Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Epilog
Kudeta yang terjadi di Kekaisaran Balga dua minggu yang lalu berakhir dengan hasil yang tidak disangka-sangka.
Kematian Kaisar Kekaisaran Balga.
Berita itu tersebar ke seluruh dunia pada pagi hari setelah Tsushima dan yang lainnya meninggalkan ibu kota kekaisaran.
Kabar mengejutkan yang setara dengan runtuhnya salah satu dari tiga kekuatan besar dunia ini, justru berbalik memperkuat posisi Causa secara drastis di dalam negeri Kekaisaran.
Pemberontakan yang dipicu oleh para Informan di berbagai wilayah pun segera diredam dalam waktu singkat oleh pasukan kekaisaran di bawah komando Causa. Para kepala daerah dan bangsawan lokal yang mulai mengangkat senjata setelah kematian Kaisar juga dihapuskan dalam sekejap melalui penindasan dan eliminasi yang menyeluruh.
Namun yang mengejutkan adalah, terlepas dari besarnya skala pemberontakan dan kekacauan, jumlah korban jiwa justru tercatat sebagai yang paling rendah dalam sejarah, dan penanganan itu berlangsung secara sangat damai. Hasil itu sekaligus menjadi ajang unjuk kekuatan bagi pemimpin baru Kekaisaran Balga, negara adidaya, di hadapan dunia internasional. Causa Insania.
Namun semua ini terasa seolah telah direncanakan sejak awal. Tak banyak orang di dunia ini yang benar-benar menyadari hal itu.
Dengan demikian, Causa, yang menyelamatkan negara dari krisis akibat kematian sang Kaisar, berhasil memperkuat kedudukannya secara de facto dan de jure sebagai Kaisar berikutnya, dan tengah membangun kekuatan pengaruhnya di dalam negeri.
Hari ketika dia secara resmi dinobatkan sebagai Kaisar tampaknya sudah di ambang pintu.
Memikirkan semua itu, Wali Kota Kota Merdeka Elbar, Tachibana, berdiri termenung di tepi ombak.
Sambil menatap laut sebelum fajar menyingsing, dia perlahan membuka tab kaleng kopi di tangannya.
“Sungguh, kamu ini. Sampai akhir pun meninggalkanku begitu saja.”
Separuh kesal, separuh getir, dia mendesah dan menenggak kopi murahan itu. Baik rasa maupun aromanya jauh lebih buruk dibandingkan kopi yang biasa dia minum di kantornya.
Namun justru rasa murahan yang dia nikmati di tepi pantai inilah yang menjadi satu-satunya sisa dari perasaan sentimental yang ditinggalkan oleh pria itu.
Di balik cakrawala yang jauh, matahari pagi perlahan mulai mengintip. Saat matanya menyipit karena cahaya itu, tiba-tiba dia merasakan kehadiran seseorang dari belakang.
Meski telah mengetahui siapa orang itu, Tachibana tetap menatap jauh ke arah garis horizon.
Langkah kaki mendekat dari belakang, dan ketika sosok itu berdiri sejajar dengannya, dia mengeluarkan satu kaleng kopi lagi dari sakunya.
“Mau minum juga?”
Di sampingnya berdiri Tsushima, menatap kaleng yang ditawarkan dengan ekspresi enggan, lalu mengambilnya.
“Mereka masih juga menjual kopi busuk ini?”
“Ya. Karena ini adalah cita rasa kenangan kita.”
“Jangan-jangan, kamu memaksa mereka terus memproduksinya?”
“Benar sekali.”
Tsushima menoleh ke samping, seolah tak percaya, sementara Tachibana menenggak isi kaleng itu tanpa menoleh balik.
“Jadi, bagaimana akhir dari Aiman?”
Nada suara Tachibana berubah mendadak menjadi sentimental. Tsushima menjawab pendek.
“Dia mempercayakan semuanya padaku.”
“Begitu, ya.”
“Beban yang terlalu besar, dan sama sekali tak praktis.”
Ucap Tsushima sambil akhirnya menatap wajah Tachibana. Mata Tsushima kini berbeda warna, kanan dan kiri tidak lagi sama. Salah satunya bukan warna mata aslinya, melainkan warna mata pahlawan yang telah Tachibana kenal lebih lama dari siapa pun.
