NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 131 - 140

 Chapter 131 – Kehancuran Keluarga Anggota Klub Sepak Bola Tertentu:


—POV Anggota Klub Sepak Bola (Aida)—

Aku diberi sanksi skors dari sekolah dan mengurung diri di kamar.

Keluargaku mulai mencurigai sesuatu, tapi aku mengabaikannya dan tidak keluar dari kamar sama sekali. Katanya, malam tadi sekolah menghubungi rumah.

Ibuku terus mengetuk pintu. Tapi aku sudah mengunci pintu kamar dan bersikap benar-benar tidak peduli.

“Ibu dapat telepon dari sekolah. Ini maksudnya apa? Kamu ngebully teman sekelasmu? Katanya juga kamu merusak barang-barang sekolah. Sudahlah, buka pintunya. Setidaknya jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi. Kata gurumu, kamu mungkin bakal dikeluarkan dari sekolah.”

Mendengar kata-kata itu, pikiranku jadi kacau. Sampai SMP aku dikenal sebagai murid teladan. Nilai bagus, jago main bola, anak kebanggaan yang seimbang dalam akademik dan olahraga. Tapi sekarang? Aku ngebully teman sekelas, diskors dari sekolah, dan tinggal menunggu hukuman. Wajar saja kalau mereka syok. Tapi aku terlalu takut untuk menjelaskan apa pun. Karena jujur saja, aku sendiri nggak tahu kenapa semua jadi seperti ini. Aku cuma ikut arus dalam klub sampai detik terakhir.

Sampai hampir dihukum pun, aku nggak benar-benar merasa kalau aku berbuat salah. Aku benar-benar percaya bahwa Aono adalah si jahat, dan kami berhak melakukan apa pun padanya. Aku merasa seperti pahlawan. Tapi sejak dipanggil oleh Guru Takayanagi, keyakinan itu mulai runtuh sedikit demi sedikit. Tapi aku pikir, selama anak-anak klub sepakat untuk menutupi semuanya, pasti aman.

Setelah kasus Kondo-senpai terbongkar, kepercayaan diriku ikut goyah. Dan akhirnya, dia pun ditangkap polisi. Semuanya sudah berakhir. Sekarang aku bahkan nggak paham kenapa dulu bisa percaya orang kayak dia. Aku pasti akan dikeluarkan dari sekolah. Tadi aku cari info di internet, mungkin aku bakal dituntut sama Aono dan kasus ini dibawa ke pengadilan. Kalau sampai sejauh itu, aku bisa dituntut ganti rugi, dan reputasiku bakal hancur total.

“Bukan gitu… bukan gitu…”

Seperti orang yang rusak, aku terus menggumam begitu.

Aku ingin bilang bahwa aku ditipu. Tapi wajah Aono di hari itu, saat dia diliputi keputusasaan, terus menghantuiku. Seolah dia berkata, “Aku takkan pernah memaafkanmu.” Rasanya aku mau gila.

Kenapa semua bisa jadi begini…

Semuanya salah Kondo dan Amada. Kalau saja mereka nggak menipu kami, semua ini nggak akan terjadi. Aku bisa lulus SMA dengan normal. Aku nggak akan mengalami penderitaan seperti ini.

“Sudah cukup, buka pintunya. Ibu nggak akan tahu apa-apa kalau kamu nggak ngomong!”

Ini semua salah mereka! Mereka yang menghancurkan hidupku!

“Diam, dasar nenek sialan!”

Aku membentak dan membuka pintu dengan keras. Ibu yang menempel di pintu terdorong dan jatuh ke lantai. Wajahnya… terlihat begitu sedih. Aku belum pernah melihat ibu dengan ekspresi seperti itu. Aku sadar—aku telah melampaui batas. Tak ada jalan kembali.

“Kenapa…”

Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku tak bisa mengatakan apa pun dan langsung menutup pintu, lalu menguncinya lagi. Dari luar terdengar suara tangisnya yang pecah. Rasa bersalah menelanku bulat-bulat.

Karena aku pelaku langsung, hukuman berat pasti menantiku. Tak bisa dimaafkan. Aku tak bisa memaafkan. Kondo… dia tak bisa dibiarkan begitu saja. Aku akan menyeretnya ke neraka bersamaku.

Karena dulu aku begitu mengaguminya seperti dewa, sekarang kebencian ini membara sebagai balasan.

Orang seperti Kondo yang mempermainkan hidup kami… tidak akan pernah kuampuni.

**

—POV Ichijou Ai—

Setelah Senpai pulang, aku baru menyadari ada email dari Kuroi berisi laporan kondisi terkini.

Laporannya dimulai dengan penyelidikan masa SMP Ketua Klub Sastra, Tachibana. Sebagai murid teladan, dia punya rekam jejak yang sangat bagus—menang lomba karangan, slogan, dan banyak penghargaan lainnya.

Nilainya pun selalu tinggi.

Kalau dilihat sekilas, tak ada yang mencurigakan.

Tapi saat aku melihat daftar teman seangkatan Tachibana yang juga masuk ke sekolah kami, aku merasakan hawa dingin menjalar di punggung.

“Ketua Tachibana seangkatan dengan Kondo dan Endo-san? Tapi Endo-san itu seangkatan dengan Eiji-senpai, kan… Jadi Endo sempat mengulang tahun atau sempat gap year? Kalau aku selidiki lebih lanjut, pasti akan terungkap sesuatu. Tetap saja… ada yang aneh.”

Untuk mencari kebenaran, aku pun meminta Kuroi melakukan penyelidikan.

Menyelidiki hubungan sosial Tachibana, Endo, dan juga Doumoto Yumi-san. Karena dari sana, aku yakin semuanya akan terungkap.

Demi menemukan harapan, aku memutuskan membuka kotak Pandora itu.


Chapter 132 - Endo dan Yumi:

—POV Endo—

Aku mengerjakan tugas. Soal tata bahasa Inggris, huh. Aku memang lemah dalam hal beginian.

Banyak hal terjadi akhir-akhir ini, membuatku sangat kelelahan. Mungkin ini adalah minggu paling padat dalam hidupku.

Karena agak lelah, aku menyalakan TV. Acara berita sedang tayang.

“Saluran mana pun yang kubuka, semuanya soal Anggota Dewan Kondo. Di internet juga, beredar banyak meme dan video kocak.”

Seperti yang kuduga, ayah Kondo sudah jadi bahan olok-olok netizen. Nama Kondo juga sudah tersebar, akun media sosialnya jadi sasaran huru-hara. Julukan-julukan seperti "Anak maling uang rakyat", "Warga kelas atas palsu yang sok tahu", dan "Ganteng tapi gak paham hukum" bertebaran. Kini, Kondo sendiri juga jadi mainan internet.

Entah dari mana, fakta bahwa Kondo melakukan perundungan parah juga terbongkar, membuat kehebohan ini makin meluas.

