NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kasshoku Musume no Latina-san ni Ore no Karada ga Nerawa re te Iru V1 Chapter 3 - 6

Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


 Chapter 3 - Type Wild

==============================================

Keesokan Harinya.


"Haaah… tapi serius, ini jadi masalah besar."


Aku menghela napas sambil berjalan menuju sekolah.


"Siapa sangka cewek cantik berkulit cokelat dan berdada besar yang baru pindah sekolah tiba-tiba memaksaku menikah dengannya, lalu malah mendeklarasikan bahwa dia ‘pasti akan membuatku menyerah’…"


Begitu mengatakannya dengan lantang, aku kembali berpikir—ini beneran cerita dari manga mesum, kan?


"Jujur aja, rasanya masih belum nyata."


Sambil memikirkan hal itu, aku sudah sampai di sekolah. Aku mengganti sepatuku dan berjalan menuju ruang kelas. Setelah sampai di depan pintu kelas, aku membuka pintu geser dan melangkah masuk.


"Selamat pagi."


"OHAYOU GOZAIMASU!! MAKOTO!!"


Seperti anjing besar yang menyambut pemiliknya pulang dari perjalanan panjang, sosok berkulit cokelat langsung melompat ke arahku.


"Nyuo!?"


Wajahku terbenam dalam dua gundukan besar penuh massa.


Sen—sensasi kulit sehalus sutra ini, kelembutan dan elastisitas yang bercampur sempurna, ditambah dengan aroma kuat khas perempuan…


(Ah… jadi semua yang terjadi kemarin itu beneran ya…)


Aku merasakan kenyataan itu menghantamku. Dengan posisi seperti itu, aku terdorong hingga jatuh ke lantai. Masih berada di atasku, Latina tersenyum cerah dan berkata,


"Hari ini cuacanya cerah, waktu yang pas untuk bikin anak!"


"Pertama kali aku dengar ada ‘cuaca bagus buat bikin anak’!?"


Dan yang lebih parah—ini terjadi di depan seluruh kelas!?


"La—Latina-san… bisa turun sebentar?"


"Hmm?"


Latina menoleh ke arah aku… tepatnya ke area di antara kaki kami berdua. Dan seperti yang sudah kuduga—berkat sensasi dari tubuh Latina yang luar biasa di pagi hari, dorongan remajaku sudah bangkit sepenuhnya.


"Tubuh Makoto sih kelihatannya nggak setuju buat berhenti?"


"Kenapa dialognya kayak ero manga!?"


Aku mulai memberontak, berusaha melepaskan diri.


"Sial, tetap nggak bisa lepas!"


Sama seperti sebelumnya, padahal aku jelas-jelas lebih kuat darinya karena sempat aktif di klub olahraga sampai belum lama ini. Apa yang terjadi sebenarnya!?


"Dibanding hewan liar, perlawanan ini sih kecil sekali."


"Dasar anak liar!!"


Aku tetap berusaha melepaskan diri, tapi Latina entah bagaimana terus menghindari semua usahaku. Di tengah perjuanganku…


"Makoto…"


Latina menatapku dengan mata sedikit berkaca-kaca dan ekspresi menggoda.


…Gawat. Sekarang aku sadar, cewek ini benar-benar cantik. Lalu, dia mulai melepas blazer seragamnya, hanya mengenakan kemeja, lalu dengan pelan mulai membuka kancingnya satu per satu.


"Memikirkanmu bikin dadaku jadi gatal~"


"O—Ooo… Ooooh…"


Aku terdiam. Sial, dia bisa menyerang dengan cara seperti ini juga!?

Aku kira dia cuma tipe yang mengandalkan kekuatan fisik dan nekat!


"Ayo… sentuh dan pastikan sendiri…"


"Ooo… Ooooh…"


Melihat dua gundukan luar biasa yang mengintip dari balik kemeja yang terbuka, tanganku mulai terangkat tanpa aku sadari, tertarik seperti magnet menuju dada Latina.


(Tunggu… aku harus tenang… Tenang, Itou Makoto!!)


Aku mengerahkan seluruh kekuatan tekadku dan menghentikan tanganku tepat sebelum menyentuhnya.


Situasi ini benar-benar seperti di manga mesum.


Kalau aku benar-benar mengulurkan tangan sekarang, aku bisa meremas dada besar Latina sepuasnya, persis seperti dalam manga. Dan Latina jelas berniat untuk langsung berlanjut ke seks setelahnya.

Pasti rasanya akan sangat nikmat.


Tapi, kenyataan dan fiksi itu dua hal yang berbeda.


Kalau aku benar-benar melakukannya, hidupku langsung tamat. Aku bakal terikat dengan tanggung jawab berat, harus membesarkan minimal delapan anak.


"…A—Aduh, nyaris aja. Hampir saja aku masuk perangkap."


Bagus, tangan kananku. Kau berhasil menahan diri, kau hebat.


"Makoto, katanya ukuran dadaku itu ‘K cup’, lho."


(…Udah boleh nyerah aja, kan?)


Tangan kananku kembali bergerak. Seperti mengejar jejak pesawat yang menghilang di langit. Tapi saat itu juga—


"Hei!! Pagi-pagi gini kalian ngapain sih!?"


Yang masuk ke dalam kelas dengan penuh semangat adalah Katagiri Fumiko, si ketua kelas dengan ciri khas rambut dikuncir kuda rapi dan kacamata berbingkai hitam. Dan seperti biasa, setiap kali dia bergerak, bagian bawah seragamnya sedikit bergetar.


"Apa yang kami lakukan? Tentu saja ‘bereproduksi’."


"Kenapa ekspresimu kayak ‘masa kamu nggak ngerti sih’!? Berhenti sekarang juga!!"


"Reproduksi itu bukan hal buruk. Kamu juga lahir dengan cara yang sama."


"Itu memang benar, tapi ada tempat yang boleh dan tempat yang tidak!!"


"Aku memang pernah ditegur polisi saat mau melakukannya di luar ruangan. Tapi ini di dalam ruangan, jadi tidak masalah!"


"Kelas ini ruang publik!!"


(A—Aman… Selamat aku, terima kasih, Katagiri!)


Sementara Katagiri dan Latina bertengkar dengan suara nyaring, aku diam-diam menyelinap keluar dari antara kaki Latina.


□□


Waktu istirahat siang.


"…Ah, sial, aku lupa bawa bekal."


Setelah memeriksa isi tasku, aku menggumamkan kata-kata itu.


"Itou-kun… kamu benar-benar ceroboh, ya."


Entah sejak kapan, Katagiri sudah berdiri di belakangku. Dengan tangan kanannya memegang bekal makanannya sendiri, dia menyilangkan tangan dan berkata,


"Ibumu pasti sudah susah payah membuatnya di pagi hari sambil mengantuk, lalu kamu malah lupa membawanya? Kalau aku yang melakukan kesalahan sebesar itu, aku mungkin langsung mencabut kuku jariku sendiri sebagai hukuman."


"…Lupa bawa bekal doang sampai segitunya? Hidupmu pasti berat banget."


Yah, memang aku merasa bersalah pada Ibu, sih…


"Tapi ngomong-ngomong, Katagiri, akhir-akhir ini kamu sering banget ngajak ngobrol, ya?"


Aku tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu.


Kalau dipikir-pikir, kami memang lumayan sering berinteraksi di SMP, tapi sejak masuk SMA, aku hampir tidak pernah bicara dengannya di luar urusan tugas sebagai ketua kelas.


"A—Aku hanya memastikan kalian tidak melakukan hubungan mesum yang tidak pantas!! Jangan salah paham, ya!! Kamu cuma monyet malas yang kerjaannya mikirin nafsu doang!!"


"Aku sadar sih, tapi cara ngomongmu nyakitin banget, tahu!!"


"Oh? Makoto, kamu lupa bawa bekal makan siang?"


Tanpa aku sadari, Latina juga sudah muncul di dekat kami.


"Iya nih… Jadi bingung. Bulan ini aku keburu beli manga, jadi dompetku agak kosong…"


"Mau bagi dua bekal denganku?"


"Hah? Setengah-setengah? Maksudnya bukan cuma sedikit dikasih?"


"Tapi kalau begitu, Latina-san juga bakal kelaparan, kan?"


Aku dan Katagiri langsung menimpali. Ya, jelas aja. Dari bentuk tubuh Latina aja, dia pasti butuh banyak energi…


"Suami istri harus berbagi—baik itu penderitaan maupun kebahagiaan!!"


Begitu mengatakannya, Latina menampilkan senyum lebar. Senyuman murni yang seakan-akan dipenuhi cahaya hangat.


"…Latina-san, biasanya dia seperti itu, tapi sebenarnya dia anak yang baik, ya."


"…Ah, memang biasanya begitu sih."


Baik aku maupun Katagiri, sebagai manusia yang telah diracuni oleh masyarakat kepemilikan dan kapitalisme, merasa silau oleh semangatnya yang tanpa ragu membagi separuh bekalnya.


…Tapi kami bukan pasangan suami istri!!


"Yah, tapi tetap saja, itu agak merepotkan, jadi aku bakal pergi ke minimarket atau kantin untuk beli beberapa roti manis. Setidaknya aku masih punya cukup uang untuk itu."


Hanya saja, entah karena kondisi tubuhku atau apa, kalau makan siang hanya dengan roti manis, aku bakal merasa sangat tidak enak badan. Saat aku sedang memikirkan hal itu—


"…Kalau begitu, bagaimana kalau aku buatkan makan siang sekarang?"


"Eh?"


□□


"Fufufun,memasak, memasak, anugerah bumi~"


Aku bergumam sambil mengikuti Latina yang hendak memasak makan siang untukku, berjalan menyusuri koridor.


"…Tapi, makanan buatan tangan seorang gadis, ya."


"Wajahmu kelihatan sangat tidak beres."


Katagiri, yang entah kenapa ikut juga, menatapku dengan mata dingin.


"Mau bagaimana lagi? Ini pertama kalinya seorang teman sekelas perempuan memasakkan sesuatu untukku."


"…Padahal aku juga bisa memasak."


"Kau bilang apa?"


Aku merasa Katagiri menggumamkan sesuatu dengan suara yang sangat pelan.


"T-tidak ada apa-apa!!"


"Benarkah? Rasanya tadi kau bilang sesuatu yang sangat penting untuk kudengar…."


"Diamlah!! Dasar mesum yang bahkan tidak bisa membedakan nafsu makan dan nafsu lainnya!!"


"…Kenapa aku selalu dimaki, sih?"


Saat sedang mengobrol seperti itu—


"…Lapangan sekolah?"


Latina ternyata pergi menuju lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, semua orang masih makan siang, jadi belum ada yang keluar.


"Bukannya ke ruang tata boga?"


Katagiri juga memiringkan kepalanya.


"Heh, Latina? Kau mau apa di tempat seperti ini?"


"Yah, yah, lihat saja nanti."


