NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nanji, Waga Kishi Toshite Volume 3 Chapter 2

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 2


Bahkan sebelum penglihatan dan kesadarannya sempat mengenali apa pun, Lupus sudah menyadari adanya perubahan. 

Dalam sekejap, udara yang menyelimuti tubuhnya terasa berbeda. Aroma yang terhirup dari udara, begitu otaknya menangkapnya, Lupus langsung memahami secara naluriah di mana dirinya berada. Aroma ini, yang telah tertanam sampai ke tingkat genetik dalam dirinya, bukanlah sesuatu yang bisa dilupakan hanya dalam waktu setahun. 

Dengan kesal, dia menggigit bibirnya dan menatap sekeliling. 

“Istana, ya. Jadi ini perpindahan ruang?” 

Pemandangan yang terpampang di hadapannya adalah istana yang sangat dikenalnya. 

Lorong dengan nuansa putih yang mendominasi diterangi lampu gantung berhiaskan ornamen emas. Karpet merah terhampar di lantai. Dari jendela besar yang terbuka, terlihat taman dalam yang luas dengan tanaman yang terawat dengan sempurna, bergoyang ditiup angin. 

Sejak hari dia melarikan diri dari tempat ini, segalanya tak berubah sedikit pun. 

Fakta itu terasa menyakitkan bagi Lupus, dan dia menggenggam erat tinjunya. 

“Sepertinya hanya aku yang dipindahkan. Kalau begitu, ini bukan ulah Aiman. Jadi... Amanomikami?” 

Meski sempat bingung dengan situasi tak terduga ini, Lupus mulai menganalisis keadaan sambil berbicara pelan. 

“Kalau benar begitu, berarti kemungkinan besar Tsushima sedang bertempur melawan Amanomikami. Dengan kata lain, dia tidak ada di sini. Secara tidak langsung, bisa dibilang kondisinya malah mendukung.” 

Rencana awal mereka adalah menyingkirkan Amanomikami dari sisi sang kaisar setelah berhasil memasuki istana. 

Namun melihat situasinya, lebih masuk akal jika ini merupakan langkah awal yang sudah lebih dulu diambil oleh sang kaisar atau Amanomikami sendiri. 

Meski begitu, ini bukanlah skenario terburuk. 

Sekalipun sendirian, Lupus sudah berada hanya sejangkauan tangan dari kaisar. Entah ini memang bagian dari rencana sang kaisar atau tidak, fakta bahwa dia sampai di sini tidak berubah. 

Dia telah mencapai titik di mana tangannya bisa menjangkau pria itu. 

Melihat pemandangan yang sangat dikenalnya namun tak pernah memberinya rasa tenang, Lupus mencoba menata napasnya. Detak jantungnya kian cepat, dan tekanan darahnya seakan meningkat. 

“Tak masalah. Aku bukan lagi diriku yang dulu.” 

Berbisik untuk menenangkan diri, dia meletakkan tangan di dadanya. Dia kembali merasakan kerasnya cincin yang melingkar di jarinya, lalu mulai melangkah menyusuri lorong di depannya. 

Dia mengenal tata letak istana ini dengan baik. Sudah tahu betul ke mana harus melangkah di setiap belokan untuk sampai ke tempat sang kaisar. Tempat yang disukai sang kaisar, tempat di mana dia biasa menghabiskan waktu, semua sudah tertanam dalam memorinya. Enam bulan terakhir ini dia habiskan hanya demi membunuh pria itu. 

Lupus turun tangga besar yang mengarah ke ruang takhta, tempat sang kaisar seharusnya berada, dan di sanalah dia menyadari adanya kejanggalan kecil. 

“Kenapa sepi sekali? Di mana para pelayan?” 

Dia menghentikan langkah dan menajamkan telinga. 

Sedikit suara masuk ke jaring kewaspadaannya, dari sisi taman di seberang lorong. Dua langkah kaki mendekat secara bersamaan. 

Dengan cepat, Lupus merapat ke sisi pilar besar. Begitu tubuh mungilnya bersembunyi di balik pilar mewah itu, pintu terbuka dan seseorang masuk ke dalam ruangan. 

Dari suara sepatu bersol tebal yang terdengar berat, dia tahu salah satunya pasti seorang tentara. 

“Tunggu dulu, Yang Mulia. Bisa saja masih ada sisa pasukan pengawal istana di dalam. Lebih baik menunggu tim pembersih sebelum melanjutkan.” 

“Kamu tidak melihatnya? Amanomikami sudah meninggalkan istana, ini adalah kesempatan emas. Jika kita lewatkan sekarang, tak akan ada lagi peluang untuk membunuh sang kaisar.” 

“Tapi pasukan pengawal masih ada...”

“Kaisar tidak pernah membiarkan orang lain terlalu dekat. Beliau tidak percaya pada siapa pun. Justru sekaranglah saatnya kelemahan itu menjadi kehancurannya.” 

Mendengar percakapan itu, Lupus terkejut. 

Bukan hanya karena isi pembicaraannya, tapi karena suara lelaki yang berbicara dengan tentara itulah yang mengguncang dirinya. 

Mengintip dari balik pilar, dia memastikan firasatnya. 

Yang masuk dari taman adalah seorang pria berambut pirang dalam balutan seragam militer putih. Gerak-geriknya yang anggun dan aura yang dia pancarkan tak mungkin salah. 

Dia adalah Putra Mahkota Kekaisaran Balga, Causa Insania. 

Pria yang berdiri di sampingnya adalah seorang tentara yang Lupus pernah lihat beberapa kali. Kalau ingatannya tidak salah, dia adalah komandan Divisi Kedua militer kekaisaran, seorang perwira tinggi setingkat jenderal. 

Siapa yang menyangka bahwa dari mulut dua orang dengan kuasa sebesar itu, akan terdengar rencana pembunuhan terhadap kaisar. Lupus menelan ludah besar, seakan lupa bahwa dirinya sendiri datang ke sini untuk tujuan yang sama. 

“Pada jam seperti ini, kemungkinan besar kaisar ada di ruang takhta.” 

Causa berkata lesu, lalu mengalihkan pandangannya dengan cepat. Tatapannya mengarah ke sisi tempat Lupus bersembunyi, dan dia buru-buru menarik tubuhnya lebih dalam ke balik pilar. 

Di balik pilar, dia ingin memaki dirinya sendiri karena lengah. 

Jika mereka memang hendak menangkap sang kaisar, sudah jelas mereka juga akan menuju ruang takhta. Dan ruang takhta berada tepat di belakang pilar tempatnya bersembunyi. 

Dengan sedikit berpikir, dia bisa menyadari bahwa tatapan Causa pasti mengarah ke arahnya. 

Dan benar saja, keheningan mencekam pun menyelimuti ruangan. 

“Siapa di sana?” 

Dengan nada sedingin es, Causa bersuara. 

Segera terdengar suara tentara yang menarik pistolnya. 

“Bodoh...” 

Menyadari kesalahannya, Lupus menutup mata dengan tangannya. 

Situasi ini jelas tak menguntungkan. Lawannya tengah melangsungkan kudeta secara terang-terangan, atau bahkan sudah memulainya. Jika dia muncul di tengah-tengah ini, hasilnya tak akan baik. 

Lalu, apa yang harus dia lakukan? 

Wajah Tsushima tiba-tiba terlintas di benaknya. Dia bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan pria itu jika berada di sini? 

“Mengandalkan kekerasan, mungkin.” 

Lupus tertawa getir pada dirinya sendiri. 

Tapi pada akhirnya, itulah cara tercepat untuk menghentikan ini sebelum Causa meraih kendali penuh. Nalurinya yang tenang membisikkan hal itu. 

Dia menarik napas panjang tiga kali, lalu matanya menyala terang. 

“Tak apa. Tunjukkan hasil dari semua latihanmu, Lupus.”

Memberi semangat pada diri sendiri, dia melompat keluar dari balik pilar. 

Di lorong yang bersih tanpa noda, cahaya api yang berasal dari kekuatan seorang Informan menari. Begitu melihat Lupus, sang tentara dengan sigap melompat ke depan Causa untuk melindunginya. Dia mengangkat pistolnya dan menarik pelatuknya tanpa ragu, dengan gerakan minimum dan waktu tercepat. 

Terdengar suara letusan kering. 

Peluru kaliber kecil menerobos udara, mengarah ke Lupus. 

Namun, peluru itu dibelokkan oleh dinding panas yang dia hasilkan lewat eksekusi kode. 

Terdengar suara pilar marmer yang hancur di belakangnya. Dengan tubuh yang telah diperkuat, Lupus mendekati tentara itu secepat kilat. 

Tapi lawannya adalah tentara terlatih. Gerakannya juga cepat. 

Hampir bersamaan dengan loncatan Lupus, dia melempar pistolnya dan meraih pedang pendek di pinggang. Menyadari bahwa lawan hendak mencabut senjata dalam jarak dekat, Lupus memutar tubuhnya di udara. 

Dia menghindari bilah pedang yang terayun, dan menghantamkan tendangan memutar ke perut si tentara. 

“Ugh...” 

Tentara itu terangkat dari lantai, terbang melewati Causa, lalu terjatuh dan tergelincir di lantai lorong, terdiam tak bergerak. 

Mendarat dengan mantap, Lupus menahan hentakan tubuhnya dan berdiri di depan Causa. Bilah panas berbentuk seperti pedang pendek hasil eksekusi kodenya dia tujukan ke arah sang pangeran. 

“Sudah lama, Kakanda.” 

“Ya. Senang melihatmu tampak sehat, Lupus.” 

Dengan keteguhan khas bangsawan, keduanya saling menatap tajam. 

“Saat aku melihat pengumuman perang di alun-alun kekaisaran, aku sempat tak percaya. Tapi ternyata memang kamu pelakunya.” 

“Masih berpura-pura? Kakanda pasti sudah yakin sejak awal, bukan? Karena itulah kamu ada di sini sekarang.” 

Menanggapi pertanyaannya, Causa hanya tersenyum ringan.

Di dalam Kekaisaran Balga, terjadinya pemberontakan atau konflik internal adalah peristiwa yang sangat langka. 

Sejak Perebutan Jabal yang pernah mengguncang kelangsungan negara, kekaisaran telah memperketat penanggulangan terhadap elemen-elemen yang berpotensi mengganggu stabilitas domestik. Jaringan militer, kepolisian, dan organisasi rahasia seharusnya telah dilengkapi dengan sistem pencegahan krisis di setiap lini. 

Namun, dalam kejadian kali ini, semua itu tampak tidak berfungsi. Lupus merasakan ada kejanggalan di sana. 

Dia tidak percaya bahwa keberhasilan ini semata karena strateginya yang berhasil. Justru sebaliknya, semua berjalan terlalu lancar. Dia merasa, ada bantuan tak terduga dari luar kehendaknya yang memperlancar semua ini. 

