NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 221 - 230

 Chapter 221 – Momen di Kamar Mandi (Bagian 2)


POV Ichijou AI

Pintu kamar mandi terbuka sepenuhnya.

Tepat di depanku, Senpai berdiri sambil memeluk setumpuk handuk. Karena tumpukannya lebih tinggi dari pandangan matanya, dia tidak menyadari keberadaanku di sana.

“Maaf, Ai-san. Aku masuk, ya. Ibu nyuruh aku bawa handuk ke sini,” katanya dengan nada santai.

Mendengar suara tenangnya, aku nyaris menjerit tanpa suara. Sedikit panik, aku refleks menarik kemeja yang sedang kupeluk.

Tidak boleh, saat membuka pintu, harusnya bilang dulu dari luar! Mungkin dia lengah karena ini rumahnya sendiri. Sebelum dia sadar, aku harus memperingatkannya. Dengan suara gemetar, aku berkata:

“Senpai, jangan gerak. Sekarang aku… nggak pakai apa-apa. Tolong kasih waktu sebentar...”

Tapi itu justru jadi bumerang.

Ucapan itu malah membuatnya ikut panik.

“Eh?! A-ah, maaf!” katanya gugup.

Dia berusaha keluar dari ruangan, tapi tumpukan handuk di pelukannya terjatuh karena gerakannya yang tergesa-gesa. Aku buru-buru membalikkan badan, membelakangi dia.

Waktu seolah berhenti.

Aku menutup mata rapat-rapat. Jantungku berdegup begitu kencang sampai terasa menyakitkan.

Lalu aku sadar—aku sedang memeluk kemejanya dengan posisi yang benar-benar memalukan. Dilihat dari POV mana pun, ini seperti aku sedang mencium aromanya. Lebih dari malu karena terlihat tanpa busana, aku justru takut disalahpahami dan dibenci Senpai.

“KYAAAAAAAHHHHHH!!!”

Aku berteriak tanpa sadar.

Perlahan, aku membuka mata untuk memeriksa ekspresi Senpai. Dia terlihat sedang menutup matanya rapat-rapat, seperti menahan diri sekuat tenaga. Melihat usahanya itu, aku malah jadi tertawa kecil.

“Maaf… aku ceroboh,” ucapnya dengan suara bergetar.

“Kamu lihat?”

Aku bertanya pelan, agak takut.

Dia menggeleng keras, rambutnya ikut berantakan.

“Benar-benar nggak lihat?”

Aku bertanya lagi, kali ini lebih serius. Gerakannya jadi agak ragu.

“...Maaf. Sedikit,” jawabnya jujur, tampak benar-benar menyesal.

Anehnya, justru kejujurannya itu membuatku merasa sayang padanya.

“Dasar bodoh.”

“Maaf banget…”

Dia tampak benar-benar tersudut, seperti anak kecil yang hampir menangis.

“Mesum.”

Dia makin meringkuk.

“Pokoknya, belum boleh lihat, ya.”

Setelah mengucapkan itu, aku kembali masuk ke dalam kamar mandi.

“Sudah boleh,” kataku kemudian.

Karena panik, aku masih memegang kemeja miliknya.

“Maaf banget… handuknya aku taruh di sebelah mesin cuci aja, ya,” katanya dari luar, lalu buru-buru pergi dari ruang ganti.

Aku menghela napas lega.

“Tadi… sempat terlihat ya…”

Malu sekali. Tapi dengan mengakui itu, aku mencoba menenangkan diri dan membenarkan tindakan selanjutnya.

“Sebagai balasan, ya…”

Aku memeluk kemejanya erat-erat. Seolah sedang dilindungi olehnya, perasaanku perlahan diliputi kehangatan yang menenangkan.

Aku sadar lagi, betapa aku sangat mencintainya. Mungkin setelah ini akan sedikit canggung. Tapi memang harus begitu. Merasakan kehangatan orang yang kusayangi membuat hatiku perlahan mencair.

Pelan-pelan, aku pun menyusupkan lenganku ke dalam kemejanya.


Chapter 222 – Suasana Canggung tapi Membahagiakan

POV Aono Eiji

Sial… Aku melarikan diri dari kamar mandi dan kini meringkuk dalam rasa bersalah.

Harusnya tadi aku mengetuk dulu sebelum masuk. Aku terlalu lengah setelah Ibu bilang, “Ai-chan baru saja masuk, bawakan handuk untuknya, ya.”

Jujur saja, karena aku tinggal di rumah yang semua penghuninya laki-laki, aku tidak pernah sekali pun merasa perlu berhati-hati soal kamar mandi. Dan kelengahan itu kini berbalik jadi bencana.

Bayangan samar dari kejadian tadi membuat tubuhku kaku.

Sosok putih dan indah yang tidak pantas untuk kulihat… ada di ruang ganti rumah ini.

“Dia marah nggak, ya…”

Dengan kekhawatiran di hati, aku menatap kosong ke langit-langit. Lalu tiba-tiba, wajahnya muncul di sana.

“Tidak apa-apa kok. Aku tidak marah sejauh itu.”

Ia mencoba mengejutkanku tanpa suara, tersenyum kecil. Rambutnya masih basah, memberi kesan seolah ini dunia yang berbeda. Ia juga mengenakan kemejaku. Yah, memang pakaiannya sedang dibawa Ibu ke laundry, jadi tidak ada pilihan lain. Tapi tetap saja—melihat dia yang baru selesai mandi, mengenakan baju kebesaran milikku, itu terlalu berbahaya untuk remaja laki-laki biasa.

“Wahai waktu, berhentilah. Engkau begitu indah…”

Tanpa sadar aku mengutip kalimat terkenal dari Faust karya Goethe.

“Apa-apaan itu? Baru saja bikin masalah, langsung ngomong kata-kata seakan mau mati. Kamu niat bunuh diri?”

Tanggapannya membuatku tertawa. Itu balasan yang hanya bisa diberikan seseorang yang benar-benar membaca Faust sampai akhir. Memang dia luar biasa. Pintar dan berwawasan. Tapi, sebelum aku terus kagum, ada sesuatu yang harus kuucapkan dulu.