Sambil berkata demikian, Latina mulai mengumpulkan ranting dan daun yang berguguran dengan kakinya. Setelah itu, ia menengok ke sekeliling, lalu menemukan batu berukuran pas dan mengambilnya.

Kemudian—


Kaa, kaa.


Ia melempar batu itu ke arah sekawanan gagak yang terbang di langit.


Batu itu mengenai salah satu burung, menjatuhkannya ke tanah. Latina dengan sigap menginjaknya agar tidak bisa bergerak.

Lalu, dari saku seragamnya, ia mengeluarkan pisau lipat.


Zuba. Baki, gusha, beriberiberi.


GUEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!


Suara jeritan kematian menggema di lapangan sekolah.


"Hii…"


"…Oh."


Setelah itu, Latina menyelesaikan proses pembersihan dan pengeluaran darah—entah apapun itu, aku tidak begitu paham.


Lalu, ia mengambil potongan kayu dari tempat sampah, menggosokkannya satu sama lain untuk menyalakan api, kemudian menyulut serat-serat debu di sakunya hingga menciptakan api yang menyambar ranting dan daun yang ia kumpulkan tadi.


Setelah itu, ia memanggang burung gagak yang telah berubah menjadi daging bertulang di atas api tersebut…


"Sudah selesai!! Taburkan garam, lalu silakan makan!!"


"Masakan buatan tanganmu terlalu liar!?"


".....? Apa Anda tidak suka daging ayam?"


Latina memiringkan kepalanya.


"Eh, bukan begitu… aku sih suka ayam…"


Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin bagi Latina yang berasal dari suku tertentu, hal seperti ini adalah hal yang biasa. Lagian, daging yang biasa kami makan juga pasti mengalami proses yang sama sebelum sampai ke rak toko.


Aku mengambil sepotong daging gagak.


"K-kau mau makan itu?"


Katagiri menatapku seakan tidak percaya.


"Yah, gagak memang tidak terlihat bersih sih, tapi ini sudah dimasak dengan baik, jadi harusnya aman. Lagipula, dia sudah susah payah memasakkannya untukku."


Aku dengan hati-hati memasukkan daging gagak ke dalam mulutku…


"Fuh… ternyata enak juga…"


Rasanya seperti ayam biasa. Yah, wajar saja, karena ini juga burung.


"Itu bagus!!"


Sambil berkata begitu, Latina tersenyum bahagia. Saat itu—


"Woof! Woof!"


Mungkin tertarik dengan aroma darah dan daging, seekor anak anjing berjalan menghampiri kami.


"Enggak pakai kalung… berarti anjing liar, ya?"


"…Lucunya, rasanya menenangkan."


Wajah Katagiri yang biasanya cemberut, kini terlihat lebih lembut.


"Kau suka anjing, ya?"


"Ya, aku suka. Mereka lucu… dan yang paling penting, kalau dipelihara dengan baik, mereka tidak akan mengkhianati kita…"


Entah mengingat apa, mata Katagiri tiba-tiba kehilangan cahaya.


"Hidupmu sepertinya penuh lika-liku, ya…"


Tanpa sadar, aku malah berbicara dengan bahasa yang lebih sopan.


"Oh, lihat siapa yang datang~"


Latina juga menyadari anak anjing itu, lalu berjalan ke arahnya dengan langkah ringan.


"…Hei, jangan bilang kau mau memakannya?"


"…!! T-tunggu sebentar, Lati-san!!"


Namun, Latina justru berjongkok di depan anak anjing itu dan meletakkan daging gagak di hadapannya.


"Bagian ini tidak terlalu enak untuk manusia, jadi silakan~"


"…Guk!!"


Anak anjing itu sempat bergantian melihat daging dan Latina dengan waspada, tetapi saat Latina tersenyum padanya, ia langsung menggigit daging yang diberikan.


"Fufufu, lucunya~"


Ketua kelas menghela napas lega.


"Eh? Ada apa, Ketua Kelas? Kok panik sekali?"


"Ti-tidak, aku kira bagi Latina-san semua hewan itu makanan…"


"Kalau sedang kelaparan, ya. Aku makan apa saja selain manusia."


"Jauhi anak anjing itu sekarang juga!!"


"Tapi, aku kan tidak sedang kelaparan sekarang~"


Sambil berkata begitu, Latina mengelus kepala anak anjing itu. Sepertinya anak anjing itu juga sudah merasa aman, karena ia tetap tenang sambil terus makan daging yang diberikan.


"Lagipula, aku suka anak anjing~"


Katagiri melihat situasi itu, yang jika dilihat dari permukaan tampak begitu menghangatkan hati, lalu berkata:


"Jadi begitu… Jadi kau juga punya perasaan seperti itu, ya, Latina-san."


"Tentu saja!! Aku suka hewan-hewan yang lucu!! Anak anjing, anak kucing, anak burung juga!"


Lalu tiba-tiba, ia berjalan mendekatiku dan berkata:


"Dan juga, aku sangat suka anak-anak!!"


"Uh, o-oke…"


"Jadi… ayo kita segera buat anak~"


Sambil berkata begitu, ia menusuk-nusuk bagian selangkanganku dengan telunjuknya.


"H-hyaaa!!"


"Oh? Bereaksi, ya~ Kalau begitu, ayo kita langsung buat—"


"Oke, stop, stop!!"


Katagiri langsung menyelak di antara aku dan Latina.


"Kenapa kau selalu ingin melakukan… e-eehh, hal mesum di tempat umum!?"


Barusan Katagiri hampir mengatakan "seks," lalu buru-buru menghentikan dirinya sendiri karena malu…


"Aku ingin punya banyak anak, makanya~"


"Itu dia!! Memangnya boleh hamil di umur segini!? Itu terlalu cepat!!"


Dengan mantap, Katagiri menunjuk Latina dan berkata:


"Dengar baik-baik, Latina-san. Mungkin di suku tempatmu hidup, hal itu tidak aneh, tapi di dunia saat ini, seorang gadis bukan hanya berharga karena bisa melahirkan anak dan membangun keluarga!"


Seperti seorang pembimbing yang ingin menuntun domba tersesat yang terjebak dalam adat kuno, Katagiri berbicara dengan penuh keyakinan dan semangat.


"Peradaban dan nilai-nilai sudah berkembang! Perempuan bisa memilih untuk berpartisipasi dalam masyarakat! Mereka bisa belajar, mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, bekerja dengan baik, dan berkontribusi bagi masyarakat!! Itulah gambaran perempuan masa kini yang seharusnya!!"


"Aku mendengar bahwa Jepang sedang kesulitan karena jumlah anak yang sedikit. Kalau begitu, bukankah melahirkan banyak anak adalah kontribusi terbesar bagi negara ini?"


"……………Guh."


(Dia langsung kena mental!? Lati memang jago debat, ya…)


Sebenarnya, aku merasa pemikiran Katagiri juga ada benarnya, tapi itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan kepada orang lain…


"A-aku tidak mungkin salah… Aku belajar setiap hari agar bisa lulus ujian pegawai negeri nanti… Aku tidak mungkin salah… Apa benar jalan yang kupilih ini? Atau mungkin, seperti yang Latina-san katakan, cara hidupnya justru lebih benar…?"


"LEMAH BANGET!! Kok langsung goyah sih!?"


Katagiri memandang tangannya sendiri, gemetar seperti seekor anak domba yang tersesat. Sementara itu, Latina meletakkan telunjuknya di dagu dan bertanya padaku:


"Hmm, ujian pegawai negeri itu, jumlah orang yang diterima sudah ditentukan, kan?"


"Eh? Ya, memang. Ada kuotanya."


"Berarti, Ketua Kelas mengorbankan masa mudanya untuk 'melatih diri menjatuhkan orang lain' demi 'ambisi pribadinya', dan dia menganggap itu sebagai jalan yang benar?"


Latina mengangguk paham dengan ekspresi puas.


"…T-tidak perlu mengatakannya seperti itu…"


"Aku tidak bilang itu hal yang buruk, kok. Ambisi itu penting~"


"Yah, mungkin memang begitu… Tapi kalau kau berbicara dengan cara yang menimbulkan rasa bersalah seperti itu, dengan kepribadian Katagiri…"


Aku melirik ke arah Katagiri.


"…Mungkin aku ini penuh dosa."


"Benar kan!?"


Matanya benar-benar terlihat kosong.


"Itou-kun, tolong pukul aku!! Hukum aku!!"


Katagiri meratap sambil mencengkeram bajuku.


"Kenapa jadi begini!?"


"Karena… mungkin selama ini aku menjalani hidup dengan cara yang salah!! Aku harus dihukum dengan ditampar!! Di rumah, aku selalu seperti itu!!"


"Tunggu, barusan aku sedikit melihat sisi kelam keluarga Katagiri!!"


Saat itu, seseorang menepuk bahu Katagiri dengan lembut.

Itu Latina.


"Tak apa-apa, Ketua Kelas."


Ia berbicara dengan suara lembut.


"Latina-san…"


"Suku lain yang pernah berhubungan dengan kami menggunakan bahasa yang tidak mengenal bentuk lampau atau masa depan. Dengan kata lain… Yang penting adalah apa yang kau lakukan sekarang. Masa lalu tidak ada hubungannya~"


Oh… Ada cara berpikir seperti itu juga, ya. Aku sedikit terkesan.

Sebenarnya, memang sering dikatakan kalau orang-orang modern seperti kita terlalu terobsesi dengan masa lalu dan masa depan.


"Be-begitu ya…"


Katagiri pun mengangguk, seolah berusaha menyerap makna dari kata-kata Latina.


"Apa yang kita lakukan sekarang lebih penting… Masa lalu tak ada hubungannya… Sebuah pemikiran yang luar biasa…"


Lalu, ia pun berdiri.


"Maka dari itu, sebagai hukuman karena selama ini aku hidup dengan menjatuhkan orang lain, aku akan menerima rasa sakit karena melahirkan anak seumur hidupku…"


"Kau tidak kasihan pada anak yang lahir dengan motivasi seperti itu!?"


Aku tidak bisa tidak menyela melihat Katagiri mengatakan hal seperti itu dengan mata kosong. Lagipula, dia masih sepenuhnya terjebak dalam masa lalu dan malah menetapkan gambaran masa depannya sendiri.


"Ha!? T-tidak!! Aku tak boleh terbawa suasana!! Yang salah tetap salah!!"


Sepertinya dia akhirnya sadar, dan kembali berbicara dengan nada biasanya.


"Jadi, meskipun ada logika dalam pendapat kami, tetap saja tidak akan kau terima?"


"Eh?"


"Aku jadi teringat cerita dari suku lain yang pernah berhubungan dengan kami."


Dengan tatapan menerawang, Latina mulai bercerita.


"Suatu hari, penduduk kota tiba-tiba datang ke pemukiman suku mereka. Mereka bilang akan membuat ladang kedelai dan menebangi pepohonan yang selama ini digunakan untuk memuja leluhur. Saat mereka memohon agar dihentikan, mereka hanya mendapat jawaban, 'Tidak peduli. Kami tidak perlu mendengar pendapat orang barbar terbelakang seperti kalian.'"