Dan jika benar bantuan tersebut telah melumpuhkan fungsi pertahanan negara, maka semuanya menjadi masuk akal. Orang yang mampu menyusun sesuatu sebesar itu tidak banyak. 

Kemungkinan besar, dalam kejadian ini, Causa terlibat. 

Dia sudah memiliki firasat itu. Tapi siapa sangka, keterlibatan itu ternyata berkaitan langsung dengan rencana pembunuhan sang kaisar. Sebuah perkembangan yang jauh melampaui perkiraan Lupus. 

Lupus menatap Causa dari bawah, dan ekspresi Causa menyampaikan dengan tatapan bahwa dia tidak berniat berkata lebih dari itu. 

“Aku tanya lagi. Kenapa Kakanda ada di sini?” 

“Kamu sudah mendengar percakapan barusan, bukan? Aku datang untuk membunuh sang kaisar.” 

Causa menjawab dengan tegas, tanpa menyiratkan sedikit pun rasa bersalah. Dalam matanya tak tampak niat menyembunyikan apa pun. 

Yang ada hanyalah kesadaran penuh dan kegelapan yang menyerupai kebencian. 

Tidak diragukan lagi, Causa tidak sedang berbohong. 

Namun, Lupus tetap meresponsnya dengan curiga. 

“Sebagai pewaris takhta pertama, aku rasa tidak ada alasan bagi Kakanda untuk mengotori tangan sendiri membunuh sang kaisar.” 

“Aku tak tertarik pada takhta yang diperoleh hanya karena belas kasih. Selain itu, rencana yang dirancang Yang Mulia saat ini terlalu mencurigakan. Justru karena itulah aku merasa harus melucuti kekuasaannya dengan tanganku sendiri.” 

“Rencana yang dirancang?” 

Mendengar kata-kata yang mengusik, Lupus mengerutkan kening. 

Melihat ekspresi itu, Causa tampak terkejut dan membuka matanya lebar. 

“Apa? Jadi kamu memulai semua ini tanpa tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh Ayahanda? Benar-benar adik yang merepotkan.” 

Causa mengangkat bahu dengan ekspresi seolah benar-benar jengkel. Dia menatap tentara yang masih tergeletak tak sadarkan diri di belakang, lalu dengan sikap resmi menunjuk bilah panas di tangan Lupus. 

“Untuk sementara, bisakah kamu turunkan pedang itu? Meski kita tak saling menyukai, saat ini tujuan kita seharusnya sama.” 

Lupus masih ragu apakah dia bisa mempercayai pria ini. Namun ketika dia masih berpikir, Causa mengeluarkan jam saku antik dan mengayunkannya dengan sengaja di depan dadanya. 

“Maaf, tapi kita tak punya banyak waktu.” 

Lupus mendecak lidah, menatap Causa dengan kesal. 

“Itu juga berlaku bagiku. Sang kaisar ada di ruang takhta?” 

“Seharusnya begitu.” 

“Kalau begitu, ayo cepat.” 

Dengan langkah kasar, Lupus berbalik. Di belakangnya, suara langkah kaki Causa menyusul. Keduanya melangkah cepat menyusuri lorong menuju ruang takhta. 

Sambil berjalan, Lupus memikirkan ucapan Causa sebelumnya yang masih mengganggunya. 

Dia menoleh ke belakang, dan Causa mengangkat alis. Meski enggan, dia menyadari tidak ada waktu untuk saling mengamati dengan curiga. Maka Lupus memutuskan untuk bertanya langsung. 

“Jadi, rencana apa yang sedang dijalankan oleh sang kaisar?” 

“Entahlah. Aku belum tahu secara rinci. Tapi dia menyerahkan urusan dalam negeri pada Orix, lalu memusatkan seluruh wewenangnya hanya untuk mengurus satu hal.” 

“Memusatkan seluruh kekuasaannya? Untuk melakukan apa?” 

“Tanyakan sendiri padanya.” 

Causa mengangkat bahu sambil menatap pintu ruang takhta yang kini sudah dekat. 

Lupus melirik Causa sekilas dan bergumam dengan nada sarkastik. 

“Kalau sempat.” 

Dia meletakkan tangannya pada pintu besar yang berdiri megah di hadapannya. 

Dulu, pintu ini terlihat besar dan berat. Tapi sekarang terasa ringan. Dengan dorongan penuh tenaga, dia membuka kedua daun pintu itu dan melangkah masuk ke dalam. 

Ruang takhta itu tidak berubah sedikit pun sejak dulu. 

Langit-langitnya yang tinggi mengingatkan pada katedral, pilar-pilar marmer yang tersusun rapi, dan takhta megah yang berada di atas panggung yang akan langsung terlihat oleh siapa pun yang datang. 

Sejak hari ibunya dibunuh di tempat ini, tak ada satu pun yang berubah. 

Begitu pula sosok lelaki yang duduk di takhta itu. 

Dengan rambut emas yang tertata rapi ke belakang lebih bersinar daripada siapa pun dari keluarga kerajaan, dan mata merah menyala yang terpancar dari sorot matanya yang tajam. Bibir tipis, rahang kokoh, meski usianya hampir enam puluh, aura kekuasaan yang terpancar dari tubuhnya benar-benar pantas disebut penguasa dunia. 

Meski melihat pintu ruang takhta dibuka secara kasar, dia tidak menunjukkan tanda terkejut sedikit pun. Dia menatap mereka seolah semua ini memang sudah sesuai dengan naskah yang dia ketahui sejak awal. 

Ketenangan dan wibawa yang luar biasa. Sosok yang benar-benar berada di puncak kekuasaan suatu bangsa. Menghadapi pria itu, Lupus mengepalkan tinjunya. 

Tapi anehnya, menjelang titik klimaks ini, hatinya justru terasa tenang. Perasaan bahwa dia sudah melangkah sejauh ini dan tak bisa kembali lagi, menghapus kecemasan dari dadanya. 

Napas yang semula dangkal kini dalam. Dia menarik dadanya dan melangkah masuk ke dalam ruang takhta. Dengan sikap tak merendah, dia menyapa. 

“Sudah lama tidak bertemu, Yang Mulia Kaisar.” 

Suaranya yang lantang disambut senyum tanpa rasa takut sang kaisar dari atas takhta. 

“Kamu berhasil sampai ke sini. Sebagai putriku, aku bangga akan pertumbuhanmu.” 

“Ya. Butuh banyak usaha untuk sampai ke tempat ini. Terutama selama satu tahun terakhir.” 

Dia menyibakkan rambut panjangnya dan berhenti tepat di depan takhta. Di hadapan sang kaisar, di mana semua orang akan berlutut, hanya Lupus yang berdiri tegak. 

Dia melirik Causa di belakangnya. 

“Maaf, tapi mangsa ini milikku. Aku tidak akan memberikannya.” 

Dengan mata yang menyala, dia menyatakan hal itu dengan tenang. Causa tampak hendak mengatakan sesuatu untuk menghentikannya. 

Namun sesaat kemudian, listrik mengalir dalam tubuhnya. Dengan penguatan tubuh yang murni, Lupus melesat seperti angin. 

Tangannya menggenggam belati perak. Ketika dia menyentuhkan jari pada bilahnya, cahaya merah menyala terbentuk dari kode panas milik Tsushima. 

Panas tidak memiliki berat. Belati ringan yang mudah dibawa oleh wanita dan anak-anak itu seketika berubah menjadi pedang besar seukuran odachi. 

“Hmm. Eksekusi kode yang bagus.” 

Melihat aksi itu, sang kaisar berkomentar sambil tersenyum kecil. Nada suaranya tak mengandung rasa bahaya sedikit pun. Kepercayaan diri mutlak dan keyakinan mutlak akan keunggulannya membuat Lupus membelalakkan mata. 

Sekali lompatan, dia telah menyusutkan jarak hingga hanya beberapa meter dari sang kaisar. 

Dia mengangkat pedangnya dan, dengan berat tubuh yang melayang jatuh, mengayunkan bilah panas itu tepat ke kepala sang kaisar. 

Pukulan sempurna itu seolah langsung menebas sang kaisar. 

“Apa!?” 

Lupus terkejut melihat apa yang terjadi selanjutnya. 

Ujung bilah merah menyala yang dia genggam membengkok secara aneh tepat di depan wajah sang kaisar. Dan dalam waktu bersamaan, kekuatan tak terlihat mendorong tubuhnya mundur. 

“Ugh!” 

Udara keluar dari paru-parunya. Wajahnya menegang. 

Dia terpental lebih kuat dari sebelumnya dan jatuh ke lantai. Setelah terguling beberapa kali, dia memperbaiki posisi tubuhnya dan menatap sang kaisar. 

“Itu tadi, dinding penghalang?” 

Dari tempatnya di lantai, dia menatap sang kaisar yang tetap duduk di takhta. 

Namun, tubuh pria itu terlihat sedikit terdistorsi. Seperti ada sesuatu yang tak terlihat melindunginya, sebuah penghalang tak kasatmata. Insting Lupus langsung mengenalinya. 

“Kamu terlalu tergesa-gesa, putriku. Apa kamu pikir aku hanya duduk di sini tanpa persiapan apa pun?” 

Sang kaisar menundukkan pandangannya padanya, dengan sikap mengejek. 

Lupus, yang kini berlutut, menggeram kesal. 

“Dinding penghalang Amanomikami, ya? Kalau begitu, sepertinya kita memang butuh Fine untuk menembusnya.” 

Di sampingnya, Causa mengelus dagunya. 

Dan kini, tampaknya giliran Causa. 

“Kehadiran Lupus memang sesuai rencana. Tapi aku tak menyangka kamu pun datang ke sini, Causa. Apa tujuanmu?” 

Sang kaisar melempar tatapan tajam ke arah Causa. 

Namun Causa menerima tatapan itu dengan santai dan tersenyum tipis. 

“Saya kira, Anda sudah tahu jawabannya. Saya datang untuk menggulingkan Anda dari takhta.” 

“Hmm. Bahkan tak bisa menunggu sampai takhta diserahkan secara resmi. Ambisi, kerakusan, keinginan yang melekat. Itu benar-benar mencerminkan dirimu.” 

“Haha. Maaf, tapi saya tidak suka mendengar itu dari Anda.” 

Ketegangan mulai memenuhi udara. Lupus mengamati pertukaran keduanya dengan waspada, siap menyerang kapan saja. 

Menyadari niat pembunuhan yang terpancar dari tubuhnya, Causa menoleh ke belakang. 

“Lupus datang ke sini semata untuk membunuh Anda. Tapi tidak dengan saya. Saya hanya ingin tahu tentang rencana mencurigakan Anda. Tindakan saya terhadap Anda akan bergantung pada jawaban itu.” 

Ucapan itu terlalu berani untuk ditujukan pada seorang kaisar. Namun sang kaisar justru tampak terkesan. 

“Kamu menyadarinya juga, rupanya.” 

Melihat sikap kaisar itu, Causa tampak yakin. Senyumnya kembali tenang. 

