampai rusak sejauh ini sungguh menyedihkan bagiku yang menyaksikan keduanya selama ini.
“Di… mana ini…?”
Sekitar sepuluh menit kemudian, Amada membuka matanya.
Dia masih tampak lemah.
“Ini ruang UKS. Kamu pingsan karena anemia saat apel pagi tadi. Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana kondisi tubuhmu?”
Sepertinya dia belum bisa memahami ucapanku dengan baik. Wajahnya semakin pucat.
“Eiji… aku harus hentikan Eiji. Dia bisa mati… semua salahku…”
Dengan wajah kacau, dia berusaha melompat turun dari ranjang, tapi tubuhnya sempoyongan. Aku dan Guru Mitsui buru-buru membaringkannya kembali.
“Tenanglah. Aono sekarang sedang bersama kepala sekolah.”
Mendengar itu, dia tampak kebingungan, seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi, lalu mulai menangis. Keadaan emosinya terlalu tidak stabil, bisa berbahaya. Mungkin aku tidak bisa memaksanya bicara lebih jauh.
“Begitu ya… jadi ini cuma mimpi…”
Melihat Amada bergumam seperti mainan rusak benar-benar menyayat hati.
“Kamu baik-baik saja?”
“…Iya…”
Dia jelas terguncang saat melihat wajahku.
Lalu dengan sikap seperti seseorang yang telah menetapkan niat, dia menunduk dan mulai berbicara dalam gumaman yang terputus-putus.
“Amada. Mungkin ini bukan tempat yang tepat, tapi… bukankah kamu punya sesuatu yang perlu dikatakan padaku?”
Mengingat ultimatum yang tadi diberikan, pingsannya dia saat itu pasti ada hubungannya dengan ini.
“…Ada.”
Dengan suara terputus-putus dan tubuh yang hampir roboh, dia mulai mengucapkan kata-kata.
“Aku… aku selingkuh dengan Kondo-senpai… aku mengkhianati Eiji… dan saat Eiji tahu, aku ketakutan akan kehilangan segalanya… jadi aku mengikuti apa yang dikatakan oleh senpai… kami sepakat untuk memfitnahnya, mengatakan bahwa dia melakukan kekerasan… padahal dia hanya menyentuh bahuku… Lalu kami mengucilkan Eiji sampai dia hampir bunuh diri… Semuanya… semuanya salahku…”
Aono pernah berpikir untuk bunuh diri. Mendengar pengakuan mengejutkan itu membuatku tak bisa berkata apa-apa.
Aku juga sadar bahwa aku kecewa karena seorang siswi sebaik Amada sampai tega berbohong kepada guru demi menyelamatkan diri. Tapi mungkin itu pemikiran egois dari pihakku. Tentu saja aku sudah menyadari bahwa dia berbohong. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari mulutnya membuat dampaknya lebih berat.
“Jadi… waktu itu kamu memang berbohong juga, ya?”
“…Iya.”
Amada mengangguk perlahan.
“Amada. Kenapa kamu melakukan itu…? Kalau Aono sampai mati, itu akan jadi penyesalan seumur hidup. Bahkan sekarang pun, ini sudah tidak bisa diperbaiki. Meski kamu mengakui kesalahan dan minta maaf, masih ada orang yang tidak akan mempercayaimu. Reputasi Aono yang sudah rusak mungkin tak akan pulih. Bisa jadi, dia akan membawa luka ini seumur hidupnya. Mungkin kamu menganggap ini hal sepele, tapi ini adalah salah satu hal terburuk yang bisa dilakukan manusia.”
Aku tak bisa membelanya lagi.
“Setelah kejadian ini, aku sudah menyelidiki banyak hal. Membuat fitnah seperti ini adalah tindakan kriminal. Kalau pihak sekolah percaya pada kalian, Aono bisa saja sudah dikeluarkan. Kamu paham, kan?”
