NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 1 Chapter 7 - 10 & Kata Penutup

 Penerjemah: A.O. Francisca

ProffreaderA.O. Francisca


Chapter 7: Ratu yang Menangis Minta Tolong


Malam telah larut. Aku berlari menyusuri jalanan yang sepi, di bawah cahaya lampu jalan yang terpasang berderet rapi. Setelah kabur dari tempat Yamamoto, aku akhirnya sampai di sebuah kawasan pemukiman yang sunyi. Mungkin karena sudah larut, hampir tidak ada orang di sekitar.


Terengah-engah, aku berlari mati-matian—seolah mencoba melarikan diri dari sesuatu. Aku terus menoleh ke belakang, tak pernah berhenti, dan ketika tubuhku mencapai batasnya, sebuah pikiran terlintas:


Sebenarnya... apa yang sedang kulakukan?


Aku belum pernah berolahraga sejak SMA, dan staminaku telah menurun drastis. Sambil memegangi lutut yang gemetar, aku terengah-engah mengatur napas.


Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya... Saat keringat dari malam musim panas yang lembap mengalir di dahiku, aku baru menyadari sesuatu—aku keluar dari apartemen Yamamoto hanya mengenakan kaus kaki. Berlari di aspal telah merobeknya hingga bolong besar.


Di bawah cahaya lampu jalan bundar, aku berdiri terpaku sambil menggigit bibir, diliputi rasa malu.


Kenapa aku melakukan hal seperti ini...?


Hari itu, aku bertemu kembali dengan laki-laki yang paling kubenci di masa SMA. Satu-satunya alasanku memanggilnya—saat menemukannya bekerja sebagai pegawai minimarket yang tampak lesu—adalah karena aku ingin meratapi diri sendiri. Aku ingin mengonfirmasi kembali nestapa hidupku yang menyiksa di depan pria yang paling kubenci.  


Kalau saja kondisi mentalku sedang tidak begitu, mungkin aku tidak akan pernah berbicara dengan Yamamoto.


Mungkin ini takdir.


Mungkin ini takdir bahwa hidupku telah menjadi kebalikan total dari masa SMA-ku.


Mungkin memang takdir bahwa aku mencapai titik terendah dan keluyuran di tengah malam tanpa arah tujuan.


Mungkin memang takdir bahwa aku dan Yamamoto kembali bertemu.


Dulu di SMA, aku tidak tahan dengannya. Dia selalu bicara seenaknya, tidak bisa membaca situasi, dan sangat menyebalkan.


Tapi setelah mengamatinya selama lima hari terakhir ini, aku menyadari sesuatu.


Memang, dia masih sama kurang ajarnya. Cara bicaranya menyebalkan, dan dia selalu ikut campur dalam hal-hal yang tidak ingin kusentuh.


Dan ya, dia masih tidak bisa membaca situasi. Meskipun jelas-jelas aku terluka, tapi dia malah bilang—“Kita bahkan tidak pacaran.” Tak perlu mengatakan hal yang sudah jelas begitu. Itu hanya memperburuk perasaanku.


...Tapi tetap saja.


Tetap saja, anggapan bahwa dia berbicara sembarangan sama sekali tidak benar.


“Kau cuma dimanfaatkan, tahu?”


Setiap perkataannya tepat sasaran.


“Sekalipun kau membuat kesalahan, tidak akan ada yang mati.”


Sangat akurat sampai membuat kesal. 


Dulu, di SMA, karena aku begitu membencinya, mungkin aku hanya melihat hal-hal yang ingin kulihat saja.


Aku mengabaikan semua sisi baiknya.


Aku meledak atas setiap keburukannya.


Itulah sebabnya, dalam pikiranku, citraku tentangnya adalah yang terburuk. Padahal itu aku. Akulah yang bersikap buruk, yang menunjukkan sikap buruk padanya.


Akulah yang jahat...


Namun meski begitu...


Dia tetap mau menampungku.


Ketika aku menyerah pada hidup dengan pria itu, saat aku tidak punya tempat untuk pergi—dia mengulurkan tangan padaku.


Dia bahkan berkata akan meminjamkanku uang jika aku membutuhkannya.


“Hamburgermu enak banget.”


Dia bilang masakanku lezat.


Dan aku—


Aku menepis tangannya.


Kenapa... Kenapa semuanya jadi begini?


...Saat itu, ketika aku mencium wangi parfum citrus dari tubuh Yamamoto, perasaanku diliputi emosi yang bahkan tak bisa kujelaskan.


Rasa ingin memiliki.


Kecemburuan.


Kebencian.


Semua emosi itu campur aduk, dan kemudian Yamamoto mengatakan kebenaran tentang situasi kami. Itu membuat semua emosiku meluap tak terkendali.


Itu adalah ledakan emosi yang membabi buta.


Ledakan tiba-tiba.


Namun bagaimana pun kau menilainya, menepis tangannya adalah bentuk pengkhianatan total terhadap orang yang telah menerimaku.


Kenapa aku membiarkan emosi itu menguasai diriku?


Kenapa aku tidak bisa menahan amarahku?


Kenapa aku tidak mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya kurasakan kepada Yamamoto?


Seperti yang selalu Yamamoto lakukan untukku...


“Aku harus bagaimana sekarang...?”


Paru-paruku sakit karena berlari.


Tapi yang lebih menghimpitku adalah rasa kesepian yang luar biasa.


Meskipun semua ini konsekuensi dari tindakan cerobohku sendiri, tetap saja, aku telah lari dari apartemen Yamamoto.


Aku menepis tangan seseorang yang sudah begitu baik, perhatian, dan murah hati—dan aku lari darinya.


Apa yang sedang Yamamoto lakukan sekarang, ya?


Apakah dia marah?


Atau malah lega karena akhirnya bebas dari pengganggu?


Jika itu aku... aku akan merasakan yang terakhir. Aku tidak punya apa-apa—tidak punya pendidikan, tidak punya uang, tidak ada apa-apa. Lebih buruk lagi, aku datang membawa beban emosional dari hubungan yang kacau.


Jika itu aku, aku tidak akan mau menampung orang seperti itu. Aku tidak ingin berurusan dengan mereka.


Tapi Yamamoto tetap mengulurkan tangan pada orang sepertiku.


Hanya dalam lima hari, berapa banyak masalah yang sudah kubuat? Berapa kali dia membantuku?


Apa yang kulakukan... adalah merusak semua itu. Sebuah kesalahan bodoh nan egois.


Tanganku mulai gemetar. Bukan karena kelelahan.


Tapi karena ketakutan.


Tepat sebelum dia memukulku, pria itu—dia—membuatku merasa seperti ini. Tanganku gemetar dengan cara yang sama.  


Aku takut.


Aku ketakutan.


Takut kalau Yamamoto akan membenciku.


Pikiran itu sangat menghantuiku. Memang egois kalau merasa seperti itu tentang seseorang yang dulu kubenci di SMA. Tapi sekarang, hanya membayangkan dia membenciku saja sudah membuatku gemetaran.


Aku harus bagaimana?


Apa yang harus kulakukan...?


Apa yang seharusnya kulakukan...?


Aku tidak tahu.


Aku tidak tahu...


Tolong aku, Yamamoto.


Aku tidak percaya.


Bahwa aku akan mengharap bantuan dari Yamamoto.


Tapi meski begitu, keyakinan yang aneh dan teguh bersarang di dadaku.


Kalau itu Yamamoto—


Kalau itu Yamamoto, maka pasti...


Pasti, dia akan menolongku.


Hari itu, saat kami mengobrol di sela-sela jam kerjanya di minimarket, dia bilang aku boleh tinggal di tempatnya.


Sebelum itu, hidupku gelap gulita. Tak ada secercah cahaya pun di sekitarku. Kakiku seolah terperangkap dalam lumpur, seperti mayat-mayat menyeretku lebih dalam ke neraka.


Orang yang menghalau kegelapan itu—


Orang yang menyalakan api kecil di dunia itu—


Tidak lain ialah Yamamoto.


Jika itu Yamamoto, aku tahu dia akan menolongku.


Dengan napas terengah-engah, aku membayangkannya—dia akan menemukanku, menegurku dengan “apa sih yang kau lakukan,” menghela napas kesal, logika yang tak terbantahkan dan menyeretku pulang, bahkan kalau aku meronta-ronta.


Sama seperti lima hari terakhir ini.


Dia akan menghadapiku atas kebodohanku.


Atas kesalahanku.


Dia akan mengatakan kebenaran, menunjukkan arah, dan menyelamatkanku.


Suara langkah kaki bergema.


Bukan sepatu kets.


Bukan sandal juga.


Itu suara sepatu kulit.


Aku tahu, dari pintu masuk apartemen Yamamoto, bahwa dia sering memakai sepatu kulit. Sebagai tipe yang teliti, dia menyukai sepatu yang perlu dirawat dengan benar.  


Tapi aku seharusnya tahu. Hanya karena mendengar suara sepatu kulit bukan berarti itu dia.


Di negara ini, di kota ini, ada berapa banyak orang yang secara rutin memakai sepatu kulit?


Yamamoto hanyalah satu dari sekian banyak.


Tetap saja... Aku ingin itu dia.


Aku berharap—tidak, aku berdoa agar orang yang berjalan ke arahku dengan sepatu kulit itu adalah Yamamoto.


Harapan berubah menjadi ekspektasi, dan kemudian... keputusasaan.


“Meg?”


Suara yang familiar. Tapi suara yang tak ingin kuingat lagi.


Meskipun aku yakin siapa itu, aku tetap berharap—Tolong, jangan dia.


Aku takut untuk menoleh.


Tapi aku tahu aku tidak punya pilihan lagi.


Perlahan, aku berbalik ke arah suara sepatu kulit di belakangku.


Dan di sanalah dia...


“Meg...? Benarkah ini kamu, Meg?”


Suaranya terdengar tulus. Kemeja putihnya rapi tanpa satu kerutan pun. Rambut disisir rapi ke samping.


Dan aku teringat—


Dia juga, sama seperti Yamamoto, memakai sepatu kulit setiap hari untuk bekerja.


“Seiji-san.”


Namanya Utsumi Seiji.


Mantan pacarku—pria yang telah menyakitiku.


×××


Dua bulan setelah lulus SMA, aku diundang ke kencan buta oleh seorang gadis dari klub universitasku. Pergi ke acara semacam itu bukanlah hal yang aneh bagiku. Apalagi setelah pindah ke Tokyo untuk kuliah, jauh dari orang tuaku—aku punya lebih banyak waktu luang dan lebih banyak kesempatan untuk diundang.


Bahkan ini bukan pertama kalinya aku ikut acara kencan buta yang diadakan oleh teman itu—ini yang ketiga, tepatnya. Semua gadis hari itu menghabiskan waktu ekstra untuk berdandan, memakai pakaian mencolok, dan tampak sangat bersemangat.


Ternyata, para pria yang hadir hari itu semuanya berasal dari bank besar, dan para gadis—yang berharap mendapatkan suami kaya—matanya berbinar-binar. 


Hal-hal semacam itu tidak pernah menarik minatku. Bagiku, ini hanya sebatas bersosialisasi—cara untuk tetap terhubung.


Para pria selalu menghampiriku di acara seperti itu. Temanku pernah bilang bahwa hanya dengan mengetahui aku akan datang sudah cukup bagi pihak seberang untuk berupaya menghadirkan “yang terbaik” dari mereka. Dan karena aku bukan tipe yang genit atau haus perhatian dari pria, aku tidak merusak suasana, jadi para gadis juga senang aku ikut.


Jujur, aku benci karena hanya dimanfaatkan, tapi di Tokyo—di mana aku tidak punya teman dekat—bahkan kelompok gadis itu adalah teman yang berharga bagiku.


Jadi aku berkata pada diri sendiri bahwa ini tidak bisa dihindari—dan aku pun pergi.


Tempat yang kami datangi bukan izakaya berantai yang bising, tapi tempat makan pribadi yang elegan.


Di dalam, penerangan remang-remang dengan ruangan yang sepenuhnya privat. Tidak seperti izakaya biasa, tempat ini punya sentuhan kelas atas, dan harga makanannya yang sedikit lebih mahal memberiku kesan baik sejak awal.


Kami dibawa ke ruang privat bergaya kotatsu yang cekung, dan duduk berjejeran. Para pria datang belakangan dan duduk berseberangan dengan kami.


“Nanti kita bisa tukar tempat duduk,” bisik temanku padaku.


Aku tidak peduli.


Itulah yang kupikirkan saat itu.


Setelah semua orang hadir, kami mulai memperkenalkan diri satu sama lain dalam suasana yang ceria dan santai.


“Namaku Utsumi Seiji.”


Dia salah satu dari mereka.


Saat itu, aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berakhir berpacaran dengannya—apalagi sampai tinggal serumah.


Kesan pertamaku terhadap Seiji-san adalah bahwa dia pria yang baik dan berpenampilan rapi. Dia terlihat muda untuk usianya, mudah diajak ngobrol, dan tampak tulus. Hanya... biasa saja. Warga biasa yang tidak berbahaya.


Saat SMA, kalau aku tidak menyukai seseorang, aku akan menghindarinya sepenuhnya dan tanpa ampun. Yamamoto adalah contoh paling nyata.


Tapi bukan berarti aku membenci sembarang orang. Biasanya ada pemicunya—kesan pertama yang buruk, atau ucapan dan tindakan mereka yang membuatku terganggu.


Belakangan, Seiji-san memang akan melakukan hal-hal padaku yang bahkan tak ingin kuingat. Namun di awal, kesanku terhadapnya positif. Auranya, kata-katanya, soapn santunnya—semuanya lembut dan memebuatku merasa nyaman.


Awalnya, dia memang baik.


Orang-orang di sekitar kami memberi tekanan—“Kalian cocok, deh”—jadi kami setidaknya bertukar kontak.


