Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 4
Bertemu dengan Teman Masa Kecil
──Sudut Pandang Endou──
Di taman saat senja, aku memeriksa perkembangan rencana yang sedang berjalan.
Aku sudah berhasil menghancurkan kerja sama internal klub sepak bola. Tinggal menunggu mereka hancur dengan sendirinya. Aku juga berhasil mengisolasi Mitsuda—orang yang paling dekat dengan Kondo di dalam klub itu.
Cepat atau lambat, soal foto itu pasti akan sampai ke telinga Kondo. Saat itu terjadi, dia akan merasa dikhianati oleh orang yang paling dia percaya, dan dia akan kehilangan kendali karena keputusasaan.
Jika hubungan antara Kondo dan Amada Miyuki juga hancur, dia akan benar-benar terisolasi. Ini semua adalah bagian dari rencana untuk mengembalikan keputusasaan yang pernah Aono rasakan kepada Kondo.
Dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Aono Eiji, rasa sakit yang aku alami bukanlah apa-apa.
Dia tidak hanya dikhianati oleh teman masa kecilnya, tapi juga difitnah, lalu diasingkan di sekolah. Itu bukan perlakuan manusia. Itu tindakan iblis.
Karena itu, aku akan sepenuhnya merenggut tempat bagi Kondo untuk kembali. Sama seperti yang dia lakukan pada teman-temanku. Dan begitu dia sendirian, Kondo pasti akan mencoba menghubungi dalang dari semua ini. Saat itulah aku akan menyeret si biang keladi itu ke neraka bersamanya.
Setelah itu, aku tidak peduli harus menerima hukuman seperti apa. Selama aku bisa menyeret mereka ke neraka, aku akan melakukan apa pun.
"Eh, Endou, ya? Akhir-akhir ini kita sering ketemu, ya!"
Saat aku sedang termenung di bangku taman, tiba-tiba seseorang memanggil. Ternyata itu Imai.
"Ah, cuma jalan-jalan sebentar kok. Kau lagi lari buat jaga stamina ya, Imai? Tapi bukankah hari ini libur?"
Dia sedang terengah-engah, mengenakan pakaian olahraga yang nyaman. Padahal ini masih bulan September dan cuacanya panas, tapi dia tampak tak kelelahan sama sekali. Seperti yang kuduga, dia benar-benar unggul dalam akademik dan olahraga.
"Iya! Tapi hari ini aku bolos karena ada urusan. Endou juga jangan terlalu memaksakan diri. Kalau ada apa-apa, bilang aja kapan pun."
Imai tersenyum cerah. Tapi senyum itu punya warna yang sedikit berbeda.
Aku melihat kekhawatiran dalam matanya.
Benar juga. Imai itu cerdas dan tanggap. Mungkin kesalahanku adalah tanpa sengaja bertemu dengannya saat aku mulai menyusup ke dalam klub sepak bola. Tapi Imai bukan tipe orang yang akan mengkhianati temannya. Dia pasti menghormati keputusanku. Kurasa dia memang sengaja pura-pura tak tahu.
"Apa, sih? Aku cuma jalan-jalan. Kau terlalu khawatir. Walaupun aku baru sembuh dari sakit..."
Aku tertawa kecil untuk menutupi rasa bersalahku yang sedikit menusuk.
"Benar juga. Tapi, yang mau aku bilang ini cuma ocehan orang yang terlalu khawatir, jadi dengarkan saja lalu lupakan."
Aku tersentuh oleh kebaikan temanku. Hampir saja aku memakai topeng dingin sebagai sosok pembalas dendam. Tapi aku menahan dorongan itu sekuat tenaga dan hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Aku nggak tahu secara rinci apa yang sedang kau rencanakan, Endou. Aku tahu ada sesuatu yang terjadi, tapi rasanya ini hal yang tak bisa aku campuri terlalu dalam. Tapi, tolong, jangan jadikan dirimu korban ya. Aku yakin, tujuan akhirnya yang kau kejar pasti melibatkan pengorbanan diri. Tapi jangan bilang kalau pengorbanan itu adalah balasanmu untuk Aono. Itu terlalu menyedihkan."