Aku berbalik, duduk bersila dan menunduk.

“Maaf soal tadi. Aku benar-benar lengah.”

“Gak apa-apa kok. Kalau yang lihat Senpai, aku gak keberatan,” katanya pelan dengan wajah agak malu.

“Terima kasih. Eh, kamu baik-baik saja? Wajahmu merah banget…”

Walau baru keluar dari kamar mandi, wajahnya terlihat memerah, bahkan seperti sedang demam.

“Aku juga malu, tahu… dasar bodoh.”

Dia membalas sambil menggeliat malu.

“Mau makan es krim?”

Itu kalimat yang keluar begitu saja dari mulutku…

“Mau!” jawabnya cepat, sambil mengipasi dirinya pakai tangan agar rasa panasnya berkurang.

Aku langsung lari ke freezer.

“Kenapa juga tadi sampai bilang ‘kalau Senpai sih nggak apa-apa lihat aku telanjang’… Aku ini bodoh.”

Aku mengambil es krim vanila kualitas bagus yang biasa kami pakai sebagai menu penutup di restoran, dan menyajikannya untuk kami berdua.

“Nih.”

“Makasih.”

Setelah itu, kami makan es krim dalam keheningan yang agak canggung. Saat suapan pertama, dia bilang, “Enak.” Meski suasananya kaku, entah kenapa tidak terasa buruk.

Kemudian, Ibu pulang.

“Hujannya makin deras, ya. Loh, kenapa kalian berdua diam saja? Ada apa nih?”

Ibu tersenyum seolah tahu sesuatu.

“……”

Kami cuma bisa terus makan es krim dalam diam.

“Eiji, bantu Ibu sebentar ke dapur, ya.”

Aku pun berdiri dan pergi ke dapur.

**

“Ibu, tadi itu… Ibu sengaja ngeledek kami, ya…”

Saat aku mengeluh, Ibu hanya tersenyum sedikit tanpa menjawab.

“Eiji, Ai-chan nggak apa-apa?”

Senyumnya menghilang, berganti ekspresi serius.

“Entahlah. Tapi dia terlihat sangat terpukul.”

“Iya, karena itu, Ibu rasa kamu harus tetap di samping Ai-chan.”

“Eh?”

“Hujan juga belum berhenti. Biarkan dia menginap di sini malam ini.”


Chapter 223 – Menginap

Eh… dia bilang menginap di rumah?

Bukankah itu pernyataan yang seharusnya tidak dikatakan oleh ibu kandung seorang anak laki-laki… kepada pacar anaknya?

Bukankah orang zaman dulu pernah bilang, “laki-laki dan perempuan tak boleh tidur sekamar sejak usia tujuh tahun”?

"Itu ucapan dari Tiongkok kuno, tahu. Zaman sekarang, cuma kamu yang masih pakai istilah kayak gitu," kata Ibu sambil tertawa seakan bisa membaca pikiranku seperti seorang cenayang.

"Kenapa bisa baca pikiran, sih?"

"Kelihatan kok di wajahmu, kamu lagi mikir soal ‘laki-laki dan perempuan tidak boleh sekamar sejak usia tujuh tahun’.”

"Mana mungkin kata-kata kayak gitu nempel di wajah!"

Kalau sudah begini, aku tahu Ibu tidak akan berhenti.

"Tapi, tetap saja…"

"Gak apa-apa, malah justru lebih bahaya kalau dia dibiarkan sendirian di apartemennya sekarang."

"Tapi bisa jadi heboh loh nanti…"

"Tenang saja. Kalau perlu, Ibu yang akan bicara ke Ayah."

Begitu Ibu menegaskan hal itu, aku tidak bisa membantah apa pun lagi.

**

Saat aku kembali ke ruang tamu, dia tampak lega sambil menonton televisi.

"Apa urusan Ibumu sudah beres?"

"Iya, dan… gini, hari ini kamu mau menginap di rumahku, nggak?"

Aku langsung mengatakannya secara jujur tanpa basa-basi. Mendengar itu, dia langsung membeku. Dengan sedikit menutupi dadanya, dia memandangku dengan tatapan curiga.

"Ehm… maksudnya itu… mengandung makna khusus?"

Tatapannya yang penuh arti itu bikin aku ingin mati karena malu.

"Bu-bukan! Maksudku, hujan makin deras dan kamu juga kelihatan lagi sedih. Kurasa nggak baik kalau kamu sendirian. Aku juga udah diskusi sama Ibu."

"Oh… Aku jadi merepotkan, ya. Maaf, ya."

"Nggak harus kok. Aku tahu nginep di rumah cowok itu pasti bukan hal yang mudah buat cewek…"

"Iya sih. Tapi, tolong, aku mau menginap hari ini."

"Eh? Serius?"

Respons tak terduga itu membuatku salah tanggap sejenak.

"Maksudku, aku mau nginap. Aku belum pernah menginap di rumah teman sebelumnya, jadi aku memang sedikit ingin coba. Lagipula…"

"Lagipula?"

"Kapan lagi bisa punya kesempatan nginep di rumah pacar, coba? Aku… sedikit menantikannya juga."

Aku merasa suara “rasionalitasku” perlahan terkikis. Menanti… menanti apa!?

"Kamu nggak apa-apa kalau nggak bilang ke Ayahmu?"

"Nggak apa-apa. Aku bakal kasih kabar lewat email. Aku bisa bilang aku nginep di rumah teman."

Apa bener itu bakal baik-baik aja?

"Tenang, kok. Aku juga bakal bilang ke Kuroi, nanti dia bisa bantu nutupin juga."

"Oke, kalau gitu… aku siapin kasur, ya."

"Tolong, ya. Oh, iya…"

Dia mendekat dan berbisik pelan, hanya bisa didengar oleh kami berdua.

"Rasanya kayak lagi ngelakuin hal yang terlarang, ya. Bohongin orang tua segala."

Aku bisa merasakan suhu tubuhku naik drastis. Aku buru-buru menjauh agar dia tidak sadar.

**

– Perspektif Ichijou Ai –

“Haaah… hari ini aku benar-benar nggak bisa jadi diriku sendiri.”