Anehnya, akulah yang duluan mengiriminya pesan. Tidak ada alasan khusus. Hanya saja, aku sedang ingin mengobrol dengan seseorang, membuka aplikasi chat, dan namanya ada di sana—kedua dari bawah.


Kencan buta malam itu cukup mewah, mungkin karena para prianya sudah bekerja. Beberapa dari mereka menyombongkan diri tanpa malu-malu soal seberapa kaya mereka. Itu menyedihkan, tapi itu memang benar—mereka punya uang. Dan Seiji-san salah satu dari mereka.


Kalau dia punya uang, mungkin dia bisa menunjukkan dunia yang berbeda dari yang kukenal. Untuk memperjelas, aku tidak ingin mengandalkan uangnya. Kami selalu membayar masing-masing sebelum tinggal bersama.


Aku hanya berpikir… karena dia punya uang, mungkin dia tahu kehidupan yang belum pernah kulihat. Semacam itu.


Setiap orang ingin hidup yang layak. Tapi pada akhirnya, standar hidup seseorang sangat bergantung pada seberapa tebal dompet mereka.


Waktu SMA, aku benci tinggal di rumah. Ayahku keras dan galak, tipe yang memberlakukan jam malam yang sudah ketinggalan zaman. Kalau aku pulang terlambat, dia akan membentak dan mengomeliku soal tanggung jawab.


Aku membencinya.


Sebelum memberitahu ayahku aku ingin belajar di Tokyo, aku membuat ibuku berpihak padaku. Aku siapkan argumenku, berdiri di hadapannya—dan itu berakhir dengan pertengkaran besar.


Akhirnya dia mengizinkanku pergi, tapi menolak memberikan uang sepeser pun selain untuk biaya kuliah. Dia tidak mau mengalah soal itu.


Tapi saat SMA, aku pikir tidak masalah. Aku sangat membencinya, jadi bisa pergi saja sudah cukup.


Begitu aku masuk kuliah, aku punya lebih banyak kebebasan. Cengkeraman ayahku perlahan melonggar. Itu sudah sewajarnya.


Tapi di saat yang sama, masalah keuangan mulai bermunculan. Aku harus bekerja lima hari seminggu hanya untuk bertahan hidup.


Itulah sebabnya aku berpikir...


Aku ingin melihat seperti apa hidup seseorang seperti Seiji-san. Dunia seperti apa yang dia lihat.


Pada kencan pertama kami, dia menjemputku dengan sedan dan membawaku jalan-jalan. Kami naik ke pegunungan, mengunjungi bendungan, dan mendengarkan gemuruh air sambil menikmati pemandangan alam yang indah. Aku masih ingat bagaimana itu membuatku terpana.


Apakah aku menyukainya? Tidak juga.


Tapi aku tidak benci menghabiskan waktu bersamanya. Karena itu terasa baru—seperti melangkah ke dunia yang belum pernah kukenal.


Seiji-san menyukai mobil. Setiap kali kami pergi ke mana pun, dia selalu menyuruhku duduk di kursi penumpang sedannya.


“Ayo kita pergi ke suatu tempat tanpa mobil sesekali.”


Duduk di kursi penumpang, aku sering merasa tidak nyaman.


Aku tidak suka mobil. Ibuku tidak punya SIM, jadi bagi kami, orang yang mengemudi selalu ayahku. Dalam pikiranku, mobil dan ayahku tak terpisahkan.


Dan hanya berada di dalam mobil saja sudah cukup untuk membangkitkan semua kenangan tentang bagaimana dia menjauhkan orang dengan kata-kata dan tindakannya.


Itulah sebabnya aku tidak suka mobil.


“Maaf. Aku gampang mabuk kalau naik kereta,”


“Padahal kamu naik kereta setiap hari untuk kerja.”


“…Kita akan sampai sebentar lagi, tahan sedikit ya.”


Begitu aku masuk, tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Aku akan pasrah menatap pemandangan yang berlalu di luar jendela. Itu rutinitas biasa.  


Seiji-san pernah ikut klub jazz saat kuliah. Mungkin itu sebabnya dia selalu memutar musik jazz saat mengemudi. Aku tidak begitu mengerti, tapi musik itu punya efek menenangkan saat aku menatap ke luar jendela.


Hari itu, kami berdua menuju Atami untuk jalan-jalan, menyusuri jalan pesisir.


Dari jendela mobil, aku bisa melihat laut biru dan ombak putih. Perahu-perahu nelayan mengapung di kejauhan, dan di dekatnya, orang-orang memancing sambil memandangi lautan dengan tenang.


Itu seperti adegan damai langsung dari drama.


Sesuatu yang tidak bisa kualami sendiri, sebagai orang yang berjuang dengan uang. Sore yang bebas dari kekhawatiran, seolah fatamorgana.


Kalau aku bersamanya, mungkin aku bisa hidup seperti ini.


Itulah perasaanku—terpisah dari rasa sayang apa pun yang mungkin kupunya padanya.


Tidak ada momen khusus di mana salah satu dari kami menyatakan perasaan. Kami seolah... tanpa sadar mulai berpacaran. 


“Meg, mau tinggal bersamaku?”


Tapi tinggal bersama—itu adalah lamaran yang jelas.


Dan ketika aku setuju, aku berbohong jika mengatakan tidak ada niat egois di baliknya. Kupikir bersamanya akan membuat hidupku lebih baik. Kalau ada yang bilang aku dibutakan uang, aku tidak bisa membantahnya.


“Meg, kenapa kamu menyajikan makanan jadi dari supermarket buat makan malam? Kamu nggak punya selera.”


Mungkin itu hukumanku.


Karena memanfaatkan perasaannya. Karena mencoba mengikatkan diri padanya tanpa perasaan yang nyata. Mungkin ini karma.


Itu dimulai sekitar seminggu setelah kami tinggal bersama. Tepat setelah aku pindah dari apartemen lamaku dan membawa semua barangku ke tempatnya.


Argumennnya begini: Karena aku kerja seharian dan kamu nggak ngapa-ngapain di rumah, paling nggak masak yang bener.


Padahal aku sudah bilang dari awal bahwa aku tidak bisa masak, tapi sepertinya dia sudah lupa.


Awalnya aku melawan. Selama dua minggu, kami bertengkar setiap hari.


Dia pertama kali memukulku ketika pertengkaran itu melampaui batas.


Pertama kali dia memukulku, aku menatapnya tajam.


Awalnya, Seiji-san pucat—mungkin karena merasa bersalah.


Tapi setelah itu, seolah ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.


Tak peduli seberapa tomboy atau cerewetnya aku, secara fisik aku tetap tidak sebanding dengan pria dewasa sepertinya.


Kalau ada yang membuatnya kesal, dia akan memukulku.


Kalau aku melawan, dia akan menendangku.


Siangnya, aku akan menempelkan kompres dingin di memarku. Malamnya, aku dipukul lagi.


“Aku sudah muak! Aku akan pergi dari rumah ini!”


Kalimat itu sudah tak terhitung berapa kali aku teriakkan. Tapi aku tidak pernah benar-benar melakukannya.


Setiap kali aku berkata begitu, dia akan terlihat hancur dan meminta maaf berulang kali. Untuk sementara setelah itu, dia bahkan akan berhenti memukulku.


Kalau dipikir sekarang, tidak meninggalkannya saat itu mungkin yang membuatnya semakin kejam. Dia sadar dia bisa lolos dari perbuatannya.


Kekerasannya semakin parah. Ancaman pergi pun tak lagi mempan.


Dan tetap saja, aku tidak pergi.


Setelah meninggalkan apartemen lamaku untuk pindah ke tempat Seiji, orang tuaku memutus hubungan denganku. Aku kehilangan kontak dengan teman-teman. Aku tidak punya tempat lain untuk pergi.


“Meg, masakanmu makin enak akhir-akhir ini. Dulu sih nyaris nggak bisa dimakan.”


Kadang-kadang, dia berkata seperti itu dan memujiku. Dan itu membuatku senang. Itu juga alasan aku tetap bertahan.


Tapi aku mulai menyadari sesuatu.


Aku pindah ke tempatnya karena kupikir hidupku akan jadi lebih baik. Tapi kenyataannya… hidupku sama sekali tidak sejahtera.


Berkat dia—atau mungkin karena dia—aku belajar semua keterampilan dasar rumah tangga. Tapi aku tidak punya uang jajan. Rasa sakit, baik fisik maupun mental, sudah menjadi hal biasa.


Berapa lama aku harus hidup seperti ini?


Seiji hanya libur satu hari seminggu—hari Sabtu, ketika dia pulang larut setelah seharian bekerja. Itu menjadikan hari Sabtu satu-satunya hari damai bagiku.


Siang harinya, aku akan menatap tempat parkir yang kosong dari balkon, dan entah kenapa, itu menenangkanku.


Tapi saat malam tiba, aku tak bisa berhenti melirik jam.


Jantungku berdebar kencang.


Tangan dan kakiku dingin, dan bahkan berdiri pun membuatku gemetaran.


Dan saat itulah aku menyadari—


...Aku sudah mencapai batasku. Aku tidak sanggup lagi.


Aku berjalan keluar rumah, tanpa arah tujuan. Tidak ada tempat yang kutuju. Seiji tidak akan pulang dalam waktu dekat, jadi aku bahkan belum makan malam. Perutku sedikit keroncongan.


Aku berjalan tanpa arah dan berakhir di sebuah minimarket yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Kupikir aku akan membeli sesuatu untuk dimakan.


Meskipun… aku tidak punya tempat untuk kembali.


Aku tahu aku sudah mencapai batas. Tapi pada akhirnya, aku masih sempat berpikir untuk kembali ke rumah itu.


“…Hah? Yamamoto?”


Dan di sana, di minimarket itu—


Aku bertemu Yamamoto lagi.




Chapter 8: Ratu yang Menangis Minta Tolong


“Meg, ke mana saja kamu selama ini?”

Seiji-san berbicara, jelas-jelas menahan amarahnya.

Setelah sebulan tinggal bersamanya, aku sudah tahu betul betapa lihainya dia mempertahankan topeng ramahnya. Mungkin itulah yang sedang dia lakukan sekarang.

“Tidak, tidak apa-apa. Yang aku sudah menemukanmu sekarang. Aku sangat khawatir, Meg.”

Sudah lima hari sejak aku kabur dari rumah Seiji-san. Hari ini hari Sabtu. Melihatku lagi setelah hampir seminggu, dia tampaknya benar-benar senang.

…Oh, dia benar-benar senang bisa melihatku lagi. Rasa bersalah yang tajam mengoyak dadaku.

Aku tidak tahu harus memasang ekspresi apa, atau bagaimana harus menghadapinya. Tanpa kusadari, mataku terpaku ke lantai, menghindari tatapannya.

“…Maaf.”

Permintaan maaf itu meluncur dari bibirku begitu saja. Saat kami masih tinggal bersama, dia memukulku, menendangku—persis seperti yang sudah diperingatkan Yamamoto. Aku dikendalikan, disudutkan. Tapi mengapa aku merasa menciut seperti ini di hadapannya?  

Awalnya, aku masih cukup berani untuk membantah. Tapi setelah mendengar omelannya terus-menerus, aku mulai meragukan diri sendiri, nyaris percaya bahwa semua ucapannya memang benar. Pada akhirnya, meminta maaf menjadi kebiasaan—sekadar upaya mempertahankan sisa-sisa harga diriku.

“Ya, tidak apa-apa. Ayo pulang.”

“…Pulang?”

“Iya, pulang. Kenapa tampangmu begitu? Kamu tak punya tempat lain untuk pergi selain rumahku, kan?”

Seiji-san terdengar kesal, seolah mengatakan hal yang sudah jelas. Dia benar, sih. Tapi tak seharusnya dia mengatakannya seperti itu. Itu membuatku sedikit jengkel.

Namun mengingat aku menghilang tanpa sepatah kata pun, aku tidak punya hak untuk merasa kesal.

Jika aku merasa sedikit saja bersalah karena meninggalkannya tanpa kabar...

“Ayo, Meg. Kita pulang.”

Sudah jelas apa yang akan terjadi jika aku menerima ajakan Seiji-san. Kemungkinan besar aku akan dipukul lagi, ditendang lagi—dikendalikan sedemikian rupa sampai aku takkan pernah bisa kabur lagi.

Bagaimana bisa jadi seperti ini...?

…Astaga, aku memang bodoh.

Aku selalu mengejar apa yang tidak kumiliki. Saat di SMA, di universitas, bahkan saat tinggal bersama Seiji-san. Aku selalu mencari-cari kekurangan dari apa yang sudah ada di depan mata, tak pernah mau bersabar, selalu melarikan diri. Dan sekarang, beginilah nasibku.

…Tapi kurasa tidak ada yang bisa kulakukan.

Seiji-san baru saja mengingatkanku.  

Aku tidak punya tempat lain untuk pergi.

Dan aku paham maksudnya. Kalau dia harus menampung orang tidak berguna sepertiku, wajar saja kalau dia sedikit mengeluh.

Jadi memang tidak ada yang bisa aku lakukan.

Tidak ada yang bisa aku lakukan...

…Atau begitulah yang kucoba yakinkan pada diriku sendiri.

“Lagipula, kamu kan bakal ngurus semua pekerjaan rumah kecuali bersih-bersih, kan?”

Saat itu, aku teringat akan seseorang yang menemukan nilai bahkan pada orang tidak berguna sepertiku.

Dulu, saat SMA, aku selalu membenci orang itu. Dia cerewet, keras kepala, dan aku tak pernah bisa memahami apa isi pikirannya.

…Aku membencinya.

“Kita bahkan nggak pacaran, kan?”

…Aku membencinya, tapi—

“Bahkan jika kamu berbuat kesalahan, tidak ada yang akan mati.”

Tanpa kusadari...

“Kalau kamu yang masak, aku pasti bakal makan, kok.”

Aku...