“Saya sudah mencurigai gerak-gerik Anda berkali-kali. Tapi saat saya melihat cara Anda memperlakukan Lupus, di situlah saya benar-benar merasa ada yang tidak beres.” 

Causa membuka kedua tangannya ringan dan mulai berbicara dengan nada datar.

Ekspresi Lupus mengeras, tak menyangka bahwa pembicaraan akan beralih padanya. 

“Sepertinya, Yang Mulia punya alasan khusus yang membuat Anda tidak bisa membunuh Lupus, bukan?” 

“Lupus adalah putriku. Tidak ada kebutuhan untuk membunuhnya.” 

“Jangan bercanda. Yang Mulia tidak punya hati untuk hal semacam itu. Faktanya, ketika Los meninggal, wajah Anda tak menunjukkan perubahan sedikit pun. Bahkan jika anggota keluarga kekaisaran lain mati, Anda tetap tak peduli. Tapi dengan Lupus, keadaannya berbeda.” 

Wajah Causa mengeras. 

“Bahkan saat dia terjerat perangkap pelarian, tangan Yang Mulia-lah yang menyelamatkannya. Saat Orix menjalankan rencananya, Anda mengirimku secara paksa ke Elbar untuk mengendalikan situasi. Meski salah satu anggota Enam Pedang Kekaisaran runtuh, atau ekonomi dalam negeri terguncang, Anda bertindak seolah Lupus lebih penting dari segalanya. Jika itu benar, maka jelas ini adalah suatu kejanggalan.” 

Karena telah bertahan melewati garis hidup dan mati dalam berbagai tipu daya, Causa mampu melihat sesuatu yang tak terlihat oleh Lupus. Dia menatap kaisar dengan sorot mata yang penuh permusuhan. 

“Bagi Yang Mulia, kenapa keberadaan Lupus begitu berarti? Bisakah Anda menjelaskan alasan itu? Saya sendiri tidak ingin menyerang Anda hanya dengan kekuatan tanpa tahu apa-apa.” 

“Kamu bersiap untuk murah hati. Apa kamu yakin mengatasinya, atau kamu hanya orang bodoh?” 

Kaisar, masih duduk di atas takhta, bertumpu pada sikunya sambil menatap Causa dengan mata menyipit, seolah sedang menilai. “Baiklah,” gumamnya. 

“Mungkin dari ini aku bisa tahu apakah kamu pantas menjadi kaisar. Maka akan kuceritakan padamu, tujuanku.” 

Dengan suara yang agung dan penuh wibawa, layak bagi seorang penguasa tertinggi, sang kaisar berkata. 

“Satu-satunya yang kucari adalah membangun perdamaian dunia.” 

Kata-kata yang benar-benar tak disangka membuat Lupus bungkam. 

Di mana letak perdamaian dalam Kekaisaran Balga yang terus-menerus menyerang dan menaklukkan seluruh dunia? Sama seperti Lupus, Causa mengangkat bahunya, tidak paham. 

“Membangun perdamaian? Maksud Anda penaklukan dengan dalih pemerintahan?” 

“Keduanya memang mirip, tapi yang membedakannya secara mutlak adalah jumlah kematian.” 

Kaisar menatap kehampaan dan menelan ludah. 

Dia mulai berbicara dengan suara berat. 

“Dunia saat ini terus diguncang oleh kekuatan mereka yang spesial yang dikenal sebagai Informan yang emosional. Keseimbangan kekuasaan terus berubah karena mereka. Dan di bawah kaki mereka, orang-orang biasa yang tak punya kekuatan diinjak-injak, berdarah, menangis, hidup dalam derita dan kesengsaraan. Apakah ini dunia yang benar?” 

“Itu adalah kondisi yang bisa dikatakan wajar dalam sistem dunia. Justru karena itulah, para penguasa seperti kita dibutuhkan untuk mengontrol dan menertibkan para Informan. Bukankah sesederhana itu?” 

“Tidak. Aku berkata bahwa akar dari kekacauan ini adalah para Informan itu sendiri. Merekalah yang memperlebar jarak antara yang kuat dan yang lemah. Ini bukanlah suatu keniscayaan dunia.” 

Causa mengerutkan kening, tak dapat melihat ujung logika itu. 

Lupus, melihat ekspresi sang kaisar yang tampak tenggelam dalam kepuasan sendiri, merasa muak dan akhirnya membuka mulut. 

“Yang menggunakan Informan sebagai alat perang adalah para penguasa dan pemimpin organisasi sepertimu. Kami Informan bertarung hanya demi bertahan hidup. Yang menciptakan kekacauan di dunia ini adalah orang-orang sepertimu!” 

Sang kaisar mencibirnya dengan tertawa pelan lewat hidung. 

Dia menggeleng pelan dengan ekspresi jengah. 

“Salah. Senjata hanya memiliki nilai saat digunakan untuk membunuh. Bila tidak ada medan perang, senjata akan terus berkeliaran mencari tempat untuk membunuh. Dan itu akan melahirkan rantai kebencian serta dendam. Ketika mereka tidak lagi tunduk pada kehendak penguasa, mereka akan menciptakan perang baru sendiri.” 

Ada pepatah, mana yang lebih dulu, ayam atau telur?

Kondisi ini serupa. 

Apakah perang tercipta karena adanya Informan, atau Informan bertarung karena adanya perang? 

Namun, berbeda dari pepatah itu, ada perbedaan jelas di sini, yakni, Informan memiliki kehendaknya sendiri. 

Mereka bukanlah mesin tak bernyawa. Mereka manusia dengan kesadaran dan pilihan. 

Senjata yang hidup dan berpikir. Mereka tidak sekadar alat. Ketika mereka merasakan marah atau sedih, bukan mustahil mereka sendiri yang menciptakan medan perang. 

Lupus mengingat banyak Informan yang dia temui, semuanya berakhir dengan takdir tragis. 

Kesatria di masa lalu, Canus Miles, Azai Genryuu, bahkan Tsushima pun punya masa lalu penuh dendam. 

Karena dia menyaksikan cara hidup mereka, Lupus tidak bisa sepenuhnya menyangkal kata-kata sang kaisar. Meskipun dia merasa muak. 

Sang kaisar mengangkat dagunya dan menarik napas panjang. 

“Aku sudah lama memikirkannya. Tak peduli seberapa keras masyarakat mencoba mengendalikan Informan, hasilnya tak pernah cukup. Jadi, bagaimana jika mereka tidak pernah ada? Dunia ini pasti akan menjadi lebih damai.” 

Ucapan ekstrem itu membuat Lupus membelalakkan mata. Dorongan amarah muncul begitu saja. 

“Itu salah! Bahkan jika para Informan tak ada, manusia akan tetap menciptakan senjata. Mereka akan tetap saling membunuh dengan pengganti lain!” 

“Tapi takkan ada medan perang yang merenggut puluhan ribu nyawa hanya dalam semalam. Jika senjata terbatas, perang jadi lebih kecil, dan kalau korban sedikit, peluang untuk berdamai pun terbuka. Namun, Informan bisa menghapus batas terakhir itu dengan satu jari saja. Mereka iblis sejati.” 

“Salah! Informan bukanlah iblis! Yang membuat kami seperti itu adalah orang-orang lain! Menyalahkan semuanya pada Informan dan menghindar dari kesalahan sendiri, yang menghancurkan dunia ini adalah kesombongan kalian!” 

Lupus menatap sang kaisar dengan terang-terangan penuh permusuhan dan menunjuknya. 

Melihatnya, sang kaisar hanya tersenyum masam dan menatap ke langit. 

“Bodoh. Menolak untuk melihat dunia dengan benar, itulah bukti kebodohan dan kesombonganmu. Tapi para dewa telah memihakku. Aku telah menemukan cara untuk menaklukkan kebodohan itu.” 

Sambil mendongak ke langit, sang kaisar menyatakan dengan suara lantang. 

Causa bereaksi sedikit terhadap kata-kata itu. 

Inilah pokok pembicaraan sebenarnya. Dan sang kaisar pun tahu. Dia berbalik menatap Causa dengan senyum tajam. 

“Aku, lewat riset panjang, telah menciptakan kode yang dapat memblokir dan meniadakan eksekusi kode Informan.” 

“Meniadakan kode?” 

Kata-kata itu langsung menyusup ke dalam kepala Lupus. Butuh beberapa saat untuk mencerna. Dia menggeleng keras, menolak mempercayainya. 

“Itu tidak mungkin. Sudah banyak Informan yang mencoba menciptakan kode itu dan gagal.” 

“Ya. Karena itu tidak bisa dilakukan oleh Informan yang masih hidup. Tapi jika mereka sudah jadi alat belaka, itu bisa. Sesederhana itu.” 

“Alat belaka?” 

“Benar. Aku membedah para Informan yang tak berguna di berbagai daerah dalam kekaisaran. Dengan menghubungkan bagian faktorisasi informasi mereka, aku menciptakan mesin yang bisa menyimulasikan eksekusi kode. Hasilnya cukup mengesankan. Butuh sekitar tiga ratus unit faktor informasi, tapi bahan mentahnya melimpah.” 

Sang kaisar berkata tanpa raut penyesalan sedikit pun. Namun, membayangkan isi ucapannya membuat Lupus merasa mual. 

Menggunakan otak tiga ratus orang sebagai bahan percobaan. Untuk membuatnya stabil sebagai mesin, jumlah yang dibutuhkan mungkin berkali lipat. 

Berapa banyak pengorbanan yang telah terjadi?

Perasaan gelap yang bukan sekadar amarah atau kebencian memenuhi dada Lupus. Dia menutup mulutnya dengan tangan. 

“Cerita konyol macam apa ini...” 

Lupus kehilangan kata-kata dan menundukkan pandangan. 

Di sisinya, Causa menarik napas panjang, tampak terguncang namun sekaligus memahami. Dia menggelengkan kepala dan berbicara dengan suara yang cukup keras untuk didengar Lupus. 

“Jadi begitu. Organisasi seperti Storm’s Peak yang menyisir unsur-unsur tidak stabil, serta perang-perang invasi yang tampak sia-sia, semua itu hanyalah skema untuk mengamankan bahan. Mengerikan...” 

Bahkan Causa, sang anak emas strategi, tampak kehilangan kata-kata. Meski penuh siasat, dia tidak pernah terjerumus sejauh menggunakan rakyat sebagai bahan eksperimen. 

Sang Kaisar, dari atas takhtanya, tetap berbicara dengan nada yang tidak berubah. 

“Namun, kode ini sebenarnya menyusahkan. Beban eksekusinya terlalu berat, sementara jangkauannya sangat sempit. Dengan perangkat tiruan saja, panjang gelombang sinyal cahaya saat mengakses faktor informasi terlalu lemah. Dengan ini, tidak mungkin eksekusi berskala global dilakukan. Tapi, yang memecahkan semua itu dalam satu langkah adalah ibu kalian, Aara Filia.” 

