Chapter 141 – Penyelidikan:
―POV Ichijou Ai―
Waktu istirahat siang. Sebenarnya aku ingin sebentar saja menemui senpai, tapi sebelum itu, aku sudah menjadwalkan satu hal lebih dulu.
Aku menuju ke ruang kelas siswa kelas 3. Karena Kondo dan para anggota klub sepak bola lainnya sedang diskors, beberapa meja terlihat kosong. Seperti yang kuduga, selain Kondo dan ketua klub sastra Tachibana, ada beberapa siswa lain dari SMP yang sama yang juga masuk klub sepak bola. Dan mereka semua sedang menghadapi hukuman karena keterlibatan dalam kasus perundungan.
Aku lalu menghampiri seorang siswi yang sudah kuincar sejak kemarin.
“Senior Ikenobe.”
Aku memanggilnya saat ia keluar ke koridor. Beberapa siswa kelas 3 lainnya melihat ke arahku dengan tatapan penasaran.
Ikenobe Eri. Berdasarkan penelusuranku, sebelum Kondo menjalin hubungan dengan Amada Miyuki, ia adalah gadis yang paling dekat dengan ace klub sepak bola itu. Dari situ aku menyimpulkan bahwa mereka sudah kenal sejak SMP.
Saat berbalik, dia terlihat tinggi dan cantik. Tapi wajahnya pucat, tidak tampak sehat. Pipi cekung, matanya lelah—ia tampak sangat kelelahan secara fisik dan mental.
Untuk ukuran seorang siswi SMA, ia benar-benar kehilangan semangat hidup. Sampai-sampai membuatku khawatir saat melihatnya.
“Kau Ichijou Ai, ya?”
Padahal kami belum pernah bertemu langsung, tapi dia sepertinya sudah tahu siapa aku.
Bagus, jadi tidak perlu basa-basi panjang.
“Senang bertemu. Saya Ichijou Ai.”
“Sang idola sekolah datang ada perlu apa?” katanya sinis, dengan nada curiga dan menghina. Dia langsung menatapku dengan kebencian sepihak. Aku sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini, jadi aku tetap tenang.
“Saya ingin mendengar cerita dari Anda.”
Tatapan tajam penuh penolakan ia tunjukkan. Tapi aku takkan mundur hanya karena itu.
“Tidak ada yang bisa aku katakan padamu.”
Ucapannya tetap tajam. Tapi bukan hanya untukku—rasanya seperti kebencian dan keputusasaan itu diarahkan pada seluruh dunia.
Dalam situasi seperti ini, gadis biasa mungkin akan ketakutan dan lari. Lagipula, siapa yang mau berurusan dengan senior dua tahun di atasnya?
Tapi aku memaksakan diri sedikit. Meski dia lebih tua, kami masih sama-sama pelajar. Kalau tidak kelewatan, harusnya masih bisa ditangani…
“Saya hanya ingin bertanya soal Kondo-senpai dari klub sepak bola...”
Begitu mendengar nama itu, reaksinya langsung meledak.
“Jadi, kamu juga punya hubungan sama Kondo-kun, ya?! Sudahlah, cukup! Miyuki Amada dari angkatan dua, kamu juga! Kenapa sih... Aku cuma punya Kondo-kun sekarang. Aku sudah buang semua—Kazuki, Yumi, bahkan keluargaku—demi dia. Tapi sekarang semuanya hilang. Aku harus gimana?!”
Suara kerasnya menggema di seluruh koridor, penuh dengan luapan emosi yang berantakan.
Seperti yang kuduga—hanya dengan menyebut nama Kondo, ia langsung runtuh. Aku benar-benar merasa menjadi orang jahat. Aku bisa dengan sengaja melakukan hal seperti ini, memanfaatkan emosi orang lain. Tapi kalau itu untuk melindungi orang yang penting bagiku, maka aku akan menggunakan kekuatan ini.
“Tenanglah, saya tidak punya hubungan seperti itu dengan Kondo-senpai. Saya hanya ingin mencari tahu kebenaran dari kasus ini...”
Sampai sini saja sudah cukup. Informasi penting sudah kudapat.
Ternyata benar, Ikenobe Eri adalah teman masa kecil ketiga yang disebut Doumoto-san kemarin.
Dan karena masalah dengan Kondo, hubungan bertiga mereka pun hancur. Dia memilih berpihak pada Kondo, seperti halnya Amada Miyuki.
“...Aku nggak percaya siapa pun lagi. Semua salahku, aku tahu! Semua orang juga bilang begitu. Aku sadar kok. Selama tiga tahun ini aku sendirian, nggak bisa minta tolong ke siapa pun walau kesepian. Aku tahu ini hukuman buatku. Tapi… kenapa harus semuanya diambil dariku? Dia satu-satunya yang tersisa... Seandainya saja aku nggak pernah bertemu dia...”
Inilah gambaran masa depan Amada-san jika dia kehilangan semua yang pernah ia miliki. Hubungan yang ia bangun hancur total, lalu ditinggalkan... cukup membayangkannya saja membuatku merinding.
Terutama jika membayangkan kehilangan keluarga hangat seperti keluarga Aono—rasanya benar-benar menakutkan.
“Ikenobe-san...”
Belum sempat aku mengatakan “tenanglah,” ia sudah berteriak,
“Berhenti!!”
Lalu mendadak, wajahnya menjadi kosong, seperti kehilangan semua emosi.
“Maaf. Aku jadi teriak-teriak nggak karuan. Aku nggak sanggup lagi. Tolong, biarkan aku sendiri.”
Cara dia tiba-tiba menggunakan bahasa formal padaku, yang lebih muda, terasa sangat janggal. Seolah-olah ada bagian dari dirinya yang sudah rusak.
Dan akhirnya, ia pergi dari sana seolah melarikan diri.
Dengan perasaan berat tentang betapa kelamnya sisi manusia, aku pun kembali ke sisi dia yang ingin aku lindungi—Eiji Aono.
Chapter 142 – Kencan Resmi:
Seperti biasa, kami janjian bertemu di depan gerbang sekolah dan pulang bersama.
Tanpa perlu mengucapkan apa pun, rasanya kami sudah secara alami menyepakati hal itu.