“Jangan sentuh aku!”

Oh. Jadi itu alasannya.

Itu sebabnya aku menepis tangan Yamamoto tadi.

Itu sebabnya aku marah saat mencium aroma perempuan lain dari tubuh Yamamoto.

Saat SMA, aku membencinya. Dia cerewet, keras kepala, dan tak bisa dipahami.

“Kalau sampai terjadi sesuatu, itu sudah terlambat.”

Dia tidak pernah mundur.

“...Kerja bagus. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin.”

Dan dia sangat baik pada orang sepertiku.

Di SMA, aku sangat membencinya.

Tapi...  

Tapi—

…Bersamanya terasa nyaman.

Dulu, aku benci ayahku yang cerewet di rumah.

Di universitas, aku tak punya uang dan tak punya kesenangan.

Sebulan hidup bersama Seiji-san adalah masa yang tak ingin kuingat.

Aku selalu mengejar apa yang tidak aku miliki, dan itu membuatku hampa.

Ini pertama kalinya...

...pertama kalinya dalam hidup.

Saat SMA, aku membenci Yamamoto. …Aku sangat membencinya.

Ketika kami bertemu kembali, awalnya kupikir dia sudah berubah. Kupikir dia jadi sedikit lebih lembut.

Tapi aku salah.

Setelah hanya lima hari tinggal bersama, aku bisa melihatnya dengan jelas.

Yamamoto sama sekali tidak berubah.

Sejak SMA hingga sekarang, dia tetap seperti dulu.

Masih cerewet, masih keras kepala—tapi mungkin, hanya sedikit saja, aku mulai memahami cara pikirnya.

Dia mengatakannya dengan jelas, pada pagi setelah kami bertemu kembali, dengan gaya perkenalan aneh yang khas darinya:

“Aku ingin membantumu saat kamu kesusahan.”

Aku membencinya. Karena dia cerewet, keras kepala, dan sulit dipahami—

Tapi aku salah.

Aku hanya memilih untuk berpaling.

Memang benar, Yamamoto itu cerewet, keras kepala, dan aneh—

“Bukankah itu sebabnya aku ada di sini?”

—tapi lebih dari siapa pun, dia hidup tanpa pamrih.

…Seperti pahlawan yang berusaha menyelamatkan dunia, dengan berani membela orang lain.

Dia memiliki semua yang tak kumiliki… Dia memiliki begitu banyak kualitas luar biasa.

Bersamanya terasa nyaman.

Dilindungi oleh seseorang yang pemberani seperti Yamamoto, tinggal bersamanya, meski hanya sebentar...

...itu adalah pertama kalinya dalam hidupku aku merasa tenang.

Itulah kenapa aku marah saat melihat bayangan perempuan lain di samping Yamamoto.

Dia bilang dia akan melindungiku.

Dia bilang dia akan membantuku—

Dia berjanji akan menyelamatkanku!

Aku merasa dikhianati saat berpikir bahwa Yamamoto mungkin akan meninggalkanku  untuk menemukan kebahagiaan dengan perempuan lain—kecemburuan yang sama sekali tidak berhak kurasakan.

“Kamu bisa menginap di tempatku malam ini.”

Tapi aku malah menepis tangan yang dia ulurkan padaku.

…Aku tahu.

Yamamoto takkan mau membantuku lagi.

Apa yang kulakukan padanya adalah membalas kebaikan dengan kekejaman. Kalau ada yang mengkhianati, itu aku—aku yang mengkhianatinya.

Jadi aku yakin… dia takkan mengejarku lagi.

Waktu yang begitu berharga dan tak tergantikan itu… Aku yang membuangnya sendiri.

…Seandainya.

Seandainya Yamamoto ada di sini sekarang, dan aku bisa menceritakan semua ini padanya...?

Tidak. Itu konyol. Aku tahu itu tidak mungkin. Aku tahu. Tapi tetap saja… kalau saja Yamamoto masih bersedia menyelamatkanku...

Apa yang akan dia katakan padaku?

Apakah dia akan mengejekku? Menyebutku bodoh?

Tidak. Dia takkan melakukan itu.

Akankah dia antusias dan bilang dia akan melindungiku?

Tidak… Aku rasa dia juga takkan bilang begitu.

Dia akan… dia akan...

Ah. Aku tahu.

Dia akan berkata begini.

Dia akan duduk diam sebentar, menatapku dengan wajah serius saat aku menunduk. Dia akan menunggu, memikirkannya baik-baik, lalu dengan helaan napas pelan, dia akhirnya berbicara.

“Kamu sendiri mau bagaimana?”

Itulah yang akan dikatakan Yamamoto.

Bukan benar atau salah. Bukan perintah atau nasihat. Dia akan bertanya apa yang sebenarnya kurasakan.

“Pada akhirnya, kaulah yang harus memutuskan.”

Dia selalu menghargai kehendakku, apapun itu.

…Kalau aku meminjam kata-kata Yamamoto, maka sekarang—

Sekaranglah saatnya.

“Yang terpenting adalah mengalami sesuatu yang bisa mengubah pola pikirmu. Dan untuk mengalami hal seperti itu, kamu harus hadapi semuanya secara langsung, berhenti lari dari kenyataan.”

Kamu tidak perlu kesempatan kedua dalam hidup untuk memperbaiki hidupmu.

Kalau kamu benar-benar hadapi momen yang tepat tanpa lari, jika kamu sungguh-sungguh menghadapinya—

Maka mungkin… mungkin saja!

Waktu untuk mengubah pola pikirku adalah sekarang.

Sekarang... 

Yamamoto juga pernah berkata:

“Pada akhirnya, manusia itu makhluk yang egois.”

Egois.

Yamamoto pernah bilang aku tidak egois, tapi aku tak pernah percaya sepenuhnya akan hal itu.

Tapi setidaknya, aku berusaha hidup dengan norma manusia yang paling dasar.

Dan itu bukan cita-cita muluk—itu sederhana saja.

Aku tidak memukul orang. Aku tidak menendang mereka.

Tidak peduli seburuk apapun suasana hatiku.

Aku takkan pernah melakukan hal seperti itu...

Memang, aku pernah bertengkar dengan orang. Tapi aku tak pernah membiarkan emosiku berputar menjadi kedengkian dan menyudutkan seseorang.

…Tapi dia?

“Kamu Cuma dimanfaatkan, tahu?”

“…Hah.”

Tawa kering meluncur dari bibirku.

“Meg, apa yang lucu?”

“…Akhirnya aku mengerti sekarang. Benar-benar mengerti.”

Makna dari kata-kata Yamamoto waktu itu.

Bahwa aku Cuma dimanfaatkan. Dipukul, ditendang, dihancurkan, dikendalikan, diputus dari jalan keluar, dan dibuat bergantung padanya.

Dia mengatakannya lantang, dan kupikir aku mengerti. Tapi jauh di lubuk hati, aku tidak pernah benar-benar berusaha menghadapi kenyataan itu.

Tapi sekarang, setelah aku berhenti lari, aku akhirnya bisa melihatnya.

“…Seiji-san.”

“Ada apa?”

“Aku tidak akan pulang denganmu.”

“…Hah?”

“Kubilang aku tidak akan mengikutimu kembali ke neraka.”

“M-Meg…?”

Dulu aku sempat merasa bahwa gaya bicaranya yang lembut—meskipun lima tahun lebih tua, dia cukup menawan. Tapi sekarang, setelah tahu warna aslinya, itu hanya terasa menjijikkan.

“…Aku tidak akan lapor polisi. Jadi enyahlah dari hadapanku. Sekarang juga.”

“T-Tunggu, Meg! Kamu ngomong apa sih!?”

“Kamu nggak ngerti?”

Tanganku sudah gemetar sebelum aku menyadarinya.

Setelah berkali-kali memukulku.

Berkali-kali menendangku.

Setelah semua yang kau lakukan untuk mengendalikanku…!

Kamu tidak mengerti?

Itulah aku baginya.

Pada akhirnya, aku hanyalah seseorang yang bahkan tidak layak untuk dimengerti.

“Apa kau tahu betapa menderitanya aku karena perbuatanmu!? Dan kau masih bisa bilang kau nggak ngerti!?”

Suaraku bergema di jalanan musim panas yang panas.

Tapi aku sudah tidak peduli. Darahku mendidih. Aku tak bisa berhenti gemetar. Aku hanya membenci pria di depanku dengan segenap jiwa ragaku.

“…Jika aku menyakitimu, aku minta maaf.”

“Maaf? Kau bilang maaf? Untuk apa, tepatnya?”

“Karena memukulmu. Aku minta maaf. Kadang aku Cuma terlalu kesal, dan melampiaskannya padamu. Aku benar-benar minta maaf.”

“Kadang? Kau memukulku setiap hari, dan kau bilang Cuma ‘kadang’!?”

“…Tapi bukankah kamu juga salah?”

“Apa?”

“Kamu nggak pernah nurut. Jadi ya, aku jadi frustrasi. Maksudku, ayolah, ini semua salahmu!”

“Aku sudah berusaha keras memenuhi harapanmu! Kau suruh aku masak, aku masak! Kau suruh aku berhenti kuliah dan jadi ibu rumah tangga, aku keluar! Apa lagi yang kamu mau!?”

“Tapi kamu nggak menghasilkan uang sepeser pun.”

Itu adalah salah satu tuntutannya dulu, aku ingat.

“Dan jujur aja? Masakanmu mengerikan. Setiap malam rasanya kayak disiksa. Berkali-kali aku berpikir lebih baik makan makanan beku.”

“…Ap—”

Aku sudah berusaha keras, begadang, memaksakan diri.

Aku kaget.

Hanya itu—kaget.

Aku tidak bisa memikirkan jawaban. Aku terlalu sibuk menahan tangis.

“…Jadi? Kamu benar-benar nggak mau pulang? Terserah. Aku masih punya pilihan lain. Tapi kamu? Kamu nggak punya siapa-siapa selain aku, kan?”

“…Apa?”

“Kamu nggak punya apa-apa. Nggak punya uang. Nggak punya tempat tinggal. Nggak punya pendidikan. Mulutmu kasar, emosimu meledak-ledak. Cuma aku yang mau menerimamu. Ngerti?”

Aku tidak paham.

Aku tidak paham lagi dengan apa yang pria ini katakan.

Bahwa dia memandangku seperti itu.

Bahwa dia pernah memandangku seperti itu.

Aku bukan apa-apa baginya.

Air mataku mengalir deras.

Aku merasa sangat malu karena pernah mengabdikan diriku pada orang sepertinya... Aku ingin mati.

“Ayo pulang.”

Dia meraih pergelangan tanganku, cengkeramannya menyakitkan.

“Ayo! Aku bilang aku akan menjagamu! Ayo, kita pulang!”

Aku terguncang.

Terhina, kewalahan—aku ingin pingsan saja di sana.

Tapi… sekarang aku tahu, ada hal-hal yang tak bisa kurelakan.

“Tidak! Lepaskan aku!”

Aku tidak bisa… aku tidak bisa ikut dia. Kalau aku ikut, aku takkan pernah bisa menjadi diriku lagi.  

“Berhenti melawan!”

“Lepaskan! Tidak! Lepaskan aku!”

Lepaskan aku.

“Tolong!”

Tolonglah…

Tolong aku—Yamamoto…!

Bahkan saat aku berjuang, aku tahu.
Yamamoto tidak akan membantuku lagi. Aku sudah menerimanya. Aku telah mengkhianatinya, meludahi kebaikannya. Dia pasti merasa sangat dikhianati olehku.

Dia pasti marah.

Jadi tidak mungkin...

Tapi tetap saja, tetap saja...!

Tolong...

“Ayo!”

Dia menarik lenganku dengan kasar.

Aku terhuyung, refleks menggerakkan kaki agar tidak terjatuh.

Satu langkah. Lalu langkah berikutnya.

Aku mencoba melawan, tetapi tidak mungkin mengalahkan kekuatan seorang pria.

Aku tidak bisa menang. Bagaimanapun juga.

Aku benci betapa lemahnya aku.

Tapi lebih dari itu... aku benci betapa bodohnya aku.

Aku benci diriku sendiri karena telah mengkhianati Yamamoto.

Sudah berakhir. 

Ini benar-benar sudah berakhir sekarang...

Aku tahu itu.

Semua ini salahku. Salahku sendiri.

Aku yang membuang bantuan Yamamoto.

Akhirnya aku menyerah. Aku pasrah.

Sambil menangis, terisak...

Aku membiarkannya menyeretku maju.

Dan kemudian—

“Hei! Lepaskan dia!”

Suara seorang pria berteriak saat dia meraih pergelangan tangan bajingan itu.

...Suara itu.

Orang itu—!

Suara yang sangat kukenal.

Seseorang yang ingin kuajak bicara lagi.

Seseorang yang ingin kutemui lagi...

Seseorang yang kuinginkan—kubutuhkan—untuk menyelamatkanku...!

Itu Yamamoto.

“S-Siapa kau!?”

Suara si bajingan jelas-jelas panik.

Yamamoto terengah-engah, keringat mengalir di sisi lehernya.

Hanya melihatnya seperti itu—terengah-engah, basah kuyup oleh keringat—membuat air mataku kembali mengalir.

...Dia sudah mencariku selama ini.

Sejak aku kabur.

...Selama ini.

Aku tiba-tiba ingin menangis lagi.

“Dia tidak ingin ikut denganmu. Aku tak bisa diam saja melihat kejahatan terjadi.”

Yamamoto berpura-pura tidak mengenalku, berperan sebagai orang asing yang ikut campur.

Dan kalau dipikir-pikir, dari sudut pandang orang luar, ini memang situasi yang tepat bagi orang asing untuk ikut campur. Yamamoto bertindak sebagai orang yang kebetulan lewat dan tidak bisa mengabaikan kejadian ini.  

Khas Yamamoto—tenang, bahkan sekarang.

