Chapter 161 – Eiji dan Tachibana
—POV Ketua Klub Sastra Tachibana—
Apa yang harus kulakukan? Bagaimana cara memanfaatkan situasi ini?
Otakku yang egois mulai berputar cepat.
Ya, aku hanya perlu meminta maaf. Kalau aku bisa berpura-pura sebagai korban yang termakan rumor palsu...
Dia tidak tahu bahwa akulah dalang dari semua kejadian ini.
Dia adalah anak yang baik. Jika kubermain dengan tepat, mungkin aku bisa membodohinya. Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi?
Lalu aku menyadari bahwa pandangan yang dia arahkan padaku meskipun ia terdiam membeku—ada rasa khawatir di matanya.
Begitu ya. Saat aku masih berpikir tentang menyelamatkan diri, pikiran lain mulai muncul.
Ini memalukan.
Suara laki-laki yang kudengar di gerbang sekolah tadi ternyata adalah Eiji. Jadi, dia yang menyelamatkanku. Kalau begitu, kenapa aku begitu terkejut?
“U-um... Ketua klub Tachibana, Anda tidak apa-apa? Dari tadi Anda tertidur. Sudah dua jam berlalu, lho.”
Jadi itu maksudnya. Ekspresi wajahnya yang rumit itu campuran dari terkejut, waspada, dan khawatir.
“Kau menyelamatkanku, ya. Terima kasih.”
Meski gemetar karena rasa malu, aku tetap mengucapkan terima kasih dengan formalitas yang seadanya.
“Kalau begitu, sepertinya Anda sudah membaik. Syukurlah.”
Dia benar-benar terlihat lega.
Aku masih bisa memanfaatkannya. Begitu kupikir dan hendak membuka mulut...
Namun, justru dia yang lebih dulu bicara.
“U-um, Eh...”
“Ketua, maafkan saya. Sebenarnya, saya sudah mendengarnya.”
Mendengar kata-kata itu, seakan darahku membeku. Apa maksudnya sudah tahu? Keringat dingin mulai membasahi punggungku.
“Eh?”
“Pada hari upacara pembukaan... Saya ada di tempat tidur UKS saat Ketua sedang tertidur. Saya mendengar percakapan Ketua dengan seseorang. Saya tahu... saya tidak punya bakat. Tapi saya sangat berterima kasih karena Ketua sudah banyak mengajari saya. Terima kasih banyak.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Ini sindiran? Atau ini sikap tenang dari seseorang yang sudah pasti akan debut sebagai penulis profesional?
“Apa yang kamu bicarakan?”
Padahal aku tahu betul kalau dia telah mendapatkan segalanya yang kuinginkan. Dia populer di internet, dipuji-puji oleh editor profesional. Tapi dia sama sekali tidak menyombongkan itu, justru bersikap seolah dirinya orang biasa tanpa kemampuan.
Itu bukan sesuatu yang bisa membuatku merasa puas. Ini adalah sikap penuh kelonggaran dari seorang pemenang. Dan lebih dari itu, itu mengandung belas kasihan terhadapku—yang dijuluki “tiruan murahan dari Eiji Aono”.
“Tentang naskah saya yang dibuang… Saya memang masih belum bisa memaafkan itu. Saya masih kesulitan menerima kenyataan. Tapi, saya juga merasa bisa sampai sejauh ini berkat bimbingan dari Ketua. Jadi... saya berterima kasih.”
Dengan santainya, dia menyayat luka lama di hatiku.
Dia mungkin benar-benar menganggapku sebagai Senpai bertalenta yang pernah menang di kompetisi sastra. Penilaian dirinya terlalu rendah. Dan sekarang dia sudah mengumpulkan prestasi yang tidak mungkin bisa kukejar. Ucapan seperti itu dari dia hanya membuatku gemetar karena rasa malu dan iri.
“...cu...kup...”
Rasa malu dan cemburu nyaris membuatku hancur.
Rencana awal untuk minta maaf demi menyelamatkan diri dan mengaburkan masalah klub sastra langsung lenyap dari pikiranku.
“Apa?”
“Cukup sudah! Aku tidak senang dikasihani oleh orang sepertimu! Kamu yang jauh lebih berbakat dariku... meskipun kau mencoba menghiburku, aku tidak merasa senang! Bahkan ucapan terima kasih barusan, dan tindakanmu menyelamatkanku tadi... semuanya hanya menyakitiku! Kenapa kamu bisa dengan tepat menusuk titik lemahnya aku seperti itu?! Aku selalu takut padamu. Aku benci dirimu yang memiliki bakat luar biasa dan akan pergi ke tempat yang tak akan pernah bisa kucapai! Jangan kasihan padaku. Itu hanya membuatku makin kosong!”
Tanpa bisa menahan diri, aku meledak, berteriak seperti anak kecil.
Dia terlihat sedikit sedih, tapi segera mengganti ekspresi wajahnya.
Dari situ aku tahu—dia sudah menganggapku sebagai bagian dari masa lalu.
“Begitu ya. Sayang sekali. Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku harus terus maju. Kalau begitu, saya permisi dulu, ada pelajaran berikutnya.”
Dia mengambil buku pelajarannya dan keluar dari UKS.
Eiji yang aku kenal pasti akan hancur kalau mendengar kata-kata sekeras itu. Tapi sekarang, dia nyaris tidak terlihat terluka. Justru dari ekspresi sedihnya tadi, aku malah merasa seperti dikasihani.
Apa pun yang kuucapkan, tak bisa menyentuh hatinya. Dia hanya menatapku dengan mata penuh belas kasih.
“Aono Eiji...!”
Dengan penuh dendam, aku memanggil nama seorang laki-laki yang seharusnya sudah tidak bisa kugapai lagi.
**
—POV Takayanagi—
Saat aku hendak menuju UKS untuk memeriksa keadaan Tachibana yang sudah membaik, aku tidak sengaja mendengar pertengkarannya dengan Eiji dari luar ruangan.
Tanpa ketahuan, aku buru-buru bersembunyi di balik dinding dan membiarkan Eiji pergi.
Dari cara dia bicara, sudah jelas bahwa dia telah memutus hubungan dengan Tachibana.
Masalahnya sekarang adalah Tachibana. Jika emosi gelap yang dia tunjukkan tadi memang terkait dengan kasus yang sedang kami telusuri, maka kami tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Chapter 162 – Takayanagi vs Tachibana
—POV Ketua Klub Sastra Tachibana—
Tanpa sadar aku mengeluarkan suara keras dan menolak Eiji.
