NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 171 - 180

 Chapter 171 – Senpai dan Junior Klub Sastra


―POV Eiji―

Setelah menghubungi guru, aku segera menuju gerbang sekolah.

Kami sudah berjanji untuk pulang bertiga hari ini.

“Senpai, telat, ya. Sebagai hukuman, traktir kami makanan manis di kafe, ya.”

Ichijou-san sengaja berkata begitu untuk mencairkan suasana. Itulah dirinya. Mungkin dia melakukannya agar Hayashi-san tidak terlalu tegang. Wajar saja kalau dia masih merasa canggung saat harus bertemu langsung denganku.

“Maaf, maaf. Tadi tiba-tiba dipanggil guru. Tapi ya, karena sudah bikin kalian nunggu, minimal traktir kue sih boleh…”

“Dengar, kan? Kalau begitu, kita makan fruit tart spesial, ya, Hayashi-san~”

“Eeh… Itu kan yang mahal…”

“Gapapa, dooong~”

Meskipun baru kenal, percakapan mereka mengalir seperti teman lama. Aneh tapi hangat.

Aku melirik ke arah Hayashi-san dengan hati-hati. Dia masih terlihat agak tegang, tapi melihat interaksi kami berdua, dia ikut tersenyum. Syukurlah. Setidaknya usahaku ada gunanya.

“Hayashi-san, yuk kita pergi. Gak apa-apa kok, aku yang traktir kue set-nya.”

“Eh, gak enak… Saya juga gak nunggu lama, kok!”

Dia terlihat panik, tapi Ichijou-san yang sudah peka terhadap segalanya menyela sambil tersenyum.

“Gak apa-apa, Hayashi-san. Soalnya, senpai ini pasti pengen kelihatan keren di depan adik kelas cewek. Jadi, manfaatkan aja~”

Oh ya, meskipun berkata seperti itu, Ichijou-san sebenarnya orang yang sangat perhatian. Di tengah perjalanan ke kafe, dia diam-diam mengirim pesan:

“Maaf ya, aku memaksakan suasananya seperti itu. Setengahnya nanti aku bayar juga, jadi tolong jangan keberatan.”

Dia pasti berusaha sebaik mungkin untuk menciptakan suasana yang nyaman.

“T-terima kasih…”

Hayashi-san tersenyum sedikit.

**

Di kafe dekat stasiun, kami makan cake set sambil mengobrol santai.

Kami sengaja tidak membahas soal kasus perundungan.

Karena aku pikir, itu akan jadi hiburan untuknya. Dan dia pun terlihat bisa tertawa.

“Senpai, tadi kayak seleb di sekolah. Semua pada ngelihatin karena dikelilingi dua cewek.”

Ichijou-san menggoda sambil tertawa.

“Iya tuh. Padahal fans-mu aja udah cukup serem, jangan sampai ditambah pasukan fanboy-nya Hayashi-san.”

Saat aku berkata begitu, Hayashi-san langsung tersipu dan wajahnya memerah.

“Nggak ada yang namanya pasukan fan begitu…”

“Maaf ya, aku angkat telepon dulu. Dari keluarga.”

Ichijou-san buru-buru keluar kafe, meninggalkan aku dan Hayashi-san berdua.

“Aono-senpai…”

Hayashi-san memanggilku dengan suara bergetar, menatapku lurus.

“Ada apa?”

“Maaf… Setelah berada di posisi yang sama dengan Senpai, aku jadi tahu betapa menakutkannya semua ini. Maaf karena dulu aku tidak bisa jadi temanmu. Tapi sekarang malah diperlakukan begitu baik… aku sungguh minta maaf.”

Melihat dia terus-menerus meminta maaf dengan ekspresi menyakitkan, aku teringat saat pertama kali bertemu Ichijou-san di atap sekolah. Saat itu pun dia meminta maaf dengan tulus.

Wajah Hayashi-san begitu sedih, hingga terasa menusuk di dada.

“Maaf… Sebenarnya aku gak pantas diperlakukan sebaik ini. Aku harusnya berpihak pada Senpai… Tapi aku terlalu takut. Tapi kalian berdua masih peduli padaku. Itu bikin aku merasa bersalah.”

Dia pasti terus dihantui penyesalan. Kalau begitu, dia juga termasuk korban.

Lagipula, dia tidak pernah ikut menggangguku. Yang dia sesali hanyalah karena tidak bisa menghentikan atau mencegahnya. Tapi kalau dia melakukannya, dia juga pasti jadi korban.

Bahkan, hanya menjaga jarak saja sudah cukup membuatnya jadi sasaran.

Perundungan benar-benar merusak martabat manusia.

Orang-orang yang membuat Hayashi-san menderita sejauh ini… tidak bisa dimaafkan. Rasa marah itu sama seperti yang dulu dirasakan oleh Satoshi, Endo, Ichijou-san, dan para guru saat mereka berjuang melindungiku.

Dan kini, aku harus meneruskan semangat itu. Memberikannya pada Hayashi-san.

“Hayashi-san, kamu nggak perlu minta maaf. Aku benar-benar menghargai keputusanmu yang gak ikut-ikutan ngebully. Aku tahu betapa beraninya keputusan itu. Karena aku pernah berada di posisi yang sama. Justru karena itu, aku akan jadi pihak yang mendukungmu. Kalau ada apa-apa, bilang aja. Besok, aku kenalin ke teman-temanku yang bisa dipercaya, ya.”

“Boleh… ya?”

“Tentu. Bukan cuma aku. Ichijou-san juga, dan semua temanku pasti akan jadi pendukungmu. Kamu nggak sendirian, Hayashi-san.”

Aku tahu betul seberapa besar arti kata-kata itu.

Hayashi-san meneteskan air mata sambil berusaha menahan suara tangisnya.


Chapter 172 – Kepentingan

―Kantor Perdana Menteri (POV Perdana Menteri)―

Kasus Kondo. Dari berita mingguan, bisa terlihat bahwa kasus ini perlahan menjadi masalah besar. Setelah majalah pertama memberitakannya, media lain mulai melakukan penyelidikan satu per satu.

Aku mengumpulkan beberapa menteri dan memulai rapat darurat. Begitu rapat dibuka, aku langsung berkata:

“Lalu, bagaimana pergerakan media? Sampai sejauh mana mereka telah menggali kasus ini?!”

Pertanyaan itu dijawab oleh sekretarisku.

“Sepertinya mereka belum punya bukti yang menentukan. Masih berupa rumor, dan sumbernya hanya tertulis ‘narasumber terkait’.”

Mendengar itu, Kepala Sekretaris Kabinet menajamkan alis di balik kacamatanya dan terlihat semakin gusar. Wajar saja. Dialah yang akan pertama kali jadi sasaran utama.