Lupus terkejut dan menahan napas mendengar nama ibunya disebut begitu saja dalam cerita yang mengerikan ini. 

Nama sang ibu, disebut begitu tiba-tiba, lewat begitu saja tanpa sempat Lupus bereaksi. 

Kaisar, terdengar semakin bersemangat, menyemburkan busa di sudut mulutnya saat berbicara. 

“Kode yang dimiliki olehnya adalah sesuatu yang istimewa. Dengan kemampuan Manipulasi Cahaya, hanya mereka dengan kondisi tubuh khusus yang bisa menjalankannya secara efektif. Nah, kebetulan kemampuan itu jatuh tepat di pangkuanku. Sungguh keberuntungan.” 

“Manipulasi Cahaya, katamu?” 

Lupus secara refleks menyela, menatap Causa. 

Mendengar kode manipulasi cahaya, hanya satu Informan yang muncul dalam pikirannya. Fine, sosok yang berkali-kali menghadang dan terkadang bekerja sama dengannya. 

Causa, meski ditatap penuh tuntutan oleh Lupus, hanya mengangkat bahu seolah itu sudah jelas dari awal. 

Kaisar tampaknya sudah tidak memperhatikan interaksi mereka. Dia terus berbicara dengan pandangan tertuju ke langit-langit, dikuasai oleh semangatnya sendiri. 

“Setelah mengetahui sifat kode itu, aku mendapat pencerahan. Jika aku menggunakan Manipulasi Cahaya ini, maka kode Penghambat Eksekusi pun bisa diperluas jangkauannya ke seluruh dunia. Dan memang, itu terbukti bisa. Eksekusi dengan skala terbesar bisa mencakup seluruh dunia, dan jika rencana ini dijalankan, aku bisa mewujudkan dunia tanpa Informan.” 

Di puncak kegembiraannya, sang Kaisar menarik napas untuk menenangkan dirinya. 

Jika semua yang dia katakan benar, ini adalah krisis terbesar dalam sejarah Informan. 

Namun melihat situasi sekarang, tampaknya rencana itu sudah gagal. Dan hanya ada satu orang yang bisa menghentikan delusinya.

Lupus meletakkan tangan di dadanya, seperti sedang berdoa. 

“Ibu yang menghentikanmu, ya?” 

“Benar. Perempuan itu berkhianat. Di hadapan misi untuk melenyapkan para Informan dari dunia ini, dia malah dikuasai oleh perasaan bersalah yang semu. Dia menghalangi rencana ini dan mencoba melarikan diri.” 

“Lalu kamu membunuhnya?” 

“Sayangnya, iya.” 

Mimpi sang Kaisar selalu melenceng dari akal sehat. 

Sambil terus mengoceh tentang perdamaian dunia pasca penghapusan kekuatan para Informan, dia memasang wajah seolah benar-benar menyesal. 

Namun hanya sekejap, kedua matanya yang keriput menatap Lupus. Kedua mata merah yang dipenuhi niat jahat mengarah padanya. Seperti ditatap ular, bulu kuduk Lupus berdiri. 

Kaisar berkata pelan, masih menatapnya. 

“Tapi dia meninggalkanmu. Sungguh, keberuntungan luar biasa.” 

Dengan wajah menjijikkan, dia menyeringai. 

“Kamu yang mewarisi darah Aara Filia, pasti bisa menggunakan kode yang sama dengannya. Untuk mengeksekusi Kode Terakhir yang akan membawa dunia menuju perdamaian sejati yang belum pernah ada sebelumnya, aku membiarkanmu hidup.” 

Sambil berkata demikian, sang Kaisar berdiri dari takhta dengan penuh tenaga. Kakinya yang panjang terentang dan dia berdiri tegak menantang langit-langit. 

Lalu dia merentangkan kedua tangan lebar-lebar, dan membuka matanya lebar-lebar. 

“Ini adalah belas kasih dariku. Tunduklah padaku, Lupus Filia. Tak perlu mati sia-sia seperti ibumu.” 

Untuk apa semua itu? Entah mengapa, meskipun ucapan dan niatnya sangat bertentangan dengan Lupus, auranya justru semakin kuat dan menggetarkan. 

Meskipun sudah busuk, tetap saja dia seorang Kaisar, pikir Lupus dalam hati. 

Bersamaan dengan itu, bayangan sang ibu yang dibunuh olehnya melintas di benaknya. 

Dulu, saat berdiri di hadapan pria ini, dia dikuasai ketakutan. Dia terlalu lemah untuk mengubah takdir. 

Tapi sekarang, semuanya berbeda. 

Lupus menutup matanya. Kini dia memiliki keyakinan dan teman yang bisa diandalkan. Tsushima muncul di benaknya, seakan menepuk lembut punggungnya. 

“Aku baik-baik saja,” bisiknya kepada kesatria dalam hatinya. Dia merasakan cincin di jari yang menggenggam, Lupus membuka mata. 

Kecemasan dan ketakutan yang melingkari tubuhnya telah lenyap. 

Yang tersisa hanyalah keberanian dan kekuatan. 

“Kamu salah. Aku takkan pernah meminjamkan kekuatanku untuk kebodohan semacam itu.” 

Dengan dada tegak dan pandangan tajam, Lupus menyatakan dengan lantang. 

Mendengar jawabannya, sang Kaisar mengangguk dan bergumam, “Seperti yang kuduga.” 

“Aku tidak akan mengulanginya.” 

“Bagus. Aku juga tak ingin mendengarnya dua kali. Tapi kamu takkan sempat mengulang kata-kata itu, karena aku akan membungkam mulutmu.” 

Kaisar mengangkat alis dan menyentuh dagunya, menampilkan wajah tak percaya kenapa Lupus berani menentangnya, lalu dia menghela napas ringan. 

“Kalau begitu, tidak ada pilihan. Meski enggan melakukannya pada anakku sendiri, akan kuambil saja otaknya untuk digunakan.” 

Keterlaluan! 

Lupus merasakan darah naik ke kepalanya seketika. Dia melangkah maju dan membentuk kembali kode serangan. Tapi saat itu, lengan Causa menghalanginya. 

“Terima kasih atas cerita menariknya. Tapi sayangnya, tampaknya rencana Anda tidak sejalan dengan keyakinan saya.” 

Causa menjilat bibir keringnya. 

Tatapan Kaisar berubah. 

“Causa, kupikir kamu bisa memahami rasionalitas dan kebenaran ini.” 

“Oh, ini ide yang luar biasa. Tapi mestinya bukan Anda yang mengelolanya. Senjata terkuat Kekaisaran Balga ini harusnya digunakan secara rahasia. Dan seharusnya tidak dikendalikan oleh tangan Anda.” 

“Apa katamu?” 

“Apa yang saya maksud, rencana ini akan lebih efektif di tangan saya. Dengan cara yang lebih damai, tentunya.” 

Saatnya telah tiba. Dengan nada yang seakan menegaskan hal itu, Causa menjentikkan jarinya. 

Suara jentikan kering menggema di ruang takhta. Segera setelah itu, langkah kaki terdengar dari belakang mereka. 

Suara sepatu yang tenang namun mantap itu mendekat dari belakang Lupus dan Causa. Dengan keanggunan dan wibawa yang tinggi, Lupus bahkan tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang datang. 

Seorang kesatria yang seputih salju, seakan-akan bersih dari semua noda dunia yang jahat, muncul di ruang takhta. 

Salah satu dari Enam Pedang Kekaisaran, Fine Primus.

Dia menatap sang kaisar dengan mata keemasan yang tak menunjukkan emosi sedikit pun. 

“Kesatriaku, Fine. Bisakah kamu menghancurkan penghalang itu?” 

“Sesuai perintah Anda.” 

Causa mendengar jawaban Fine dan langsung memberi perintah singkat. 

“Lakukan.” 

Hampir bersamaan dengan perintah itu, mata Fine memancarkan cahaya. Dua pita cahaya yang bergetar di ruang takhta melesat secepat kilat di udara. 

Itulah eksekusi kode milik Fine. Sebuah kekuatan yang memberikan sifat fisik pada cahaya. Melihat langsung betapa mematikannya kode itu, Lupus langsung menyadarinya secara naluriah. 

Dengan ini, cukup untuk membunuh sang kaisar. 

Namun, bagi Lupus, kematian sang kaisar hanya memiliki makna jika diberikan dengan tangannya sendiri. 

“Tunggu!” 

Dia secara spontan berteriak kepada Fine, namun sudah terlambat. 

Sebelum suaranya mengguncang udara, pita cahaya yang telah dieksekusi oleh Fine melesat lurus ke arah tenggorokan sang kaisar. 

Cahaya yang menyilaukan memutihkan seluruh ruang takhta seperti kilat. Sang kaisar pun memalingkan wajahnya saat cahaya itu datang. 

Namun di wajahnya masih terlihat ketenangan. 

Dan hanya ada satu alasan untuk itu. 

“Terlambat, bodoh,” gumam sang kaisar, seolah tidak berbicara kepada siapa pun secara khusus. 

Bahkan sebelum kata-katanya sampai ke telinga yang lain, bayangan muncul di depan pandangannya. Bayangan yang entah dari mana muncul itu, dengan gerakan anggun layaknya sebuah tarian, mengangkat jarinya ke arah pita cahaya yang mendekat. 

Dalam sekejap, cahaya yang dieksekusi Fine pun hancur. 

Seperti pecahan kaca yang dilempar ke lantai, cahaya itu meledak dan berhamburan menjadi debu terang di ruang takhta. 

“Apa!?” 

Fine, yang menyaksikan itu, mengeluarkan suara terkejut, hal yang sangat jarang dia lakukan. 

Namun rasa heran itu segera menguap. 

Sebaliknya, dalam diri Lupus, muncul rasa putus asa yang berat dan dingin seperti timah dari dasar perutnya. 

Seseorang yang bisa menghancurkan serangan dari Informan sekuat Fine dengan mudah. Lupus mengenali siapa yang mampu melakukan itu. 

Dan jawaban itu membawa serta hasil yang paling dia takutkan. 

“Maaf atas keterlambatanku.” 

Ucapnya ringan, seolah tak terjadi apa pun. Lengan bajunya dari pakaian adat yang gemerlap berayun lembut, dan sandal kayunya yang dicat hitam berdentum ringan saat dia melangkah. 

“Amano... mikami?” 

Dengan enggan mempercayainya, Lupus menyebut nama itu. Amanomikami menatap ke bawah ke arah gadis yang memanggil namanya. 

Lalu, dia tersenyum dengan cara yang khas, anggun, namun menggoda. 

“Bagaimana dengan Tsushima dan lainnya...?” 

Meski jawabannya sudah terbaca dari raut wajah Amanomikami, Lupus tak bisa menahan diri untuk tetap bertanya. Dan seperti sudah menebak pertanyaan itu akan datang, Amanomikami menjilat bibirnya perlahan.


* * *


Beberapa saat yang lalu.