Tidak... Kenapa aku jadi terbakar emosi seperti itu? Padahal, kalau soal bertahan hidup, aku bisa saja memanfaatkannya...
Saat itu aku menyadari bahwa ada garis batas dalam diriku yang tak bisa kulanggar.
Aku pernah meraih hasil baik dalam lomba sastra tingkat SMA. Dalam simulasi ujian masuk universitas bergengsi—yang disebut sebagai pintu gerbang calon novelis profesional—aku selalu mendapat prediksi lolos A dengan kemungkinan 80%. Aku percaya masa depanku akan cerah. Aku percaya aku punya bakat dan kemampuan untuk mewujudkan impian.
Sampai aku bertemu Aono Eiji.
Dan, melalui percakapan tadi, aku disadarkan bahwa jauh di lubuk hati, aku sudah mengakui kekalahanku terhadap jenius bernama Aono Eiji.
Kalau pun... dalam masalah kali ini aku berhasil lolos...
Apa yang akan tersisa untukku?
Mungkin aku akan tetap bisa masuk universitas. Mungkin aku masih bisa menulis novel yang lumayan. Tapi, apakah itu cukup untuk debut sebagai penulis? Dan kalaupun aku debut, bisakah aku benar-benar berhasil sebagai novelis?
Selama ini aku pikir, asal terus berkembang sedikit demi sedikit, suatu hari aku pasti bisa menembus dunia profesional...
Tapi, aku tak merasa mampu bersaing dengan monster-monster seperti Aono Eiji.
Sekarang aku seperti zombie. Masa depan cemerlang yang dulu penuh harapan kini terasa hitam kelam. Sejak kapan? Sejak kapan semua jadi begini?
Padahal dulu aku percaya bahwa aku adalah orang spesial yang berbakat dalam menulis dan bisa mengendalikan orang lain sesukaku. Kenapa aku bisa berakhir begini? Harusnya, saat ini aku yang bermain-main dengan nasib Eiji—yang lebih berbakat dariku.
Sejak kapan aku menjadi pecundang seperti ini?
Sejak kapan aku mulai sadar telah kalah?
Sejak kapan aku menyerah mengejar Aono Eiji?
Percakapan tadi telah membuka kembali luka lama dan membuatnya berdarah tanpa henti.
Kecemasan, iri, dan rasa minder. Hatiku benar-benar porak-poranda.
Tiba-tiba terdengar suara pintu UKS dibuka.
Yang masuk ada dua orang—Bu Mitsui dan... wali kelas Eiji, Pak Takayanagi.
Guru yang bisa dibilang menjadi pihak penanggung jawab atas kasus perundungan ini. Artinya, dia adalah musuhku.
Aku sedang kesal. Pas banget, pikirku.
“Maaf, Tachibana. Kalau kamu masih merasa tidak enak badan, tidak apa-apa kalau mau istirahat dulu... Tapi ada sedikit hal yang ingin kutanyakan. Bisa kuambil waktumu sebentar?”
“Tidak apa-apa. Di sini saja, ya?”
“Tentu. Jawablah sambil tetap berbaring santai.”
Sampai di sini, percakapan masih wajar. Tapi aku tidak mau dia yang memegang kendali. Jadi, aku yang duluan mengambil inisiatif.
“Tidak apa-apa, Pak. Dan saya juga sudah dengar dari anak-anak klub. Katanya Bapak sedang mencurigai kami sebagai pelaku, ya? Siapa pun yang Bapak tanya jawabannya pasti sama. Kami juga tidak tahu kenapa barang-barang Eiji-kun bisa hilang dari ruang klub. Memang, kami menyesal karena sempat percaya pada rumor dan berkata kasar padanya, tapi itu saja.”
Nada bicaraku seolah berkata: “Sudahi saja semua ini.”
Dia hanya tersenyum kecut menanggapinya.
“Begitu, ya. Tapi karena ini hal penting, saya tetap harus menanyai semua yang terkait. Maaf, ya. Tolong bantu saya.”
Jadi begitu cara dia memperdaya klub sepak bola. Wajahnya terlihat ramah dan tanpa niat jahat, tapi diam-diam dia penuh perhitungan.
Bahkan saat menyelidiki klub sepak bola, dia bergerak di balik layar.
Aku sudah mencari tahu latar belakangnya. Dia bukan guru biasa.
Dia jago bermain shogi. Bukan cuma jago biasa—di masa kuliahnya, dia sudah memenangkan banyak gelar amatir. Bahkan sempat menumbangkan beberapa pemain profesional di turnamen terbuka. Sebagai pelatih pun dia hebat. Di sekolah sebelumnya, dia melatih klub shogi sampai menjuarai tingkat nasional.
Dia benar-benar lawan yang menyebalkan.
“Tentu saja, silakan tanya apa saja.”
Sampai di titik ini, aku tahu arah pertanyaannya sudah bisa ditebak.
Aku yakin aku berhasil mengarahkan percakapan ini sesuai keinginanku.
“Begini... Apakah kamu punya dugaan siapa yang mengambil barang-barang milik Aono?”
Tentu. Ini langkah yang sudah kutebak.
“Mungkin anggota klub sepak bola atau seseorang yang bekerja sama dengan mereka.”
“Selain itu?”
Atas pertanyaannya, aku tersenyum.
Maafkan aku, ya.
Aku memutuskan untuk menjalankan rencana cadangan: Rencana B.
“Saya sebenarnya tidak ingin mencurigai anggota klub sendiri, tapi... ada dua orang.”
Chapter 163 – Langkah Buruk Ketua Tachibana
—POV Takayanagi—
Akhirnya, kesempatan untuk bicara langsung satu lawan satu dengan pusat dari semua kecurigaan pun tiba.
Pertengkarannya dengan Aono barusan justru membuat kecurigaanku semakin kuat. Berdasarkan instingku, Tachibana adalah pelakunya.
Dia cemburu pada bakat menulis Aono, lalu memecah hubungan Aono dengan pacarnya, Amada Miyuki.
Hipotesis itu terbentuk dengan sangat mudah.
Tentu saja, itu masih sebatas insting. Tapi sejak zaman aku bermain shogi dulu, aku percaya bahwa sebagian besar instingku benar. Bahkan seorang grandmaster shogi yang aku kagumi pernah berkata, “Insting itu 80% benar.”