“Ah iya, besok sepulang sekolah, Endo dan yang lain akan menemaniku buat ikut pelajaran tambahan eksperimen kimia, jadi mungkin aku pulang agak telat.”
Jadi, aku memutuskan untuk memberi tahu Ichijou-san terlebih dahulu.
Dia tersenyum manis.
“Kalau begitu, aku juga ikut saja, ya. Aku sudah kenal Endo-san juga, kan.”
Benar-benar menyenangkan melihat dia makin akrab dengan Endo-san dan Doumoto-san. Kabarnya, dia bahkan sudah saling berkirim pesan dengan Doumoto-san lewat ponsel.
“Ah, iya, katanya memang jumlah orangnya kurang, jadi yang menyiapkan dan merapikan alat eksperimen cukup kewalahan. Jadi, bantuannya akan sangat berarti.”
Pak guru bahkan rela menyisihkan waktu dari kegiatan ekstrakurikuler untuk pelajaran tambahan ini. Kalau ada bantuan dari pihak kami, tentu itu akan sangat membantu.
“Kalau begitu, sudah diputuskan ya. Aku senang bisa ikut eksperimen. Soalnya aku sering banget nonton video eksperimen di situs berbagi video, lho. Misalnya, video yang membandingkan kekuatan puding super kuat dan palu.”
Itu jenis video yang cukup absurd. Aku tidak bisa menahan tawa.
“Oh iya, senpai…”
Tiba-tiba suasananya berubah. Menjadi atmosfer manis tapi tegang khas antara laki-laki dan perempuan.
“Hmm?”
“Akhir pekan ini… bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Ada film yang ingin aku tonton lagi.”
Itu adalah ajakan kencan resmi pertama setelah "pengakuan" tempo hari. Dan yang mengajaknya adalah dia—membuatku terkejut sekaligus bahagia.
“Ya, tentu saja. Bioskop yang sama seperti kemarin tidak apa-apa?”
Begitu mendengar jawabanku, wajahnya langsung bersinar cerah.
“Ah, sebenarnya… ini siaran ulang lagi. Tapi kali ini cuma diputar di bioskop di Tokyo. Jadi, mungkin agak jauh. Tapi, kalau senpai tidak keberatan, maukah menemani aku ke sana?”
Karena begitu senangnya, dia bicara sedikit cepat, tapi tetap terlihat agak sungkan. Bukan sebagai Ichijou Ai sang "idol sekolah", tapi seperti gadis remaja seusianya pada umumnya.
“Begitu ya. Aku jadi nggak sabar. Ini film rekomendasi kamu, kan? Kalau dari kamu, pasti bagus.”
Film sebelumnya, “Forest Gun〇”, benar-benar seru. Memberikan semangat luar biasa untuk terus maju dalam hidup.
Kali ini akan seperti apa, ya? Dalam wawancara para novelis, banyak yang menyarankan agar tidak hanya membaca novel, tapi juga aktif menyerap dari film, drama, anime, dan sebagainya. Katanya, itu pasti akan berguna suatu saat nanti.
Ada satu penulis yang bahkan setelah 10 tahun berkarier masih tetap menjaga kebiasaan membaca satu buku dan menonton satu film setiap harinya.
Dan untuk menyerap cerita dari luar zona nyaman, rekomendasi dari orang terdekat sering kali jadi yang terbaik. Terlebih lagi kalau orang itu memahami seleraku.
Waktu pertemuan dengan editorku kemarin, aku juga sempat diberi rekomendasi beberapa film. Kami berencana menonton film itu bareng ibu dan kakakku di hari libur toko.
“Fufu, aku jadi nggak sabar. Setelah filmnya selesai, di dekat bioskop itu ada lokasi syuting yang dipakai di filmnya. Aku ingin ajak senpai jalan-jalan ke sana juga. Boleh?”
“Ah, ziarah lokasi syuting, ya. Aku belum pernah sih, jadi kayaknya seru.”
Apalagi kalau lokasinya dari film yang baru saja kami tonton bersama. Pasti makin menyenangkan dan pembicaraan juga bakal mengalir. Aku bisa membayangkannya akan jadi hari yang menyenangkan.
“Kita kencan, ya.”
Dia sedikit malu, mengucapkannya pelan.
“Iya.”
Aku pun mengangguk, sedikit terbawa perasaan.
“Jadi, kita bakal kencan resmi, ya, senpai dan aku.”
Dengan wajah agak memerah dan kepala sedikit menunduk, dia mengatakan itu dengan ekspresi bahagia.
Kami berdua berbagi kebahagiaan.
Sementara itu, para pelaku di sisi lain masih belum sadar kalau mereka tengah jatuh ke dalam neraka.
Chapter 143 – Alasan Anggota Klub Sastra:
―POV Salah Satu Anggota Klub Sastra―
"Silakan masuk."
Aku dipanggil ke ruang pembinaan siswa setelah dikatakan bahwa Pak Takayanagi dan Bu Mitsui ingin bicara denganku. Sejak saat itu, jantungku terus berdebar kencang. Aku sama sekali tidak bisa fokus selama pelajaran.
"Pe-permisi…"
Begitu aku masuk ke ruangan, kedua guru itu menatapku dengan ekspresi serius.
Rasanya seperti sedang diinterogasi. Katanya, anggota klub sepak bola juga mengalami hal seperti ini. Tubuhku mulai gemetar. Bagaimana kalau ada yang berkhianat? Bagaimana kalau salah satu anggota membuat kesalahan saat menyamakan cerita? Lagipula, ketua klub yang merupakan dalang utama kejadian ini tidak datang ke sekolah. Aku takut dia melarikan diri dan membebankan semua tanggung jawab kepada kami.
“Kami memanggilmu kali ini untuk membicarakan soal Aono Eiji. Kamu tahu soal kasus perundungan yang dilakukan oleh klub sepak bola terhadap Aono, bukan?”
Apa yang harus aku lakukan? Akui saja? Atau pura-pura tidak tahu?
Tidak, kalau aku menggelengkan kepala di sini, justru makin mencurigakan. Ini sudah jadi berita besar, dan kasus klub sepak bola juga sudah jadi bahan pembicaraan di seluruh sekolah.
Akan terasa aneh jika aku tidak mengakuinya.
