NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinseigyakuten Uwakisare Enzai wo Kiserareta Orega Gakuenichi no Bisyoujo ni Natsukareru V2 Chapter 3

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 3

Menolong Orang dan Runtuhnya Kelompok Selingkuh


── 8 September ──


"Selamat pagi, Senpai. Terima kasih banyak untuk kemarin!"


Seperti biasa, Ichijou-san sudah menunggu di depan rumahku. Senyumnya terlihat sedikit lebih lembut dibanding kemarin.


Beberapa pegawai kantoran dan anak SMP yang lewat di depan rumah berhenti sejenak, terkejut oleh kecantikannya, dan mencuri pandang ke arahnya.


"Selamat pagi. Aku juga, terima kasih untuk kemarin. Yuk, nonton film lagi kapan-kapan."


Aku membalas salamnya dengan agak canggung, dan dia mengangguk.


"Itu ide bagus. Karena kemarin kita nonton film barat, bagaimana kalau berikutnya kita nonton film Jepang atau anime? Senpai, belakangan ini kamu nonton apa?"


Untung aku mengalihkan pembicaraan ke topik film. Kalau tidak, kami pasti akan sama-sama teringat soal ciuman kemarin dan pagi ini jadi aneh. Karena kami punya hobi yang sama, rasanya jarak di antara kami semakin dekat. Berkat ibu yang sangat suka film dan drama, aku bisa semakin akrab dengan Ichijou-san.


Kami mulai berjalan sambil ngobrol soal film.


"Belakangan aku lagi suka film India."


"Yang panjang dan banyak nari-narinya itu?"


"Enggak juga sih. Film India sekarang ternyata nggak terlalu banyak nari. Memang durasinya panjang, tapi kadang bukannya menari, malah diputar lagu dengan latar pemandangan alam yang megah dan elegan. Keren banget pokoknya deh."


"Kayaknya menarik."


Memang, jarang banget ada anak SMA yang suka film India. Aku sampai ketawa sendiri memikirkan kenapa aku malah ngomongin itu.


"Ada rekomendasi?"


"Film drama manusia di India juga bagus, lho. Banyak nilai kemanusiaannya, kayak film Jepang zaman Showa. Tentu aja yang action juga seru sih. Aku rekomendasiin ‘Paman Bajrangi dan Anak Tersesat Kecil’."


"Itu ceritanya tentang apa?"


"Seorang pria baik hati menemukan anak kecil dari negara tetangga yang nggak bisa bicara. Terus mereka memulai petualangan besar supaya si anak bisa pulang ke orang tuanya."


"Kedengarannya seru!!"


"Bikin nangis, jadi cocok ditonton pas lagi pengin tersentuh."


Aku sendiri nonton itu hari Minggu malam dan nangis banget. Pas masuk sekolah hari Senin, Satoshi langsung bilang mataku bengkak. Karena Ichijou-san kesannya sering nonton film, aku sengaja angkat film India yang nggak terlalu terkenal. Dia langsung buka situs film di ponselnya dan memasukkan ke bookmark.


"Terima kasih. Nanti akhir pekan aku coba tonton ya."


Dia bilang begitu sambil tersenyum sangat manis padaku.


"Senpai, agak beda topik sih, tapi gimana dengan novel yang kamu tulis?"


Naskah yang dia susah payah selamatkan sekarang ada di tanganku. Awalnya mau aku masukin ke buletin klub, tapi sekarang kayaknya nggak bisa. Sayang juga kalau cuma disimpan. Tapi karena itu cuma cerita pendek, jumlah halamannya nggak cukup buat dikirim ke lomba penulis baru di penerbit. Aku masih bingung.


"Masih dipikirin sih."


"Kalau gitu, gimana kalau coba unggah ke situs novel online?"


"Tapi novelku kan bukan genre populer kayak fantasi atau romcom. Kayaknya nggak banyak yang bakal baca."


"Masa sih? Menurutku, novel itu bener-bener menarik dan harus dibaca lebih banyak orang."


"Makasih. Tapi ngepos di situs tuh agak butuh keberanian. Takut dikritik pedas, terus nilai poinnya bikin down juga."


Soal novelku sendiri, aku agak pesimis. Tapi dia malah tersenyum ke arahku.


"Yah, walau begitu, punya penulis pribadi kayak kamu juga nggak jelek sih."


Kami sama-sama tertawa mendengar leluconnya. Dia benar-benar baik. Sepertinya dia peka kalau aku punya trauma. Aku merasa nggak enak kalau menolak, jadi mau bilang "aku pikir-pikir dulu," tapi saat itu masalah lain muncul.


Sebuah insiden terjadi di depan kami, yang tengah menikmati waktu bahagia bersama.


"Ugh..."


Seorang kakek yang berjalan di depan kami mendadak memegangi dadanya dengan ekspresi kesakitan, lalu jatuh tersungkur.


"Eh..."


Ichijou-san terpaku dan menatapku dengan wajah cemas.


Aku juga hanya bisa menatap pemandangan itu, nggak tahu apa yang terjadi.


Kakek itu tampak kesulitan bernapas, tapi dia tidak bergerak lagi.


Ini gawat. Waktu kerja paruh waktu selama liburan musim panas, aku pernah ikut pelatihan pertolongan pertama saat bantu persiapan acara. 


Aku masih ingat wajah petugas pemadam kebakaran yang mengajar waktu itu. Apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini, bahkan di luar lokasi acara pun bisa diterapkan.


Harus dilakukan. Aku bisa. Aku tinggal melakukan apa yang diajarkan di pelatihan itu.


"Gawat. Ichijou-san, tolong cari AED (Automated External Defibrillator)!"


Pertama-tama, aku harus fokus menyelamatkan nyawa si kakek.


"Tapi... itu di mana ya..."


Wajahnya pucat, dan dia berdiri terpaku.


"Kayaknya di dekat sini ada pos polisi. Biasanya AED juga ada di situ. Kalau nggak ada, polisi pasti tahu lokasinya. Katanya, banyak juga yang disimpan di minimarket. Aku bakal panggil ambulans dan bantu kakeknya."


"Ba-baik!"


Dia langsung berlari menuju pos polisi.


Aku memeriksa kesadaran si kakek, minta bantuan orang-orang sekitar, dan mulai melakukan pertolongan sesuai yang diajarkan. Seorang bapak baik hati langsung menelepon ambulans dengan ponselnya.


Tanpa pikir panjang, aku bertindak untuk menyelamatkan si kakek.


Ichijou-san kembali dengan cepat bersama seorang polisi, membawa AED.


Saat kami bersiap menggunakan AED, seorang wanita sekitar umur 30-an mendekat.


"Ada apa ini?"


"Ada kakek yang tiba-tiba jatuh sambil pegang dadanya. Kami sudah panggil ambulans dan ambil AED. Tapi kakeknya nggak merespons meski diajak bicara."


"Makasih. Aku perawat, jadi serahkan penanganannya padaku. Namamu siapa?"


"Aono."


"Aono-kun ya. Kamu sigap sekali. Tolong bantu aku, ya. Nama pacarmu siapa?"


Suster itu dengan cekatan memberi instruksi. Aku mengingat latihan AED saat pelatihan kerja paruh waktu, dan mengikuti instruksi suster serta panduan suara dari alat.


"Nama saya Ichijou. Apa ada yang bisa saya bantu?"


"Baik, Ichijou-san. Tolong cari tahu apakah keluarga si kakek ada di sekitar sini."


"Baik."


Ichijou-san langsung berlari pergi. Polisi yang datang bersama kami mulai mengatur lalu lintas di gang sempit itu.


Begitulah, kegiatan pertolongan jiwa pun terus berlanjut.


Saat kami sedang berusaha keras memberikan pertolongan, ambulans tiba dengan diantar oleh polisi. Kurasa waktunya belum sampai sepuluh menit, tapi karena aku bergerak tanpa henti dan penuh fokus, semuanya terasa begitu cepat.