Mendengar kata-kata itu, jantungku berdetak kencang. Napasku jadi sesak karena denyut yang mendadak cepat.
"Apa maksudmu? Aku nggak paham sama sekali."
"Itulah sebabnya aku bilang ini cuma ocehan. Tapi, sebagai teman, aku ingin terus berteman baik denganmu, Endou. Aku ingin kau bisa tertawa. Sebagai teman. Aono pun pasti berpikiran sama. Kalau kau terluka, dia pasti akan sedih."
Melihat temanku berbicara seolah memahami segalanya, aku terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.
"Kau tahu semua yang sedang aku lakukan, ya?"
Aku bertanya dengan hati-hati. Tapi dia menggeleng pelan.
"Aku sudah menyelidiki hubunganmu dengan Kondo, yang jadi pusat dari semua masalah ini. Tapi aku tidak menyelidiki lebih dalam. Jadi, yang aku tahu cuma sebatas dugaan."
Tidak, kalau dia mau, pasti dia bisa menyelidiki apa yang terjadi saat kami masih SMP.
Dan karena dia menyebut nama Aono, kemungkinan besar dia sudah menyadari semuanya.
Kebaikan dan kehangatan dari seseorang yang benar-benar mengkhawatirkan diriku…
Ternyata tempat yang selama ini kucari-cari, sebenarnya sudah berhasil kudapatkan kembali. Aku benar-benar menyadari betapa berharganya hal itu.
Tapi… aku sudah sampai sejauh ini. Tidak mungkin aku berhenti. Aku tidak boleh berhenti. Demi mengalahkan Kondo dan si dalang dibalik semua ini.
"Terima kasih, Imai."
Dengan susah payah aku mengatakannya, dan dia pun tersenyum.
"Ah. Aku mau cerita sedikit tentang masa lalu."
"Masa lalu?"
"Iya, soal gimana aku bisa akrab sama Eiji. Kau tertarik, kan?"
"Iya. Ngomong-ngomong, aku belum pernah dengar ceritanya."
"Itu waktu kami masih SD."
"SD? Bukannya kalian udah akrab dari sebelumnya? Kalian ‘kan teman masa kecil."
"Iya, kami memang sering main bareng sih. Tapi aku nggak pernah nganggep dia sebagai sahabat. Hanya seperti kenalan lama gitu deh."
"Heh, jadi pernah ada masa kayak gitu ya. Sekarang rasanya nggak bisa dibayangin."
Sambil berpikir begitu, aku jadi teringat kalau aku juga pernah punya dua teman masa kecil. Hubunganku dengan Eri sudah berakhir, dan satu lagi kini sudah menjauh dariku. Karena aku pernah berkata hal yang sangat buruk padanya, padahal dia berusaha membantuku. Tapi itu salahku sendiri. Semuanya salahku.
"Lalu, ya, agak gimana gitu ngomongin diri sendiri, tapi aku ini sebenarnya cukup bisa ngelakuin apa aja, dan karena itu, aku malah jadi terasing di kelas. Kalau dipikir-pikir sekarang, itu memang salahku. Waktu persiapan acara olahraga, kami harus latihan tari. Aku cepat banget bisa hafal gerakannya, tapi cewek yang duduk di sebelahku itu nggak bisa gerak dengan lincah, jadi dia kesulitan belajar. Sekarang aku ngerti. Karena dia nggak bisa, ya mau gimana lagi. Harus pelan-pelan. Tapi waktu itu, aku masih bocah."
Aku mengangguk, menyuruhnya untuk melanjutkan.
"Terus, aku jadi keceplosan. Aku bilang, ‘Kenapa sih kamu males banget?’ Sekarang aja aku masih mikir itu kejam banget. Cewek itu langsung nangis, dan hampir seluruh kelas ngeliat aku dengan pandangan sinis. Aku jadi terasing, dan satu-satunya yang masih ngomong sama aku cuma Eiji."
"Eiji tetap ngobrol sama kamu?"
"Itulah kerennya dia. Meski dia tahu resikonya bakal dijauhin juga, dia tetap bersikap seperti biasa padaku. Bukan cuma itu. Dia juga secara perlahan bantu aku balik masuk ke lingkaran kelas lagi."
