Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 3
Dua jam sebelumnya.
Salju turun perlahan di atas tanah yang telah diselimuti perak. Dalam kesadaran yang samar dan mulai mengarah pada kejernihan, Tsushima menatap langit abu-abu yang suram dengan pandangan kosong.
Punggungnya terasa dingin bukan main, dan ketika dia mulai berpikir bahwa mungkin dirinya telah mati, suara batuk Aiman terdengar.
“Hei, bodoh. Bukankah sudah saatnya kamu bangun?”
Mendengar suara itu, Tsushima baru menyadari bahwa dirinya belum mati. Saat dia mengangkat tubuh beratnya, salju yang menempel di punggungnya runtuh satu per satu. Sepertinya dia telah berbaring cukup lama, karena salju lembut juga menutupi tubuhnya.
Dia menepuk-nepuk salju dari mantel, lalu berdiri. Sambil mengerutkan dahi karena perasaan tidak nyaman yang membuat kepalanya terasa ringan, dia mencari Aiman.
“Aiman, jelaskan situasinya. Di mana ini?”
Dia memandang sekeliling, tapi tidak menemukan sosok Aiman. Yang terlihat hanyalah deretan pegunungan megah yang terbentang jauh di ujung hamparan salju yang luas.
Sial, aku dilempar ke tempat terpencil seperti ini. Dalam hati Tsushima mengumpat sambil mengacak-acak rambutnya.
“Aiman, kamu di mana?”
Entah kenapa, dia merasa ingin sekali melontarkan sepatah kata pada pria itu, lalu mulai mencari tanpa arah. Tapi, meskipun dia mencarinya sekeras mungkin, tak ada tanda-tanda manusia di sana.
Saat dia mulai merasa aneh, itulah saatnya.
Ada sesuatu yang terasa bergerak di bawah kakinya.
“Kalau kamu mencari sejauh itu, takkan pernah kamu temukan.”
Suara Aiman terdengar jauh lebih dekat dari yang dia bayangkan. Menemukan sumber suara di bawah kakinya, Tsushima menghela napas berat.
Aiman terbaring di salju, hampir seluruh tubuhnya terkubur. Setelan rapi yang biasa dia kenakan kini tertutup salju, dan punggungnya yang membungkuk tampak menyedihkan.
Tsushima melontarkan kata-kata ke arah punggungnya.
“Justru kamu yang tidur. Cepat bangun. Dilihat dari situasinya, Amanomikami pasti sudah menuju kediaman kaisar. Kita harus segera ke sana.”
“Hah. Pria yang baru saja tidur seenaknya sekarang memerintah.”
Aiman menggoyangkan bahunya sambil tetap membelakangi Tsushima, yang menatapnya tajam.
Ini bukan waktunya untuk bercanda. Ini soal hidup dan mati Lupus. Dia harus segera sampai ke sisinya.
Perasaan mendesak membuat kata-katanya jadi kasar.
“Cepat bangun. Aku tidak ingin mati membeku di tempat seperti ini.”
Tsushima, yang tak melihat tanda-tanda Aiman akan bangkit, maju mendekat dengan kesal. Dia berlutut di atas salju dan mengulurkan tangan ke pundak Aiman, saat itulah dia baru menyadari keadaannya.
Tubuh Aiman, yang bersandar ke cekungan di tanah seolah ingin berlindung dari salju, terputus di bagian yang aneh. Dari perut ke bawah, seharusnya ada kaki. Tapi tak ada. Sebagai gantinya, hanya jejak darah pekat yang terbentang memanjang.
Tsushima buru-buru menatap wajah Aiman. Dan saat melihatnya, wajahnya membeku dalam ekspresi terkejut.
Wajah Aiman jauh dari keanggunan biasanya. Pucat pasi, kurus, dan dari matanya mengalir air mata darah. Matanya memerah parah, tak fokus, dan kulitnya telah berubah warna seperti mayat.
Meski begitu, Aiman menatap Tsushima dan mengangkat sebelah alisnya.
“Seperti yang kamu lihat, aku tak punya kaki. Aku tak bisa berdiri.”
Apa kamu menganggap ini lelucon? Seolah berkata begitu, Ayman menyunggingkan senyum ironis.
“Bodoh. Tunjukkan lukamu. Aku akan mengobatimu.”
Tsushima mengabaikan lelucon itu dan memeriksa luka Aiman. Tapi tangan Aiman menahannya.
“Tidak. Tak ada gunanya. Jangan buang tenaga.”
“Kita belum tahu. Aku akan hentikan pendarahannya dan mulai regenerasi sel. Mungkin kamu tak bisa bergerak untuk sementara, tapi kamu akan sembuh kalau beristirahat.”
“Tidak akan. Mustahil. Aku paling tahu kondisi tubuhku sendiri. Aku sudah mati.”
“Apa yang kamu...”
Tsushima telah mulai menyusun kode untuk regenerasi biologis, bidang yang tidak terlalu dia kuasai, dengan perencanaan kasar pengobatan di benaknya. Namun, pandangan dingin Aiman yang tajam seperti baja membuat tangannya berhenti.
Melihat reaksi itu, Aiman tersenyum puas.
“Biar saja. Jangan buang tenagamu untuk menyelamatkanku. Untuk nyawa yang tak bisa diselamatkan, tinggalkan saja. Kamu tahu itu, bukan?”
Tsushima menunduk, mengepalkan tinju yang berada di dada Aiman. Di medan perang, tak terhitung berapa banyak rekan yang mati.
Yang baik, yang tak akur, yang ramah, atau yang pernah berselisih, semua terpapar risiko kematian yang sama. Dan banyak dari mereka tewas dan jadi mayat.
Beberapa mungkin bisa diselamatkan jika ditangani segera. Tapi di medan perang yang kejam, mereka selalu harus memilih menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa. Dia telah meninggalkan banyak nyawa demi yang lebih banyak.
Namun itulah jalan yang dilalui oleh banyak Informan.
Tsushima menggeleng, mencoba mengusir ingatan masa lalu yang telah berkarat.
“Salah. Kamu seharusnya tidak menjadi salah satu dari mereka.”
“Itu kalau bicara soal masa lalu.”
Dengan suara parau, Aiman menjawab.
“Sejak Perang Kemerdekaan, kemampuanku mulai menurun. Yah, hanya melemah karena usia.”
Benarkah itu mungkin? Tsushima mengingat Aiman setelah Perang Kemerdekaan. Tak sekalipun dia menunjukkan tanda-tanda melemah.
Bibit keraguan membuat Tsushima menggertakkan giginya.
“Kamu melemah? Tidak ada tanda-tandanya.”
“Jelas. Kalau musuh tahu aku melemah, negara-negara lain akan menyerbu Elbar lebih dulu. Keseimbangan dunia akan runtuh. Karena itu, aku harus menyembunyikannya.”
Eksistensi Aiman Droug sebagai Informan sangat besar. Bukan hanya bagi Elbar sebagai kota merdeka, tapi juga sebagai senjata strategis untuk menjaga keseimbangan dunia, untuk mencegah perang. Dia sendirian menahan dunia.
Di suatu tempat di benaknya, Tsushima sudah menyadarinya. Tapi ketika kenyataan itu diungkapkan langsung, dia kehilangan kata-kata.
Beban itu terlalu berat.
“Tahun demi tahun, tubuhku makin lemah. Gelar Informan tingkat tiga belas terkuat di dunia telah jadi beban yang amat berat bagiku.”
“Siapa yang percaya omong kosong itu. Kamu masih kuat, buktinya.”
“Kalau hanya untuk beberapa menit, aku memang masih Informan terkuat di dunia. Tapi tidak lebih dari itu.”
Tsushima menggeleng keras.
Namun, pikirannya memahami. Karena dia tahu Aiman di masa jayanya, dia sulit menerima kenyataan pria ini bisa sampai di titik ini.
Namun bila pelemahan itu benar-benar nyata, semuanya masuk akal. Tapi Tsushima tak ingin mengakuinya.
Aiman, seolah membaca pikirannya, melanjutkan dengan nada canggung.
“Kekuatan seperti dulu sudah tak ada. Itu kenyataannya. Maaf.”
“Kalau begitu, kamu bisa percaya pada Informan lain. Di Elbar, pasti ada penerusmu.”
“Memang banyak Informan yang hebat. Tapi belum waktunya. Tak satu pun dari mereka cukup untuk melawan Amanomikami. Sampai ada Informan yang benar-benar layak menyandang nama tingkat tiga belas, aku tak bisa mundur.”
Apakah karena disengaja, atau karena dia sudah tak bisa fokus, Aiman memalingkan pandangannya dari Tsushima, menatap kejauhan.
“Kalau kupikir-pikir, ini adalah tahun-tahun tersulit dan terpanjang sepanjang hidupku. Tapi, setidaknya semua itu tidak sia-sia.”
“Tidak sia-sia?”
“Ya. Aku akhirnya menemukannya. Seseorang yang pantas menggantikan tempatku, satu-satunya yang layak menyandang gelar terkuat.”
Napasnya mulai putus-putus, Aiman mengangkat lengannya yang gemetar.
Tangan tua yang dipenuhi keriput itu mengangkat satu jari telunjuk.
Dan kemudian, ujung jari itu perlahan-lahan mengarah pada Tsushima.
“Itu kamu, Tsushima.”
“Apa yang kamu katakan? Tak mungkin aku bisa menggantikanmu. Kamu lihat sendiri, melawan Amanomikami, aku bahkan tak bisa berbuat apa-apa. Malah karena aku, kamu sampai...”
Kepala Tsushima tertunduk, diliputi penyesalan dan rasa bersalah. Aiman hanya membalas dengan tawa kering.
“Haha. Seperti biasa, kamu selalu merendahkan diri sendiri.”
“Itu penilaian objektif. Aku tak sekuat dirimu.”
“Tidak. Itu salah.”
Akhirnya, Aiman sudah tak mampu lagi mempertahankan lengannya yang terangkat.
Napasnya semakin melemah, dan tanda-tanda akhir semakin mendekat. Tsushima pun mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup menghadapi kenyataan.
Namun, mata Aiman tetap jernih dan tenang, seakan samudra yang tak terguncang, bahkan ketika menghadapi maut. Bibirnya yang pecah-pecah bergerak, suara angin menyelusup di antaranya.
“Hanya kamu yang bisa... Membungkam wanita itu.”
Sambil berkata demikian, Aiman menarik sesuatu dari saku dadanya. Yang muncul di atas dadanya adalah sebuah kartu hitam, alat transmisi informasi berat buatan khusus Tsukumo Heavy Industries.
“Di dalam ini... Tersimpan... Kode milikku.”
“Kodemu?”
“Ya... Kodeku... Untuk interferensi ruang. Dengan kode pemusnahmu... Jika bisa kamu selaraskan... Maka ada peluang untuk menang.”
“Cukup! Sudah tak mungkin! Mungkin kamu tak bisa melihatnya, tapi sekarang aku kehilangan satu mata. Mataku dicongkel Amanomikami. Dalam keadaan ini, mana mungkin aku bisa memakai kodenya, bahkan kode pemusnah sekalipun tak bisa kupakai dengan benar. Aku cuma pecundang tak berguna!”
Teriakan penuh emosi Tsushima larut dalam lanskap bersalju. Aiman yang berada dalam pelukannya tampaknya tak lagi mendengarnya, tubuhnya sepenuhnya kehilangan tenaga. Dia menatap Tsushima yang membungkuk, lalu tersenyum lembut.
“Kamu kuat.”