“Tapi begini… kalau semua media mulai memberitakan secara serempak, walau tak ada bukti kuat, rumor itu bisa berubah jadi ‘kebenaran’. Bisa saja mereka menyusun artikel dalam beberapa tahap. Kalau kita sampai berbohong atau menyangkal terlalu tegas, itu bisa jadi masalah besar dan mengancam karier politik kita. Ini masalah serius.”

Itu adalah pendapat yang sangat masuk akal.

Menteri Kehakiman menyambung dengan nada berat:

“Masalah ini harus segera diselesaikan. Kita tekan polisi dan kejaksaan untuk mengakhiri ini secepat mungkin. Kita atur narasinya bahwa semua ini hanyalah ulah Kondo yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Kalau dianggap hanya skandal korupsi di tingkat anggota dewan daerah, dampaknya tak akan terlalu besar. Tapi ada masalah lain: isu perundungan yang melibatkan putra anggota dewan kota yang sedang viral. Kita juga harus mengendalikan arah kasus ini. Kita bisa tekan pihak sekolah untuk segera menyelidiki sebatas yang sudah diketahui dan hanya menjatuhkan hukuman ringan. Jangan sampai berkembang jadi masalah nasional.”

Semua yang hadir tampak mengangguk.

Kecuali satu orang menteri muda yang keberatan.

“Tapi… jika kita hanya memikirkan perlindungan politik dan mengaburkan inti masalah, bukankah itu berarti kita mengorbankan keadilan? Itu tidak bisa dibenarkan.”

Aku tak bisa menahan senyum sinis.

“Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kau baru pertama kali menjabat, bukan? Ya, aku paham. Idealismemu itu bagus. Nilai-nilai seperti itu memang penting. Tapi sayangnya, kau salah paham akan satu hal.”

“Salah paham?”

“Iya. Salah paham. Dengarkan baik-baik. Yang menentukan apa itu keadilan, bukan kau. Pemerintah yang menentukan. Dengan kata lain, kitalah keadilan itu. Keadilan itu diciptakan di ruangan ini.”

Menteri muda itu membelalakkan mata, terkejut oleh tekananku. Aku bisa melihat dari gerak tubuhnya, mungkin ia menggenggam tangannya erat di bawah meja—sedikit gemetar.

“Sudah paham? Kalau begitu, mari kita bahas bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.”

Rapat pun berlanjut.

**

―POV Ichijou Ai―

Aku pura-pura keluar karena mendapat telepon. Sebenarnya, aku ingin memberi waktu kepada mereka berdua. Kalau aku ada di sana, mungkin Hayashi-san tak bisa bicara leluasa. Lebih baik dia bisa menyampaikan isi hatinya dengan jelas.

Tempat duduk kami ada di dekat jendela, jadi aku bisa mengintip keadaan mereka.

Hayashi-san terlihat menangis.

“Sepertinya aku harus menunggu sebentar lagi.”

Tapi, aku lega. Hayashi-san akhirnya bisa menyampaikan perasaannya. Menunjukkan sisi lemah itu tidak mudah. Fakta bahwa dia bisa melakukannya saja sudah merupakan langkah besar.

Sebagai teman, aku merasa lega. Tapi di sisi lain, aku merasa sedikit sesak melihat Senpai berbicara dengan gadis lain.

“Cemburu pada Hayashi-san? Aduh, aku ini kenapa sih…”

Senpai memang orang yang sangat baik. Kalau Hayashi-san sudah bisa bicara jujur, aku yakin Senpai pasti akan menerimanya dengan hangat.

Saat aku sedang berpikir begitu, tiba-tiba benar-benar ada panggilan dari Kuroi.

“Ojou-sama, dia sudah mulai bergerak. Sepertinya dia akan berhubungan dengan anggota klub sastra.”

Tampaknya pergerakan dari pihak lain juga sudah dimulai.

“Terima kasih. Tingkatkan pengawasannya. Jika diperlukan, intervensi dan hentikan.”

Aku menutup telepon perlahan.

Dengan keyakinan kuat bahwa permulaan dari akhir akhirnya mulai terlihat.


Chapter 173 – Eri dan…

―POV Eri―

“Ketemu~”

Sepulang sekolah, aku menunggunya di depan gerbang, seperti sedang menguntit.

Aku ingin menatap wajahnya langsung dan mengetahui kebenaran. Karena itu, aku ingin dia menjawab dengan jujur. Soalnya, begini ya—gara-gara kamu dan Kondo-kun, aku kehilangan segalanya: keluarga, teman, bahkan sahabat masa kecil.

“Heeei, Tachibana-saaan~”

Aku memanggilnya dengan ceria. Ia tersentak kaget dan memandang ke arahku.

“A-Ada apa, Ikenobu-san… mendadak sekali…”

“Eh, jangan segitunya dong. Kita kan teman sejak SMP. Aku cuma mau nanya sesuatu, yuk pulang bareng, ya?”

“Maaf, hari ini aku ada urusan…”

Aah, dia memang peka. Pasti sudah menyadari sesuatu.

Tapi kalau dia mencoba kabur, artinya ada yang dia sembunyikan, kan? Apa ya, apa ya?

“Oh, begitu. Tapi sebentar saja, kok. Nggak repot. Cuma mau konfirmasi ringan aja.”

Tanpa memberinya kesempatan menolak, aku menarik tangannya paksa agar kami bisa bicara berdua saja.

Meskipun dia terus memohon, “Sakit, tolong, jangan,” aku tetap menyeretnya menuju taman terdekat.

**

“Apa-apaan sih ini, nyeret orang secara paksa! Kebangetan banget!”

Tachibana-san memprotes dengan nada agak tinggi.

“Maaf, ya. Tapi, aku rasa aku punya hak untuk melakukan ini.”

Mendengar itu, wajahnya makin pucat.

“Hak? Maksudmu apa, sih?”

Aah, dia masih berpura-pura. Perempuan jahat. Pelakor. Cewek pengkhianat. Kata-kata umpatan memenuhi kepalaku.

“Gitu ya, kamu pura-pura nggak tahu. Kalau begitu, aku bilang aja, deh. Jadi, aku tuh sempat ketemu Kondo-kun di tahanan, lho. Dan aku sudah dengar semua. Termasuk soal kamu yang selama ini sudah mengkhianatiku. Semuanya.”

Wajahnya langsung memucat mendengar itu. Gampang banget ditebak, sampai rasanya lucu. Tapi ya, dari rasa sayang yang berlebihan jadinya benci seratus kali lipat.

“Aku nggak ngerti maksudmu.”

“Tuh kan, kamu pasti bakal bilang gitu.”

Dia menutupi wajahnya yang pucat dan sibuk mencari-cari alasan.