“Ah—ah, maaf atas perhatiannya. Kami hanya sepasang kekasih.”

“Kekasih?”

Sialan.

Kecuali Yamamoto menjelaskan bahwa kami tinggal bersama selama lima hari terakhir, dia tidak bisa secara terbuka menuduh pria ini atas apa yang telah dia lakukan padaku.

“Dia tidak terlihat seperti pacarmu. Dia menangis. Sekarang pun masih.”

“Dia hanya... kadang-kadang histeris. Ini memalukan, tapi hanya itu saja.”

Itu kebohongan yang sangat menjijikkan.

Yamamoto, kamu melihatnya... kan?

“Meski begitu, aku mendengar beberapa hal yang cukup mengganggu. Hal-hal seperti memukul dan menendang. Itu tidak terdengar seperti pertengkaran sepasang kekasih bagiku.”

“Maaf. Aku kehilangan kesabaran. Itu terjadi, tapi tidak pernah serius...”

Yamamoto diam.

Kemudian menghela napas panjang.

“Jadi, apa? Kau mengatakan ini semua hanya pertengkaran kekasih?”

“Ya.”

“Baiklah, tapi kedengarannya tidak seperti itu. Yang kudengar hanyalah kata-kata kasar dan berbahaya. ‘Aku memukulnya.’ ‘Aku menendangnya.’ Itu bukan cara kekasih bertengkar.”

“...Dengar, aku akan berterima kasih jika kau tidak mencampuri urusan pribadi kami.”

Wajahnya berubah kesal. 

“Kau sendiri yang menyeret masalahmu ke ruang publik, bukan aku.”

“Diam. Apa lagi yang harus kulakukan!? Dia yang selalu bikin ulah seperti ini! Tapi aku mencintainya! Itu yang penting, kan!?”

“…Begitu ya. Kalau begitu.”

…Tidak.

Itu tidak benar, kan?

Yamamoto…?

Kau tidak percaya pada alasan menyedihkan pria ini, kan?

“Ya. Kau benar. Ini memang bukan sesuatu yang seharusnya dicampuri orang asing.”

…Rasanya seperti hatiku diseret ke neraka.

Bahkan Yamamoto…?

Si bajingan itu menyeringai, ekspresi lega yang menjijikkan menyebar di wajahnya. Hanya melihatnya saja sudah membuat darahku mendidih.

Yamamoto menghela napas lagi.

“Ayo ke kantor polisi.”

“…Apa?”

“Polisi. Apa, jangan bilang kau tidak tahu?”

Dia tampak terkejut—benar-benar kosong—sampai akhirnya, setelah beberapa saat, dia seperti tersadar kembali.

“K-Kenapa aku harus ke kantor polisi!?”

“Kau sendiri yang bilang, kan? Bahwa hubungan kalian bukan urusan orang asing. Justru karena itulah kita pergi. Kau bilang sendiri—ini bukan urusanku. Aku melihat apa yang terjadi dan menganggap kau bersalah, tapi jelas kau punya cerita versimu sendiri. Itu berarti aku sudah kehilangan posisi netral. Jadi ayo pergi ke tempat yang bisa menilai secara adil—ke kantor polisi. Mereka bisa menilai semuanya dari sudut pandang pihak ketiga yang netral.”

“T-Tidak perlu sejauh itu, kan!?”

“Kalian baru saja bertengkar hebat di tengah-tengah pemukiman, dan sekarang ada gadis yang menangis. Tentu saja polisi harus dilibatkan.”

Baru sekarang aku menyadari kami berada di tengah permukiman. Aku terlalu terbawa suasana sampai tidak menyadarinya.

Beberapa tetangga sudah keluar dari rumah dan memperhatikan kami dengan tatapan cemas.

“I-Ini bukan masalah besar, kan?”

“Tidak, ini masalah besar. Sekarang, bahkan hal sekecil menginjak kaki orang di kereta saja bisa melibatkan polisi.”

“T-Tapi…”

“Hei. Bukankah responsmu agak aneh?”

“Tch.”

“Pertama kau bilang orang asing tidak boleh ikut campur. Lalu saat aku usulkan solusi dari pihak berwajib, tiba-tiba kau menolak. Jadi mana yang benar? Kau pikir kalian berdua—dia yang jelas-jelas menolakmu, dan kau yang mengabaikannya—bisa menyelesaikan ini sendiri?”

“K-Kami bisa.”

“Omong kosong. Kalau bisa, ini tidak akan meledak di depan umum sejak awal.”

Pria itu tutup mulut, wajahnya berkerut seolah baru menggigit lemon.

“Sejujurnya, kau tidak terlihat seperti orang yang mencoba menyelesaikan apapun. Terus terang, semua yang kau katakan itu berantakan. Cobalah lebih konsisten sedikit.”

Dia tetap diam—tapi tiba-tiba melotot ke arah Yamamoto dan menggeleng, mungkin berpikir diam berarti kalah.

“K-Kami baik-baik saja. Kami bisa menyelesaikan ini sendiri.”

“…Boleh aku tanya sesuatu?”

“A-Apa lagi sekarang?”

“Kenapa kau begitu menolak untuk ke kantor polisi?”

Wajahnya tampak sedikit memucat.

“Mereka jauh lebih netral daripada aku. Jadi mengapa kau bersikeras menolak?”

“I-Itu…”

“Apa ada alasan kau tidak bisa ke kantor polisi?”

Udara di sekitarnya terasa mendingin.

“T-Tentu saja tidak!”

“Aku sempat melihat tadi—ada cukup banyak memar di lengannya.”

Bisikan menyebar di antara kerumunan kecil itu. Simpati padaku, kemarahan pada dia—suara-suara mulai bergemuruh di sekitar kami.

“Apa ini?”

“…Dia jatuh.”

“Beberapa terlihat masih baru. Yang lain sudah mulai sembuh.”

“I-Itu…”

“Dan ini?”

“…”

“Dan ini?”

“D-Dia jatuh.”

“Dia jatuh sesering itu?”

“…Ya.”

“Lalu kau tak pernah kepikiran untuk menolongnya, meskipun dia jatuh sesering itu?”

“I-Itu…”

“Kenapa tidak?”

“…”

“Kau bilang kalian adalah sepasang kekasih. Kenapa kau tidak mencoba menolong orang yang kau cintai, ketika dia terus-terusan jatuh seperti itu?”

Untuk beberapa saat, dia hanya menatap tanah dalam diam. Kemudian, dengan helaan napas panjang, perlahan dia menatap ke atas.

“…Kau terus saja…”

“Hah?”

“Kau terus saja ngoceh—siapa sih kau sebenarnya!?”

Akhirnya dia meledak, berteriak sekeras-kerasnya.

Suara nyaring dan melengkingnya menggema di pemukiman yang diterangi lampu malam.

“Kami kekasih! Kami tinggal bersama! Kami saling mencintai! Apa yang kami lakukan itu urusan kami! Kau tak berhak ikut campur!”

“…Kalian saling mencintai?”

Aku melirik wajah Yamamoto—lalu segera memalingkan pandanganku.

Ekspresinya terlalu intens. Aku tak sanggup menatapnya.

“A-Apa!?”

“Kalau kau sangat mencintainya, lalu di mana kau selama lima hari dia menghilang?”

Topeng rapuh yang selama ini dia pertahankan hancur dalam sekejap. Klaim itu—bahwa dia mencintaiku—adalah tameng terakhirnya, alasan terakhirnya.

Tapi hanya itu saja—alasan.

“Aku mencarinya!”

“Kau melapor ke polisi?”

“…Aku…”

“Jadi tidak.”

“B-Bukan begitu…!”

“Kalau kau benar-benar mencintainya, bukankah itu hal pertama yang akan kau lakukan!?”

Teriakan Yamamoto menggema di jalanan, penuh bobot dan amarah.

Berbeda dari ledakan kekanak-kanakan pria itu, suara Yamamoto membawa kekuatan yang nyata.

Pria itu tampak ciut di hadapannya.

…Kalau saja aku tidak merasakan emosi yang begitu kuat—perasaan bahwa seseorang telah membelaku—mungkin aku juga akan takut pada Yamamoto saat itu.

Begitu dahsyatnya ekspresi wajahnya saat ini.

“…A-Aku tidak bisa. Aku sibuk.”

“Kau bilang padanya tadi, kan?”

“…Apa?”

“Kau bilang dia tidak pernah menuruti keinginanmu. Itulah kenapa kau kehilangan kesabaran.”

Dia terdiam.

“Kau tidak berbeda. Kau tidak melakukan apa pun untuknya. Kalian memang tinggal bersama, tapi kau tidak pernah menenangkannya, tidak pernah mendukungnya, bahkan tidak pernah mencoba memahami apa yang dia alami. Yang kau lakukan hanya mengkritik dan menjatuhkannya. Setiap kesalahan yang kau buat, kau lemparkan padanya. Dan sekarang kau bilang kau mencintainya? Jangan bercanda!”



Pria itu benar-benar menciut, air mata menggenang di sudut matanya.

“Apa yang kau rasakan itu bukan cinta. Itu Cuma pelecehan. Kau seperti anak kecil yang menindas orang lain hanya untuk merasa lebih unggul.”

Suara Yamamoto kasar, dadanya naik turun saat berbicara.

Dia semarah itu—demi aku. Untuk orang sepertiku.

Apa… Perasaan apa ini?

Kenapa jantungku berdegup sekencang ini…?

“Katakan lagi.” Kata Yamamoto sambil menatapnya tajam.

“…Apa?”

“Kau bilang tadi, kan? Kau bilang padaku—semua ini salahnya. Jadi ulangi. Katakan lagi. Di sini. Sekarang juga. Setelah mendengar semua yang barusan kukatakan, ulangi lagi. Katakan kalau semua ini salahnya.”

Jika kau benar-benar berpikir kau bisa.

Maksud Yamamoto jelas dalam suaranya.

Tapi pria itu tidak menjawab.

Tidak padaku. Tidak pada Yamamoto.

Diamnya saja sudah cukup sebagai pengakuan bersalah.

“…Aku minta maaf.”

Permintaan maaf itu datang entah dari mana.

“Maaf. Aku… Aku benar-benar minta maaf.”

Semua kesombongannya lenyap. Dia menundukkan kepala, hampir membungkuk pada kami.

“Maaf. Kadang aku Cuma… kehilangan kendali. Dan di saat-saat seperti itu, dia selalu menerimaku. Dia membiarkanku bersandar padanya. Itulah kenapa… aku memanfaatkannya.”

Dia berbicara dengan ekspresi kesepian di wajahnya.

Dan untuk sesaat, aku merasa sedikit simpati. Hanya sedikit.

Tentu saja, aku tidak merasa ingin kembali padanya.

Yamamoto pernah menjelaskannya—siklus kekerasan dalam rumah tangga.

Apa yang dilakukan Seiji-san cocok sekali dengan pola itu.

Mengatakan sesuatu yang simpatik, mendapatkan sedikit belas kasihan, lalu mengulanginya lagi.

…Mungkin ini benar-benar seperti penyakit.

Mungkin Seiji-san tidak tahu cara lain untuk melampiaskan frustrasi selain melampiaskannya orang lain.

“Sudah cukup.”

Mungkin itu sebabnya aku berkata begitu.

Seiji-san tak mengangkat kepalanya.

“Aku tidak akan kembali padamu. Tapi sekarang sudah cukup.”

“…Aku tahu aku tidak punya hak untuk mengatakan ini.”

Dia mendongak, ekspresinya penuh derita.

“Tapi aku ingin kamu pulang. Aku… aku tak bisa hidup tanpamu. Aku tak butuh apa pun selain dirimu!”

“…Jangan ucapkan hal-hal yang tidak kau maksud.”

“Ini bukan kebohongan! Bukan!”

“…Hentikan.”

“Tolong kembalilah, Meg…”

Permohonannya yang putus asa—dia tampak begitu hancur—akan bohong jika kukatakan hatiku tidak goyah.

Aku pernah tinggal bersamanya. Mungkin itu bukan cinta, tidak sepenuhnya. Tapi aku pernah memilih bersamanya.

…Dan mungkin…

Mungkin jika kami tinggal bersama lagi…

Kali ini, bisa berbeda…

“…Hei.”

Cipratan kenyataan yang dingin datang dari Yamamoto.

“Perban apa itu di lehermu?”

Tadi, saat Seiji-san menundukkan kepala, kerahnya agak bergeser, memperlihatkan sesuatu di lehernya. Yamamoto melihatnya.

Wajah Seiji-san langsung pucat.

Dan aku? Aku tidak sampai pucat, tapi panas dalam diriku langsung padam.

Baru saja aku mati-matian mencoba kabur darinya. Dan sekarang, langkah demi langkah, aku mulai mendekat.

Aku mengulurkan tangan—dan tanpa berpikir apakah itu akan menyakitinya—aku menarik paksa perban di lehernya.

Tak ada luka di bawahnya.

Yang ada… adalah sebuah cupang.

Kuperjelas: aku tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya.

Yang berarti—

Tak perlu ditebak.

Tak perlu kupikirkan lagi.

Jawabannya sudah jelas.

Jawabannya memang selalu jelas.

“…Kau tidak mengajukan laporan orang hilang.”

“Meg, tunggu, aku bisa jelaskan—”

“Jadi kau sama sekali tidak mencariku.”

“Bukan begitu—!”

“Jadi semua omongan soal khawatir itu… kebohongan belaka.”

“Ini tidak seperti yang kau kira—!”

“…Begitu ya.”

“Meg!”

Ah. Jadi begitu.

Semuanya akhirnya masuk akal.

Hari Sabtu. Satu-satunya hari damai dalam seminggu ketika tinggal bersamanya. Dia selalu bilang ada kerjaan dan pergi dengan mobilnya.

Setiap Sabtu. Tanpa terkecuali.

Tapi tunggu dulu.

Dia tidak pergi bekerja dengan mobil—dia naik kereta.