Segera setelah Lupus dibawa pergi, Tsushima dan yang lainnya yang tertinggal di tepi pantai berhadapan langsung dengan Amanomikami yang berdiri diam di atas laut. 

“Ke mana kamu bawa Lupus!?” 

Suara Tsushima yang menggelegar karena kemarahan mengguncang permukaan laut hingga sampai ke Amanomikami. 

Sambil bersikap genit dan menutup mulut dengan tangan, dia menilai Tsushima dari balik topengnya. Bibir merahnya melengkung membentuk senyum sinis. 

“Tenang saja, tidak kubunuh kok. Atas permintaan Yang Mulia, aku hanya disuruh membawanya ke Istana Kekaisaran.” 

“Istana, katamu?”

“Aku tak tahu detailnya. Katanya ada urusan yang harus diselesaikan dengan gadis itu. Maka dari itu, aku kirim dia ke sana. Cuma itu saja.” 

Apa maksudnya semua ini? Dalam benak Tsushima, berbagai spekulasi saling bertabrakan dalam kekacauan. 

Apakah mungkin sang kaisar memanggil Lupus sendiri? 

Apakah dia sangat ingin menghukumnya mati, atau ada alasan penting lain mengapa dia harus memilikinya? 

Tsushima memutuskan tak ada gunanya menerka-nerka lebih jauh, dan meludah dengan kesal. 

“Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” 

“Memang sulit dipercaya, tapi jika yang dikatakan itu benar, berarti dia masih hidup.” 

Aiman masih dengan ketenangan yang tak tergoyahkan sejak sebelum Amanomikami muncul. 

Sikapnya seolah sudah memperkirakan kehadiran Amanomikami, dan itu membuat Tsushima menatap tajam ke arah istana dengan penuh kejengkelan. 

“Brengsek. Bahkan jika ingin teleportasi, kita tak tahu ke mana dia dikirim.” 

“Benar. Menolongnya akan sulit selama wanita itu ada. Sekarang yang penting adalah menghadapi situasi ini terlebih dahulu.” 

Aiman, berusaha memaksa perhatian Tsushima tertuju pada Amanomikami. 

Tsushima pun menyadari hal itu. Di hadapannya sekarang berdiri Informan tingkat tiga belas, yang terkuat di dunia. Dia tak boleh lengah. 

Namun, kekhawatiran akan keselamatan Lupus tetap menghantui pikirannya. 

Melihat dua pria yang tampaknya masih belum seirama itu dari kejauhan, Amanomikami memiringkan kepala dengan santai, tanpa kesan tegang. 

“Aiman. Kalau kamu datang ke sini, artinya aku boleh bermain denganmu, bukan?” 

Walau berdiri cukup jauh di atas laut, suaranya tetap terdengar jelas. Suara itu seakan lonceng mungil, atau kepakan sayap kupu-kupu. 

Aiman menyilangkan tangan di belakang dan mengangguk perlahan. 

“Sepertinya memang begitu.” 

“Aku senang. Sudah lama aku mendambakan waktu untuk bermain dengan guru. Malam ini sepertinya tak ada gangguan, kan?”

Bahkan dari kejauhan, bisa terlihat Amanomikami melirik Tsushima saat menyebut “gangguan”. Aiman hanya mengangkat bahu sambil tersenyum pahit. 

“Kalau dia dianggap gangguan, harus kuusir?” 

“Tak bisa. Yang Mulia hanya melarang selain gadis itu.” 

Jawaban yang singkat dan padat. Aiman menoleh ke Tsushima. 

“Begitu katanya. Maaf, tapi kamu harus ikut serta, Tsushima.” 

“Sial. Kenapa aku harus bertarung bersamamu?” 

“Jangan banyak protes. Ini cara tercepat untuk menyelamatkan Lupus. Lagipula...” 

Aiman melonggarkan dasi di lehernya dan meregangkan lehernya dengan bunyi retakan ringan. 

“Akhirnya, aku bisa memulai tugasku yang terakhir.” 

“Terakhir?” 

Kata-kata yang telah beberapa kali dia dengar sejak di atas kapal membuat Tsushima secara refleks bertanya balik. 

Namun, Aiman tak tampak ingin menjawab pertanyaan itu. 

“Fokuslah,” katanya singkat sambil mengarahkan pandangannya ke Amanomikami. 

Satu-satunya Informan tingkat tiga belas yang mungkin dapat menandinginya berdiri di sana, masih tersenyum puas di balik topengnya. Bibir merahnya tersungging tajam, dan lidah panjangnya menjilat bibir. 

“Baiklah, dua lelaki tampan. Mampukah kalian memuaskanku malam ini?” 

Kata-kata pembuka pertempuran itu terlalu indah untuk disebut demikian. 

Saat Tsushima bersiap, Aiman mengeksekusi kode dengan kecepatan luar biasa. Seketika, distorsi cahaya dari distorsi ruang terbentuk di berbagai titik, termasuk permukaan laut. 

Di belakang distorsi yang disebabkan robekan ruang, Amanomikami, masih tampak terpana, menyentuh beberapa kotak berputar di sekelilingnya dan mencabut cahaya dari dalamnya. 

“Aiman, apa sifat kode wanita itu?” tanya Tsushima sambil bersiap menyambut serangan. 

“Sejauh yang kupahami, kodenya aneh. Paling tepat disebut sebagai kode yang mewujudkan keinginan.” 

“Tak masuk akal.” 

“Setuju. Tapi kekuatannya tak perlu dipertanyakan, bukan?”

Dari balik distorsi ruang yang dieksekusi oleh Informan terkuat dunia, mata Amanomikami mulai bersinar biru pucat ketika dia menciptakan delapan butir cahaya. 

“Dia datang.”

Ucapan Aiman tumpang tindih dengan bunyi sandal kayu yang mendekat dan suara jernih Amanomikami terdengar dari arah yang tak diketahui. 

“Benang merah yang mengikat kekasihku, burung dalam sangkar yang tak dapat disentuh gangguan. Tak perlu tembok. Hanya kilatan pedang yang menuai nyawa dan rasa takut yang akan kalian lihat.” 

Beberapa butir cahaya mulai bersinar terang. Salah satunya berubah menjadi sabit raksasa menyerupai malaikat maut. Yang lainnya membentuk kandang merah darah jauh lebih luas dari distorsi ruang Aiman. 

Konstruksi material sekuat itu begitu tak masuk akal, membuat Tsushima melongo. Aiman menepuk pundaknya. 

“Jangan kagum begitu. Kamu tahu siapa lawan kita?” 

“Aku tahu!” 

Tsushima membentak dirinya sendiri, matanya bersinar dengan tekad. 

Amanomikami meluncurkan satu butir cahaya. Aneh, butiran itu menembus penghalang ruang Aiman dan mendekat ke arah mereka. 

Fenomena itu secara fisik mustahil. 

Tapi tak ada waktu untuk berpikir. Aiman membentuk pijakan di udara dan mulai bergerak di atas laut. Tsushima, menggunakan kode suhu, membekukan permukaan air dan berlari ke arah berlawanan. 

Butiran cahaya itu tampaknya mengincar Aiman. Partikel itu melaju dengan kecepatan luar biasa. 

“Aneh sekali.” 

Tanpa sedikit pun kepanikan, Aiman mengeksekusi kode. Dengan manipulasi ruang supercepat, dia berkali-kali menangkap, mentransfer, merobek, meremas dan menghancurkan butir cahaya itu. 

Seandainya itu benda fisik, itu pasti serangan mematikan yang tidak akan meninggalkan sisa. 

Namun partikel itu justru semakin cepat. Aiman memindahkan dirinya dengan teleportasi, tapi cahaya itu terus mengejar. 

“Betul-betul menyusahkan.” 

Begitu berkata dengan nada ringan, akhirnya cahaya itu mengejarnya. 

Saat Aiman mengayunkan lengannya dengan cepat, butir cahaya itu menyentuh lengannya. Seketika, muncul borgol merah menyala. Cahaya itu langsung merentang menuju Amanomikami, menciptakan borgol serupa di tangannya. 

Sesuatu menyerupai kawat merah menyambungkan mereka. 

“Sedikit kurang anggun untuk disebut benang merah takdir, bukan?” 

Aiman mengangkat pergelangan tangannya yang terbelenggu. Di seberangnya, Amanomikami menatapnya dengan mata penuh kekaguman. 

“Akhirnya kutangkap, kekasihku.” 

Ucapannya lembut. 

Namun ketika dipadukan dengan sorot matanya, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri.

Aiman menunjukkan perlawanan terhadapnya. 

Pada benang merah yang menghubungkan mereka, Aiman mengeksekusi serangkaian distorsi ruang dalam jumlah yang luar biasa. Dia seolah-olah mengacak tatanan ruang itu sendiri. Di antara potongan-potongan ruang persegi yang terbentuk, tercampur kekosongan, air laut, dan potongan tanah yang terobek, menciptakan pemandangan yang aneh. 

Namun, semua itu tidak menghasilkan efek sedikit pun. 

Meskipun ruang-ruang penghalang itu bertumpuk berlapis-lapis, tali merah itu tetap terbentang lurus di antara mereka. Aiman mengerutkan kening, heran. 

“Ini bukan benda fisik, ya?” 

Amanomikami memandang wajah Aiman seolah menjilatinya dengan tatapan, lalu mengangguk kecil. 

“Percuma. Ini adalah takdir itu sendiri. Sesuatu yang bukan bagian dari hukum dunia. Ini benang merah yang menghubungkanmu dengan diriku.” 

Tanpa memperdulikan perlawanan Aiman, Amanomikami menggulung perlahan benang merah di pergelangan tangannya. Tapi, berlawanan dengan gerakan lembut itu, tubuh Aiman tertarik dengan kecepatan yang luar biasa. 

Air laut menciprat ke udara saat jarak antara mereka menyusut. Amanomikami mengayunkan sabit yang telah disiapkannya dengan mudah. 

Bayangan keduanya bersilangan, dan ujung sabit yang diayunkan Amanomikami mengabur. Gelombang kejut merambat di atas laut, dan air laut dalam jumlah besar terlempar ke udara seolah dikoyak. 

Air laut yang tercabik-cabik itu menabrak dinding pelindung merah dan menggema dengan suara gemuruh. Getaran begitu besar hingga tanah pun berguncang. Ini bukan lagi pertarungan manusia. Ini adalah benturan antar makhluk yang melampaui batas kewajaran.

Melihat air laut yang kembali tersedot seperti air terjun ke dalam lautan yang terbelah, Amanomikami membulatkan bibirnya dengan ekspresi sedikit kecewa. 

“Bisa kamu hindari itu, ya?” 

Sambil membelitkan benang merah di ujung jarinya, dia menoleh ke belakang. 

Di sana berdiri Aiman yang tubuhnya terbagi ke dalam beberapa bagian seperti refleksi manusia dalam cermin pecah, sungguh pemandangan yang membuat mata sulit percaya. 