Menatap mata itu, Tachibana menurunkan bahunya tanpa menyembunyikan emosinya.
“Begitu, ya...”
Aiman bukan hanya sosok penting bagi Tsushima, melainkan juga bagi Tachibana, seseorang yang tak bisa digantikan oleh siapa pun. Biasanya Tachibana tidak menunjukkan perasaan secara terbuka, tapi kali ini dia tidak bisa menyembunyikan apa yang dia rasakan.
Dengan tatapan jauh, dia memandangi mata Tsushima yang bukan lagi miliknya.
Beberapa detik hening dalam keheningan sentimental. Lalu dia mengalihkan pandangan, seolah ingin mencegah Tsushima membaca emosinya lebih dalam lagi.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
Tachibana kembali ke ekspresinya yang biasa, menatap ke dalam kaleng untuk memastikan sisa isinya. Nada bicaranya terdengar santai, tapi itulah hal yang paling dia ingin tahu.
Tsushima, yang sepertinya menyadari itu, memiringkan kepala sedikit.
“Aku akan menikmati hidup sebagai orang bebas untuk sementara.”
“Bersama sang putri, ya?”
“Ya.”
Tsushima membuka kaleng hangat di tangannya dan meminumnya. Rasanya tetap seburuk dulu, membuat wajahnya meringis.
Sementara memperhatikannya dengan sudut mata, Tachibana meneguk tegukan terakhirnya dan menengadah.
“Tsushima. Kita masih berada di pusat dunia, menghadapi berbagai krisis. Elbar yang kehilangan penyangga bernama Aiman akan makin terhimpit oleh tekanan dari negara-negara lain.”
“Mungkin begitu.”
Tsushima hanya mengangguk, menatap ke kejauhan.
Masalah Elbar bukan hanya dari luar. Di dalam kota pun ada konflik yang timbul dari kesenjangan antara Informan dan Non-Informan, serta perseteruan antarorganisasi. Selama ini, Aiman-lah yang menyatukan dan menyelesaikan semuanya dari balik layar.
Namun kini dia telah tiada.
Tachibana, yang tampak lebih kecil dari biasanya, tersenyum lemah sambil menurunkan bahunya.
“Saat ini, tak ada Informan generasi selanjutnya yang mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan Aiman. Sejujurnya, aku ingin kamu tetap tinggal di kota ini.”
“Itu permintaan yang sulit. Setidaknya untuk sekarang.”
“Melihat wajahmu saja, aku sudah tahu. Wajah seseorang yang tidak menyisakan sedikit pun rasa keterikatan dengan kota ini.”
Tachibana tertawa getir sambil mendesah.
Lalu, dari bagian dalam jasnya, dia mengeluarkan sebuah kartu.
Tak ada yang istimewa.
Itu hanya sebuah kartu nama.
Namun yang tertera di sana adalah nama Tachibana dan nomor kontak langsung yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Nomor darurat yang tidak bisa diakses sembarang orang.
“Kalau suatu saat kamu berubah pikiran, kamu bisa kembali kapan saja. Tempat untukmu akan selalu kusiapkan.”
Mungkin itu adalah semacam ucapan perpisahan. Tsushima mengambil kartu itu dari tangan Tachibana dan menyelipkannya ke saku dada tanpa banyak basa-basi.
“Kalau aku sedang ingin, mungkin saja.”
Tanpa ucapan selamat tinggal, Tsushima berbalik dan pergi.
Saat suara langkahnya menjauh, Tachibana menatap ke bawah, tampak kesepian.
Di tempat Tsushima berdiri tadi, hanya jejak kakinya yang tersisa.
“Satu lagi pahlawan telah pergi. Akan terasa sepi setelah ini.”
Ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya, aura Tsushima pun telah lenyap dari belakangnya. Benar-benar sebuah gumaman pribadi, Tachibana menatap langit yang mulai diterangi cahaya matahari pagi.
Pulau yang dia pijak ini adalah tanah kebebasan yang lahir dari tetesan darah para Informan.
Biarpun banyak orang akan meninggalkannya, Tachibana tak akan pernah bisa menjauh dari tempat ini. Dan suatu hari nanti, para pahlawan yang telah pergi pun akan kembali, mau tak mau, ke tanah yang telah mengikat takdir mereka.