"Aono-kun, Ichijou-san, terima kasih ya. Aku yang akan menemani sampai ke rumah sakit, jadi kalian tenang saja. Berkat kalian yang langsung bertindak cepat, sepertinya ini tidak akan menjadi masalah besar."


Perawat yang membantu kami berkata begitu sambil tersenyum.


Setelah kejutan listrik pertama, si kakek kembali sadar. Meski kesadarannya masih agak kabur, dia terus mengucapkan, "Terima kasih, terima kasih."


Polisi memeriksa kartu identitas si kakek yang pingsan tadi, dan sepertinya nanti mereka akan menghubungi keluarganya.


Si kakek juga tampak mulai benar-benar sadar.


"Kalau begitu, kami pamit dulu ya."


Saat aku mengucapkan itu, Ichijou-san juga mengangguk. Kami pun pergi dari tempat itu dengan sedikit rasa lega.


"Menegangkan sekali, ya. Syukurlah, si kakek sepertinya akan baik-baik saja."


Ichijou-san menarik napas dalam dan kembali tersenyum seperti biasa.


"Itu semua berkat Ichijou-san. Kamu langsung bergerak, jadi dia bisa tertolong."


Mendengar ucapanku, dia menggeleng sambil tersenyum.


"Nggak kok. Justru karena senpai langsung bertindak tadi, semuanya berjalan lancar. Aku sendiri sempat begitu takut sampai tidak bisa bergerak."


"Yah, kali ini kita memang beruntung. Kebetulan ada perawat di tempat itu juga. Aku sendirian pasti nggak bisa menangani semua ini."


"Meski begitu, nggak banyak orang yang bisa langsung bergerak demi orang lain. Kupikir, itu sungguh luar biasa."


Mendengar perkataan itu, rasanya sedikit demi sedikit rasa percaya diriku yang hancur akibat perundungan minggu lalu mulai pulih.


"Terima kasih."


Dengan senyum paling tulus yang bisa kuberikan selama beberapa waktu terakhir, aku mengucapkan rasa terima kasih.


── Sudut Pandang Perawat ──


"Terima kasih banyak, benar-benar terima kasih."


Keluarga si kakek yang datang menghampiri mengucapkan terima kasih sambil menahan air mata.


Putranya, sebagai perwakilan keluarga, membungkuk dengan sangat sopan padaku. Ia mengenakan setelan jas mahal dan terlihat begitu berkelas dalam setiap geraknya.


Berkat penanganan yang cepat dan tepat, si kakek berhasil diselamatkan. Sepertinya beliau tetap harus menjalani perawatan di rumah sakit untuk sementara waktu.


"Tidak, justru saya harap Anda mengucapkan terima kasih kepada para siswa yang menyiapkan AED. Tanpa mereka berdua, pasti hasilnya tidak sebaik ini."


Sebenarnya, pahlawan sesungguhnya adalah mereka berdua. Aku hanya membantu sebisa mungkin. Dalam situasi seperti ini, ketika ada seseorang yang pertama kali bergerak, orang-orang di sekitarnya pun jadi lebih mudah ikut bertindak. Tapi yang paling berat adalah menjadi orang pertama yang bergerak.


"Saya benar-benar sangat berterima kasih kepada mereka. Sebenarnya, saya juga ingin langsung mengucapkan terima kasih kepada mereka, tapi kata polisi, mereka pergi tanpa meninggalkan kontak. Apa Anda tahu bagaimana saya bisa menghubungi mereka?"


Aku tak menyangka, di usia semuda itu mereka bisa bersikap begitu dewasa. Padahal, wajar kalau seseorang ingin dipuji atau mencari pengakuan. Anak muda zaman sekarang memang hebat ya.


"Saya juga hanya kebetulan berada di sana... Tapi, ah! Saat memberikan pertolongan, saya sempat menanyakan nama mereka!"


"Benarkah!? Anda masih ingat namanya?"


"Mereka memperkenalkan diri sebagai Aono-kun dan Ichijou-san."


Putranya tampak benar-benar bahagia hanya dengan mendengar itu. Aku bisa merasakan betapa tulus keinginannya untuk mengucapkan terima kasih pada mereka.


Orang yang sangat sopan, ya.


"Aono-kun dan Ichijou-san... Terima kasih. Hanya dengan mengetahui nama mereka saja sudah sangat membantu... Saya akan coba mencarinya."


"Baik. Kalau begitu, saya pamit dulu."


Aku sempat bertanya-tanya, apakah hanya dengan nama saja mereka bisa ditemukan. Tapi aku tak sampai hati mengatakannya. Aku juga berharap sebuah keajaiban bisa terjadi, agar dua orang itu bisa ditemukan dan mendapatkan pujian yang layak.


Meski hari liburku dipenuhi masalah, perasaanku justru dipenuhi rasa lega dan puas. Pekerjaan ini memang berat, tapi aku juga harus berjuang agar tidak kalah dari pasangan muda itu. Dengan perasaan bahagia, aku meninggalkan rumah sakit. Entah kenapa, rasanya seolah aku juga telah dihargai atas pekerjaanku selama ini, dan aku tahu semua usahaku tidak sia-sia.


── Situs Video ──


"Halo semuanya, hari ini aku mulai siaran lagi. Jadi tadi, waktu lagi jalan-jalan buat rekaman proyek video selanjutnya, tiba-tiba ada kakek-kakek yang ambruk di depan mata, sampai aku panik banget. Tapi saat aku masih bingung harus ngapain, ada pasangan murid yang langsung mulai pertolongan pertama. Keren banget, sumpah. Aku sendiri cuma bisa nelpon ambulans. Gila sih, belakangan ini banyak kejadian aneh pas lagi jalan-jalan. Minggu lalu juga, waktu lagi bikin video kolaborasi sambil keliling kota, aku lihat orang berantem. Sepertinya masalah cinta gitu. Tapi cowoknya dipukul terus secara sepihak. Kami coba bantuin cowok yang terjatuh, tapi dia langsung kabur. Padahal udah ada yang nelpon polisi, tapi pas mereka datang, semua orang udah nggak ada."


Setelah siaran siang selesai, aku menarik napas sebentar. Pagi ini, aku sempat mau pergi makan pagi ke tempat terkenal, tapi malah terlibat kejadian ini.


Karena aku yang nelpon ambulans buat si kakek, barusan aku dapat telepon dari seorang perempuan yang mengaku sebagai keluarganya. Untuk jaga-jaga, aku memang sempat memberikan nomor kontak ke polisi. Sepertinya polisi membantu menyampaikan informasiku ke mereka.


Dalam pekerjaan sebagai kreator video, aku memang jadi jarang berinteraksi langsung dengan orang. Jadi rasanya menyenangkan banget bisa membuat orang lain begitu senang.


Aku ini kreator video bertema kuliner, dengan pendekatan lokal. Bahkan polisi juga katanya pernah menonton videoku.


Setelah semua selesai, aku sempat ngobrol santai dengan polisi. Memang menyenangkan kalau bisa ngobrol langsung dengan para penonton, meski komentar juga sudah cukup menyenangkan.


"Oh ya, soal kejadian tadi, sebenarnya aku nggak ngapa-ngapain. Lagi syuting video buat hobi, terus si kakek tiba-tiba jatuh, dan sebelum aku bisa ngapa-ngapain, pasangan murid itu udah langsung bertindak. Aku cuma nelpon ambulans aja. Eh, katanya aku bakal dapat penghargaan dari pemadam kebakaran? Enggak, enggak, yang layak dapat penghargaan itu seharusnya kedua siswa sama perawat itu kan. Eh? Muridnya langsung pergi tanpa kasih identitas?"


Sejujurnya, aku benar-benar nggak bisa apa-apa waktu itu. Aku nggak layak dianggap pahlawan. Nanti malah terkesan aku mengambil pujian yang seharusnya untuk mereka.


"Oh iya, aku sempat rekam kejadian itu. Sebenarnya pas lagi syuting video jalan-jalan, dan meski videonya goyang-goyang karena panik, ada cuplikan wajah mereka juga. Tapi... sepertinya nggak bisa diunggah ke internet, ya? Kan mereka masih di bawah umur."