Kalau insting ini benar, maka semua hal akan bisa dijelaskan.
Bagaimana Kondo dan Amada bisa saling terhubung. Kenapa Kondo begitu gigih mengganggu Aono...
Kalau semua ini berawal dari rasa iri hati seorang siswi ini, maka seluruh rangkaian peristiwa bisa dijelaskan dengan sangat masuk akal. Meski saat ini hanya ada bukti-bukti situasional, tetapi jika ceritanya sejalur seperti ini, maka kemungkinan besar itu mendekati kebenaran.
Tentu, hanya berdasarkan insting saja, ada risiko salah menilai kebohongan sebagai kebenaran. Dan itulah yang menjadi penyebab banyak masa depan siswa-siswi tergelincir dalam kasus ini.
Karena itu, aku tak boleh terburu-buru memutuskan. Sampai bukti yang benar-benar meyakinkan ditemukan.
“Saya tidak ingin mencurigai anggota klub sendiri, tapi... ada dua orang.”
Mendengar jawabannya atas pertanyaanku, Tachibana tampak seperti sedang membocorkan nama dua “kambing hitam.” Aku tetap skeptis sambil memintanya melanjutkan.
“Dua orang?”
“Ya. Saya tidak bisa menyebutkan nama, tapi saya punya alasan.”
Dengan sikap seperti pemimpin klub sastra yang bijaksana, dia melanjutkan penjelasannya.
“Baiklah, coba jelaskan.”
“Pertama adalah siswa perempuan yang pernah diisukan pacaran dengan Kondo. Dia seangkatan dengan Amada-san dan mereka cukup akrab. Kalau dia yang mempertemukan Kondo dan Amada, masuk akal, bukan?”
Dia berbicara dengan logika tersusun dan sikap percaya diri yang menyebalkan.
“Ya, masuk akal. Lalu yang satu lagi?”
Aku berpura-pura setuju, untuk memancingnya agar menggali lubang sendiri. Meski nama pertama terlihat masuk akal, ada satu masalah mendasar.
“Satunya lagi adalah siswa kelas satu yang tiba-tiba berhenti datang ke klub sejak kasus ini mencuat. Mungkin dia merasa bersalah akan sesuatu, makanya menghilang begitu saja.”
Hmm, ya. Memang bisa juga dijelaskan seperti itu. Sepintas, penjelasannya terdengar masuk akal—tapi tetap saja ada yang janggal.
Akhirnya, cuma anak SMA juga.
“Baiklah. Kalau begitu, kami akan coba selidiki lebih lanjut. Terima kasih, meski kamu sedang tidak enak badan.”
Mungkin dia merasa telah berhasil mengelabui kami. Wajahnya terlihat sedikit lega.
Tapi begini, Tachibana...
Kenapa hanya kamu yang tahu informasi mencurigakan itu?
Kenapa tidak ada anggota klub sastra lainnya yang memberitahukannya pada kami?
Itu sangat tidak wajar, bukan?
Itulah kesalanmu. Terlalu jelas, terlalu terkesan dibuat-buat, seperti kartu as yang disimpan untuk saat genting. Naluriku sebagai pemain shogi mengatakan demikian.
Chapter 164 – Para Pelaku yang Mulai Hancur
—POV Ketua Tachibana—
Setelah selesai diinterogasi, aku kembali mengikuti pelajaran. Teman-teman sekelas tampak khawatir karena aku sempat lama absen.
Syukurlah, sepertinya belum beredar rumor aneh. Itu artinya, informasi bahwa klub sastra sedang diawasi ketat oleh para guru belum menyebar ke siswa-siswa lain.
Tinggal aku sebarkan informasi yang menguntungkan posisiku, lalu menjatuhkan para junior yang sudah kusiapkan sebagai kambing hitam. Setelah itu, aku ciptakan opini publik sebagai fakta yang sudah jadi...
Menurutku, ini cara terbaik untuk membalikkan keadaan.
Menyalahkan Hayashi-san, siswi kelas 1, memang sulit. Tapi kalau dia bisa dijadikan tersangka sementara, aku bisa beli waktu. Target utamaku tetap siswi kelas 2 itu.
Dia adalah “aset” yang kusimpan untuk dijadikan tumbal kalau keadaan memburuk. Lagi pula, hampir tidak ada bukti langsung yang menunjukkan keterlibatanku dalam kasus ini. Pesan-pesan untuk Kondo-kun pun sudah kuhapus semuanya.
Dia memang sejak awal adalah jaminan keamananku. Bukan aku yang menghubungkan Amada Miyuki dan Kondo-kun—yang mengenalkan mereka adalah dia.
Juga, bukan aku yang terang-terangan sering terlihat bertemu Kondo-kun. Kalau aku bertemu dengannya, selalu masuk ke lokasi lewat jalur terpisah. Tak pernah sekalipun muncul gosip. Tapi dia berbeda—dia menunjukkan rasa memiliki secara terbuka, dan bahkan sempat jadi bahan gosip. Meskipun katanya sekarang sudah diputuskan, sih.
“Iya, benar. Selama ini aku sudah menyiapkan berbagai asuransi. Sekarang saatnya menggunakannya.”
Seolah mendapat pencerahan, aku mulai menyusun narasi dalam kepalaku.
Siswi bodoh yang menjauh dari Kondo, lalu mengkhianati temannya sendiri. Dia tunduk dan patuh terhadap perintah Kondo, dan ikut terlibat dalam perundungan terhadap Eiji. Aku bisa menyusun skenario yang semua orang akan anggap masuk akal.
Tinggal arahkan kecurigaan juga ke Hayashi-san untuk menciptakan waktu yang kubutuhkan agar “fakta” yang kubentuk bisa mengakar.
Tak masalah. Pihak sekolah belum memulai penyelidikan secara serius. Aku masih punya waktu.
Memikirkan bahwa pertandingan terbesar dalam hidupku sebentar lagi akan dimulai, membuat tubuhku bergetar.
“Kalau sudah begini, aku akan jadi wanita jahat sampai habis-habisan.”
Tanpa sadar, sambil mencatat isi papan tulis ke dalam buku catatan, aku tersenyum dengan ekspresi yang sangat kelam.