Kesadaran Aiman mulai memudar, namun dia tetap berbisik kosong. Tsushima menyipitkan mata, lalu membungkuk menatap wajahnya.
“Apa katamu?”
Tsushima mendekat, berusaha menangkap suara Aoman yang nyaris tersapu angin.
Aiman meraba ke arah leher Tsushima, menarik kepalanya mendekat ke tubuhnya.
Dengan napas yang berat dua, tiga kali, Aiman berbisik nyaris tak terdengar.
“Kutitipkan... Semuanya padamu...”
Itulah kata-kata terakhir Aiman.
Bersamaan dengan jatuhnya kelopak matanya, tubuh yang dalam pelukan Tsushima kehilangan seluruh kekuatannya. Seketika, lengannya terasa ringan, membuat Tsushima terbelalak.
“Hei... Jangan bercanda... Kamu nggak mati, kan...?”
Tsushima menatap wajah Aiman, mencoba menerima kenyataan yang tak ingin dia percayai. Namun, mata itu tak terbuka kembali. Dada yang sebelumnya bergerak kini membatu seperti batu, dan tubuh yang dia peluk cepat kehilangan panas.
Aiman telah mati.
Kenyataan itu meresap ke dalam tubuhnya, mencabik-cabik pikiran Tsushima. Hidungnya terasa panas, gigi gerahamnya bergetar.
Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya menyusuri tulang punggungnya, merebus pikirannya.
“Tidak... Jangan tinggalkan aku, Aiman. Kalau kamu mati, semuanya berakhir. Apa yang bisa kulakukan sendirian, hah?”
Hilang kendali, Tsushima mengguncang dada Aiman. Mayat yang sudah kehilangan kehidupan itu, kini hanya benda mati. Dia mengguncangnya sambil terus berteriak.
“Bangun, Aiman! Bukalah matamu! Kamu bukan orang yang mati begitu saja di tempat seperti ini! Kamu selalu... Kamu selalu jadi Informan tak terkalahkan yang berdiri paling depan bagi kami!”
Berkali-kali dia mengguncang dada Aiman. Tapi kepala itu hanya terkulai lemas, lalu membeku dalam dingin.
Yang ada di sini bukan lagi Aiman. Tsushima tahu itu. Tapi dia tak bisa menghentikan emosinya.
“Mana mungkin kamu mati di sini dan semuanya dimaafkan. Dan kamu menyuruhku menggantikanmu? Dasar omong kosong! Bahkan Tachibana tak akan menerima itu!”
Kata-kata tercampur aduk dengan perasaan.
Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa Aiman yang tadi ada di depannya kini telah tiada.
Tanpa peduli pada harga diri, Tsushima terus bicara kepada pria terkuat yang telah terlelap.
“Kamu pasti masih punya banyak hal yang hanya bisa kamu lakukan. Hal-hal yang takkan bisa kulakukan. Di Elbar, banyak orang yang jadi Informan karena mengidolakanmu. Apa kamu akan mati begitu saja tanpa menjawab harapan mereka?”
Wajah Aiman yang tak bernyawa kini tampak kabur oleh air mata Tsushima. Dia menggigit bibir yang gemetar dan menyandarkan dahinya ke dada Aiman.
Hatiku sudah tak tahan lagi, pikirnya. Dia bahkan tak tahu lagi harus melakukan apa, atau bahkan di mana dia berada.
“...Kumohon. Kumohon, Aiman. Bukalah matamu.”
Dia merangkul tubuh Aiman yang tak lagi hangat dan menahan isak tangis yang hendak pecah. Di balik kelopak matanya yang tertutup, kenangan bersama Aiman satu per satu melintas.
Pertemuan pertama mereka di medan invasi utara Kekaisaran Balga. Pertempuran perebutan kembali Jabal. Mereka bertahan dari mundur besar yang brutal. Dan Aiman-lah yang menyelamatkan Tsushima dari duka mendalam karena kehilangan Shion.
Kini Tsushima sadar, mungkin sejak saat itulah Aiman telah memperhatikannya. Meski telah disebut salah satu dari Tujuh Pahlawan dalam Perang Kemerdekaan Elbar, Aiman tetap diam-diam membantu Tsushima yang mendambakan kehidupan damai.
Di mana pun mereka berada, Aiman selalu mengurus Tsushima. Dalam ingatan Tsushima, terlalu banyak kenangan tentang Aiman. Dan dalam semua itu, dia selalu tersenyum sinis, mengucap lelucon pahit.
Itu sangat mirip dirinya.
Tidak, sebaliknya.
Dirinyalah yang meniru Aiman. Dia ingat betapa bangganya dia dulu, membusungkan dada, meniru sosok pria itu.
Kenapa baru sekarang dia menyadarinya.
Orang yang menjadi penuntun dan sandarannya selama ini, baru dia sadari saat orang itu tiada.
Kata-kata untuk berteriak pun telah habis. Waktu berlalu. Salju menumpuk di pundak mereka, dan kesunyian sempurna menyelimuti. Tsushima menatap langit dengan kosong.
Awan tebal yang menutupi langit telah pergi, digantikan oleh ribuan bintang yang bersinar. Cahaya setiap bintang terasa menyengat di mata lelahnya.
“Mungkin, ini waktunya untuk berhenti.”
Tanpa pikir, kata-kata itu keluar begitu saja.
Dengan satu mata, dia tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa menyelamatkan Lupus di kejauhan, apalagi menantang Amanomikami lagi. Dia bukan siapa-siapa.
Tsushima melepaskan genggamannya dari kerah Aiman, perlahan membaringkan jasad itu ke tanah, lalu berdiri. Aiman, yang tergeletak di kakinya, tampak tersenyum tipis penuh kelegaan dan kesepian dalam kematiannya.
“Aku tak bisa menjadi penerusmu. Maaf. Sampai di sini saja.”
Mengembuskan seluruh kekuatan dalam tubuhnya, Tsushima mulai melangkah tanpa semangat. Selangkah demi selangkah di atas salju, dia merogoh saku dadanya.
Biasanya, rokoknya ada di sana, tapi tidak kali ini. Gerakan yang sudah jadi kebiasaan itu membuatnya tersenyum getir. Air mata nyaris tumpah saat dia menatap langit.
“Sialan... Ini sungguh menyedihkan. Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
Langit malam terbentang luas di atasnya, lautan bintang yang tak berujung. Melihat satu garis cahaya melintas di antara kerlap-kerlip itu, Tsushima mengembuskan napas putih.
“Kamu melihatku dari sana, ya? Bagaimana? Beginilah rupa diriku sekarang.”
Tak ada jawaban dari langit.
Sebagai gantinya, sebuah bintang jatuh melintas, cahaya besar itu melintasi tepat di atas kepala Tsushima, lalu lenyap ke arah cakrawala, ke tempat Aiman terbaring.
Mengikuti jejak cahaya itu, pandangan Tsushima kembali pada tubuh Aiman yang kini mulai tertimbun salju. Beberapa jam lagi, mungkin tak akan ada yang menemukannya. Tapi entah kenapa, jasad itu tampak lebih jelas dari segalanya.
“Jadi kamu mau bilang, sama menyedihkannya dengan diriku, ya?”
Seolah benar-benar dilihat dari langit, Tsushima tersenyum mencibir dirinya sendiri.
“Kalau memang kamu lihat dari sana, jangan diam saja. Katakan langsung apa yang ingin kamu katakan.”
Dengan nada putus asa, Tsushima kembali mendekati Aiman.
“Brengsek... Mati di tengah jalan begini...”
Kesedihan dan rasa tak berdaya berubah jadi amarah dan kekecewaan. Setiap langkahnya semakin meningkatkan emosi, membuat kepala seakan mendidih.
Akhirnya, dia tiba di samping Aiman lagi. Dia mengambil kartu hitam berisi kode yang terjatuh di atas salju.
Kartu itu tak bisa dia gunakan sekarang. Tapi dia tetap mengangkatnya ke langit.
“Kamu berikan ini untuk apa? Dengan satu mata, apa yang bisa kulakukan? Brengsek. Ini semua kamu yang mulai, jadi lihatlah sendiri sampai akhir dengan matamu itu...”
Namun, kata-katanya terhenti. Tsushima tertegun mendengar ucapannya sendiri.
Dia perlahan menurunkan kartu itu, menatap tubuh Aiman yang terbujur.
Belum terlalu lama sejak dia mati.
Dan tempat ini, adalah tanah yang sangat dingin.
Namun, kenapa Aiman memilih melarikan diri ke tempat seperti ini di tengah musim dingin?
Kalau tujuannya hanya mencari tempat sepi, seharusnya ada tempat yang lebih hangat dari pegunungan bersalju ini.
Apa sebenarnya maksud di balik memilih tempat sedingin ini?
Satu dugaan melintas di benak Tsushima, membuat tenggorokannya bergemeretak.
“Jangan-jangan... Sejak awal kamu memang sudah berniat begitu?”
Dia bertanya pada Aiman yang tak bisa lagi menjawab. Tentu saja, pria itu tetap diam, memejamkan mata dengan tubuh yang telah membatu bagai batu.
Menatap cara Aiman menghadapi kematiannya, Tsushima menahan napas.
Jika dugaannya benar, maka pria bernama Aiman itu bahkan telah memperhitungkan situasi setelah kematiannya. Dan pikiran itu sungguh bukan sesuatu yang bisa disebut wajar.
Meski begitu, bagi Tsushima, hal itu justru terasa seperti petunjuk yang ditinggalkan oleh Aiman sendiri.
Aiman Droug, sang Informan terkuat di dunia. Bila itu datang darinya, maka tak aneh jika dia mencapai kesimpulan di luar akal sehat. Setidaknya, jika itu Aiman yang dia kenal.
Tsushima menatap sosok sang pahlawan yang tertidur dalam salju.
“Aiman, kamu pernah bilang, kan. Kalau kamu ingin melihat dunia yang damai.”
Perasaan putus asa dan putus harapan yang sempat merajalela kini mulai surut. Sorot mata Tsushima dipenuhi kembali oleh tekad yang kuat.
Dia berlutut di atas salju, lalu menggenggam kepala Aiman.
Dia mendorong perlahan kelopak mata yang membeku, lalu menatap lurus ke dalam mata Aiman, dan menyemburkan kata-kata penuh ironi.
“Maaf, tapi kamu belum boleh tenang. Bahkan setelah mati, kamu harus melihatnya dengan mata itu. Bagaimana dunia damai yang kamu inginkan akan terlahir.”
Wajah Tsushima yang terpantul di mata Aiman yang telah mati, menunjukkan ekspresi yang menyerupai Ashura.
* * *
Udara yang mengambang di ruang takhta membeku dengan cepat.
Tsushima merasakan bahwa dengan kemunculannya, situasi berubah drastis. Di depannya, Amanomikami yang kini hanya tersisa bagian kaki, tersungkur berlutut sembari memuntahkan darah.
Menatap tajam sisa jasadnya yang roboh dengan suara tumpul, Tsushima mengalihkan pandangannya pada Lupus yang berlari menghampirinya. Dengan momentum itu, dia melompat ke dalam pelukan Tsushima. Hampir saja dia menghindar, namun berhasil menahannya.
“Tsushima, kukira kamu sudah mati...”
Lupus mendongak dengan wajah berlinang air mata yang luar biasa. Tsushima menatapnya sambil tersenyum.
“Jangan menangis. Aku selalu dekat dengan jurang kematian.”