Perempuan di seberang telepon sempat menanyakan apakah videonya bisa diunggah ke media sosial untuk mencari mereka. Tapi aku merasa nggak enak. Bisa jadi mereka memang nggak ingin menarik perhatian.


"Yah, maaf ya. Tapi kalau pakai efek blur mungkin masih bisa... Tapi harus diskusi dulu dengan polisi."


Aku juga ingin mereka mendapatkan pengakuan yang layak. Semua bisa berjalan baik berkat tindakan mereka yang tepat saat itu.


Tapi wajah si cowok... sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat. Di mana ya? Aku lupa.


Untuk sementara, aku putuskan untuk menyerahkan video itu ke polisi. Oh ya, waktu kejadian berantem minggu lalu, videonya juga aku serahkan ke polisi. Semoga video-videoku yang biasa-biasa ini bisa berguna juga.


"Oh, ngomong-ngomong! Sekarang udah masuk bulan September. Berarti dapur Aono udah mulai jualan tiram goreng, kan? Saus tartarnya di sana enak banget. Makan malam nanti ke sana, ah!"


── Sudut Pandang Endou ──


Aku bermimpi. Tentang masa lalu antara aku dan Eri.


Kami masih seumuran anak TK saat itu, tertawa bersama dengan riang.


"Aku, kalau sudah besar nanti, aku mau jadi istri Endou-kun."


Janji itu tak pernah ditepati. Meski dulu aku sangat menyayanginya sebagai teman masa kecil, kini yang tersisa hanyalah kebencian saat melihatnya.


Aku terbangun sambil mengingat senyuman polos masa kecil yang telah hilang.


"Mimpi terburuk, ah……."


Masa lalu yang seharusnya menjadi kenangan berharga direnggut dariku. Baik laki-laki yang merebutnya, para kaki tangannya, maupun Eri, yang tertinggal sekarang cuma rasa benci.


Baru pukul 5 pagi.


Kemarin aku bertindak cukup berani. Aku secara langsung menyatakan perang pada Kondo. Tapi itu juga bagian dari rencana.


Melihat cara dia bertindak, dia memang kuat dalam menyerang, tapi lemah dalam bertahan. Dia penuh dengan harga diri, jadi begitu dipancing, dia mudah tersulut emosi dan kehilangan kendali.


Itulah kenapa tindakannya jadi mudah ditebak.


Hubungan antara dia dan klub sepak bola pun sudah berhasil kugoyang cukup kuat. Kalau begini terus, tinggal tunggu waktu sebelum ada pengkhianat muncul dari klub sepak bola.


Tapi, kalau hanya sampai Kondo dihukum, balas dendamku belum selesai. Aku harus menjatuhkan dia sampai ke titik paling rendah.


Itulah sebabnya aku juga menyebarkan informasi ke Amada Miyuki. Setidaknya, kepercayaan antara mereka berdua pasti akan retak, dan kalau bisa, aku ingin sedikit menyentuh rasa bersalah yang dimiliki Amada. Tentu saja, cewek tukang selingkuh seperti itu tidak bisa dipercaya.


"Kalau berhasil, aku bisa membuat klub sepak bola dan Amada Miyuki menjauh dari Kondo. Kalau itu terjadi, akan sulit bagi mereka untuk menyatukan cerita. Pihak sekolah juga akan menemukan banyak kejanggalan."


Dan deklarasi perang kemarin itu. Memang resikonya besar, tapi imbalannya jauh lebih besar. Kondo yang sebenarnya penakut, pasti akan berusaha bergantung pada para cewek gara-gara renggangnya hubungan dengan klub sepak bola. Kalau begitu, aku tinggal menghubungi Amada Miyuki yang sudah melihat foto itu, dan bisa saja mereka berdua jadi bertengkar.


Kalau itu terjadi, untung besar. Mungkin saja informasi itu juga akan sampai ke Eri, tapi aku tidak peduli. Dengan semakin jarangnya komunikasi, kecurigaan Amada Miyuki terhadap Kondo pasti akan semakin besar.


Kalau Amada Miyuki dan Eri sama-sama sadar satu sama lain, para cewek itu pun akan bertentangan dengan Kondo, dan dia tidak akan punya tempat untuk lari.


Begitu kehilangan tempat di klub sepak bola dan kelompok cewek, dia pasti harus mengandalkan seseorang.


Seseorang yang, selain aku, juga bergerak diam-diam di balik semua ini.


※


—Dari sudut pandang Hayashi, adik kelas di klub sastra—


"Ketua, terima kasih atas semua bimbingannya selama ini."


Meski gugup, aku lega karena bisa mengatakannya dengan baik. Ketua sempat menunjukkan ekspresi terkejut, tapi langsung kembali ke sikap biasanya dan berkata, "Bisa jelaskan alasannya?"


Alasannya… aku rasa membuang naskah milik Aono-senpai tanpa izin sudah terlalu keterlaluan. Karena itu aku merasa tak bisa lagi mengikuti mereka. Tapi aku yang penakut ini sepertinya tak mampu menjelaskannya. Padahal dalam hati aku bisa berbicara lancar, tapi kenapa aku tidak bisa menyampaikan perasaanku dengan benar?


Ichijou-san, meski seluruh dunia jadi musuhnya, tetap berusaha melindungi senpai. Aku sama sekali tidak bisa melakukan hal seperti itu. Berani menyuarakan pendapat di tengah kerumunan orang saja sudah membuatku takut. Takut kalau aku jadi korban perundungan selanjutnya. Itu menakutkan sekali.


Makanya aku bisa benar-benar merasakan keputusasaan Aono-senpai. Naskah berharganya disobek dan dibuang. Dihina, barang pribadinya disembunyikan, dan tempat sepatu dipenuhi sampah.


Aku tidak ingin melakukan hal seperti itu, dan aku tahu dia yang baik hati juga tak mungkin melakukannya. Tapi aku bahkan tak mampu menghentikannya.


Memang aku sudah meminta maaf dan dia memaafkanku, tapi itu semua berkat Ichijou-san. Kenyataan bahwa aku tidak bisa melakukan apa pun tetap tidak berubah.


"Jadi kamu tidak mau menjawab, ya."


Ketua yang biasanya ramah, kini menampakkan ekspresi kecewa.


"Maaf, aku tidak bisa mengungkapkannya dengan baik."


Ketika aku berkata begitu, ketua tersenyum manis. Tapi matanya memandangku dengan dingin.


"Kalau kamu sampai cerita yang aneh-aneh ke orang lain, aku takkan maafkan."


Dia mencengkeram bahuku dengan keras.


"Sakit…"


Aku gemetar sambil memohon lewat pandangan agar dia berhenti.


"Kau mengerti, kan? Kamu juga punya tanggung jawab karena tidak menghentikan kami. Kamu tidak mau ikut diseret dan diadili bersama kami, kan?"


Dia tersenyum dingin.


—Waktu istirahat siang, sudut pandang Ichijou Ai—


Pelajaran pagi telah selesai. Aku berjalan menuju ruang kelas kosong di dekat UKS, tempat aku janji bertemu dengan senpai.


Hari ini kami berencana makan siang bersama. Karena tempat yang terlalu mencolok akan membuat kami tidak nyaman, senpai sudah meminta izin pada para guru untuk menggunakan ruang kelas kosong di gedung lain.


Saat aku berjalan, siswa lain mulai berbisik-bisik.


"Hei, kau tahu nggak? Soal Ichijou-san."


"Iya, iya. Katanya dia pacaran sama Aono-senpai, si cowok yang lagi jadi bahan omongan itu."


"Kenapa cewek secantik itu bisa pacaran sama cowok tukang pukul?"


"Aneh banget, ya."


"Dia itu punya daya tarik yang kita nggak tahu, atau si cewek itu emang bodoh karena suka sama cowok nakal?"


Semua orang bicara seenaknya. Memang bukan langsung padaku, jadi aku diam saja, tapi dalam hati aku bergetar karena marah. Kenapa mereka bisa bicara sebegitu kejamnya padahal tak tahu apa-apa?