**
—Kantor Perdana Menteri—
Saat sedang bekerja di ruang kerjanya, seorang sekretaris berlari masuk dengan wajah panik.
“Perdana Menteri, ini gawat! Tolong lihat ini!”
Sebuah majalah diletakkan begitu saja di atas dokumen. Sang PM tampak kesal, tapi ekspresi sang sekretaris menunjukkan bahwa situasi ini tidak main-main.
Yang dibawa adalah majalah mingguan yang tidak terlalu terkenal—majalah gosip murahan yang biasanya penuh skandal artis. Sang PM belum pernah membacanya. Tapi siapa sangka, api bisa muncul dari tempat seperti itu.
“Dana gelap anggota dewan Kondo—mengalir ke faksi Perdana Menteri? Sumber mengungkap hubungan mesra dengan tersangka!”
Hanya dengan membaca judulnya saja, kemarahan membuncah dari dalam diri sang PM.
“Apa-apaan ini!! Siapa yang membocorkannya?!”
Sang sekretaris pucat pasi, mulai mencari-cari alasan.
“Kami belum tahu. Bisa jadi ini hanya spekulasi media. Jadi tolong tenang dulu…”
“Kau pikir siapa yang bisa tenang di saat seperti ini?! Dengar! Tekan polisi dan kejaksaan kalau perlu! Segera akhiri penyelidikan ini! Paksa Kondo dan anaknya untuk mengakui semuanya! Biarkan publik menganggap semua ini kesalahan mereka, dan jangan sampai perhatian mereka tertuju ke arah kita!!”
Chapter 165 – Ancaman terhadap Hayashi-san
—POV Hayashi—
Saat jam istirahat siang, aku sedang makan bersama teman-teman sekelas ketika menyadari ponselku bergetar.
Siapa yang menghubungi saat jam seperti ini? Sejak keluar dari klub, hampir tak ada yang menghubungi lagi. Aku merasa aneh dan segera membuka pesannya.
Ternyata, notifikasi dari media sosial. Sebuah pesan langsung dari akun anonim.
“Kalau kamu berani bilang yang tidak-tidak ke guru atau siapa pun, kamu bakal menyesal.”
“Kamu juga sama bersalahnya karena diam saja waktu itu. Cuma karena kamu keluar dari klub,bukan berarti kamu bebas dari dosa.”
“Kalau saja waktu itu kamu menghentikan mereka, semua ini nggak akan terjadi ke Eiji-kun. Jangan sok polos!”
Tanpa sadar, aku langsung mematikan layar ponselku.
(“Menakutkan…”)
Tubuhku mulai gemetar. Aku bilang ke teman-teman kalau aku merasa tidak enak badan, lalu pergi menyendiri.
Kurasa pesan itu dikirim oleh seseorang dari klub sastra. Justru karena aku merasa begitu, aku jadi makin takut. Mereka tahu alamat dan kontakku. Kalau sampai data pribadiku disebarkan ke forum anonim…
Bagaimana kalau aku diperlakukan sama seperti Eiji-senpai?
Bagaimana kalau difitnah dan dibully habis-habisan di internet?
Aku tidak akan bisa datang ke sekolah lagi…
(“Apa yang harus kulakukan? Tolong… ada yang bisa bantu aku?”)
Aku gemetar ketakutan, hampir menangis.
Jadi begini rasanya yang Eiji-senpai alami. Keadaan yang jauh lebih buruk daripada milikku, tapi dia tetap tidak lari dan memilih untuk melawan. Sekarang aku sadar betapa beraninya tindakan itu.
Ini semua adalah hukuman bagiku. Karena aku memilih untuk menutup mata.
Hukuman untuk diriku yang paling hina.
Tanpa sadar, aku sudah berjalan ke halaman tengah sekolah. Aku mulai merasa seolah-olah ada yang sedang mengawasi. Mungkin hanya perasaanku, tapi tetap saja…
“Hayashi-san!!”
Sebuah suara perempuan memanggil. Aku terkejut dan langsung siaga.
Dengan wajah pucat, aku menoleh ke arah suara itu.
“Ichijou-san?”
Seseorang yang pernah membantuku menyampaikan permintaan maaf kepada Eiji-senpai—dia berlari menghampiriku dengan napas tersengal.
“Kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat sekali. Tadi kamu keluar dari kelas dengan wajah serius, jadi aku khawatir dan mengejar. Ada sesuatu yang terjadi?”
Dia begitu baik. Mau repot-repot datang hanya untukku…
Tapi aku tak ingin merepotkan dia lagi. Ichijou-san sudah menanggung banyak hal hanya demi membela Eiji-senpai yang saat itu tidak punya siapa pun di pihaknya. Aku tak boleh menyeretnya lagi ke dalam masalah…
Aku diam. Banyak hal berkecamuk di kepala, sampai-sampai aku tak bisa berkata apa-apa.
Waktu kami menyelamatkan naskah Eiji-senpai, aku hanya berani membantu dari balik bayangan karena takut dibalas. Yang benar-benar bertindak adalah Ichijou-san.
Aku bahkan tak bisa merasa iri ketika teman sekelasku makin dekat dengan orang yang aku sukai. Karena perbedaan kekuatan hati kami begitu besar. Aku memang pantas kalah.
“Begitu ya… Hayashi-san, ini cuma monologku. Dengarkan saja, ya?”
Dia mulai berbicara dengan tenang.
“Iya…”
“Setelah bertemu Eiji-senpai, aku sadar satu hal. Selama ini aku selalu berusaha kelihatan kuat dan tidak pernah minta tolong ke siapa pun. Tapi nyatanya, kalau kita nggak minta bantuan, orang lain juga nggak akan tahu kita butuh. Dan saat aku yang butuh bantuan nanti, aku juga nggak bisa bergantung ke orang yang pernah kuabaikan. Makanya, tolong beri tahu aku… perasaanmu yang sebenarnya.”
Seolah dia sudah tahu segalanya…
Hatiku terasa hangat.
Tanpa sadar, aku mulai bersandar pada kebaikannya.
“Ichijou-san… tolong aku.”
Dia tersenyum lembut.
“Tentu saja. Kalau aku nggak menolong sahabatku, aku akan menyesal seumur hidup. Bilang saja apa pun yang kamu butuhkan.”
Ucapannya seperti kata-kata dari seorang malaikat… dan aku pun menangis dalam pelukannya.