"Bantu balik?"
"Kalau ada soal susah, dia langsung nanya ke aku. Lalu, dia buat alurnya seolah aku yang baik hati bantu dia. Kadang dengan gaya bercanda juga. Waktu ada ribut-ribut di kelas, Eiji ngelakuin seolah aku ini semacam penengah. Berkat itu, perlahan aku mulai dipercaya lagi. Dan akhirnya, beberapa cowok di kelas mulai bercanda sama aku kayak Eiji."
"Begitu ya. Memang Eiji luar biasa ya."
"Iya, aku bener-bener diselamatkan karena dia. Mungkin dia sendiri udah lupa. Padahal dia udah lakuin hal sebesar itu. Tapi mungkin karena dia memang orang yang besar hatinya. Makanya, aku seharusnya yang paling dulu sadar soal masalah bullying ini. Tapi aku terlambat, dan udah terlalu terlambat. Aku malah menyakiti dia begitu dalam. Aku ini, manusia nggak tahu balas budi."
"Itu nggak benar. Cuma kebetulan waktunya aja nggak tepat. Dan sekarang, kamu berjuang demi Eiji, kan?"
"Itu aja yang bisa kulakuin sih. Dia itu harapan buatku, kayak matahari. Makanya aku nggak akan pernah maafin orang-orang yang menyakitinya."
Aku mengerti perasaannya. Karena aku pun salah satu dari orang yang diselamatkan Eiji.
"Kalau kamu sendiri, Endou?"
Ngomong-ngomong, aku memang belum pernah cerita pada Imai soal bagaimana aku berteman dengan Eiji. Kalau dia memang menyelidiki masa laluku, maka tak apa aku ceritakan.
"Aku tuh, gara-gara Kondo dan teman-temannya, sampai harus ngulang setahun. Nggak banyak orang yang ngulang gara-gara gagal masuk SMA, kan? Jadi, pas masuk sekolah pun, aku nggak punya teman. Tapi aku udah siap nerima itu. Aku pikir, sendirian pun nggak apa-apa. Soalnya, setelah berhenti sekolah dan akhirnya bisa lulus ujian masuk SMA, orang tuaku sampai nangis bahagia. Jadi aku ngerasa, minta lebih dari itu tuh berlebihan."
Kali ini, giliran Imai yang jadi pendengar.
"Karena keadaanku jarang terjadi, kabar soal aku nyebar cepat, ditambah bumbu-bumbu aneh. Lalu, pas ganti tempat duduk pertama kali, aku duduk deket Eiji. Aku waktu itu cuma baca novel terus, pengen waktu cepat berlalu. Tapi dia tiba-tiba bilang, ‘Endou, aku juga suka penulis itu.’"
"Itu banget, gaya dia ya."
"Aku kaget. Tiba-tiba manggil tanpa sopan, dan ngomong kayak kita udah temenan lama aja. Sejak saat itu, kami terus ngobrol soal novel. Karena katanya belum puas ngobrol, dia ngajak aku ke restoran cepat saji sepulang sekolah. Kami makan kentang ukuran L berdua sambil ngobrol terus. Rasanya jarak di antara kami tuh aneh banget."
"Lucu juga."
"Tapi berkat Eiji, aku jadi bisa ngobrol juga sama orang lain, dan bisa punya teman seperti kamu, Imai."
"Gitu ya."
"Waktu kita harus milih jurusan di kelas dua dan akhirnya beda kelas, aku sedih banget."
"Eiji juga pengen ngobrol sama kamu, tahu."
"Itu cuma bisa terjadi kalau semua ini udah berakhir. Karena waktu SMP dulu, aku lari tanpa melawan. Dan karena itu, orang sebaik Eiji jadi korban laki-laki itu. Makanya aku nggak bisa maafin. Aku yakin, dia harus disingkirkan..."
Aku sengaja tidak melanjutkan. Karena Imai sudah paham tanpa perlu penjelasan lebih lanjut.
Setelah itu kami terdiam dalam hening.