Satu per satu bagian tubuh itu menyatu kembali menjadi utuh. Aiman menjepit ujung dasi yang terpotong rapi. 

“Hm. Aku suka dasi ini, sayang sekali.” 

“Tak perlu cemas. Sebentar lagi kamu tak butuh dasi ataupun kerah lagi.” 

Ucap Amanomikami dengan nada bercanda, lalu kembali menggulung benang merah. 

Dia ingin mendekat lagi. 

Aiman langsung mengangkat tangannya, dan tubuhnya kembali hendak bergerak secara aneh. 

Namun, kali ini tidak semudah itu. 

“Benang sialan. Akan kuhancurkan.” 

Sebuah suara terdengar entah dari mana. Amanomikami memiringkan kepala. 

Di belakang Aiman, api biru gelap seperti nyala setan berkedip di permukaan laut. Seketika, benang merah yang menghubungkan mereka larut ke udara. 

Dengan itu sebagai pemicu, benang lainnya pun menghilang, seolah-olah cat yang dilarutkan ke dalam air. Aneh dan tidak masuk akal. 

Begitu tubuhnya bebas, Aiman langsung menyerang. Dalam waktu kurang dari satu detik, dia melakukan teleportasi, muncul di belakang Amanomikami dan meletakkan tangannya di belakang kepalanya. 

“De-Purge.” 

Ucapnya seolah sedang melafalkan mantra, dan tubuh Amanomikami langsung terpotong-potong dalam ukuran sentimeter. Setiap potongan itu adalah kotak kecil dari distorsi ruang. 

Aiman mengepalkan tinjunya dengan kuat dan merentangkan kedua tangannya. Potongan-potongan itu tersebar ke udara dengan kecepatan tinggi menuju laut, pantai, dan langit. Tubuh Amanomikami terurai ke segala arah oleh satu perintah. 

“Restore.” 

Begitu cepat dan mudah seolah sudah berakhir. Satu-satunya suara yang tersisa adalah bunyi pelan daging yang jatuh ke laut dari distorsi ruang. Aiman menepuk tangannya dengan ringan. 

“Hm. Rasanya memuaskan, tapi masih ada yang ganjil.” 

Meskipun terlihat seperti pertarungan telah berakhir, Aiman tetap menggerakkan kepala ke segala arah, mencari keberadaan Amanomikami. 

Tsushima menyaksikan pertarungan itu dengan rasa tak percaya. 

Inilah ranah para Informan tingkat tiga belas. Sungguh, di mana letak kewarasan Aiman? Jangan bercanda, pikirnya sambil mengangkat bahu. 

Namun, pada saat itu, sesuatu yang aneh masuk ke dalam pandangannya. Di dalam sangkar yang menutupi mereka, sebuah bayangan muncul seolah bertumpuk dengan bulan. Muncul bukan dengan kemegahan, tapi seperti tetesan cahaya bulan, tanpa suara atau tanda. 

Amanomikami ada di sana. 

“Bagaimana bisa dia tak terluka sedikit pun...?” 

Tsushima melontarkan kata-kata itu dengan nada hampir pasrah. 

“Seperti yang diduga, Aiman, kamu sungguh luar biasa. Kupikir aku akan mati barusan. Dan satu lagi si tampan itu, kamu juga ternyata cukup mengesankan. Aku beri kamu pujian.” 

Di bawah cahaya bulan, Amano Mikami masih anggun dan tak tergoyahkan. Aiman menatap ke atas dengan ekspresi getir. 

“Dekomposisi materi, ya. Tidak, bukan sekadar dekomposisi materi. Lebih dari itu, kamu adalah orang ketiga yang bisa memasuki arena bermainku. Aku benar-benar senang.” 

“Arena bermain?” 

Meski menyaksikan keanehan yang tak masuk akal, semangat tempur Tsushima mulai bangkit. Meski Amanomikami adalah musuh, dia merasa tidak sepenuhnya tak berdaya. Masih ada harapan untuk bertarung. 

Tanpa menyadari gejolak dalam hati Tsushima, Amanomikami menyentuh pipinya sendiri. 

“Malam ini dua pria tampan mendekat pada maduku. Sungguh malam yang membahagiakan. Tapi sayang sekali.” 

Dia berkata begitu sambil menyentuh topengnya. Saat cahaya biru pucat mulai menjalar di permukaannya, mata di balik celah topeng menghitam pekat. 

“Menghancurkan dua hal sekaligus dalam satu malam terlalu mubazir, bukan?” 

Tatapan mata hitam legam itu menembus Tsushima. Dia merasa telah bersentuhan dengan kebencian tak terbatas. Namun, dia juga mengenali emosi itu. 

Tak ada yang aneh. Dari sosok yang selama ini tampak tanpa emosi seperti boneka, tiba-tiba muncul niat membunuh yang sangat murni. 

“Tsushima! Dia akan mengakhiri ini!” 

Teriakan Aiman menyadarkan Tsushima, seolah mengangkat kutukan dari tubuhnya. 

“Aku tahu!” 

Itu lebih mirip gertakan daripada keyakinan. Tsushima menepuk pahanya dan mulai menyiapkan puluhan kode dalam pikirannya untuk serangan berikutnya. 

Di atas dua pria yang berdiri di atas laut malam itu, Amanomikami mulai bernyanyi lantang. Kotak-kotak yang mengelilinginya berputar dengan kecepatan gila, selaras dengan lagunya. 

“Cahaya bulan bagaikan miliaran jarum, dua penatap bintang menari bersama tengkorak, dan aku, di ujung mimpi, menanti dan menyanyikan lagu untuk kekasihku.” 

Meski tak tahu sepenuhnya kekuatan Amanomikami, Tsushima bisa menebak satu hal dari lirik lagu itu. 

Ini adalah lagu tentang fenomena yang akan dia ciptakan. 

Dan jika demikian.

Melihat kata-kata itu, Aiman berteriak penuh firasat buruk. 

“Jangan biarkan dia menyelesaikan lagunya! Kita serang bersamaan!” 

Amanomikami masih bernyanyi. Tsushima mengangguk pada isyarat mata Aiman, lalu menghilang seketika lewat kode Aiman. 

Setelah memastikan itu, Aiman berlari di udara menuju Amanomikami. Dalam sekejap, dia memperkecil jarak dan melepaskan kode ke antara alisnya. 

“The Top.” 

Tubuh Amanomikami membeku. Puluhan distorsi ruang menembus tubuhnya seperti jarum, menciptakan lubang di seluruh tubuhnya yang mulai membesar dan hendak meledak. 

Jelas luka yang fatal. 

Namun mata Amanomikami berputar, menatap Aiman. Senyuman muncul di bibirnya, dan sambil menyemburkan busa darah, dia masih menyanyi. 

“Dalam mimpi dan nyata...”

Namun suaranya tertelan oleh kata-kata Aiman. 

“Le Boc.” 

Dalam sekejap, kepalanya hancur dengan bunyi basah. Sebuah ruang padat raksasa yang diciptakan Aiman dari langit menghantam dan menghancurkannya. 

Tubuh Amanomikami yang berubah menjadi daging hancur dilempar jatuh ke laut oleh kekuatan jauh melebihi gravitasi. Sebuah kotak raksasa dengan panjang satu kilometer menghantam permukaan laut. 

Itu bukan suara. Itu adalah kekuatan brutal yang mengguncang seluruh sangkar, merusak permukaan laut. Air laut tumpah dan menelan pantai serta daratan, mengubah bentang alam. 

“Menari bersama bunga, sang putri dan suara seruling di bawah bayang bulan...” 

Namun, hukum dunia seperti tak berlaku di sini. Amanomikami kembali muncul di bawah sinar bulan, menutup mulut sambil tersenyum. 

Aiman memandang ke atas dengan mata bersinar. Keringat merembes dari dahinya dan menetes di pipi. Entah hanya imajinasinya, atau memang hanya imajinasinya, cahaya di matanya tampak mulai redup. 

Namun Aiman tetap menatap lurus pada bayangan Amanomikami. Bukan padanya, melainkan pada sosok yang muncul bersamanya, Tsushima.

Amanomikami menyadari keberadaan di belakangnya dan suaranya naik sedikit karena terkejut. Saat menoleh ke atas, pandangan matanya bertemu dengan Tsushima. 

“Akan kubungkam mulut itu.” 

Jika ada cahaya dalam kegelapan, maka matanya adalah warnanya. Dari jarak yang amat dekat, Tsushima mengeksekusi kode pemusnah. 

Amanomikami berusaha menghindar dari kode yang dieksekusi olehnya dengan memutar tubuh. Namun, gerakannya terhenti secara tidak alami. 

Beberapa lubang menganga muncul di tubuh Amanomikami, dan distorsi ruang terlihat di sana. Di bawahnya, Aiman sedang mengeksekusi kode tembakan pendukung. 

Sambil bersyukur pada Aiman, Tsushima dengan tanpa ragu mengarahkan serangannya. 

“Musnahlah segalanya!” 

“Dengan ini, inilah akhir dari pesta malam ini.” 

Suara keduanya bertumpang tindih. 

Lagu Amanomikami sepertinya mencapai bait terakhir. Tepat sebelum Tsushima sempat mengeksekusi kodenya, semua kotak yang beterbangan di sekeliling Amanomikami terbuka. 

Cahaya menyelimuti Tsushima, dan atmosfer di sekitarnya berubah secara drastis. Seluruh cahaya bulan berubah menjadi jarum perak sepanjang sepuluh sentimeter, dan semuanya mengarah ke Tsushima. 

Jumlahnya tak lagi terhitung. Di tengah gerombolan jarum yang bergelombang, tubuh Amanomikami larut menghilang. Namun Tsushima tetap membidik dengan matanya dan mengeksekusi kode. 

“Percuma. Ini adalah dunia mimpiku.” 

“Akan kumusnahkan mimpimu itu!” 

Seruan Tsushima disusul dengan kode pemusnah yang menghapus seluruh area tempat Amanomikami berada. Jarum-jarum cahaya yang sebelumnya hadir benar-benar lenyap tanpa jejak. 

Namun, dia tak merasakan sensasi bahwa Amanomikami telah dilumpuhkan. Sebaliknya, gunungan jarum yang menerobos ruang kosong yang telah dihapus mulai menumpuk, membuat Tsushima berubah ekspresi. 

Jumlahnya terlalu luar biasa. Bahkan Tsushima yang dikenal memiliki kekuatan luar biasa pun kehilangan warna wajahnya karena pemandangan aneh ini. 

“Sialan!” 

Sambil meluncur turun ke arah laut, Tsushima terus mengeksekusi kode pemusnah secara beruntun. 

Namun, semua itu hanya seperti menuang air ke atas batu panas. 

Kelompok jarum dalam jumlah astronomis mengejar Tsushima, membentuk bayangan besar di langit. 

Sendirian tidak cukup. Seolah untuk membuktikannya, satu jarum yang berhasil melewati kode pemusnah terbang seperti kilat dan menancap ke wajah Tsushima. 