Chapter 166 – Ichijou Ai dan Temannya
—POV Ichijou Ai—
Aku memeluk Hayashi-san, berbagi rasa takut dan sesaknya.
Dia menangis begitu hebat. Pasti benar-benar ketakutan. Mendapatkan kebencian dari orang asing, dan tidak tahu kapan semua itu akan berubah menjadi nyata—itu pasti menakutkan sekali.
Fitnah dan hinaan anonim itu sungguh pengecut.
Bahkan lebih menakutkan daripada saat dikatakan langsung. Karena kita tak tahu siapa pelakunya, rasa curiga pada siapa pun muncul, membuat pikiran jadi gelap.
“Tidak apa-apa. Aku ada di pihakmu.”
Itu saja yang bisa kukatakan, dan itu membuatku merasa tidak berguna. Tapi aku tetap ingin berada di sisinya, walau hanya sedikit.
Hayashi-san adalah gadis yang pendiam dan tertutup. Tapi dia tidak ikut serta dalam perundungan. Itu sudah tindakan yang sangat berani.
Meski dihimpit tekanan untuk ikut, dia tetap menolak. Saat aku berusaha menyelamatkan naskah Senpai, dia juga diam-diam membantuku.
Setelah semua anggota klub berhenti datang, dia menghubungiku dan sengaja tidak mengunci ruang klub.
Dan kini, gadis sekuat itu menangis dan mengungkapkan rasa takutnya.
“Aku sudah melakukan hal yang sangat buruk… Aku diam saja ketika Senpai yang sangat baik itu dirundung. Meski dia sudah memaafkanku, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku juga sama bersalahnya dengan mereka…”
Dia benar-benar gadis yang tulus.
Padahal dia bukan pelaku utama, tapi dia adalah orang pertama yang meminta maaf kepada Senpai. Bahkan saat kebenaran belum jelas. Tindakan itu luar biasa. Pasti telah menyelamatkan hati Senpai juga.
“Bukan begitu. Kamu sudah meminta maaf pada Eiji-senpai, kan? Orang-orang yang mengirimi pesan keji itu justru lebih buruk. Mereka yang benar-benar menyakiti Eiji-senpai, tapi tak pernah minta maaf. Mereka bahkan mencoba melukaimu juga demi melindungi diri sendiri. Yang tak bisa dimaafkan adalah mereka—bukan kamu.”
Mendengar kata-kataku, dia gemetar dan mengucapkan, “Terima kasih.”
Aku tak bisa memaafkan mereka. Mereka yang sudah sejauh ini menyudutkan Hayashi-san, hanya demi menyelamatkan diri mereka sendiri.
Mereka yang mencoba menghancurkan bakat Eiji-senpai—aku tidak akan pernah memaafkan mereka.
“Menakutkan… Jadi seperti ini rasanya yang dialami Aono-senpai, ya… Aku merasa sangat bersalah, sampai tak bisa memaafkan diriku sendiri…”
Gadis ini sungguh…
“Hayashi-san. Mari kita bicara ke guru. Guru-guru di sekolah ini pasti akan berpihak padamu. Kalau kamu tak ingin terlihat menonjol, aku yang akan bicara atas namamu.”
Mendengar ucapanku, dia mengangguk sambil berkata, “Iya… tolong…”
Demi kehormatan Eiji-senpai, dan masa depan Hayashi-san, masalah ini harus segera selesai.
Aku memeluk tubuhnya lebih erat, sambil meneguhkan tekadku.
**
Setelah mengantar Hayashi-san kembali ke kelas, aku meminta izin untuk pulang lebih awal kepada wali kelasku.
Lalu, aku langsung pergi ke tujuan utamaku.
Pemilik ruangan itu pernah berkata, “Kalau ada masalah, segera datang dan bicara.”
Jadi aku tahu, aku akan baik-baik saja. Aku menuju satu-satunya orang di sekolah ini yang benar-benar mengerti posisiku.
Aku mengetuk pintu ruangan.
“Silakan masuk.”
Terdengar suara lembut dan sopan dari dalam.
“Permisi. Kepala sekolah, saya ingin berkonsultasi tentang sesuatu.”
Dia mengangguk pelan, dan meski tahu jam pelajaran masih berlangsung, dia tidak menanyakannya dan langsung menerimaku.
Chapter 167 – Tekad Sang Kepala Sekolah
Aku dipersilakan duduk oleh kepala sekolah.
Kalau dalam situasi biasa, seorang siswa datang ke sini di jam pelajaran pasti akan ditegur. Tapi ternyata, kekhawatiranku tidak terjadi.
“Anda tidak marah, Pak?”
Aku sengaja menanyakannya.
“Kau datang ke sini, bahkan meninggalkan pelajaran, berarti ini hal penting, bukan? Memang seharusnya setidaknya ada peringatan, tapi untuk siswa sepertimu, aku tahu ini pasti hal yang serius.”
“Terima kasih. Ini tentang kasus perundungan yang dipimpin oleh klub sepak bola...”
Aku memulai pembicaraan, dan beliau mengangguk pelan.
“Begitu, jadi kamu sudah menyelidikinya, ya. Aku juga sudah dengar dari Nankai-sensei, termasuk soal Aono Eiji.”
“Ya, karena aku berutang budi pada Eiji-senpai. Aku yakin klub sastra juga terlibat dalam kasus perundungan ini. Mereka membuang naskah dan barang-barang pribadi Eiji-senpai tanpa izin, sebagai bentuk pelecehan.”
“Ya. Pihak sekolah juga sedang menyelidikinya. Tentu saja, para pelakunya bersikap seolah tidak tahu-menahu.”
“Saya rasa begitu. Tapi saya juga dengar dari pihak kepolisian bahwa mereka mulai menemukan bukti. Saya yang menahan penyebaran informasi dari pihak luar, jadi kalau ada perkembangan, saya akan laporkan. Ini ringkasan informasi yang sudah saya kumpulkan.”
Aku menyerahkan salinan laporan yang dibuat oleh Kuroi kepada kepala sekolah.
“Hmmm…”
Beliau membalik halaman satu per satu dengan serius. Dengan ini, penyelidikan terhadap klub sastra seharusnya akan maju.
“Dan, ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan.”
Kepala sekolah sedikit terkejut mendengarnya. Wajar saja, karena berarti ada masalah yang lebih besar dari laporan itu.
“Silakan, katakan.”