Aku menghela napas di ruang tamu rumah Aono yang kini kosong.

Tubuhku terasa panas. Bahkan saat aku mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, aku malah semakin jelas mencium aroma miliknya. Aku tahu betul—akal sehatku perlahan mulai runtuh.


Chapter 224 – Malam Berdua

“Kalau begitu, silakan bersantai. Kalian berdua, anak muda,” kata Ibu sambil tertawa terbahak-bahak dan hendak masuk ke kamarnya.

“Eh, tunggu sebentar!” “Itu nggak bener, Bu!” Aku dan Ai bersamaan memprotes, tapi Ibu hanya menanggapi malas,

“Apa sih yang nggak bener?”

Di hadapan kami, tempat tidurku dan futon tamu sudah digelar. Apa-apaan ini? Maksudnya, kami tidur berdua di kamar aku!?

“Biasanya tuh, ibu yang melarang, dan anak-anaknya yang diam-diam melanggar. Kalian terlalu anak baik,” ujarnya enteng.

Ibu ini, malah bilang hal yang gila!

“Setidaknya, Ai-san bisa tidur di kamar Ibu, dong.”

Meski kuprotes begitu, Ibu tetap tidak menggubris. Bahkan, dia berbisik ke Ai-san—cukup keras sampai aku bisa dengar.

“Ai-chan, kamu kan ingin tidur bareng Eiji, kan? Atau… nggak suka?”

Wajah Ai memerah, dan sambil menunduk ia menjawab,

“Bukan nggak suka… cuma, rasanya terlalu cepat aja…”

“Nggak apa-apa kok. Sedikit begadang dan ngobrol dengan Eiji saja. Kayaknya, itu yang kamu butuhkan sekarang.”

Ai sempat ragu, lalu mengangguk pelan. Suasananya sudah jadi seperti ini. Aku tidak bisa menghentikannya lagi.

**

– Perspektif Ichijou Ai –

“Aku saja yang tidur di bawah, ya?”

“Nggak bisa. Tamu masa disuruh tidur di lantai?”

Jawaban itu membuat hatiku hangat oleh kebaikannya, sekaligus sedikit merasa bersalah.

“Kamu nggak kedinginan?”

“Masih bulan September kok, tenang aja.”

Mendengar itu, aku tak bisa menahan senyum. Saat aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, aroma khas Senpai terasa, bukan cuma dari bajunya, tapi juga dari selimut dan udara kamar ini. Rasanya sedikit pusing.

“Ngobrol sebentar, yuk?”

Sambil berbaring, aku menoleh ke arahnya untuk menyembunyikan kegugupan.

“Boleh.”

Dia pun bergeser pelan menghadapku.

“Senpai, sejak kapan mulai suka sama aku?”

Setelah kuucapkan, aku langsung malu sendiri. Terlalu jujur. Tapi malam ini, aku tidak mau berbohong.

“Mungkin sejak kita kabur dari sekolah bareng waktu itu.”

Oh… sama seperti aku.

“Tapi… waktu itu, apa ada hal dari aku yang bisa bikin Senpai suka?”

“Karena kamu satu-satunya yang melihat aku tanpa prasangka. Dan kamu kelihatan senang banget waktu tertawa. Jauh beda dari bayanganku sebelumnya.”

“Langsung to the point banget ya. Tapi… aku juga masih ingat hari itu. Mungkin hari itu aku bisa tertawa dari lubuk hati untuk pertama kalinya. Itu semua karena Senpai.”

Aku tidak bisa melanjutkan kalimat itu.

Hari itu, aku yang sedang putus asa bertemu denganmu secara kebetulan. Kita kabur dari sekolah bersama, dan untuk pertama kalinya aku bisa tertawa. Di Kitchen Aono ini pula, aku merasakan kembali kehangatan keluarga yang selama ini ingin kucari.

Tidak mungkin aku tidak jatuh cinta. Aku, yang selama ini tak pandai bergantung pada orang lain, bisa membuka diri sedalam ini hanya padamu.

Karena itu… aku jatuh cinta pada Aono Eiji.

“Senpai, boleh aku… mendekat sedikit?”


Chapter 225 – Malam Berdua (Bagian 2)

—POV Ichijou Ai—

Apa yang sudah kukatakan barusan…!?

“Senpai, boleh aku mendekat sedikit?”

Begitu kalimat itu keluar, aku bisa merasakan napasnya terhenti. Ia membeku. Beberapa detik sunyi berlalu. Dalam gelap ini, hanya napas kami berdua yang terdengar. Setelah mengatakannya, jantungku berdetak sampai terasa sakit.

“Boleh,” jawabnya lembut.

Suaranya yang penuh kasih itu perlahan tenggelam dalam keheningan malam.

“Kalau begitu, aku permisi, ya…”

Aku berusaha tetap terlihat tenang. Itu semacam harga diri terakhirku sebagai seorang gadis.

Walau hatiku gemetar, tubuhku seolah diam-diam menanti—dan aku pun masuk ke dalam selimut yang sama dengannya.

Dia sudah lebih dulu memiringkan tubuh, menciptakan ruang di sisinya.

“Ah…”

Begitu aku menyusul masuk, kami menyadari bahwa jarak wajah kami sangat dekat.

Bahkan dalam gelap, aku masih bisa melihat raut wajahnya.

Karena tempat yang kini kududuki tadi adalah posisinya, aku juga masih bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang tersisa di sana.

Aroma khasnya yang sejak tadi kucium dari bajunya kini makin pekat, karena aku mengenakan kemejanya, berbagi selimut dengannya, dan berada begitu dekat.

“Kamu nggak kedinginan?”

Dia tetap bersikap baik padaku.

“Nggak, aku baik-baik saja.”

Dalam jarak sedekat ini, napas kami bisa saling mengenai. Jika tak hati-hati, tubuh kami bisa bersentuhan.

Kecanggungan tadi sudah berubah makna.

Sebelum akal sehatku hilang, aku harus menyampaikan ini.

“Senpai, terima kasih banyak untuk hari ini.”

“Sama-sama. Kita ketemu juga karena kebetulan, dan soal menginap, itu juga ide Ibu.”