“Ugh!” 

Tsushima mencoba menghindar secara refleks, namun gagal. Rasa sakit membakar menyerangnya, dan sebagian penglihatannya hilang. 

Saat dia membuka mata yang terpejam karena sakit, satu matanya jelas kehilangan cahaya. 

“Sial!” 

Kode-kode yang mengalir di dalam pikirannya tidak bisa diteruskan karena sarana keluaran, yaitu matanya, rusak. Rasa sakit itu berubah menjadi nyeri yang membakar otak, dan Tsushima terpaksa menghentikan eksekusi kode. 

“Satu mataku buta?” 

Menutupi mata yang terasa nyeri dengan tangannya, Tsushima mengklikkan lidah. 

Dengan hanya satu mata, kekuatan kode pemusnah tidak dapat dimaksimalkan. Namun, dalam kondisi ini, tak mungkin dia mengandalkan hanya pada kode pengatur suhu. 

Tak punya ide untuk melawan, Tsushima menoleh ke laut seolah mencari pertolongan. 

Di permukaan yang tertutup bayangan, dua cahaya biru seperti api iblis berkilau. Aiman, dengan napas berat dari pundaknya, menatap ke atas pada Tsushima. 

“Sungguh. Mengandalkan jumlah begini hanya menyiksa veteran tua sepertiku.” 

Aiman berbicara sambil tersendat, lalu mengangkat tangan ke langit. 

“De Barge La Compre.” 

Mata birunya bersinar hebat, dan semburat cahaya faktor informasi melesat melintasi sisi Tsushima. Itu adalah cahaya biru, fenomena langka yang hanya terjadi saat eksekusi kode berkapasitas informasi super tinggi. 

Di titik akhirnya, terlihat lipatan-lipatan distorsi ruang dalam jumlah besar. Kotak-kotak persegi dengan sisi beberapa meter bertumpuk, lalu dalam sekejap dikompresi dan meledak. 

Tsushima tak bisa memahami apa yang sedang terjadi. 

Namun, tampaknya Aiman berniat menerima serangan masif dari Amanomikami secara langsung. 

Jika bicara kekuatan langsung, tak ada alasan Aiman akan kalah. 

Namun, Tsushima merasa firasat buruk. 

Gejala ketidakstabilan Aiman yang pernah didengar dari Lupus di atas laut. Dan kini, keadaan Aiman di hadapan matanya. 

Jelas, dia sudah kehabisan tenaga. 

“Jangan bercanda...”

Dalam proses jatuhnya, Tsushima mendongak ke langit dan mengucapkan itu. 

Kode yang dieksekusi Aiman ditekan oleh serangan Amanomikami. Jarum-jarum cahaya yang seolah mengikuti kecepatan jatuh Tsushima semakin mendekat. 

Aiman yang berusaha mati-matian untuk menahan semua itu, akhirnya berlutut di atas laut. Dari dahinya, tetesan keringat besar jatuh menimpa permukaan air. 

“Hmph. Tidak seberapa.”

Aiman menarik napas dalam untuk mengatur napasnya yang kacau, lalu kembali menatap ke langit. Saat itulah, Tsushima melihatnya, setetes air mata merah pekat mengalir dari matanya. 

“Apa...?” 

Melihat pemandangan itu, Tsushima kehilangan kata-kata. 

Perasaan tak ingin percaya membuncah di dadanya. 

Namun, berlawanan dengan harapannya, rangkaian firasat mulai terhubung dalam pikirannya. 

Perkataan Aiman soal “tugas terakhir”. Fakta bahwa dia datang bukan atas perintah Tachibana, melainkan untuk membantu mereka. Dan kenyataan bahwa dia menyebut dirinya sendiri sebagai veteran tua. 

Semua itu mengerucut pada satu alasan. 

“Kamu, jangan-jangan...”

Saat Tsushima menatap Aiman dengan wajah sedih, Aiman menampilkan senyum getir. 

“Menyedihkan, ya. Ternyata aku memang tak bisa melawan usia...” 

Sesaat kemudian, keduanya ditelan oleh hantaman kekuatan dahsyat yang turun dari atas dan menghilang dari pandangan.


* * *


Amanomikami mengayunkan lengan bajunya yang indah dengan anggun. Pakaian tradisional yang dikenakannya tidak menunjukkan sedikit pun noda, bahkan debu atau bercak pun tak terlihat. Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia baru saja bertarung melawan Aiman dan Tsushima. 

Dengan kebingungan, Lupus menatap tajam ke arah Amanomikami. 

“Di mana Tsushima dan yang lainnya?” 

“Yang kamu maksud si lelaki tampan itu?” 

Amanomikami melangkah perlahan ke depan, mendekat ke dinding penghalang yang dia buat. Dengan bunyi geta yang bergema, dia tiba di tempat di mana dia bisa memandang Lupus dan Causa dari atas. Lalu, dengan suara yang memesona, dia berkata, “Aku telah memakannya. Rasanya sungguh lezat.” 

Dengan ekspresi sangat puas, Amanomikami menutupi mulutnya. Di balik kain mewah itu, bibirnya yang dilapisi merah merona pasti melengkung membentuk senyum sabit. Ekspresi itu menunjukkan kemenangan dan kelapangan hati. Fakta bahwa dia berdiri di sini sudah cukup sebagai jawaban. 

Setelah mendengar jawabannya, kaki Lupus mulai gemetar. Perasaan putus asa mulai merayap dari dalam tubuhnya, seolah memeluknya erat. Giginya bergemeletuk, dan keringat dingin membasahi punggungnya. 

Dia tak ingin mempercayainya. Dengan tekad bulat, dia membalas. 

“Kamu mau bilang kalau Tsushima sudah mati?” 

“Kamu tak bisa mempercayainya? Wajar saja. Kalau begitu, lihatlah ini.” 

Sambil berkata demikian, Amanomikami melepaskan tangannya dari mulutnya. Mulut di balik topengnya tampak bergerak-gerak, dan sesuatu jatuh dari sana. 

Benda yang dia muntahkan ke telapak tangannya itu dia lemparkan ke arah Lupus, seolah-olah dia sedang melempar bunga. 

Melihat benda yang berputar di udara, Lupus memicingkan mata. Begitu benda itu jatuh ke lantai di hadapannya, barulah dia sadar bahwa itu adalah bola mata manusia. 

“Ugh...”

Lupus menahan mual yang tiba-tiba menyeruak, dan mundur dari bola mata yang jatuh di kakinya. Bola mata manusia bukanlah sesuatu yang biasa dia lihat setiap hari. 

Namun, ketika melihat lebih dekat pada bola mata di kakinya, Lupus yakin. 

Dia mengenali mata hitam pekat itu. Sejak hari Tsushima menyelamatkannya setahun lalu, dia selalu merasakan perlindungan dari tatapan ini. Meski gelap seperti dasar kegelapan, di dalamnya tersembunyi kelembutan dan kasih sayang untuk dirinya. 

Ini tanpa ragu, adalah bola mata Tsushima. 

“Tidak mungkin...”

Tak ada kata-kata lain yang terucap. Lupus menggigit bibirnya. Dia hampir ambruk di tempat, namun dengan sekuat tenaga, dia menahan dirinya agar tetap waras. 

Hingga titik ini, Lupus telah merencanakan segala hal dengan cermat, termasuk kemungkinan terburuknya, kematian Tsushima. 

Namun, ketika kemungkinan itu menjadi kenyataan, semuanya terasa berbeda. 

Menatap bola mata sang kesatria yang telah tiada, Lupus perlahan mengulurkan tangannya. Seluruh persendiannya berderit seperti berkarat, seolah menjerit kesakitan. 

Namun, dengan hati-hati, dia mengambil bola mata itu. 

Menatap mata Tsushima yang menatap dari telapak tangannya, Lupus berbisik lirih. 

“Wahai dia yang telah menyelesaikan tugasnya, semoga kamu tidur dengan tenang.” 

Memeluk bola mata yang sudah tak lebih dari sepotong daging itu dengan hati-hati di dadanya, Lupus membungkusnya dengan sapu tangan yang dia keluarkan. 

“Ini bagian tubuh kesatria terhormatku. Aku berterima kasih karena telah mengembalikannya.” 

Bibirnya masih bergetar. Duka dan keputusasaan membuat matanya panas, dan butiran air mata besar mengalir di pipinya bersama kedipan matanya. 

Namun, pertempuran ini belum berakhir. Meski dia tahu semuanya sia-sia, Lupus tetap bertekad memainkan peran sebagai sang putri pemberontak hingga akhir. 

Memandangi Lupus yang tabah, Amanomikami menyipitkan mata di balik topengnya. 

“Kamu pun sudah menjadi wanita yang hebat. Nah, Yang Mulia, bagaimana selanjutnya?” 

Sang Kaisar, menyambut kedatangan Amanomikami dengan duduk tenang di singgasananya. Setelah memutar lehernya ringan, dia menjawab dengan nada santai, seolah tak lagi menganggap penting apa pun. 

“Kirim dia ke ruang penelitian secepatnya dalam keadaan sesegar mungkin. Jangan bunuh dia di sini. Tangkap hidup-hidup. Boleh potong tangan dan kakinya, tapi jangan rusak otaknya. Akan jadi masalah kalau tak bisa digunakan.” 

“Dimengerti. Lalu, bagaimana dengan Pangeran Pertama?” 

Mendengar pertanyaan Amanomikami, sang Kaisar tampak berpikir sejenak. Menatap Causa yang masih menunjukkan ekspresi tenang di bawah tangga, dia melambaikan tangan seperti mengusir anjing. 

“Kali ini kuberi ampun. Mundurlah, Causa. Kamu bukan orang yang tak tahu kapan waktunya mundur, bukan?” 

“Memang, sejak Amanomikami kembali, peluang kami menang sangat kecil. Jika boleh diampuni, maka ini waktu yang tepat untuk mundur.” 

Dari nada suaranya, tampaknya dia benar-benar berniat mundur. Lupus menyadarinya. 

Memang, tindakan Causa kali ini sangat bergantung pada ketiadaan Amanomikami. Kudeta yang dia rancang pastinya dibangun di atas asumsi bahwa Amanomikami tak akan hadir. 

Itu sebabnya Lupus juga memahami keputusan itu. 

Seorang Informan tingkat tiga belas, dengan keberadaan mereka saja cukup untuk membalikkan segalanya. Itulah sebabnya mereka disebut senjata strategis. 

Jika diberi kesempatan untuk mundur, mengikuti kesempatan itu bisa dimengerti. Causa masih punya kemungkinan merebut takhta di masa depan, asalkan dia hidup. Itu perbedaan besar dibandingkan dengan Lupus. 

“Sayangnya, aku tak bisa bertaruh pada dirimu kali ini. Maafkan aku, Lupus.” 

Causa berkata lirih pada punggung Lupus. 