Sampai hari itu tiba, Tachibana akan tetap bertahan hidup.
Dengan cara apa pun.
“Aku tak sabar melihat bagaimana masa depan yang kamu titipkan itu akan terwujud.”
Tachibana mengangkat kaleng kosong ke langit, seolah berbicara kepada sahabatnya yang telah tiada.
* * *
Pemandangan di sekitar berganti, dan udara di sekeliling berubah menjadi kering.
Setelah menjalankan kode teleportasi ruang, selalu saja tersisa rasa mual seperti mabuk kendaraan. Tsushima menoleh ke sekeliling untuk memastikan bahwa dia telah kembali ke tempat semula.
Sudut berdebu di sebuah toko kecil, sebuah toko yang berdiri berdampingan dengan pom bensin. Meyakinkan dirinya berada di sana, Tsushima menghela napas.
“Huh... Seperti yang kuduga, melakukannya berkali-kali dalam sehari memang terlalu membebani.”
Dia menekan mata sebelahnya yang masih terasa asing di tubuhnya.
“Mata ini masih butuh waktu untuk benar-benar menyatu dengan tubuhku.”
Sambil berkata demikian, dia menatap bayangannya di kaca lemari pendingin.
Aiman telah meninggalkan bola mata dan kode miliknya sebagai hadiah terakhir. Itu adalah kekuatan yang begitu kuat dan berbahaya, sampai mampu mengguncang keseimbangan dunia. Bahkan Tsushima sendiri belum bisa membayangkan dampak seperti apa yang akan ditimbulkan kekuatan itu.
Namun, dadu telah dilemparkan. Apa yang ada dalam pikiran Aiman? Apa pertimbangan yang membuatnya mempercayakan kekuatan itu kepada Tsushima? Dia tak akan pernah tahu jawabannya. Namun, entah mengapa Tsushima merasa bisa memahami keinginan terakhir pria itu.
“Dunia yang damai, ya, Aiman...”
Menatap mata yang telah menjaganya sejak kecil, Tsushima tersenyum lembut.
“Akan kutunjukkan kepadamu. Dunia yang kamu impikan, lewat mata ini.”
Dia mengetukkan tinjunya pelan ke kaca.
Merasakan kehadiran pemilik toko yang kembali dari luar, Tsushima menghapus ekspresinya dan mengambil keranjang belanja. Dia mengambil beberapa minuman dan makanan ringan dari rak, lalu meninggalkan toko.
Di luar toko, terbentang padang rumput luas sejauh cakrawala. Tanah merah ditumbuhi rumput-rumput keras dan pohon-pohon hijau kecil yang tampak kokoh. Bahkan bagi Tsushima yang telah mengembara ke berbagai penjuru dunia, pemandangan ini terasa asing.
Mengalihkan pandangan dari lanskap itu, Tsushima melihat ke sebuah mobil tua yang terparkir di sudut tempat parkir. Mobil yang berkarat itu berguncang pelan, seolah menunggu pemiliknya kembali.
Di balik bayangan mobil itu, tampak sosok kecil bergerak. Gadis berambut perak yang menoleh keluar tak memedulikan keringat di dahinya dan melambaikan tangan.
“Tsushimaa. Bagaimana hasilnyaa?”
Dengan suara malas dan panjang, Lupus bertanya. Tsushima mengangkat bahu sejenak dan mendekat.
“Tidak terlalu bagus.”
“Yah, wajar saja. Ini pedesaan.”
“Pedesaan, ya...”
Tsushima tertawa kecil dan kembali menatap sekeliling.
Aku ingin pergi ke tempat yang sepi. Tapi aku tak suka dingin, jadi harus tempat yang panas.
Sesuai permintaan Lupus, mereka berdua teleportasi ke suatu pelosok terpencil yang tampak benar-benar terputus dari urusan politik dunia. Bahkan Tsushima sendiri tak tahu pasti di mana mereka berada sekarang.
Tapi semua itu tak penting.
Lupus mengintip isi kantong belanja yang dibawa Tsushima, lalu langsung meraih sebotol air. Dia meminumnya dengan rakus, tidak mencerminkan sikap seorang mantan putri kekaisaran. Tsushima, sambil meliriknya, duduk di atas kap mobil.
“Lalu, ke mana kita selanjutnya? Ada tujuan?”