Dan dia bekerja di bank.

Bank biasanya tutup di hari Sabtu.

…Jadi.

Kemana sebenarnya dia pergi setiap akhir pekan?

“Jadi? Kamu benar-benar nggak mau pulang? Terserah. Aku masih punya pilihan lain. Tapi kamu? Kamu nggak punya siapa-siapa selain aku, kan?”

Bagaimana dia bisa mengatakan hal seperti itu?

Sakit. Rasanya sangat menyakitkan. Aku menangis saat dia mengatakannya.

Tapi sekarang, aku mengerti.

Sekarang aku paham kenapa dia bisa mengatakannya padaku.

Kenapa dia menganggapku bisa digantikan.

…Tentu saja.

Ternyata itu sebabnya.

Kupikir akulah yang harus merasa bersalah—tinggal dengan seseorang yang bahkan tidak kucintai, menjadi beban.

Tapi ternyata aku tak perlu merasa bersalah sama sekali.

Karena dia juga tidak mencintaiku.

Karena dia benar-benar punya orang lain. 

Penggantiku.

Seorang wanita yang cukup bodoh untuk meninggalkan cupang se-mencolok itu di lehernya… Dia benar-benar punya orang seperti itu.

“Aku Cuma seseorang yang kau manfaatkan, kan?”

“Meg—tunggu. Meg, tolong, tunggu.”

Saat dia mengulurkan tangan padaku, aku berkata:

“Mati sana.”



Chapter 9: Ratu yang Tegas

Pagi tiba setelah malam yang lebih intens dari apapun yang pernah kualami. Aku bangun di jam biasa.  

Sehari setelah Hayashi Megumi kabur dari rumahku, aku memulai rutinitas bersih-bersih pagiku sendirian.

Hari itu hari Sabtu. Dengan kata lain, untuk pertama kalinya dalam seminggu aku kembali hidup sendiri. Aneh. Tidak ada yang benar-benar berubah, tapi ruangan terasa sedikit lebih luas dari biasanya. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan kehadirannya.

Belakangan ini, setiap kali aku fokus bersih-bersih rumah seperti ini, sudah menjadi kebiasaan baginya untuk bangun dan mulai menyiapkan sarapan.

Tapi hari ini, tak ada pilihan selain membuat sarapan sendiri.

Dengan enggan, aku menghentikan kegiatan bersih-bersih dan mengambil satu cup jelly dari kulkas. Rasa anggur. Rasanya hambar—tidak terlalu enak.

Setelah makan, motivasiku untuk bersih-bersih langsung hilang, jadi aku hanya duduk di meja dan menyalakan TV. Waktu pun berlalu sia-sia dengan acara bincang-bincang pagi sebagai latar belakang.

Kapan ya Hayashi akan kembali?

Tadi malam, setelah keributan di kuil itu, dia akhirnya dibawa ke pos polisi oleh petugas yang datang terlambat.

Kupikir dia tidak pulang karena sudah terlalu larut. Akan berisiko membiarkan seorang gadis berkeliaran sendirian di malam hari. Mungkin mereka membiarkannya menginap di kantor polisi atau semacamnya.

Tapi sekarang, meski sudah siang begini, dia masih belum kembali. Aku mulai khawatir. Jangan-jangan dia terlibat masalah aneh lagi.

Sungguh.

Cepatlah pulang, dasar bodoh.

Sambil mengomel dalam hati, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya menatap kosong ke arah TV.

Bahkan melihat selebriti tertawa di acara itu tidak membuatku ingin ikut tertawa.

Tanpa kusadari, jam sudah mendekati waktu makan siang.

“Baiklah, kalau begitu.”

Aku mengerang seperti orang tua saat akhirnya berdiri.

Kriiieet.

Pintu terbuka perlahan dengan suara berderit, dan—

“Oh, kamu telat.”

Di sanalah dia. Hayashi, orang yang kukhawatirkan, berdiri di ambang pintu.

Sedikit ketegangan di dadaku terangkat saat menyapanya dengan santai.

“…Iya.”

Tapi suaranya tidak punya semangat.

“Hei, kenapa? Jangan-jangan terjadi sesuatu lagi?”

Melihatnya seperti itu malah membuatku semakin cemas, jadi aku mendesaknya untuk bicara.

Tapi Hayashi hanya berdiri di ambang pintu, tidak mengatakan apa-apa.

Ganti rencana.

Makan siang bisa menunggu. Aku perlu tahu apa yang terjadi padanya.

Tadi malam, saat dia dibawa ke pos polisi, aku sempat mencoba ikut. Tapi petugas menghentikanku.

Kupikir, karena aku yang ikut campur di tengah pertengkaran mereka di kawasan pemukiman, aku seharusnya boleh ikut. Tapi setelah melihat memar di lengannya, petugas itu mungkin memutuskan bahwa ini terlalu serius untuk dibicarakan di depan orang luar. Aku tidak punya pilihan selain pulang sendirian.

Tetap saja… melihat dia begitu murung seperti ini, aku berharap tadi aku mengatakan yang sebenarnya dan ikut dengannya.

Singkatnya—

Aku ingin menebus kesalahanku. Cepat.

Pikiran egois itulah yang mendorongku untuk bertanya lagi.

“Apa yang terjadi? Ceritakan padaku.”

Lagi-lagi, dia tidak menjawab.

“Setidaknya masuk dulu.”

“…Boleh?”

“Hah?”

Tanpa menjawab, Hayashi melangkah masuk ke dalam ruangan, kepalanya masih tertunduk.

…Yah, setidaknya dia sudah pulang sekarang. Aku sedikit lega.

“Mau mandi?”

“Hah?”

“supaya kamu merasa mendingan.”

Lagi-lagi, dia tidak menjawab, tapi dia mulai bergerak. Dia menuju ke kamar mandi.  

…Jika dia tidak mau membicarakannya, maka akan kejam untuk memaksanya.

Tidak ada yang bisa kulakukan.

Aku memutuskan berhenti mendesaknya dan membuat makan siang saja.

Dinding yang tipis.

Aku bisa mendengar suara shower melalui dinding dari dapur.

Shower berhenti.

Kudengar pintu kamar mandi terbuka.

Lalu, tanpa jeda yang lama, pintu ruang ganti pun terbuka.

“Hei.”

Itu suara Hayashi.

“Ya?”

Aku berbalik—dan membeku.

Rambut yang masih meneteskan air.  

Paha yang halus dan sehat.  

Pipi yang memerah.  

Hayashi masuk ke dapur hanya mengenakan handuk mandi. Entah kenapa, dia mengepalkan tangannya erat-erat seperti anak kecil yang keras kepala, dan pandangannya tetap tertuju ke lantai. Dia tidak mencoba menatap mataku sekali pun.

Dia menghela napas pelan, dan aku tersentak.

Rasanya seperti mimpi. Memang sih, saat pria dan wanita tinggal serumah, hal seperti ini bisa terjadi… secara teori. Tapi aku tak pernah membayangkan Hayashi akan melakukan hal seperti ini hanya dalam waktu singkat saat tinggal bersama.

Maksudku, ayolah—waktu SMA dulu, kami saling benci.

Tak mungkin. Tidak dalam sejuta tahun pun kami akan jadi pasangan di mana dia akan muncul nyaris telanjang di depanku.  

…Tunggu dulu.

Mencoba memprovokasiku?  

Mencoba merayuku?  

Tidak mungkin, kan?  

Ya, itu dia.  

Dia mungkin Cuma lupa membawa pakaian ke ruang ganti.

Ah, aku paham sekarang. Itu penjelasannya.

Dasar ceroboh.

Gahahaha!

…Kalau dipikir-pikir, dia memang sempat menggodaku saat pertama kali pindah ke sini.

“Hei! Jangan sentuh handuknya!”

Aku berteriak.

Seolah memberitahuku bahwa aku salah, dia meraih handuk itu—seperti ingin melepaskannya…!

Ini nyata.

Ini benar-benar terjadi…!

Dia…

Dia benar-benar mesum!

“P-Pakai baju sana!”

Aku mengatakannya tanpa bisa menahan diri.  

Hayashi menggigit bibir bawahnya, masih menunduk, gugup. Entah kenapa, gerak-geriknya tampak polos. Dia terlihat… tegang.

Ketegangannya menular padaku juga, dan aku mulai merasa aneh.

Aku menampar pipiku sendiri untuk menenangkan diri.

“Kamu ingat apa yang pernah kukatakan?”

“Mengatakan apa?”

Pipiku terasa perih.

“Kamu menyelamatkanku. Tidak, bukan Cuma itu. Aku berutang budi begitu besar padamu, sampai-sampai seumur hidup pun mungkin belum cukup untuk melunasinya.”

“…Hah?”

“Itu sebabnya…”




Hayashi menarik napas dalam-dalam.

“Kamu berhak melakukan apa pun terhadapku—terhadap tubuhku. Dan aku... aku punya kewajiban untuk menuruti kata-katamu. Apa pun yang kamu mau, akan kulakukan. …Aku harus melakukan apa pun yang kamu minta.”

Sejauh apa maksudnya saat dia bilang “apa pun”…?

Yah, mengingat dia berdiri di depanku dengan pakaian seperti itu, dia pasti sudah memantapkan diri untuk dijadikan pelampiasan nafsuku. Bahkan, mungkin itulah alasan dia berdiri di sini seperti ini—karena dia ingin aku melakukannya.

Dia pernah bilang kalau dia tidak punya apa-apa.

Dan sekarang, tampaknya dia merasa jauh lebih berutang padaku daripada yang pernah kusadari.

Apa yang bisa dia berikan sebagai balasannya?

Ini pasti kesimpulan yang dia capai, dengan caranya sendiri.

“…Ini mungkin terdengar aneh, tapi—aku percaya diri.”

Suaranya terdengar berat.

“Dia bilang masakanku mengerikan, tapi kalau soal beginian… dia selalu bersemangat.”

Aku tetap diam.

“Jadi…”

“Tidak, terima kasih.”

Aku memotongnya, dan dia menundukkan kepala.

“…Kenapa tidak?”

Tapi nadanya bukan nada putus asa.

“Kenapa tidak? Kenapa kamu tidak mau?!”

Kalau ada pun, dia terdengar marah. Air mata menggenang di sudut matanya—mungkin karena frustrasi?

Apa dia benar-benar sepercaya diri itu?

“Kamu akan bilang aku harus menghargai tubuhku atau semacamnya? Sudah terlambat! Tubuh ini sudah tak ada harganya lagi! Jika itu berarti aku bisa tetap tinggal di sini, aku akan lakukan apa pun…! Aku bisa lakukan apa pun!”

Jika itu berarti dia bisa tetap tinggal di sini, ya…?

Sama seperti aku merasa rumah ini terasa kosong tanpa kehadirannya selama lima hari kepergiannya, mungkin dia juga merasakan hal yang sama.

…Tidak, mungkin bukan itu.

Karena gadis ini—

“Ini satu-satunya tempat yang kupunya… Aku tidak punya tempat lain untuk pergi.”

Ah… begitu .

“Aku sudah melakukan hal keji padamu. Kau menampungku, meski tidak harus. Kamu mengulurkan tangan padaku… dan aku malah menepisnya lalu lari. Aku membawakanmu masalah yang justru kamu takutkan akan terjadi—”

Dia merasa bersalah.

Pertama, karena pergi dari rumah tanpa sepatah kata pun.

Kedua, karena ditemukan mantan pacarnya dan membuat keributan.

Dan ketiga, karena menyeretku ke dalam semua itu.

Jadi sekarang, dia berpikir—

Bahwa aku sudah muak padanya.

Bahwa aku tak mau lagi dia di sini.

Dan itulah kenapa dia sampai melakukan hal seekstrem ini.

“Kau bodoh, tahu nggak?”

“Aku nggak bodoh…”

“Iya, kau bodoh. Sangat bodoh.”

“Enggak!”

“…Kau benar-benar bodoh.”

Aku menghela napas.

“Karena kamu nggak ngerti. Sama sekali nggak ngerti.”

Aku menatap Hayashi, yang sedang menyeka air matanya, dan melanjutkan.

“Kamu mau menyeretku turun ke levelnya?”

“…Levelnya?”

“Pria yang mencoba mengendalikanmu. Yang menyakitimu. Yang memperlakukanmu sebagai miliknya.”

Aku menatapnya langsung.

“Aku tidak akan merenggut kebebasanmu. Aku tidak akan mengendalikanmu, tidak akan mengikatmu, atau mengklaimmu sebagai milikku. Karena kalau aku melakukan itu, berarti aku sama saja dengannya—hal-hal yang kuanggap salah. Aku tidak percaya sedikit pun bahwa yang dia lakukan itu benar. Jadi aku tidak akan melakukan hal yang sama. Kalau aku memperlakukan tubuhmu seperti itu… aku akan kehilangan hak untuk mengutuk perbuatannya.”

“…Apa maksudmu sih?”

“Maksudku ya itu. Tidak lebih, tidak kurang. …Jadi sana, pakai baju.”

“Apa-apaan, sih…”

“Sudah kubilang—”

Aku siap menjelaskannya lagi, sebanyak yang diperlukan agar dia mengerti.

Tapi lalu aku melihat wajahnya.

Air mata mengalir deras di pipinya.

Jadi aku tidak bisa berkata-kata lagi.

“…Kenapa?”

Suaranya gemetaran.

“Kenapa kamu begitu baik…?”

Itu jadi titik puncaknya.

Dia terjatuh, terduduk di lantai.

Apa aku mengatakan sesuatu yang baik? Semua yang kukatakan hanyalah memaksakan keyakinanku sendiri.

Tapi entah kenapa, kata-kata itu sangat menghantamnya.

“Uwaaaah… uwaaaaaaaaah!”

“…Kamu benar-benar nangis sesenggukan.”

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut.