Begitulah setiap kali dia terlibat dalam urusan dengan Lupus. Bagi Tsushima, terluka parah hingga sekarat sudah seperti rutinitas.
Namun kali ini, Lupus tak punya tenaga untuk membalas candaan itu seperti biasanya.
“Bodoh...”
Kata itu terhembus sebagai luapan lega dan kesal yang tercampur jadi satu.
Namun kebahagiaan pertemuan kembali itu tak bertahan lama. Tsushima melepaskan pelukan Lupus dan menatap lurus ke arah takhta. Di sana, sang kaisar duduk santai dengan kaki bersilang, tetap tenang meskipun seorang Informan seperti Tsushima telah muncul.
Sikap itu terasa sangat menjengkelkan.
“Jadi, belum berhasil membunuhnya, ya?”
“Ya, kita harus melakukan sesuatu terhadap Amanomikami dulu.”
Dari nada berat Lupus dan keadaan sekitar, Tsushima segera memahami situasinya. Dia mendorong Lupus ke belakang untuk melindunginya.
Separuh tubuh Amanomikami yang terpapar cahaya bulan mulai mengabur dan lenyap seperti kabut. Lalu, Tsushima merasakan kehadiran baru di atas sana. Tanpa terlihat terkejut, dia mendongak dan menatap Amanomikami yang melayang membelakangi bulan.
“Itu tadi adalah perpindahan ruang, ya? Kalau begitu, Aiman juga masih hidup?”
Amanomikami kembali muncul dalam wujud yang sama seperti sebelum menerima serangan dari Tsushima.
Tsushima menyipitkan matanya.
“Aiman sudah mati.”
“Oh.”
Amanomikami membuka mulutnya sedikit dan berkata dengan suara tinggi. Dia menyentuhkan tangan ke mulutnya sejenak seakan tengah berpikir, lalu kembali menampilkan senyum kecil.
“Kalau begitu, barusan itu adalah kamu sendiri yang melakukannya?”
Mengabaikan suara yang mengandung harapan dan antusiasme dari Amanomikami, Tsushima menoleh ke belakang dan memandang Lupus.
Setelah sempat ragu, Lupus mengangguk kuat.
“Bisa?”
Pertanyaan yang singkat namun gamblang itu dijawab Tsushima dengan mengangkat sudut bibirnya.
Keduanya saling menatap seolah meyakinkan satu sama lain atas kepercayaan yang mereka miliki. Lupus lalu melangkah mendekati Tsushima. Dia menyentuhkan tangannya ke punggung pria itu, menarik napas dalam-dalam.
Dan seolah mengambil kembali hati yang pernah hancur, dia menutup matanya.
Aura penuh semangat kembali mengalir dari tubuhnya, dan udara sekitar mulai memanas. Sosok Lupus yang berdiri tegak kini memancarkan wibawa sebagai seorang putri kekaisaran, dan kekuatan mengalir dalam ucapannya.
Saat kembali membuka mata, Lupus telah sepenuhnya memulihkan kekuatannya. Dengan penuh semangat, dia memerintah dari belakang Tsushima.
“Lupus Filia memerintahkan. Engkau, sebagai kesatria milikku, taklukkan semua musuh yang ada!”
Kata-kata yang dilontarkannya kali ini sarat dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, Tsushima merasa didorong oleh perintah Lupus. Itu bukan sekadar instruksi atau titah, melainkan sebuah bentuk kepercayaan mutlak, doa dan harapan yang dipercayakan dengan seluruh jiwa.
“Serahkan padaku.”
Tanpa berkata banyak, Tsushima menjawab kepercayaan itu. Dan dalam sekejap, bersama Amanomikami yang mengambang di langit, dia menghilang dari pandangan.
* * *
“Wah.”
Amanomikami mengeluarkan suara takjub saat pemandangan di sekitarnya tiba-tiba berubah seperti halaman buku yang dibalik. Dia merasa seolah dilemparkan jauh dari aula takhta Kekaisaran Balga tempat dia berada sebelumnya, ke sebuah lokasi yang sepenuhnya asing.
Dia kini berdiri tepat di tengah gurun pasir yang membentang sejauh mata memandang. Langit biru tanpa awan membentang luas di atas lanskap yang sarat nuansa negeri asing. Sinar matahari yang terik terasa begitu mengejutkan bagi seseorang yang baru saja datang dari ibu kota kekaisaran yang dilanda musim dingin.
“Di sisi lain planet, ya?”
Dengan tangan yang tersisa, Amanomikami membuat naungan di atas matanya, menatap langit lalu berbicara kepada Tsushima yang berdiri di angkasa.
“Meski kamu sudah menerbangkan diriku sejauh ini, kode yang sudah dijalankan tidak akan batal begitu saja, kamu tahu.”
“Aku tahu.”
“Kalau begitu, apa yang hendak kamu lakukan?”
Berdiri di bawah sinar matahari yang menyengat, Tsushima mengarahkan wajah pucatnya ke arahnya.
“Membunuhmu.”
Jawaban yang sangat singkat dan lugas. Mendengar kata-katanya, Amanomikami menggigit bibirnya dengan sensual, memandangi ekspresi Tsushima.
“Wah, akhirnya kamu bisa menunjukkan wajah yang bagus juga.”
Memang benar apa yang dikatakannya. Ekspresi Tsushima begitu buruk hingga tak akan pernah dia tunjukkan di hadapan Lupus, wajah penuh kebencian dan dendam.
Dan Tsushima sendiri menyadarinya. Dengan wajah yang sangat buruk, dia justru tersenyum getir.
“Lelaki tampan itu ternyata menyelamatkanmu. Pilihan yang tepat.”
Di belakang Amanomikami, puluhan kotak muncul. Saat matanya bersinar, tutup kotak-kotak yang sempat terbuka itu tertutup kembali, seolah sedang mengisi ulang peluru.
Setelah seluruh kotak dikunci kembali dalam kegelapan, Amanomikami mengusap tepi topengnya dengan jari.
“Apa kamu benar-benar bisa membunuhku?”
Pancingan dan tantangan, apa yang Amanomikami coba lakukan begitu jelas. Tapi Tsushima tidak berniat mundur, apalagi bermain tarik-ulur.
Energi yang disebut emosi kini mulai menggerakkan tubuhnya.
“Menyesal nanti pun sudah terlambat.”
Mata Tsushima kembali bersinar, kali ini lebih gelap dan intens dari sebelumnya. Meninggalkan dua nyala api iblis di udara, tubuhnya pun menghilang.
Ini bukan sekadar kecepatan, melainkan transisi ruang yang sempurna. Dalam sekejap, tubuh Tsushima muncul di samping Amanomikami dan sebuah tinju yang dipenuhi energi panas menghantam pelipisnya.
Namun, kepala Amanomikami nyaris tak bergeming meski dihantam energi sebesar itu. Dia hanya menoleh kepada Tsushima dengan wajah tenang, seolah hanya disentil jari.
“Dari kecepatan dan jarak perpindahan, kamu setara dengan Aiman.”
“Tch.”
Mengklik lidahnya, Tsushima segera menarik diri, menggunakan batas ruang sebagai penghalang dari serangan balasan. Amanomikami lalu menatapnya, membuka enam kotak sekaligus.
“Meniru enam transformasi, kunyanyikan pedang dan si bodoh yang menari.”
Tsushima hanya berdiri membisu, tidak melancarkan serangan meski lawan bernyanyi dengan santai. Dia mengamati, menunggu momen yang tepat.
Amanomikami terus bernyanyi dengan tenang, seakan menikmati waktu yang diberikan.
“Bocah yang dikelilingi akhirnya sadar bahwa itu berkah langit dan tetes darah. Ini adalah malam kedua bermimpi, rembulan samar antara aku dan dirimu.”
Begitu nyanyian usai, dari enam kotak memancar cahaya yang menyebar di langit gurun. Tiga di antaranya berubah menjadi bayangan raksasa berbentuk manusia, lalu saling bergandengan, membelah menjadi enam, dan kemudian dua belas. Mereka pun menyelimuti Tsushima dan sekitarnya.
Satu cahaya naik ke langit, memanggil beberapa pesawat tempur entah dari mana.
Satu lagi menyentuh tanah dan menebarkan merah darah. Dari permukaan seperti rawa itu, para prajurit dengan seragam kekaisaran Balga bermunculan, persis seperti yang dikenakan dalam Perang Kemerdekaan.
Sisa satu cahaya terakhir berubah menjadi pedang tipis berwarna putih seperti cabang pohon yang indah, dan muncul di tangan Amanomikami. Dia menjilat bilahnya.
“Sekarang, mau bermain?”
Dengan senyumannya, tembakan dari pasukan darat dan pesawat tempur diarahkan kepada Tsushima. Saat suara tembakan memekakkan telinga, Tsushima pun mengeksekusi kode.
“Menyingkir, pengganggu.”
Kode yang dijalankan adalah andalannya, kode sinar panas yang dia paling kuasai.
Namun, skala eksekusi kali ini berbeda dari sebelumnya.
Dari punggungnya, puluhan sinar panas menyembur keluar, berkelindan. Langit dan bumi tertutup oleh cahaya merah-putih, membakar habis semua serangan yang mendekat.
Peluru yang mengarah padanya menguap di udara. Para prajurit yang melepaskan tembakan pun berubah menjadi arang. Pesawat-pesawat musuh terbelah dalam hitungan detik dan jatuh ke tanah sebagai bola api.
Namun tetap saja, kode Amanomikami justru semakin kuat seiring serangan Tsushima.
Pesawat tempur baru bermunculan menggantikan yang hancur, dan para prajurit di darat bangkit kembali bak burung phoenix. Gelombang serangan terus meningkat, dan akhirnya mencapai tubuh Tsushima.
Sebuah peluru menembus gelombang serangan, nyaris mengenai telinganya.
“Ugh.”
Tsushima mendesis. Peluru demi peluru terus mengarah, dan begitu keseimbangannya terganggu, keadaan dengan cepat berbalik.
Tubuhnya tertelan oleh asap hitam, asap putih panas, dan debu yang membumbung tinggi. Dari balik itu, suara Amanomikami terdengar.
“Kalau lengah, celaka kamu.”
Begitu suara itu terdengar, Amanomikami menerobos kabut pertempuran. Sepertinya dia memang ingin menghabisinya sendiri.
Dengan tubuh ringan yang tidak sesuai dengan sandal kayu yang dikenakan, dia mengayunkan pedang tipisnya ke arah perut Tsushima.
Bilah putih yang tipis menyayat dari dada hingga perut bawah. Tanpa perlawanan berarti, bilah itu menembus tubuhnya hingga keluar di punggung.
Satu tebasan sempurna.
Tak ada pertunjukan dramatis, tapi itu adalah serangan mematikan yang sempurna.
Namun saat dia melihat pedang di tangannya tanpa setetes darah pun, Amanomikami merasa aneh.
“Sepertinya ini bukan karena terlalu tajam. Apa kamu membengkokkan ruang?”
Menatap pedang tanpa cacat itu, dia memiringkan kepala.
Di belakangnya, Tsushima tersenyum sinis.
“Tidak mempan.”
Dengan suara kasar, dia mengepalkan tinjunya.
Seketika, tubuh Amanomikami terpelintir ke arah yang tidak mungkin, lalu dihancurkan sepenuhnya. Kain, rambut, daging, tulang, semuanya dipadatkan menjadi bola kecil.
Setelah tubuhnya yang menjadi hitam pekat dilepaskan dari penguncian ruang, tekanan memecah tubuhnya dan menyebar ke udara.