Saat kejadian ibuku dulu pun sama. Orang-orang menyebarkan gosip seenaknya, tapi tak satu pun mau bertanggung jawab.


Kali ini juga begitu. Sekelompok orang tanpa nama menyebarkan fitnah pada senpai secara sembarangan, dan meski kebenaran terungkap nanti, semua akan berakhir begitu saja. Tak ada yang merasa diri mereka adalah pelaku. Malah mungkin ada yang menganggap diri mereka korban karena telah ‘dibohongi’.


Memikirkannya saja membuat hatiku terasa berat.


"Aku harus cepat-cepat pergi ke tempat senpai."


Dulu, aku pasti tak akan sanggup bertahan di lingkungan yang penuh kebencian ini. Tapi sekarang berbeda. Karena ada dia.

Meski dunia menghujatnya, aku tahu siapa dia sebenarnya. Kalau bukan karena dia, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini.


Itu saja sudah cukup. Hari itu, demi menyelamatkanku, dia rela mempertaruhkan nyawanya.


Hanya dengan mengingat kenyataan itu, aku merasa cukup. Meski dia difitnah, meski dia dibully oleh orang yang dulu paling dia percaya, kebenaran pasti akan terungkap.


Aku akan melakukan segalanya untuk memastikan itu.

Itulah satu-satunya cara untuk membalas kebaikannya padaku.


Dan juga… Aku jatuh cinta padanya.


Dia selalu mengutamakan orang lain, dan membuat mereka bahagia.


Tak peduli siapa orangnya, dia selalu memperlakukan mereka dengan rasa hormat.


Pagi ini pun, meski dalam situasi berbahaya, dia bisa langsung bertindak. Padahal itu terjadi setelah trauma berat karena perundungan.


Aku benar-benar menghormatinya sebagai manusia. Karena itulah aku jatuh cinta.


Aku tak pernah menyangka bisa jatuh cinta pada seseorang. Tapi dia… dia mengulurkan tangan dari dasar neraka kepadaku.


Tak mungkin aku tidak jatuh cinta dengannya.


Aku membuka pintu ruang kelas kosong. Pria yang kusukai berdiri di sana dengan senyum menantiku.


—Dari sudut pandang Takayanagi—


Saat istirahat siang, aku sedang makan roti sambil mencatat di buku di ruang guru, dan akhirnya memegangi kepala sendiri.


Padahal kemarin hari libur, tapi pikiranku penuh dengan masalah Aono.


Hari ini, Aono datang ke sekolah nyaris terlambat. Aku khawatir kalau-kalau setelah melewati akhir pekan, dia jadi tidak ingin datang ke sekolah. Karena itu, aku berkeliaran di sekitar rak sepatu.


Lalu aku melihat Aono masuk sekolah dengan tergesa bersama Ichijou dari kelas satu. Ketika kutanya secara halus kemudian, dia bilang mereka ngobrol terlalu lama dan akhirnya terlambat sedikit. Syukurlah. Aku sempat cemas kalau-kalau kasus perundungan ini makin parah.


Tapi, untuk memulihkan nama baik Aono, aku harus segera mengungkapkan kebenarannya. Bukti-bukti mulai terkumpul. Sekarang aku butuh sesuatu yang benar-benar meyakinkan.


"Namun, dalam kasus kali ini, ada satu hal yang aneh."


Itu adalah tindakan Kondo.


Dia dikenal punya kebiasaan buruk menyukai wanita yang sudah berpacaran dengan orang lain. Tapi karena prinsip cinta bebas di zaman sekarang, selama bukan dalam hubungan pernikahan, tidak bisa dijadikan alasan untuk dihukum.

Itulah sebabnya pihak sekolah juga merasa kesulitan...


Tapi kenapa hanya dalam kasus Aono, dia sampai bertindak langsung dan melakukan perundungan? Kondo yang selama ini pengecut, selalu menjaga diri agar tidak melewati batas terakhir.


Aku terus merasa ada yang tidak beres. Dan meskipun ini terdengar seperti imajinasi konyol, aku sampai pada satu hipotesis.


"Bagaimana kalau sebenarnya ada dalang di balik layar yang mendorong Kondo bertindak seperti itu? Sial, pikiranku buntu."


Mungkin karena belum makan dengan baik, aku jadi mudah kesal.


Untuk makan malam, mungkin aku akan pergi makan di luar. Seingatku, ada seorang paman pecinta kuliner di situs video yang pernah memperkenalkan ramen enak dekat stasiun. Mungkin aku akan coba ke sana untuk menyegarkan pikiran.


Aku membuka channel si paman pecinta kuliner di situs video untuk mencari nama restorannya.


Karena sistem situs, video terbaru langsung diputar otomatis. Meski suaranya dimatikan, aku bisa mengerti isi videonya lewat teks.


"Halo semuanya, hari ini kita mulai lagi videonya, ya. Tadi waktu lagi jalan-jalan syuting untuk konten selanjutnya, tiba-tiba ada kakek-kakek jatuh di depan mata, aku kaget banget. Pas aku lagi bingung harus gimana, sepasang pelajar yang kelihatan seperti pacaran langsung mulai memberi pertolongan pertama. Hebat banget, kan? Aku sendiri cuma bisa nelpon ambulans sih. Akhir-akhir ini, kalau aku jalan-jalan di kota, sering banget hal-hal kayak gitu kejadian. Minggu lalu juga, pas lagi syuting video kolaborasi jalan-jalan, aku lihat ada perkelahian. Kelihatannya gara-gara cinta juga. Tapi cowoknya dipukulin sepihak. Kami coba mendekati si cowok yang sampai terjatuh, tapi dia kabur. Ada juga yang nelpon polisi, tapi waktu itu semua pihak yang terlibat sudah kabur."


Entah kenapa, aku merasa tertarik. Tapi aku tak tahu pasti alasannya.


Dan kemudian, sepulang sekolah.


Akhirnya aku malah datang ke rumah Aono.


Tadinya aku mau makan ramen, tapi saat pulang, aku melihat akun media sosial si paman kuliner, dan dia baru saja memposting foto set makanan tiram goreng yang terlihat sangat menggoda. Aku pun tergoda untuk datang ke situ.


Sejujurnya, sebagai guru, aku sempat ragu apakah pantas berkunjung ke rumah murid. Tapi tetap saja aku membuka pintu masuk.


"Oh, Takayanagi-sensei. Ada keperluan apa hari ini?"


Ibu Aono menyambutku dengan senyum.


Karena kami cukup sering berkomunikasi, hubungan kepercayaan kami sudah terbentuk dengan baik.


Waktu aku mengirim email bahwa pelajaran praktik tambahan untuk Aono akan diadakan Sabtu depan, beliau membalas, "Terima kasih sudah meluangkan waktu meski sibuk. Kalau sempat, mampir makan ke rumah ya."


Jadi aku memutuskan untuk menerima undangannya.


Ayah Aono sudah meninggal lebih dulu, dan sekarang ibunya serta kakaknya mengelola restoran bersama.


Baru setelah menjadi orang dewasa aku menyadari betapa hebat tekad mereka.


Karena urusan Aono juga menyangkut sekolah dan keluarga, kami berusaha membangun hubungan kepercayaan yang erat dengan terus berbagi informasi.


"Hari ini saya datang sebagai pelanggan. Tolong buatkan set tiram goreng musiman, ya."


"Wah, baiklah. Akan saya tambahkan kubisnya lebih banyak, ya."


Ibunya tersenyum saat mengatakan itu.


Beliau selalu membaca laporan yang kami buat dengan teliti, dan bila ada pertanyaan, beliau akan mengirim email. Aku juga berusaha membalas dengan informasi sejelas mungkin.


Berkat itu, keluarganya pun mulai mempercayai pihak sekolah. Saat kami bicara lewat telepon, aku bisa merasakan nada suaranya yang jauh lebih lembut.


"Sensei, tolong jaga Eiji baik-baik, ya."


Kakak laki-lakinya muncul dari dapur sambil membawa sup minestrone. Kakaknya juga bekerja serius sejak muda demi adiknya, tanpa banyak bermain.