Seperti biasa, ia bersikap lembut. Aku lalu menyentuhkan tanganku—yang agak dingin—ke tangan kirinya di dalam selimut.

“Tetap saja… terima kasih karena sudah menemukan aku.”

Entah sejak kapan, tangan kami sudah saling menggenggam.

Kehangatan dari tangannya mulai merambat ke tanganku yang dingin.

Ya, dia memang seperti itu.

Dia selalu muncul tepat di saat aku membutuhkannya—saat aku ingin ada seseorang di sisiku, dia pasti ada.

Dia diam-diam menyelamatkanku.

Sebelum bertemu dia, aku tak percaya dengan yang namanya “takdir.”

Atau mungkin, aku mempercayainya—tapi dalam arti yang buruk.

Aku sering berpikir: kenapa aku harus mengalami semua ini?

Kenapa hidup tidak adil? Aku kira semua itu adalah takdir.

“Waktu itu, aku janji akan menangkapmu, kan?”

Janji pada hari penting itu.

Dia masih ingat. Aku senang sekali.

Tangan kami kini bergenggaman erat.

Waktu itu, aku sudah menyerah.

Aku pikir, tak peduli diperlakukan seburuk apa, aku sudah tak punya apa-apa lagi.

Aku bahkan siap jika dia menciumku atau memelukku.

Tapi yang dia lakukan justru mencari tahu apa yang benar-benar aku butuhkan.

Dan itulah kenapa… aku bisa merasa aman.

Orang yang paling kucintai kini ada di hadapanku.

Dan aku tahu, dia akan tetap berada di sisiku.

“Ternyata kamu masih ingat…”

“Nggak akan lupa. Aku pernah bilang, aku akan terus berada di sampingmu.”

Itulah dirimu, Senpai.

Kenapa sih kamu tahu persis kata-kata yang ingin kudengar?

Padahal aku pikir semua orang sudah meninggalkanku…

Tapi kamu malah menarikku kembali.

Bahkan memberiku tempat untuk pulang…

“Iya…”

Aku bergumam pelan dan menyandarkan kepalaku di dadanya.

Biasanya aku menangis di sini. Tapi kali ini berbeda.

Seperti biasa, dia memelukku erat.

“Semua akan baik-baik saja.”

Suara lembut itu sampai ke telingaku.

Aku menatap wajahnya…Dan dengan seluruh alasan aku jatuh cinta, dengan seluruh perasaanku…

…kami menyentuhkan bibir kami perlahan.

Waktu seolah berjalan pelan, seolah kami ingin menikmatinya.

Kami saling menjauh sedikit.

Saat kulihat wajahnya yang tampak terkejut, aku pun menutup mata perlahan—bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika aku tetap seperti ini.

Ciuman kedua…

Lebih lembut dari yang pertama.


Chapter 226 – Akhir dari Keluarga Pelaku Perundungan & Malam Berdua (Bagian 3)

—POV Ibu Aida—

Bagaimana semuanya bisa jadi seperti ini…?

Anakku dulu masuk SMA bergengsi di prefektur ini. Dalam sepak bola, dia punya bakat luar biasa hingga bisa ikut turnamen nasional.

Dia adalah anak yang bisa kubanggakan. Aku bahkan suka memamerkannya ke kerabat dan tetangga.

“Ini salahmu karena gagal mendidiknya! Kenapa juga kamu posting omong kosong kayak gitu ke internet!? Sekarang alamat rumah kita tersebar, semua orang menatap kita dengan jijik, bahkan ke toko pun malu! Ini semua karena kebodohanmu sampai anak itu harus berurusan dengan polisi!”

Suamiku lepas tangan dan melimpahkan semua kesalahan padaku.

“...Keterlaluan, egois sekali kamu!”

Aku tak tahan lagi dan membalas.

“Apa!? Perempuan tua dari PTA yang dijuluki monster di internet nggak punya hak melawan suaminya! Kita ini sudah selesai! Anak kita ditangkap polisi, keluar dari sekolah. Dia pelaku kejahatan yang berusaha menyerang seorang gadis dengan geng-nya. Dia merusak fasilitas sekolah, dan mengintimidasi teman-temannya. Kita melahirkan sampah! Karena kamu, semuanya terbongkar dan sekarang semua orang tahu! Aku nggak bisa kerja lagi! Ini semua, semuanya salahmu!!”

“Bukan begitu! Dia cuma terbawa pengaruh buruk dari anak-anak jahat! Dia sendiri bahkan nggak sadar telah melakukan kesalahan sebesar itu! Yang salah itu... senior itu, Kondo!”

“Aku nggak peduli! Tapi yang jelas, anak itu pasti dikeluarkan dari sekolah. Sama kayak anak-anak lain dari klub sepak bola itu. Aku nggak akan membiayai hidupnya lagi. Kalau dia pulang ke rumah, kamu berdua keluar! Aku mau cerai! Anggap saja kamu disingkirkan dari keluarga! Kalau kamu masih bela dia, silakan urus sendiri!”

Suamiku lari ke dapur. Lalu terdengar suara barang pecah.

Semuanya terasa runtuh. Beberapa minggu lalu saja, semua masih berjalan seperti biasa. Tapi kini, kehidupan kami hancur karena perbuatan anak kami.

Suamiku itu orang yang penuh harga diri. Bisa saja dia benar-benar berhenti kerja.

Aku ingin menyelamatkan pernikahan kami, tapi rekaman ancaman yang pernah kulontarkan di sekolah telah menyebar dan menjadi digital tattoo—tak bisa dihapus meski sudah berkali-kali kuajukan permintaan penghapusan.

Sejak video itu tersebar, suamiku menatapku seakan aku ini sampah.

Ketika anak itu pulang nanti, aku harus menyambutnya dengan wajah seperti apa? Apa aku masih bisa mencintainya sebagai anakku?

Aku terisak, dan keruntuhan keluarga ini perlahan menjadi nyata.

Dalam rumah yang gelap dan dingin, aku pun benar-benar sendirian.

**

—POV Eiji—

Ai-san memejamkan mata. Aku tahu itu adalah isyarat—maka dengan lembut, aku menyentuh bibirnya.