“Ya, saya tahu.”
Aku sendiri tidak tahu apakah ini jawaban yang benar. Aku takut sekali. Rasanya seperti sedang menjawab pertanyaan di tiang eksekusi.
“Begini. Karena Aono dulunya juga anggota klub sastra, kami harus melakukan penyelidikan terhadap klubmu juga.”
Kepalaku terasa kosong.
“Itu tidak benar. Kami tidak melakukan apa pun.”
Penolakan itu terdengar seperti alasan yang dibuat-buat.
“Begitu, ya. Tapi tetap saja, kami ingin mendengar ceritamu. Itu akan berguna ke depannya.”
Aku merasa seperti sedang diberi tahu bahwa tidak ada jalan untuk melarikan diri.
“Cerita seperti apa?”
“Pertama-tama, setelah rumor menyebar, Aono tidak lagi ikut kegiatan klub, kan?”
“Y-ya. Sepertinya dia merasa sulit untuk datang.”
Itu jawaban yang sudah kami sepakati bersama.
Pak guru mengangguk-angguk seolah menerima jawabanku.
“Begitu. Lalu, apakah ada barang-barang milik Aono di ruang klub? Seperti naskah yang dia tulis untuk buletin klub, atau novel yang dia bawa…”
Jawabannya juga sudah ditentukan.
“A-ada. Dulu memang ada, tapi…”
“Ada apa?”
“Ya, entah sejak kapan, semua barang itu sudah tidak ada. Setelah kejadian itu, sepertinya ada yang mengambilnya diam-diam.”
Ini adalah jawaban hafalan klub sastra yang kami simpan demi melindungi diri.
“Siapa yang mengambilnya?”
“Saya tidak tahu. Bisa saja anggota klub, orang luar, atau mungkin Aono sendiri.”
“Kenapa tidak kalian laporkan ke pihak sekolah?”
“Itu… karena kalau kami ikut membela Aono dan memperbesar masalah, kami juga bisa jadi sasaran perundungan. Kami takut, jadi tidak bisa bilang ke siapa pun. Tapi percayalah, itu bukan saya. Seseorang… seseorang melakukannya tanpa sepengetahuan kami.”
Setelah aku menjelaskan itu, guru menarik napas panjang. Lalu berkata, “Saya mengerti. Untuk hari ini, kamu boleh kembali.”
Dimaafkan?
Ada sedikit rasa lega di dalam hati.
Sepertinya berhasil. Tidak apa-apa. Kami pasti bisa melewati ini.
Dengan meyakinkan diri seperti itu, aku pun menuju ke lorong.
**
―POV Takayanagi―
Setelah siswa itu keluar, aku menghela napas berat.
“Tidak ada gunanya. Semua anggota klub sastra seolah kompak memberikan alasan yang sama. Itu saja sudah mencurigakan. Padahal di ponsel Aono, tersimpan banyak tangkapan layar yang menunjukkan kata-kata kasar mereka yang ditujukan kepadanya. Meski mereka buru-buru menghapus log media sosial, semuanya sudah terlambat.”
Chapter 144 – Takayanagi vs Wali Murid:
―POV Takayanagi―
Setelah selesai mendengar penjelasan dari anggota klub sastra, aku hendak kembali ke rutinitas harian, namun tiba-tiba ada tamu yang datang.
Ternyata dia adalah ibu dari salah satu anggota klub sepak bola, sekaligus seorang "ibu pendidikan" yang terkenal sebagai petinggi PTA. Sebenarnya, kepala sekolahlah yang seharusnya menerima tamu seperti ini, tetapi beliau sedang pergi ke kantor pemerintah daerah untuk melaporkan masalah ini.
Karena itu, aku dan wakil kepala sekolah yang harus menanganinya.
“Apa-apaan ini? Anak saya tiba-tiba dikenai sanksi skorsing, ini tidak masuk akal. Kenapa saya tidak diberi tahu sama sekali?”
Dengan nada tinggi, dia mendesak kami. Suaranya yang melengking menggema di ruang tamu.
“Itu karena putra Anda diketahui terlibat dalam kasus perundungan yang sedang diberitakan luas…”
Saat wakil kepala sekolah mencoba menjelaskan secara logis, ibu itu langsung memotongnya dengan kemarahan yang meledak-ledak.
“Saya ini anggota komite PTA sekolah ini! Mengambil tindakan sepihak tanpa persetujuan kami itu sudah keterlaluan. Insiden ini jelas menurunkan citra sekolah. Para guru dengan rasa keadilan mereka yang salah kaprah malah memperburuk reputasi sekolah. Tahukah kalian? Ini seperti pengkhianatan. Saya akan bawa ini ke rapat PTA. Kalau sampai itu terjadi, kalian tahu kan apa akibatnya? Bersiaplah menyambut mutasi berikutnya!”
Dia terus meluncurkan kata-kata seperti tembakan senapan mesin, begitu menekan dan agresif.
Aku tahu betul bahwa aku seharusnya membiarkan kepala atau wakil kepala sekolah jadi tameng di depan. Tapi...
“Maaf, Bu Aida.”
Aku tidak bisa menahan diri dan akhirnya angkat bicara.
“A-apa maksudmu?”
Tiba-tiba dibalas balik, dia tampak sedikit terkejut. Sisi kompetitifku yang terbentuk dari masa-masa aktif di klub saat sekolah, secara refleks muncul ke permukaan.
“PTA itu, bukankah seharusnya menjadi organisasi yang mendukung pertumbuhan anak-anak secara sehat? Menurut saya, keterlibatan Anda dalam campur tangan terhadap hukuman kasus ini adalah hal yang tidak pantas.”
Mendengar itu, ia menegang dan menatapku tajam.
“Pak Takayanagi! Itu pernyataan yang sangat bermasalah. Anda telah menghina PTA! Lagipula, masa hanya untuk melindungi satu siswa saja, begitu banyak siswa lain harus dihukum? Itu konyol. Siswa yang di-bully pasti juga punya masalah, kan? Dan para pelaku pun punya masa depan. Jika kalian berusaha menghancurkan masa depan cemerlang anak-anak ini, maka kami takkan tinggal diam!”
Sekilas terdengar logis, tapi nyatanya hanyalah luapan emosi yang tak terkendali.
