NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nanji, Waga Kishi Toshite Volume 3 Prolog

Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


 Prolog


Putri Pemberontak, Lupus Filia.

Gadis itu adalah pengkhianat yang sempat menggemparkan dunia sekitar setahun yang lalu.

Sebagai putri dari Kaisar Kekaisaran Balga, salah satu dari Tiga Kekuatan Besar Dunia, dia telah membunuh anggota keluarganya sendiri dari kalangan kerajaan, dan dijatuhi hukuman mati tanpa menunggu pengadilan.

Ya, seharusnya dia telah dieksekusi.


* * *


Ibu kota kekaisaran dari Kekaisaran Balga telah memasuki musim di mana orang-orang yang lalu-lalang di jalan mengenakan mantel tebal. Di bawah langit yang mendung, Alun-Alun Kekaisaran yang terletak di distrik pusat kota itu dipadati banyak orang, meski hari masih pagi. 

Di tengah alun-alun, berdiri sebuah patung perunggu dari Kaisar pertama yang dikatakan telah meletakkan dasar kemakmuran dan kejayaan Kekaisaran. Gerbang besar dari batu yang berdiri megah di pintu masuk dibangun sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan negara ini. 

Namun hari ini, tak satu pun dari orang-orang di sana yang memandang gerbang itu dengan pemahaman seperti biasanya. 

“Benarkah ini?”

“Tidak mungkin.”

“Tapi, kenapa baru sekarang?” 

Orang-orang saling bertukar kata, penuh kebingungan dan ketidakpercayaan. Sekitar sepuluh menit setelah kegaduhan itu dimulai, pasukan polisi yang mendengar keributan pun datang, dan mulai mendorong serta menghalau kerumunan. 

“Minggir! Menjauh dari sana!” 

Beberapa mobil berhenti, dan banyak polisi turun dari kendaraan. Salah satu polisi yang memimpin mereka berjalan menembus kerumunan dan berdiri di pusat keributan. 

“Apa ini...?” 

Mereka pun tak mampu mempercayai pemandangan di depan mata, dan hanya bisa menatap ke atas dalam kebisuan. 

Pada gerbang yang selama ini berdiri dengan wibawa dan keagungan itu, tertulis kata-kata yang hampir menutupi seluruh permukaan temboknya, dengan cat merah menyala yang masih tampak baru. 

Dengan mulut menganga, para polisi mulai membaca kata-kata yang tertulis kasar di dinding itu. 

“Namaku adalah Putri Pemberontak, Lupus Filia. Aku kembali dari dunia kematian untuk membebaskan saudara-saudara bermata biruku yang tertindas di tanah ini. Rekan-rekanku, kini saatnya menyalakan api revolusi. Berkumpullah kembali di bawah namaku.” 

Tulisan itu berdiri dengan gagah, menggelegar, dan di saat yang sama menyiratkan kegelapan yang mendalam. 

Salah satu polisi mengatupkan mulutnya rapat, lalu menoleh ke arah kerumunan. Kebanyakan orang yang berkumpul tampak seperti warga biasa yang kebetulan lewat. 

Namun entah dari mana kabar itu tersebar, tampak pula beberapa orang yang sepertinya adalah wartawan ikut berada di antara mereka. 

“Pasang garis pembatas. Periksa jenis cat, pabrik pembuat kuas, dan gaya tulisan untuk menyusun profil pelakunya. Dan tutup mulut mereka. Tangkap para wartawan dan buat mereka diam.” 

Beberapa orang di dekatnya segera menerima instruksi tersebut, sementara di tengah kerumunan, beberapa sosok terlihat melarikan diri. Punggung mereka tampak menjauh, seakan berusaha kabur dari tempat kejadian. Polisi itu mengklik lidahnya kesal dan meraih radio di dalam mobil. 

“Ini unit Enam Belas dari Alun-Alun Kekaisaran. Tangkap wartawan yang melarikan diri dari kerumunan. Jumlahnya empat orang. Mengenakan jaket biru tua dengan celana panjang hitam. Satu lagi memakai mantel hujan warna cokelat...” 

Saat dia tengah berteriak melalui radio, seorang rekan menepuk bahunya. 

“Hei.” 

“Apa? Aku sedang bicara lewat radio!” 

Dengan nada kesal, dia menoleh ke belakang, namun rekannya hanya menunjukkan selembar kertas. 

“Apa itu?” 

Merebut kertas dari tangan rekannya, polisi itu kembali mengklik lidahnya keras. 

Di kertas berukuran sekitar lima belas atau enam belas sentimeter persegi itu, tercetak sebuah foto hitam putih yang diperbesar hingga memenuhi seluruh halaman. Foto itu menunjukkan tulisan pernyataan perang yang kini ada tepat di depan mata mereka. 

“Kita tak bisa memberlakukan larangan informasi. Ini sudah menyebar.” 

Rekannya mengatakannya dengan nada datar, mengangkat bahu seolah tak bisa berbuat apa-apa. 

Gerakan acuh tak acuh itu hanya memperparah kekesalan polisi tersebut. Dia meremas kertas itu dengan paksa. 

“Kerja cepat sekali mereka. Dari mana ini ditemukan?” 

Menerima tatapan marah darinya, rekannya hanya menunjuk ke langit tanpa berkata apa-apa. 

Langit musim dingin yang telah melewati musim gugur itu dipenuhi awan salju tebal dan angin dingin yang menggigit. Polisi itu menengadah, menatap langit yang kelam dan menyesakkan hati. 

Dalam pandangannya, dia melihat banyak kepingan putih yang mengambang di udara kelabu. Terlalu besar untuk disebut salju, dan gerakannya pun terlalu lambat. 

Dengan tatapan terpaku ke langit, polisi itu melirik ke kertas yang masih berada di telapak tangannya. 

“Tidak mungkin... Ini ibu kota kekaisaran Balga.” 

Dia buru-buru membuka kembali kertas yang tadi diremasnya, dan sekali lagi membaca isinya dengan saksama. 

Ini jelas merupakan surat tantangan. Dan benda seperti itu, justru jatuh dari langit ibu kota kekaisaran. Para polisi di sana bukanlah orang bodoh yang tak mengerti makna di balik peristiwa ini. 

Polisi itu segera mengganti frekuensi radionya ke kantor pusat, lalu mengangkat suaranya penuh amarah. 

“Ini unit Enam Belas dari lokasi kejadian. Dari langit! Dari langit turun surat tantangan dari orang yang seharusnya sudah mati!”


0

Post a Comment



close