Berkat obrolan ringan yang mulai bisa dilakukan Aono seperti dulu, aku bisa melihat betapa besar rasa terima kasihnya kepada ibu dan kakaknya.


Tatapan kakaknya benar-benar menunjukkan kekhawatirannya terhadap sang adik.


"Ya. Untuk masalah kali ini, kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk melindunginya."


Dan memang, suasana sekolah juga mulai membaik. Jumlah murid yang menaruh curiga pada Aono semakin berkurang. Mungkin karena kepercayaan mereka pada Ichijou Ai yang selalu bersamanya, tapi juga karena kepribadian Aono sendiri.


Beberapa teman sekelas dan teman dari angkatan sebelumnya masih belum bisa benar-benar percaya pada Aono, tapi ada juga yang menjaga jarak dari perundungan dan gosip.


Saat aku sedang berdiskusi dengan guru yang bertanggung jawab mengenai nilai praktik kimia, Endou, teman sekelas Aono saat kelas satu, berkata,


"Kalau begitu, saya akan bantu eksperimen itu sepulang sekolah. Aono-kun adalah teman yang penting bagiku, jadi saya ingin membantunya walau sedikit."


Punya banyak teman yang mau membantu saat sedang kesusahan seperti ini, pasti karena perilaku Aono yang baik selama ini.


"Permisi! Tambah nasi, ya!"


Seorang pria bertubuh besar berteriak begitu.


"Iya!" Jawab ibunya dengan cepat.


Saat kulihat wajah sampingnya, aku langsung mengenalinya.

Dia adalah si paman pecinta kuliner dari video yang sering aku tonton. Ternyata dia masih di sini, seperti di foto yang kulihat tadi.


Aku jadi merasa senang tanpa sadar.

Dan aku bersyukur atas kebetulan ini.


Di video yang kutonton untuk mencari restoran tadi, dia mengatakan sesuatu yang menarik.


Setelah kupikirkan sebentar, aku merasa mungkin saja...


Katanya minggu lalu, dia melihat anak laki-laki dipukuli sepihak karena masalah cinta.


Pertengkaran bukanlah hal yang langka, jadi kemungkinannya kecil. Tapi dia adalah pembuat konten yang berfokus pada area lokal, artinya mungkin dia merekam video di daerah sekitar sini.


Dan kejadian itu sangat mirip dengan insiden yang memicu kasus perundungan terhadap Aono.


Sekalipun hanya kemungkinan kecil, kalau itu bisa mengakhiri masalah ini…

Kalau itu bisa segera menyudahi penderitaan Aono…


Maka tak ada salahnya untuk mencoba.


Aku pun langsung berdiri dari kursi dan mendekati si pembuat video.


"Permisi... maaf, apa boleh saya tanya sesuatu…"


Aku pun mengulurkan tangan menuju pintu kebenaran.


"Aku selalu nonton videomu. Semangat terus, ya!"


Aku berkata begitu kepada paman pecinta kuliner itu. Sepertinya hari ini dia sudah selesai merekam video, jadi si streamer pun menyambutku dengan senyum ramah.


"Eh, benarkah? Senang sekali mendengarnya. Terima kasih banyak seperti biasa!"


"Maaf mengganggu, ini agak tiba-tiba, tapi... kalau tidak salah waktu siaran yang lalu, kau sempat bilang bertemu sekelompok anak muda yang sedang bertengkar, kan?"


Dengan ekspresi sedikit heran, dia menjawab, "Ya, aku memang bilang begitu."


Tak perlu menyembunyikan apa-apa di sini. Ibu Aono juga memandang ke arahku dengan ekspresi terkejut.


"Namaku Takayanagi, aku seorang guru di SMA. Sebenarnya, di waktu yang hampir bersamaan, salah satu muridku jadi korban kekerasan. Aku ingin berkonsultasi dengan pihak kepolisian, tapi kami tidak punya bukti apa pun, jadi tidak bisa menyelidiki. Karena itu, bolehkah aku melihat video yang kau sebutkan tadi? Aku hanya ingin memastikan apakah anak yang dipukul dalam video itu muridku."


Sejujurnya, aku merasa kecil kemungkinan dia akan memperlihatkan videonya. Para streamer zaman sekarang sangat memperhatikan pandangan publik dan kepatuhan hukum. Apalagi streamer ini termasuk yang sangat teliti—dia selalu meminta izin sebelum merekam, dan menghindari jam sibuk agar tidak mengganggu orang lain.


Tapi kalau masih ada sedikit saja kemungkinan, aku bersedia menundukkan kepala serendah-rendahnya. Terutama kalau itu demi muridku.


"Hmm, bagaimana ya..."


Aku pun menyodorkan kartu namaku yang memang selalu kubawa untuk berjaga-jaga.


"Mungkin ini bukan bukti objektif, tapi ini kartu namaku. Kalau perlu, aku bisa tunjukkan SIM juga. Lagi pula, restoran ini dikelola oleh orang tua salah satu muridku..."


Si streamer menoleh sekilas ke arah dapur, dan kedua orang di sana mengangguk kuat.


"Kalau sampai sejauh itu... kebetulan aku masih menyimpan datanya. Tunggu sebentar, ya."


Aku menghela nafas lega. Tapi aku belum bisa benar-benar tenang. Kemungkinan itu orang lain tetap lebih besar.


"Ini dia."


Suara bising dari kota yang ramai terdengar. Terdengar jeritan, "Kyaa!"


Seseorang berteriak, "Ada yang berantem!" Kamera pun diarahkan ke arah suara itu.


Tapi itu bukan perkelahian. Seorang pria yang terlihat sangat marah menghantam pria lain yang sedang memegang bahu seorang perempuan—itu murni kekerasan. Sebuah adegan penganiayaan, bukan sekadar pertengkaran.


Pria yang dipukul terlempar dan jatuh ke tanah. Pukulan itu sangat kuat. Karena jaraknya jauh, aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan, tapi pria yang memukul itu tampak meneriakkan sesuatu dengan nada kasar.


Perempuan yang bersama pria itu hanya berdiri diam tanpa mendekati korban. Dia hanya berkata beberapa patah kata lalu pergi bersama si pria.


Kamera lalu berlari mendekati pria yang dipukul.


"Kau nggak apa-apa? Jangan dipaksakan berdiri. Lebih baik berbaring sebentar... hey, hei, kau!"


Pria itu berjalan pergi dengan langkah lemah, tanpa semangat. Hanya si streamer yang terdengar berbisik cemas, "Semoga dia baik-baik saja."


Videonya berhenti di situ.


Aku menahan napas. Karena orang-orang yang ada di video itu adalah Aono Eiji, Amada Miyuki, dan Kondo dari klub sepak bola.


"Bagaimana? Apakah ini video yang kau cari? Video ini juga sudah kami serahkan ke polisi, jadi kalau kau berkonsultasi dengan mereka, mungkin bisa dapat informasi lebih lengkap..."


"Terima kasih. Tidak salah lagi, itu muridku. Video ini kau serahkan ke kantor polisi, ya? Tolong beri tahu lokasinya. Aku akan coba hubungi mereka."


Setelah tahu tempatnya, aku membisikkan isi video itu ke telinga ibunya Eiji.


"Benar. Itu memang Eiji. Videonya menunjukkan dia dipukuli tanpa perlawanan."


Setelah mendengarnya, si ibu menjawab dengan suara dingin.


"Sensei. Mungkin aku akan merepotkan pihak sekolah, tapi orang-orang yang telah menyakiti Eiji... tidak akan aku maafkan."


Kalau guru biasa, mungkin akan mulai bicara soal masa depan murid pelaku. Tapi sekolah kami berbeda.


"Tidak, kalau soal itu adalah keputusan Ibu Aono. Pihak sekolah tidak akan mencampurinya. Dan menurutku, jika murid melakukan kesalahan, sudah tugas guru untuk membuat mereka menyadarinya. Murid yang melenceng dari jalan benar bisa saja melakukan hal yang tak bisa diperbaiki lagi di masa depan. Atau mungkin, kasus kali ini sudah termasuk yang tak bisa diperbaiki. Kalau begitu, memberi mereka kesempatan untuk menebus kesalahan juga bagian dari pendidikan."