Tunggu, kok ceritanya tiba-tiba jadi berat begini?


"Mungkin saja mereka punya alasan yang mereka anggap benar… Tapi saat aku mendengar bahwa suku itu tidak didengar sama sekali hanya karena dianggap 'kurang beradab', aku merasa sangat sedih…"


Untuk pertama kalinya, Latina menunjukkan ekspresi yang sedikit melankolis.


"Saat berbicara dengan Ketua Kelas tadi, aku jadi teringat perasaan itu…"


Ah, sial, dia lagi-lagi berbicara dengan cara yang membuat Ketua Kelas merasa bersalah…


Katagiri langsung jatuh berlutut.


"Aku… Aku telah merampas sesuatu yang berharga bagi mereka…"


"Tenang, itu bukan perbuatanmu!"


Tolong, jangan menatapku dengan wajah penuh harapan agar aku menamparmu.


Ngomong-ngomong, butuh waktu sekitar seminggu sebelum Katagiri akhirnya kembali ke sifat biasanya dan berkata, "Tetap saja, yang tidak boleh tetap tidak boleh!! Jorok!!"


Dia benar-benar orang yang sulit untuk bertahan hidup.



Chapter 4 - Libido yang Merepotkan
==============================================

"Ibu... aku mungkin sudah tidak kuat lagi..."

Hari itu, saat aku sedang makan malam seperti biasa bersama ibuku, aku mengatakan hal itu.

"A, ada apa, Makoto-chan!? Apa terjadi sesuatu di sekolah!?"

Ibuku, Itou Shizuka, tampak sangat panik dan khawatir.

"Apa kamu di-bully lagi? Ahhh, bagaimana ini? Haruskah kita bicara dengan ayahmu..."

"Tidak, bukan itu masalahnya. Kejadian di-bully itu sudah lama sekali."

Ibuku ini, meskipun terlihat sangat muda dan tenang jika tidak bicara, tapi kekhawatirannya sudah keterlaluan.

Yah, memang benar aku pernah di-bully saat SD, tapi tetap saja, reaksinya agak berlebihan. Dan, tolong jangan panggil aku dengan panggilan "-chan" di umurku yang sekarang.

"Benarkah...? Lalu, kenapa tiba-tiba bilang begitu?"

"Itu..."

Aku mencoba menjawab, tapi kata-kataku tercekat. aku tidak bisa mengatakannya.

(Tidak mungkin aku bilang, "Aku dirayu setiap hari oleh teman sekelas pindahan berkulit cokelat eksotis, dan rasionalitasku hampir runtuh, aku hampir menyerah.")

Ya. Sejak Latina menyatakan "Aku akan membuatmu menyerah" seminggu yang lalu. Sesuai janjinya, Latina merayuku setiap hari.

Dia melompat ke arahku begitu aku tiba di sekolah, menempelkan dadanya ke dadaku, dan selama pelajaran, dia menggeser seragamnya untuk memperlihatkan sedikit belahan dadanya atau pantatnya.

Sentuhan fisik dan serangan visualnya mengikis rasionalitasku sedikit demi sedikit. Tentu saja, aku tidak hanya diam saja. Setiap jam istirahat, aku mengunci diri di toilet, membayangkan Latina melakukan ini dan itu, dan aku melakukan ini dan itu pada diriku sendiri, untuk menjaga kewarasanku 

(maafkan aku, petugas kebersihan toilet).

Tapi tetap saja, aku sudah hampir mencapai batas. Tubuh cokelat eksotisnya yang berasal dari Amerika Selatan itu terlalu sehat dan seksi. Kepribadiannya yang polos dan ceria juga sangat mengganggu bagian bawahku.

"...Makoto-chan?"

Ibuku menatapku dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran.

"Ah, eeeh... a-aku sih... nilai-nilaiku tidak terlalu bagus. Mungkin sudah waktunya aku mulai serius belajar..."

Aku langsung mengatakan itu secara spontan. Ah, benar juga, nilai-nilaiku memang sedang dalam kondisi buruk, pikirku, lalu aku tiba-tiba merasa semakin terpuruk setelah mengingat kenyataan itu.

"Oh, begitu ya? Apa kamu mau ikut les atau pakai guru privat? Kalau hanya sebatas itu, ibu bisa menanggung biayanya dari pekerjaan paruh waktu."

"T-tidak, tidak perlu. Pelajaran di sekolah saja sudah cukup berat, kalau harus ditambah dengan les atau guru privat, malah bisa jadi lebih buruk. Yah, aku harus kembali ke kamar dan belajar setelah ini, hahaha..."

Aku mengatakannya sambil berusaha mengalihkan perhatian ibu.

□□

"...Tapi, kalau dipikirkan secara realistis, bagaimana aku harus mengatasinya?"

Begitu aku kembali ke kamar, aku duduk di atas tempat tidur dengan tangan menyilang, memikirkan solusinya. Dalam kondisi seperti sekarang, aku merasa kalau terus seperti ini, aku pasti akan kalah dengan godaan Latina. Selain itu, aku juga tidak bisa fokus belajar sama sekali.

Selama aku tidak bisa mengendalikan nafsu yang sedang meluap-luap ini, aku tidak akan bisa melakukan apa pun dengan benar.

"Hmm, dalam situasi seperti ini, lebih baik aku mencari solusinya di internet."

Aku mencari dengan kata kunci 'Cara menahan nafsu', lalu membaca berbagai artikel di blog. Ada yang menyarankan mengatur pola makan, melakukan akupresur, mendengarkan musik yang menenangkan, bahkan ada yang menyarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga medis. Namun, tidak ada satu pun yang terasa benar-benar cocok bagiku.

"...Oh? Ini menarik."

Salah satu artikel menarik perhatianku.

'Menekan nafsu melalui meditasi'

Begitu judulnya.

"Meditasi, ya... Kudengar para CEO perusahaan IT juga melakukannya."

Baiklah, aku akan mencobanya. Aku memutuskan untuk mengikuti petunjuk yang ada di artikel tersebut.
Hmm, pertama-tama, caranya adalah...

Pertama, ambil posisi yang nyaman. Secara umum, duduk bersila dengan kedua telapak tangan menghadap ke atas dan diletakkan di atas lutut. Jika lebih nyaman, bisa juga duduk di kursi atau sandaran lantai.

Aku mengikuti petunjuk yang tertulis di artikel. Karena aku sedang berada di atas tempat tidur, aku memilih duduk bersila.

Selanjutnya, pejamkan mata dan atur pernapasan agar lebih tenang. Rilekskan seluruh tubuh dan hindari ketegangan yang tidak perlu, terutama di area bahu.

"…Hmm, ini memang terasa cukup nyaman."

Saat itu juga, aku menyadari bahwa pernapasanku selama ini ternyata cukup dangkal dan ada ketegangan di bahu serta sekitar pangkal pahaku.

Yang terpenting adalah mengenali kondisi tubuh dan pikiran secara objektif. Setelah memejamkan mata, coba perhatikan apa yang sedang dipikirkan.

"Hmm, apa yang sedang kupikirkan saat ini, ya…"

Sambil tetap menjaga napas tetap perlahan, aku mencoba memusatkan perhatian pada pikiranku.

Tak lama, sebuah gambaran muncul dalam benakku. Aku melihat sosok kecil diriku sendiri, seolah sedang mengamati dari luar.

(…Oh, jadi seperti ini rasanya.)

Sosok kecilku itu bergerak bebas di udara, memperhatikan tubuhku dari berbagai sudut.

(Punggungku agak membungkuk, ya.)

Setelah menyadari hal itu, aku meluruskan punggungku dan langsung merasa lebih rileks.

(Baik, ini lebih baik.)

Lalu, sosok kecil itu mulai terbang menuju kepalaku dan masuk ke dalam otakku.

(Jika aku maju terus, seharusnya aku bisa melihat pikiranku yang tersembunyi.)

Setelah melewati kegelapan beberapa saat, tiba-tiba sebuah pemandangan terbuka di hadapanku.

(Terlihat...)

Yang terbentang di hadapanku adalah surga dada dan bokong.

Bounc! Jiggly! Montok!

Kekerasan volume dari bagian tubuh itu memenuhi pandanganku, berjejal dalam ruang yang terasa sempit.

"…Seberapa mesumnya sih otakku ini?"

Aku membuka mata dan bergumam dengan nada putus asa. Melihat isi pikiranku sendiri justru membuatku sedih. Dan lebih parahnya lagi, lebih dari setengah dada dan bokong di dalam imajinasiku itu berkulit cokelat…

Sepertinya aku sudah cukup terpengaruh oleh Latina.

Aku melanjutkan membaca artikel blog tersebut.

Tujuan akhir dari meditasi adalah menghentikan pikiran, tetapi itu sulit dilakukan pada awalnya. Oleh karena itu, biarkan pikiran bekerja sesukanya. Berbagai kata dan gambaran akan muncul, tetapi jangan dihiraukan. Tidak perlu memaksakan diri untuk menghentikannya. Lambat laun, semuanya akan mereda dengan sendirinya.

"Ya, memang dibilang begitu sih… tapi dengan jumlah sebanyak itu… apa benar bisa mereda?"

Ya sudah lah, tidak ada salahnya mencoba.

□□

"…Fuuuh."

Keesokan paginya.

Aku berjalan di jalan menuju sekolah dengan perasaan yang begitu cerah. Meditasi yang kulakukan kemarin ternyata jauh lebih berhasil dari yang kukira.

Duduk bersila dan hanya mengamati pikiranku sendiri…

Dengan kata lain, aku hanya fokus memperhatikan dunia pikiranku yang bak Jurassic Park wanita seksi itu selama dua jam penuh.

(…Aku sudah terbiasa.)

Dikelilingi oleh begitu banyak dada dan bokong besar, akhirnya aku mengalami semacam mati rasa. Sekarang, bahkan jika aku melihat lekuk tubuh samar dari balik pakaian seseorang, aku tidak lagi merasa terangsang.

Saat aku melihat dada para siswi yang mendorong seragam mereka dari dalam selama perjalanan ke sekolah…

Aku hanya berpikir, Oh, itu dada.

Sebaliknya, aku baru sadar betapa besar porsi pikiranku yang sebelumnya dikuasai oleh nafsu. Yang berarti sekarang, sumber daya pikiranku yang dulu tersedot oleh hawa nafsu akhirnya bisa kugunakan untuk belajar.

Dengan ini, ancaman tinggal kelas pun bisa dibilang terselesaikan.

(…Ah, betapa segarnya perasaan ini.)

Langit cerah membentang di atas kepalaku, angin pagi bertiup dengan lembut. Saat ini, bahkan jika seseorang menampar pipi kananku, aku merasa bisa menyodorkan pipi kiriku dengan ikhlas. Setibanya di sekolah, aku melepas sepatu di pintu masuk dan naik ke lorong.

"Oh, selamat pagi, Itou-kun."