Napas manisnya yang tak bisa dipercaya, kulitnya yang lembut… Kami berciuman sambil saling berpelukan, sehingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

Kepalaku benar-benar kacau.

Ciuman kedua kami jauh lebih panjang, dan penuh kebahagiaan yang kami bagi bersama.

“Kita beneran ciuman tadi ya…”

Dengan nada suara yang lebih lembut dari biasanya, wajahnya memerah.

“Iya…”

“Seperti yang kamu tahu, itu ciuman pertamaku…”

Ucapannya membuatku jantungku berdegup kencang.

“Makasih…”

“Apa-apaan sih? Kamu malah bikin aku makin malu… Mungkin buat kamu itu biasa aja, tapi aku tuh grogi banget tahu…”

Nada suaranya manja, ditambah tatapan matanya yang menggoda, membuatku makin pusing.

“Aku juga… Itu ciuman pertamaku.”

“Eh?” Dia tampak kaget sebentar, lalu tersenyum.

“Syukurlah. Berarti, itu akan jadi kenangan seumur hidup buat kita berdua, ya?”

Dengan wajah merah dan senyum malu, dia menciumku lagi. Rasanya aku tak bisa berhenti.

“Sampai di sini dulu, ya. Kalau lanjut terus, kita bisa kelewatan…”

Perasaanku campur aduk antara senang dan sayang.

Lalu, dia perlahan bangkit dari selimut.

Aroma manisnya masih tertinggal. Saat duduk dan hendak pergi ke tempat tidur sendiri, dia menoleh—wajahnya penuh rasa enggan.

Dan saat aku nyaris membuka mulut untuk memintanya tetap tinggal…

“Senpai, boleh nggak… malam ini aku tidur di sini aja? Aku… nggak mau sendirian.”

Tak ada alasan untuk menolak.


Chapter 227 – Penyesalan Miyuki

—POV Miyuki—

Aku sedang menjalani masa skors, tidak bisa pergi ke sekolah, dan hanya bisa mengurung diri sendirian di rumah.

Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku pasti akan dikeluarkan dari sekolah. Bahkan jika tidak pun, aku sudah tidak punya tempat di sana. Aku pun sudah tidak berhak untuk mengandalkan para guru.

Bagaimanapun juga, aku telah mengkhianati Eiji dan teman-temannya yang selama ini begitu baik padaku.

Aku membuatnya sampai hampir bunuh diri. Itu pun kulakukan semata-mata karena takut reputasiku rusak—aku menuduhnya dengan kejahatan yang tak dia lakukan.

Jika kupikirkan dengan tenang, ini semua benar-benar keterlaluan.

Bel rumah berbunyi. Mungkin guru-guru datang.

“Ini Takayanagi. Amada, kau baik-baik saja?”

Suara itu dari Pak Takayanagi. Di belakangnya, ada Bu Mitsui juga.

Karena kejadian di atap beberapa waktu lalu, ditambah ibuku yang masih dirawat di rumah sakit, mereka berdua datang setiap hari setelah pulang kerja. Mereka masih peduli padaku meskipun aku sudah seperti ini. Mungkin mereka hanya ingin menjalankan kewajiban sebagai wali kelas, tapi tetap saja…

“Bapak dan Ibu tak perlu datang lagi. Saya tahu kalian sibuk, dan lagipula… saya sudah tidak punya niat untuk mati lagi.”

Meski mereka menyempatkan datang, ucapanku malah kasar dan dingin.

Aku sadar, aku benar-benar sedang jatuh ke titik terendahku.

“Syukurlah. Setidaknya itu membuatku lega.”

Meski aku bicara seperti itu, Pak Takayanagi tetap menanggapinya dengan tenang dan membalas dengan kata-kata yang lembut. Padahal aku sudah tak pantas menerima kata-kata seperti itu.

“Jadi, ini bentuk simpati, ya? Bapak hanya sedang berpura-pura jadi guru yang baik?”

Ini benar-benar pelampiasan. Tapi sekali aku mengucapkannya, semuanya mengalir begitu saja.

Keadaanku yang tidak stabil menekan akal sehatku. Aku memang sampah seperti ini. Aku selalu mengutamakan emosi, dan pada akhirnya akan jatuh serendah-rendahnya. Siapapun yang dekat denganku pasti akan celaka.

“…”

“Kau sudah keterlaluan, Amada.”

Bu Mitsui menegurku, sementara Pak Takayanagi hanya diam menatapku.

“Tidak apa-apa, Bu Mitsui. Aku bisa mengerti jika dia berpikir begitu.”

Meski aku melontarkan kata-kata sekejam itu, dia tetap menunjukkan sikap sebagai seorang guru. Aku merasa sangat terpukul karena tahu aku tidak selevel dengannya.

“Tapi, Amada… apa yang sudah kau lakukan, tidak akan bisa dihapus. Misalnya kalau orangtuamu punya kekuasaan dan kami para guru tunduk pada tekanan mereka, mungkin kasus ini bisa saja ditutup. Mungkin kau juga tidak perlu menderita seperti ini.”

“…”

Ekspresi beliau terlihat sangat terluka—seakan menahan tangis.

“Tapi kalau itu terjadi, kau justru harus menjalani hidup dengan beban rasa bersalah yang jauh lebih berat. Bukankah begitu?”

“…!”

Kalau Eiji sampai meninggal karena kejadian ini… pikiranku langsung kembali ke kenyataan, dan keringat dingin mulai mengucur.

Aku akhirnya tak sanggup lagi dan meminta bantuan:

“Aku telah menghancurkan hidup banyak orang. Semua yang telah kubangun juga hancur. Tapi… apa itu masih belum cukup? Apa lagi yang harus kulakukan? Tolong beri tahu aku.”

Namun...

“Yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Yang bisa kau lakukan hanyalah memikirkan apa yang akan kau lakukan mulai sekarang. Bahkan kami sebagai guru pun tidak tahu jawaban pastinya. Ini bukan hal yang bisa diselesaikan dengan mudah atau diberi solusi oleh orang lain. Kesalahan kalian terlalu besar hingga kalian harus menghadapi pertanyaan sulit seperti ini. Pelan-pelan saja, terimalah kenyataan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa melangkah ke depan.”