"Terima kasih. Kak, maaf ya. Aku akan pergi bersama sensei sekarang. Jangan bilang dulu ke Eiji. Kalau sudah jelas, aku sendiri yang akan memberitahunya."


Kami pun bergegas menuju kantor polisi tempat data itu diserahkan.


— Kantor Pemadam Kebakaran —


"Dari polisi, kita menerima video pasangan siswa yang lagi ramai dibicarakan."


Aku mengangguk atas laporan anak buahku.


"Terima kasih. Tapi ya, anak-anak zaman sekarang hebat juga, ya. Bisa bergerak sendiri seperti ini. Kita para orang dewasa harus belajar dari mereka."


"Iya, betul sekali, Kepala Dinas. Dan katanya mereka pergi begitu saja tanpa menyebutkan nama. Orangnya terlalu baik, malah bikin khawatir. Padahal saya sendiri waktu jadi siswa cuma ikut klub, makan ramen sepulang sekolah, lalu tidur tanpa belajar. Nggak berguna banget."


Aku tertawa kecil mendengar keluhannya. Tapi ya, aku juga nggak bisa banyak bicara—aku pun jadi ikut merenung.


"Jangan samakan mereka dengan dirimu. Yang pingsan itu Yamada, mantan anggota dewan prefektur, kan? Orang penting yang pernah menjabat ketua dewan—sampai anggota parlemen pun segan padanya."


Makanya kami diminta untuk mencarinya dengan segala cara. Kami juga ingin menjadikannya contoh baik ke depannya.


"Wah, orang sepenting itu, ya."


Ya, anak-anak muda memang biasanya belum tahu siapa dia.


"Oke, untuk sementara, edit wajah para siswa agar tidak terlihat, lalu gunakan media sosial untuk minta informasi. Siapa tahu ada petunjuk."


Bawahan ini cukup mahir menggunakan komputer, jadi sepertinya dia bisa mengurusnya dengan baik.


Aku bertanya-tanya, seberapa besar dampaknya nanti. Semoga saja bisa segera diketahui…


Tak kusangka, unggahan di media sosial itu akan berkembang begitu pesat hanya dalam beberapa jam, menghasilkan ratusan ribu reaksi—pada saat itu aku sama sekali tak membayangkannya.


— Stasiun TV Lokal —


"Ini gawat! Acara ramen yang rencananya akan kita liput langsung tiba-tiba dibatalkan. Karena angin kencang, pihak penyelenggara menilai terlalu berbahaya!"


"Apa!? Gimana ini? Slot lima menit jadi kosong. Nggak ada berita lain yang bisa kita pakai sebagai pengganti?"


"Itu, ya..."


"Sial, masa nggak ada sih. Gimana dong. Kalau gini, kita harus gali lebih dalam berita lain—"


"Ah, Direktur! Aku punya bahan yang pas. Barusan, pemadam kebakaran mengunggah video anak-anak sekolah yang menolong seseorang. Video itu langsung viral! Kita bisa angkat itu. Sepertinya, para siswa itu membantu orang, lalu pergi tanpa memberitahu nama mereka. Sekarang, pihak pemadam sedang mencari mereka karena ingin memberi penghargaan."


"Waktu kita mepet, jadi bagus kalau videonya udah tersedia. Pakai itu saja. Segera hubungi mereka untuk minta izin. Kalau mereka tahu bahwa video itu akan disiarkan di TV yang jangkauannya luas, mereka pasti langsung setuju."


Semua berjalan secara real-time.


※


— Kantor Polisi, Ruang Istirahat —


"Video yang tadi dikasih ke pemadam kebakaran langsung diunggah ya. Cepat juga kerjanya."


"Ya, sepertinya ada mantan ketua dewan prefektur yang terlibat di dalamnya."


"Makanya prosesnya jadi secepat ini ya."


"Heh, kenapa? Ada apa, Minowa?"


"Enggak, soal cowok di video yang tadi. Rasanya aku pernah lihat dia di suatu tempat."


"Eh, kamu sudah bisa identifikasi orangnya?"


"Nggak sih, aku nggak tahu namanya sih. Tapi, ingat nggak, seminggu lalu ada kasus pemuda yang dipukul sepihak di pusat kota?"


"Oh iya, yang pelakunya kabur, dan cuma ada rekaman dari streamer itu, kan?"


"Iya itu, karena nggak ada laporan korban juga, kasusnya akhirnya dibiarkan begitu saja. Tapi, orang di video itu mirip, kan?"


"Masa sih? Aku nggak begitu ingat. Ya udah, nanti setelah istirahat, kita cek lagi. Siapa tahu kita bisa dapat poin tambahan dari pihak damkar."


— Sudut Pandang Takayanagi —


Kami tiba di pos polisi depan stasiun kota sebelah. Setelah menjelaskan situasinya, kami diminta untuk mengecek ulang datanya.


Video yang sama seperti yang kulihat sebelumnya pun diputar. Karena ini pertama kalinya ibu Aono melihatnya, aku bisa melihat dia sangat terpukul.


"Ini keterlaluan... dipukul sepihak seperti ini."


"Kenapa anak saya harus diperlakukan seperti ini, hanya karena dia menyentuh bahu pacarnya...?"


"Jadi, Eiji dipukul sekejam itu ya... bahkan dikhianati Miyuki-chan, ditinggalkan tanpa diurus saat tergeletak di tanah... Kenapa aku nggak bisa menyadarinya sebelumnya..."


Tatapan matanya kosong, dan dengan suara tertahan, ibunya Aono bergumam. Aku tidak bisa berkata apa-apa—yang bisa kulakukan hanyalah melihatnya.


Berkali-kali kutonton, tetap saja terasa menyakitkan.


Ini benar-benar kekerasan sepihak. Tak ada tanda-tanda bahwa Aono melakukan kekerasan seperti yang diklaim Kondo.

Jadi memang... dia berbohong ya.


"Aku tidak akan memaafkan anak yang memukul anakku ini. Dia juga siswa sekolah yang sama, bukan, sensei?"


"Ya, benar. Namanya Kondo, siswa kelas tiga."


Sebelum datang ke sini, aku sudah menghubungi kepala sekolah dan menyampaikan situasinya. Seperti rencana awal, keputusan untuk melapor ke polisi diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga Aono. Kami juga telah menerima instruksi untuk membantu sebisa mungkin.


"Kondo, ya... Kondo."


Ia menyebutkan nama itu seolah menggumam, namun dari sorot matanya terlihat tekad kuat untuk tidak memaafkannya.


"Saya akan mengajukan laporan. Apa yang harus saya lakukan?"


Dengan suara tegas, ibu Aono menyampaikan niatnya dan langsung memulai prosedur.


Sebagai wali dari anak di bawah umur, ia dijelaskan bahwa dia berhak mengajukan laporan sebagai pengganti anaknya.


Saat tengah mengurus berkas, dua polisi masuk ke pos.


"Ah, selamat datang!"


Polisi yang bertugas menyapa mereka, lalu salah satu dari dua polisi yang baru datang—yang tampak paling senior—bertanya,


"Apakah kedua orang ini terkait dengan bocah di video tadi?"


Polisi yang ditanya langsung mengangguk.


"Ini ibu dari korban dan guru sekolahnya. Mereka sedang menulis laporan."


"Begitu ya."


Polisi senior itu menatap kami dan berbicara dengan nada tegas namun sopan.


"Nama saya Domoto. Maaf tiba-tiba, tapi kami ada satu video lain yang ingin kami minta bantuannya untuk dicek. Jangan khawatir, ini bukan soal kasus kekerasan. Justru ini soal penyelamatan nyawa. Salah satu anggota kami merasa, mungkin anak ibu ini mirip dengan remaja yang kemarin menyelamatkan seorang pria yang pingsan di jalan, lalu pergi tanpa memberitahu nama. Kami ingin memastikan wajahnya."


"Tentu saja, tidak masalah."