Dia sama sekali tidak terlihat seperti “ratu” yang dulu sering disebut-sebut waktu SMA. Dia seperti anak kecil, menangis sejadi-jadinya.

Mungkin karena ketegangan yang selama ini ditahannya akhirnya lepas. Kalau tidak, aku ragu aku bisa melihat sisi dirinya yang seperti ini.

Sedikit, hanya sedikit saja, aku merasa lega.

Aku memang pernah bilang akan membantunya. Akan buruk sekali kalau ternyata aku tidak bisa menunjukkan hasil apa pun. Jadi mungkin aku akhirnya menepati janji itu, setidaknya sedikit.

…Meskipun rasa lega itu tidak bertahan lama, karena menenangkan Hayashi yang sedang mengamuk ternyata jauh lebih sulit dari yang kuduga.

×××

“Maaf…”

Sekitar satu jam kemudian, akhirnya dia berhenti menangis dan meminta maaf.

“Nggak apa-apa. Tapi… udah sana, cepat pakai baju.”

“Oke. …Hatchi.”

Dengan bersin yang imut, Hayashi—masih hanya mengenakan handuk—berjalan menuju ruang ganti. Rambutnya yang tadinya basah kini sudah mengering, dan kulitnya yang memerah sudah kembali normal.

Aku menghela napas dan kembali melanjutkan masakan yang tertunda di dapur. Nasi yang kusiapkan untuk nasi goreng sudah agak mengeras… tapi mungkin teksturnya malah jadi pas?

Aku mengambil beberapa butir telur dari kulkas dan lanjut memasak lagi.

Tak lama kemudian, Hayashi keluar dari ruang ganti.

“Kamu nggak kedinginan? Jangan sampai masuk angin ya.”

Aku tidak bisa menoleh karena sedang di depan kompor. Tapi kudengar langkah kakinya berhenti di belakangku.  

Rupanya, dia berdiri di sana, diam, sejak tadi.

Padahal tidak ada alasan baginya untuk tetap diam di situ. Malah, kehadirannya membuatku susah berkonsentrasi—memasak bukanlah keahlianku.

Tapi kalau kusuruh dia pergi, dia pasti bakal murung lagi…

Jadi kuputuskan untuk fokus menyelesaikan masakan. Untungnya, nasi goreng tidak butuh waktu lama. Begitu telur dan bahan lainnya dimasukkan lalu diaduk, tinggal disajikan.

“Mau makan seberapa banyak?”

Setelah mematikan kompor, akhirnya aku menoleh.

Seperti yang kuduga, Hayashi masih berdiri di belakangku. Kepalanya tertunduk, seperti anak kecil yang sedang menunggu dimarahi orang tua. Dia tampak sangat tidak nyaman.

“Berdiri terus… nggak capek?”

“…Hei, Yamamoto?”

“Hm?”

“Aku benar-benar boleh tinggal di sini?”

Kata-katanya tadi kembali terngiang di kepalaku.

Dia sempat bilang sesuatu yang aneh—sesuatu seperti, kecuali dia memuaskan hasrat seksualku, dia tidak berhak tinggal di sini. Sebuah kesimpulan yang sama sekali tak berdasar.

…Seriusan.

Aku jengkel

Kupikir aku sendiri cukup canggung secara sosial, tapi gadis ini berada di level yang berbeda. Dulu waktu SMA, dia selalu dikelilingi teman, dielu-elukan… kebalikan dariku. Tapi pola pikirnya, selalu kelewat ekstrem.

“…Kamu mau bagaimana, Hayashi?”

“…Apa maksudmu?”

“Hah?”

“Ini apartemenmu, kan? Jadi kenapa kamu tanya pendapatku? Apakah aku boleh tinggal atau tidak—itu keputusanmu!”

…Apa itu sesuatu yang perlu membuatnya marah?

Aku hanya bisa menatap kosong saat dia tiba-tiba meledak. Tapi dari sorot matanya yang tajam, aku bisa merasakan betapa putus asanya dia.

Tetap saja, pertengkaran bodoh ini—jika ada yang harus disalahkan, itu bukan aku. Itu Hayashi.

Maksudku, dialah yang kutampung di sini, tapi malah cari gara-gara dengan orang yang menampungnya. Tapi tentu saja—aku tidak benar-benar berpikir itu masalahnya.

Mungkin dari luar, aku kelihatan seolah mengabaikan pertanyaan seriusnya dengan candaan, bahwa aku tidak tulus. Tapi bagiku, itu tidaklah akurat.

“Ayolah, udah kujawab sejak lama.”

Pada titik ini, kenapa kita masih bahas ini?

Soal dia bisa tinggal atau tidak—aku sudah menjawabnya.

“Sudah kubilang, aku di pihakmu. Kalau tinggal di sini bisa membuatmu jauh dari mantanmu itu, maka tidak masalah bagiku untuk menampungmu. Aku bahkan bersedia meminjamkanmu uang asal kamu janji balikin. Aku udah bilang, kan?”

Hayashi tampak malu—seolah baru mengingatnya.

“Makanya aku nanya. Apa kau mau tinggal atau tidak? Aku udah jelas menyampaikan niatku. Sisanya tergantung kamu.”

“…Maksudnya apa sih?”

“Aku juga udah bilang sebelumnya. Hidupmu—kalau bukan kamu sendiri yang ambil keputusan, maka itu tak ada artinya. Karena itu, kamu yang harus memutuskan, mau tinggal atau tidak.”

“Apa-apaan sih!”

…Dia marah lagi. Ini sungguh tidak masuk akal.

Kenapa?

Aku sudah konsisten. Mau dia setuju atau tidak, itu urusan lain, tapi aku sudah mengatakan hal yang sama dari awal. Kalau dia tidak suka, dia harus terima bahwa beginilah aku.

“…Siapa pun akan berpikiran sepertiku. Benar, kan? Kamu jadi ikut terlibat karena aku. Dia sudah lihat wajahmu. Kamu ikut terseret masalah!”

“Terus kenapa?”

“Gimana kalau dia berhenti incar aku dan malah ngejar kamu? Kamu nggak tahu apa yang mungkin dia lakukan padamu! Tapi tetap saja, tetap saja… kenapa kamu masih mau menampungku?!”

Kenapa, ya?

“Waktu aku bilang akan menampungmu, aku sudah tahu situasinya. Aku menawarkan diri meski begitu. Kamu kira aku nggak sadar aku mungkin bakal ikut terseret masalahmu?”

Aku menghela napas lelah.

“Aku sudah mengira itu mungkin terjadi. Aku tahu aku bisa kena imbasnya. Tapi meski begitu, aku tetap memutuskan untuk membantumu. Jadi tidak, aku tidak akan berubah pikiran Cuma karena ini. Itu saja.”

“…Kenapa?”

Dia terlihat seperti akan menangis lagi. Suaranya gemetar saat dia menatap lantai, seolah menyalahkanku lewat nadanya.

“Kenapa kamu sampai segitunya untukku… untuk orang sepertiku?”

“Sederhana saja.”

Aku tersenyum.

“Memperbolehkanmu tinggal. Menjauhkanmu dari masalah. Tinggal bersamamu untuk sementara waktu… Semua itu bisa kulakukan. Makanya kulakukan.”

Dia tampak tercengang.

“Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan, dan aku punya kesempatan untuk melakukannya, biasanya akan kulakukan. Kalau aku lihat orang males ngerjain pekerjaan rumah, aku bakal mikir, ‘Jangan bikin orang lain ngerjain sesuatu yang bisa kau kerjakan sendiri.’ Dan kalau aku lihat ada yang melimpahkan tugas ke orang lain, aku akan kesal. Jadi kalau itu sesuatu yang bisa kulakukan—aku biasanya membantu.”

Karena…

“Kalau aku mulai menghindari hal-hal yang bisa kutangani sendiri—kalau aku serahkan ke orang lain—aku nggak punya hak untuk protes soal orang-orang yang nggak kusukai.”

…Dan kemudian aku sadar.

“Sebenarnya, itu bukan satu-satunya alasan.”

“…Apa?”

“Hamburger yang kamu buat itu. Aku pengen makan lagi.”

Egois dan mementingkan diri sendiri seperti biasa.

Tapi Hayashi tidak terlihat malah atau jengkel. Justru, entah kenapa, matanya mulai berlinang air mata.

“…Hei, Yamamoto?”

“Hm?”

“Kalau gitu... jika itu sesuatu yang bisa kamu lakukan, kamu akan bantu apa pun?”

“…”

“Kalau aku membuatkanmu hamburger lagi… kamu akan lakukan apa pun yang kuminta?”

“Tentu saja.”

Dia menyeka air matanya dengan tangan.

“Yah… aku nggak bisa kasih uang atau nyerahin apartemen ini sih.”

“Kalau begitu… ada dua hal yang ingin kuminta.”

“Apa?”

Bahkan ketika kutanya, dia tak langsung menjawab.

Dia menundukkan kepala.

Tetap Diam.

Ragu-ragu…

Lalu, seolah menguatkan diri, dia mengangkat wajah.

“Aku ingin kamu mengizinkanku tinggal di sini lebih lama lagi.”

“Baiklah.”

Aku langsung mengangguk. Sebenarnya, tidak perlu lagi kukatakan. Sejak awal, aku memang berniat membiarkan dia tinggal.

Tetap saja, saat dia mendengar jawabanku, ekspresinya tampak begitu bahagia.

Seperti sedang menahan senyum sekuat tenaga.

Setelah hening sejenak, dia menatapku dengan serius lagi.

Lalu dia bicara.

Dia bilang ada dua hal yang ingin dia minta.

Yang pertama, agar dia diizinkan tinggal di sini.

Dan yang satunya lagi…

“…Jujur, masih ada bagian dari diriku yang belum bisa menerima semuanya.”

Hayashi kembali menunduk, lalu mulai bicara pelan.

“Aku nggak bisa bohong. Karena dia, aku kehilangan banyak hal. Ponsel. Kuliah. Teman-teman. Keluarga… Ada hal-hal yang mungkin nggak bakal bisa kudapatkan kembali. Karena satu keputusan buruk, aku kehilangan begitu banyak. Aku takut. Aku takut, Yamamoto… menghadapi apa yang telah hilang.”

...Meski begitu.  

Meski begitu, Hayashi mengangkat wajahnya.

Ekspresinya penuh tekad.

“Aku akan melapor ke polisi.”

…Sesaat setelah aku menampungnya, aku sempat mencoba meyakinkannya untuk melaporkan mantannya ke polisi. Tapi gagal. Dia menolak, dan aku pun menyerah—setidaknya di permukaan. Di balik layar, aku masih terus mencari cara untuk mengubah pikirannya.

Tapi tak kusangka-sangka...  

Kalau dia sendiri yang akan mengatakannya.

Dari caranya bicara, aku menyadari sesuatu: waktu itu, yang membuatnya takut bukanlah menghadapi si mantan.

Tapi menghadapi apa yang telah hilang karenanya.

Itu pasti garis pertahanan terakhirnya. Untuk menjaga kewarasan, satu-satunya hal yang bisa dia lakukan saat itu adalah menutup mata dari kenyataan.

Agar tak perlu melihat penderitaannya sendiri… agar tak perlu memikirkannya. Itulah satu-satunya cara dia bisa bertahan.

Tapi sekarang, dia akhirnya bisa menerimanya.

Dia sudah menemukan tekad untuk menghadapinya langsung.

Makanya dia bilang ingin melapor ke polisi.

“Baiklah.”

Tidak ada alasan untuk menolak. Dialah yang menderita—yang dilecehkan, dikendalikan, dan disakiti.

Pendapatku tidak penting. Kalau dia memilih untuk melapor, maka pilihannya otomatis jadi jawabanku juga.

Tapi itu membuatku bertanya-tanya—

Kenapa memberitahuku sekarang?

Apa yang dia harapkan dariku?

…Hayashi—

“Yamamoto. Tolong.”

Dia menundukkan kepala perlahan.

“Temani aku ke kantor polisi.”

Tanpa menunggu jawaban, dia melanjutkan.

“Aku tahu, seharusnya aku pergi sendiri.”

Untuk menunjukkan keseriusannya…

“Tapi aku takut. Aku masih takut.”

Untuk mengakui ketakutannya…

“Begitu waktunya tiba, aku mungkin kehilangan nyali dan lari lagi!”

Untuk mengakui kelemahan hatinya…

“Tapi aku nggak mau kehilangan apa pun lagi…”

…Meski dia takut. Meski dia malu.

“Kumohon, Yamamoto…”

Tetap saja, Hayashi menundukkan kepala padaku.

Pasti butuh tekad yang sangat besar untuk itu.

Menghadapi kenyataan. Menyadari seberapa parah situasinya.

Kendati demikian, dia menunduk padaku—dengan tekad bulat.

Melihatnya seperti itu, jawabanku sudah diputuskan. Sudah sejak awal.  

Tapi aku ragu untuk bicara.

Aku tidak menunjukkannya, tapi ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku.

Gadis yang kutemui kembali di minimarket, si “gadis tragis” itu, pernah dikenal sebagai ratu sekolah kami.

Kadang aku merasa tak berdaya melihat betapa dia telah berubah.

Kadang aku berharap dia melawan—berhenti menyerah.

Kadang makan bersama kami terasa canggung.

Kadang aku tak tahu harus bagaimana saat dia mengabaikan nasihatku.

Kadang ruangan ini terasa terlalu luas tanpa kehadirannya.

Ah… sekarang aku paham.

Dari lubuk hati terdalam—

Dia akan baik-baik saja sekarang.

Hayashi akan baik-baik saja.

Tidak seperti saat pertama kali kami bertemu lagi, matanya sekarang membawa kekuatan kemauan yang tenang. Dan aku yakin akan hal itu.

“Baiklah.”

Akhirnya aku mengucapkannya.

Akhirnya kuberikan jawabanku.

Wajahnya tegang. Ekspresinya kaku, seolah tak sanggup menatapku.