“Ini tentang seorang siswi bernama Hayashi-san dari kelas saya. Dia dulunya anggota klub sastra, namun karena kasus perundungan ini, dia berhenti datang ke klub. Tadi siang, dia menerima pesan ancaman dari akun anonim di SNS.”
Saat aku menunjukkan tangkapan layar dari ancaman tersebut, ekspresi kepala sekolah langsung berubah tegang, menunjukkan rasa muak.
“Ini parah sekali. Dari bukti tak langsung ini, bisa disimpulkan kuat bahwa pelakunya adalah salah satu anggota klub sastra. Ini sudah seperti pengakuan tidak langsung.”
“Saya pikir mereka mengira bisa membungkam Hayashi-san, yang terlihat lemah dan tertutup.”
“Saya mengerti. Kalau guru bertindak terlalu terbuka, bisa memicu eskalasi ancaman. Kita mulai dari melindungi Hayashi-san dulu. Saya akan bicara dengan wali kelasnya. Saya juga akan minta guru-guru lain untuk memperhatikan interaksi antara dia dan anggota klub sastra. Tolong beri tahu Hayashi-san agar jangan pernah sendirian selama situasi ini belum reda. Tempat sepi bisa jadi target, dan pasti dia merasa sangat cemas.”
Tanggapannya sangat tepat. Aku bersyukur telah datang untuk berkonsultasi.
“Baik.”
Aku akan berusaha terus berada di sisi Hayashi-san. Kalau bisa, aku juga ingin meminta bantuan dari orang-orang yang bisa dipercaya—teman-teman Eiji-senpai yang tidak mengkhianatinya saat masa sulit. Aku akan hubungi Imai-senpai, dan juga Endo-senpai…
“Meski begitu… Kadang menyedihkan bahwa tekad dan niat tulus para guru tidak tersampaikan dengan baik pada siswa. Kami sudah menjelaskan bahwa perundungan adalah kejahatan, batas yang tak boleh dilanggar, tapi tetap terjadi kasus ancaman ini. Kalau peringatan sudah diberikan dan kejahatan kedua masih terjadi, kami tidak akan ragu mengambil tindakan tegas. Kami akan berusaha menyelesaikan ini secepat mungkin agar Hayashi-san tak lagi terbebani secara mental.”
“Tolong bantuannya.”
Setelah pembicaraan selesai, saat aku hendak pamit, kepala sekolah memanggilku dengan suara lembut.
“Ichijou-san. Kami tahu kamu siswa yang luar biasa dan berasal dari lingkungan yang tidak biasa. Tapi kamu masih seorang siswa SMA. Jangan memaksakan diri. Menangani ini adalah tugas kami, pihak sekolah. Kami sangat berterima kasih atas dukunganmu dari balik layar untuk Aono dan Hayashi-san. Tanpa kamu, kami mungkin akan menyesal seumur hidup. Tapi, kami juga tidak ingin kamu terluka. Terima kasih karena telah mempercayai kami.”
Perasaanku nyaris meledak. Padahal aku, baru saja belum lama ini, sempat berpikir untuk mengakhiri hidup karena merasa tidak punya siapa-siapa yang bisa dipercaya.
Aku tahu di dalam kepala bahwa para guru selama ini selalu mengamati dan menjaga dari kejauhan. Tapi entah kenapa, aku tak pernah bisa melangkah maju. Melihat orang dewasa yang begitu serius berjuang demi Eiji-senpai, akhirnya membuat hati beku ini mulai mencair.
Kepala sekolah benar-benar telah menetapkan tekadnya. Jika masalah ini semakin besar, mungkin akan ada yang harus bertanggung jawab. Dan aku yakin, beliau siap menanggungnya tanpa ragu.
Bagaimana seseorang bisa hidup dengan semangat dan dedikasi sebesar ini? Beliau benar-benar berbeda dari orang dewasa kotor yang pernah kutemui.
Tanpa sadar, kata-kata itu keluar dari mulutku…
“Saya juga senang bisa bertemu orang dewasa yang bisa saya hormati.”
Chapter 168 – Tempat untuk Bersandar
―POV Eiji―
Setelah pelajaran tambahan Sejarah Dunia oleh Takayanagi-sensei selesai, aku berjalan menuju gedung olahraga untuk pelajaran tambahan berikutnya.
Aku teringat hari pertama kali bertemu Ichijou-san. Saat itu aku kabur dari sekolah dan dikejar oleh guru olahraga. Waktu itu aku maklum karena dia tidak tahu keadaanku. Tapi setelah pelajaran tambahan olahraga dimulai, guru tersebut…
“Aono, maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu kau sedang dalam kondisi yang sangat berat. Walaupun aku tidak tahu, aku tetap bersikap tidak peka. Aku telah memperlakukanmu seperti penjahat. Itu salahku, karena aku terjebak dalam anggapan kaku bahwa siswa yang kabur dari sekolah pasti salah. Kumohon, maafkan aku. Mungkin selama ini aku hanya guru yang pandai bicara. Apa gunanya jadi guru kalau tidak bisa melindungi muridnya?”
Guru yang biasanya dikenal galak itu, meminta maaf dengan penuh ketulusan. Sampai-sampai aku sendiri merasa bersalah. Wajar saja kalau guru menegur murid yang kabur dari kelas. Tapi dia tetap memperhitungkan situasiku dan meminta maaf—itu sudah sangat menyelamatkanku secara emosional.
Hari ini, hanya ada aku dan beliau untuk pelajaran. Kami akan bermain tenis meja. Kebetulan memang kurikulum pelajaran olahraga pilihan antara basket atau tenis meja, jadi ini pas.
Karena pelajaran sebelumnya selesai lebih cepat, aku berniat beli minum dulu di vending machine sebelum ke ruang tenis meja. Tapi saat itu, aku bertemu langsung dengan Ichijou-san.
“Hah? Bukannya kamu masih jam pelajaran?”
Aku tanpa sadar bertanya begitu, karena seharusnya dia tidak berada di sini.
“Sebenarnya aku bolos karena mau konsultasi dengan guru. Sejak bertemu senpai, aku jadi tahu rasanya bolos, lho?”
Cara bicaranya yang menggoda membuatku agak merasa bersalah.
“Eh, itu…”
“Aku cuma bercanda, kok. Tapi, aku memang mau minta tolong. Tentang temanku—Hayashi-san…”
Ichijou-san lalu menceritakan semuanya padaku.