Tak masalah bagiku jika ini akan jadi akhir dari karierku. Dengan tekad itu, aku lanjutkan kata-kataku.
“Itu tidak masuk akal. Jika kita tidak bisa melindungi satu siswa tak bersalah, maka di mana letaknya pendidikan? Anda bilang yang dibully juga salah, tapi dalam kasus ini, yang terjadi hanyalah mayoritas memfitnah dan menghukum secara sewenang-wenang satu siswa lemah. Bahkan meninggalkan jejak digital yang mungkin tak bisa terhapus seumur hidup. Memang, para pelaku punya masa depan. Tapi masa depan itu hanya layak mereka jalani setelah mereka bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan, bukan?”
Wanita itu mulai panik dan membalas dengan suara meninggi.
“T-tapi tetap saja, menghukum sebanyak ini… itu terlalu berlebihan…”
Dalam situasi seperti ini, pihak yang menyerang duluan biasanya menang. Apalagi orang seperti dia—agresif saat menyerang, tapi lemah saat diserang.
“Jika kita pikirkan lagi tujuan asli dari PTA, kita tidak bisa membiarkan pelanggaran seperti ini begitu saja. Menyadarkan anak akan kesalahannya justru merupakan bentuk pendidikan yang sesungguhnya. Jika tidak, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang bengkok. Dan itu berarti, baik kami para guru maupun Anda sebagai orang tua, telah mengabaikan peran kami. Bukankah begitu?”
“…”
PTA yang tadinya lantang, kini terdiam.
Melihat itu, wakil kepala sekolah yang sejak tadi diam pun menambahkan,
“Sayangnya, semua yang ingin saya sampaikan sudah dikatakan oleh Pak Takayanagi. Dasar, anak muda ini… tidak mau kasih kesempatan bicara pada seniornya. Tapi kami mendukung dia sepenuhnya. Anda mungkin berpikir bisa menekan guru dengan jabatan Anda sebagai petinggi PTA dan menyapu masalah ini di bawah karpet… Tapi itu hanya kesombongan. Bu Aida, orang egois seperti Anda sama sekali tidak layak bicara soal pendidikan yang sehat. Menjijikkan.”
Chapter 145 – Serangan Lanjutan kepada Anggota Dewan Kondo:
―Sel Tahanan (POV Anggota Dewan Kondo)
Segala sesuatu yang telah kubangun selama ini hancur dalam sekejap.
Melalui hari-hari penuh gejolak ini, aku sadar bahwa aku akan kehilangan segalanya. Jabatan, kehormatan, uang, bahkan keluarga—semuanya akan lenyap. Aku telah mewarisi posisi dari ayahku yang sudah meninggal, dan hampir saja mengamankan kursi wali kota. Demi posisi itu, aku bahkan membuat dana gelap, menyuap pusat kekuasaan, dan maju tanpa peduli cara apa pun.
“Kenapa... hanya karena aku mencoba menutup-nutupi kasus perundungan anakku, kenapa ini harus terjadi... kenapa, kenapa, kenapa…”
Mentalku benar-benar hancur. Jika proyek dari kantor pemerintahan berhenti, maka perusahaanku tamat.
“Tak apa... para petinggi di pusat pasti akan menolongku. Mereka pasti takut kalau aku buka mulut tentang rahasia mereka. Kalau sampai terjadi, aku akan menyeret mereka semua ke dalam.”
Ini akan menjadi skandal besar. Ungkap semuanya. Tidak—ancam mereka. Ancaman saja pasti sudah cukup membuat mereka bergerak.
“Pak Kondo, ada yang ingin menemui Anda. Sebenarnya, hanya pengacara yang diperbolehkan menjenguk, tapi kali ini khusus.”
Tepat seperti yang kuduga. Bahkan aturan kunjungan pun bisa dilanggar oleh orang sebesar itu. Pasti ini utusan dari “orang besar” itu. Benar-benar, langit belum meninggalkanku.
Dengan tergesa-gesa, aku menuju ruang kunjungan.
Orang yang menungguku adalah wajah yang kukenal, tapi bukan orang yang kuharapkan.
“Hai, Kondo-kun. Bagaimana, nyaman di sel?”
Orang yang menjatuhkanku ke tempat ini: Ketua Fraksi Ugaki, menungguku dengan senyum ramah.
“Kenapa... Anda yang datang…?”
“Oh, itu. Dulu aku pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Keamanan Nasional. Kau tahu, kan? Jabatan yang mengawasi kepolisian. Jadi, aku punya banyak kenalan.”
Senyumnya yang jahat membuat bulu kudukku berdiri. Aku merasa hidup dan matiku kini ada di tangan pria ini.
Jika dia memutuskan untuk “menghabisiku”, apa yang akan terjadi? Diracun lewat makanan? Atau dibunuh dengan kedok bunuh diri?
Pemusnahan saksi. Orang seperti dia pasti sanggup melakukannya. Baginya, aku ini seperti serangga kecil yang bisa dibinasakan kapan saja.
“Jangan coba-coba ngomong macam-macam.” Matanya seakan mengatakan itu. Kalau dia bisa memutar aturan di sini, maka kesaksianku pun bisa dengan mudah…
Kalau aku mati di sini, tak akan ada yang menangis. Aku akan dicap sebagai musuh rakyat, politikus kotor yang ketahuan berbuat busuk lalu mati dalam keputusasaan di tahanan. Aku bisa membayangkan orang-orang bersorak dan bertepuk tangan mendengar kabar kematianku.
“Tolong... tolong selamatkan aku... aku tidak mau mati... aku tidak mau mati…”
Aku terjatuh dari kursi, membentur dinding, dan menjerit minta tolong. Mental yang sudah rapuh akhirnya runtuh sepenuhnya.
“Oh, ayolah. Korupsi seperti ini tidak akan membuatmu dihukum mati. Tenanglah. Nanti, akan kuantar buah-buahan sebagai bingkisan.”
Buah-buahan!? Jadi dia benar-benar mau meracuniku!?
“Pasti kau mau meracuniku, kan!? Aku tidak akan tertipu. Aku akan bertahan hidup! Kalau sudah begini, akan kuungkap semuanya! Aku tidak akan masuk neraka sendirian!!”