Seperti kembang api dari darah dan daging. Sisa-sisa tubuh Amanomikami melayang di langit, dan setiap serpihannya lenyap seperti asap.
Namun, itu bukan berarti dia berhasil membunuhnya. Tak peduli berapa kali dia dibunuh, Amanomikami muncul kembali di langit, dengan tenang mengulang prosesnya seperti biasa.
Tsushima mengeklik lidahnya dengan kesal.
“Seperti yang kuduga, kamu hidup kembali.”
Tsushima menghitung cepat jumlah kotak yang melayang di sekitar Amanomikami, lalu mengencangkan ekspresinya. Melihat perubahan itu, Amanomikami membungkuk dengan penuh hasrat, seolah ingin memiliki sesuatu.
“Aiman tak pernah membunuh dengan cara sekasar ini.”
Ucapannya bukanlah kecaman. Justru sebaliknya, perasaan senang tampak membayang. Senyum yang sempat terangkat di wajah Tsushima perlahan memudar melihat betapa menyimpangnya wanita itu.
“Seharusnya, bunuh aku dengan lebih sadis.”
Wanita ini benar-benar gila.
Namun karena itulah, dia disebut yang terkuat di dunia.
“Wajahmu bikin kesal.”
Dengan cepat Tsushima mengangkat satu tangan dan menjentikkan jarinya. Kode yang dijalankan adalah palu baja, hasil perpaduan antara kode interferensi ruang milik Aiman dan sinar panas miliknya sendiri.
Sinar panas berkekuatan tinggi yang mengorbankan kecepatan dan daya lacak melesat di langit. Dengan mengubah arah lintasannya secara bebas lewat teleportasi ruang, dia menutupi kelemahannya.
Sinar panas yang menghilang di depan mata Amanomikami kini muncul dari luar penglihatannya, dari atas, dari belakang, dari bawah, membakar dagingnya secara bertubi-tubi.
Namun, wanita seperti dia takkan berhenti hanya dengan itu. Setelah terkena satu atau dua sinar panas, dia hanya mengibaskan tangannya seolah mengusir serangga.
“Membosankan.”
Dia menepis serangan habis-habisan Tsushima dengan lengan tipisnya, lalu menendang ruang kosong.
Dengan kecepatan secepat roket, Amanomikami melaju. Tsushima terus mengeksekusi kode, tapi wanita itu menghindarinya dengan mudah, seolah tahu lebih dulu, dan mendekat dengan cepat.
“Kali ini, kamu takkan bisa menghindar.”
Amanomikami melengkungkan pedangnya dan tersenyum cantik. Ketika dia masuk sepenuhnya dalam jangkauan Tsushima, saat itulah Tsushima mengeksekusi kode yang telah disiapkannya.
Dalam sekejap, pemandangan di sekitar mereka berubah. Kini hutan saat senja terbentang di bawah. Tsushima mengepalkan tinjunya dan melangkah maju ke arah Amanomikami. Wanita itu mengerutkan alis, seolah terkejut sesaat. Itu menjadi celah yang menentukan.
Walau hanya dalam hitungan koma detik, fokus Tsushima yang meningkat meregangkan persepsinya akan waktu. Dia bahkan bisa mengamati kedipan mata Amanomikami dengan jelas.
Dengan intensitas seperti itu, memukul dahinya dengan tinju yang diberi tekanan panas bukanlah hal yang sulit. Terlintas di benaknya wajah Aiman yang mati dan wajah Lupus yang menangis, Tsushima menggertakkan rahangnya.
“Akan kubunuh kamu.”
Saat tinju mereka bersilangan, ledakan emosi membuncah dalam perut Tsushima. Tinju yang diayunkan dengan wajah seperti iblis itu melepaskan gelombang kejut yang merobohkan pepohonan di sekelilingnya.
Ada sensasi jelas dalam pukulan itu. Bahkan sebelum otaknya bisa memahami kenyataan tersebut, dia melihat tubuh Amanomikami terpental dari ujung pandangan ke ujung lainnya. Seperti gasing, tubuhnya berputar lalu menghantam lereng gunung.
Suara benturan menyusul terlambat, dan debu mengepul dari tanah tempat Amanomikami jatuh. Guncangan itu cukup hebat hingga dinding batu gunung tampak bergetar dan longsor kecil terjadi.
“Aduh, barusan itu benar-benar mengejutkan.”
Suara itu terdengar tiba-tiba. Kehadirannya kembali sudah diantisipasi. Tsushima membalikkan badan dengan penuh harapan dan melihat Amanomikami, lalu yakin.
Dia tampak tenang, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun yang berbeda jelas terlihat, wajah pucat dan cantiknya kini terbuka.
Topeng berhiasnya telah hancur berkeping-keping. Tinju Tsushima-lah yang menghancurkannya. Menyadari hal itu, ekspresi wajah Tsushima pun berubah drastis.
“Taringku sudah mulai mencapai lehermu, ya?”
“Itu juga berlaku untukmu.”
Masih menunjukkan ketenangan, Amanomikami memperlihatkan bilah pedangnya. Di bilah putih nan indah itu, terlihat sedikit bekas darah. Tsushima merasakan panas di perutnya, lalu menyentuh bagian itu.
Teriris. Tapi untungnya, luka itu dangkal.
Tampaknya mereka mulai saling memahami kekuatan masing-masing.
Kemungkinan besar, sebagai dua pengguna kode paling kompleks dan canggih di dunia, cara untuk menentukan akhir pertarungan ini sangat terbatas. Oleh karena itu, mereka tak punya pilihan selain terus mengulanginya.
Tampaknya mereka berdua sampai pada kesimpulan yang sama, lalu bersiap.
“Baiklah. Tanpa tipu daya, pertarungan langsung. Ini benar-benar menguras saraf.”
“Kali ini, bukan hanya topengmu yang hancur.”
Seolah menyelaraskan napas, Tsushima dan Amanomikami saling menatap tajam.
Satu tarikan napas, dua tarikan napas.
Tepat ketika matahari senja yang menyinari wajah mereka terbenam di cakrawala, Amanomikami bergerak. Wajah muda nan indahnya menampilkan senyum sinis, lalu melesat secepat kilat.
Mata Tsushima bersinar saat kembali memindahkan mereka ke ruang lain. Kali ini bukan sekali. Di atas laut selatan yang jernih, padang rumput fajar, mata air lava yang mendidih, dalam sekejap mereka berpindah melalui tiga, empat ruang sambil Tsushima menerobos serangan pedang Amanomikami.
Pedang itu melintasi tubuhnya. Tapi dia tak peduli, dan tetap meninju Amanomikami. Suara tumpul terdengar, dan tubuh Amanomikami membungkuk. Seketika, tubuhnya lenyap seperti asap.
Kehadirannya terasa di belakang.
Tanpa menoleh, Tsushima melanjutkan ayunan tinjunya ke belakang. Amanomikami mengalirkan setitik darah dari mulutnya. Serangan barusan tampaknya berhasil mengenai sasaran.
Namun, tetap saja belum cukup untuk mengakhiri segalanya.
Tsushima kembali memindahkan mereka dengan kecepatan luar biasa. Kali ini, dalam satu pertukaran serangan, mereka melintasi hampir sepuluh lokasi berbeda.
Latar belakang tak lagi bisa dibedakan, tampak seperti semesta yang mengalirkan cahaya. Baik Amanomikami maupun Tsushima, tak melihat apa pun selain satu sama lain.
Pedang yang diacungkan Amanomikami bertambah cepat. Dalam satu tebasan yang sangat cepat, waktu serangan Tsushima menjadi kacau. Ujung pedang menyentuh tubuhnya, dan darah memercik.
Mungkin lewat sentuhan di ujung jarinya, Amanomikami tahu tebasannya berhasil. Dia pun tersenyum. Namun momen itu tak bertahan lama.
Di sudut bibirnya yang terangkat, Tsushima melesakkan tinjunya. Wajah cantiknya melengkung hebat, seperti kain pel yang diperas, lalu meledak.
Sesaat kemudian, Amanomikami yang tersebar seperti kabut muncul di atas kepala Tsushima. Dia sudah tak punya waktu untuk menyanyi dengan tenang. Matanya memerah, dan serpihan gigi yang pecah tumpah dari mulutnya.
Pertukaran ketiga mendekat.
Saat Tsushima hendak kembali memindahkan ruang, dia merasakan keganjilan. Wujud Amanomikami di atasnya tampak kabur.
Fokus matanya tak dapat menangkapnya. Penglihatannya kabur, dan arah serangannya jadi meleset.
Tinju Tsushima melewati ujung hidung Amanomikami. Meski hanya sedikit, celah itu tentu tak akan dia lewatkan.
Dengan ujung bilah mengarah padanya, Amanomikami menyeringai.
“Terima kasih.”
Bilah putih yang diarahkan ke antara alis itu menyentuh mata Tsushima yang tidak bisa menghindar. Menyentuhnya berarti pertahanan Tsushima telat barangkali sekejap.
Mata yang pernah hilang, kembali tertusuk. Tsushima mengerang. Bilah itu menembus tubuhnya, menciptakan jarak antara dia dan Amanomikami.
Tsushima menekan mata sebelahnya dan jatuh berlutut.
Amanomikami memandangi bola mata yang tercungkil dari ujung pedangnya dengan raut penuh kepuasan.
“Seperti yang kuduga, mata ini milik orang itu, ya? Jadi kamu menggunakan mata orang mati?”
Sambil menekan mata kosong yang kini hanya rongga, Tsushima menatap Amanomikami dengan penuh kebencian. Darah segar yang mengalir di wajahnya mewarnai seluruh mukanya merah menyala.
Melihat sorot mata itu, Amanomikami menganggapnya sebagai jawaban. Sambil tersenyum puas, dia menatap Tsushima dengan tatapan yang keji.
“Hebat sekali. Untuk membunuhku, kamu memakai daging dan darah orang mati. Tapi, ini toh tetap mata orang lain. Tak akan bertahan lama, bukan?”
Bola mata yang diangkat Amanomikami memperlihatkan pembuluh darah halus yang pecah, berwarna merah muda pucat. Bukan hanya karena beban dari eksekusi kode. Mata itu belum sepenuhnya menyatu dengan tubuh karena dipaksakan masuk ke tubuh yang tidak cocok.
Dia bahkan sudah memperhitungkan sejauh itu, lalu menampilkan bola mata yang dicungkil itu di telapak tangannya dengan gaya menantang.
“Kalau demi membalas dendam, kamu tak pilih cara. Benar-benar pria luar biasa. Jujur saja, aku jadi basah karenanya.”
Dengan tubuh menggeliat kecil, Amanomikami menjilat bibirnya.
“Tapi sayangnya, perjuanganmu berhenti sampai di sini.”
Dia mengangkat bola mata itu sambil terus memandangi Tsushima, lalu tanpa ragu memasukkannya ke dalam mulut.
Tenggorokan tipisnya bergerak menelan, dan dari bibir merahnya keluar hembusan napas sensual.
“Ahh, lezat.”
Bola mata manusia tak mungkin enak.
Tsushima menyipitkan satu matanya yang tersisa, memandangi aksi aneh sang wanita.
“Baiklah, pria tampan. Membunuhmu adalah urusan paling mudah. Tapi jujur saja, aku akan merindukanmu.”
Pada titik ini, tidak ada yang bisa menghentikannya. Sampai napas Tsushima benar-benar terhenti, dia tidak akan berhenti.
Dan seperti yang dia katakan, itu semudah memutar pergelangan tangan bayi.