**
―POV Ichijou Ai―
“Kenapa bisa begitu… Hayashi-san itu kan nggak ada hubungannya!! Terlalu kejam…”
Seperti yang kuduga, senpai langsung marah.
“Aku sudah menyampaikan ke guru-guru. Tapi untuk melindunginya, aku ingin mencegah agar dia tidak merasa sendirian. Bisa bantu, senpai?”
Aku memohon sungguh-sungguh. Tapi sebenarnya, aku sudah tahu jawaban apa yang akan dia berikan.
“Tentu saja. Aku akan ajak Imai dan Endo juga untuk bantu. Aku nggak akan biarkan Hayashi-san mengalami perundungan sepertiku. Aku bisa bertahan karena kamu ada di sampingku, Ichijou-san. Di saat paling sulit, punya seseorang yang bisa diandalkan itu sangat berarti. Aku akan bantu dengan senang hati. Hari ini, kita bertiga pulang bareng, ya.”
Seperti yang kuduga, dia memang sangat baik.
Karena itulah aku jatuh cinta padanya.
“Syukurlah…”
Aku mengucapkan isi hatiku yang selama ini selalu kutahan. Aku begitu takut untuk jujur soal ini. Tapi bertemu dia membuat semuanya berubah.
“Tolong sampaikan ke Hayashi-san… Kalau dia tidak sendirian.”
“Iya!!”
Dengan perasaan hangat dan bahagia, aku segera berbalik menuju kelas untuk menyampaikan kabar ini ke Hayashi-san.
“Ichijou-san!!”
Aku dipanggil.
“Eh?”
Saat menoleh, senpai menatapku dengan tulus.
“Terima kasih. Aku bisa bangkit lagi dan memulai dari awal karena kamu, Ichijou-san.”
“Aku juga… Terima kasih…”
Kalau bukan karena kamu…
Kamulah yang sudah memberiku hal-hal yang tak tergantikan. Perasaan cinta, kebaikan hati manusia, kehangatan—semuanya kamu ingatkan lagi padaku.
Kalau saja ini bukan di sekolah… rasanya aku ingin langsung memeluknya. Begitu besar rasa cintaku padanya.
Chapter 169 – Eiji dan Anggota Klub A
Aku segera menghubungi Satoshi dan Endo, dan mereka langsung bersedia membantu.
“Dua orang itu pasti akan membantuku. Mereka adalah teman yang paling bisa kupercaya di sekolah ini.”
Aku menegaskan itu dalam hati, lalu mengirim pesan kepada Hayashi-san juga.
Baru kusadari kemudian, hanya dia yang tidak memblokirku.
Dia juga tidak ikut-ikutan membully-ku.
Sebagai orang yang pernah jadi korban perundungan, aku tahu betapa luar biasanya hal itu.
Betapa sulitnya untuk tidak ikut arus dalam lingkungan penuh tekanan. Dan betapa besar risiko yang harus ditanggung di kehidupan sekolah bila memilih untuk tidak ikut serta.
Dia telah menunjukkan ketulusannya padaku, dan aku tahu betapa dia menderita karena itu.
Tak bisa kuampuni kenyataan bahwa gadis sejujur dan setulus Hayashi-san harus menanggung beban seperti ini.
Jam pelajaran pun usai.
Aku segera menuju tempat yang telah disepakati untuk bertemu dengan Ichijou-san dan Hayashi-san.
Tapi dalam perjalanan, aku bertemu dengan seorang siswi.
Dia yang lebih dulu menyadari keberadaanku.
“Aono Eiji…”
Matsuda Mizuki. Teman seangkatanku di klub sastra, sangat akrab dengan ketua klub, Tachibana.
Dan… dia adalah salah satu dari mereka yang menghina diriku bersama ketua klub, tepat di depan ruang UKS.
“Matsuda-san.”
Kami berdua tentu tak ingin bertemu, tapi aku merasa justru bagus bisa bertemu dengannya di sini.
“Kenapa? Ada yang mau kamu omongin?”
Dia terlihat sangat waspada. Seolah-olah khawatir aku akan membalas dendam karena pernah dibully.
“Banyak. Banyak sekali yang ingin kukatakan.”
Aku menjawab dengan nada penuh amarah. Dulu, saat masih di klub, aku cukup dekat dengannya. Kami sering berdiskusi tentang penulis favorit dan saling merekomendasikan buku. Aku mengira kami teman.
Mungkin dia ikut membully karena terbawa suasana. Atau mungkin karena ada instruksi dari ketua yang dia kagumi.
Tapi jika sekarang dia ikut menyakiti Hayashi demi menyelamatkan dirinya sendiri, itu cerita lain. Tak ada simpati untuk yang seperti itu. Aku akan bicara jujur—sebagai mantan teman.
“Aku berterima kasih atas apa yang kamu lakukan saat kita masih di klub. Tapi jangan pernah lagi menginjak-injak wilayah kami. Jika kamu atau siapapun berani menyakiti orang yang penting bagiku, atau teman-temanku, aku tak akan pernah memaafkan kalian. Sampaikan itu pada ketua klub juga.”
Kurasa ini kali pertama aku melepaskan amarah sebesar ini kepada orang lain.
Saat aku jadi korban, aku hanya terbenam dalam keputusasaan.
“Maksudmu… soal Hayashi-san?”
Matsuda, tertekan oleh intensitasku, secara tidak sadar melontarkan nama yang seharusnya tak dia sebut.
“Hayashi-san kenapa?”
Nada suaraku langsung berubah dingin saat aku bertanya.
Dia menatapku, pupilnya melebar—menyadari kesalahannya.
Karena aku belum menyebut nama Hayashi-san sama sekali.
Secara logika, seharusnya dia menanggapi ancaman itu dengan menyebut nama Ichijou-san atau Satoshi atau Endo—nama-nama yang memang dekat denganku dan sedang ramai dibicarakan.
Lalu kenapa bisa-bisanya dia langsung menyebut Hayashi-san?
Itu artinya kemungkinan besar… dia adalah pengirim pesan ancaman anonim tersebut, atau setidaknya terlibat.
“Aku nggak tahu apa-apa!”
Dia buru-buru kabur setelah mengatakan itu.
“Jangan lari. Ini bukan waktunya untuk kabur…”
Aku menarik napas panjang, memikirkan kenyataan pahit bahwa orang-orang yang dulu kuanggap teman, ternyata seperti ini.