Kondo jatuh karena ulahnya sendiri. Dia menuduh Aono dengan tuduhan palsu dan melemparkannya ke pusaran kebencian. Sekarang, giliran dia yang mengalaminya. Bedanya, Kondo adalah sampah yang tak bisa membela dirinya sendiri. Tak akan ada yang menolongnya.

Anak-anak klub sepak bola juga mudah goyah begitu sedikit ditekan. Mereka hanya memanfaatkan kemampuan Kondo untuk memperindah riwayat mereka, dan demi itu, mereka menjadikannya raja tanpa pakaian.

“Kondo pasti akan pelan-pelan menyadari siapa dirinya yang sebenarnya. Sedikit demi sedikit kehilangan rasa percaya diri, ditampar kenyataan pahit, dan kehilangan segalanya—ketenaran maupun kebahagiaan.”

Aku ingin bilang: Rasain tuh. Itu adalah akhir yang pantas bagi orang yang mencoba merusak hal berharga milikku, bukan hanya sekali, tapi dua kali.

Namun, tetap saja, ada rasa hampa yang tersisa. Pada akhirnya, hidupku jadi berantakan hanya karena orang seperti dia. Menyebalkan…

Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Yumi.

“Halo, Kazuki. Lagi bisa ngobrol?”

Suara khasnya membawaku kembali ke kenyataan. Tadinya aku nyaris tenggelam dalam dunia yang melankolis, tapi suaranya membuat segalanya jadi lebih cerah.

“Iya. Ada apa?”

“Aku capek belajar buat ujian masuk, jadi cuma mau ngobrol sepuluh menit aja.”

“Yakin? Bukannya hari ini kamu udah banyak istirahat?”

“Ih… kamu ini, masa begitu sih ke anak pejuang ujian? Kazuki jahat. Tapi, kalaupun aku sampai gap year dan jadi seangkatan sama kamu, kayaknya nggak apa-apa juga, hehe.”

“Eh? Itu beneran?”

“Yah… sekitar 70% bener.”

“Kalau gitu, lucu juga kalau aku yang nggak lulus ujian.”

“Hmm, bisa juga sih.”

Kami tertawa bersama karena hal sepele. Seperti dulu, percakapan ringan yang terus mengalir.

Yumi ingin masuk universitas swasta di Tokyo. Sekitar 30 menit dari rumah naik kereta, jadi kemungkinan besar masih tinggal di rumah. Entah kenapa aku merasa sedikit lega. Padahal aku sendiri nggak tahu kenapa merasa lega.

“Kalau ujiannya udah selesai, pas libur musim semi kita jalan-jalan, ya!”

“Eh, tapi aku ini masih pejuang ujian lho…”

“Gak apa-apa, kok. Kazuki pasti bisa, kan?”

“Itu kan zaman SMP…”

Aku menutupi rasa malu, tapi senyumku nggak bisa disembunyikan karena senang dipuji Yumi.

Aku bersyukur karena aku baru bertemu Yumi setelah dendamku selesai. Kalau tidak, aku mungkin nggak akan berhasil menjalankan semuanya.

“Oh ya, sebelum tutup telepon, aku mau tanya sesuatu.”

Meski katanya cuma mau bicara sepuluh menit, kami sudah mengobrol dua kali lipatnya. Di akhir, Yumi menambahkan:

“Tadi siang, setelah kita berpisah, aku lihat ada seorang perempuan teriak-teriak di depan stasiun.”

“Oh?”

“Ternyata dia itu Tachibana-san, teman sekelas kita waktu SMP. Ingat, yang sering menang lomba menulis atau resensi buku? Sepertinya dia nggak sadar aku ada di sana. Dia kan satu sekolah sama kamu sekarang. Masih sering ngobrol?”

Di dalam hatiku, terdengar suara klik seperti sebuah teka-teki yang mulai menyatu.

“Nggak, kami beda angkatan juga, jadi udah nggak pernah ngobrol. Seingatku dia ketua klub sastra… ah—”

Ya ampun, kenapa aku baru kepikiran sekarang?

Tadinya, Kondo dan Amada Miyuki nggak punya hubungan sama sekali. Tapi entah kenapa mereka bisa saling terhubung dan bahkan menjalin hubungan. Kasusnya mirip dengan Eri juga. Eri dulu dekat dengan Tachibana sampai tukar-tukaran buku. Kalau begitu, bisa jadi… ada seseorang yang sengaja mempertemukan Kondo dengan Amada.

“Ya udah, aku cuma penasaran aja. Dia tadi terlihat sangat gelisah, jadi aku mikir apa mungkin ada sesuatu yang terjadi. Oke deh, udah malam juga, aku tutup ya. Selamat tidur. Sampai besok.”

“Iya, sampai besok.”

Seperti biasa, kami berjanji untuk menelepon lagi besok. Setelah telepon ditutup, aku duduk dalam keheningan kamar dan bergumam:

“Kenapa ya, setiap kali Kondo bikin masalah, Tachibana selalu ada di dekat korbannya?”

Mungkin, dendamku… belum benar-benar berakhir.


Chapter 133 – Ketua Klub Sastra yang Menyedihkan:

—POV Ketua Klub Sastra—

Aku pulang ke rumah dalam keadaan putus asa, memberi tahu orang tuaku bahwa aku sedang tidak enak badan, lalu mengurung diri di kamar.

Sudah tidak ada harapan. Kepercayaan diriku benar-benar hancur.

Aku kalah dari Aono Eiji. Kalah telak, tanpa sisa.

Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa kulakukan? Menghubungi penerbit dan menyebarkan fitnah untuk menghalangi dia secara fisik? Tidak, itu terlalu berisiko. Kalau begitu, apa gunanya selama ini aku menggerakkan Kondo dan klub sepak bola tanpa mengotori tanganku sendiri?

Kalau begitu, harus bagaimana? Haruskah aku mengakui kekalahan begitu saja? Tidak. Hal pertama yang harus kulakukan adalah mengamankan keselamatanku sendiri.

Balasan terhadap Aono bisa kulakukan kapan saja. Sebentar lagi, klub sastra pasti akan diselidiki juga. Mengenai barang-barang Aono yang sudah kami buang, rencananya kami para anggota akan menyamakan cerita. Selama kami sepakat, semuanya akan baik-baik saja—dan kami sudah siap untuk itu.

Jika kami bilang bahwa saat datang pagi-pagi, ruang klub sudah berantakan dan barang-barang Aono sudah hilang, dan ada surat ancaman anonim yang mengatakan “Kalau kalian bilang ke guru, kalian juga akan di-bully”, maka kami bisa mengklaim bahwa kami punya alasan untuk diam. Pihak sekolah pasti akan menyangka pelakunya adalah anggota klub sepak bola yang sedang lepas kendali.

“Masalah paling merepotkan memang Kondo, tapi untungnya sebelum dia ditangkap, aku sudah menghapus semua data SNS. Aku tidak punya hubungan dengan anggota klub sepak bola lain. Semua percakapan juga sudah kuhapus dari server, jadi tak bisa dipulihkan. Kalau Kondo mencoba menimpakan kesalahan padaku, karena tidak ada bukti, itu hanya akan dianggap sebagai omong kosong penuh putus asa.”