Seperti sedang mempersiapkan diri untuk penolakan—takut akan kemungkinan terburuk.

Ketika mendengar jawabanku… dia terlihat kaget, lalu gembira, hampir menangis—dan akhirnya tersenyum lagi.

“Terima kasih, Yamamoto.”

Suaranya gemetar. Matanya berkaca-kaca. Tapi dia tersenyum saat mengatakannya.

Dia telah menghadapi kenyataan. Membulatkan tekad. Meminta bantuan—dan menemukan jawabannya. Apakah jawaban itu benar atau salah, kurasa dia takkan menyesalinya lagi.

Tapi Hayashi—jangan salah paham.

Alasan kamu bisa melangkah maju, bukan karenaku.

Itu karena kamu sendiri yang melihat keadaanmu, berjuang, dan memilih untuk berubah.

Kamu yang membuat pilihan.

Yang kulakukan hanyalah memberimu informasi agar bisa membuat pilihan yang takkan kau sesali.

Kalau pilihan itu sampai membuatmu menangis…

Maka itu karena kamu punya keberanian untuk menemukan jawaban itu sendiri.

Tidak perlu berterima kasih padaku...

…Meskipun, kalau dipikir-pikir—

“Ini pertama kalinya kamu berterima kasih padaku, ya?”

Aku tersenyum kecut.




Chapter 10: Ratu yang Kembali Lagi

Hoaaam—Aku menguap lebar sambil menatap kosong ke arah monitor pengawas di ruang istirahat belakang minimarket. Biasanya, aku akan sedikit lebih waspada saat bekerja, tapi hari ini, konsentrasiku buyar. Rasanya aku bisa terlelap kapan saja begitu lengah.

Aku biasanya tidur lebih awal dan bangun pagi-pagi, jadi aku jarang sekali terjaga sampai jam segini. Tapi bahkan saat begadang sesekali, aku tidak pernah merasa se-ngantuk ini.

Tapi mungkin karena hari ini benar-benar melelahkan.

Aku berjuang melawan gelombang kantuk yang luar biasa, dan meskipun sedang jam kerja, yang bisa kulakukan hanyalah berusaha tidak ambruk.

Ada beberapa alasan yang bisa kupakai untuk menjelaskan rasa kantuk ini. Misalnya: hari ini aku menemani Hayashi ke kantor polisi untuk melaporkan mantan pacarnya atas semua perlakuannya. Atau: aku disangka pacarnya oleh polisi di sana dan mendapat tatapan dingin. Atau: menjelaskan kesalahpahaman itu dengannya butuh usaha dua kali lipat dan membuatku benar-benar lelah.

Intinya, banyak hal yang terjadi.

Tapi menjelaskan semua itu di sini hanya akan terdengar seperti keluhan. Lagipula, aku punya pilihan lain. Aku bisa saja membiarkan Hayashi pergi sendiri. Atau kami bisa menunda kunjungan itu ke hari lain.

Tapi aku tidak memilih opsi itu. Karena keduanya hanya akan membuat Hayashi makin gelisah atau malah memperpanjang masalah. Tidak akan ada hal baik yang muncul dari itu.

Itulah kenapa aku memilih keputusan yang kupilih. Dan begitulah aku berakhir dalam keadaan menyedihkan ini.

Bagiku, menyelesaikan masalah Hayashi jauh lebih penting daripada pekerjaan paruh waktu ini. Itu saja.

Kalau aku tidak ingin berada dalam situasi ini, seharusnya aku lebih mementingkan pekerjaan. Sesimpel itu.

Fakta bahwa aku sudah pasrah kalau sampai ketiduran hanya menunjukkan betapa buruknya aku dalam hal ini. Bahkan aku sendiri jijik dengan diriku.

Tapi ya, shift malam di minimarket ini memang sepi seperti biasa. Sudah lama tidak ada seorang pun yang masuk.

Pantas saja aku mengantuk, gerutuku dalam hati, entah kepada siapa.

Tepat pada saat itu—

Bunyi bel pintu otomatis menyadarkanku kembali.

Itu suara elektronik khas yang berbunyi setiap kali seseorang masuk. Karena aku sedang setengah tidur, suaranya terdengar sangat keras.

Untuk sesaat, aku merasa ingin mengomeli siapa pun yang baru saja masuk.

Aku hampir saja tertidur. Terima kasih karena sudah merusaknya.

Memang, aku baru saja mengeluh bahwa tidak adanya pelanggan membuatku mengantuk, tapi bukan berarti aku benar-benar ingin ada yang datang

Masih setengah mengantuk, aku mengucek mataku dan mengarahkan pandangan ke rekaman kamera pengawas yang buram.

Pelanggan itu adalah seorang wanita mengenakan kaus putih polos dan celana pendek. Rambut panjangnya diikat ke belakang saat dia berkeliling toko.

Agak berbahaya bagi seorang wanita keluar sendirian di larut malam begini. 

Tapi, ini kan Sabtu malam. Mungkin karena besok libur, dia baru pulang dari hangout?

…Tapi kalau begitu, kenapa bajunya lebih mirip piyama?

Anehnya, rasa kantukku hilang.

Mungkin karena kehadirannya mengingatkanku pada seseorang.

Kalau dipikir, baru seminggu lalu aku bertemu Hayashi di sini.

Kebetulan sepele yang mempertemukan kami kembali.

Kebetulan sepele yang membuat kami bicara lagi.

Kebetulan sepele yang mengungkap apa yang sedang dialaminya.

Waktunya juga hampir sama. Jam segini, sesaat sebelum shift malam berakhir, adalah saat aku paling lengah. Paling mudah kehilangan fokus.

“…Jangan-jangan dia korban DV juga?”

Tidak, ah masa sih.

Seberapa besar kemungkinan ada orang lain di lingkunganku yang mengalami hal serupa? Aku sendiri sampai mencibir pada asumsi liarku.

Wanita itu terus berkeliling toko.

Bagian majalah.

Kebutuhan sehari-hari.

Camilan.

Makanan penutup, bento.

Dia bergerak dari rak ke rak, seperti tidak yakin apa yang sedang ia cari.

Sepertinya tipe orang yang tidak tahu lokasi barang yang diinginkannya, jadi Cuma mondar-mandir sampai ketemu. Biasanya orang seperti itu memang butuh waktu, tapi begitu ketemu barang yang dicari, langsung ke kasir.

Tapi kalau dia tahu kategorinya, tak usah muter-muter. Maksudku, siapa juga yang bakal nyasar ke bagian perlengkapan rumah tangga Cuma untuk mencari keripik kentang?

…Jujur, dia terlihat seperti orang yang sudah lama tak ke minimarket, dan Cuma melihat-lihat sekilas karena kebiasaan. 

“Eh?”

Tunggu sebentar…

Wanita itu menemukan pasta gigi di rak kebutuhan sehari-hari dan menuju kasir.  

Aku buru-buru bangkit dari kursi, keluar dari ruang istirahat, dan menuju konter.

“Oh, jadi kamu toh.”

“Hayashi. Ngapain kamu ke sini malam-malam begini?”

Pelanggan yang datang tengah malam itu tak lain adalah Hayashi. Sekarang setelah kulihat, dia mengenakan piyama biasanya.

“Hmm.”

Tanpa menjawab pertanyaanku, dia meletakkan pasta gigi di kasir.

“Pasta gigi kita habis.”

“Lho, beneran?”

Aku sama sekali tidak sadar. Tapi ya, kalau kau tinggal sendiri, pasta gigi memang jarang habis… oh iya. Aku kan sekarang tidak tinggal sendiri lagi. Aku lupa kalau pemakaiannya jadi dua kali lipat.

“Padahal kalau kamu bilang, aku bisa beli sekalian pas pulang.”

“Aku nggak punya kontak kamu.”

Benar juga. Ponselnya masih rusak sejak dihancurkan mantannya.

“Mungkin sudah saatnya kamu beli ponsel baru.”

“Nggak usah. Hidupku juga nggak susah-susah amat tanpa ponsel.”

“Tapi kan kamu jadi susah kalau mau hubungin teman-temanmu?”

“Hmm… nggak juga.”

“Hah?”

“…Kurasa mereka bukan teman yang baik sejak awal.”

…Yah. Sepertinya lebih baik tidak membahas itu lebih lanjut.

“Yah, aku sendiri sih agak repot kalau nggak bisa hubungi kamu.”

“Menurutmu begitu?”

“Iya.”

“…Begitu ya.”

Ada ketegangan aneh di antara kami sesaat.

Lalu aku sadar ada sesuatu yang harus kukatakan.

“Yang lebih penting—jangan keluyuran sendirian malam-malam kayak gini lagi…”

Mengapa aku begitu khawatir padanya?  

“Kita masih belum tahu dia ada di mana.”

Waktu itu, sesaat sebelum polisi datang, mantannya menyelinap di antara kerumunan orang dan kabur.

Sirine mulai terdengar, dan kami lengah sesaat. Tapi itu sudah cukup.

Awalnya aku tidak percaya.

Tepat ketika kupikir dia akhirnya akan diinterogasi oleh polisi, dia malah lenyap.

Menurut cerita Hayashi tadi siang, alasan dia pulang telat malam itu adalah karena dia memberanikan diri pergi ke rumah mantannya bersama polisi.

Tapi dia tidak ada.

Hilang tanpa jejak.

Ekspresi Hayashi waktu tahu dia kabur—rasa kecewa itu pasti sangat besar.

“Yah, untuk sementara sih harusnya aman.”

“Kamu optimis banget.”

Jawabku, jengkel.

“Hanya karena sudah melapor bukan berarti kamu bisa lengah, tahu?”

“Aku tahu.”

Kalau dia benar-benar tahu, mungkin dia tidak akan datang ke sini. Aku tidak tahu pasti apa yang dipikirkannya.

…Yah, terserahlah.

“Maaf soal pasta giginya.”

“…I-Iya, harusnya kamu minta maaf. Kalau aku pulang mengantuk dan nggak ada pasta gigi, kamu yang akan kusalahkan, tahu?”

“Benar juga. Aku nggak bisa ngelak.”

Dia menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang merajuk, dan aku mengangguk.

“Serius, makasih ya udah beliin.”

“Mm.”

Hayashi tersenyum dan mengangguk kecil.

Rasanya agak aneh. Biasanya, gadis ini akan menggoda atau menyindirku kalau aku berterima kasih dengan serius.

Tapi mungkin dia merasakan hal yang sama tentangku. Mungkin dia berpikir, siapa sangka dia bakal ngucapin terima kasih dengan begitu tulus?

“Toko ini emang sepi banget, ya?”

“Iya. Selalu seperti ini tiap jam segini.”

“Oh. Jadi kamu Cuma bengong, ya?”

Dia menyeringai.

“Yah, bohong kalau kubilang tidak.”

“Pantesan. Kalau gitu, hei hei—gimana kalau aku temenin?”

“Nggak usah. Mending kamu pulang dan tidur. Begadang itu nggak bagus buat kulit.”

“Nggak apa-apa. Begadang sesekali nggak bikin mati kok.”

“Kamu yakin?”

“Yakin dong.”

Yah, kalau dia bilang begitu, ya sudah.

“Lagian kamu juga masih bangun, kan?”

“Aku lagi kerja.”

“Kamu nggak harus kerja jam segini juga, kan?”

“Jangan bodoh. Shift malam bayarannya lebih tinggi—tentu saja harus.”

“Itu… alasan yang benar-benar kamu banget.”

Alasan yang aku banget, ya? Aku tidak begitu paham. Tapi tidak ada gunanya menekannya, jadi aku mengeluarkan dompet dari saku.

Tidak mungkin aku membiarkannya membayar. Itulah prinsipku.

“Kamu nggak perlu. Cuma pasta gigi doang kok.”

“Nggak apa-apa. Aku kan juga pakai.”

“…Kalau begitu, aku terima deh.”

“Bagus.”

Aku menyerahkan pasta gigi itu pada Hayashi. Seharusnya Cuma itu yang dia butuhkan.

Tapi entah kenapa, dia tidak beranjak dari konter.

“Nggak pulang?”

“Lah? Aku dah bilang mau nemenin kamu, kan?”

“Tunggu, itu sudah diputuskan…?”

Kalau gitu, ngomongnya jangan kayak lagi nanya.

Serius, gadis ini… Cuma di momen kayak gini dia bertingkah seperti dirinya di SMA, seolah-olah dia yang berkuasa.

Yah, aku juga agak senang sih kalau dia mau nemenin aku ngobrol supaya nggak ketiduran.

Hayashi berdeham dengan gaya berlebihan.

“Yamamoto-kun. Kamu udah kerja di sini berapa lama?”

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

“Alaaah, jawab aja.”

“...Dua bulan, kayaknya.”

“Udah berapa kali kamu pulang kampung sejak pindah ke sini?”

“Kenapa sih banyak nanya?”

“Ugh, ayolah.”

“…Tidak sekali pun.”

“Gitu ya… Kamu ikut klub apa?”

“Nggak.”

“Kerja paruh waktu lain?”

“Nggak.”

“Ikut kegiatan sukarela?”

“Nggak.”

“Hobi?”

“Bersih-bersih.”

“Keahlian khusus?”

“Bersih-bersih.”

“Kamu penggila kebersihan, ya.”

“Itu pujian?”

Hayashi tertawa.

Aku memandangnya datar. Apa-apaan kuis ini?  

Aku tidak paham maksudnya apa.

Setelah tertawa sebentar, Hayashi memandangku dengan ekspresi serius.

Dan saat kulihat tatapan itu…

Aku teringat cara dia menatapku dulu di SMA.

Waktu itu, kami tidak akrab—sama sekali tidak. Sejujurnya, kurasa dia membenciku.  

Aku sampai lupa sudah berapa kali dia melayangkan tatapan penuh permusuhan itu padaku.