Ketua Fraksi hanya tertawa pahit dan berkata, “Ini nggak bisa dipakai,” sambil bangkit dari kursinya.
“Aku pasti akan bertahan hidup. Pasti.”
**
“Orang bodoh itu memang mudah dimanfaatkan. Mereka akan membangun cerita sendiri, lalu menghancurkan diri sendiri.”
Ucapnya pada sekretaris di sisinya, yang ikut tersenyum kecil.
“Anda bicara tentang Anggota Dewan Kondo… atau tentang Perdana Menteri?”
“Siapa ya… mana saja boleh. Yang jelas, semua ini berjalan sesuai rencana.”
Chapter 146 – Kesempurnaan dan Kebahagiaan:
Hari ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku berpisah dengan Senpai dan langsung pulang ke rumah.
Karena pembantu juga sedang libur, ini benar-benar waktu sendirian. Aku sudah meminta Kuroi untuk menyelidiki soal Ketua Klub Sepak Bola Tachibana dan Ikunobe-san.
Mungkin malam nanti, sudah ada hasilnya. Beberapa hari ini, aku selalu menghabiskan waktu sepulang sekolah bersama Senpai, makan malam di Dapur Aono, dan mendapat perlakuan penuh kasih sayang seperti keluarga sungguhan. Itulah sebabnya, kamar kosong ini—yang seharusnya sudah menjadi hal biasa—hari ini terasa sangat sepi dan luas.
Mungkin karena banyak hal yang terjadi, pikiranku jadi sedikit lelah dan mulai berpikir negatif.
“Tidur sebentar, ah.”
Untuk makan malam, ada lauk yang sudah dibuat sebelumnya. Tugas sekolah bisa dikerjakan setelah makan.
Tempat tidur di kamar kini tampak meriah berkat boneka yang kami dapat saat kencan di pusat permainan kemarin.
Sambil berbaring, aku memeluk boneka pemberian Senpai.
“Hari ini, ada teman sekelas yang bertanya, ‘Apa sih bagusnya Aono-senpai?’”
Aku berbicara kepada boneka yang kupeluk erat. Terdengar kekanak-kanakan dan agak seperti dunia dongeng, tapi membantuku merapikan pikiran.
Saat pertama kali bertemu di atap sekolah, dia membantu aku tanpa memikirkan dirinya sendiri. Padahal dia yang paling menderita, tapi bukannya menyimpan dendam, dia terus bergerak maju dengan penuh semangat. Aku benar-benar kagum.
Dan dia selalu memperhatikanku. Selalu hadir di sisi hatiku. Sejak bertemu dengannya, hari-hari di mana aku merasa ingin mati mendadak terasa seperti masa lalu yang jauh.
“Mungkin, kalau nggak dekat, orang nggak akan sadar betapa hebatnya dia. Karena itulah semua orang memperlakukannya begitu buruk. Tapi, semua orang yang benar-benar mengenalnya pasti percaya padanya. Keren banget, ya.”
Aku benar-benar menganggap Eiji-senpai sebagai orang luar biasa. Dia berbakat dalam menulis, dan sifatnya yang baik hati bukanlah kepalsuan.
Dia dibesarkan oleh ibu yang begitu hangat. Ayahnya juga teman dekat Wali Kota Minamimae dan dikenal aktif dalam kegiatan sosial. Kakaknya, walau masih muda, sudah membantu bisnis keluarga tanpa banyak bermain-main.
Hubungan keluarga mereka sangat harmonis. Aku benar-benar iri.
Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku menerima hadiah dari seorang laki-laki, ya?
Dulu, banyak laki-laki yang mencoba mendekatiku. Ada juga yang mencoba memberiku hadiah secara memaksa. Tapi aku selalu menolaknya dan bahkan mengembalikannya. Aku tidak pernah percaya pada laki-laki yang memperlakukanku seperti piala atau penghargaan.
Karena itulah, aku sendiri pun terkejut saat menerima hadiah dari Senpai di pusat permainan tanpa ragu sedikit pun. Tentu saja, aku sadar aku sudah mempercayainya sepenuh hati dan menyukainya. Tapi yang membuatku terkejut, aku tidak merasa perlu sedikit pun untuk waspada terhadapnya.
“Oh iya, aku harus merayakan naskah novelnya Senpai.”
Sekalian juga sebagai ucapan terima kasih untuk boneka ini.
Aku teringat ucapan Senpai, bahwa aku tidak perlu terburu-buru. Kata-kata itu mungkin adalah penyelamat bagi diriku yang selama ini selalu dituntut untuk menjadi sempurna oleh lingkungan sekitar.
“Tidak harus sempurna. Selama aku bisa terus maju bersama dia, itu sudah cukup, kan?”
Sambil memeluk boneka yang kini menjadi harta berhargaku, aku pun tertidur dalam kebahagiaan.
Chapter 147 – Amada Miyuki:
—POV Miyuki—
Aku gemetar di kamar sendiri. Air mata tak berhenti mengalir.
Tanpa menyalakan lampu, tanpa makan, aku hanya bisa mengurung diri dalam kamar.
Aku terus mengingat kejadian semalam.
*
Aku dibawa oleh Guru Mitsui ke rumah sakit tempat ibuku dirawat.
Kenapa aku, yang sedang dalam masa skorsing, harus datang bersama guru sekolah? Dari awal, ibu tampak waspada. Setiap detik menuju rumah sakit terasa seperti sedang berjalan ke tiang gantungan.
Guru menjelaskan situasinya secara datar dan perlahan. Semakin jauh penjelasan itu berlangsung, semakin dalam ibuku menghela napas, tubuhnya bergetar. Kenapa hal yang kulakukan harus membuat ibu menderita sampai sejauh ini?
Tidak hanya ibu. Aku juga telah menyakiti ibu dari Eiji, yang selama ini begitu baik padaku.
"Begitu ya. Mungkin kamu punya alasan sendiri. Tapi aku tidak punya kewajiban ataupun niat untuk mendengarnya. Aku tidak ingin semakin membencimu, jadi tolong, jangan beri alasan yang aneh-aneh."