Aku yakin aku bisa lolos dari semua ini.

Karena itu, lebih baik aku tidak gegabah bergerak. Akhirnya, pikiranku mulai tenang.

Sekarang angin masih berpihak pada Aono. Kalau aku nekat bertindak sekarang, pasti akan menimbulkan masalah. Lebih baik menunggu sampai arah angin berubah, baru aku membalas dendam.

Semua masih bisa diatur. Aku tinggal mencari orang baru untuk menggantikan peran Kondo.

Selama aku tidak bergerak sendiri dan tidak mengotori tanganku, segalanya masih mungkin.

“Aku tidak akan pernah memaafkanmu…”

Aku menatap layar tempat ulasan pedas terhadap novelnya terpampang, dan kalimat itu keluar dari mulutku tanpa sadar.

**

—Salah satu tempat di Tokyo (POV Sekretaris Jenderal Ugaki)—

Mobil dinas yang dikemudikan sekretarisku melaju di jalanan Tokyo. Sungguh, Kondo benar-benar merepotkan.

Tapi, ya sudah. Sekarang polisi tidak bisa melakukan apa-apa. Kalaupun dia keluar, tidak akan ada peluang untuk kembali. Biarkan saja, dia akan lenyap sendiri.

Ponselku berbunyi. Dari klien yang menugaskanku kali ini.

“Halo, Pak Perdana Menteri. Apakah semuanya sudah sesuai harapan Anda?”

Suara tua dan parau dari orang paling berkuasa di negara ini terdengar sambil tertawa.

“Ah, sempurna, seperti biasa Ugaki. Berkat manuvermu yang bersih dan tepat, skandal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab dua orang itu saja. Benar-benar seperti membuang ekor cicak. Aku sangat berterima kasih. Di perombakan kabinet berikutnya, sebut saja jabatan yang kamu inginkan. Aku serahkan padamu. Tolong bantu lagi di masa depan.”

Telepon ditutup. Sungguh pria yang tak pernah memikirkan orang lain.

Kami langsung tahu ke mana aliran dana gelap antara Kondo dan kepala cabang partai mengalir. Tapi mereka berdua bukan orang bodoh yang cukup nekat untuk menantang orang paling berkuasa di negeri ini. Mereka hanya bisa pasrah menunggu leher mereka dipotong.

“Menyerahkan segalanya pada orang lain… sungguh, betapa bodohnya.”

Orang lemah hanya bisa bertahan di bawah perlindungan orang kuat. Sekeras apapun Kondo ingin terlihat hebat, pada akhirnya dia memang hanya orang seperti itu.

“Pak Ugaki, soal masalah yang tadi…”

Sekretarisku membuka pembicaraan setelah memastikan telepon sudah ditutup.

“Ya. Jalankan seperti biasa.”

Kami juga mulai bergerak, untuk memanfaatkan kekacauan ini semaksimal mungkin.

**

—Kantor Polisi—

“Lihat ini, Domoto-san. Ternyata benar, ada jebakan di ponsel Kondo. Saat tim forensik menyalakannya seperti biasa, sistemnya langsung menghapus riwayat pesan dari sebuah aplikasi media sosial buatan luar negeri. Sepertinya ada orang lain yang memasang sistem itu demi menyelamatkan dirinya sendiri.”

“Begitu ya. Tapi, kita sudah punya cadangan data-nya, kan?”

“Tentu saja. Bahkan, karena sistem itu aktif, kita justru jadi lebih mudah menyusuri jejaknya. Ternyata, Kondo sering bertukar pesan dengan satu orang secara intens. Dan dari analisis awal, orang itu sangat terlibat dalam kasus perundungan ini.”

“Kalau begitu, kita koordinasi dengan pihak sekolah untuk mengidentifikasi orang itu. Sekolah pasti akan mau bekerja sama dengan aktif.”


Chapter 134 – Awal dari Kehidupan Bahagia dan Kehidupan Terburuk:

―POV Ichijou Ai―

Kemarin aku banyak berpikir, jadi aku kurang tidur.

Tapi, sesaat sebelum tertidur, aku memikirkan Eiji-senpai, jadi aku bisa bermimpi yang sangat membahagiakan.

Aku bangun sedikit lebih awal, merapikan diri, lalu menyiapkan sarapan ringan.

Karena asisten rumah tangga sudah menyiapkan sebagian bahan masakan, semuanya jadi lebih mudah.

Aku memasak sayur untuk dijadikan sup miso dan menggoreng telur. Telur dadar juga bisa jadi lauk bento, jadi sangat praktis.

Hari ini aku memang berniat membuat sarapan khas Jepang, jadi aku sudah menyetel rice cooker sebelumnya.

Untuk makan siang, aku mengisi kotak bekal dengan sisa makanan dan makanan simpel. Kupikir kemampuanku dalam memasak cukup baik. Sejak kecil aku sudah belajar dari ibu dan para asisten rumah tangga. Tapi tetap saja, menyajikannya untuk senpai yang anak dari koki profesional… itu cukup menantang.

"Tapi..."

Kalau aku buat onigiri sederhana, sup miso dalam termos, ditambah telur dadar dan karaage sebagai lauk... mungkin kami bisa piknik bareng?

Musim gugur mulai terasa. Udara mulai sejuk, jadi lebih nyaman untuk bermain di luar.

Meskipun kami biasa bersenang-senang di kafe atau arcade, berjalan-jalan sambil mengobrol juga pasti menyenangkan.

"Sepertinya menyenangkan."

Bahkan hanya berjalan berdua dengannya pun sudah terasa menyenangkan.

Karena aku sedikit kenyang, salmon panggang yang tadinya untuk sarapan kuputuskan untuk dimasukkan ke bento saja.

Setelah makan dan menyiapkan bekal, aku menonton berita pagi selama 10 menit. Seperti yang kuduga, berita hari ini masih dipenuhi soal kasus Kondo. Majalah mingguan juga mulai melaporkan bahwa anak Kondo, anggota dewan kota, ikut terlibat dalam perundungan. Aku harus memastikan Kitchin Aono tidak terseret. Yang terpenting sekarang adalah agar keluarga Aono bisa hidup dengan tenang.

Setelah menyelesaikan sarapan dan mempersiapkan diri, aku pun bersiap.

Mari pergi menemuinya. Meski baru seminggu berlalu, rutinitas ini sudah terasa seperti kebiasaan pagi. Aku pergi ke rumahnya dan kami berangkat ke sekolah sambil mengobrol santai.

Ini adalah waktu yang paling membahagiakan. Dan dia telah berjanji untuk selalu bersamaku.

"Kamu tidak perlu buru-buru. Kalau kamu tidak keberatan denganku... kalau kamu bisa menerimaku... aku akan selalu ada di sisimu. Aku tidak akan pergi ke mana pun, aku janji."