“Lagipula, mana mungkin kamu bisa ketemu Kondo-kun? Dia ditahan, kan? Dan yang boleh ketemu cuma pengacara. Lagi pula, kamu punya bukti apa? Misalnya kamu beneran ketemu dia pun, apa ada jaminan kalau omongannya itu jujur? Bisa aja dia stres dan ngawur, ngarang cerita. Kamu percaya begituan? Konyol banget.”

Aah… Tachibana-san memang pintar, ya. Bisa ngomong dengan meyakinkan seperti itu.

Tapi ya, aku nggak bakal ngelepas kamu semudah itu. Kamu harus menderita. Kamu harus hancur, supaya tahu rasanya aku.

Dan untuk itu… aku akan mundur sekali saja di sini.

Tapi, dengan kalimat yang paling bisa melukai hatinya.

“Oh, ya, ya. Kalau dipikir-pikir, memang masuk akal sih. Maaf ya, aku jadi emosi.”

Melihat aku mundur dengan mudah, wajah Tachibana-san tampak sedikit lega.

Wah~ ternyata rasanya menyenangkan ya, menaikkan dan menjatuhkan orang. Jantungku sampai berdebar senang.

Silakan jatuh ke jurang yang sama denganku.

Tentu, aku sadar aku juga bersalah. Aku sudah menyakiti Kazuki. Aku yang paling jahat.

Tapi, menyumpahi kalian berdua yang mempermainkan perasaanku itu… boleh lah ya. Paling tidak untuk melampiaskan kekesalanku.

“Kamu ngerti, kan?”

“Iya… mungkin kamu benar. Karena itu, aku akan coba bicara ke guru-guru.”

Ekspresi Tachibana-san langsung berubah drastis.

“Eh?”

“Soalnya Kondo-kun ‘kan sempat ngebully cowok bernama Aono Eiji, ya? Mungkin dia juga punya banyak dosa lain. Jadi, aku bakal kasih tahu sekolah tentang isi pembicaraan kami waktu aku ketemu dia. Mungkin bisa jadi bahan penyelidikan. Makasih ya, Tachibana-san! Gara-gara kamu, pikiranku jadi makin jelas!”

Dia tampak pucat pasi seperti orang kehilangan harapan. Matanya membelalak lebar.

Sekarang dia tak bisa lari. Aku yakin dia akan terpaksa bertindak.

Nah, apa yang akan kamu lakukan?

Aku sangat menantikannya.

“Sampai jumpa, Tachibana-san!!”

Aku melambaikan tangan ceria dan pergi meninggalkannya.

Bola sekarang ada di tangan dia.

**

―POV Ichijou Ai―

Dari laporan Kuroi, aku tahu kalau pertemuan antara Ikenobu-san dan Ketua Tachibana telah berakhir tanpa insiden.

Tapi dari sini, tujuan Ikenobu-san jadi makin jelas.

Dia berniat menjatuhkan Ketua Tachibana… bahkan jika harus mengorbankan dirinya sendiri.

Kekosongan dan kehampaan mulai menyelimuti hatiku.


Chapter 174 – Kegelisahan Ketua Klub

―POV Ketua Tachibana―

Apa yang harus kulakukan?

Apa yang harus kulakukan?

Apa yang seharusnya kulakukan?

Aku tidak pulang ke rumah, melainkan masuk ke sebuah kafe dekat stasiun untuk menenangkan pikiran.

Pertama-tama, kata-kata Ikenobu Eri… apakah itu benar? Atau hanya kebohongan?

Memang, dia terlihat seperti sudah terpojok dan hampir hancur. Bisa jadi dia sudah tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan. Kalau begitu, semuanya bisa dijelaskan. Lagipula, kalau dipikir secara logis, tidak mungkin dia bisa bertemu langsung dengan Kondo-kun.

Iya, pasti tadi dia hanya mengarang. Kalau begitu, aku tidak perlu takut meski dia bilang akan cerita ke guru. Tapi… tetap saja…

Akan membuat ketidakpercayaan terhadap Klub Sastra makin besar.

Para guru pun sudah mulai mempersempit ruang gerakku.

Dan yang paling menakutkan adalah—apakah para guru bisa membedakan mana yang khayalan dan mana yang nyata?

Keterangan dari Ikenobu-san terdengar cukup masuk akal. Kalau sampai terbongkar bahwa aku sudah bekerja sama dengan Kondo sejak SMP, bisa-bisa semuanya ikut terbongkar seperti benang kusut yang ditarik ujungnya.

“Kalau sudah begini, satu-satunya cara adalah membungkam Ikenobu-san.”

Membayarnya agar diam? Tidak. Itu tidak akan mempan. Amarahnya tidak akan padam hanya dengan uang. Malah bisa jadi makin menjadi-jadi.

Kalau begitu… satu-satunya cara adalah menghentikan kesaksiannya secara fisik.

Tapi, bagaimana caranya?

“Aku… tidak bisa berbuat apa-apa!!”

Tadinya aku ingin mengambinghitamkan adik kelas dan melarikan diri, tapi kalau Ikenobu bersaksi, aku tidak akan bisa lolos.

“Kalau begitu…”

Aku memutuskan untuk menghasut seseorang, sebagai peluang terakhir.

Kalau ini gagal… maka aku akan hancur…

**

―POV Aono Eiji―

Setelah mengantar Hayashi-san pulang, aku dan Ichijou-san pergi ke "Dapur Aono".

Ichijou-san tampak sedikit lelah. Dia sudah banyak bergerak demi melindungiku dan Hayashi-san.

Dan hal itu membuatku merasa amat bersyukur dan menyayanginya.

“Terima kasih, ya, Ichijou-san.”

Saat aku tiba-tiba mengucapkan itu, dia tampak terkejut.

“Kita semua diselamatkan oleh gadis bernama Ichijou Ai. Aku tidak akan pernah cukup berterima kasih padamu.”

Sejak kejadian beberapa waktu lalu, aku sudah bisa bicara jujur lebih mudah.

“Ih, kamu curang banget.”

Dia tersenyum malu, tapi raut wajahnya juga tampak sedikit sedih.

“Ada apa?”

Saat aku bertanya, dia berkata pelan, seolah kesulitan untuk bicara.

“Aku jadi mikir, apa aku pantas menerima rasa terima kasihmu. Kamu terus bilang suka sama aku, tapi… gimana kalau nanti kamu mulai melihat sisi gelapku, sisi burukku… aku takut kamu jadi menjauh.”

Wajahnya tampak seperti seseorang yang sedang mengingat kembali luka lama.

“Memang, setiap manusia pasti punya sisi jelek.”