Kata-kata ibu Eiji terus terngiang di kepala. Bahkan saat aku diam-diam bertemu dengan Eiji, aku merasa itu seperti kutukan. Tapi ternyata, bukan itu. Bukan kutukan. Akulah yang telah membuat wanita sebaik itu mengucapkan kata-kata sekeras itu. Aku sendiri yang memaksa mereka ke titik itu.
Kalau aku melihat ibu, aku akan tahu jawabannya.
Dia mencintaiku seperti anak kandung sendiri. Aku punya dua ibu yang berharga, namun karena kebodohanku, aku justru membuat mereka berdua menderita.
Kata-kata tajam sering kali lebih melukai orang yang mengucapkannya. Saat aku melihat ibu menangis, menyembunyikan wajahnya di bantal rumah sakit, aku menyadari itu. Selama ini, aku hanya memikirkan diriku sendiri.
Aku telah gagal menyadari bahwa dua orang yang paling penyayang dalam hidupku lebih terluka daripada aku sendiri.
Akulah yang memaksa mereka untuk mengucapkan penolakan yang menyakitkan.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku juga tidak tahu bagaimana menebus semuanya. Eiji juga begitu. Dia adalah orang yang pertama kali membuatku tersenyum lagi setelah kehilangan ayah. Orang yang begitu berarti bagiku.
"Eiji itu memang teman masa kecilku… tapi dia orang yang menyebalkan, seperti penguntit, pacar kasar yang paling buruk."
"Bukan begitu. Aku hanya… tidak ingin kenangan kita ternoda lebih jauh. Aku pikir, lebih baik kalau kita tidak saling berhubungan lagi. Demi kebaikan kita masing-masing. Aku tidak ingin semakin membencimu."
Aku mengingat kembali kata-kataku yang sangat buruk… dan kata-kata Eiji yang seharusnya boleh saja membenci dan menyalahkanku karena dia korban, tapi dia tetap memilih bersikap lembut.
Jangan, Eiji. Kenapa kamu begitu baik? Kamu berhak marah, berhak mencaci, bahkan menamparku, dan aku pun tidak akan mengeluh. Kenapa kamu malah membenarkan kenangan kita?
Padahal aku pacar dan sahabat masa kecil terburuk yang pernah ada.
Kamu bilang kamu menghargai kenangan itu? Tidak bisa begitu. Itu harus kamu tolak. Kenangan itu pantas dibuang. Aku telah melakukan hal yang sangat menyakitkan.
Ichijou-san bahkan baru mengenalmu sebentar, tapi dia sudah menjadi orang yang benar-benar mengerti kamu. Sementara aku, yang bersamamu selama sepuluh tahun, tidak pernah benar-benar memahami kamu. Aku ini sungguh rendah.
Maaf. Mungkin aku hanya mencari seseorang untuk bersandar. Eiji, kamu terlalu baik. Kamu jadi korban karena aku menempel padamu.
Maaf karena tidak bisa mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Maaf karena telah mengkhianatimu. Maaf karena aku tidak tahu balas budi. Aku ingin bertemu. Hanya untuk satu kata saja. Biarkan aku minta maaf. Biarkan aku menebusnya.
Dan arahkanlah kemarahanmu kepadaku. Aku tahu ini sudah terlambat. Permintaan maafku tidak akan menyelesaikan apa pun. Bahkan mungkin hanya akan menyakitimu lebih dalam.
Sebagai langkah pertama, aku memutuskan untuk menghadapi ibuku.
Chapter 148 – Amada Miyuki dan Ibunya:
Aku melangkah mendekat ke arah Ibu.
Sudah tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Sebanyak apa pun aku mencoba menutupi, semua hanya akan terdengar sebagai alasan.
Itulah sebabnya, aku hanya bisa meminta maaf dengan jujur.
“Ibu, maafkan aku.”
Dari Ibu, aku merasakan penolakan yang hampir seperti rasa jijik.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan…? Diam-diam menyelinap ke sekolah saat masih dalam masa skorsing… mencoba bunuh diri. Apa kamu ingin menyiksa Eiji lebih jauh lagi? Setelah semua hal keji yang kamu lakukan padanya, berapa kali lagi kamu ingin memberinya luka yang tak akan pernah sembuh?”
Kata-kata yang tadi sempat diucapkan oleh Ichijou-san kini terdengar kembali dari mulut Ibu.
“Aku… aku bahkan tidak sempat memikirkan semua itu. Aku hanya takut kehilangan segalanya. Selama ini aku hidup sebagai siswa teladan. Aku takut semua usaha yang sudah kulakukan akan hilang begitu saja…”
Lalu aku pun sadar, bahwa selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Yang kutakutkan hanyalah kehilangan semua yang telah kubangun selama ini. Dalam kekhawatiranku itu, tak ada Eiji, tak ada Kondo-senpai, dan tak ada Ibu. Hanya aku sendiri.
Tadi, di atap sekolah, Ichijou-san yang menghentikanku justru lebih memikirkan Eiji daripada dirinya sendiri. Dia tahu bahwa dia bisa jadi sasaran perundungan berikutnya, bahwa reputasinya bisa hancur. Tapi meski begitu, dia tetap memilih untuk mendukung Eiji.
Dia lebih memedulikan Eiji dibandingkan aku, yang sudah mengenalnya sejak kecil—aku, yang telah mengkhianatinya. Hanya dengan mengingat itu saja, rasa rendah diriku terasa semakin menusuk.
“Akhirnya, kamu memang dari awal sampai akhir hanya peduli pada dirimu sendiri, ya, Miyuki. Sepertinya kamu tidak pernah benar-benar mencintai siapa pun. Dan sekarang, apakah kamu bisa mencintai siapa pun setelah ini?”
Ibu berkata dingin. Kata-kata itu perlahan-lahan menancap dalam di hatiku. Dan aku sadar, aku bahkan belum sepenuhnya mengerti makna sebenarnya dari kata-kata itu.
Ibu seakan berkata bahwa—jalan ke depan hanyalah neraka.
“Kalau begitu, aku harus bagaimana agar…”
…bisa dimaafkan? Aku hampir menanyakan itu, namun segera menutup mulutku.
Bahkan untuk menanyakannya pun, aku tahu aku tidak pantas.