Aku sudah entah keberapa kali mengingat kata-kata itu semalam. Hatiku terasa hangat dan kebahagiaan menyebar ke seluruh tubuh.

"Aku ingin cepat-cepat bertemu..."

Aku berlari kecil menuju rumahnya.

**

―POV Imai―

Pagi itu, saat aku keluar dari rumah, aku melihat teman sekelas Aono sedang menunggu.

"Murata-san, ada apa?"

Murata Ritsu. Gadis yang dulu sekelas saat kami masih kelas 1. Seingatku, dia dekat dengan Miyuki, mereka seperti sahabat.

Tapi bukan itu yang ada di kepalaku saat melihatnya.

Bagi Imai, Murata Ritsu bukan lagi mantan teman sekelas, tapi bagian dari kelompok yang telah menyakiti sahabatnya secara tidak bertanggung jawab. Dengan kata lain, dia adalah musuh.

"Tolong... aku hanya bisa mengandalkan kamu sekarang. Aku ingin minta maaf pada Aono-kun. Aku sudah bicara dengan guru, tapi ibunya menolak. Aku tidak bisa bertemu dengannya. Kalau begini terus, aku... jadi tolong, bisakah kamu menyampaikan ke Aono-kun?"

Dia terlihat panik dan penjelasannya agak tidak jelas. Tapi maksudnya sudah bisa kupahami.

Apa dia benar-benar tidak sadar?

Kalau kau pikirkan lagi apa yang sudah kau lakukan pada Eiji, aku bahkan tidak ingin bertemu denganmu. Kenapa kau tidak bisa mengerti itu?

Tatapanku refleks menunjukkan rasa jijik, dan dia tampak hampir menangis, namun tetap membungkukkan badan dalam-dalam.

"Tolong... aku sudah melakukan hal yang sangat rendah sebagai manusia. Jadi setidaknya, izinkan aku meminta maaf..."

Aku tak bisa menahan desahan napas.

"Imai-kun?"

Dengan suara gemetar, dia menatapku seolah memohon pengampunan.

"Maaf, aku tidak bisa. Eiji masih menderita karena kalian. Dia bahkan belum bisa kembali ke kelas. Ini bukan hal yang bisa diselesaikan dengan permintaan maaf. Dan kurasa... kamu hanya ingin minta maaf demi dirimu sendiri, bukan demi Eiji. Bukankah itu cuma bentuk kepuasan diri?"

Aku berusaha memilih kata-kata sebaik mungkin, tapi tetap terdengar tajam.

"Tapi, aku juga... aku juga ditipu..."

Seperti yang kuduga. Ini adalah 'kesungguhan' versi dia. Aku semakin kesal dan menanggapi dengan dingin.

"Mungkin memang begitu. Tapi semua orang juga diberi informasi palsu. Tapi tetap saja, banyak yang memilih untuk berpihak pada Eiji. Bukan cuma teman lamanya. Bahkan ada gadis yang baru mengenalnya pun tetap membela dia. Pada akhirnya, kamu cuma tidak bertanggung jawab. Kamu seenaknya memutuskan Eiji pantas di-bully, dan melakukan sesuatu yang tidak bisa diperbaiki. Bahkan jika rumor tentang Eiji itu benar pun, tetap tidak ada alasan kalian bisa membenarkan bullying itu."

Mata Murata membelalak. Ia terkejut, panik, dan air matanya mulai mengalir deras.

"Tapi..."

"Maaf. Aku harus ke sekolah. Tolong jangan datang lagi. Pikiranku tidak akan berubah."

Aku tidak akan pernah memaafkan mereka.

Aku meneguhkan tekad itu sekali lagi, lalu melangkah maju.


Chapter 135 – Perundungan Adalah Sebuah Kejahatan:

―POV Takayanagi―

Masalah ini mulai sedikit demi sedikit mengarah pada penyelesaian. Artinya, para pelaku sudah mulai teridentifikasi dan proses penindakan pun mulai berjalan.

Sekolah kembali mengadakan pertemuan umum. Kepala sekolah menjelaskan kasus ini langsung kepada para siswa.

"Pertama-tama, sebagai kepala sekolah, saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada kalian semua. Mengenai masalah perundungan yang dilakukan oleh anggota klub sepak bola, kejadian ini telah mengganggu kehidupan sekolah yang seharusnya damai bagi banyak dari kalian. Saya sungguh menyesal."

Faktanya, hanya sebagian kecil siswa yang menyebarkan hal-hal lewat media sosial atau melakukan tindakan nyata. Namun tetap saja, puluhan siswa akan dikenai sanksi. Oleh karena itu, kepala sekolah memutuskan untuk menyampaikan permintaan maaf secara langsung.

"Namun demikian, kami para guru tidak berniat untuk mengubah kebijakan kami. Kami akan tetap mengambil sikap tegas terhadap para pelaku. Ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada kalian semua: sekeras apa pun alasan yang kalian miliki, perundungan dan pelecehan tidak bisa dibenarkan. Perundungan yang dilakukan dengan pikiran yang sembrono bisa menghancurkan hidup seseorang—dan juga hidup kalian sendiri."

Biasanya para siswa tidak terlalu mendengarkan, tapi kali ini mereka sangat memperhatikan. Mungkin karena mereka merasa ini bisa saja menyangkut diri mereka. Mungkin juga ada yang merasa cemas, takut dirinya akan menjadi yang berikutnya.

"Perundungan adalah kejahatan yang jelas. Bisa dikategorikan sebagai tindak pidana seperti penganiayaan, kekerasan fisik, pemaksaan, pencemaran nama baik, dan lainnya. Dalam kasus kali ini, kami menemukan beberapa contoh yang sangat buruk. Dengan berkonsultasi kepada wali murid korban, kami telah melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian. Tentu saja, pihak sekolah akan bekerja sama sepenuhnya dengan kepolisian. Selain itu, komite independen yang dipimpin oleh pemerintah prefektur juga akan memulai penyelidikan. Ke depannya, setiap siswa yang terlibat akan diproses secara administratif dan dikenakan sanksi yang tegas. ‘Karena teman-teman juga melakukannya’, atau ‘karena dia sendiri mencurigakan’, alasan seperti itu tidak akan diterima."

Ada siswa yang terlihat gemetar. Mungkin karena rasa takut yang tidak bisa mereka bendung. Mereka mulai menyadari betapa beratnya dosa yang telah mereka perbuat.

Para guru diam-diam mengamati siswa-siswa yang menunjukkan gelagat aneh. Meski belum ada kepastian, jika ada kemungkinan keterlibatan, mereka akan menyelidikinya dengan hati-hati.

"Selain sanksi pidana, mungkin juga akan muncul kewajiban membayar ganti rugi dalam bentuk perdata. Kalau sampai itu terjadi, akan sulit bagi siswa untuk menanganinya sendiri. Beban besar juga akan jatuh ke pundak orang tua."