Di sana, aku bertemu dengan Katagiri yang sedang menuju kelas seperti biasa. Seperti biasanya, ia mengenakan kacamata berbingkai hitam, rambutnya dikuncir kuda, dan ekspresinya terlihat masam.

"Kau masih punya tampang seperti orang yang hanya memikirkan hal mesum."

"Fufu… Begitukah menurutmu, Ketua?"

"Hah!?"

Tiba-tiba, Katagiri tampak menyadari sesuatu.

"Itou-kun… kenapa tatapanmu tidak tertuju ke dadaku?"

"Hahaha, rupanya kau menyadarinya juga, Katagiri-kun."

Tentu saja, karena pembicaraan ini mengarah ke topik dada, aku mencoba mengarahkan pandanganku ke bagian dada Katagiri. Di sana, seperti biasa, dada lembut yang sama sekali tidak cocok dengan sifat ketua kelas yang kaku itu sedang berjuang di balik kemeja putih dan seragam musim panasnya. Apa yang terlintas dalam pikiranku saat melihatnya adalah…

Oh, itu dada.

Hanya itu.

(…Aku menang.)

Di dalam hati, aku mengacungkan tinju kemenangan.

"…Dengarlah, Katagiri-kun."

Dengan hati penuh belas kasih, aku berkata kepada domba kecil yang masih tersesat di hadapanku.

"Memang benar bahwa nafsu adalah sesuatu yang sangat diperlukan bagi umat manusia. Namun, jika kita terus-menerus dikendalikan olehnya, kita tak ubahnya seperti monyet. Manusia harus bisa mengendalikan keinginannya dan mencapai tingkat aktualisasi diri yang lebih tinggi untuk dapat menjalani hidup dengan baik…"

"Aku sama sekali nggak bisa menerima kata-kata itu kalau yang mengatakannya adalah kamu."

Katagiri mengatakannya dengan wajah yang sedikit menegang.

"Hmph, yah, pembahasan di tingkat ini mungkin masih terlalu sulit bagimu."

"Nyebelin."

Wajahku yang penuh kebanggaan membuat Katagiri tampak kesal.
Hah, mudah marah seperti ini menunjukkan bahwa latihannya masih kurang jauh. Harusnya dia lebih banyak belajar tentang ketenangan batin.

Sambil berpikir begitu, aku melangkah dengan percaya diri melewati lorong menuju kelas. Katagiri berjalan di belakangku dengan sedikit tertinggal.

(Fufufu… dengan begini, Latina juga bukan lagi ancaman bagiku.)

Memang benar, ukuran payudaranya tak sebesar Latina yang bisa dibilang curang, tapi Katagiri juga punya aset yang cukup besar. Dan kalau aku bisa tetap tenang menghadapinya, berarti aku sudah menang.

Aku yakin para biksu suci dan Buddha pun pasti merasakan hal yang sama seperti ini. Apa Ibu dan Ayah melihat ini? Putra kalian telah mencapai pencerahan pada usia ini…

Sambil memikirkan itu, aku tiba di depan pintu kelas.

Pada jam segini, Latina pasti sudah ada di dalam. Begitu aku masuk, dia pasti langsung melompat dan menekan dadanya ke tubuhku seperti biasa. Tapi silakan coba. Aku yang kini memiliki ketenangan mental seperti seorang dewa tak akan bisa dikalahkan oleh tubuh cokelat eksotis dari Amerika Selatan itu.

Dengan penuh keyakinan, aku menggeser pintu kelas dengan cepat.
Dan di detik berikutnya—

"Dengan kekuatan Magical Pretty, aku akan membuat hatimu bersih dan suci!! Selamat pagi, Makoto!!"

Latina berdiri di sana. Bukan dengan seragam sekolah seperti biasa, melainkan dengan gaun merah muda penuh renda, sambil menggenggam tongkat ajaib yang didesain secara fantastis.

"……"

Aku membeku di tempat, otakku berhenti bekerja sepenuhnya.

"……A-aah…"

Aku membuka mulut dan mengeluarkan suara tanpa arti.

(Anicos…!? Benarkah ini!?)

Izinkan aku menjelaskan.

"Anicos" adalah kependekan dari "Anime Cosplay."

Pada awalnya, istilah "cosplay" merujuk pada mengenakan pakaian yang mencerminkan suatu profesi atau kelompok tertentu, seperti seragam maid, seragam sekolah oleh orang dewasa, atau seragam pramugari.

Namun, di negara kita, Jepang, budaya anime, manga, dan light novel bercampur dengan cosplay, menciptakan tren Anime Cosplay, yaitu mengenakan pakaian yang dikenakan oleh karakter anime.

Dalam Anicos, bukan hanya pakaian yang ditiru, tapi juga gaya rambut, warna rambut, dan bahkan warna mata dibuat menyerupai karakter anime.

Tentu saja, karena manusia bukan karakter dua dimensi yang "sempurna sejak awal," selalu ada kesenjangan antara dunia nyata dan ilustrasi anime.



Namun, justru di situlah letak daya tariknya.

Seperti karakter istri yang memaksakan diri memakai seragam sekolah, ada sensasi "jangan dipaksain dong" yang sangat efektif dalam memberikan dampak tertentu ke bagian selangkangan. Faktanya, anime cosplay (Anicos) telah menjadi salah satu genre utama dalam industri video dewasa. Kalau kau mencari "Anicos AV", kau akan menemukan banyak hasil… tapi anak baik-baik jangan coba-coba, ya!!

Ngomong-ngomong, genre ini adalah salah satu favoritku.

Terutama yang seperti Latina saat ini—karakter yang seharusnya bertubuh kecil dan mungil, tapi diperankan oleh manusia nyata dengan tubuh bohay berlekuk sempurna. Pakaian yang jelas-jelas tidak cocok dengan bentuk tubuhnya, hanya rambutnya yang dibuat mirip dengan gaya twintail secara asal-asalan… justru itulah yang membuatnya sempurna bagiku.

"A-a-a-a-abababababababa…"

Karena itu, aku merasa seperti diserang tepat ke titik lemahnya fetasku, dan hanya bisa mengeluarkan suara aneh seperti orang kehabisan napas.

"T-tunggu sebentar! Latina-san, apa-apaan baju itu!?"

Tidak seperti aku yang sudah hampir KO, Katagiri segera mendekati Latina dengan wajah panik.

"Ini bukan lagi soal seberapa pendek rok yang diperbolehkan! Ini jelas pelanggaran aturan sekolah tingkat tinggi!"

"Ini adalah kostum dari Magical Girl Pure Clean. Satou bilang ini adalah anime favorit Makoto, jadi aku memutuskan untuk mencobanya!!"

Latina menjawab dengan polos, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Saat aku melirik ke sudut kelas, Satou sedang duduk di sana, menatapku sambil mengacungkan jempol.

Nice, Satou… EH, BUKAN! Apa yang kau lakukan, dasar brengsek!?
Latina berjalan mendekatiku dengan langkah ringan, lalu menatap wajahku dari dekat.

"Jadi, bagaimana? Apa sekarang kau merasa ingin menyentuhku?"

"…Guh!!"

Sial…

Payudara besar Latina yang terbungkus kain merah muda murahan—yang kemungkinan dibeli dengan harga murah dari toko online—menusuk kelemahan fetishku dengan sangat brutal.

Kalau hanya sekadar godaan dari tubuh wanita biasa, aku bisa menahannya dengan ketenangan mental Meikyou Shisui yang telah kuperoleh lewat meditasi. Tapi kalau ditambah dengan Anicos, yang tepat mengenai titik lemahan fetishku… ini cerita yang berbeda!

Serangan akurat yang tak bisa dihindari, tak bisa ditangkis, dan langsung menghantam titik vital otakku tanpa ampun.

"B-belum… aku belum kalah!"

(Te-tenang… Saatnya bermeditasi!)

Aku memejamkan mata dan memfokuskan pikiranku. Aku membayangkan diriku yang lebih kecil sedang mengamati diriku sendiri dari luar, masuk ke dalam dunia pikiranku sendiri. Di sana, aku akan mengamati pikiranku sampai gairahku terhadap tubuh wanita mereda.

Namun—

Dunia pikiranku kali ini sudah berubah total dari sebelumnya. Mungkin karena aku baru saja melihat Latina dalam kostum itu. Sekarang, setiap wanita di dunia pikiranku memakai Anicos.

(…A-apa!?)

Ke mana pun aku melihat, tubuh-tubuh wanita berpayudara besar dan pinggul lebar berjejer, semuanya mengenakan kostum karakter anime.

Ini bukan lagi serangan akurat…

Ini pemboman karpet fetish!

Serangan besar-besaran yang bertujuan membakar habis seluruh akal sehatku sampai jadi abu.

(I-ini gawat… Kalau aku terus melihat ini, sesuatu dalam diriku akan… pecah!!)

Aku buru-buru membuka mata dan keluar dari dunia pikiranku.

"Hah… hah… hah… sial, nyaris saja. Aku hampir mati."

"Kamu hampir mati hanya karena melihat Latina-san pakai cosplay?"

Katagiri, yang tidak tahu apa-apa tentang kekacauan di dalam pikiranku, menatapku dengan wajah penuh rasa heran.
Saat aku masih mencoba menenangkan napasku, Latina tiba-tiba menepuk bahuku dengan jari telunjuknya.

"Makoto, kau benar-benar tidak menyukainya? Aku tahu ini tidak mirip dengan karakter aslinya, tapi…"

Ekspresinya yang biasanya ceria kini sedikit tampak ragu.

"Eh? Nggak, bukan begitu. Justru ini terlalu kena di titik lemahnya, tolong beri aku ampun."

"Begitu ya…"

Mendengar itu, Latina pun berkata,

"Syukurlah… Ehehe."

Ia tersenyum malu-malu dengan ekspresi yang terlihat begitu lega.
Ekspresi itu… terlihat begitu manis dan sesuai dengan usianya sebagai seorang gadis.

"…Fu."

"Fu? Ada apa?"

"Jangan-jangan… ITU FOUL BESAR, WOIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!!"

Aku langsung berlari keluar kelas, menuju toilet di ujung lantai empat yang jarang dikunjungi orang. Aku sangat lemah terhadap gadis yang biasanya bertingkah eksentrik, tapi tiba-tiba menunjukkan sisi girly yang manis.

"Sialan!! LAIN KALI AKU NGGAK AKAN KALAH LAGI, AAAAAHHH!!"

Kali ini aku hanya kebetulan terkena serangan bertubi-tubi ke titik lemahnya fetishku. Mungkin memang terlalu banyak titik lemah, tapi persetan dengan itu semua!

Aku pun akhirnya menyalurkan puncak emosiku dengan cara yang hanya bisa kumengerti sendiri. Sebagai akibat dari menekan gejolak ini sejak semalam, aku sampai melakukannya tiga kali sebelum pelajaran dimulai.

Kalau aku bertahan sepuluh detik lebih lama di sana tadi, aku pasti sudah mengulurkan tangan ke tubuh Latina yang luar biasa dan menjatuhkan hidupku selamanya.

Sungguh berbahaya.