Dulu, setiap aku melakukan sesuatu, dia akan mendecakkan lidahnya—dan ada masa di mana aku benar-benar berusaha jaga jarak darinya.

Kalau aku memberi tahu diriku di masa SMA bahwa suatu hari nanti dia akan menatapku seperti ini—serius, tenang—pasti dia akan mendengus dan tertawa tak percaya. Pikiran itu terlintas di benakku.

“Ingat apa yang pernah kukatakan?”

Hayashi menyunggingkan senyum getir.

“…Apa?”

“Dulu di SMA, aku sempat bertanya-tanya kenapa aku nggak pernah mencoba bicara lebih banyak denganmu.”

“Oh.”

“Kalau saja aku melakukannya, mungkin hubungan kita bakal beda.”

“Mungkin. Tapi sekarang sudah nggak ada gunanya memikirkan itu.”

“Ya… Itu Cuma penyesalan yang datang terlambat.”

…Dia mendahuluiku. Aku diam saja.

“Sebenarnya, ini salah seseorang.”

Hayashi mulai bicara.

“Kupikir, penyesalan itu penting. Tapi aku juga merasa kalau terlalu larut dalam penyesalan itu sia-sia.”

Dia mengatakannya dengan malu-malu.  

“Soalnya, sebanyak apa pun kamu meratapi masa lalu, toh nggak bakal ada yang berubah.”

Dia mengatakannya seolah itu konyol.

“Tapi, tetap saja—karena aku menyesal dan terus bergulat dengan itu, aku menyadari sesuatu yang penting.”

Kali ini dia berkata sambil tersenyum.

“Kurasa… ‘sesuatu’ itu adalah hubunganku denganmu.”

Hayashi menatap mataku lekat-lekat dan melanjutkan.

“Ini perasaan yang aneh. Kalau ada yang bilang ke aku pas SMA bahwa suatu hari aku akan merasakan ini… mungkin aku akan menertawakannya.”

Dia menarik napas dalam-dalam, dan saat mengembuskannya, dia menatapku lurus-lurus.

“Aku ingin mengenalmu lebih baik… Aku nggak pernah menyangka bakal merasakan hal seperti ini.”

Dulu, hubungan kami waktu SMA… bahkan tak layak dibicarakan.

Tapi sekarang—

Kami bertemu kembali, dan meski baru beberapa hari, kami tinggal bersama.

Hubungan kami memang aneh dan tidak seimbang. Kehidupan seperti ini kelak akan berakhir suatu hari. Aku tahu itu.

Namun, meski begitu, ini bukti bahwa kami telah menciptakan sesuatu yang berbeda dari masa SMA. Bukti bahwa kami memiliki “sekarang.”

Dan karena kami memiliki “sekarang” ini, aku bisa yakin pada satu hal.

Kebersamaan kami yang aneh ini—akan bertahan sedikit lebih lama. Dan jika akan berlangsung, maka akan berlangsung. Karena itulah, aku yakin. Sama seperti dirinya, aku pun yakin.

Dihadapkan pada hubungan yang akan berlanjut untuk sementara waktu ini, Hayashi tampaknya merasakan sesuatu—dia ingin tahu lebih banyak tentang diriku.

“Aku bukan orang yang menarik, tahu?”

Aku mengatakannya seolah-olah menyiramkan air dingin pada rasa ingin tahunya.

“Aku hidup di dunia yang benar-benar berbeda darimu. Aku nggak pernah malu soal itu, tapi orang sepertimu… aku ragu kau akan menganggap hidupku menyenangkan sama sekali.”

“…Yamamoto.”

“Apa?”

“Nggak bisa dicegah. Memang begitulah perasaanku.”

“Jangan sok-sokan begitu deh.”

Aku mendesah pelan.

“Tapi ya… kurasa kamu benar.”

Ya, kalau dia benar-benar merasa begitu, apa boleh buat.

Setiap orang pasti pernah merasakannya— merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bertindak berdasarkan perasaan yang bahkan tak mereka pahami.

Itulah yang sedang dialaminya, saat ini.

“Baiklah. Kalau begitu, akan kubuktikan kalau ini Cuma perasaan sesaat.”

Cara terbaik untuk membuat seseorang menyerah padamu? Tunjukkan betapa salahnya mereka.

Jadi, aku menantangnya.

Dan aku tersenyum.

“Nah, begitu dong.”

Hayashi ikut tersenyum. Senyum bahagia yang tulus.

“Kalau begitu—aku tunggu ya, Yamamoto.”

“Iya.”

“…Hei, Yamamoto?”

“Hm?”

“Kamu sendiri gimana?”

Wajahnya tenang.

“Kamu nggak ingin tahu lebih banyak tentangku?”

Namun dalam ekspresinya, ada sedikit rasa takut.

“Menurutmu… gimana rasanya tinggal denganku?”

Tinggal bersama Hayashi.

Menghabiskan lima hari di apartemenku bersamanya… sebenarnya bagaimana perasaanku?

“Pertama-tama—benar-benar bikin pusing.”

“Ugh…”

“Kamu, dari semua orang... bahkan setelah aku menampungmu, tetap keluar rumah saat aku kuliah, terus bilang ingin cari kerja paruh waktu. Kamu jelas-jelas panik. Bahkan sempat hampir jatuh karena terburu-buru setengah sadar. Jujur saja, aku deg-degan.”

“…Maaf.”

“Tapi… yah, tidak buruk kok.”

“…Begitu ya.”

Dia tersenyum lagi—dengan lembut. Senyum yang damai. Momen yang damai. Hubungan yang… damai.

“Yamamoto, terima kasih.”

Ini kali kedua dia mengatakannya. 

“Berkatmu… aku terselamatkan.”

“Jangan salah paham.”

“Hah?”

“Melapor bukanlah akhir dari segalanya. Akhir yang sebenarnya adalah saat dia mendapatkan ganjaran yang setimpal.”

“…Tidak. Bukan itu maksudku.”

“Lalu apa?”

“Kurasa… ke depannya, masih akan banyak hal yang harus kuhadapi. Hal-hal sulit. Hal-hal menyedihkan. Hal-hal menyakitkan.”

“Ya, kemungkinan.”

“Dan setiap kali itu terjadi, mungkin aku akan takut. Ingin lari. Membeku.”

Namun wajahnya sama sekali tidak terlihat sedih.

“Tapi kamu akan mengulurkan tangan saat itu tiba, kan?”

Dia mengatakannya sambil tersenyum. 

“Kamu akan membantuku, kan?”

“…Hayashi, bukan begitu caranya.”

Aku menggelengkan kepala.

“Mau aku bantu atau tidak… itu tidak bisa kuputuskan sendiri.”

Sejak awal, aku tidak punya kekuatan, pengaruh, atau uang untuk menyelamatkan orang lain.

Tapi meski begitu—

“Apa yang kau ingin kulakukan?”

Hayashi tersenyum kecil, seolah mengerti.

“Kurasa maksudku adalah… kalau kamu membutuhkanku, aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan.”

Ini bukan soal keberanian, bisa diandalkan, atau semacamnya.

Saat kau dalam kesulitan, bergantunglah pada orang lain.

Saat kau tak sanggup menanganinya sendiri, mintalah bantuan.

Dan jika seseorang berpaling padamu, berdirilah di samping mereka, dukung mereka, bantu mereka.

Itu hanya dasar kemanusiaan.

Dan kalau aku sampai kehilangan hal dasar itu, maka aku bukan diriku lagi.

Itulah kenapa—aku akan membantu. Aku akan selalu melakukan apa yang bisa kulakukan. Karena pada suatu titik, aku telah memutuskan hal itu.

“Kamu nggak bisa jujur, ya.”

“Mungkin tidak. Tapi kudengar ada seseorang di luar sana yang ingin tahu lebih banyak tentang pria membosankan dan keras kepala sepertiku.”

“Pasti orang aneh. Bener-bener dah gak ketulungan.”

“Kalau begitu, harus ada seseorang yang turun tangan dan menolongnya.”

Kami saling tersenyum.

“Yamamoto.”

“Iya?”

“Mulai sekarang… tolong jaga aku, ya.”

“Iya. Kamu juga.”

“…Hei, Yamamoto?”

“Apa?”

“…Kamu mau makan malam apa nanti?”

Pagi ketujuh sejak aku menampung Hayashi Megumi.

Kami sedang bicara di minimarket tempat kami pertama kali bertemu kembali.

Waktu itu, kami hanyalah seorang pegawai dan pelanggan. Bagian itu tidak berubah. 

Tapi selama seminggu terakhir ini, kami telah mengenal satu sama lain lebih dalam—lebih dari saat kami bertemu kembali, dan lebih dari masa SMA kami yang penuh kebencian.

Seperti bagaimana sosok “ratu” yang sombong dan angkuh… sekarang bisa tersenyum selembut ini.

“Apa pendapatmu… soal tinggal denganku?”

…Karena malu, aku sedikit berbohong tadi.

Selama lima hari terakhir, Hayashi telah banyak membantuku.

Dia mengkhawatirkan keuanganku, bahkan sempat ingin bekerja paruh waktu.




Untuk mengurangi bebanku, dia rela mengerjakan semua pekerjaan rumah, kecuali bersih-bersih.

Dia khawatir dengan makan siangku dan mulai membuatkan bekal setiap hari.

Kemarin Malam, dia bahkan memasak makan malam lezat khusus untukku.

Menampungnya—semua hanya karena keadaan.

Dulu di SMA, dia dikenal sebagai “ratu,” selalu keras kepala dan mendominasi…

Selama tiga hari pertama setelah aku menampungnya, aku sering merasa kesal karena dia tidak pernah mendengarkan apa yang kukatakan. Aku sempat memikirkan hari-hari ke depan dan bertanya-tanya, seberapa repot aku bakal dibuatnya.

…Namun, entah sejak kapan.

Aku tidak pernah menyangka bahwa dalam lima hari saja, aku bisa merasa seperti ini.

Kalau aku memberitahu diriku di masa SMA tentang ini, dia mungkin akan tertawa dan berkata, “Mustahil.”

…Aku tersenyum masam memikirkannya.

Tinggal bersama sang ratu sombong dari SMA… ternyata tidak seburuk yang kubayangkan.



Kata Penutup

Untuk kalian yang baru pertama kali bertemu denganku—senang berkenalan. Untuk kalian yang sudah mengikuti karyaku di situs web novel—terima kasih selalu atas dukungannya. Aku Misoneta Dozaemon.

Terima kasih banyak sudah mengambil dan membaca buku ini.

Setelah hampir dua tahun menulis di beberapa platform web novel, termasuk “Shousetsuka ni Narou,” akhirnya kesempatan untuk menerbitkan buku benar-benar datang mengetuk pintu.

Saat pihak Dash X Bunko dari Shueisha menghubungiku dengan tawaran penerbitan, jujur saja—jantungku rasanya berdebar tak karuan selama panggilan telepon pertama dengan editor.

Kenapa? Karena aku baru saja selesai kerja dan harus lari pulang untuk menerima panggilan itu.

Syukurlah tempat kerjaku dekat dari rumah! (Eh… atau justru itu bukan hal yang bagus?)

Sejak menerima tawaran itu, setiap hari rasanya seperti pengalaman baru. Sampai saat itu, aku selalu menulis sendirian—ini pertama kalinya aku bekerja sama dengan orang lain untuk mewujudkan sebuah cerita.

Memikirkan prosesnya, merencanakan penyajian, mengantisipasi kegagalan, membangun keberhasilan—dan semuanya dilakukan bersama, demi menyelesaikan satu karya.

Apa yang dulunya hanya hobi, mulai terasa seperti proyek sungguhan, hampir seperti bagian dari pekerjaan nyata.

Kalau kamu pernah membaca versi web-nya, mungkin kamu menyadari—buku ini hampir sepenuhnya ditulis ulang untuk versi cetak. Karena kali ini aku bekerja bersama orang lain, aku ingin kualitasnya lebih tinggi. Aku ingin sebanyak mungkin orang memegang buku ini di tangan mereka.

Aku ingin semua orang melihatnya.

Intinya hanya itu. Aku harap kamu menikmatinya.

Terus terang saja, meskipun aku sudah menulis banyak cerita di situs web novel, aku tidak pernah benar-benar merasa terikat secara emosional dengan karakter atau ceritaku.

Yang ini pun sama—pada awalnya.

Pikiranku tentang protagonisnya kurang lebih begini: “Wah, orang ini cara pikirnya ribet banget.” Sedangkan untuk heroine-nya, aku terus bertanya, “Sebenernya ‘ratu’ itu harus kayak gimana sih…?” Aku mencoba berkali-kali untuk menciptakan aura itu, dan menyerah sama banyaknya.

Tapi kemudian, sesuatu berubah.

Itu terjadi saat panggilan telepon pertama setelah tawaran penerbitan datang.

Jantung berdebar. Suara sedikit gemetar. Otak agak melayang karena kekurangan oksigen.

Di tengah kabut itu, aku sempat bertanya beberapa hal pada editor:

“Kapan rencananya akan dirilis?”

“Apa yang membuat kalian memutuskan untuk menerbitkan?”

Dan lalu…

“Kita akan mencetak berapa eksemplar, dan berapa royalti yang saya dapat?”

Itulah momennya. Saat di mana aku akhirnya merasa benar-benar punya rasa terhadap cerita dan karakter ini. Selamat datang di era penghasilan pasif.

Semuanya jadi terasa masuk akal.

Jadi kalau kamu menikmati buku ini, tolong—sebarkan. Semakin banyak yang beli, aku—dan dompetku—akan semakin bahagia.

Dan akhirnya, aku akhiri kata penutup yang kacau dan belepotan ini—mungkin sampai membuat kamu menyesal sudah baca sejauh ini—dengan berkata…

Aku sungguh berharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi lewat buku berikutnya.

Untuk semua yang sudah membaca…

Aku benar-benar minta maaf!



Post a Comment

Post a Comment

close