Fakta ini sangat berat untuk para siswa SMA—terutama di sekolah akademik bergengsi seperti sekolah ini. Mereka selama ini hidup dengan citra sebagai siswa teladan. Keluar dari jalur itu pasti menjadi ketakutan besar bagi mereka.

"Dan yang paling harus kita lindungi adalah para korban perundungan. Jika ada di antara kalian yang merasa menjadi korban, tolong laporkan. Kami sadar, seharusnya kami para guru yang lebih peka. Tapi tetap saja, kami adalah orang dewasa dengan keterbatasan. Korbanlah yang paling menderita, yang paling merasa putus asa. Karena itu, meski sedikit, mohon andalkan kami."

Kepala sekolah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Biasanya, tindakan seperti itu bisa dianggap sebagai sandiwara belaka, tapi...

Dia telah menunjukkan tekadnya. Dalam kasus ini pun, dia memperlihatkan sikap tegas.

Ketika diancam oleh anggota dewan kota Kondo, dia tetap tegar dan menolaknya mentah-mentah.

Meski tahu itu akan merusak rekam jejak pribadinya, dia tetap memilih untuk menghukum para siswa yang bersalah dan tetap berdiri pada prinsipnya.

Tekad yang ditunjukkan lewat tindakan itu—terlalu berat bagi siswa SMA.

Udara berat dan suram menyelimuti seluruh aula sekolah.


Chapter 136 – Eiji dan Takayanagi (Lompatan Seorang Murid):

―Ruang Kelas Kosong―

Hari ini jam pelajaran pertama adalah pelajaran Sejarah Dunia yang diajarkan oleh Pak Takayanagi.

Entah kenapa, kami sudah melampaui kecepatan kelas biasa, jadi pelajaran beliau hari ini agak santai dan lebih banyak ngobrol. Kisah-kisah menarik seputar sejarah seperti ini bisa jadi inspirasi buat menulis novel, jadi terus terang aku sangat suka.

Terutama karena Pak Takayanagi ini suka bercanda dan penjelasannya mudah dimengerti, jadi beliau cukup populer di kalangan siswa. Karena aku bisa "memonopoli" guru yang disukai banyak orang ini, pelajaran pun jadi cepat selesai. Kabarnya, Pak Takayanagi juga paling fleksibel dalam hal penjadwalan, jadi dia yang paling sering mengajar di kelas kami. Setelah itu biasanya Pak Kepala Sekolah yang mengajar bahasa Inggris, lalu Wakil Kepala Sekolah untuk pelajaran Bahasa Jepang.

“Oi, Aono. Baru tiga puluh menit, pelajaran hari ini sudah selesai. Gimana ya… Ah, kita dengar saja simfoni yang dibuat Beethoven untuk memuji Napoleon. Seperti yang tertulis di buku referensi, simfoni ini awalnya dibuat untuk memuliakan Napoleon, tapi begitu Beethoven mendengar bahwa Napoleon mengangkat dirinya sebagai kaisar, dia langsung memaki sang kaisar dan merobek halaman pujiannya. Kau suka novel, kan, Aono?”

Pak Takayanagi mulai memutar musik dari ponselnya.

“Iya.”

“Kau tahu Goethe, pengarang Faust?”

“Tahu sih… tapi saya belum pernah baca.”

“Wajar. Saya juga baru sempat baca pas kuliah dulu. Tapi itu luar biasa, lho. Nanti akan saya pinjamkan. Tebalnya lebih dari seribu halaman, tapi sangat menarik dan bikin ketagihan. Bagian akhirnya luar biasa. Kutipan terkenalnya itu, sekali kau dengar pasti tak akan lupa. Kayaknya versi manga-nya juga ada di perpustakaan. Goethe sendiri pernah memberi penilaian soal Pertempuran Valmy yang kita pelajari dari buku tadi. Katanya, 'Hari ini, dari tempat ini, dimulailah era baru sejarah dunia.' Walaupun keabsahannya dipertanyakan, tapi itu menunjukkan betapa pentingnya pertempuran itu."

Jika sedang berdua seperti ini, Pak Takayanagi akan menyesuaikan ceritanya dengan minatku, dan menceritakan sejarah dengan cara yang menyenangkan. Karena beliau tahu aku menulis novel, jadi beliau sering menceritakan kisah para sastrawan.

Dengan itu, pelajaran sejarah pun berakhir.

Aku langsung melihat ini sebagai kesempatan untuk memberi tahu sesuatu pada beliau. Editor sudah bilang kalau aku boleh menceritakan soal ini ke pihak sekolah, jadi aku memang ingin menyampaikannya dengan benar.

“Pak Takayanagi, sebenarnya saya…”

Mungkin karena aku mengatakannya dengan nada serius, beliau langsung terlihat tegang. Aku buru-buru menenangkan diri dan melanjutkan.

“Saya mem-posting novel di internet, lalu saya dihubungi penerbit. Mereka menawarkan saya debut profesional lewat kumpulan cerpen dari tulisan-tulisan saya sejauh ini…”

Karena mendengarnya tiba-tiba, Pak Takayanagi tampak membeku, seperti tidak mengerti.

“Siapa?”

Suaranya terdengar seperti kehilangan tenaga.

“Yah, saya, Pak.”

“Haa!?”

Ada jeda beberapa detik, lalu wajah Pak Takayanagi berubah drastis karena terkejut.

“Jadi, saya ingin melapor ke pihak sekolah. Katanya, pengumuman resminya baru bisa dilakukan menjelang penerbitan…”

“O-oh… Itu hebat sekali. Saya benar-benar terkejut.”

Beliau tampak terkejut, tapi juga tersenyum dengan bahagia.

“Terima kasih. Apakah ini tidak masalah untuk sekolah?”

“Tentu saja tidak masalah. Sekolah kita cukup fleksibel kok, bahkan untuk pekerjaan paruh waktu. Mungkin nanti kamu harus mengisi beberapa dokumen. Tapi tidak ada guru yang tidak bangga dengan keberhasilan siswanya. Punya murid yang jadi penulis profesional itu pengalaman yang langka. Saya benar-benar senang. Rasanya seperti waktu siswa klub yang saya dampingi lolos ke tingkat nasional. Kamu sampaikan sendiri saja ke Pak Kepala Sekolah dan yang lain. Mereka pasti senang juga.”

Biasanya Pak Takayanagi terlihat agak lelah, tapi sekarang dia tersenyum seperti anak kecil. Hanya melihat itu saja sudah membuatku merasa hangat.

“Terima kasih banyak.”

Beliau mengulurkan tangan ke arahku. Gaya bersalaman. Entah kenapa, itu terasa seperti beliau mengakui aku sebagai rekan orang dewasa. Rasanya menyenangkan.

Kami saling menggenggam tangan dengan erat.

**

―Di Lorong Sekolah, POV Takayanagi―

Setelah selesai mengajar, aku keluar ke lorong.

Tanpa sadar, aku berucap pelan.