Ibu Aono menjawab dengan sedikit lega. Setelah melihat video yang sangat menyakitkan tadi, aku juga merasa kasihan padanya. Jadi, saat mendengar ini soal lain, aku bisa sedikit bernafas lega.


Video itu menampilkan Aono dalam seragam sekolah bersama Ichijou Ai, siswa kelas satu, sedang berusaha menolong seorang pria yang tergeletak.


Mungkin itulah alasan Aono terlambat ke sekolah pagi ini—aku bisa langsung paham.


"Ya, itu anak saya. Dan gadis di sampingnya... dia anak yang dekat dengan Eiji."


Suara ibu Aono sedikit bergetar karena terkejut.


"Begitu ya. Berkat penanganan cepat mereka, pria itu kini pulih dengan baik. Karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada anak-anak itu. Pihak damkar juga ingin memberi penghargaan."


Setelah video menyakitkan tadi, kini ditampilkan video yang sebaliknya—tentang kebaikan dan kepedulian. Benar-benar seperti berpindah dari neraka ke surga…


Aono memang luar biasa. Meski baru seorang siswa, di tengah situasi di mana bahkan orang dewasa mungkin tak bisa bergerak, dia justru mengambil inisiatif dan menolong orang lain.


Dalam kondisi seburuk itu, saat kepercayaan pada orang lain hancur, dia tetap tidak menyerah dan bertindak demi orang lain. Itu benar-benar luar biasa.


"Begitu ya... Eiji... aku sama sekali tidak tahu... Soalnya, dia tidak pernah bilang apa-apa..."


Polisi senior itu tersenyum.


"Putra yang hebat ya. Saya juga punya anak perempuan seumuran, tapi melakukan hal seperti itu bukan perkara mudah. Putra Anda sungguh luar biasa. Seseorang yang menyakiti anak seperti itu… benar-benar tak bisa dimaafkan. Kami akan menangani kasus penganiayaan ini dengan baik."


Kata-katanya yang lembut tapi penuh keyakinan memberi kami rasa tenang.


"Terima kasih banyak."


Ibu Aono menangis sambil menundukkan kepala.


Dunia ini benar-benar penuh ketidakadilan. Kenapa orang baik seperti Aono Eiji harus diperlakukan sekejam ini? Kenapa dia harus menjadi target perundungan?


Tidak, aku tidak boleh larut dalam pikiran negatif. Dia yang paling menderita saja masih berusaha melangkah maju…

Sebagai orang dewasa, aku harus melakukan sesuatu untuk meringankan bebannya meskipun hanya sedikit.


Pertama-tama, kami harus membuat pelaku utama menebus perbuatannya.


Inilah titik awal dari perjuangan berat ke depannya.

Aku kembali meneguhkan tekadku.


—Dari sudut pandang Shimokawa—


Sial, padahal ini hari Senin, tapi karena pelatih marah besar terhadap hasil pertandingan latihan kemarin, kami malah harus latihan. Padahal seharusnya hanya latihan ringan untuk memulihkan kelelahan dan bisa pulang lebih cepat. Tentu saja, suasana canggung kemarin masih terasa, dan Kondo-senpai jelas saja tidak hadir.


Sejujurnya, ini bukan kondisi untuk latihan. Tim benar-benar kehilangan semangat.


Mungkin turnamen berikutnya sudah tak ada harapan. Semua orang seakan berbagi rasa putus asa itu.


"Ayo, pulang,"


kataku sambil mengganti sepatu di lorong sekolah, ketika tiba-tiba terdengar teriakan kapten,


"Hei, Mitsuda! Ini apa maksudnya!? Jelaskan!"


Kami para junior yang terkejut mendengar suara yang tidak biasa itu segera menghampiri sumber suara.


Lemari sepatu Mitsuda-senpai terbuka, dan foto-foto itu berserakan di lantai.


Semua yang melihat pemandangan aneh itu kehilangan kata-kata.


"Jadi kau pelakunya. Karena selalu disuruh-suruh sama Kondo, kau dendam dan melakukan ini ya!? Kau pengen menghancurkan hidup kami ya! Kau tertawa di balik semua ini, ya!"


Kapten berteriak penuh amarah.


"Bukan aku! Aku enggak tahu soal ini! Pasti ada yang meletakkannya! Aku enggak berkhianat! Ini fitnah!"


Mendengar itu, aku langsung teringat pada Aono. Bukankah kami semua hanya diperalat oleh Kondo-senpai untuk menjatuhkan Aono?


Khususnya Mitsuda-senpai, dia yang paling aktif menyebarkan rumor. Ini mungkin balasan atas perbuatannya.


"Aku nggak bisa percaya. Aku udah nggak bisa percaya siapa pun lagi!"


Kapten mendorong Mitsuda-senpai ke lemari sepatu, lalu pergi begitu saja. Yang tersisa hanyalah keheningan seperti suasana berkabung di antara kami.


"Ini bukan sepak bola yang aku inginkan…"


ucap Maehira, siswa kelas satu, pelan.

Kami semua menoleh kaget ke arahnya.


Para siswa kelas satu memang tidak terlibat dalam kasus ini, jadi mereka menatap kami para senior dengan tatapan dingin seolah melihat sampah.


Sial… ini bukan salahku. Ini semua salah Kondo-senpai.

Maehira dan siswa tahun pertama lainnya pergi tanpa sepatah kata.


Yang tersisa hanyalah foto-foto itu dan para senior yang tenggelam dalam keputusasaan.


—Dari sudut pandang Eri—


Aku membeli bahan makanan di supermarket dan kembali ke rumah seperti biasa.


"Aku pulang."


Kebiasaan lama memang sulit hilang. Meski tak ada siapa pun di rumah, aku tetap menyapa… tentu saja, tak ada yang membalas.


Aku kembali disadarkan bahwa aku adalah seseorang yang berada di kutub berlawanan dari kebahagiaan.


"Aku akan masak udon ah."


Rebus sayur dan daging seadanya, lalu makan… asal tidak mati saja cukup.


Sejak mulai hidup sendiri saat SMA, hidupku memang seperti ini. Aku bahkan tak pernah merasakan kenikmatan makan selama tiga tahun ini. Asalkan bisa memenuhi kebutuhan gizi minimum, aku tak peduli.


Selain saat bertemu Kondo-kun, hidupku hanya diisi dengan hal-hal paling dasar. Di luar waktu bersamanya, aku hanyalah seperti zombie. Karena aku telah kehilangan segalanya.


Padahal, sampai SMP, aku adalah siswa teladan.


Aku punya banyak teman, dan juga pacarku—Endou Kazuki, teman masa kecilku.


Dia pintar, dan aku selalu bangga padanya. Kami selalu bersama dan aku yakin suatu hari nanti kami akan menikah.


Namun, aku sendiri yang menghancurkan kebahagiaan yang sudah dijanjikan itu.


Aku pertama kali sekelas dengan Kondo-kun saat kelas tiga SMP. Dia adalah bintang tim sepak bola, dan juga pintar.

Dia selalu jadi pusat perhatian di kelas.


Aku yang saat itu sangat mencintai Endou hanya mengagumi Kondo dari kejauhan.


Namun, setelah sekelas, kami mulai menjadi dekat sedikit demi sedikit. Dia sering membantuku dalam pelajaran matematika yang sulit, dengan sangat lembut.


Hal sepele seperti itu yang menjadi awal kami menjadi dekat. Cara dia bersikap pada perempuan, yang jauh lebih terbiasa dibandingkan Kazuki yang kikuk, membuatnya terlihat begitu anggun, sampai rasanya dia bukan dari usia yang sama.


Aku lengah, dan tanpa kusadari, aku telah menyerahkan segalanya padanya… dan terjerumus ke dalam neraka ini.


Tapi aku tahu betul. Yang salah semuanya adalah diriku sendiri. Selama ini aku pura-pura tidak melihat, tapi yang paling bersalah bukan siapa-siapa selain diriku.


Orangtuaku hampir bisa dibilang sudah mengusirku. Memang mereka masih membiayai sekolah dan hidupku, tapi setelah itu, aku harus bertanggung jawab sendiri.