Oh, dan satu hal lagi—

Karena efek melihat Latina dalam Anikos, meditasi sudah tak berguna lagi. Sekarang, di dunia pikiranku, semua wanita mengenakan berbagai macam cosplay. Fetishku terlalu tertembus sehingga teknik ini sudah tidak bisa digunakan lagi…



Chapter 5 - Anak Laki-Laki yang Keren
==============================================

Sudah dua minggu sejak aku menjalani kehidupan sekolah yang penuh dengan godaan dan tubuh menggoda milik Latina.

Dari luar, mungkin ini terlihat seperti situasi yang menguntungkan. Bahkan aku sendiri akan menikmati keadaan ini jika saja aku tidak perlu menanggung segala macam tanggung jawab dan konsekuensi yang akan mengunci masa depanku begitu aku lengah.

Jujur saja, tubuh Latina terasa luar biasa saat disentuh, dan dia juga memiliki aroma yang sangat harum...

Bagaimanapun, meskipun dalam satu sisi aku berada dalam situasi yang bisa membuat orang lain iri, di sisi lain, aku juga menghadapi keadaan yang tidak akan diinginkan siapa pun.

“...Tidak bisa. Hari ini aku harus belajar di perpustakaan sebelum pulang.”

Aku sama sekali tidak bisa mengikuti pelajaran. Soal-soal PR terlalu sulit bagiku. Singkatnya, aku berada dalam jalur pasti menuju tinggal kelas.

“Mata pelajaran seperti bahasa Jepang dan ilmu sosial masih bisa kuatasi…”

Aku terbiasa membaca novel ringan, jadi tidak terlalu sulit memahami teks. Sejarah pun masih bisa kutangkap karena aku sudah mengenal tokoh-tokohnya lewat manga, anime, dan novel.

Tapi pelajaran sains dan bahasa Inggris benar-benar bencana bagiku.
Contohnya saja, pada ulangan kecil matematika hari ini, aku hanya bisa menjawab soal pertama yang super mudah. Sisanya? Aku sama sekali tidak bisa menjawabnya.

Sebagai langkah putus asa, aku hanya menuliskan angka 0 atau -1 di semua jawaban. Semoga saja setidaknya ada satu yang benar…

…Aku harap ada.

Sudah beberapa kali aku mendapatkan nilai 0, dan itu benar-benar menghancurkan mental. Nobita benar-benar luar biasa. Dia bisa berkali-kali mendapat nilai 0 tanpa mengalami gangguan mental.
Bagaimanapun juga, aku harus menyelesaikan PR hari ini dan mengumpulkannya tepat waktu. Jika tidak, nilaiku akan semakin terpuruk, dan aku akan benar-benar tamat.

Itulah alasan mengapa, ketika semua orang sibuk membicarakan ke mana mereka akan pergi bermain sepulang sekolah, aku malah berjalan menuju perpustakaan untuk belajar.

Sekolahku adalah salah satu sekolah unggulan di prefektur ini, tapi aktivitas klub dan komunitas juga cukup aktif, jadi kesannya tidak seperti sekolah yang hanya berisi orang-orang yang belajar terus.

Namun, entah bagaimana, teman-temanku tetap bisa mengikuti pelajaran tanpa masalah, yang membuatku sadar bahwa perbedaan mendasar dalam kecerdasan itu memang nyata.

(Padahal aku sendiri tidak sebodoh itu… setidaknya waktu SMP aku masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik.)

Tapi mengenang kejayaan masa lalu tidak akan menyelamatkanku dari tinggal kelas. Aku mendorong pintu perpustakaan dan masuk.

“Oh, Katagiri.”

“…Oh? Membawa perlengkapan belajar? Apa kau akhirnya kembali termotivasi?”

Katagiri duduk di sudut ruangan, membuka buku latihan dan mengerjakan soal. Dia terlihat lebih cemberut dari biasanya saat menggerakkan penanya.

“Yah, bagaimana ya… Kalau begini terus, aku bakal jadi junior semua orang.”

“Memalukan sekali. Itu karena kau hanya fokus menatap tubuh Latina-san.”

“A-aku-aku-aku… Aku tidak melihatnya, oke!?”

“……”

Katagiri menatapku dengan mata penuh keraguan, seolah sedang menatap seorang pembohong.

“Ngomong-ngomong, kancing di bagian dada seragam Latina-san tadi hampir lepas. Sepertinya bebannya terlalu besar karena ukurannya yang begitu besar, ya?”

“Masa sih? Aku tadi sempat melihatnya dengan seksama, tapi tidak ada tanda-tanda jahitan yang—Eh!?”

“Mesum. Bejat. Binatang. Otakmu ada di selangkangan.”

Katagiri memeluk dadanya sendiri sambil menatapku dengan hina.

“…Ti-tidak bisa disalahkan, kan? Makanya aku ke perpustakaan untuk fokus belajar tanpa terganggu Lati.”

Aku duduk di sebelahnya dan membuka buku latihan.

“Hmph. Betapa menyedihkan hidupmu, menjadi monyet yang tidak bisa mengendalikan hasratnya.”

“…Aku merasa sangat tidak terima mendengar itu dari seseorang yang membaca lebih dari sepuluh manga dewasa per hari.”

Aku pun mulai belajar.

Katagiri juga kembali diam dan fokus pada bukunya. Selain kami berdua, hanya ada seorang siswi yang bertugas sebagai pustakawan dan seorang anak laki-laki yang sedang membaca manga sejarah di sudut ruangan.

Hening. Hanya terdengar suara pena yang bergerak di atas kertas.
Namun, jariku segera berhenti.

(…Ah, tetap saja aku tidak mengerti.)

PR hari ini adalah sepuluh soal dari buku latihan kimia. Aku berhasil mengerjakan soal pertama, tapi langsung terhenti di soal berikutnya.
Ini adalah perbedaan besar antara SMP dan SMA. 

Di SMP, aku bisa memahami pelajaran dengan baik, jadi mengerjakan soal terasa menyenangkan. Aku bahkan bisa fokus belajar dalam waktu yang cukup lama.

Tapi setelah masuk SMA dan semakin banyak hal yang tidak kumengerti, aku semakin sering terhenti saat belajar. Akibatnya, belajar jadi terasa lebih menyiksa daripada menyenangkan, dan aku semakin sulit untuk fokus.

(…Tapi aku harus melakukannya. Meskipun malas. Tapi tetap harus kulakukan.)

Saat pikiranku terus berputar seperti itu…

“Ngomong-ngomong… Sebenarnya, bagaimana perasaanmu terhadap Latina-san?”

Katagiri tiba-tiba bertanya.

“Hm? Lati? Dia sangat imut, cantik, dan baik.”

Aku menjawabnya dengan jujur. Karena memang begitu kenyataannya.
Tapi ya… tanggung jawabnya… Terlalu berat untuk diputuskan oleh anak 16 tahun. Delapan anak…

“…Kalau begitu…”

Katagiri tampak ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan,

“Aku hanya penasaran, bukan berarti ini ada makna khusus atau semacamnya, tapi… bagaimana dengan aku?”

Tepat pada saat itu—

“OOH!! Ternyata kau di sini, Makoto!!”

Pintu perpustakaan terbuka dengan keras, dan Latina masuk dengan penuh semangat.

Lalu, dia melompati meja dan langsung memeluk kepalaku.

"Heart Catch desu!!"

"Habo—!?"

Seperti biasa, aku kembali terjepit di antara oppai yang begitu kenyal, berbobot berat, dan memiliki aroma khas gadis. Rasanya belakangan ini aku setiap hari terhimpit oleh dada ini. Hah? Kau pikir aku seharusnya sudah terbiasa?

Mana mungkin! Aku masih tetap terangsang setiap kali!

"Hei, Latina-san!! Bukankah aku sudah sering bilang untuk berhenti melakukan itu!?"

Katagiri bangkit dengan gerakan yang kasar dari kursinya dan seperti biasa langsung marah.

"Uu~n, tapi ini 'belum' bisa disebut seks, kan?"

Latina menelengkan kepalanya.

"Apa maksudmu 'belum'!? 'Belum' bagaimana!? Dasar tidak tahu malu!"

Setelah mengatakan itu, Katagiri memukul pipinya sendiri dengan cukup keras.

"...Haa. Aku merasa lebih tenang sekarang."

Sambil mengelus pipinya yang kemungkinan besar terasa nyeri, dia menampilkan ekspresi lega.

"Kebiasaanmu menerima rasa sakit untuk menebus rasa bersalah itu harus kau hentikan. Kalau tidak, nanti kau bisa dimanfaatkan oleh pria tukang KDRT," kataku, merasa khawatir dengan masa depan teman SMP-ku ini.

Katagiri menenangkan diri dan berkata,

"Dengar baik-baik, Latina-san. Aku tahu kau belum terlalu mengenal negara ini, jadi mungkin kau tidak paham, tapi bukan berarti boleh melakukan hal yang tidak cabul begitu saja!!"

Dengan gaya yang tegas, dia menunjuk Latina.

"Lalu, undang-undang mana yang kulanggar?"

"Tentu saja... tentu saja... eh?"

Katagiri terdiam, kehilangan kata-kata.

(...Ya, sekarang Latina sedang memakai seragam dengan rapi. Tidak ada bagian yang terbuka atau terkesan vulgar.)

Kalaupun aku melaporkannya, mungkin akan ada hukum yang bisa menjeratnya, tapi aku tidak punya niat untuk melakukan itu.
Latina mengangguk dan berkata,

"Dengan kata lain, Ketua Kelas datang untuk menghalangi kebebasanku bertindak tanpa alasan yang sah, ya?"

"Ugh... i-itu..."

"Jadi ini yang disebut 'fitnah' seperti yang kudengar dalam gosip? Ini adalah pengalaman baru bagiku—desu."

"......"

Plak! Plak! Plak!! PLAINNNG!!

Katagiri mulai menampar pipinya sendiri berkali-kali dengan keras.

"H-Hey, tenanglah, Katagiri!"

Aku segera memeluknya dari belakang, menahan kedua tangannya agar dia tidak terus menyakiti diri sendiri.

"L-Lepaskan aku... Fitnah adalah kejahatan yang paling keji... Berpura-pura menjadi orang baik, padahal melakukan keburukan... Setidaknya biarkan aku mencabut kuku jariku sebagai hukuman...!"

"Kalau kau mencabut kukumu setiap kali ada masalah, jari-jarimu tidak akan cukup sepuluh!"

"Kupunya dua puluh jika termasuk kaki!!"

"Beda dengan Lati, kau juga harus lebih menghargai tubuhmu sendiri, tahu!?"

Sambil menahan Katagiri, aku berkata kepada Latina,

"Dengar, Lati. Sekarang aku sedang belajar di perpustakaan. Jadi, akan sangat membantuku kalau kau bisa tetap diam. Lagipula, ada siswa lain yang ingin membaca dengan tenang."

"Oh, jadi tempat ini memang harus tenang, ya? Maaf atas kekuranganku—desu."