"Kalau gitu, aku balik dulu. Tapi ya, kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja. Karena kamu juga temanku yang berharga."
Setelah berkata begitu, Imai kembali lari. Sepertinya dia mendengarkan musik sambil berlari. Tadi dia sempat mengutak-atik ponsel. Aku pun memutuskan untuk pulang.
Besok pagi juga harus bangun lebih awal.
Saat hendak keluar dari taman sambil berpikir begitu, aku melihat sosok seorang siswi dari sekolah lain. Saat aku hendak melewatinya…
"Tunggu, Kazuki, kamu Kazuki Endou, kan?"
Suara yang begitu familiar. Suara seorang gadis.
Bukan suara Eri, tapi suara teman masa kecilku yang satu lagi. Gadis yang mencoba membantuku sampai akhir, saat aku dikhianati oleh Eri.
"Aku, Doumoto Yumi. Kamu masih ingat?"
Aku merasa waktu sempat berhenti sejenak.
Kenapa dia ada di sini…? Tidak, tadi Imai memang sempat agak aneh. Dia tahu bahkan tentang masa SMP-ku. Artinya, dia pasti sudah bicara dengan seseorang dari masa SMP-ku. Apa ini semua bagian dari rencananya?
Orang yang selama ini ingin aku minta maaf, sekarang tersenyum di depanku. Senyumnya tidak berubah dari dulu. Karena itu, aku pun tanpa sadar berbicara seperti dulu.
"Yumi… mana mungkin aku lupa. Sudah lama ya."
Sudah lama sekali aku mendengar suara lembut dari teman masa kecilku.
Suaranya terdengar jauh lebih tenang sekarang. Rambut maronnya yang dulu panjang kini sudah jauh lebih pendek. Terakhir kami bertemu adalah saat hari kelulusan, setelah aku mulai mengurung diri.
Setelah dikhianati oleh Eri dan jadi putus asa hingga berhenti sekolah, banyak teman yang datang menjengukku. Tapi aku tak mau bertemu siapa pun, jadi aku menolak mereka semua dengan dingin. Lama-kelamaan jumlah yang datang pun makin sedikit.
Tapi di antara mereka, Yumi adalah satu-satunya teman masa kecil yang terus datang sampai akhir.
"Syukurlah. Karena kamu nggak pernah menghubungi, aku sempat takut kamu udah melupakanku."
Dia tersenyum sedikit dengan ekspresi yang terlihat agak kesepian. Melihat itu, hatiku terasa nyeri.
"Mana mungkin aku bisa begitu. Aku bahkan nggak pantas."
Pada akhirnya, aku menjadi takut pada kebaikan hatinya. Karena aku masih trauma akan perubahan drastis Eri yang dulunya begitu baik.
"Pantas? Pantas apa? Tapi aku tetap merasa kesepian karena kau nggak pernah menghubungiku."
Cara dia berkata seperti itu, agak ngambek, dan tidak berubah dari dulu.
"Aku menolakmu dengan cara paling buruk, padahal kamu sudah begitu baik padaku. Aku bahkan nggak bisa menghubungimu. Aku pun merasa nggak pantas untuk bahagia."
Aku adalah pengecut yang melarikan diri karena takut akan kebaikan hatinya. Setelah kejadian itu, semua teman-teman dari masa SMP pun menjauhiku.
Akhir yang pantas untuk pengecut sepertiku.
"Kau memang baik hati ya, seperti biasa."
"Baik hati? Aku?"
Kata-katanya yang tak terduga membuatku terkejut dan bertanya balik.
"Iya. Jujur aja, kalau diingat-ingat, aku pikir aku terlalu nggak peka waktu itu. Soalnya, kau pasti sedang sangat menderita dan ingin dibiarkan sendiri, tapi aku malah nekat menyeberangi batas yang seharusnya nggak kulanggar. Aku nyesel banget soal itu. Aku pikir karena kau baik hati, kau malah menyalahkan dirimu sendiri. Tapi aku juga salah, kok. Maaf ya."
Hari itu. Di hari wisuda SMP. Saat aku nggak masuk sekolah, dia datang mengantarkan buku kenangan dan ijazah. Karena aku masih mempercayainya, orang tuaku pun membiarkannya masuk ke kamarku.