Aku memang bukan ahli hukum. Tapi aku sudah mencari tahu dari berbagai kasus dan berita. Misalnya, ada orang yang menyebarkan berita palsu tentang selebriti dan akhirnya ditangkap karena pencemaran nama baik. Amada juga bisa mengalami hal serupa.
“Aku mengerti…”
“Kalau kamu melakukan hal seperti ini, kemungkinan terburuknya kamu bisa ditangkap polisi. Kenapa kamu memilih jalan yang menghancurkan hidupmu sendiri…?”
Penyesalan karena tidak bisa menyelamatkan murid, dan amarah karena dikhianati. Semua itu kutujukan padanya. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mencoba mencegah agar dia tidak langsung ditangkap polisi di depan orang tua atau teman-temannya. Karena itu akan terlalu menyakitkan. Setidaknya, aku bisa sedikit mengurangi dampaknya.
“Aku… setelah ini, apa yang akan terjadi padaku…?”
Dengan suara lemah, dia bertanya. Karena telah melakukan kejahatan yang nyata, kemungkinan besar dia akan menerima sanksi berat berupa skorsing atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Apalagi, dia tidak hanya menjatuhkan Aono yang tidak bersalah, tapi juga memicu perundungan.
“Sepertinya… kamu akan menerima sanksi yang cukup berat.”
Itu saja yang bisa kusampaikan. Bahkan jika dia tetap di sekolah, pasti hidupnya akan berat. Teman-temannya akan menyalahkannya karena telah membohongi mereka. Dan bagi para siswa yang melontarkan kata-kata kasar atau mendorong perundungan, meskipun bukan pelaku utama, tetap akan diberikan hukuman setimpal. Log aktivitas di media sosial telah kubiarkan Aono simpan sebanyak mungkin. Siswa yang dikenai sanksi mungkin akan kehilangan kesempatan untuk masuk universitas lewat jalur rekomendasi. Bahkan ada yang bisa saja dikeluarkan karena menyebarkan gosip hingga merugikan Aono secara nyata.
Dan yang paling penting: Aono, korban utama, telah mendapat luka batin yang tidak akan hilang seumur hidupnya.
Perbuatan ini jelas tidak bisa dimaafkan. Kondo dan Amada telah menyimpangkan hidup banyak orang.
“Tidak… aaaaaaaaaaaaaAAAAHHHH!!”
Tiba-tiba terdengar teriakan memilukan seperti jeritan maut.
Sisanya kuserahkan pada Guru Mitsui.
Aku berjalan keluar dari ruang UKS menuju koridor.
“Kalau saja… kalau saja waktu itu dia tidak mengenalkanku pada senpai, semua ini tidak akan terjadi…”
Kalau dipikir-pikir, mungkin aku digerakkan oleh semacam firasat.
Karena ucapan itu menjadi petunjuk penting yang membawaku semakin dekat pada dalang sebenarnya.
Chapter 80: Terungkapnya Fitnah dan Amarah Ichijou Ai
Situs Rahasia Sekolah (Ichijou POV)
“Eh, kau pikir, jangan-jangan rumor soal Aono itu bohong, ya?”
“Iya juga, sih. Masak polisi ikut turun tangan, tapi dia malah dapat penghargaan?”
“Jadi, maksudmu, ada yang nyebar bohong buat nyudutin Aono?”
“Ya, kayaknya begitu.”
“Kalau gitu, siapa dong yang bohongin semua orang?”
Saat jam istirahat, aku membuka ponsel dan mengintip situs rahasia sekolah. Seperti yang kuduga, beberapa siswa mulai mempertanyakan rumor itu dan mendiskusikannya di forum.
“Dari awal, waktu Ichijou-san berpihak ke Aono aja udah terasa aneh, sih.”
“Nggak mungkin dia deketin cowok tukang pukul, ya kan?”
“Jadi, Ichijou-san udah nyadar dari awal kalau Aono difitnah, terus dia dukung terus Aono.”
“Keren banget.”
“Sampai rela dibenci, demi lindungi korban…”
“Tapi Ichijou-san juga bilang dia punya utang budi ke Aono-senpai.”