“Aono… kau benar-benar luar biasa. Aku bangga padamu.”

Dia berhasil bangkit dari keterpurukan, bahkan mungkin sempat berpikir untuk mengakhiri hidup. Tapi kini dia terus melangkah maju. Aku benar-benar bangga padanya. Bisa menjadi guru bagi murid seperti itu, membuatku merasa sangat beruntung.

Karena itu…

Aku ingin mendukung Aono sebaik mungkin. Supaya kehidupan sekolah selanjutnya bisa menggantikan rasa sakit di hatinya dengan kebahagiaan yang baru.


Chapter 137 – Klub Sastra yang Semakin Terdesak:

―POV Salah Satu Anggota Klub Sastra―

Dalam pertemuan seluruh sekolah, kepala sekolah memberikan penjelasan tentang keributan yang terjadi kali ini.

Teman-teman dari klub sepak bola yang aku kenal pun sudah dikenakan sanksi skorsing sementara hingga keputusan akhir keluar, dan mereka sekarang tidak bisa datang ke sekolah.

Pelaku utama insiden ini—senpai Kondō dan Amada Miyuki—juga termasuk.

Aku tak pernah membayangkan bahwa senpai Kondō akan dibuang begitu saja dengan mudah seperti ini. Bukankah ayahnya anggota dewan kota yang punya pengaruh? Dan dia sendiri adalah bintang klub sepak bola. Harusnya dia termasuk orang terkenal yang bisa mengangkat nama sekolah.

Tapi sekolah tetap menjatuhkan sanksi berat, tanpa peduli siapa pun itu. Padahal biasanya sekolah mempertimbangkan nama baik atau menyelamatkan muka. Kenapa kali ini penanganannya bisa secepat dan setegas ini?

Senpai Kondō berada di puncak kasta sosial sekolah. Dia punya aura yang membuat orang tak bisa melawan. Aku mengagumi itu. Meski dia tidak pernah menjadikanku pacar, aku pikir jadi teman main saja sudah cukup. Karena kalau akrab dengan dia, semua orang akan memuji dan memanjakanmu. Status sosialku juga ikut naik.

Tapi sekarang aku sadar, yang namanya “kasta sosial” di sekolah hanyalah permainan anak-anak. Mereka yang tadinya berada di puncak permainan itu, para anggota klub sepak bola, dijatuhkan dengan sangat mudah oleh kekuatan orang dewasa.

Kemudian kepala sekolah melanjutkan pidatonya di atas panggung.

Dia mengatakan bahwa para siswa yang terlibat dalam kasus perundungan ini akan dijatuhi hukuman pidana, perdata, dan juga dari pihak sekolah. Orang tua Aono Eiji sangat marah dan bersumpah akan melawan habis-habisan semua yang telah menjatuhkan anak mereka.

Menakutkan, menakutkan, menakutkan…

Kabarnya, menjelang akhir, banyak pengkhianatan di antara anggota klub sepak bola. Mereka saling menjatuhkan demi menyelamatkan diri masing-masing. Dan aku takut hal itu akan terjadi juga di klub sastra. Mungkin, sudah ada yang mengkhianatiku sekarang.

Kalau itu terjadi…

Bahwa akulah yang mempertemukan senpai Kondō dengan Amada Miyuki. Bahwa aku juga turut menyebarkan fitnah bersama anak-anak klub sepak bola. Bahwa aku membuang naskah dan barang-barang pribadi milik Aono Eiji.

Bagaimana kalau sekolah sebenarnya sudah tahu semua itu, tapi sedang membiarkanku dulu sebelum menjatuhkan hukuman? Kalau begitu, takdirku sudah ditentukan.

Aku mungkin akan tinggal kelas… atau bahkan dikeluarkan. Kalau sampai terjadi, apa yang akan dipikirkan orang tuaku tentangku? Bagaimana kalau aku dituntut ganti rugi? Bahkan, mungkinkah aku juga akan ditangkap seperti senpai Kondō?

Kalau semua itu terjadi… bukankah hidupku sudah berakhir?

Kenapa aku dulu ingin mengganggu Aono Eiji? Kalau tahu akan jadi seperti ini, aku tak akan pernah ikut-ikutan. Menakutkan… menakutkan… menakutkan. Jadi… perundungan itu… kejahatan?

Kenapa tidak ada yang memberitahu hal sepenting itu?

Kenapa aku sendiri tidak mencoba mencari tahu?

Langkah kehancuran itu rasanya mulai terdengar semakin dekat. Tidak apa-apa. Selama semua orang tetap kompak dan sepakat menjaga rahasia, pasti tidak akan ketahuan. Begitu kata ketua klub, Tachibana. Tapi sekarang dia malah tidak masuk sekolah dan menghilang begitu saja.

Terlalu tidak bertanggung jawab. Padahal hidup kami semua bisa jadi berantakan, tapi dia malah…

Aku mulai merasa benar-benar dikhianati.

Seolah tanah di bawah kakiku bergoyang dan siap runtuh kapan saja.

Tidak… aku tidak boleh lemah. Aku harus menjaga diriku sendiri.

Dengan menguatkan tekad, aku berhasil melewati pertemuan seluruh sekolah hari ini.


Chapter 138 – Perubahan pada Ketua Klub:

―POV Ketua Klub, Tachibana―

Aku terbangun. Atau, mungkin lebih tepatnya: aku tidak tahu kapan tertidur. Sampai matahari mulai terbit, aku masih sadar. Mungkin hanya tidur satu atau dua jam saja.

Kepalaku berdenyut hebat. Saat mencoba berdiri, tubuhku terasa sangat berat. Aku juga merasa mual, padahal seingatku aku tidak demam…

“Kenapa…?”

Aku tahu alasannya. Karena rasa kegagalan yang begitu putus asa itu.

Tidak peduli seberapa sering aku mencoba menulis, hasilnya selalu terasa seperti tiruan dari novel milik Aono Eiji.

“Kenapa bisa begini… Aku… sudah tidak bisa menulis lagi…”

Selama ini, menulis novel adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku merasa bangga saat tulisanku dipuji orang lain. Tapi sekarang, perasaan itu berubah menjadi rasa takut yang luar biasa.

Yang paling menakutkan adalah… aku harus mengakui, jauh di lubuk hatiku, bahwa aku mengakui kualitas novel Eiji-kun. Aku membenci diriku sendiri karena menganggap karyanya adalah mahakarya. Aku iri akan bakatnya.

Lalu aku berpikir: Karya orang lain yang luar biasa itu racun.

Kecemburuan, rasa tertekan, dan saat aku membandingkan karya itu dengan tulisanku sendiri, rasa percaya diri perlahan menghilang.

Dan ironisnya… karya itu milik seorang junior… seorang laki-laki.

Tidak… Aku tidak bisa menerima ini. Terlalu menakutkan. Aku tidak ingin mengakui bahwa aku tidak memiliki bakat.