“Iya, aku sadar aku bukan orang suci. Bahkan kadang aku merasa sisi gelapku lebih dominan. Kadang aku merasa kamu semua terlalu baik dan aku cuma numpang nyaman aja. Kalau mikir kayak gitu, aku jadi benci diri sendiri…”

Yang berdiri di depanku saat ini bukan lagi sosok sempurna bernama Ichijou Ai, tapi seorang gadis SMA yang rapuh. Kerapuhannya mengingatkanku pada saat pertama kali kami bertemu di atap sekolah.

“Meskipun begitu…”

Karena itu, aku pun jujur padanya.

Kepada gadis kecil yang terlihat ketakutan, seperti hewan mungil yang gemetar.

“Ichijou-san… aku rasa, sisi gelapmu itu juga kamu gunakan untuk melindungi seseorang. Kamu selalu berusaha keras untuk melindungi. Kamu begitu baik, bahkan sering menyalahkan diri sendiri daripada orang lain. Kamu pekerja keras yang berusaha menghadapi segala kesulitan.”

Aku tidak pandai merangkai kata. Tapi, aku yakin—karena sifat itu pula, dia sampai mengorbankan hatinya sendiri.

Dia berhenti melangkah, lalu memandang wajahku. Air matanya memantulkan cahaya senja.

“Karena kamu seperti itulah… aku jadi menyukaimu.”

Itu tulus dari hatiku. Kekurangan yang dia benci itu sebenarnya adalah sisi lain dari kelebihannya.

“Kamu curang banget… Kalau begitu, aku bakal lebih sering manja dan tunjukin sisi jelekku, ya?”

“Boleh. Justru aku ingin begitu. Manjalah sepuasmu padaku. Aku ingin menjalani hidup seperti itu bersamamu.”

Aku mengulurkan tangan. Dia menjawab dengan,

“Terima kasih banyak…”

…dan menggenggamnya erat.


Chapter 175 – Jalan Menuju Kehancuran

―POV Ketua Tachibana―

Aku menghubungi kenalan dari SMP.

Sebagai antisipasi, aku memang sudah menyiapkan jalur lain selain Kondo-kun.

“Halo?”

Suara rendah dengan nada bicara yang lambat.

“Ini Tachibana. Lama tidak bertemu. Kamu baik-baik saja, Mitsuda-kun?”

Mitsuda-kun adalah teman Kondo sejak SMP, yang dulu diperlakukan seperti budak oleh Kondo. Untung aku menyimpan kontaknya.

“Ah, iya…”

Tentu saja, seperti anggota klub sepak bola lainnya, dia saat ini sedang diskors. Dia cukup dekat dengan Kondo, jadi posisinya cukup genting. Karena itu, jika kugoyang sedikit, dia pasti akan bertindak sesuai keinginanku.

“Sebenarnya, aku baru tahu hal yang cukup gawat. Kamu masih ingat Ikenobu Eri?”

“Tentu. Mantan pacarnya Kondo, kan?”

“Iya. Nah, dia sekarang katanya mau mengadu ke guru tentang hal-hal yang tidak pernah terjadi, cuma karena sakit hati diputusin sama Kondo-kun.”

“Hah!?”

Langsung terpancing.

“Katanya, karena sudah dikucilkan sama orang tuanya gara-gara pacaran dengan Kondo, dia jadi menyalahkan semua ini pada Kondo dan ingin hancur bersama. Bahkan, katanya dia mau menyeret kita yang dulu satu SMP juga. Dia bilang kita terlibat kasus bullying bareng Kondo dan akan ngadu ke guru. Gara-gara omong kosongnya itu, sekarang klub sastra sedang diselidiki oleh guru-guru… aku nggak bisa apa-apa sebagai ketua klub. Aku nggak bisa lindungi anggota-anggotaku…”

Sambil berpura-pura jadi orang yang baik, aku menebar simpati sekaligus memancing rasa takut. Kalau terus begini, hukuman skors bisa berubah jadi dikeluarkan. Bayangan itu pasti bikin dia ketakutan.

“Terus… dia nyebut-nyebut klub sepak bola juga nggak?”

“Aku nggak dengar jelas, tapi dia bilang, ‘kalau aku masuk neraka, lebih baik ajak banyak orang sekalian’.”

Dengan ini, rasa takut menyebar. Klub sepak bola sudah dicekam kekhawatiran akan dikeluarkan, jadi efeknya akan besar.

“Sial, kalau itu sampai terjadi, kami habis!”

Orang-orang yang menyimpan aib memang mudah digoyang dengan ketakutan. Aku bisa mengendalikannya dengan mudah.

“Makanya aku hubungi kamu, Mitsuda-kun. Yuk, kita hentikan Ikenobu-san bareng. Kalau nggak, beneran bahaya… aku cuma bisa minta tolong sama kamu.”

“Kenapa aku…”

Gampang. Kalau dia bisa kugerakkan semudah ini, berarti aku bisa selamat.

“Soalnya… dari zaman SMP, aku selalu memperhatikanmu.”

Sekalian, aku goyang harga dirinya. Dia pasti punya rasa minder dibandingkan Kondo. Kalau kugunakan ini, dia akan makin mudah dikendalikan.

Kalau nanti anggota klub sepak bola menghakimi Ikenobu-san dan menimpakan semua kesalahan padanya…

“Oke.”

“Kalau begitu, ayo kita ketemu langsung. Bisa nggak kamu ajak beberapa anggota klub sepak bola lain yang kamu percaya? Bisa malam ini?”

Dia langsung setuju. Sesuai rencana. Kalau bisa kuarahkan mereka untuk bertindak di luar kendali…

Semuanya akan berjalan mulus. Sungguh lucu betapa mudahnya manusia bisa digerakkan.

Tinggal menjadikan mereka korban…

Mari kita mulai pertunjukan terakhir ini.

**

―POV Eiji―

“Eiji-senpai, menurutmu bagaimana orang-orang di Klub Sastra itu?”

Ichijou-san bertanya dengan hati-hati.

“Menurutku… mereka orang-orang yang menyedihkan.”

Aku menjawab dengan jujur.

“Menyedihkan?”

“Ya. Soalnya… mereka bahkan nggak bisa menganggap orang lain itu manusia. Karena itu juga, mereka terus hidup dalam kesepian. Walaupun tampaknya mereka bisa bersosialisasi dengan baik, tapi sebenarnya mereka nggak pernah benar-benar percaya pada siapa pun. Semuanya cuma di permukaan.”

Ichijou-san mengangguk mendengarkan.

“Karena itu, aku rasa mereka nggak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mereka nggak bisa minta tolong atau percaya pada orang lain, jadi di saat tersulit pun, nggak akan ada yang datang membantu.”

Di saat aku mengalami masa tersulit dalam hidup, aku justru menemukan sesuatu yang amat berharga. Tapi orang-orang seperti mereka… aku yakin mereka tidak akan pernah menemukan harta seperti itu. Yang tersisa bagi mereka hanya jalan menurun yang licin menuju kehancuran.