“Hmm? Tidak juga. Tak ada tujuan untukku.”
Dengan santai mengelap mulutnya menggunakan lengan seragam yang entah kenapa masih dia kenakan, Lupus menjawab seolah itu hal yang biasa.
Tsushima mendesah panjang, sudah menduganya.
“Kalau begitu, mau ke mana?”
“Yah... Tak perlu diucapkan secara serius, tapi aku pikir, kita harus pergi ke tempat di mana tak seorang pun mengenal kita.”
Lupus meletakkan tangan di pinggang, lalu menyerahkan botol air yang tadi dia minum kepada Tsushima. Setelah menerimanya, Tsushima menyadari gadis itu duduk di sampingnya.
“Karena tujuan kita hanya satu. Hidup dengan tenang, bukan?”
Melihat Lupus yang mengobrak-abrik isi kantong belanja dengan wajah senang dan mengeluarkan camilan, Tsushima bergumam seperti mengulang ucapan tadi.
“Hidup tenang, ya...”
“Benar. Kalau begitu, akan lebih baik kalau kita berada di tempat yang tak bisa ditemukan meskipun kita dikejar. Itulah tempat yang kita tuju.”
Lupus membuka bungkus camilan, mengintip isinya dan berkata, “Lumayan juga,” lalu memasukkan isinya ke mulut.
Bagi orang lain, Lupus hanya tampak seperti gadis ceria yang berani dan kuat.
Namun bagi Tsushima yang mengetahui masa lalunya, dia tidak bisa melihatnya dengan cara yang sama.
Dia menatap Lupus dengan sedikit kekhawatiran.
“Lupus. Apa kamu benar-benar sudah puas?”
“Eh?”
Lupus menoleh ke arahnya, masih menjilat jari-jarinya. Sebenarnya Tsushima agak ragu menyampaikan pertanyaan itu pada ekspresi polosnya, tapi sekarang adalah satu-satunya waktu yang tepat.
Jika tidak ditanyakan sekarang, kesempatan itu mungkin takkan pernah datang. Karena itu, suaranya menjadi lebih tenang.
“Memang benar, Kaisar telah mati. Dan kamu sendiri yang membunuhnya. Kamu mungkin puas dengan itu. Tapi dunia tidak berhenti di sana. Kekaisaran akan terus berjalan, tak peduli siapa yang duduk di takhta.”
“Itu benar.”
Lupus tampaknya memahami maksud dari perkataan Tsushima. Keceriaan yang ada di wajahnya memudar, dan ekspresi yang biasanya dia tunjukkan ketika harus mengambil keputusan besar sebagai seorang putri kekaisaran pun muncul kembali.
“Aku telah meloloskan diri dari kurungan bernama ‘Kaisar’. Tapi setelah itu, sejujurnya, aku tak banyak berpikir. Bahkan sekarang pun, kalau kamu tanya apa langkah selanjutnya, aku tak tahu. Tapi, Tsushima...”
Lupus menatap Tsushima dengan wajah yang sungguh-sungguh.
“Di dunia ini, ada begitu banyak sistem yang membuat para Informan menderita. Sama seperti sang Kaisar sendiri, masih banyak orang yang menganggap para Informan adalah musuh yang harus dimusnahkan. Jadi, kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan, aku rasa itu adalah mengubah sistem dunia seperti itu.”
“Mengubah sistem, ya. Kamu bicara besar juga, rupanya.”
“Ya, tentu saja. Karena aku ini adalah putri kekaisaran pemberontak yang langka di dunia. Dan kamu adalah kesatria dari putri pemberontak itu. Dengan status seperti itu, punya ambisi besar semacam itu, bukankah wajar saja?”
Mengucapkan ambisi yang terlalu besar untuk dilontarkan dari atas mobil berkarat, Lupus membusungkan dada. Dengan penuh rasa percaya diri dan sikap menantang, dia mengangkat dagunya, layaknya seorang penguasa dunia.
Tsushima, yang meliriknya dari samping, hanya memiringkan botol di tangannya.
Air dingin menyegarkan tubuh yang kering, mengalir ke seluruh tubuh, seolah mengisi lubang besar yang menganga setelah pertarungan panjang. Perasaan seperti itu, mungkin karena gadis itu berada di sisinya.