“Aku nggak mau ke sekolah…”

Lalu aku tersadar—ini adalah akhir yang dulu aku harapkan menimpa Eiji-kun.

Bakatnya membusuk, dikhianati oleh orang-orang di sekitarnya, merasa takut akan segalanya, lalu mengurung diri dalam dunianya sendiri dan membuang hidupnya sia-sia.

Tidak… Kalau begini terus, kebencian dan niat burukku akan berbalik menyerangku sendiri.

“Aku harus… bangkit…”

Aku mencoba berdiri. Tapi hanya dengan bangkit dari tempat tidur dan melangkah sedikit, tubuhku sudah tak kuat dan aku terduduk kembali.

“Tidak…”

Tubuh dan pikiranku seolah terpisah. Air mata mulai mengalir begitu saja.

Aku sadar betapa beratnya kebencian yang selama ini kuarahkan pada Eiji-kun. Kenapa aku bisa sekejam itu padanya?

Dan sekarang, dia semakin tinggi, melesat jauh, tanpa pernah sedikit pun peduli pada orang sepertiku yang menyebar kebencian. Dia terus melangkah menuju kebahagiaan, dikelilingi oleh orang-orang yang mendukungnya, karena kebaikan hatinya sendiri. Sebaliknya, aku…

Masih belum terlambat. Soal Kondō-kun, seharusnya sudah berhasil kuakali dengan baik.

Aku tidak akan kehilangan segalanya. Tidak mungkin.

Ibuku membuka pintu. Mungkin karena aku tak kunjung bangun, dia jadi khawatir dan mengecek ke kamarku. Melihatku tergeletak, dia langsung menghampiri dan bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”

“Aku nggak papa. Hari ini cuma agak nggak enak badan. Aku mual… Boleh nggak aku izin sekolah hari ini?”

Ibu mengangguk. Ia bilang akan membuatkan bubur untukku.

Dengan merangkak, aku kembali ke tempat tidur.

Tiba-tiba aku merasa takut… takut bahwa aku tidak akan bisa pergi ke sekolah lagi.

Entah karena tubuhku yang lemas, atau karena keputusasaan ini… aku tidak tahu. Dan aku pun tak ingin tahu.

“Kenapa aku harus mengalami ini…”

Air mata jatuh sendiri ke atas bantal.


Chapter 139 – Bahagia Tapi Sedikit Canggung:

Pagi datang seperti biasa. Sejujurnya, aku hampir tidak bisa tidur.

Kata-kata yang aku ucapkan pada Ichijou-san semalam terus terulang-ulang dalam pikiranku.

"Nggak perlu buru-buru. Kalau kamu nggak keberatan dengan orang sepertiku... kalau kamu mau memaafkanku... Aku akan selalu ada di sampingmu, Ichijou-san. Aku nggak akan pergi ke mana pun. Aku janji."

Begitu aku mengingatnya, pikiranku langsung kosong dan aku mengerang tanpa suara. Itu kalimat yang terlalu puitis dan bikin malu. Maksudku, itu terdengar terlalu berat, kan?

"Kalau dipikir-pikir, itu bahkan bukan sekadar pengakuan... Tapi lebih seperti lamaran... Aku beneran ngelantur semalam..."

Aku langsung merasa ngeri sendiri.

Tapi yang lebih mengejutkan dari kata-kataku adalah apa yang dia katakan setelahnya.

"Iya. Tolong... jaga aku baik-baik, ya."

Jadi... hubungan kita sekarang ini… sudah sejauh mana?

Dalam arti tertentu, jawabannya jauh lebih berat daripada sekadar pengakuan cinta, dan dia menerimanya dengan ekspresi penuh kebahagiaan.

Dengan kepala masih pusing, aku menyelesaikan sarapan dan keluar rumah.

Di sana, Ichijou-san sedang menungguku sambil tersenyum.

“Ah, selamat pagi, Senpai!”

Padahal semalam terjadi hal seperti itu, tapi dia menyapaku dengan senyum yang begitu alami.

“Iya, selamat pagi,”

Aku juga berusaha menjawabnya dengan nada senormal mungkin. Dia sedikit menunduk dan tersenyum kecil, lalu berkata, “Yuk, jalan,” dan mulai berjalan lebih dulu.

Hari ini, dia lebih sedikit bicara dari biasanya. Aku bisa merasakan jelas kalau dia berusaha menghindari topik semalam. Dan aku pun berusaha menyesuaikan diri.

Meskipun lebih banyak diam, aku justru merasa lebih bahagia dari biasanya. Hubungan tanpa kata ini terasa begitu berharga.

Kami melangkah dengan irama yang sama, menuju tempat tujuan yang sama. Fakta itu sendiri tidak akan pernah berubah.

**

―POV Ichijou Ai―

Seperti biasa, aku menunggu di depan Kitchen Aono.

Apa yang harus aku lakukan… Senyum bodoh ini tidak bisa hilang dari wajahku. Aku tahu aku sedang melayang—perasaanku benar-benar sedang tinggi.

Setidaknya, sekarang aku tahu pasti bahwa Eiji-senpai memikirkan dan menyayangiku.

Hanya dengan mengetahui itu melalui kata-kata yang jelas, rasanya aku sudah sangat bahagia.

“Aku sayang kamu…”

Sambil memikirkan sosok yang belum muncul, aku mengucapkan kata itu ke langit. Kata-kata itu perlahan larut di udara, meninggalkan gema yang membuat hatiku terasa hangat.

Dia akhirnya keluar rumah. Aku menyapanya seperti biasa sebisa mungkin. Tapi, aku tidak bisa menatap wajahnya langsung. Kalau aku menatapnya, pasti aku akan langsung teringat kata-kata semalam.

Sejak ibuku meninggal, aku sadar bahwa yang paling aku inginkan adalah satu hal.

Dan aku pikir, Eiji Aono, si penulis jenius, mampu menangkap hal itu jauh lebih dalam dariku sendiri.

Aku ingin sebuah keluarga. Aku ingin dicintai secara murni. Aku ingin mencintai seseorang.

Aku tidak ingin diperlakukan seperti trofi atau perhiasan.

Semua laki-laki yang pernah menyatakan perasaan padaku—termasuk Kondō—hanya tertarik pada penampilanku dan statusku. Di mata mereka, aku hanyalah simbol. Penghargaan.

Diperlakukan seperti "benda" oleh orang yang bahkan belum pernah bicara banyak denganku itu sangat menyakitkan. Rasa terhina dan putus asa itu hanya menambah kesepian yang aku rasakan sejak kepergian Ibu, menggerogoti hatiku perlahan.

Tapi dia berbeda.

Dia memperlakukan aku sebagai manusia. Dia menyelamatkanku dari kesepian.

Setelah mendengar kata-katanya semalam, keberadaannya terasa makin besar dalam hidupku.

Semakin penting dia bagiku, setiap ucapan dan interaksi kecil terasa lebih berarti. Itulah kenapa, aku jadi lebih sering diam.