“Tadi, aku sempat menelepon keluarga Aono,” lanjut Ibu, dengan suara datar seperti sedang menyampaikan fakta. Seakan ingin mengatakan bahwa kami kini tak lebih dari orang asing.
“…”
Aku takut mendengar jawabannya. Bukankah dulu Ibu dan Ibu Eiji cukup akrab?
“Permintaan maafmu tidak diterima. Itu wajar. Mengenai perundungan dan fitnah yang kamu bantu lakukan pada Eiji, mereka tampaknya berencana untuk menuntut ganti rugi.”
Ganti rugi. Mendengar kata itu, aku bisa merasakan suhu tubuhku langsung turun drastis.
“…”
Hampir menangis, aku hanya bisa menunggu kelanjutan kata-kata Ibu.
“Sebagai walimu, aku bertanggung jawab. Dan aku akan menunaikan tanggung jawab itu sepenuhnya. Aku akan menyediakan jumlah ganti rugi sesuai permintaan keluarga Aono. Meski harus menjual rumah sekalipun. Kalau sampai masuk ke pengadilan, itu akan menambah beban keluarga Aono yang selama ini telah banyak membantu kita. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Menjual rumah. Rumah yang Ibu bangun dengan susah payah dari kerja kerasnya—akan hilang. Kesadaran itu mengguncang tubuhku dengan beratnya kesalahan yang kulakukan.
“Maafkan aku.”
Aku hanya bisa meminta maaf.
“Aku rasa kamu belum benar-benar mengerti beratnya dosa yang kamu lakukan. Aku bilang ingin menyampaikan permintaan maaf langsung ke Eiji, tapi ibunya bilang begini—‘Kami tidak ingin bertemu dengan mereka lagi. Kami tidak ingin membuat Eiji mengingat Miyuki. Jadi, tolong hentikan semua bentuk komunikasi.’ Miyuki, kamu telah melakukan hal seburuk itu. Pahami baik-baik betapa beratnya dosa yang kamu pikul.”
Kata-kata itu terdengar seperti suara air dingin yang secara perlahan menarikku kembali ke kenyataan yang pahit.
Chapter 149 – Terbongkarnya Arogansi Anggota PTA Monster
POV Ibu Aida
Aku meninggalkan sekolah. Aku tidak pernah membayangkan akan dipermalukan seperti ini.
Kenapa aku harus menerima penghinaan sebesar ini? Lagipula, tidak seharusnya seorang guru berkata kasar seperti itu kepada wali murid.
Bukankah aku ini adalah pelanggan bagi sekolah ini? Tapi mereka memperlakukanku seolah-olah aku ini penjahat…
“Diam, dasar nenek cerewet.”
Kata-kata dari anakku itu tidak bisa lepas dari kepalaku. Selama ini, dia adalah anak yang bisa kubanggakan. Saat SMP, nilai akademisnya selalu di peringkat atas. Sejak kecil, dia berprestasi di bidang sepak bola, dan tahun ini pun sudah masuk bangku cadangan tim utama. Katanya, kalau beruntung, tahun ini mereka bisa lolos ke turnamen nasional, karena ada senior bernama Kondo yang katanya sangat berbakat. Tapi ternyata, senior itu bukan orang baik. Kudengar ayahnya anggota dewan kota bernama Kondo juga, dan kini tengah tersandung skandal besar di internet. Pantas saja, cara mendidiknya pun pasti buruk. Jadi semua ini pasti salah mereka.
Padahal…
Anakku hanya ditipu oleh senior klub dan pacarnya, lalu terseret dalam aksi perundungan.
Putraku adalah korban—tapi mereka malah memperlakukannya seperti pelaku. Sekolah akan menghukumnya? Itu tidak masuk akal.
Ini adalah kesewenang-wenangan sekolah. Waktu SD dan SMP dulu, semua selalu ditangani dengan baik.
Tapi kali ini, meski aku sudah datang langsung dan memprotes, mereka bahkan tak mau mendengarkanku.
Ini benar-benar tidak bisa diterima.
“Benar! Kalau begini, aku akan ungkap semua kelakuan sewenang-wenang sekolah ini di internet. Tadi mereka memperlakukanku dengan keterlaluan. Lagipula, posisi kami ini korban—pasti banyak yang simpati dan membela.”
Untung saja, aku diam-diam merekam percakapan tadi.
“Benar, kalau aku unggah ini di media sosial, pasti semua orang akan mendukungku.”
Ke Minstagram—SNS tempat berbagi foto dan video.
Aku segera mengunggahnya ke akunku.
*
Judul:
Putraku terlibat dalam kasus perundungan yang kini sedang menghebohkan sekolah. Padahal, dia hanya tertipu oleh seniornya yang jahat. Putraku adalah korban. Tapi pihak sekolah malah memperlakukannya dengan sangat buruk. Ini buktinya.
Mohon bantuan dan dukungan kalian untuk menyelamatkan putraku.
*
Setibanya di rumah, aku langsung mengecek akunku. Respon yang datang sangat banyak—bahkan lebih banyak dari yang pernah kulihat sebelumnya.
“Benar kan, aku tidak salah.”
Penuh harapan, aku mulai membaca kolom komentar.
“Eh…”
Tapi responnya… sangat berbeda dari yang aku harapkan.
“Wakasek dan guru Takayanagi keren banget. Argumen mereka sangat logis.”
“Monster parent ini beneran dilibas habis wkwkwk.”
“Baru kali ini lihat orang bilang ‘pelaku bullying juga punya masa depan’ dengan muka serius.”
“Lihat dari cara ibunya ngomong aja, langsung ngerti kenapa anaknya bisa jadi pelaku.”
“Sekolah mungkin terlalu keras, tapi semua yang mereka bilang adalah fakta. Dan bullying kali ini katanya korban malah difitnah total, kan?”
“Inilah arti sebenarnya dari ‘pencuri yang galak’.”
“Aku bahkan orang luar tapi jijik banget sama reaksi si ibu ini.”
“Sekolah macam ini justru bikin aku percaya kalau pendidikan masih punya harapan.”
Mayoritas komentar malah menyerangku. Aku panik dan buru-buru menghapus unggahannya.
“Ini pasti sudah cukup. Lagipula, akun ini tidak punya banyak pengikut.”
Aku menenangkan diri dan mulai menyiapkan makan malam.