Karena itu, dia menunjukkan kepercayaan diri yang luar biasa.
“Kamulah yang pertama berhasil memukulku tiga kali. Boleh aku tahu triknya?”
Sambil menekan mata yang terus mengalirkan darah, Tsushima mengangkat bahu dengan lemas.
“Kode milikmu mengubah kenyataan sesuai kehendakmu. Bisa dibilang itu pengendalian kemungkinan. Kode paling unik di antara yang unik. Tapi kalau aku memahami sifatnya, aku masih bisa bertarung.”
“Oh? Menarik.”
“Kodemu serbabisa. Hampir sempurna. Tapi ada satu kelemahan, untuk mewujudkan ketidaknormalan itu, kamu harus menangani volume informasi yang luar biasa besar. Tak peduli sehebat apa dirimu, eksekusi kodemu tetap butuh waktu. Kotak-kotak kecil yang kamu bawa itu adalah upaya mati-matian untuk menutupi kelemahan itu. Mungkin isinya adalah faktor informasi yang sudah tereksekusi penuh.”
Tsushima melirik kotak-kotak kecil yang mengambang di sekitar Amanomikami, lalu meludah ke tanah. Melihat sang wanita tidak menyangkal, dia mengubah dugaannya menjadi keyakinan.
Lalu, dia melanjutkan.
“Tapi saat bertarung melawanku atau Aiman, muncul masalah lain. Walau hanya sekejap sebelum eksekusi kode, jika kami menyisipkan kode perpindahan ruang yang konyol itu, kodemu takkan bisa tereksekusi. Itulah kenapa kamu menciptakan kandang khusus yang bahkan bisa membatasi perpindahan ruang. Benar bukan?”
Amanomikami menghapus darah dari sudut mulutnya, lalu menjilat darah di jarinya.
“Kamu benar-benar mengerti, ya. Jawaban yang tepat.”
Untuk pertama kalinya, Amanomikami tersenyum seolah mengakui keberadaan Tsushima.
“Untukku, perpindahan ruang milik Aiman adalah satu-satunya musuh alami. Karena itu, aku menahannya dengan sangat hati-hati dalam sangkar.”
Amanomikami menyatukan kedua tangannya, meniru gerakan anak kecil yang menangkap serangga. Dia mengintip dari sela-sela jari yang sedikit terbuka, lalu menatap Tsushima dari balik kotak.
Setiap gerakan wanita itu sangat menyebalkan. Tsushima menyumpahinya dalam hati sambil memasukkan jari ke rongga mata kosongnya.
Prinsip dasar eksekusi kode oleh seorang Informan adalah akses cahaya terhadap faktor informasi yang melayang di udara. Kode yang dibentuk dalam otak ditransmisikan, lalu diterima oleh faktor informasi, dan untuk pertama kalinya sebuah fenomena bisa diwujudkan.
Tapi bagaimana jika akses cahaya itu tidak sampai? Jelas, eksekusi kode tak akan terjadi. Artinya, fenomena tidak akan terjadi.
Pada dasarnya, kode yang menyebar secepat cahaya seharusnya tidak mungkin gagal mencapai faktor informasi.
Namun, bila seorang Informan selevel Aiman mengulangi perpindahan ruang dengan kecepatan tinggi, maka transmisi kode yang dikirimkan akan terpotong-potong secara aneh. Situasi aneh yang seharusnya tidak terjadi akan muncul. Dan dalam keadaan seperti itu, eksekusi kode tidak mungkin dilakukan.
Artinya, bagi Amanomikami, Aiman adalah musuh bebuyutan satu-satunya yang memiliki metode untuk mengalahkannya.
“Penanganan terhadap Aiman sudah sempurna. Karena itu, dia mati di hadapanku. Tapi, kamu berbeda. Kamu bisa keluar dari sangkar itu. Artinya, kamu menggunakan sesuatu yang aku tidak tahu. Aku ingin tahu apa itu.”
Tsushima merapatkan bibirnya yang tersembunyi di bawah lengannya.
“Tak perlu sekeras itu. Kekalahanmu sudah pasti. Kamu hanya punya satu mata, kamu takkan bisa menari seperti sebelumnya.”
Amanomikami berkata santai, lalu membuka dua kotak kecil. Butiran cahaya melesat keluar dan menyebar seperti kabut di udara kosong. Kini dia bisa memahaminya. Itu adalah gumpalan faktor informasi yang dipadatkan dengan tekanan super tinggi.
Kandang merah menyala yang membentang di atas menancap ke tanah, mengurung mereka berdua.
“Untuk berjaga-jaga.”
Sambil menekuk tubuhnya dengan anggun, Amanomikami menjilat bibirnya. Tsushima memandanginya, dan menyadari bahwa waktu untuk mengakhiri semuanya telah tiba.
“Baiklah. Akan kukatakan padamu.”
Tsushima mengembuskan napas pasrah lalu bangkit perlahan. Tubuhnya berat. Berkali-kali mengeksekusi kode membuatnya kelelahan.
Tapi entah kenapa, kali ini tubuhnya terasa lebih ringan dari biasanya. Mungkin karena semua pembatas dalam dirinya telah rusak. Atau, karena tekad yang menggerakkan tubuhnya.
Sesuatu yang tak kasat mata merayap di punggungnya dan berbisik di telinganya. Dendam yang ditinggalkan Aiman, takdir yang harus dia pikul, dan janji yang dia buat bersama Lupus untuk berjalan di neraka.
Perasaan yang membuncah dalam dirinya menaikkan gigi terakhir. Di sekeliling tubuhnya, entah itu niat membunuh atau kebencian, aura pekat mengelilinginya.
“Aiman mati, dan aku yang tersisa. Itu adalah nasib buruk yang terburuk bagimu. Karena itu, akan kukatakan padamu. Tentang hal paling mengerikan bagimu...”
Tsushima melengkungkan punggungnya ke belakang, menggerakkan lehernya, lalu menunjuk Amanomikami.
“...itu ada di tubuhmu.”
Hanya dengan kata-kata itu, pipi Amanomikami memerah.
“Tak tertahankan. Datanglah, Tsushima Rindou!”
Inilah pertarungan terakhir mereka. Mata Tsushima yang tersisa bersinar terang. Belum pernah mata itu bersinar sekuat ini sebelumnya. Cahaya biru kehitaman seperti kilat melintas.
Membalas itu, mata Amanomikami juga bersinar. Cahaya biru bergemuruh, tiga pancaran cahaya menyebar dan bergerak.
Di belakang Tsushima, ratusan bola panas terbentuk dan mulai berputar mengelilingi mereka. Ketika Amanomikami menyentuh satu bola panas yang berputar cepat, bola itu meledak.
Namun wajahnya tetap tenang. Dia mengarahkan ujung pedang di tangan kanannya ke arah Tsushima.
“Tidak mempan, ya.”
Bahkan dengan angin ledakan yang mengguncang sekeliling, yang bergetar hanyalah lengan bajunya. Tak ada luka sedikit pun. Wajah Tsushima menyeringai, darah mulai mengalir dari mata yang tersisa.
Melihat sosoknya, Amanomikami menyipitkan mata.
“Seperti yang kuduga, dengan satu mata pun kamu tak lebih dari serangga. Kalau begitu, lebih baik segera kubunuh saja.”
Dengan gerakan seanggun tarian, Amanomikami mulai melangkah.
Dan tepat setelah langkah terakhir diayunkan, tubuhnya lenyap.
Layaknya perpindahan ruang milik Aiman.
Namun, itu bukanlah hal yang sama.
Tsushima memusatkan semua inderanya pada aura yang jelas dia rasakan.
Rasa dingin yang menjilat tengkuknya membuat Tsushima hanya bisa fokus pada satu hal, menjalankan kode.
Dan firasatnya segera terbukti benar.
Semua bayangan yang jatuh dalam sangkar merah beriak seperti permukaan air. Hitamnya bayangan kian pekat, lalu cahaya kecil berkelap-kelip pun muncul. Dunia yang seakan menggambarkan langit malam penuh bintang itu mulai menyelimuti seluruh area.
Keindahannya membuat siapa pun terdiam menahan napas.
Namun, bagi yang berada di sisi yang diterkam, itu adalah pemandangan yang membekukan tulang belakang.
Sebab tiap titik cahaya itu adalah cahaya mata para Informan. Mata-mata yang tak terhitung jumlahnya melayang dalam kegelapan. Bahkan Tsushima pun tak bisa menahan wajahnya yang menegang menyaksikan hal itu.
“Kamu tak boleh lengah. Maka biarkan aku selesaikan ini dengan andalanku.”
Entah dari mana, suara Amanomikami terdengar.
Dan sebagai isyarat, semua mata pun menyala dengan api iblis berwarna biru.
Apa yang terjadi setelahnya, bagi Tsushima sang Informan, adalah mimpi buruk dalam wujud nyata. Dari bayangan muncul para Informan, menjalankan kode eksekusi secara serempak. Bola api melesat di langit, aliran listrik berderak, kilatan cahaya bersilang, dan gas beracun mematikan meliputi area. Ratusan, ribuan Informan mengeluarkan semua jenis kode yang mereka miliki, hanya untuk diarahkan pada satu orang. Tsushima.
Serangan tanpa celah datang dari segala arah.
Di tengah pemandangan putus asa itu, Tsushima tersenyum sinis.
“Pada akhirnya, semuanya bermuara ke tempat yang sama.”
Suaranya tak sampai ke telinga siapa pun.
Dalam sekejap, tubuh Tsushima tertelan oleh eksekusi kode yang tak terhitung jumlahnya. Serangan yang tak bisa ditahan oleh tubuh manusia pun terus menggempur tanpa henti. Amanomikami mengejar sampai tuntas, tanpa memberi jeda.
Cahaya dari berbagai warna memercik dalam asap putih yang memenuhi sangkar merah.
Amanomikami mengawasi semuanya dari puncak sangkar raksasa, bagian luar dari kurungan itu. Di dalam dan luar sangkar merupakan ruang yang sama sekali berbeda. Itulah strategi yang dia rancang khusus untuk menghadapi Aiman.
Dengan kata lain, Tsushima yang kehilangan satu matanya tak bisa menjangkau dirinya.
Seolah menyatakan bahwa semua telah selesai, Amanomikami menatap langit.
Lalu dia menghembuskan napas panjang.
“Pesta mimpi malam ini pun telah usai.”
Sambil berbisik demikian, dia menjentikkan jari ringan.
Menanggapi gerakannya, sangkar raksasa pun mulai bergerak.
Namun, bukan hanya bergerak biasa. Sangkar yang mengelilingi ruang raksasa itu mulai menyusut, menggali tanah, dan merobek udara.
Tentu saja, semakin sempit ruang, kobaran perang di dalam sangkar pun semakin mengganas. Cahaya dan benturan telah membuat penglihatan tak lagi berfungsi. Itu bukan tempat yang memungkinkan manusia bertahan hidup.
“Bahkan aku pun agak sedikit lelah kali ini.”
Amanomikami meletakkan sangkar yang telah menyusut menjadi sekitar dua meter di kakinya, dan menyeka wajahnya.
Sebagai Informan tingkat tiga belas terkuat di dunia, dia telah terluka beberapa kali hanya malam ini. Transformasi oleh cahaya Fine, dan luka akibat perpindahan ruang Tsushima.
Dia mengenang waktu yang begitu padat dengan peristiwa, dan menatap langit dengan ekspresi melamun.
“Malam yang indah. Kini saatnya berpisah.”