Dia membungkuk pada siswa lain di perpustakaan. Dari yang aku amati selama dua minggu terakhir, meskipun sering bertindak di luar kebiasaan, Latina sebenarnya orang yang cukup penurut dan mudah memahami situasi.

"Itu benar!! Ini adalah perpustakaan! Tempat untuk diam dan berperilaku dengan tenang!!"

Katagiri segera melepaskan diri dari genggamanku, lalu berdiri di depan Latina dengan gaya pahlawan keadilan.

"Menunduklah di hadapan keadilan dan bertobatlah atas perbuatanmu!!"

"...Kau terdengar seperti orang yang suka menghakimi selebriti yang salah bicara di media sosial."

Begitu dia berada di pihak yang benar, Katagiri langsung berubah drastis. Sungguh sifat yang sulit dipercaya.

□□

Akhirnya, Latina memutuskan untuk mengambil buku dan membacanya, sehingga aku bisa kembali fokus belajar. Katagiri masih dengan ekspresi masamnya, serius menatap buku referensinya. Aku pun kembali menatap tulisan-tulisan di buku referensiku dan mencoba berkonsentrasi...

(...Sial, tetap tidak bisa. Kalau Latina ada di sampingku, mataku otomatis tertarik ke dada dan pantatnya!!)

Jujur saja, aku memang penggemar berat gadis berkulit eksotis dalam manga dan film dewasa. Dengan selera seperti itu, tentu saja aku tidak bisa mengabaikan Latina yang bukan hanya cantik, tapi juga memiliki tubuh luar biasa dengan ukuran tiga digit di bagian dada dan pinggul.

Ngomong-ngomong, buku yang Latina ambil berjudul "Panduan Bertahan Hidup: Tumbuhan Liar Jepang."

"Hmm~ Hmm~, ini sepertinya berguna—desu," gumamnya sambil membaca dengan penuh minat.

(...Untuk apa dia ingin mempelajari itu?)

Apakah dia benar-benar sering mengumpulkan makanan liar seperti terakhir kali? Kalau aku menikah dengan Latina, apakah menu makananku setiap hari akan terdiri dari tumbuhan liar dan daging hewan buruan? Secara kesehatan mungkin itu baik, tapi sebagai manusia modern, jujur saja, aku tidak yakin bisa menerimanya.

(...Tunggu, kenapa aku malah membayangkan kehidupan pernikahan dengannya? Fokus, fokus!)

Daripada memikirkan masa depan, sekarang yang lebih penting adalah menghindari tinggal kelas.

...Namun.

"Ahh, tetap saja aku tidak paham..."

Aku menggumamkan keluhan. 

Yah, sesuatu yang sebelumnya sulit dipahami tentu tidak akan tiba-tiba menjadi mudah begitu saja. Aku menoleh ke samping dan bertanya pada Katagiri.

"Hei, Katagiri. Bagian ini, kau paham?"

Katagiri menghela napas.

"Haa... Dari tadi aku sudah curiga kenapa kau sama sekali tidak menulis apa-apa..."

Katagiri mendesah dan berkata,

"Kamu jadi begini karena tidak pernah benar-benar mendengarkan pelajaran. Tugas pun selalu dikumpulkan terlambat, kamu sadar, kan?"

"…Maaf, ya."

"Kalau saja kamu seperti aku, selalu belajar dan mengulang pelajaran setiap hari, hal seperti ini tidak akan terjadi."

Sebenarnya tidak perlu tiba-tiba berkhotbah seperti ini, tapi karena apa yang dia katakan memang benar, aku tidak bisa membantahnya.

"Sungguh merepotkan... Hmm," gumam Katagiri sambil menggerutu, tapi tetap saja menghentikan belajarnya dan mulai melirik buku referensiku.

"..."

Katagiri mulai menatap soal dengan serius...

"..."

Lalu, perlahan-lahan keringat mulai muncul di dahinya.

"Katagiri-san...?"

"Tunggu sebentar! Aku hampir mengerti. Pasti... mungkin... sepertinya... kalau ada keajaiban yang membuatku tiba-tiba tercerahkan..."

"Kamu semakin tidak yakin, kan?"

Pada akhirnya, dia malah mengandalkan keajaiban.

"Katanya kamu belajar dan mengulang pelajaran setiap hari?"

"Tentu saja!! Lebih dari delapan jam sehari!!"

"Itu baru di hari biasa!? Kapan kamu tidur!?"

"Tapi tetap saja nilainya tidak terlalu bagus!! Bisa masuk sekolah ini saja sudah seperti keajaiban!!"

Dia menyilangkan tangan dengan penuh percaya diri sambil berkata begitu. Entah kenapa, melihatnya membuatku merasa sedih.

"…Kenapa kamu melihatku seperti itu?"

"Aku yakin... ya, pasti ada hal baik yang menantimu. Hidup itu bukan cuma soal belajar, kan?"

"Hmph!! Lihat saja nanti! Aku pasti akan tercerahkan dan tiba-tiba punya nilai standar deviasi 80!!"

Katagiri mengatakannya dengan sangat percaya diri. Sejujurnya, aku terkesan. Meski sudah berusaha sekeras ini tapi hasilnya tidak terlalu memuaskan, dia tetap berniat untuk terus berusaha sampai hasilnya keluar.

"...Aku sedikit menghormatimu, Katagiri."

Saat aku berpikir begitu...

"Fufufu, tentu saja... Kalau tidak, aku tidak punya nilai apa pun... Aku yang tidak berharga ini harus mengorbankan lebih banyak waktu tidur dan belajar sambil menderita..."

"Tunggu, bukankah tujuanmu jadi menderita, bukan belajar?"

Saat itu—

"Jawaban yang itu adalah nomor lima, loh."

Tiba-tiba, Lati yang entah sejak kapan sudah ikut mengintip buku soal, berkata begitu.

"Eh? Lati tahu jawabannya?"

"Ya, aku suka belajar."

Dia mengatakannya dengan santai. Kalau dipikir-pikir, saat di kelas, Lati memang selalu fokus saat belajar. Aku tahu betul karena aku sering melihatnya... meski lebih sering memperhatikan dada dan pantatnya.

(...Tunggu, Lati ini bisa berbicara dalam bahasa Jepang, Inggris, Portugis, dan bahasa sukunya, kan?)

Dari awal dia memang sudah pintar, dan mungkin dia benar-benar suka belajar.

"Tapi aku hampir tidak lulus di pelajaran bahasa Jepang~"

"Ah, ya, membaca soal dan memahami teks itu satu tingkat lebih sulit dari sekadar percakapan sehari-hari."

Tapi dari yang kudengar, nilai Lati di pelajaran lain tampaknya bagus.
Sementara itu, aku melirik ke samping.

Zuuuun!!

Katagiri terlihat sangat terpukul.

"S-Suatu hari nanti... aku pasti akan membalikkan keadaan... Tapi kapan? Sampai kapan aku harus bertahan...? Ini menyiksa... Uuh..."

"Kenapa kamu tidak istirahat sebentar?"

Dalam berbagai arti.

□□

Belajar di perpustakaan ternyata tidak terlalu efektif, jadi aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Alasannya sederhana: ada Lati di sebelahku. Jadi sama saja seperti di kelas.

Aku tidak bisa fokus belajar kalau ada tubuh eksotis nan menggoda di sebelahku, yang dalam komik dewasa pasti bakal muncul efek suara "Muchi? Muchi?".

Aku meninggalkan Katagiri yang masih ingin belajar dan pulang bersama Lati.

"Haa... Aku benci gairah seksual di masa pubertas ini."

Saat aku bergumam begitu...

"Gairah seksual itu teman, tidak perlu takut. Silakan lampiaskan semuanya padaku~"

Lati membuka kedua tangannya seolah menyambutku. Aku kembali memperhatikannya, dan bahkan dari balik pakaiannya pun, lekuk tubuhnya terlihat begitu sempurna, seolah seni yang hidup.

"Hahaha, Lati memang seperti biasanya... Kalau aku bisa tergoda hanya dengan itu—oke, aku akan melampiaskan semua gairahku padamu... eh!?"

Sial! Tanpa sadar aku mengulurkan tangan ke tubuh Lati sambil mengucapkan isi hatiku! Segera, aku menghantamkan kepalaku ke dinding terdekat....Sakit.

"Haa, haa, haa..."

Tapi berkat rasa sakit itu, aku berhasil menahan diri.
"Kamu cukup gigih ya~ Tapi aku rasa tidak perlu menahan diri."

"Kalau tidak kutahan, masa depanku bisa berakhir sekarang juga..."

(…Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa sih Latina memilih aku?)

Dia ceria, anak yang baik, kelihatannya juga pintar dalam belajar, dan seperti yang bisa dilihat, punya tubuh serta penampilan yang luar biasa. Sementara aku? Hanya cowok biasa, anggota klub pulang sekolah, nilainya hampir membuatnya tinggal kelas, dan wajahnya pun tidak bisa dibilang tampan. Apa yang dia lihat dariku sampai bisa menyukaiku? Saat aku sedang memikirkan hal itu—

"Ken-chan!! Awas, itu berbahaya!!"

Suara seorang wanita menggema di sekitar. Karena suaranya cukup keras, semua orang yang ada di situ langsung menoleh ke arahnya.
Di jalan kecil satu jalur yang biasanya jarang dilalui kendaraan, seorang anak laki-laki, sekitar lima tahun, berlari mengejar bola sepaknya yang menggelinding ke tengah jalan.

Sialnya, di saat yang sama, sebuah truk melaju ke arah bocah itu.
Sang sopir belum menyadari keberadaan anak itu, dan kecepatannya tidak berkurang sama sekali.

(…Ini situasi yang sangat buruk!!)

Orang-orang di sekitar yang menyadari kejadian itu langsung terdiam karena panik dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Oooooooohhhhhh!!!"

Saat sadar, tubuhku sudah bergerak sendiri. Aku melompati pagar pembatas dengan lompatan yang kudapat dari latihan basket, langsung menerjang anak kecil yang memegang bola itu, lalu berguling bersamanya ke pinggir jalan untuk menghindar.

Bersamaan dengan itu, bola di tangannya terlepas. Dan di saat berikutnya—

PAAAANN!!!

Suara keras terdengar saat truk melindas bola tersebut, menghancurkannya dengan suara mengerikan yang menyerupai letusan pistol.

Untuk pertama kalinya, aku mendengar suara bola sepak dihancurkan seperti itu. Mendengar suara yang seolah seperti suara tembakan itu, aku bersyukur bahwa yang hancur adalah bola, bukan anak kecil tadi.
Namun, sebelum aku bisa bernapas lega—

GASUN!!

Karena momentum saat berguling tadi, punggungku menghantam pagar pembatas dengan keras.

"Gweh!!"

Su-susah bernapas…! Udara di paru-paruku seakan diperas keluar, membuatku terasa sangat sesak.

"Fuhyuuhh, fuhyuuhh!!"

Dengan susah payah, aku mencoba menenangkan napasku. Rasanya sakit banget…

"Ken-chan!!"