Kata-kata itu terdengar begitu dingin, namun justru sangat memahami posisiku.

Semua emosiku tumpah dan aku terjatuh di depan pintu rumah. Dunia seolah menjadi gelap.

“Aku takut untuk maju ke depan… sangat takut…”

Itu satu-satunya jawaban yang bisa kuucapkan.

**

—POV Ugaki—

Aku mendatangi kantor polisi karena ada hal yang ingin kukonfirmasi pada mantan anggota dewan, Kondo.

Lelaki bodoh itu kini ditahan di sini. Sejujurnya, aku tak ingin bertemu lagi dengannya.

“Pak Ugaki, mohon maaf. Sepertinya butuh sedikit waktu untuk persiapannya. Ah, perkenalkan, saya Domoto. Mohon maaf, sebenarnya ada seseorang dari tim kami yang ingin mengkonfirmasi sesuatu kepada Anda…”

Di belakang perwira senior yang menangani kasus ini, berdiri seorang pria kurus, bermata tajam seperti elang, berusia sekitar 40-an.

“Maaf. Kalau begitu biarkan aku menunggu sendiri. Aku ada hal penting yang harus kupastikan. Maaf, tapi hari ini aku ingin sendiri…”

Saat hendak menolak, pria bermata tajam itu mendekat dan berbisik di telingaku:

“Sekjen Ugaki, saya Furuta. Saya menyelidiki kasus perundungan yang melibatkan putra mantan anggota dewan Kondo. Kami juga telah memeriksa ketua klub sastra yang diduga sebagai dalang. Kami ingin mendiskusikan tentang putri Anda… dan tentang maksud Anda juga.”

“Oh?”

Pria tajam seperti ini sebaiknya tidak terlalu didekati.

Tapi kalau mereka sudah menyelidiki sejauh itu, maka aku harus mendengarkan.

“Baiklah.”

Jawabku singkat, dan dia menunjukkan senyum licik di wajahnya.


Chapter 228 – Hati yang Tersembunyi milik Ugaki

—POV Ugaki—

Aku duduk di ruang tamu, berdua saja dengan polisi bernama Furuta. Pengawal pribadiku kusuruh menunggu di luar.

“Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan, Tuan Furuta?”

Dengan nada seramah mungkin, aku membuka percakapan. Furuta membalasnya dengan senyum tipis yang mencurigakan.

“Ya, Pak Ugaki. Saya ingin tahu… mengapa Anda begitu dalam terlibat dalam kasus ini?”

Seolah sedang diinterogasi polisi, aku hanya bisa tersenyum masam. Kalau ternyata ini semua hanya isapan jempol, Furuta bisa kehilangan pekerjaannya. Tapi pria ini tampaknya berbicara dengan penuh keyakinan. Entah itu karena dia benar-benar tangguh… atau hanya bodoh.

“Kenapa orang sebesar Anda sampai turun tangan langsung dalam kasus korupsi politisi lokal seperti Kondo? Bahkan jika Perdana Menteri sendiri memintanya diselesaikan diam-diam, seharusnya Anda bisa menyerahkan urusan ini ke sekretaris Anda. Tapi nyatanya, Anda turun langsung. Kenapa begitu?”

“Aku merasa lebih tenang jika bergerak sendiri. Jawabanku tak memuaskan?”

“Hm, masuk akal. Tapi bukankah Anda justru mengarah pada membongkar kasus ini, bukan menutupinya?”

Tch. Memang berbahaya berurusan dengan orang yang peka seperti ini. Ia bisa menyusun kepingan teka-teki dari satu kejanggalan kecil saja.

“Tanpa komentar. Kalau kamu mau memaksaku bicara, bawalah surat perintah.”

Tentu saja dia tak akan punya itu. Tapi bahkan sindiran pedasku pun tak menggoyahkannya.

“Kalau begitu, izinkan saya menyampaikan pendapat saya saja.”

“Apa aku wajib mendengarnya?”

Aku berdiri, berniat mengakhiri percakapan, tapi dia tetap berbicara.

“Tujuan Anda adalah… balas dendam, bukan? Kepada mereka yang merebut istri Anda, melukai putri Anda, dan hampir mendorong anak sahabat karib Anda ke jurang bunuh diri.”

“...Soal Eiji, itu hanya kebetulan. Tapi berkat kasusnya, rencanaku bisa dipercepat. Meski rasa dendamku jadi dua kali lipat.”

Aku duduk kembali, menatapnya tajam, sekaligus mengakui pernyataannya secara tidak langsung.

“Dana gelap Kondo mengalir ke faksi Perdana Menteri, bukan?”

“Tanpa komentar.”

Tapi tatapanku menyuruhnya untuk lanjut. Memang, aku sedang memainkan permainan penuh kontradiksi.

“Dana itu berasal dari perusahaan konstruksi daerah milik Kondo. Perusahaan yang ukurannya tak seberapa, tapi menang tender untuk jalan raya dan terowongan besar. Pasti karena mereka punya jalur untuk menyalurkan dana itu kembali ke faksi PM. Dan…”

Furuta menatapku tajam. Aku menggenggam pena di sakuku erat-erat agar tak tampak terguncang.

“Proyek-proyek publik yang mereka tangani penuh masalah. Bahkan pernah terjadi kecelakaan runtuhnya terowongan, menewaskan beberapa orang. Dugaan kuatnya, karena penghematan biaya, mereka lakukan pengerjaan asal-asalan. Tapi anehnya, tak ada yang dimintai pertanggungjawaban. Karena semua ini ditutup-tutupi untuk menyelamatkan nama besar dan jalur dana politik. Dan di antara para korban—ada istri dan putri Anda. Semuanya mulai tersambung, bukan? Anda merangsek masuk ke pusat kekuasaan, seolah mendukung PM, tapi sebenarnya… Anda hanya menunggu waktu untuk membalas dendam.”

Aku benar-benar tak menduga ada orang sepintar ini di tempat seperti ini. Aku tak bisa berkata-kata.