“Ichijou-san, jangan lakukan hal-hal berbahaya, ya. Kalau ada apa-apa, andalkan aku. Sama seperti yang kamu lakukan padaku, aku akan selalu membantumu.”

Wajahnya memerah, lalu dia berkata pelan:

“Iya…”


Chapter 176 – Masing-Masing Menuju Babak Akhir

—Suatu Tempat di Tokyo (POV Sekjen Ugaki)—

Demi pertemuan rahasia, aku sedang menikmati whisky di bar langganan.

Scotch hari ini berasal dari daerah Speyside.

Botol kenangan yang sering kuminum bersama sahabat di masa muda. Kami berdua tipe yang menikmati aroma whisky, jadi tak pernah menambahkan es. Kami menikmatinya secara straight, sambil bicara soal berbagai impian.

“Masa-masa itu yang paling menyenangkan.”

Pikirku dengan penuh nostalgia. Botol langganan ini beberapa kali mengalami perubahan desain sejak saat itu. Meski begitu, rasa manis dan fruity khas tong sherry tetap terjaga. Kami juga pernah saling menghadiahkan botol produksi tahun kelahiran anak kami masing-masing. Kenangan itu terasa seperti kemarin.

Kuminum lagi whisky kenangan itu. Rasanya tetap manis. Ada rasa kismis, herbal, gula merah, dan saus manis mitarashi. Rasa kompleks yang menyebar bertingkat di mulutku.

“Sekjen, maaf saya terlambat.”

Pria yang kutunggu akhirnya datang. Padahal aku masih ingin sedikit lebih lama tenggelam dalam perasaan sentimentalku.

“Tak apa. Aku sedang menikmati whisky favoritku. Seharusnya kau bisa datang lebih santai.”

“Saya tak mungkin menunda lebih lama lagi.”

“Mau minum apa?”

“Martini, kalau boleh.”

Pilihan yang bagus. Martini adalah koktail yang dibuat dari gin, minuman keras hasil destilasi dengan aroma herbal, yang dicampur dengan vermouth, yaitu white wine beraroma rempah.

Minuman itu dibawakan. Aku tak langsung membahas urusan pekerjaan sampai dia menyeruputnya.

“Enak juga.”

Martini menunjukkan keahlian bartender dengan jelas. Sebagai pelanggan tetap, aku cukup senang mendengarnya.

“Baik, mari kita bahas pekerjaan. Bagaimana suasana rapat kabinet tadi? Apa reaksi Perdana Menteri?”

Pemuda harapan faksi kami itu menjawab.

“Dia terlihat sangat gelisah. Sepertinya sangat panik karena masalah Kondo.”

“Begitu, ya. Dia memang terlihat mencoba menghindar, tapi tak akan semudah itu.”

“Apakah… kebocoran ke media itu Anda yang atur, Sekjen?”

Masih muda. Pemikirannya penuh idealisme. Meskipun aku tak membenci semangat itu, tetap saja terlalu ceroboh.

“Entahlah. Mungkin, mungkin tidak.”

Ambiguitas adalah senjata terbesarku. Berbohong tidak boleh, tapi mengatakan kebenaran secara langsung juga bukan pilihan. Maka, menyelimutinya seperti ini adalah cara terbaik.

“Katanya, ‘keadilan dibuat di sini’. Perdana Menteri juga bilang akan menekan pihak sekolah agar masalah bullying cepat selesai.”

“Begitu, ya? Sepertinya Perdana Menteri terlalu lembek.”

Sambil terkekeh, aku memandang Menteri Pendidikan muda kami yang juga merupakan harapan faksi. Seolah berkata, “Jadi mereka tetap ingin menyembunyikannya, ya?” dengan rasa muak yang samar.

**

—POV Ketua Tachibana—

Begitu aku membuat janji dengan Mitsuda-kun, aku langsung menghubungi Matsuda, adik kelas di klub sastra.

Tujuannya: menimpakan semua kesalahan kepadanya.

“Matsuda-san. Ini darurat. Aku ingin bicara langsung. Bisa datang ke sini? Aku juga akan tinggalkan memo rahasia di loker dekat stasiun dengan nomor ini, tolong lihat dulu.”

Aku meninggalkan instruksi khusus untuknya di loker. Aku sudah menuju ke stasiun sekarang, jadi persiapannya akan selesai segera.

Setelah itu, tinggal menggerakkan dia, Mitsuda-kun, dan anggota klub sepak bola…

Aku akan bungkam Ikenobu Eri, dan menyalahkan semua kejahatan pada mereka.

Itu satu-satunya jalan.

“Benar… Aku pasti bisa. Karena aku adalah orang yang paling pandai memanipulasi manusia.”

Setidaknya, itu kemampuan yang kupunya melebihi Aono Eiji atau Kondo-kun.

Aku akan memanfaatkan senjata terakhirku sepenuhnya untuk lolos dari krisis ini. Itu harapan terakhirku.

Harapan terakhir?

Apa maksudnya?

Tanpa kusadari, aku telah berada di tepi jurang kehidupan. Rasa rendah diri yang tak tertahankan mulai menggerogoti diriku…

Semua yang telah kubangun akan hilang. Sekalipun aku berhasil melarikan diri, aku tetap harus hidup dengan beban berat: rasa rendah diri terhadap Aono Eiji si jenius.

Itu adalah salib yang perlahan-lahan melukai jiwaku semakin dalam.


Chapter 177 – Tekad Seorang Guru

—POV Takayanagi—

Aku datang ke sebuah bar tempat bisa main shogi, diajak oleh kepala sekolah.

Karena sibuk mengurus masalah baru-baru ini, aku belum sempat bersantai. Kepala sekolah yang melihat itu pun memutuskan mentraktirku.

"Kalau begitu, bersulang."

Kepala sekolah mengangkat gelas bir ke arahku.

Aku mengangguk dan menyentuhkan gelasku dengan perlahan.

"Terima kasih atas kerja kerasnya."

"Tetap saja, Anda memang mantan master amatir. Saya tidak bisa menang, bagaimana pun caranya."

Kepala sekolah tersenyum pahit, memandangi raja catur yang baru saja dikalahkan.

"Saya senang bisa bermain shogi lagi. Rasanya menyegarkan."

Sepertinya beliau cukup mengkhawatirkanku. Memang, belakangan ini aku terus lembur.

"Itu bagus. Ngomong-ngomong, kamu tahu kata-kata legendaris Kimura Yoshio, master shogi sebelum perang, saat ia kalah dan kehilangan gelarnya dari Oyama Yasuharu setelah perang?"

Pecatur memang cenderung jadi otaku shogi karena daya ingat mereka. Aku pun termasuk.

"Tentu. 'Saya telah menemukan penerus yang baik', bukan?"