Amanomikami meluruskan punggung, merentangkan tangan, lalu bertepuk tangan dengan gerakan paling kuat namun tetap anggun.
Tepukan itu seolah menjadi tanda untuk bangun dari mimpi. Sangkar di bawah kakinya pun hancur. Bingkai luar sangkar melengkung, isinya pun menyatu. Dari dalam terdengar sejenak suara pedih dari pertempuran, lalu semuanya, suara dan cahaya, terjerat dan berubah menjadi satu titik kecil.
Yang terakhir terdengar hanyalah bunyi ringan dan tinggi, seperti kaca tipis yang retak.
“Kenapa ya, saat terbangun dari mimpi, rasanya selalu sesakit ini?”
Tak ada yang tersisa. Di atas langit yang hanya menyisakan keheningan, Amanomikami memandangi cakrawala yang mulai memutih.
Dia menutup mata saat melihat cahaya fajar yang muncul di batas langit dan bumi.
“Cahaya pagi yang menusuk mata.”
Dia menyeka air mata yang menetes dari kelopak matanya, lalu mengibaskan lengan bajunya.
“Baiklah, mari kita pulang.”
Tak ada makna khusus dalam gerakan itu. Dia membalikkan badan, menoleh ke belakang.
Namun, saat gerakan itu terjadi, sekelilingnya mendadak gelap, membuatnya terjebak dalam sekejap kebingungan.
Dia merasa seolah telah kembali ke ruang takhta karena kodenya telah dieksekusi.
Dalam cahaya samar, dia melangkah dan segera menyadari sesuatu.
Bahwa tempat ini bukanlah ruang takhta.
“?”
Amanomikami mengerutkan alis, curiga, dan mengangkat wajah. Dunia pun kembali berubah. Kali ini dia berdiri di tepi danau di siang hari. Saat menoleh ke belakang, pemandangan kembali berubah.
Pergantian tempat terjadi semakin cepat, membuat Amanomikami memiringkan kepala dengan kebingungan.
“Jangan-jangan, si tampan itu. Masih hidup...”
Sorot harapan muncul di matanya, namun lehernya tiba-tiba tercekik. Suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar lirih saat seseorang mencengkeramnya.
Tangan kekar muncul di leher jenjangnya, membentuk siluet berasap, lalu perlahan muncul pergelangan, lengan, dan bahu.
Wajah seorang pria muncul di hadapannya.
“Tsushi...ma?”
Amanomikami memandangnya sambil tersenyum. Tsushima Rindou berdiri di sana, dengan kedua matanya bersinar. Wajahnya pucat, penuh keringat dingin dan darah dari matanya yang membuatnya tampak seperti mayat.
Namun, hanya tekad bertarung yang bersinar di matanya saat dia menyeringai.
“Hampir saja aku lenyap karena kodeku sendiri.”
Dengan tangan, dia mengibaskan siluet tubuhnya yang masih mengambang seperti kabut, dan berbicara dengan sinis.
Amanomikami memicingkan mata, memandangi matanya.
“Apa itu matamu? Bukannya sudah aku congkel?”
“Oh, ini?”
Dengan santai, Tsushima menekan matanya dari atas kelopak seolah itu bukan miliknya sendiri.
Sambil menjilat bibir, dia berbisik.
“Hanya mengembalikannya sebelum tercongkel.”
“Mengembalikannya?”
Amanomikami bertanya dengan ekspresi bingung, tak mengerti maksudnya. Namun, Tsushima tak menjawab.
Tidak.
Bahkan dia sendiri belum benar-benar memahami kode itu sepenuhnya.
Yang dia tahu, kode itu adalah sesuatu yang bahkan Aiman tidak bisa dapatkan meski mencarinya seumur hidup.
Semuanya berawal dari perasaan aneh saat menerima kode dari Aiman.
Kode itu terlalu kompleks dan rumit untuk sesuatu yang hanya mengganggu ruang. Strukturnya jauh dari efisiensi maksimal yang bisa dipikirkan Tsushima. Banyak elemen tak perlu yang tergabung menjadi satu kode yang tidak efisien.
Seolah-olah kode itu sedang mencoba menghasilkan fenomena lain yang berbeda dari interferensi ruang, dan terus mencoba serta gagal.
Lalu, apa sebenarnya yang coba Aiman lakukan? Dari jejak yang tertinggal dalam kode, Tsushima akhirnya menyadarinya.
Kode itu bukan bertujuan untuk interferensi ruang.
Lebih dari itu, fenomena yang jauh lebih tinggi.
Kode itu mencoba untuk mengganggu dimensi lain yang bukan hanya ruang, melainkan juga waktu.
Dengan kata lain, kekuatan sejati dari kode Aiman adalah intervensi ruang-waktu.. Itu adalah kekuatan bak dewa yang mampu mengendalikan ruang, dan mempermainkan waktu sekehendak hati.
Namun sayangnya, ada satu kelemahan dalam kode itu, yang membuatnya tak mampu memperlihatkan kekuatan aslinya.
Itulah penghilangan sifat fisik.
Untuk bisa melintasi waktu dengan bebas, tubuh fisik dan materi menjadi penghalang. Karena itu, manusia tak bisa kembali ke masa lalu atau melompat ke masa depan. Kode itu tak mampu menghilangkan sifat fisik tersebut.
Mungkin, Aiman mencoba menyingkirkan penghalang itu dengan cara menguasai ruang. Namun, sampai akhir hayatnya, dia tak pernah berhasil melewati batas itu.
Karena itulah, dia hanya fokus pada intervensi ruang.
Namun kini, Tsushima muncul.
Kodenya adalah sesuatu yang tak dapat dijelaskan, yang meniadakan eksistensi materi. Sesuatu yang melampaui fisika. Itulah dunia yang diidamkan Aiman, namun tak bisa digapainya.
Dengan kata lain, Tsushima adalah satu-satunya kemungkinan untuk mengeluarkan kekuatan sejati dari kode milik Aiman.
Dia belum memahami segalanya. Namun, ada alasan mengapa semua peninggalan Aiman harus terhubung pada Tsushima.
Yang tersisa hanyalah apakah Tsushima siap menyeberangi tali rapuh antara hidup dan mati. Apakah dia punya tekad untuk melangkah dalam taruhan tanpa jaminan. Itulah pertarungan yang sebenarnya.
Dan Tsushima telah memenangkan pertaruhan itu.
“Itulah sebabnya akulah pewarisnya, Aiman.”
Tsushima berbisik lirih.
Ketika nama Aiman terucap dari mulutnya, Amanomikami pun seolah menyadari sesuatu.
“Jadi begitu, ya? Kekuatanmu adalah peninggalan terakhir dari Aiman... Tidak, pedang terakhir yang dia percayakan kepadamu!”
Dia berteriak nyaring, wajahnya tegang seolah tak mampu menahan gejolak di dalam dadanya. Bahkan dia melupakan bahwa lehernya tengah dicekik, pipinya memerah, dan matanya membelalak penuh semangat.
“Tunjukkanlah! Tunjukkan kekuatan sejatimu!”
Amanomikami menyinarkan matanya, lalu meraih salah satu kotak kecil. Begitu dia bergerak, kotak itu terbuka, dan butiran cahaya melesat keluar.
Faktor informasi yang terkompresi menyebar, bersiap menjalankan eksekusi kode.
Namun saat itu, mata Tsushima bersinar dalam warna biru gelap. Di saat yang sama, butiran cahaya yang berkilau itu bergoyang lemah, dan bertentangan dengan kehendak Amanomikami, kembali masuk ke dalam kotak. Bahkan kotaknya pun hancur dalam cahaya biru faktor informasi dan lenyap ke kehampaan.
“Begitu rupanya... Aku mulai memahaminya. Karakteristik dari kode ini.”
Tsushima mendongakkan dagunya dengan wibawa, dan menatap Amanomikami dengan kedua matanya yang berkilau seperti nyala api. Di hadapan tatapan itu, untuk pertama kalinya Amanomikami menunjukkan senyum getir yang nyaris seperti goyahan.
“Tak mungkin, kamu... Barusan itu, kamu menghambat eksekusi kode?”
“Tak ada kewajiban bagiku untuk menjawabnya.”
Dalam jarak yang bisa dijangkau tangan, keduanya saling menatap tajam. Niat membunuh yang begitu hebat seolah bisa membakar siapa pun yang mendekat beradu di antara mereka, membuat udara di sekeliling bergetar.
Dalam situasi seperti itu, Tsushima menyunggingkan senyum sinis dan berkata,
“Oh? Tidak senang, ya?”
Ucapannya yang penuh ejekan menggema ke dalam kekosongan, membuat urat di dahi Amanomikami menonjol.
Dia menepis lengan Tsushima yang mencoba meraihnya, dan seketika lengan itu hancur, daging dan tulangnya tercerai berai di udara. Tsushima menyeringai menahan sakit saat melihatnya.
Namun, lengan itu segera diselimuti kabut tipis dan dalam sekejap kembali ke bentuk semula.
Dengan ekspresi seolah berkata “lihatlah ini,” Tsushima memperlihatkan lengannya yang telah pulih. Amanomikami membalas dengan raungan.
“Kembalinya bagian tubuh bukan cuma milikmu! Anak kemarin sore, jangan besar kepala!”
Mata Amanomikami bersinar liar, dan dari belakangnya muncul kotak-kotak kecil tak terhitung jumlahnya. Kotak-kotak itu terbuka satu demi satu, dan eksekusi kode dimulai.
Namun, semua itu sudah terlambat. Keduanya telah berulang kali berpindah tempat melalui teleportasi ruang dengan kecepatan tinggi berkat kode Tsushima. Dalam kondisi ini, Amanomikami sulit untuk mengeluarkan kekuatan penuhnya.
Tetapi, melihat wajah Amanomikami yang dipenuhi emosi, Tsushima tak bisa lengah.
Dengan mata yang diwarisi dari Aiman, dia menjalankan kode yang dia bangun bersama Aiman.
“Segala sesuatu, kembalilah ke wujud semestinya.”
Cahaya biru gelap melesat seperti kilat dari mata Tsushima.
Kotak-kotak yang diciptakan Amanomikami satu per satu dikembalikan ke keadaan sebelum kode dijalankan, seolah waktu diputar mundur.
Tak hanya itu. Faktor informasi yang memancarkan cahaya biru pun turut diputar mundur, mengubah strukturnya hingga menjadi zat yang benar-benar berbeda.
Layaknya salju yang berjatuhan, cahaya biru dari faktor informasi membungkus tubuh mereka berdua. Saat cahaya itu begitu padat hingga menyembunyikan wujudnya masing-masing...
Tsushima merasa, pada akhirnya Amanomikami tersenyum. Dan dari perasaan itu, meskipun dirinya berada dalam posisi yang jauh lebih unggul, muncul rasa takut yang luar biasa dari dasar perutnya.
Informan tingkat tiga belas terkuat di dunia. Di titik kritis yang bisa menentukan kemenangan, tak mungkin dia tidak menyiapkan sesuatu.
Firasat itu menjadi kenyataan saat suara Amanomikami terdengar.
“Pertunjukan ini cukup sampai di sini.”
Suara itu datang dari balik cahaya.
Refleks, Tsushima melesat mendekat. Jika tak menghabisinya sekarang, siapa tahu apa yang akan dia lakukan.
Dia menembus kabut cahaya, mengulurkan tangan, dan Amanomikami masih berada di sana.