Ibu anak itu segera berlari menghampiri dan memeluknya erat.
Kemudian, dia menatapku dan berkata—

"Terima kasih banyak!! Saya tidak tahu harus berterima kasih seperti apa… Ken-chan, ayo kamu juga bilang sesuatu."

"Terima kasih ya, Onii-san!"

"N-nggak apa-apa, itu sudah sewajarnya…Gehok! Gehoku!"

Karena napasku belum benar-benar stabil, aku terbatuk-batuk.
Ah, gagal terlihat keren, deh. Baru sekarang aku menyadari betapa berbahayanya tadi. Saat memikirkannya lagi, jujur saja, aku jadi merinding.

…Ah, sial, air mataku mulai keluar.

Ketika aku mendongak, Latina sudah berdiri di dekatku, menatapku dari atas. Dia tersenyum kecil.

"…Seperti yang kuduga, Makoto memang cowok yang keren."

"Gehok! Gehoku!! Hah? Barusan kamu ngomong sesuatu?"

Aku terlalu sibuk mengatur napas, jadi tidak bisa mendengar dengan jelas.

"Tidak-tidak, bukan apa-apa~. Lebih penting lagi, kamu baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, cuma… sakit banget… Tapi, setidaknya semuanya selamat."

Oh iya, ngomong-ngomong—

Untung saja aku berhasil menyembunyikan fakta bahwa, karena kejadian tadi, aku sedikit mengompol.



Chapter 6 - Spesifikasi Tinggi
==============================================

"Bonja!! Makoto!!"

Sambil memberi salam pagi dalam bahasa Portugis, seperti biasa, Latina langsung melompat ke arahku saat aku tiba di sekolah pagi ini.

"Aku sudah membaca gerakan itu!!"

Waktu SMP, aku cukup dikenal sebagai pemain basket. Aku tidak akan terus-terusan menerima serangan menggoda ini tanpa perlawanan. Aku melangkah ke samping dan menghindari lompatan Latina.

"Aku juga sudah membaca bahwa kau akan menghindar!!"

Begitu katanya, lalu dia langsung mengubah arah menuju tempat aku menghindar.

"Apa!?"

Aku benar-benar sudah diantisipasi. Dalam sekejap, aku tertangkap dan terjatuh dengan Latina menindihku.

"Aku membaca auramu. Kalau tidak bisa melakukan ini, di kampung halamanku, bahkan ke toilet pun tidak akan selamat."

Gila! Seperti yang diharapkan dari kehidupan di hutan. Aku benar-benar berharap dia bisa menggunakan kemampuan ini untuk sesuatu yang lebih bermanfaat, seperti olahraga.

"Makoto yang satunya juga sangat bersemangat hari ini~"

Latina mulai menggoyangkan pantatnya yang besar dan kencang tepat di selangkanganku. Ah, sial, aku hampir keluar...

"Aduh, pagi-pagi sudah berisik sekali, Murid Pindahan."

Tiba-tiba, seorang siswi mendekati kami dan menyapa Latina.

"Sial, Kenjouin..."

Untung saja aku tidak sampai belepotan di celana sejak pagi, tapi melihat siapa yang datang, aku langsung mengernyitkan wajah.
Dikelilingi oleh orang-orang yang jelas-jelas tipe populer, dia berdiri dengan angkuh, menyilangkan tangan.

Namanya Kenjouin Asuka.

Dengan tubuh semampai seperti model, wajah yang sempurna, dan mata tajam yang terlihat tegas, dia benar-benar menonjol. Rambutnya yang semi-panjang dicat pirang dan sedikit dipermak dengan gaya bergelombang. Seragamnya jelas lebih pendek dari aturan sekolah, dan dia juga memakai anting-anting.

Namun, bukannya terlihat tidak cocok, justru semua itu semakin mempertegas kecantikannya. Selain itu, dia juga berada di peringkat atas akademik, menjadi ace klub tenis sejak tahun pertama, bekerja sebagai model di majalah, memiliki lebih dari dua ratus ribu pengikut di media sosial, dan sebagai tambahan, orang tuanya adalah pemilik perusahaan yang menyumbang dana besar ke sekolah ini. 

Dengan status seperti itu, bahkan aturan sekolah pun tak ada yang berani menegurnya. Dia adalah ratu yang menduduki puncak kasta sosial di kelasku.

"Hmph."



TLN : Hmmmm, sebenarnya gw gak mau komen apa2, tapi gw keknya harus mengucapkannya.
Dari semua Illustrasi kenapa nih chara satu2nya yang Tepos/Rata/papan/Furina ya eh ups......

Kenjouin menatap Latina dengan matanya yang tajam dan khas, mengamati setiap detailnya dengan seksama. Sementara itu, aku buru-buru keluar dari bawah Latina.

"Memang, kalau dilihat lagi, kau punya spesifikasi yang cukup bagus."

"?"

Latina hanya memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud dari ucapan Kenjouin.

"Baiklah, aku sudah memutuskan. Latina-san, aku akan membiarkanmu bergabung dalam grupku. Bersyukurlah."

Dia tiba-tiba mengucapkan hal seperti itu.

"Hah? Jadi, Kenjouin ingin berteman dengan Lati-san?"

Jujur saja, Kenjouin, yang suka membicarakan gosip tentang selebriti dan kehidupan sekolah, serta Latina, yang menjalani hidupnya dengan bebas sesuka hati, tampaknya bukan kombinasi yang cocok.

"Oh? Kau dari kelasku juga, ya... Maaf, aku tidak menemukan nilai apa pun dalam mengingat nama karakter figuran yang tidak punya keistimewaan."

Ugh, nyebelin banget.

Sejujurnya, aku memang tidak terlalu suka dengan dia dan gengnya.
Aku tidak tahan dengan tipe orang yang selalu membandingkan diri dengan orang lain dan berlomba-lomba membuktikan bahwa mereka lebih unggul.

Hanya dari obrolan singkat ini saja, sudah jelas bagaimana dia meremehkan orang-orang di luar lingkaran populer.

Ya, aku tahu dia cantik, tapi dia tipe orang yang sebisa mungkin ingin kuhindari.

"Kau tanya apakah aku ingin berteman dengannya? Tentu saja. Kalau murid pindahan yang punya wajah cantik dan tubuh bagus bergabung, grupku akan semakin bernilai di mata orang lain. Pada akhirnya, aku akan membangun grup terkuat, di mana setiap siswa yang melihat kami lewat akan begitu iri sampai mereka mencakar leher mereka sendiri sampai berdarah!"

"…Kau ingin berteman hanya karena alasan seperti memilih aksesori?"

"Hah? Memangnya ada alasan lain untuk berhubungan dengan seseorang?"

Kenjouin memiringkan kepalanya, benar-benar tidak mengerti.

…Kalau sudah sebrengsek ini, malah jadi luar biasa, ya.

"Sekarang, kita akan melakukan pertukaran informasi pagi yang elegan (alias membicarakan gosip sekolah). Kau ikut serta. Tentu saja, si figuran menyedihkan di sini akan kutinggalkan. Kalau ada spesifikasi rendah di antara kita, nilai kolektif grup ini akan turun."

Sial, nih orang benar-benar kasar. Saat aku masih kesal, tiba-tiba—

"Hmm, Makoto."

Latina menepuk bahuku beberapa kali.

"Ada apa, Lati?"

"Orang ini… payudaranya sangat kecil."

TLN : Terimakasih telah mewakili 

Sambil menunjuk langsung ke Kenjouin, Latina melontarkan kata-kata sekeras bola api yang melesat lurus.

"Gwahh!!"

"Dia muntah darah!?"

Kenjouin langsung jatuh berlutut sambil menyemburkan darah dari mulutnya. Gimana bisa gitu, sih!?

"…D-datar… Dadaku… Ukuran mini…"

(Yah… kalau Latina yang bilang, itu memang kejam banget.)

Dengan ukuran Latina yang sangat overwhelming, mendengar komentar seperti itu saat sedang berhadapan langsung pasti benar-benar menyakitkan bagi seseorang yang sensitif tentang ukuran dadanya.

"Kelihatannya sangat mudah bergerak. Aku agak iri, karena kalau aku terlalu aktif, dadaku malah mengganggu."

"Itu… pujian…?"

(Tapi yah, kalau hidup di hutan, ini bisa jadi masalah yang serius.)

Bayangkan kalau sedang kabur dari hewan buas, tapi jadi sulit berlari karena dadanya menghalangi—itu bukan sesuatu yang bisa dibuat candaan.

"Tapi kalau untuk menggoda Makoto, ukuranku ini sangat berguna~. Ada kelebihan dan kekurangan."

Latina mengangkat dadanya dengan kedua tangan, sengaja menonjolkannya.

"…A-aku tidak akan kalah!"

Aku buru-buru mengalihkan pandangan agar tidak tersedot ke dalam pemandangan itu, sambil berkata demikian.

"…Dada kecil… satu dimensi… hampir tidak bisa dipastikan apakah benar-benar memiliki massa atau tidak…"

"Kau masih terpuruk gara-gara itu!?"

Bahkan setelah aku dan Latina berbincang, Kenjouin tetap berlutut, menunduk sambil bergumam sendiri. Seberapa besar sih kompleksnya soal dada kecil? Dari sudut pandangku, dia sudah punya segalanya—wajah cantik, otak encer, tubuh atletis, bahkan harta orang tuanya. Harusnya dia tidak perlu repot-repot mempermasalahkan ukuran dadanya… Lagipula, tubuhnya yang ramping juga tetap terlihat indah. Meskipun sifatnya agak… ya, begitulah…

"Sial… Hanya dengan keberadaan dada raksasa itu di depan mataku, aku terus-menerus kalah telak… Aku harus menemukan cara untuk mengungguli dia dalam hal lain…!"

"Seberapa penting sih buatmu menang dari orang lain?"

Kalau dipikir-pikir, hidupnya tampaknya tidak kalah rumit dibanding Katagiri, hanya dalam arti yang berbeda.

"Ah!"

Kenjouin tiba-tiba melirik ke arahku dan menyeringai licik, sorot matanya yang tajam tampak penuh niat buruk.

"Hei~ Karena Latina-san sepertinya tidak tertarik, bagaimana kalau kau saja yang menggantikannya dan ngobrol denganku?"

Dia berbicara dengan suara manja sambil merapatkan tubuhnya ke lenganku.

"…Kukuku, cowok culun macam ini pasti langsung takluk begitu merasakan tubuh gadis secantik aku menempel padanya… Lihatlah, Latina pasti akan iri setengah mati… Kukuku…"

Sambil bergumam entah apa, dia terus menempelkan dirinya padaku.
Namun…

"…Fuuuh…"

Hatiku tetap damai.

"Eh? Apa-apaan ekspresi tenang itu!?"

Sensasi datar yang kudapatkan dari dada yang menekan lenganku ini… Justru membuatku merasa nyaman, karena selama ini aku selalu terkena dampak dari tubuh 'Big Bang' Latina.