Kepala sekolah tersenyum lebar.

"Benar. Ini momen yang tepat untuk bicara jujur denganmu, Takayanagi-sensei. Kamu adalah guru yang luar biasa. Aku sendiri bahkan tak sebanding. Karena itulah, meski rasanya lancang, melihat kinerjamu, aku ingin meniru kata-kata besar itu. Di usia yang tinggal beberapa tahun lagi sebelum pensiun ini… akhirnya aku merasa telah menemukan 'penerus yang baik'."

"Ah, saya belum layak menerima pujian itu. Masalah ini bisa ditangani karena bantuan guru-guru lain juga..."

"Itu hanya kerendahan hatimu. Masalah ini adalah sesuatu yang kebanyakan orang akan mundur menghadapinya. Tapi karena kamu menyadarinya lebih awal, semua ini bisa terjadi. Biar kuceritakan sedikit masa lalu. Dulu aku juga pernah jadi wali kelas di kelas yang mengalami kasus perundungan."

Raut wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam. Aku langsung bisa menebak sisanya.

"…Akhirnya, aku gagal melindungi muridku seperti kamu. Dia sampai keluar dari sekolah. Aku baru menyadarinya saat si korban mulai sering absen. Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku sebagai guru."

Itu pasti sangat membebani hati seseorang. Menjadi guru artinya memikul tanggung jawab terhadap masa depan anak-anak. Meski itu disadari secara teori, kesibukan sehari-hari bisa membuat kita kehilangan kesadaran akan itu.

"Itu..."

Aku tak bisa melanjutkan. Karena aku tahu, jika Eiji mengalami hal serupa seperti murid kepala sekolah dulu, aku pun akan menyesal seumur hidup.

"Karena itu, tindakanmu sungguh luar biasa. Mengetahui ada guru seperti Takayanagi-sensei di lapangan, membuatku tenang untuk menyerahkan tongkat estafet ini."

Wajahnya menunjukkan keteguhan hati seseorang yang telah menetapkan tekad.

"Terima kasih banyak."

Itu satu-satunya hal yang bisa kukatakan.

"Benar. Dan, akhir-akhir ini anak muda luar biasa, ya. Menjadi atlet Olimpiade di usia belasan sudah biasa. Bahkan dalam dunia shogi, ada anak muda seumuran SMA yang jadi top profesional. Aono Eiji-kun yang kamu lindungi pun pasti akan menjadi salah satu dari mereka. Meski banyak orang dewasa pesimis akan masa depan Jepang, aku justru merasa belum terlambat, karena anak-anak luar biasa seperti mereka terus bermunculan. Maka dari itu..."

Kepala sekolah menatap mataku dalam-dalam dan berkata dengan penuh keyakinan.

"Aku yang akan menanggung semua tanggung jawab. Karena itu, kuharap kamu tetap melangkah lurus. Mungkin nanti akan ada orang luar yang coba mencampuri, tapi tak usah dihiraukan. Menanggung tanggung jawab adalah tugasku."

Jika atasanku sudah menunjukkan tekad sebesar itu, maka aku pun harus menjawabnya.

"Saya akan memberikan yang terbaik."

Kepala sekolah tersenyum dengan tenang.

**

POV Kepala Sekolah

Setelah berbincang dengan Takayanagi-sensei, aku bangkit dari tempat duduk dan menuju toilet di waktu yang pas.

Sambil melihat kotak masuk email di ponsel dari saku dalam jas, aku menahan amarahku.

Beberapa jam sebelumnya, seorang teman yang bekerja di Kementerian Pendidikan telah mengirimkan pesan peringatan:

(“Tampaknya, pihak atas ingin mencampuri masalah perundungan ini untuk menyelesaikan skandal politik secepatnya. Mungkin akan ada tekanan, jadi hati-hatilah.”)

Aku bersyukur atas peringatan dari temanku yang baik hati, dan merasa muak terhadap dunia yang sudah membusuk ini.

“Kalau tak bisa melindungi murid dan rekan guru… masih pantaskah aku disebut kepala sekolah?”


Chapter 178 – Klub Sepak Bola

—POV Mitsuda—

Aku dipanggil oleh Tachibana. Padahal kami seangkatan sejak SMP, tapi hampir tidak pernah benar-benar berbicara.

Namun, situasinya benar-benar jadi runyam.

Aku terkena skors karena terpengaruh oleh Kondo dan kawan-kawannya. Padahal aku bukan pelaku langsung—hanya karena menyebarkan rumor dengan niat buruk, aku tetap dijatuhi hukuman.

Sial. Dan kalau sekarang Ikenobu sampai melapor pada guru-guru tentang hal-hal yang tidak pernah terjadi, hukumanku tidak akan berhenti di skorsing saja.

Seingatku, dia dulu dipaksa putus dengan Endo—teman masa kecilnya—lalu langsung dibuang dan diperlakukan seperti perempuan yang bisa dimanfaatkan semaunya. Kalau begitu, aku bisa mengerti kenapa sekarang dia bertindak nekat, ingin balas dendam, dan mencoba menyeret sebanyak mungkin orang ke dalam kehancurannya.

Orang yang tidak tahu latar belakangnya mungkin tidak akan bisa memahami ini semua.

"Kalau memang begitu, aku bakal hancur juga, ya?"

Mungkin kalau dibiarkan, skorsingku akan naik jadi penangguhan sekolah. Sementara orang seperti Kondo dan Aida, yang jadi pelaku utama, pasti akan dikeluarkan.

Aida malah lebih parah—karena orang tuanya bertindak gegabah, mengunggah di media sosial kalau mereka adalah korban, sampai akhirnya menuai hujatan besar-besaran. Sekarang bahkan keluarganya ikut dikucilkan secara sosial.

Itulah sebabnya Tachibana mendekatiku—orang yang mungkin masih bisa melanjutkan sekolah.

Perempuan itu punya kemampuan berpikir iblis. Sial, sial, sial. Apa aku akan jadi bonekanya juga? Sama seperti yang Kondo lakukan padaku...

Saat aku menunggu di taman yang sudah ditentukan, seorang perempuan muncul di depanku.

**

—POV Anggota Klub A—

Aku datang ke tempat yang sudah ditentukan oleh ketua klub. Berdasarkan instruksi rahasia yang ditaruh di loker dekat stasiun, masa depan kami tergantung pada apakah kami bisa mengendalikan senpai kelas 3 ini dengan baik.

Senpai Mitsuda. Katanya sih, dia dekat dengan Kondo-senpai. Tapi kudengar juga kalau sebenarnya dia lebih sering diperlakukan seperti bawahan. Jadi, meskipun dia senpai, toh cuma anak buah Kondo-senpai. Kalau kupikir begitu, aku jadi tidak takut.