Teman masa kecilku sejak taman kanak-kanak mengatakan, "Kenapa kamu bisa melakukan hal sekejam itu? Kalau kau pikirkan tentang Endou-kun… kamu pasti nggak akan bisa melakukan hal sekejam itu," dan memutuskan hubungan denganku.


Itu memang pantas. Tapi dalam situasi di mana aku bahkan tidak bisa bergantung pada orang tua, masuk ke universitas atau sekolah kejuruan pun jadi hal yang mustahil. Mimpiku sejak dulu untuk menjadi seorang guru pun, praktis hilang karena perselingkuhan itu.


Kabarnya, Kazuki sempat putus asa dan tidak ikut ujian masuk SMA. Sekarang dia menjadi siswa pengulang, satu angkatan di bawah kami.


Waktu dia masuk ke SMA yang sama denganku, aku sangat senang. Aku tahu, aku yang telah menyakitinya seperti itu seharusnya tidak boleh merasa seperti itu. Tapi, diam-diam aku berharap… mungkin dia akan menyelamatkanku dari neraka ini.


Namun, aku segera menyadari kalau itu hanya mimpi belaka.


Saat kami berpapasan di lorong, yang kudapatkan hanyalah tatapan dingin seolah-olah aku ini kotoran.


Senyuman lembut yang dulu selalu dia tunjukkan padaku, kini takkan pernah lagi diarahkan kepadaku.


Akhirnya aku sadar, satu-satunya orang yang kumiliki hanyalah Kondo-kun. Simbol masa bahagia itu sudah terlalu jauh, tak bisa lagi kucapai meskipun aku mengulurkan tangan.


Bahkan, dia pun membuangku dan hanya memperlakukanku sebagai perempuan yang bisa dimanfaatkan.


Kami sempat berpacaran sebentar saat SMP, tapi dia segera membuangku. Setelah diputuskan, aku sempat jadi hampir tidak pernah masuk sekolah. Tapi saat dia tahu itu, dia sedikit melunak dan sesekali datang menemuiku.


Meski aku tahu aku hanya jadi perempuan yang bisa dipakai sesuka hati, aku tak bisa melepaskan diri dari ikatannya.


Karena ini adalah cinta yang kupertaruhkan segalanya, aku tidak bisa menyerah, dan akhirnya menjadi perempuan yang hanya dia perlakukan semaunya.


Padahal ini cinta tempatku mempertaruhkan keluarga, pacar, teman, mimpi, dan masa depan.


Aku sudah mempersembahkan seluruh masa mudaku untuk Kondo-kun. Dan yang tersisa hanyalah neraka ini.


Aku tahu dia punya perempuan lain. Aku bahkan pernah beberapa kali melihatnya sendiri.


Tapi aku selalu percaya, setelah semua yang telah kukorbankan, dia pasti akan kembali padaku.

Aku selalu yakin akan hal itu.


Namun, amplop yang baru saja kutemukan di kotak surat telah menghancurkan harapan itu.


Foto dirinya yang terlihat bahagia keluar dari hotel bersama perempuan lain.


Kalau hanya itu, mungkin aku masih bisa menahan diri. Tapi di lehernya tergantung kalung kembaran yang kami beli waktu SMP.


Seolah dia menginjak-injak perasaanku dengan sengaja. Aku sadar betul, bagi dia, masa mudaku ini hanyalah semacam barang miliknya belaka.


Tak bisa dimaafkan.

Diriku sendiri yang tak bisa kumafkan.


Aku yang mengkhianati orang-orang penting dalam hidupku… tak bisa dimaafkan.


Aku akan mati. Benang yang selama ini kutarik hingga batasnya akhirnya putus. Karena ke depan ini, tak ada lagi harapan apa pun.


Tapi… aku tidak bisa jadi satu-satunya yang jatuh ke neraka.

Orang yang menciptakan neraka ini… harus ikut juga.


Setidaknya, untuk yang terakhir kalinya, aku ingin menjadi diriku yang sebenarnya…


Previous Chapter | Next Chapter

17

17 comments

  • Justan Enjoyer
    Justan Enjoyer
    20/6/25 22:02
    Menurut gw sih sepadan "kebetulan" nya ini, soalnya kan si mc yang hidupnya b aja gaada gangguannya tiba tiba down bgt sampe ke akar akar karena di khianatin ama pacarnya, makanya sekrang ini beckingan nya muncul terus kaya seseorang yang mulai menaiki tangga keatas setelah jatuh ke paling dasar, nah kaya gitu menurut gw
    Reply
  • Lonzz
    Lonzz
    17/6/25 23:32
    King endou
    Reply
  • Zianeddin
    Zianeddin
    14/6/25 14:59
    ceritanya enak gak kayak sinetron, tadi ku sempet gereget soal video, aku pengen 2 video itu langsung ketahuan, ku kira bakal kayak sinetronkan banyak drama dulu, ternyata nggak, ibunya sama gurunya langsung ngelihat videonya
    Reply
  • V1L
    V1L
    13/6/25 18:01
    di ntr di SMP, mengulang setahun, SMA yang sama dengan mantan dan orang yang merebut pacarnya,dan tetap menunggu kesempatan balas dendam tanpa bantuan dan bekingan
    KING ENDOU
    Reply
  • V1L
    V1L
    13/6/25 17:22
    butterfly effect cuy
    Reply
  • luna
    luna
    13/6/25 10:26
    lakok dadi ngene? WKWKWKW kebetulannya wedan
    Reply
  • Berjiwa Kaneki Ken
    Berjiwa Kaneki Ken
    8/6/25 18:30
    wanjir ternyata si kisah endou sama persis ke kisah eiji(mc) jir dahlah 2 cwo sad ini
    • Berjiwa Kaneki Ken
      fanii
      9/6/25 03:44
      iya sama, tapi si emsi ngk tau kalau pahlawan sebenarnya itu Endou, Endou manfaatin kasus nya si emsi buat balas dendam, tapi gw belum liat si emsi bakalan tau dalang ngebongkarinnya (ini gw lagi proses tengh jalan), tapi si emsi nganggap Ai ni pahlawan dia + orang yang memberi semangat hidup, bisa dibilang Endou sama Ai ni kerjasama tnpa disadari,gw juga puas ama ni cerita orang gila NTR ni punya ending yang sangat bagus, awaal nya jujur aku trauma baca manga chap 1 nya, mengingat aku punya trauma NTR keluarga ku dulu. gw puas pada hasil akhirnya gw wlau pun belum selesai baca masih setengah jalan gw sudah berani tebak, endng nya bakalan puas.
    Reply
  • YuuNarukamii
    YuuNarukamii
    7/6/25 15:43
    sebenarny rada aneh sama "Kebetulan" ini 🤣 tapi karena mc nya udh terlajur jadi korban gpp lah,senggaknya nanti bisa bikin kondo kena mental,kalo bisa lebih jatuh sejatuh jatuhnya
    Reply
  • Rio
    Rio
    7/6/25 13:46
    Plot buat si mc nya kayak dipaksain, gw malah lebih seneng liat penderitaan si kondo drpd pov mc ama ai akwoakwok
    • Rio
      Manusia
      8/6/25 01:55
      aseli 🤣
    • Rio
      Zianeddin
      14/6/25 14:55
      aku paling suka POV miyuki, pengen liat dia menderita
    Reply
  • Seino
    Seino
    6/6/25 23:20
    Ngakak sama kebetulan nya wkwkw
    Reply
  • Excel
    Excel
    6/6/25 19:43
    gilak weh, gw smpe ngakak sama bekingan nya mc🤣 rame benee
    Reply
  • Rizkyalam
    Rizkyalam
    2/6/25 15:10
    Bener yah kalo kita selalu berbuat baik, maka kebaikan akan datang kepada kita dari tempat yang nggak kita duga
    • Rizkyalam
      XD
      16/6/25 17:28
      Benar
    Reply
  • Fyinn
    Fyinn
    1/6/25 21:49
    Udah panas nih 😋
    Reply



close