Jarinya mendekati leher ramping sang wanita, berniat mengakhiri segalanya dengan mengeksekusi kode. Namun saat itu, sebuah cahaya merah menyala menembus tangan Tsushima.
Itu adalah tombak merah darah yang ditembakkan dari pelukan Amanomikami. Ujung tombak itu menembus kehampaan yang diciptakan Tsushima, dan ruang itu sendiri retak.
“Apa!?”
Mustahil. Tidak seharusnya ada kode yang dapat mengganggu intervensi ruang. Tsushima terkejut, dan Amanomikami membalas dengan teriakan cepat,
“Kamu kira aku tak menyiapkan apa pun untuk menghadapi kode Aiman!?”
Kata-katanya menjadi pelatuk terakhir. Teleportasi acak yang berputar di sekeliling mereka pun mendadak berhenti, dan tembok intervensi ruang pun hancur.
Keduanya terlempar ke udara di atas ibu kota kekaisaran Balga. Di bawah mereka terhampar kota yang bercahaya dengan sinar buatan, dan ruang takhta yang telah runtuh.
Pandangan Tsushima tertuju pada seorang gadis berambut perak yang terayun tertiup angin. Amanomikami pun menatap gadis itu.
“Wahai tampan, aku akui kekuatanmu. Tapi, kamu terlalu naif.”
Dia menjilat bibirnya.
Dengan mata penuh kebencian yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya, Amanomikami menatap Lupus dengan meremehkan.
“Yang kamu lindungi ada di depan mata. Merenggutnya adalah hal yang mudah.”
Tidak mungkin. Tsushima mengertakkan giginya berpikir bahwa itu rencananya Amanomikami.
Amanomikami telah menilai bahwa dia tak memiliki peluang besar untuk menang dalam pertarungan langsung, maka dia mencoba merampas alasan Tsushima bertarung.
Dia membuka kotak untuk menjalankan kode. Tsushima, memastikan gadis berambut perak itu masih selamat, berteriak sekuat tenaga, hingga suaranya serak.
“Lupus!”
Kepala kecil itu mendongak, dan matanya yang kuat bertemu pandang dengannya. Itu saja sudah cukup bagi keduanya.
Lupus, dengan mata indah yang menyala oleh api biru, mengaktifkan penguatan tubuh yang telah dia latih selama malam-malam panjang. Dia kembali membalut pedang pendek di tangannya dengan bilah berapi, lalu berlari di atas karpet merah.
“Meski sampai sejauh ini, jangan harap aku menyerah.”
Amanomikami menatap tajam ke arah Lupus, lalu dengan anggunnya memulai aksi pamungkasnya.
Tepuk tangan yang dia hasilkan menggema ke langit, dan dunia seolah berada dalam genggamannya.
Lepas dari perpindahan ruang, Amanomikami bersiap menjalankan kode dengan kemampuan penuhnya.
“Tidak akan kubiarkan!”
Tsushima mengulurkan tangan ke arah Amanomikami, seolah membidik target. Kode yang tersusun dengan kecepatan tinggi dalam pikirannya memercikkan bunga api, menimbulkan rasa sakit luar biasa saat dilepaskan dari bola matanya.
Kode intervensi ruang-waktu yang bahkan hingga kini belum sepenuhnya dia pahami. Kode yang dia bangun bersama Aiman itu mulai mengintervensi seluruh dunia ilusi yang diciptakan Amanomikami.
Hasil dari semua itu menimbulkan fenomena yang jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh kedua orang itu.
Langit, ruang, dan dunia bergemuruh, mengeluarkan suara bak petir yang seolah mengandung jeritan. Cahaya berlapis-lapis memenuhi kehampaan.
Kuning, biru, merah, berbagai warna meledak seperti kembang api kecil, menjalar, membentuk rantai, dan perlahan menelan seluruh langit.
Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Dunia yang terlihat oleh mata begitu cemerlang, namun pemahaman terhadap situasinya tetap tak terjangkau. Yang pasti, hanya berdiam diri di sini bukanlah pilihan.
Tsushima menjalankan kode dengan kekuatan maksimum yang dia mampu. Hingga hampir membuat bola matanya hancur, Tsushima memaksakan eksekusi kode pada tingkat tertingginya.
“Ahh, hentikan! Faktor informasiku, kodeku!”
Terdengar jeritan Amanomikami dari dalam lautan cahaya yang menyilaukan. Mungkin, dia menyadari sesuatu yang tidak terlihat oleh Tsushima.
Kode yang dieksekusi Tsushima bekerja tidak hanya pada kode Amanomikami, tapi juga pada seluruh faktor informasi yang memenuhi area tersebut.
Dengan paksa memutar balik waktu, kode-kode itu dilenyapkan, dan faktor informasi berubah wujud menjadi energi dan zat atomik dari masa purba. Cahaya yang memenuhi langit itu adalah energi yang terlepas ke kehampaan pada saat itu.
Kode Tsushima yang telah berubah menjadi arus cahaya mengalir di langit dan turun ke bumi. Satu-satunya tempat yang dituju adalah ruang takhta.
Pusat dari ibu kota kekaisaran Balga, sekaligus sumber dari segala kejahatan dunia ini. Dan tempat di mana seorang gadis telah memutuskan akan mengakhiri semuanya.
Sang Kaisar, yang duduk di ruang takhta, menatap kosong ke atas, mulutnya terbuka menyaksikan cahaya aneh yang turun dari langit. Suara yang keluar dari mulutnya tak berbentuk kata.
“Ohhh...!”
Campuran keterkejutan, rasa haru, dan rasa takut.
Saat gelombang cahaya yang ditenun oleh kode Tsushima membungkus ruang takhta, dinding pertahanan yang dibuat Amanomikami menyala dengan intensitas lebih besar.
Permukaan dinding itu bergelombang hebat, seolah memberi tanda bahwa sesuatu mulai runtuh.
Cahaya yang begitu menyilaukan menutupi tubuh sang Kaisar sepenuhnya, sampai bayangannya pun tak terlihat.
“Betapa indahnya...”
Dunia yang bersinar dalam berbagai warna tercermin di mata sang Kaisar yang keruh. Bagi dirinya, dunia itu mungkin memancarkan secercah harapan. Kode tak dikenal yang melanggar prinsip dasar dunia dan cukup kuat untuk menghancurkan faktor informasi. Itu memiliki kesamaan dengan kode penghalang eksekusi yang dia ciptakan sendiri, dan juga berdekatan dengan impiannya.
Namun, kenyataan berkata lain.
Menyibak partikel cahaya yang menyelimuti area itu, satu bayangan muncul di hadapan sang Kaisar.
Bayangan itu tampak kecil dan lemah, namun matanya terbuka lebar, dipenuhi semangat juang untuk memutus mimpi, ilusi, dan idealisme yang telah menyimpang.
“Lupus!”
Seruan itu keluar dari mulut Kaisar, ketika seorang gadis dengan rambut perak panjang yang berayun meneriakkan suara bernada kemarahan.
“Bersiaplah!”
Lupus Filia menggenggam pedang pendek yang telah tergerus oleh eksekusi kode. Meskipun tanpa penguatan tubuh dari kode, tubuh yang telah dia tempa dengan disiplin kini bergerak secepat dan selincah macan tutul, melesat masuk ke jangkauan sang Kaisar.
“Aku ini Kaisar Kekaisaran Balga!”
Sampai akhir pun, tokoh besar yang saling bertukar taktik demi keuntungan masing-masing itu, tidak memiliki cara untuk melawan perenggutan nyawa secara langsung.
Bahkan sebilah pedang pendek yang diayunkan oleh seorang gadis pun tak bisa dihentikan hanya dengan kata-kata. Terlebih lagi, pedang itu membawa tekad dan keberanian yang tak tergoyahkan, membuat segalanya makin mustahil untuk ditahan.
Mata pedang pendek di tangan Lupus memantulkan cahaya. Cahaya putih yang menyelubungi pedang itu mengingatkan pada keagungan manipulasi cahaya milik Fine dan Aara. Itu adalah pedang penghakiman, yang mampu memutuskan seluruh sebab-akibat.
“Guhh!”
Tebasan pedang Lupus menghantam leher sang Kaisar. Saat lehernya ditekan dan dilukai, terdengar suara jeritan lembap keluar dari mulutnya.
Namun itu hanya berlangsung sekejap.
Dengan rahang mengatup dan wajah penuh dendam, Lupus mengayunkan pedang pendek itu sekuat tenaga.
Ujung pedangnya meledakkan darah, membentuk setengah lingkaran yang indah.
Bahkan dalam cahaya yang menelan dunia, percikan darah itu tak kehilangan warnanya yang pekat dan kelam.
Diselimuti darah yang terasa seperti satu-satunya kejahatan di dunia ini, kepala sang Kaisar pun terpenggal oleh tangan Lupus.
Di atas takhta yang diselimuti cahaya, sebuah kepala terpenggal terbang di udara. Itu adalah kepala lelaki yang paling dekat dengan puncak umat manusia, penguasa dunia yang telah meraih kekuasaan tertinggi.
Namun, ketika terpisah dari tubuh, kepala itu tak ada bedanya dengan kepala siapa pun.
Gedebuk.
Dengan suara tumpul, kepala itu jatuh ke lantai dan menggelinding perlahan menuruni tangga takhta. Setiap anak tangga yang dilewatinya, cahaya suci yang menyelimuti ruang takhta kian memudar, dan dunia perlahan diliputi bayangan, seolah tengah terbangun dari sebuah mimpi.
Dan di ujung terakhir anak tangga, kepala itu berhenti di bawah telapak kaki Causa.
Mungkin lelaki yang pernah menjadi Kaisar itu tak pernah membayangkan dirinya akan mati hingga detik terakhir.
Dengan ekspresi yang seolah masih hidup, dia menatap Causa dari bawah.
“Benar-benar... Tak kusangka kamu sungguh melakukannya.”
Causa bergumam dalam nada sungguh-sungguh terkejut, lalu menatap ke arah takhta. Tubuh Kaisar yang kehilangan kepala masih duduk di atasnya, sementara Lupus berdiri di hadapannya, terengah-engah.
Diselimuti percikan darah, dia menatap tubuh tak bernyawa sang Kaisar dengan tatapan sedih. Pedang pendek di tangannya meneteskan darah yang membentuk noda merah di lantai.
Lupus menarik napas ringan, lalu meluruskan punggung.
“Semua telah usai. Segalanya.”
Bahunya bergetar pelan. Causa, yang memperhatikannya dari kejauhan, mengalihkan pandangan saat merasakan kehadiran seseorang turun dari langit.
Itu adalah Tsushima. Dengan darah mengalir deras dari kedua matanya, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, menatap Causa dengan sorot menyeramkan. Keringat dingin mengalir di punggung Causa, membuatnya tak mampu berkata-kata.
Jelas bahwa Tsushima Rindou, sang Informan, telah melampaui batas manusia biasa. Dia kini memancarkan aura yang sama menakutkannya dengan Amanomikami atau Aiman, sesuatu yang tak dapat dijelaskan.
“Bagaimana dengan Fine?”
Tsushima bertanya dengan suara parau.
“Gugur. Sayang sekali.”
“Begitu ya...”
Itu saja yang diucapkannya, lalu dia berbalik, menunjukkan bahwa dia tak tertarik lagi.
Namun sebaliknya, Causa justru tak bisa melepaskan ketertarikannya.
Dia melangkah satu langkah mendekat dan memanggil dari belakang Tsushima, yang sedang menaiki anak tangga menuju takhta.
“Bagaimana dengan Amanomikami? Apa kamu berhasil menyingkirkannya?”