“Aku datang atas perintah Tachibana-buchou.”

Dia membalas dengan gugup, “Baik. Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Seingatku dia sedang diskors sekarang. Sudah di ujung tanduk rupanya. Dia juga kelihatan tidak punya banyak waktu tersisa.

Dalam rencana kami, semua kesalahan akan dialihkan padanya.

Pertama, kami akan menuduh bahwa dia adalah pelaku utama yang mencuri naskah dan barang-barang pribadi milik Aono Eiji dari ruang klub sastra.

Kami tinggal menaruh kunci ruang klub dan potongan naskah yang dihancurkan ke dalam loker atau tas sekolahnya.

Bukti-bukti tidak langsung sudah cukup. Dengan ini, kecurigaan terhadap klub sastra bisa dibersihkan.

Tugas lainnya adalah menghadapi Ikenobu Eri. Karena dia jelas-jelas punya dendam terhadap kami, dia harus disingkirkan atau dibujuk.

Yang akan bertindak kotor adalah Mitsuda-senpai dan anak-anak klub sepak bola. Kami hanya perlu mengarahkan mereka.

**

—POV Tachibana—

Aku bersembunyi di balik bayangan pepohonan taman, mengawasi pertemuan mereka.

Berhasil. Untuk berjaga-jaga, aku memotret mereka diam-diam pakai aplikasi kamera yang tidak berbunyi.

Semua kejahatan akan ditimpakan pada dua orang itu, dan hanya aku yang akan selamat. Semua pesan dikirimkan tanpa meninggalkan jejak.

Meski terasa menyakitkan, aku juga akan menyusun sesuatu di loker milik Matsuda.

“Ikenobu-san yang menyimpan cinta dan benci terhadap Kondo, dan Matsuda-san. Dua orang yang saling menyimpan dendam karena hubungan cinta yang rumit. Mereka saling menyebarkan kebohongan untuk saling mengancam, dan akhirnya…”

Itulah naskah skenario yang sudah kusiapkan. Aku hanya akan diposisikan sebagai korban malang yang terseret oleh konflik asmara dan aksi membela diri dari anggota klub sepak bola.

Dengan begitu, apapun yang mereka berdua katakan nanti tidak akan dipercaya—semua dianggap omong kosong.

“Inilah karya pamungkas yang merangkum seluruh hidupku.”

Aku mempertaruhkan segalanya untuk menjalankan proyek kreatif terakhirku.

Di momen ini saja, aku bahkan melupakan rasa rendah diri terhadap Eiji-kun—hanya ada euforia yang menyelimuti diriku.


Chapter 179 – Kehancuran Keluarga Aida

—POV Aida—

Kebakaran di internet menyebar dalam sekejap. Sudah sejak awal kasus perundungan dan komentar sembrono dari Anggota Dewan Kondo jadi bahan bakar, dan sekarang kami malah menambahkan bahan bakar lagi ke api yang sudah menyala. Si nenek itu hanya bisa menjerit, “Padahal sudah langsung dihapus, kenapa masih beginiii,” tapi...

Akun milik si nenek itulah yang akhirnya membocorkan bahwa aku terlibat dalam kasus perundungan. Entah bagaimana, bahkan aku dituduh sebagai salah satu dalang utamanya.

Akibatnya, api amarah netizen menyebar dengan dahsyat.

**

‘Berita Duka: Anak dari anggota PTA yang menyerbu sekolah ternyata dalang perundungan’

‘Thread Hari Ini: Ibunya koar-koar anaknya korban, ternyata pelaku. Sekolah katanya sewenang-wenang, padahal...’

‘Anak ketua PTA ancam sekolah karena dihukum, tapi malah dibongkar semuanya. Nama ayah dan anak pun ikut terbongkar.’

**

Apakah ini rasa putus asa yang dulu dirasakan oleh Aono Eiji?

Semua terasa seperti musuh. Seolah-olah dunia sedang menertawakanku…

Ibuku pun kini jadi sama paranoidnya denganku. Kami menutup tirai rumah, duduk dalam gelap, menggigil ketakutan. Hanya suara notifikasi dari ponsel saja sudah cukup untuk membuat kami gemetar. Kami memutuskan mematikan ponsel sepenuhnya. Bahkan koneksi internet pun ikut kami putuskan karena merasa seakan-akan sedang diawasi.

Kami benar-benar menutup diri dari dunia luar.

Kami hanya makan satu kali sehari, makanan yang dibeli ayah sepulang kerja dari minimarket. Dengan pola makan seperti ini, tubuh kami makin kurus kering.

“Soal keributan di internet itu… pihak kantor juga kena imbasnya. Aku diminta berhenti sementara sampai semuanya reda.”

Ayah bilang begitu. Aku bahkan tak sanggup menatap wajahnya.

Rasanya seperti semua yang pernah kumiliki runtuh dan menghilang.

Saat aku hendak naik ke kamar di lantai dua, aku mendengar ayah bergumam lirih, seolah tak ingin aku dengar—tapi tetap saja terdengar.

“Dengan begini, bukan cuma tak bisa kembali ke masyarakat… melanjutkan sekolah atau kerja pun mungkin tidak bisa lagi.”

Ucapan itu seperti palu yang menghancurkan masa depan di hadapanku. Aku hampir menangis, lalu berlari ke atas.

Sesampainya di tangga, aku bertemu ibu.

Amarah membuncah.

Kalau saja dia tidak ikut campur—kalau saja dia tidak bertingkah bodoh. Ya, mungkin aku memang akan dikeluarkan dari sekolah, tapi masa depanku takkan sepenuhnya hancur. Semua ini gara-gara si nenek sialan itu.

“Kenapa sih harus ikut campur?! Emangnya kamu bisa apa cuma jadi anggota PTA?! Jangan ge-er, BABA!!”

Mendengar makian itu, dia hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca, lalu jatuh berlutut.

Dan begitulah... neraka yang tiada akhir telah dimulai.

**

—POV Ikenobu Eri—

“Masih yaaa...?”

Aku duduk di kamar, menunggu semuanya berakhir. Sekarang waktunya Tachibana merasa terpojok. Dia pasti sedang berpikir mati-matian bagaimana bisa menyelamatkan diri.

Menyuruh anak-anak klub sepak bola menyerangku?

Mengadu domba anggota klub sastra agar melakukan sesuatu?

Atau melemparkan tuduhan palsu padaku demi menggoyahkan kredibilitasku?

Pilihannya cuma tiga itu, kan, yang kamu punya...

Dan dari ketiga skenario itu, kamu tetap akan hancur bersamaku. Aku menantikannya, sungguh.

Bahkan kalaupun aku tidak bisa menyaksikan akhir hidupmu dengan mata kepala sendiri, aku tidak masalah.