※
"Hey, Kazuki? Meskipun cuma sebentar, gimana kalau kita jalan-jalan pas libur musim semi? Kalau terus-terusan di kamar, pasti rasanya makin berat, kan?"
Dia tetap memperhatikanku seperti biasa.
Tapi mungkin karena aku gagal ikut ujian dan nggak bisa datang ke upacara kelulusan, waktu itu aku merasa sangat tertekan. Karena tekanan itu, aku pun melampiaskannya padanya.
"Diam! Mana mungkin kau ngerti perasaanku! Enak ya jadi kau, bisa ngerasain serunya kehidupan SMA mulai sekarang. Nggak kayak aku… Entah karena rasa iba atau warisan rasa keadilan dari pamanku, tapi apa pun itu, itu cuma nyusahin. Tolong, berhentilah peduli!"
Kalau diingat sekarang, kata-kata itu sungguh kejam. Yumi selalu datang setiap hari membawakan print soal supaya aku nggak ketinggalan pelajaran, bahkan juga bawakan formulir pendaftaran untuk ujian sekolah negeri.
Dan aku malah melemparkan kata-kata paling buruk pada orang yang begitu berjasa padaku.
Dia pun menangis, seperti benang kesabaran yang akhirnya putus.
"Maaf ya. Aku sama sekali nggak ngerti perasaan Kazuki. Aku terlalu memaksakan kehendak. Maaf banget…"
Mendengar itu, penyesalan yang luar biasa menyerangku. Aku benar-benar manusia paling buruk.
Dipenuhi rasa benci pada diri sendiri dan penyesalan, aku tak sanggup berkata apa pun.
Beberapa detik kemudian, dia berkata, "Maaf, aku pulang dulu, ya," lalu keluar dari kamarku. Dan sebelum pergi, dia berkata,
"Bye, Kazuki. Karena kau pacaran dengan sahabatku, Eri, aku selalu menahan diri… tapi mungkin sebenarnya aku menyukaimu."
※
"Berkat Yumi, aku bisa masuk SMA seperti sekarang."
Kami duduk di bangku dan mengobrol pelan. Rasanya, itu adalah kata-kata yang benar-benar keluar dari hati untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir.
"Begitu ya… Kalau kamu bisa sedikit saja maju ke depan, aku senang. Mungkin sedikit usahaku dulu ada gunanya, ya?"
"Itu bukan sekadar ikut campur. Waktu itu, aku cuma melampiaskan emosi… Tapi setelah dipikir-pikir, aku sadar betapa aku sangat berterima kasih padamu. Memang benar, aku baru menyadari sesuatu setelah kehilangannya."
Dia menatapku dengan senyuman lembut.
"Hey, Kazuki. Aku udah denger sebagian besar dari Imai-kun. Dia pintar, ya. Dia sadar kamu lagi kesusahan, jadi dia cari tahu banyak hal. Lewat SNS dan semacamnya. Lalu dari teman-teman yang saling terhubung, akhirnya dia sampai ke aku."
Jadi benar. Ini semua…
"Makanya, tolong dengarkan. Ini adalah kata-kataku sendiri. Maafkan dirimu sendiri. Nggak mungkin kamu nggak pantas buat bahagia. Aku yang paling tahu soal itu. Dan tahu nggak, teman-teman kita waktu SMP juga semua masih peduli sama kamu. Meskipun mereka sibuk ujian atau kerja, mereka tetap peduli dan bantuin Imai-kun waktu dia cerita. Dan mereka semua senang waktu tahu kamu sekarang sekolah lagi. Mereka bilang senang kamu punya teman baik kayak Imai-kun."
Kenangan tentang tempat hangat itu kembali membanjiri benakku. Kehangatan yang seharusnya sudah aku segel demi menjadi seorang pembalas dendam, kini kembali mengalir.
"Tapi… aku…"
Wajah teman-teman yang pernah kutolak dengan kasar terus-menerus terbayang di benakku.
"Jadilah bahagia, Kazuki. Karena kamu adalah orang yang begitu baik."