Mereka—orang-orang di atas itu—tahu bahwa keluargaku jadi korban. Tapi mereka tetap menjadikanku orang kepercayaan. Atau… mereka pikir aku tak tahu. Bagaimanapun juga, mereka butuh dukunganku untuk menang dalam pemilihan presiden partai. Maka, mereka memujiku, menggandengku masuk ke lingkaran kekuasaan, walau tahu aku bisa menjadi bom waktu.

Mereka bahkan menyerahkan urusan pembersihan kasus ini padaku. Itu jelas penghinaan. Tapi juga… peluang terbaik yang pernah kudapat.

“Tapi ada satu hal… yang tak kumengerti.”

“Teori konspirasimu menarik, tapi tidak tepat.”

Aku mencoba mengakhiri pembicaraan, tapi dia mengabaikannya.

“Tak masalah. Saya tak butuh pengakuan sekarang.”

“Hmph…”

Entah kenapa, aku tak bisa bangkit dari tempat duduk. Kupungut kopi yang sudah disediakan, tapi sudah dingin.

“Yang tidak kupahami adalah ini—kenapa Anda menjauhkan putri Anda? Oke, saya tahu. Anda tak ingin dia berada di dekat Anda yang sedang menjalankan rencana penuh bahaya. Tapi… bukankah kondisi mentalnya juga rapuh? Bukankah lebih berbahaya dibiarkan sendiri? Saya dengar, Anda sangat menyayanginya semasa istri Anda masih hidup. Anda pasti khawatir. Tapi tetap memilih untuk menjauhkannya.”

“…”

“Setelah kejadian itu, Anda sempat dirawat selama dua minggu di RS Keio. Secara rahasia. Rumah sakit itu terkenal memiliki spesialis jantung terbaik. Saya juga perhatikan… Anda sering menyentuh bagian dada di dekat saku pena Anda. Bahkan di televisi. Itu bukan kebiasaan menenangkan diri dengan pena, bukan? Tapi lebih kepada—mengkhawatirkan sesuatu di balik sana. Saya yakin, Anda…”

Tangannya menunjuk ke dadaku. Aku secara reflek menggenggam penaku.

“...Anda menyimpan bom waktu di jantung Anda.”


Chapter 229 – Tekad Ugaki

Aku tak kuasa menahan tawa. Tak kusangka, hanya dengan sedikit petunjuk saja, dia bisa mendekati rahasia yang paling ingin kusembunyikan. Pria ini berbahaya. Tapi… jika dimanfaatkan dengan tepat, dia bisa jadi kartu truf. Ini mulai menjadi menarik.

“Anda ini orang yang menarik, Tuan Furuta. Daripada jadi polisi, bagaimana kalau Anda beralih profesi menjadi novelis atau penulis skenario? Anda pasti bisa menulis serial drama detektif terbaik. Tapi sayangnya, ini dunia nyata. Dan semua yang Anda katakan… hanyalah imajinasi Anda saja.”

Di momen ini, hanya itu satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan.

“Begitukah. Mungkin saya memang harus mempertimbangkan ganti pekerjaan,”

Katanya enteng, seolah tak terganggu sedikit pun oleh seranganku.

Dan obrolan kami pun berakhir begitu saja.

“Tuan Ugaki, persiapannya sudah selesai.”

Atasan Furuta mengetuk pintu dan masuk ke ruangan.

“Terima kasih. Saya segera menyusul.”

Permainan cerdas antara kami pun usai. Meski sedikit terasa sayang…

“Sampai jumpa, Tuan Furuta. Semoga kita bertemu lagi.”

“Tentu, Tuan Ugaki. Terima kasih atas waktunya.”

Seperti seseorang yang baru selesai diperiksa polisi, percakapan kami mengambang dan penuh makna yang tersirat.

**

Saat aku mendengar kabar kecelakaan yang menimpa istri dan putriku, darahku seperti terkuras. Aku segera meluncur ke lokasi kejadian, tapi… istriku sudah tak bernyawa. Aku kaku mendengar kabar itu, dan setelah itu ingatanku hanya potongan-potongan saja.

Saat mencoba menerobos ke lokasi kecelakaan, polisi-polisi menahanku. Biasanya aku bisa langsung memahami situasinya, tapi saat itu pikiranku kacau. Aku bahkan tak paham kenapa aku dihentikan.

“Istriku ada di dalam! Biarkan aku pastikan keadaan anakku!”

Belakangan, sekretarisku bercerita bahwa aku sampai berteriak seperti itu sebelum jatuh terduduk.

Sekretarisku yang bergerak atas nama diriku, dan akhirnya kami tahu Ai telah dibawa ke rumah sakit. Sementara jenazah istriku hanya bisa kuserahkan kepada tim penyelamat.

Ai… secara ajaib hanya mengalami luka ringan. Aku sangat lega, sampai kemudian kusadari luka mentalnya jauh lebih dalam.

“Ayah… maafkan aku… Maaf… karena aku, Ibu…”

Ia menangis tersedu-sedu, dan aku hanya bisa memeluk tubuhnya. Padahal dialah yang paling menderita dan ketakutan, tapi setiap kali menatap wajahku, ia selalu merasa bersalah. Aku bahkan tak sanggup menatap wajahnya kembali.

Aku takut—takut bahwa setiap melihatku, dia akan terus teringat akan tragedi itu.

Itulah kenapa aku memutuskan untuk menghadiri pemakaman istriku seorang diri. Aku tak bisa membiarkan putriku yang selamat secara ajaib dijadikan bahan permainan media.

Setelah pemakaman… aku mendengar kenyataan yang mengejutkan.

Aku tak sengaja mendengar para tamu yang berbisik-bisik:

“Katanya, penyebab kecelakaan itu karena perbaikan yang asal-asalan.”

“Itu…”

“Tapi katanya perusahaan yang menangani proyek itu terhubung ke orang-orang penting di dunia politik. Dan dana dari proyek itu juga dialirkan ke mereka. Jadi ada tekanan besar agar semuanya ditutup rapat. Kemungkinan besar tak akan pernah terungkap.”