Karena aku ingin menjatuhkanmu ke jurang keputusasaan tepat saat kamu merasa sudah menang.

Bahkan... aku tidak keberatan jika semuanya berakhir di sini. Karena aku memang sudah tak punya apa-apa lagi. Karena itu, aku akan menjemput kematian bersamamu. Sebenarnya aku ingin mati bersama Kondo, tapi kamu pun tidak apa-apa. Aku bisa ke neraka bersamamu, Tachibana.

Cepatlah jatuh ke tempat ini. Kamu juga sebentar lagi akan menjadi seperti aku. Masih merasa berada di zona aman, ya?

Padahal kamu sudah berada di medan perang.


Chapter 180 – Masa Lalu Ikenobu Eri

—POV Ikenobu Eri—

Kenapa semuanya bisa jadi begini, ya...

Kalau saja aku tidak mengkhianati Kazuki, pasti semuanya tidak akan seperti ini.

Itu satu hal yang bisa aku katakan dengan pasti.

**

“Wah, Ikenobu-san jago ngajarin ya. Cepat ngerti jadinya.”

“Iya, malah lebih gampang ngerti daripada penjelasan guru.”

“Eh, kamu udah punya pacar!? Sayang banget, kamu anaknya baik dan ramah gini… Tapi ya sudahlah, andai saja kita ketemu beberapa tahun lebih awal.”

Awalnya, semuanya dimulai dari rayuan semanis itu. Saat duduk di sebelah Kondo-kun saat belajar kelompok, dia mulai menggoda dengan kata-kata begitu.

Lalu, lama-kelamaan kami jadi sering saling menyapa saat bertemu di sekolah. Hatiku perlahan-lahan mulai menurunkan kewaspadaan. Suatu kali dia berkata, “Aku mau minta tolong soal pelajaran buat ujian. Nggak bisa sama siapa-siapa, cuma bisa minta ke kamu. Bisa ketemu hari Minggu, sebentar aja.” Permintaan itu sedikit memaksa, tapi... aku justru merasa senang.

Label sebagai ace klub sepak bola, wajah rupawan, dan popularitasnya di kalangan cewek—semua itu seperti racun yang menggerogoti hatiku perlahan.

Dan tanpa sadar... aku pun menjalin hubungan dengannya.

Aku tahu aku bersalah pada Kazuki. Tapi hubungan itu terus berlanjut, semakin dalam, sampai aku tidak bisa keluar lagi. Sudah tidak bisa berpikir jernih.

“Kamu pilih aku atau Endo?”

“Aku nggak bisa percaya cuma dari kata-kata.”

Saat dipaksa memilih, aku kehilangan kendali dan menyerang Kazuki dengan kata-kata kasar.

“Aku lebih suka Kondo-kun daripada kamu.”

“Aku nggak bisa apa-apa. Kamu nggak sebanding sama Kondo-kun.”

“Aku cuma pacaran sama kamu karena kita teman masa kecil.”

“Jangan pernah ajak aku bicara lagi.”

Bahkan hanya mengingatnya saja membuatku mual. Aku sudah mengatakan hal sekejam itu.

Baik sebagai perempuan maupun sebagai manusia, aku sudah melakukan sesuatu yang paling rendah. Ekspresi Kazuki yang penuh luka terus membekas di pikiranku. Semakin aku mengingatnya, semakin terasa kalau hatiku perlahan-lahan menuju kematian.

Setelah itu, Kazuki tidak pernah muncul lagi di hadapanku.

Gosip tentang perselingkuhanku pun langsung menyebar. Orang tuaku yang mendengarnya langsung mendesakku.

“Ada apa ini? Kazuki-kun katanya nggak masuk sekolah. Kamu... kamu sudah lakukan apa?”

Aku tak bisa membalas. Ekspresi putus asa mereka sama persis dengan wajah Kazuki saat itu.

**

“Kayaknya kita putus aja, ya. Aku udah nyakitin dia terlalu parah. Aku nggak boleh deket-deket kamu lagi.”

**

Akhirnya, aku dibuang. Kalau dipikir sekarang, itu egois banget. Tapi waktu itu, aku cuma punya dia, jadi aku terus memohon. “Jangan tinggalkan aku,” kataku dengan menyedihkan. “Kalau kamu nggak ada, aku nggak punya siapa-siapa lagi.” Saat aku mengatakan itu, dia memelukku dengan lembut.

Tapi kalau kupikir sekarang, hari itulah aku membuang harga diriku. Aku berubah jadi perempuan murahan yang hanya digunakan saat dibutuhkan.

Sejak saat itu, aku sering melihat dia jalan sama cewek lain. Aku cemburu. Aku putus asa. Tapi aku terlalu takut kehilangan semuanya, jadi aku tidak bisa marah ataupun menuntut apa pun.

Karena telah mengkhianati orang-orang penting dalam hidupku, hatiku perlahan-lahan mati dan membeku. Tiga bulan aku tidak masuk sekolah. Dibuang oleh orang tua, aku dikurung di kamar ini, yang jadi penjara bagi tubuh dan jiwaku. Tidak ada yang bisa menolongku. Dan aku pun merasa tak layak untuk ditolong.

Aku perempuan terburuk. Perempuan jahat. Kalau begitu, biar aku berdansa dan jatuh seperti perempuan jahat sejati.

Ya, saatnya sudah tiba. Besok, dia akan mulai menyerangku. Mari siapkan panggung yang sempurna untuk akhir cerita ini.

**

—POV Ketua Klub Tachibana—

Matsuda-san melakukannya dengan baik. Ini akan berhasil. Lagipula, Ikenobu-san itu perempuan gampang.

Kondo-kun hanya tinggal memainkan peran sesuai naskah yang aku siapkan, dan dia langsung terpikat. Lalu dia menusuk hati teman masa kecilnya dengan kata-kata yang juga aku tulis.

“Nah, akhirnya saatnya tiba. Kali ini, giliran aku yang menusukmu sampai tamat.”


Previous ChapterNext Chapter

4 comments

4 comments

  • Reader
    Reader
    30/6/25 11:32
    Gilaa walaupun ga ada ilus nya tapi inilah kenikmatan baca wn
    Reply
  • Godok
    Godok
    27/6/25 21:40
    Bangsat sampai ke akar2 nya ini tachibana mah, kayaknya char ini yg bakal menderita di akhir😂
    • Godok
      Jio
      28/6/25 03:07
      Bener bener manipulatif orangnya njir. Gw gatau kalo si Tachibana ini udah berhasil dibasmi apa ceritanya udah bakal selesai?
    • Godok
      Godok
      29/6/25 09:35
      Kayak nya belum sih, soalnya ai beberapa kali nyebut soal ayah nya. Mungkin habis tachibana ini bakal ada arc tentang ayah ai
    Reply
close