**
Sementara itu, di tempat lain…
“Eh, dia panik terus hapus postingannya ya?”
“Tenang aja, sudah ku-save lengkap dengan gambar dan audionya kok.”
“Ini bakal jadi badai besar.”
Tak pernah kubayangkan, kini akulah yang akan menjadi sasaran kebencian di internet.
Chapter 150 – Persiapan Eksperimen Endo
POV Endo
“【Berita Duka】Orang Tua Monster terbakar karena bilang ‘yang dibully juga salah’”
“‘Korban bullying juga punya masalah?’ ‘Lindungi masa depan pelaku?’ Bro, ini tempatnya buat ngomong: lu siapa ngomong begitu hari ini?”
“【Dengan Bukti】Orang tua dari pelaku utama bullying. Posting teori egois di medsos, terbakar, lalu kabur hapus unggahan”
Setelah pelajaran selesai, aku iseng mencari kabar terbaru soal klub sepak bola dan melihat kalau rupanya, ibu dari Aida—yang jadi eksekutor utama kasus bullying—telah mengancam sekolah, dan entah kenapa, malah mengunggah rekaman percakapan itu ke media sosial.
Akibatnya, unggahannya langsung viral dan dibanjiri hujatan. Dia buru-buru menghapusnya, tapi sudah terlambat—api sudah terlanjur membesar.
Karena menggunakan akun asli, identitasnya langsung terbongkar, dan kini situasinya makin kacau.
“Seriusan, mereka ini lagi ngapain sih…”
Meski dia musuh, aksi sebodoh itu bikin aku juga ikut pusing.
Setelah blunder besar dari keluarga Kondo tempo hari, opini publik yang sudah mulai berpihak pada Aono semakin kuat. Dan kali ini, semuanya jadi titik balik yang menentukan.
Sepertinya, waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan nama baik Aono tidak akan lama lagi.
“Ya sudahlah. Mereka akan jatuh dengan sendirinya. Aku fokus saja ke persiapan eksperimen.”
Hari ini aku akan bantu Aono dengan kelas tambahan. Setelah berdiskusi dengan guru pembimbing, kami memutuskan untuk melakukan eksperimen sublimasi yodium. Eksperimen itu menarik dan hasil visualnya juga cukup cantik.
Kemarin, aku sudah menonton ulang video eksperimen itu di situs video, dan gurunya juga akan ikut memantau langsung. Teman-teman klub juga, setelah tahu faktanya, tidak menunjukkan prasangka apa pun pada Aono. Bahkan mereka dengan senang hati mengorbankan waktu klub untuk membantu.
Selain itu, Ichijo-san juga akan ikut hadir. Fakta ini bikin anak-anak di klub sains yang semuanya laki-laki langsung heboh. Bukan karena ada yang berharap bisa PDKT—semua tahu kalau dia dan Aono saling menyukai—tapi karena bisa eksperimen bareng gadis tercantik di sekolah itu tetap sesuatu yang menyenangkan.
Aku juga senang akhirnya bisa membantu Aono secara terbuka.
Kalau diingat lagi, waktu aku dulu masih dipenuhi ketidakpercayaan terhadap orang, yang mendorongku untuk bergabung ke klub ini adalah Aono dan Imai.
Klub sains ini memang kecil, tapi sangat hangat dan kekeluargaan. Sekarang, ini adalah ruang yang sangat berharga bagiku. Gurunya juga sudah tua dan ramah, tipikal kakek baik hati yang mau pensiun.
“Permisi. Saya datang untuk bantu kelas tambahan, Pak.”
Di ruang persiapan eksperimen, si guru sedang menonton talk show di TV kecil.
“Oh, terima kasih. Aono dan yang lainnya juga akan segera datang, jadi mari kita siapkan dulu, ya.”
Tapi guru itu tampaknya masih ingin menonton sebentar lagi. Dia belum juga mematikan TV-nya.
"Kasus bullying yang ini pasti akan jadi contoh ke depannya. Ini bukan sekadar ‘bullying’. Kalau ada kekerasan fisik, itu bisa jadi pemukulan atau penganiayaan. Kalau sembunyikan barang milik orang, itu pencurian. Kalau maki-maki di media sosial, itu penghinaan atau pencemaran nama baik. Pelecehan seksual? Apalagi itu. Semuanya jelas-jelas tindak kriminal. Dulu sekolah memang berusaha menyelesaikannya sendiri, tapi itu jelas keliru.”
“Tapi, bagi generasi kami… rasanya agak sulit diterima…”
“Memang mungkin begitu. Tapi kenyataannya, banyak siswa yang benar-benar bunuh diri atau putus sekolah karena bullying. Jadi, sudah waktunya masyarakat sadar dan berubah.”
Biasanya acara TV seperti ini hanya berisi gosip selebriti, tapi topik ini rupanya menarik perhatian banyak orang. Mungkin karena banyak penontonnya adalah orang tua atau kakek-nenek. Acara ini sampai memberikan segmen khusus yang cukup panjang. Bahkan ada orang tua korban bullying yang diwawancara.
“Kalau saja waktu itu ada guru atau teman yang membela anak saya. Kalau saja ada orang dewasa yang dengan jelas berkata ‘bullying itu kriminal’. Mungkin anak saya masih hidup sekarang. Saya terus berpikir seperti itu sejak berita ini muncul.”
Kata-kata itu terdengar seperti jeritan kesakitan.
Kalau waktu itu Aono memilih jalan yang salah, mungkin aku juga tidak akan bisa bangkit.
“Endo-kun, kamu sudah berjuang dengan sangat baik.”
Guru tua itu akhirnya mematikan TV, lalu berbicara tanpa menatapku.
“Eh…?”
“Aku tidak akan sebutkan soal apa, ya. Soalnya bisa jadi masalah. Tapi kamu tahu maksudnya. Bisa berada di sisi orang lain saat mereka mengalami masa sulit adalah hal yang sangat berharga. Pertahankan hubungan itu baik-baik, ya.”
Kata-kata hangat itu membuatku nyaris menangis. Dengan suara bergetar, aku menjawab pelan,
“Iya…”
Dan guru itu pun akhirnya menoleh, lalu tersenyum dengan lembut.
Post a Comment