Tapi, aku tidak merasa tertekan untuk segera bicara. Justru, keheningan ini terasa nyaman.

Dia bilang, kita tidak perlu terburu-buru. Jadi, aku juga ingin perlahan menjadi diriku yang lebih alami. Masa lalu yang menyakitkan, hubungan darah yang membebani, kenyataan yang selalu kuhindari… kalau bersamanya, aku merasa bisa menghadapinya semua.

Dia menyelaraskan langkahnya denganku. Dan aku yakin, tujuan yang kita tuju pun sama. Sifat lembutnya itu… tidak, ini harus kuucapkan dengan jelas.

“Senpai, terima kasih ya, karena selalu menyelaraskan langkah dengan aku.”

Dia tersenyum malu-malu.

“Ah, ketahuan, ya?”

“Tentu saja. Soalnya kita udah bareng terus.”

“Begitu ya…”

“Dan… sifatmu yang lembut itu… aku suka banget.”

Dengan nada sedikit bercanda, tapi penuh rasa terima kasih, kami melangkah maju—dengan kecepatan yang sesuai untuk kami berdua.


Chapter 140 – Tiga Orang yang Mengejar Kebenaran:

―POV Ichijou Ai―

Setelah berpisah dari senpai, aku masuk ke kelas dan mulai menyusun laporan kemarin di dalam kepalaku.

Endo-san dan Doumoto-san adalah teman seangkatan Kondo saat SMP, dan hanya sekitar 10 orang dari SMP mereka yang melanjutkan ke SMA ini. Di antara mereka, yang menarik perhatianku adalah Kondo, ketua klub sastra Tachibana, dan satu orang lainnya.

Endo-san, karena suatu alasan, sempat mengalami masa ronin (menunda masuk SMA selama setahun).

“Menunda masuk SMA saja sudah cukup langka…”

Memang, ada kasus seperti penyakit atau kecelakaan yang menyebabkan seseorang tidak bisa ikut ujian masuk sekolah.

Aku ingat ada satu kalimat yang mengganggu pikiranku, yang kudengar dari percakapan antara senpai dan Endo-san kemarin.

“Doumoto-san sering datang ke sini?”

“Dulu, aku sering ke sini bareng Kazuki dan satu teman masa kecil lagi. Tapi sejak SMP, terjadi sesuatu... Kami sudah lama tidak bertemu lagi.”

Teman masa kecil yang satu lagi itu siapa?

Apakah itu Ketua Klub Sastra Tachibana? Atau Kondo? Atau salah satu siswi lainnya? Atau mungkin siswa yang melanjutkan ke sekolah lain?

Kalau tidak diselidiki, semua ini akan tetap jadi misteri.

Perasaan tidak enak ini semakin kuat. Aku harus cepat menyelidikinya. Aku tidak akan memaafkan siapa pun yang sudah berbuat buruk pada senpai. Aku akan pastikan mereka menebus perbuatannya.

Yang pasti, Klub Sastra harus diselidiki secara menyeluruh. Saat aku menyusup ke ruang klub itu, hampir semua barang pribadi dan naskah milik Eiji-senpai sudah disingkirkan. Saat itu, aku pikir mereka hanya terbawa arus suasana sekolah. Tapi, jika kita mengingat betapa luar biasanya bakat senpai, bisa jadi ada orang-orang yang diliputi rasa iri.

“Kalau begitu, tidak aneh kalau ada yang secara aktif mencoba menjatuhkannya.”

Dan sejak kemarin, ada satu perasaan aneh yang terus menghantui.

Seseorang yang tampaknya berada jauh, tapi sebenarnya sangat dekat dengan semua masalah yang terjadi.

Ketua Klub Sastra, Tachibana.

Satu-satunya siswa yang punya keterkaitan dengan semua hal sebelum insiden ini terjadi: Eiji-senpai, Endo-san, Kondo dari klub sepak bola, Klub Sastra itu sendiri...

Seolah-olah semua masalah ini bermula dari dirinya. Ada rasa tidak wajar yang sangat mengganggu.

**

―Ruang Kelas Kosong (POV Takayanagi)

Saat jam istirahat, aku dipanggil oleh salah satu siswa.

Ketika aku masuk ke ruang kosong yang sudah ditentukan, seorang siswa laki-laki sudah menunggu di dalam.

“Ada apa, Endo? Ini soal pelajaran tambahan Aono nanti sore, atau tentang kasus klub sepak bola? Jujur saja, aku berharap yang pertama.”

Aku mencoba bercanda, tapi mataku tak tertawa.

“Ini sedikit berbeda dari kasus Aono-kun, tapi... ada hal yang mengganjal dan ingin saya selidiki,”

“Ada yang mengganjal?”

“Sebenarnya, kemarin saya melihat Tachibana dari kelas 3 bertingkah mencurigakan di stasiun.”

Endo tampak sangat berhati-hati dalam memilih kata-katanya.

“Ketua Klub Sastra itu? Mencurigakan seperti apa?”

“Sepertinya dia mengikuti Aono Eiji. Dia terlihat panik dan bahkan sempat berteriak.”

Lagi-lagi Klub Sastra… Keterlibatan Amada dengan Kondo juga dimulai dari perkenalan lewat anggota klub sastra. Ini mulai terasa berbau tidak sedap.

“Lalu?”

Aku meminta Endo untuk melanjutkan ceritanya.

“Sensei tahu kan kalau saya sempat menunda masuk SMA?”

Wajahnya langsung menunjukkan rasa sakit. Ini jelas kenangan yang tidak ingin dia ingat. Dari catatan yang aku dapat, dia sempat tidak masuk sekolah karena masalah dengan teman seangkatan. Dalam hal ini, kondisinya mirip dengan Aono.

“Iya. Dan setelah insiden ini, aku menyelidikinya lebih dalam, dan tahu bahwa kau sempat punya konflik dengan Kondo.”

Aku sebenarnya tidak ingin menyebut-nyebut luka lama siswaku. Tapi Endo, meski harus membuka luka itu, tetap memilih untuk melindungi Aono.

“Saat kejadian itu, Tachibana juga ada di dekatnya. Sensei, tolong selidiki Klub Sastra lebih dalam. Saya yakin, masih ada sesuatu yang tersembunyi dalam kasus ini.”

Terpukau oleh kesungguhan si siswa, aku pun mengangguk dan berkata, “Baiklah.”


Previous Chapter | 

2

2 comments

  • Jio
    Jio
    25/6/25 02:38
    Kondo > dipenjara,
    Miyuki > Berakhir di RSJ
    Tachibana > Dikeluarin dari sekolah

    Harapan gw sih gitu.
    Tapi si Tachibana ni yg paling pantas dimusnahkan dari muka bumi ni . Sekiranya d muka bumi ini manusia taknakan hidup tenang hidup berdampingan dengan mahluk yg menyimpan kedengkian.
    Reply
  • Godok
    Godok
    24/6/25 19:59
    Lanjut min saatnya melihat dalang asli tersiksa
    Reply



close