"Aku merasa tenang…"

"Kenapa sih!?"

Kenjouin memerah karena kesal melihat ekspresiku yang begitu damai.

"Sialan… Cowok culun menyedihkan macam kau…!"

"Sudahlah, Kenjouin-san… Perkataan seperti itu yang terus-menerus merendahkan orang lain tidaklah baik. Hidup bukanlah tentang membandingkan diri dengan orang lain… Pemikiran seperti itu hanya akan membawa ketidakbahagiaan… Namu~…"

"Kenapa kau tiba-tiba jadi sok bijak!? Itu menyebalkan!"

"Kenjouin-san!!"

Seseorang tiba-tiba datang, suaranya nyaring memecah suasana. Orang yang muncul adalah Katagiri.

"Ugh! Si payudara besar berkacamata!"

Di sekolah ini, hampir tidak ada yang berani melawan Kenjouin, entah karena penampilannya atau takut akan balasannya. Tapi Katagiri tidak peduli dengan hal semacam itu dan langsung menegurnya.

"Kau juga menggoda lelaki bejat itu!? Dasar tidak tahu malu! Ini hubungan yang tidak sehat!!"

"Siapa juga yang mau dengan lelaki menyedihkan seperti ini!?"

"Hei, kasihan sekali aku disebut 'menyedihkan' begitu…"

Aku hanya bisa mendengarkan Kenjouin dan Katagiri yang terus beradu mulut sambil berpikir dalam hati.

(Tapi memang, bahkan Kenjouin pun menganggap Latina sebagai seseorang yang memiliki spesifikasi tinggi…)

Belakangan ini, aku bahkan tahu bahwa Latina juga pintar dalam pelajaran. Aku semakin tidak mengerti kenapa dia memilihku…

□□

"…Katagiri, menurutmu… bisa nggak kau melahirkan delapan anakku?"

"Itu… pelecehan verbal tingkat tinggi, kan?"

Sepulang sekolah. Saat sedang membersihkan halaman tengah, aku bertanya hal itu pada Katagiri, yang langsung menatapku seperti sedang melihat tumpukan kotoran anjing yang tergeletak di jalanan.

"…Maaf, cara bertanya tadi memang salah."

Aku terlalu terbiasa dengan Latina yang selalu bilang tentang punya delapan anak, jadi rasanya seperti hal biasa bagiku. Padahal, membicarakan soal punya anak itu bukan sesuatu yang bisa disinggung dengan enteng di dunia modern ini. Tapi, kalau dipikir-pikir, apakah itu sebenarnya hal yang aneh? Sebagai makhluk hidup, bukankah mewariskan keturunan adalah sesuatu yang alami? Ah, tapi itu pembahasan lain.

"Kau tahu, Latina selalu bilang kalau dia ingin menikah denganku dan punya minimal delapan anak. Itu berarti dia benar-benar ingin menjalani masa depan bersamaku, kan?"

"Yah, kalau sampai seorang gadis bilang ingin punya delapan anak dengan seseorang, berarti itu bukan sesuatu yang diucapkan sembarangan."

"Itulah masalahnya… Meskipun dari sudut pandang pria juga, itu bukan keputusan yang bisa dibuat sembarangan."

Katanya, membesarkan satu anak saja butuh lebih dari ratusan juta yen. Di zaman sekarang, hidup tanpa penghasilan yang cukup hanya akan membawa masalah besar.

"Itulah kenapa aku bertanya-tanya… Kenapa aku? Aku tidak terlalu tampan atau semacamnya… Apa mungkin menurut standar sukunya Latina, aku ini termasuk pria yang tampan?"

"Entahlah."

Katagiri menatap wajahku sejenak.

"…Tapi, yah, aku tidak terlalu membencimu. Maksudku… kalau misalnya kita pacaran, aku mungkin tidak akan keberatan…"

Dia mengatakan itu dengan wajah sedikit memalingkan diri dariku.

"Serius? Eh, tunggu… Jadi, mungkin aku ini sebenarnya cukup tampan?"

Seorang gadis bilang bahwa dia 'tidak keberatan' pacaran denganku… Bukankah itu berarti aku cukup menarik? Aku lalu berdiri di depan kaca, tersenyum kecil dengan gaya cool.

"Fufufu…"

Lalu dengan gaya ala model, aku menyibakkan poni ke belakang.
Melihat itu, Katagiri langsung berkata—

"…Kayaknya aku salah pilih kata. Wajahmu itu seperti muntahan yang gagal disiram di toilet."

"Itu bukan sekadar salah ngomong, kan!?"

Kepercayaan diri terhadap wajahku yang sempat mulai tumbuh langsung hancur berkeping-keping dalam sekejap. Tapi kalau begitu, aku tetap nggak paham kenapa Latina memilihku.

"Yah, setidaknya kau cukup berani, kan? Bisa dibilang nekat juga sih."

Katagiri berkata sambil menyapu sampah yang sudah dikumpulkan ke dalam pengki.

"Aku dengar dari Latina-san kalau kau pernah menolong seorang anak yang hampir tertabrak truk."

"Ah, iya. Saat pertama kali bertemu pun, aku sedang berusaha menolong Latina dari orang-orang yang kelihatan seperti yakuza."

Walaupun dalam hati aku sebenarnya ketakutan setengah mati, mungkin dia menganggapku sebagai pria yang pemberani.

"Hmm, tapi aku rasa bukan cuma karena itu."

Dalam cerita romcom, ada banyak kejadian di mana sang pahlawan menolong heroine, lalu si heroine jatuh cinta dan akhirnya melamar sang pahlawan. Tapi kalau di dunia nyata, rasanya keputusan untuk memilih pasangan hidup tidak sesederhana itu. Terlebih lagi, Latina bilang dia ingin punya delapan anak, jadi sudah pasti dia butuh pasangan yang bisa diandalkan untuk masa depan.

"Sedangkan aku, nggak ada satu pun faktor yang bisa diharapkan untuk masa depan…"

Saat aku bergumam seperti itu—

"Heeey, Itou!"

Dari tikungan lorong, guru matematika memanggilku.

"Setelah selesai bersih-bersih, datang ke ruang guru."

"Ah, baik. Aku mengerti!"

Aku menjawab dan segera menyelesaikan tugas bersih-bersihku secepat mungkin. Kira-kira ada urusan apa, ya?

…Jujur, aku punya firasat buruk.

□□

Dan firasat burukku terbukti benar.

"Sudah kukatakan sebelumnya, tapi kalau kau terus seperti ini, kau benar-benar dalam masalah."

"…Ya, aku tahu…"

Seperti yang sudah kuduga, alasan aku dipanggil ke ruang guru adalah soal itu. Ngomong-ngomong, bukannya marah, guruku lebih terlihat pasrah sekaligus khawatir.

"Ujian kecil yang lalu juga kacau, kan?"

"Setidaknya aku berhasil menghindari dapat nol."

"Kau asal menulis sesuatu di semua kolom jawaban, dan satu-satunya jawaban yang benar adalah ‘minus satu’, jadi nilaimu cuma dua. Itu sama saja dengan nol."

"Anda benar sekali, Pak…"

"Haa… Yah, bukan berarti kau nggak pernah masuk kelas, dan aku tahu kau nggak berniat untuk nggak mengambil kredit. Tapi dengan nilai seperti ini, ditambah lagi tugasmu yang sering telat atau bahkan nggak dikumpulkan…"

Ya, soalnya aku memang nggak paham dengan soal-soal yang diberikan sebagai tugas. Akhirnya, setelah melewati tenggat waktu, aku hanya bisa menyalin jawaban teman-teman demi bisa mengumpulkannya. Dan banyak juga tugas yang akhirnya kutinggalkan begitu saja tanpa dikerjakan.

"Jadi, aku akan memberimu tugas tambahan. Kerjakan soal dari sini sampai sini di buku catatanmu dan kumpulkan sebelum akhir minggu depan."

"Oke…"

Ugh, ini lumayan banyak. Bisa nggak ya selesai tepat waktu?

"Selain itu, kau harus dapat minimal 40 poin di ujian akhir. Kalau tidak, mau dibantu bagaimanapun, aku nggak bisa memberimu kredit."

"40 poin ya…"

Saat masih SMP, skor segitu gampang saja kudapat. Tapi dengan kondisiku sekarang, rasanya berat. Soalnya, nilai ujianku yang terakhir cuma dua. Itu artinya aku harus mendapat nilai dua puluh kali lipat lebih tinggi.

Dari yang kudengar, memang ada sistem remidial atau kelas tambahan selama liburan panjang untuk membantu mendapatkan kredit. Tapi kalau dari awal aku sudah mengandalkan itu, lalu tiba-tiba dibilang "Tahun ini nggak ada kelas tambahan," habislah aku…

□□

"Haa… Aku tetap merasa nggak punya masa depan," gumamku sambil berjalan di perjalanan pulang dari sekolah, menghela napas panjang.

"Yah, setidaknya baguslah hari ini hari Jumat."

Malam ini dan sepanjang akhir pekan, aku tidak akan terpapar daya tarik gravitasi dari tubuh raksasa Latina yang luar biasa. Bukan berarti Latina selalu menggoda aku setiap saat. Bahkan, di dalam kelas, dia lebih serius mendengarkan pelajaran daripada aku. Hanya saja, tanpa sadar, fokusku terus tertarik ke tubuh Latina dengan sendirinya. Ya, meskipun sebenarnya… dia juga memang sering menggoda sih.

"Untuk sekarang, aku harus menyelesaikan sebanyak mungkin tugas tambahan malam ini dan selama akhir pekan. Kalau nggak bisa mengumpulkannya, ujian pun bakal sia-sia, dan aku tamat."

Setelah tiba di rumah, aku mengeluarkan kunci dari tas dan membuka pintu depan. Dan di sana, seperti biasa—

"Selamat datang pulang!! A-NA-TA!!"

Latina berdiri di depan pintu dengan seragam sekolahnya.

"……"

Aku hanya bisa membuka mulut lebar-lebar, terdiam dalam kebingungan.

"Makoto-chan, temanmu datang tuh!"

Terdengar suara ibuku dari ruang keluarga.

"Dia cantik banget sampai aku jadi agak gugup, tapi Latina-san itu anak yang ceria dan baik, ya."

"Oh tidak tidak, Mama juga masih muda dan cantik, lho!"

"Oh, ya ampun~ Senang sekali dengarnya~ Suamiku dan Makoto-chan jarang bilang hal-hal seperti itu, tahu~"

Sepertinya Latina langsung berhasil mengambil hati ibuku.

"Dengan begini, meskipun tidak ada sekolah, aku tetap bisa bersama Makoto!!"

Latina mengacungkan jempol dengan percaya diri.

"……"

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa membalikkan mata ke atas.

(…Aku rasa aku sudah tamat.)

Di hadapan tubuh eksotis berkulit cokelat yang kini bahkan telah menyerbu kehidupanku di rumah, aku hanya bisa jatuh berlutut dalam keputusasaan.



Post a Comment

Post a Comment

close