Tangan dinginku digenggam olehnya. Tangan yang tadinya dingin itu perlahan-lahan mulai terasa hangat kembali.
"Terima kasih."
Itu saja yang bisa kuucapkan.
"Kazuki, kasih tahu dong kontakmu."
Aku merasa itu adalah kata-kata penyelamat yang akan menghubungkanku kembali ke dunia yang hangat. Tanpa sadar, aku pun meraih tangan hangat dan lembut yang disodorkan itu.
—Dari sudut pandang Doumoto Yumi—
Aku akhirnya bisa berdamai dengan Kazuki. Dia bahkan memberiku kontak barunya yang dulu sempat putus.
Padahal aku masih ingin bicara banyak, tapi sulit sekali mengungkapkannya. Aku rasa, Kazuki masih belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang Kondo-kun dan pacarnya.
Bukan karena hubungan laki-laki dan perempuan, tapi karena rasa tanggung jawab—bahwa akulah yang seharusnya menghentikan dua orang itu dari bertindak terlalu jauh.
Aku tahu gambaran umum dari apa yang sedang terjadi sekarang, dari cerita yang kudengar dari Imai-kun. Sepertinya, dia mencari tahu banyak hal demi menolong temannya, Aono-kun, dan Kazuki, dan melalui beberapa teman, akhirnya dia berhasil menemukanku.
Teman-teman lain juga bilang:
"Senang deh, Kazuki akhirnya bisa melangkah maju."
Aku pun merasa begitu. Kazuki benar-benar sudah melangkah ke depan. Karena itulah, aku nggak ingin dia melakukan hal-hal yang berbahaya. Nggak ada alasan dia harus terluka lebih jauh dari ini.
Tapi… dia tetap pergi. Katanya masih ada hal yang belum selesai.
"Hey, Kazuki… Kalau semua itu sudah selesai, maukah kau kembali ke sisiku? Lalu beri tahu aku jawabannya dari waktu itu?"
Kepada sosoknya yang sudah tidak ada di sini, aku berbisik pelan.
Hari itu, saat terakhir aku bertemu Kazuki. Aku bersikap egois.
Aku ingin menyelamatkan Kazuki yang waktu itu tenggelam dalam kesedihan. Aku ingin seperti dulu lagi—pergi ke suatu tempat, bersenang-senang berdua, dan tertawa bersama.
Karena itu, aku nggak bisa menyerah begitu saja. Aku datang menemuinya, mengantarkan banyak hal. Bahkan setelah masuk SMA, aku berencana untuk terus melakukannya.
Tapi setelah mendengar kata-katanya, aku sadar… semua itu justru hanya membuatnya makin tertekan.
Jadi, aku melarikan diri. Aku takut. Takut kalau-kalau aku telah menghancurkan hidup Kazuki. Aku benar-benar takut.
Tapi meski begitu, aku nggak ingin dia melupakanku. Sampai akhirnya, aku menyampaikan perasaanku juga.
Bukan Kazuki yang menolak memberiku jawaban. Akulah yang takut mendengar jawabannya, dan memilih untuk tak bertemu dengannya lagi. Kalau sampai dia bilang aku telah menghancurkan hidupnya, dan menolakku, aku mungkin tak akan pernah bisa bangkit lagi.
Tapi aku tahu—itu bukan isi hatinya yang sebenarnya. Dia hanya panik, dan karena aku menyentuh luka yang seharusnya tidak kusentuh, dia marah dan mengatakan hal yang tidak benar-benar dia maksud. Aku tahu itu. Tapi tetap saja, aku tidak bisa mengambil langkah pertama.
Karena itulah, aku sangat berterima kasih pada Imai-kun. Kalau bukan karena dia, aku mungkin tidak akan pernah bisa mengumpulkan keberanian untuk kembali berdiri di hadapan Kazuki.
Dia memanggilku Yumi lagi.
Sekarang, itu saja sudah cukup bagiku.
Jadi, Tuhan… kumohon… jangan siksa dia lebih dari ini.
Teman masa kecil yang sangat aku cintai ini, sudah penuh dengan luka…
Tolong maafkan dia.
17 comments