“Lagian pas insiden hari Sabtu itu, mereka juga bareng, kan? Fix itu kencan akhir pekan.”
“Kemarin juga mereka bareng pas pulang sekolah. Mereka pacaran, kan?”
Lihat gosip soal diriku sendiri bikin malu juga. Padahal kami belum pacaran, tapi kalau ada yang bilang begitu, rasanya... nggak buruk juga.
Tanpa sadar aku bilang “belum”. Aku udah nggak bisa bohong sama perasaanku sendiri.
Tapi sekarang, yang paling penting adalah membersihkan nama Senpai dari fitnah ini.
Aku menulis sesuatu di forum yang biasanya aku benci. Ada rasa jijik pada diriku sendiri karena harus melakukan ini, tapi… perasaan tidak terima atas keadaan sekarang jauh lebih kuat.
“Siapa yang bohong? Kalian semua juga pasti udah tahu, kan?”
Dengan satu kalimat itu, alur di forum langsung berubah drastis. Aku nggak perlu menulis apa-apa lagi. Selama ini orang-orang hanya takut buat ngomong. Sekarang, kebenaran akan mengalir deras seperti banjir yang menembus bendungan.
“Iya sih.”
“Waktu kejadian itu disinggung, Amada Miyuki langsung shock dan pingsan.”
“Aku satu kelas sama Kondo. Sejak habis acara di aula sekolah, dia nggak kelihatan.”
“Fix itu pelakunya. Dari sebelum kasus ini meledak pun, mereka berdua emang sering bareng.”
“Kondo-senpai kabur ya? Tinggalin ceweknya juga.”
“Jadi mereka selingkuh, terus takut ketahuan, akhirnya fitnah Aono-kun buat nutupin semuanya?”
“Kalau bener, itu kejam banget.”
“Gila sih...”
“Aku jadi ilfeel.”
“Kasihan Aono-kun...”
Reputasi Senpai memang nggak akan pulih dalam sekejap, tapi ini jelas akan memperbaikinya secara drastis. Sebenarnya aku nggak mau pakai cara begini. Tapi mereka yang mulai duluan.
“Kalian harus bertanggung jawab karena udah nyudutin Aono Eiji—orang yang sangat berarti buatku. Aku nggak akan pernah memaafkan kalian.”
Kalian hanya menerima balasan dari apa yang kalian perbuat sendiri. Demi melindungi diri sendiri, kalian mendorong dia sampai ke titik nyaris bunuh diri… Kalau dibandingkan itu, ini bahkan belum cukup.
Dengan perasaan marah yang tenang terhadap orang-orang tak bertanggung jawab yang dengan mudahnya mengganti posisi mereka, aku menutup situs rahasia itu.
Demi melindungi orang yang berharga, aku akan menggunakan segala cara yang bisa kupakai.
Karena sekarang aku tahu, kalau aku nggak bergerak, aku nggak akan bisa melindungi apa pun.
Aku mengirim pesan ke Kuroi:
“Kalau keadaan jadi darurat, aku sendiri yang akan bicara ke ayahku. Tolong siapkan agar aku bisa langsung menghubunginya kapan saja.”
Kalau itu demi dia… aku rela merendahkan diri.
Sebentar lagi, pasti anggota dewan Kondo akan mulai bergerak. Kalau dia berani menyerang keluarga Senpai dengan cara licik, aku pasti tidak akan tinggal diam.
Soal permintaan wawancara dari stasiun TV, aku juga sudah mengizinkan mereka merekam wajahku.
Katanya petugas pemadam kebakaran akan datang setelah jam sekolah untuk memberikan penghargaan kepada kami. Media juga akan hadir. Kalau itu diliput dan ditayangkan, reputasi Senpai yang rusak karena kasus ini pasti akan membaik.
Kalau tayangannya berhasil ditayangkan, maka tidak ada yang bisa mengganggu Senpai lagi.
Hari ini akan menjadi akhir dari segalanya.
Aku sudah siap.
Post a Comment