Tsushima berhenti di tengah anak tangga. Dia tak berkata apa pun, hanya menoleh dan mengangkat jarinya ke langit.
Mengikuti arah jarinya, Causa menengadah dan melihat Amanomikami yang perlahan turun dari langit. Tubuhnya tampak sangat lemah. Pakaian indahnya compang-camping, berlumuran darah, tubuhnya penuh jelaga dan kotoran.
Dirinya berbeda dari penampilannya usai bertarung dengan Fine. Hanya dari tampangnya, Causa bisa membayangkan betapa dahsyat pertarungan mereka.
Amanomikami, dengan tubuh letih, mendarat di tanah dan menatap kepala Kaisar yang tergeletak di kaki Causa, seolah memastikan akhir dari semua ini.
“Ah... Dia tak bisa diselamatkan lagi. Tidak, sekalipun bisa, aku tak berniat menghidupkannya kembali.”
Sambil mengurai rambut hitamnya, dia memandang Tsushima dengan tatapan penuh dendam. Tsushima hanya membalas dengan tawa pendek dari hidung.
“Kalau kamu mau melakukannya, aku tak akan menghentikanmu. Itu urusanmu.”
“Bukan itu maksudku.”
Amanomikami menggeleng pelan, menghapus darah yang mengalir dari matanya.
“Kalau aku mengabdi pada Kaisar, dunia akan kacau. Para penguasa akan saling bercampur dan menimbulkan kekacauan. Namun sekarang, aku bahkan tak bisa lagi berharap pada keinginanku.”
Nada bicaranya menyiratkan penyesalan yang dalam.
Amarah dan semangat tempur yang sempat membakar udara sebelumnya kini lenyap entah ke mana. Dengan ekspresi hampa, dia merapikan kerah bajunya.
“Untuk malam ini, aku kalah. Mari kita akhiri saja.”
Amanomikami mengucapkan itu sambil berbalik. Namun Tsushima tetap menatap punggungnya dengan penuh kewaspadaan. Menyadari tatapan itu, dia berhenti dan menoleh kembali.
Melihat wajah Tsushima, Amanomikami memiringkan kepala seperti anak gadis.
“Ada apa lagi?”
“Aku tak menyangka kamu akan mundur secepat ini.”
“Hehe, kamu pun pasti sudah puas malam ini. Aku sudah kenyang.”
Amanomikami tersenyum nakal. Sambil mengayunkan lengan bajunya seolah enggan berpisah, dia menambahkan dengan bisikan rahasia.
“Sekarang aku tahu, kamu bisa melawanku sebagai lawan seimbang, atau bahkan lebih. Musuh sejati yang baru telah muncul. Malam ini, itu sudah cukup.”
Dia menutupi mulutnya dengan lengan baju dan membungkuk ringan.
“Semoga kita bertemu lagi. Sampai takdir mempertemukan kita, selamat tinggal.”
Sesaat setelahnya, tubuhnya memudar dalam kabut. Sisa cahaya biru dari faktor informasi yang bergetar menjadi satu-satunya jejaknya. Tsushima meludah dengan muak.
“Sialan.”
Sang Informan terkuat di dunia telah menghilang, dan ketegangan yang memenuhi ruangan pun sedikit mereda. Tsushima mengendurkan bahunya.
Saat Tsushima kembali menaiki tangga, Causa mengalihkan pandangan padanya, pikirannya mulai berputar.
Kaisar sudah tiada.
Kesatrianya pun hilang.
Lalu, apa yang harus dilakukan sekarang?
Langkah yang harus diambil demi masa depan dunia melintas di kepalanya. Tenggelam dalam pemikiran, Causa tiba-tiba menyadari tatapan dingin yang menatapnya. Dia mendongak, dan melihat sosok Lupus berdiri di atas takhta, menggantikan posisi Kaisar.
Menatap langsung ke arah mata gadis itu, Causa menegakkan punggungnya.
Kini, dia tak bisa lagi meremehkannya. Dengan kekuatan tempur yang luar biasa dan pencapaian bersejarah, Lupus telah menjadi setara dengannya.
Menelan ludah, Causa berbicara.
“Lupus. Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Setelah mengalahkan Kaisar, kamu berada dalam posisi yang memungkinkan untuk naik takhta dengan mudah.”
“Begitu, ya...”
Lupus menyeka pedangnya yang berlumuran darah dengan lengan bajunya, lalu menatap pantulan dirinya di bilah yang telah bersih. Tak tampak sedikit pun keraguan di matanya yang biru jernih.
Tatapan itu kini diarahkan pada Causa.
“Semua yang harus kulakukan sudah selesai. Aku tak tertarik pada kedudukan atau kehormatan. Takhta Kaisar akan kuserahkan kepada Kakanda.”
“Kalau begitu, ini semakin membuatku khawatir akan masa depanmu. Kini kamu memiliki seorang Informan yang bahkan mampu mengalahkan Amanomikami. Bagi kekaisaran dan negara-negara lain, kamu bisa menjadi ancaman besar.”
“Kalau dipikir-pikir, mungkin benar juga.”
Dengan nada ringan, Lupus mengangkat tangan ke dagunya dan tertawa kecil.
“Tapi itu tak ada hubungannya dengan kami.”
“Apa kamu bilang?”
Jawaban yang terlalu sembrono dan tak bertanggung jawab membuat alis Causa berkerut. Nada bicaranya jadi lebih tajam, dan Lupus hanya mengangkat bahu.
“Apa yang kami cari berbanding terbalik dengan apa yang kalian cari. Selama kita tidak saling ikut campur, jalan kita tidak akan pernah bersinggungan.”
“Yang kalian cari?”
Kini setiap kata yang keluar dari mulut Causa menjadi pertanyaan bagi Lupus. Baginya, Lupus Filia telah menjadi sosok yang tak bisa dipahami dan penuh ancaman.
Meskipun mungkin sang gadis tak menyadarinya sendiri.
Lupus menunjukkan senyum dingin, seolah melihat isi hati Causa.
“Itu hal yang tak perlu Kakanda ketahui. Atau lebih tepatnya, kamu tak akan pernah bisa mengetahuinya, bahkan sampai akhir zaman.”
Dengan itu sebagai kata penutup, Lupus berbalik dan menatap Tsushima di sampingnya.
“Tsushima, ayo kita pergi.”
“Ya.”
Tsushima yang tampak begitu lelah mengangkat tangannya ke kehampaan. Distorsi ruang terbuka secara paksa, menciptakan gerbang teleportasi yang hanya cukup dilalui oleh mereka berdua.
Saat Lupus melangkah ke dalamnya dan tubuhnya menghilang, Causa tak tahan dan berteriak.
“Tsushima Rindou! Sekarang kamu adalah Informan tingkat tiga belas, tidak, kamu adalah salah satu yang terkuat baik gelar ataupun kenyataannya. Jika kamu tetap di sini, aku akan menjamin kehormatan dan kekuasaanmu. Tidakkah kamu ingin tetap berada di sisiku?”
Tsushima menoleh perlahan, dengan pandangan lesu. Tatapan dingin seperti es ribuan tahun menatapnya.
“Aku tak tertarik dengan semua itu.”
“Kalau begitu, aku akan siapkan hal lain. Tetaplah di sini sebagai Informan terkuat kekaisaran, Tsushima Rindou.”
Tawaran itu terlalu lemah untuk disebut negosiasi. Namun, Causa tahu betul, jika dia melewatkan kesempatan ini, dia tak akan pernah bisa meraih pria ini lagi. Causa membuka mulutnya, dengan firasat yang sudah hampir pasti.
Namun, bertentangan dengan harapan Causa, Tsushima tetap mempertahankan sikap dinginnya.
“Kamu tak punya satu pun dari apa yang kucari.”
“Dan menurutmu Lupus memilikinya?”
Causa bertanya pada Tsushima yang hendak membalikkan badan.
Nada suaranya menyiratkan ejekan, seolah ingin mengatakan bahwa semua hal yang tidak dimiliki gadis bernama Lupus ada padanya. Keangkuhan itu merembes jelas dari setiap katanya.
Tsushima menghentikan langkahnya saat mendengar nada bicara Causa. Dia menatapnya dengan pandangan iba.
Melihat Causa yang kini berdiri sendirian di dalam ruang takhta yang porak-poranda, Tsushima mengembuskan napas seolah menahan kesal, lalu menjawab, “Benar. Tidak puas dengan jawabannya?”
“Kh...”
Mendengar jawabannya, Causa kehilangan kata-kata. Dia mengepalkan tinjunya, giginya terkatup rapat. Tsushima, yang menyaksikan Causa hampir menghentakkan kakinya karena amarah, seolah baru teringat sesuatu dan kembali berbicara.
“Oh ya. Sekadar mengingatkan satu hal. Lupus memang tidak mengatakannya langsung, tapi sebaiknya kamu tidak ikut campur urusan kami.”
“Apa maksudmu?”
“Aku adalah kesatria Lupus. Siapa pun yang menghalanginya akan kulenyapkan dari dunia ini. Jadi, kalau pun kamu nekat berbuat sesuatu...”
Ekspresi Tsushima menghilang. Sorot matanya menjadi dingin dan tak bernyawa, seolah telah tenggelam dalam dasar jurang kelam, menatap Causa dengan lurus yang mengejutkan.
Lalu dengan gerakan perlahan, sangat perlahan, Tsushima mengarahkan telunjuknya pada Causa.
“Di mana pun, kapan pun, aku akan datang untuk membunuhmu. Ingat itu baik-baik.”
Melihat raut wajah Causa yang berubah muram, Tsushima tersenyum puas.
“Sampai jumpa, Pangeran Causa.”
Kata terakhir itu, sebagaimana biasanya dari Tsushima, diucapkan dengan nada getir yang penuh rasa muak.
Begitu ucapannya selesai, tubuhnya lenyap ke dalam distorsi ruang. Tanpa suara, distorsi itu perlahan kembali ke bentuk semula. Causa menatapnya tajam sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke sekeliling kehancuran di ruangan itu.
“Pangeran, katanya?”
Dia menyeringai getir, seolah menyesali bahwa dia tak bisa membalas sepatah kata pun.
“Aku bukan lagi pangeran. Aku ini Kaisar sekarang, Tsushima Rindou.”
Dia menunduk menatap kepala Kaisar yang menatap langit kosong di atas permadani, lalu meluapkan semua emosinya. Bukan hanya diancam, Causa, yang hampir pasti menjadi Kaisar berikutnya, juga dihina habis-habisan. Membiarkan emosi meledak, dia mengepalkan tinjunya dan memejamkan mata.
Dari kejauhan, dia mendengar derap langkah kaki dan aura manusia yang semakin mendekat. Melihat betapa hancurnya ruang takhta, sudah jelas bahwa pasukan kudeta di bawah komandonya telah berhasil menerobos masuk.
Dia menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara dingin musim dingin, lalu menatap langit malam bertabur bintang. Harga dirinya telah dilukai. Kesatria yang paling dia percayai telah hilang.
Namun, situasi ini sama sekali bukan kekalahan. Justru, ini hampir seperti perkembangan ideal yang dia bayangkan.
Mengubah cara pandangnya, api yang sempat meledak dalam hatinya kini kembali mengeras seperti besi.
“Baiklah, sekaranglah saatnya dimulai. Orang yang akan menggenggam dunia di tangannya adalah aku.”
Di ruang takhta yang kini sunyi tanpa siapa pun, Causa bergumam kecil.
Post a Comment