“Waduh, serem banget…”

Setelah itu, aku bertindak cepat, bahkan mengejutkan diriku sendiri. Aku kumpulkan seluruh rekam jejak proyek terowongan itu, mencari tahu riwayat perbaikan dan siapa kontraktor pelaksananya. Cepat sekali kutemukan—perusahaan milik anggota dewan Kondo. Aku menyelidiki jejaring Kondo, aliran dananya, bahkan dengan bantuan orang dalam kepolisian. Dan akhirnya, semua benang kusut itu terurai.

Tekanan mental akibat kehilangan istri, kondisi putri yang hancur, beban kerja yang sangat besar, ditambah penyelidikan skandal Kondo… semuanya membuatku mengalami serangan jantung dan tumbang. Aku dirawat secara diam-diam agar putriku dan publik tidak tahu. Dan diagnosisnya… jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.

“Tolong hentikan semua pekerjaan Anda. Stres berlebihan dapat memperburuk kondisi jantung Anda. Kami akan berikan obat penenang, tapi bila serangan terus berulang, efeknya akan berkurang… dan pada akhirnya, bisa berakibat fatal.”

“Kalau pun aku berhenti kerja… apa itu akan menyembuhkan?”

“Itu… sulit dikatakan…”

Dari keraguannya saja aku sudah tahu jawabannya.

Sejak saat itu, aku harus hidup dengan bom waktu di dalam dadaku. Setiap hari bisa jadi hari terakhir.

Dan entah kenapa, aku tak terlalu terkejut akan hal itu. Yang membuatku lebih takut justru satu hal: jika Ai tahu bahwa aku akan mati, apakah dia bisa bertahan? Dia sudah di ambang kehancuran. Aku tak ingin jadi pemicu terakhir yang membuatnya hancur sepenuhnya.

Betapa kejamnya takdir ini. Aku mengutuk langit dan Tuhan.

Aku tidak bisa mati begitu saja. Dan di saat itulah… aku memutuskan untuk membalas dendam.


Chapter 230 – Ciuman Janji

Setelah ciuman itu, kami menghabiskan malam bersama sambil saling menggenggam tangan.

Napasnya terasa manis dan rapuh di udara.

"Aku tidak pernah membayangkan akan punya kekasih. Aku selalu merasa tidak pantas untuk mencintai atau dicintai. Setelah semua yang terjadi padaku dan keluargaku… jika orang-orang tahu, mereka pasti akan menjauh. Seperti saat SMP dulu… Setelah aku menolak pengakuan seseorang, dia bilang, 'Kamu itu kayak robot, mukamu juga kayak orang yang bakal hidup sendirian selamanya.'"

Adik kelasku yang cantik berkata demikian. Aku bisa mengerti alasannya. Dia terlalu banyak memendam. Luka di hatinya terlalu dalam. Dan mendengar kisah itu, aku merasa ingin menghajar laki-laki yang mengatakan hal itu padanya. Ai bukan memutuskan untuk hidup sendiri—dia dipaksa untuk hidup sendiri. Jika memang dia ingin mengungkapkan perasaannya, kenapa dia tak bisa melihat esensi sejati dari Ai?

"Kalau aku ada di situ, aku pasti udah tonjok tuh cowok. Tapi… aku merasa aku orang yang paling beruntung di dunia."

Ucapan ringanku itu membuatnya tertawa, tapi dengan nada serius dia menyangkal.

"Bukan, justru aku yang beruntung. Kalau aku nggak ketemu Senpai… aku udah mati sekarang."

Genggaman tangannya jadi lebih kuat. Seakan menyampaikan tekadnya lewat itu.

"Jangan pernah berpikir untuk mati lagi, ya. Bukan cuma Ibu, aku juga… aku yang bakal paling sedih kalau kamu pergi."

"Senpai juga bilang gitu? Aku juga, tahu. Aku akan sangat sedih kalau kehilangan kamu. Karena aku tahu rasanya kehilangan orang yang berharga."

Kami kembali berciuman. Itu adalah ciuman janji. Janji bahwa kami tidak akan melepaskan satu sama lain. Janji bahwa, apa pun kesulitan yang akan datang, kami akan menghadapinya bersama. Mungkin bahkan lebih berat dari ciuman janji di altar pernikahan.

Tempat ini memang jauh dari romantis, tapi justru hanya di tempat dan waktu seperti inilah janji ini terasa paling nyata.

"Padahal katanya cuma temani tidur, eh malah ciuman juga ya."

"Iya juga, ya."

Kami tertawa sambil menutupi mulut dengan selimut.

"Kenapa ya, selalu begini? Hari ini, waktu kamu nembak aku, waktu di atap sekolah dulu juga. Kenapa sih Senpai selalu ada di dekatku?"

Semuanya memang kebetulan. Tapi aku bersyukur pada Tuhan karena menata kebetulan-kebetulan itu. Karena berkat itu, aku bisa menyelamatkannya.

"Itu juga pertanyaanku, tahu."

"Terima kasih karena berada di tempat di mana aku bisa menemukanmu." Begitu yang kuucapkan lewat tatapan.

"Setelah kecelakaan itu, semua orang di sekitarku kelihatan seperti musuh. Makanya aku mulai membenci segalanya. Tapi…"

"Tapi?"

Dia sedikit ragu, tapi akhirnya menatapku dengan tatapan yakin dari jarak yang sangat dekat—hanya sejarak napas.

"Tapi entah kenapa, aku nggak pernah bisa menganggap Senpai sebagai musuh. Sejak pertama kali ketemu."

Lalu, dia menyandarkan tubuh lembutnya padaku dan berbisik:

"Aku sangat mencintaimu Senpai."


Previous Chapter | Next Chapter

3 comments

3 comments

  • Feldway
    Feldway
    1/7/25 19:08
    Kebetulan yang bertubi-tubi= takdir 🗿
    Reply
  • Jio
    Jio
    30/6/25 21:51
    Awrg too sweet to forget 🗿
    Reply
  • Godok
    Godok
    30/6/25 18:26
    Masuk akal sekarang jika terowongan tersebut ada dana korupsi nya yang berefek dengan jumlah material dan semangat pekerja dalam membangun terowongan tersebut.
    Reply
close