Dalam hembusan napas yang dilepaskannya, Tsushima merasa seakan mulai melihat samar-samar ke mana arah tujuan mereka selanjutnya.
“Ya sudah, lakukan sesukamu. Sampai tempat yang kira-kira cocok, aku akan ikut.”
Saat Tsushima mendorong kembali botol yang tinggal setengah, Lupus menggembungkan pipinya dengan kesal.
“Apa-apaan, paling tidak bilang saja ‘aku akan bersamamu sampai mati’!”
“Tidak mau.”
Sambil tersenyum sinis, Tsushima turun dari kap mobil. Saat dia menepuk-nepuk celananya yang terkena karat, Lupus menunjuknya dengan wajah cemberut.
“Kalau begitu, sebagai tuanmu, aku akan memerintahmu! Dengarlah! Kamu, sebagai kesatriaku...”
Suara Lupus mengalun tinggi dan larut ke langit biru. Wajah Tsushima yang terlihat heran, dan wajah Lupus yang bersikeras menatap tajam ke arahnya, keduanya terlihat segar, seolah semua beban telah terangkat. Bahkan jika ada orang yang melihat mereka, tak akan menyangka bahwa keduanya pernah berjalan di ambang neraka.
Benar. Mereka adalah orang-orang yang mengejar ujung dunia. Meski harus merangkak di dasar neraka, selama mereka bersama, sebuah jalan pasti akan terbuka.
Tujuan yang terbentang di ujung jalan yang tak berakhir itu belum tampak.
Namun, keduanya pasti akan menuju arah yang sama.
Selama sang gadis terus menunaikan sumpahnya sebagai tuan, dan sang pemuda tetap teguh pada janjinya sebagai kesatria.
Kata Penutup
Terima kasih banyak telah mengambil dan membaca volume ketiga dari Thou, as My Knight. Saya harap Anda menikmati buku ketiga seri ini. Jika saya berhasil memenuhi harapan para pembaca, saya akan sangat bahagia.
Sebagai penulis, saya sendiri tidak menyangka bisa menulis hingga volume ketiga dari seri ini, jadi ini adalah kejutan yang menyenangkan. Di sisi lain, itu juga berarti saya sama sekali belum memikirkan bagaimana alur cerita akan berkembang. Saya benar-benar merasakan pentingnya memiliki perencanaan. Tahun ini menjadi perjalanan yang penuh pelajaran bagi saya.
Meskipun demikian, saya berhasil menyelesaikan kisah hingga pada misi utama Lupus: pembunuhan sang Kaisar. Saya merasa lega karena bisa menghadirkan titik balik yang penting ini kepada para pembaca yang telah mengikuti seri ini sejauh ini.
Ke depannya, saya belum tahu apakah saya bisa terus menulis masa depan yang akan dilalui Tsushima dan Lupus. Namun, saya yakin mereka akan terus saling melontarkan sindiran dan, entah bagaimana, tetap bisa menghadapi berbagai kesulitan bersama.
Saya ingin percaya bahwa kedamaian akan menyambut mereka di ujung jalan yang mereka tempuh.
Selain itu, dalam Thou, as My Knight, masih ada banyak tokoh dan latar yang belum diungkap. Bahkan jika protagonisnya bukan lagi Tsushima, masih ada banyak cerita yang bisa dituturkan.
Apakah saya bisa menyampaikan kisah-kisah itu kepada kalian semua atau tidak... Untuk hal itu, tentu ada berbagai urusan orang dewasa yang ikut campur, jadi saya tidak bisa menjanjikan apa pun. Haha.
Namun, sambil membiarkan pikiran saya melayang ke dunia itu, izinkan saya meletakkan pena sejenak di sini.
Sekali lagi, kepada semua pembaca yang telah membaca Thou, as My Knight sampai sejauh ini.
Terima kasih banyak dari hati saya yang terdalam.
Semoga kita bisa bertemu kembali suatu hari nanti.
Sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih.
Kepada editor Komano yang telah membimbing karya ini sejak seleksi penghargaan pendatang baru, kepada Hino yang telah menghidupkan kisah ini dengan ilustrasi yang luar biasa hingga akhir, dan kepada semua pihak yang terlibat dalam penerbitan karya ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Saya berdoa, semoga karya ini menjadi bagian dari kenangan seseorang.
Hatake Rintarou
2 comments