Aku segera menelpon Takayanagi-sensei untuk menyampaikan informasi ini.
Chapter 170 – Endo dan Ayah Doumoto
―POV Endo―
Pesan dari Aono-kun masuk.
Sepertinya salah satu adik kelas di klub ikut terseret dalam kasus perundungan. Rasanya pahit. Padahal kami sudah berhasil menyingkirkan klub sepak bola, tapi kenyataan bahwa masih ada “nanah” tersisa di klub sastra membuat suasana hati jadi berat.
Inilah yang disebut dengan kedalaman dosa manusia.
“Tentu saja aku akan membantu. Kalau bisa, kenalkan saja besok saat istirahat siang. Bagaimana kalau kita makan siang bareng di kantin sambil kenalan?”
Imay juga setuju dengan saranku, dan rencana makan siang kami besok pun langsung ditentukan.
Sesekali makan kari kantin yang terkenal enak kayaknya asik juga.
Saat aku lagi mikirin itu, tiba-tiba sebuah mobil polisi berhenti di depanku.
Aku sempat waspada, tapi langsung ingat ada satu orang polisi yang mungkin saja melakukan ini.
Dan benar saja, itu dia.
Seorang polisi paruh baya yang kukenal turun dari mobil dengan tenang.
“Kazuki-kun, lama tak jumpa, ya.”
Nada suaranya lembut seperti biasa. Meski sudah bertahun-tahun tak bertemu, rasanya seperti masih menyapa tiap pagi. Ditambah seragam polisi yang dia kenakan memberi rasa aman yang kuat.
“Paman Doumoto. Lama tak bertemu.”
Dia adalah ayahnya Yumi. Sudah kukenal sejak dulu, selalu jadi paman yang baik hati.
Tapi karena aku dan Yumi sekarang berada dalam hubungan yang agak rumit—lebih dari sekadar teman, tapi belum jadi pacar—aku merasa sedikit canggung.
“Aku dengar ceritanya dari Yumi. Kamu sudah melalui masa-masa sulit, ya. Aku senang kamu masih berteman baik dengan Yumi. Aku baru selesai dinas dan mau pulang ke kantor. Gimana, mau makan malam bareng? Biar aku yang hubungi orang tuamu.”
Kalau sudah ditawari begitu, rasanya tak ada alasan untuk menolak. Orang tuaku juga katanya pulang malam, dan aku memang berencana makan seadanya dengan makanan dari supermarket.
“Apa tidak apa-apa?”
“Tentu saja. Istriku ada acara ibu-ibu malam ini, jadi aku memang berencana makan di luar bareng Yumi. Kalau kamu ikut, pasti dia senang.”
Paman lalu memberiku memo berisi nama restoran yakiniku langganan mereka.
Karena dia tipe pria atletis—mantan olahragawan dan sekarang polisi—aku jadi ingat dulu sering diajak makan yakiniku juga. Rasanya kali ini dia ingin menata ulang semua yang telah terjadi, di tempat biasa.
**
POV ENDO
Saat aku sedang menikmati aroma lezat dari asap yakiniku di depan restoran, pamannya tiba usai kerja. Tapi Yumi belum kelihatan.
“Maaf ya nunggu. Yumi katanya ada belajar kelompok, jadi telat sekitar 15 menit. Ayo kita masuk duluan. Di luar panas, aku juga udah pengin banget minum bir dingin.”
Tanpa memberi ruang untuk menolak, aku dibawa masuk ke restoran. Aku agak canggung, dan berharap Yumi segera datang.
Begitu duduk, paman langsung memesan bir, kimchi, edamame, kol asin, dan cola.
“Kalau makan daging duluan, nanti dimarahin Yumi. Jadi kita nyemil sayur dulu, ya.”
Pesanan minuman cepat datang.
“Kampai!”
Semuanya terasa begitu cepat, aku cuma bisa mengikuti arus.
Gelas bir dan cola beradu dengan suara menyegarkan. Karena cuaca panas, minuman dingin ini terasa nikmat sekali.
“Enak, ya. Apalagi bisa minum bareng Kazuki-kun gini, rasanya luar biasa. Jujur aja, aku punya impian kecil: minum bareng pacar anakku.”
Pernyataan mendadak itu hampir membuatku menyemburkan cola.
Tapi aku sadar itu bercanda, karena paman menatapku dengan ekspresi senang.
“Bercanda, kok. Kalian masih teman, kan?”
Nada “masih” yang ditekan membuatku sadar dia memang sengaja menggodaku.
“Jangan gitu, dong. Aku serius mikirin ini, tau. Apa aku cukup baik buat dia…”
Paman mengangguk-angguk sambil minum bir lagi.
“Itu namanya masa muda. Tapi kamu tahu, aku selalu mengagumi kamu sejak dulu. Kamu itu bukan ‘cuma anak biasa’, Kazuki.”
“Terima kasih…”
Seakan bisa membaca kecemasanku, ekspresi paman berubah menjadi serius, seperti seorang polisi yang andal.
“Mungkin ini terdengar kasar, tapi dengarkan baik-baik. Waktu SMP, kamu mengalami hal yang berat. Sebenarnya, kami—orang dewasa—harusnya bisa melindungimu. Aku menyesal dan merasa bersalah karena kami gagal melakukannya.”
“Tidak… itu bukan…”
“Tidak, ini memang tanggung jawab orang dewasa. Apa yang kamu alami waktu itu, bahkan banyak orang dewasa pun belum tentu sanggup bertahan. Tapi kamu terus berusaha bangkit. Meski terlambat setahun masuk SMA, kamu berhasil masuk sekolah unggulan di daerah ini. Itu pencapaian luar biasa. Benar-benar hebat. Kalau kamu jadi orang dewasa nanti, kamu akan mengerti. Kamu mungkin merasa sudah ‘membuang’ satu tahun, tapi sebenarnya tidak. Pengalaman mengatasi kegagalan dan kesulitan itu tak tergantikan. Karena itu… aku benar-benar menghormatimu, Kazuki. Sebagai seorang manusia.”
Air mataku hampir menetes karena tersentuh.
Paman hanya tertawa kecil dan berkata:
“Udah cukup, ya. Ayo kita pesan daging. Kita makan karubi.”
Seolah-olah siap dimarahi Yumi begitu dia datang nanti.
Post a Comment