“Aku paham, Kakanda. Pertarungan ini memang dimulai olehku. Meskipun sendiri, aku akan menyelesaikannya hingga akhir.” 

“Begitu ya. Semoga beruntung.” 

Itu menjadi salam perpisahan terakhir Causa saat dia berbalik. Namun, ketika baru melangkah beberapa langkah di atas permadani, dia menghentikan langkahnya karena merasakan sesuatu yang aneh. 

“Fine. Ada apa? Ayo pergi.” 

Ketika dia menoleh, Fine masih berdiri tegak. Dia tidak mengikuti langkah tuannya. Dengan kedua kaki terbuka selebar bahu, dia berdiri menghadap langsung sang Kaisar. 

“...?”

Belum pernah sekalipun dia mengabaikan perintah Causa. Bahkan perintah paling berbahaya pun selalu dia jalankan tanpa ragu. 

Namun sekarang, dia mengabaikan ucapan tuannya. 

Lupus pun terkejut menyadari hal itu. 

“Maafkan saya, Tuan Causa. Apa yang akan saya lakukan sekarang hanyalah urusan pribadi. Mohon abaikan saya.” 

Dengan ekspresi pahit, Fine menatap tuannya. 

Causa memandang wajah manusiawinya itu, menghela napas, lalu menutup matanya. Sebuah senyum getir muncul di bibirnya. 

“Jadi kamu mendengar percakapan tadi, ya?” 

Atas pertanyaannya itu, Fine mengangguk besar sekali. 

Itu saja sudah cukup bagi keduanya. 

Causa menghela napas panjang. 

“Tak masuk akal secara logis. Tapi dendam memang sulit dikendalikan. Baiklah. Aku izinkan, Fine Primus. Mulai sekarang, kamu bukan lagi kesatria milikku. Ikuti kehendak hatimu, wahai sahabat.” 

Causa menjatuhkan pandangannya ke bawah dengan ekspresi menyesal yang belum pernah dia tunjukkan, lalu berbisik pelan. 

Fine mengangguk kuat sebagai jawaban. 

“Terima kasih.” 

Dia menunduk dalam-dalam. Causa menyaksikannya, lalu melangkah mundur menuju pintu ruang singgasana. 

Setelah pembicaraan itu berakhir, Fine melangkah ke depan, ke hadapan Lupus. Bukan ke tuannya, Causa, tapi ke hadapan Lupus. 

Seolah-olah tempat itulah yang seharusnya dia tuju, Fine bersiap siaga dan menghadapi Amanomikami secara langsung.



Lupus mendekat ke punggung Fine dan bertanya. 

“Fine, apa yang sebenarnya terjadi?” 

Punggung Fine yang kuat dan penuh martabat bergetar sedikit mendengar suara Lupus. Dia perlahan menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Lupus, lalu tersenyum tipis. 

“Kamu benar-benar mirip dengan ibumu.” 

“Apa?” 

Lupus terdiam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun atas kalimat yang tak disangkanya itu. Namun sebelum dia sempat menyusun jawaban, Fine sudah lebih dulu memutar tubuhnya ke depan dan melangkah maju. 

“Amanomikami. Sejak awal, sasaranku hanya kamu.” 

“Oh? Apakah aku telah berbuat sesuatu?” 

Nada suara Fine, yang sebelumnya tenang dan tak berperasaan, kini mulai menunjukkan emosi. Amanomikami memiringkan tubuhnya dan memiringkan kepala, menanggapi ucapan Fine. 

“Jangan kira kamu bisa berpura-pura tidak tahu. Aku akan membalaskan dendam guruku.” 

“Gurumu, ya? Ah, ya ya, seingatku begitu, ya.” 

Amanomikami melirik sekilas ke arah Lupus, lalu menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa pelan. 

“Rambut putih kalian berdua, benar-benar seperti pelacur itu, ya.” 

Nada ucapannya sarat dengan hinaan dan kebencian. 

Pasti wajah di balik topeng itu terdistorsi dengan kejelekan. Membayangkan wajah itu saja sudah membuat darah Lupus mendidih. Kemarahan yang sudah mencapai tenggorokannya nyaris tumpah dari mulutnya, tapi justru Fine yang berteriak terlebih dahulu. 

“Karena penghinaan terhadap guruku itu, kamu harus menebusnya dengan nyawamu!” 

Teriakan marah Fine bergema dari dasar perutnya, mengguncang udara di sekitarnya. Seketika itu juga, matanya bersinar biru. 

“Transformasi Kegemilangan Cahaya.” 

Suara gaib yang bergema aneh itu memenuhi ruang singgasana. Dari tubuh Fine yang berdiri di depan Lupus, retakan cahaya mulai muncul. Cahaya dari matanya yang semula biru berubah menjadi emas terang, dan dari seluruh tubuhnya, cahaya semakin membuncah melalui retakan-retakan itu. 

Dia sedang melaksanakan sesuatu yang bukan dari dunia ini. Tanpa sadar, Lupus mundur selangkah, menatap perubahan pada tubuh Fine. 

Bukan hanya Lupus yang terkejut oleh transformasi itu. 

Bahkan Amanomikami yang berdiri di depan singgasana, dan juga sang Kaisar sendiri, membelalakkan mata. 

“Ini, milik Aara Filia...” 

Sang Kaisar menggumam lirih, suaranya penuh keterkejutan dan kekaguman. Sementara Amanomikami, berdiri di sebelahnya, menjilat bibir merahnya dengan senyum tipis. 

“Luar biasa. Aku benar-benar mengira kode itu tak bisa digunakan oleh siapa pun kecuali si tuan putri itu. Malam ini benar-benar penuh hidangan lezat.” 

Di sekitar Amanomikami, kotak-kotak kecil bermunculan tiba-tiba. Dia pun bersiap dalam posisi bertempur. Sementara itu, Fine mulai naik perlahan ke udara, menantang gravitasi. 

“Ini adalah kartu truf yang kusembunyikan khusus untukmu. Nikmati dan bertobatlah.” 

Suara Fine menggema, begitu jauh dari suara biasanya. 

Cahaya yang membentuk wujudnya seketika pecah menjadi partikel kabut. Tubuh Fine berubah menjadi garis-garis cahaya yang tak terhitung jumlahnya, dan dalam arti yang sesungguhnya, dia melesat bak cahaya untuk mengejar Amanomikami. 

Siapa yang bisa membayangkan kecepatan seperti itu? 

Tubuh Amanomikami terpental ke udara, dan dalam sekejap, langit-langit hancur lebur. Potongan langit-langit itu dihancurkan menjadi serpihan oleh garis-garis cahaya yang tak terhitung, melesat ke segala arah. 

Ruang singgasana terbuka ke alam luar dalam sekejap, bahkan sebelum sempat berkedip. Lupus mengangkat pandangannya, menyapu kerikil-kerikil yang berjatuhan dari atas. 

Langit malam yang pekat menghitam kini tersinari oleh cahaya agung yang dipancarkan Fine, membuatnya tampak seperti siang bolong. 

“Itu... Kenapa bisa begitu?” 

Lupus tertegun, memandangi langit. Di matanya, seberkas cahaya melesat di langit. 

Cahaya yang bersinar terang dalam gelapnya malam itu, entah mengapa terasa begitu akrab dan menggetarkan hatinya. Ada rasa rindu yang menusuk sanubari, seolah dia pernah melihatnya dalam mimpi. 

Lupus hanya bisa terpana, matanya tak bisa berpaling dari cahaya Fine yang begitu memukau.


* * *


 Itu adalah pertemuan yang mengubah hidup Fine Primus. 

Pertempuran perebutan kembali Jabal. Dikirim ke garis depan yang sesungguhnya, Fine menyaksikan neraka secara harfiah. 

Seluruh tubuhnya kotor hingga tak lagi tampak warna aslinya, malam-malam yang tak bisa dilewati dengan tidur karena dingin yang menggigit. Rekan-rekannya satu per satu berubah menjadi bongkahan daging, dan nyawa perlahan-lahan hilang dari sorot mata para prajurit yang bertahan hidup. 

Di hadapan kenyataan yang begitu kejam, warna-warna lenyap dari pandangannya, dan dia hanya bisa meringkuk dalam dunia abu-abu. Lalu dia melihat cahaya itu. 

Lingkaran cahaya raksasa yang tergantung di langit yang mendung. Dari sana, kilauan yang menetes seperti embun menyapu habis musuh-musuh di sekitarnya dalam sekejap. Pemandangan itu melampaui sekadar indah, hingga terasa seperti penampakan ilahi. 

“Ah, betapa indahnya...”

Fine yang pada dasarnya tidak akrab dengan emosi, dibuat terpesona oleh cahaya itu. 

Dan jiwanya pun dibersihkan. 

Pemandangan yang dia lihat hari itu tidak pernah bisa dia lupakan, bahkan setelah meninggalkan medan perang. 

Mengabaikan kode yang selama ini dia kuasai, dia mulai meniru cahaya itu, dan bagi Fine, itu adalah hal yang alami. Di medan latihan militer, di pojok barak, setiap hari tanpa henti, dia mencoba dan gagal, mencoba lagi demi mengejar cahaya itu. 

Apa itu cahaya? Apa sifat dari kode tersebut? Dia mengabaikan waktu tidurnya demi mengejarnya, seperti gadis muda yang jatuh cinta pada sebuah mimpi. 

Kode ciptaannya sendiri yang dia dapatkan setelah membuang banyak hal tetap jauh dari ideal. Namun, ketika dia mulai bisa mengendalikan tiruan cahaya itu, keberuntungan datang padanya. 

Atasannya yang menghargai usahanya, bakatnya, dan ketulusannya, membawanya ke latihan militer yang diperlihatkan di hadapan keluarga kekaisaran dan bangsawan. 

Fine yang diselimuti cahaya menarik perhatian mereka. Bukan hanya karena kilauannya. Kemampuannya menghabisi satu regu dalam sekejap pun turut menambah kekaguman. Dalam satu malam, namanya mencuat. 

Malam itu. 

Saat Fine mulai berlatih seperti biasa di medan latihan, seseorang muncul. 

“Kamu, kode itu kamu rancang sendiri?” 

Suara yang terdengar hangat, tak cocok dengan atmosfer dingin dan tak berjiwa dari medan latihan. Fine menoleh, mendapati sosok wanita dan mengerutkan alis penuh curiga. 

Jelas bukan seorang prajurit. Dia mengenakan celana chino dan kemeja linen. Rambut peraknya dipotong pendek, dan mata birunya jernih. Dia menatap Fine dengan senyum yang ramah. 

“Kamu bukan tentara Kekaisaran. Ini area terlarang bagi orang luar.” 

“Oh ya? Tapi di gerbang tadi, tak ada penjaga satu pun, lho?” 

Meskipun nada bicara Fine mengandung tekanan, wanita itu sama sekali tak terpengaruh. Melihatnya begitu, Fine mengklikkan lidah dan mendekatinya. 

“Ada papan peringatan, kan? Pokoknya, cepat keluar. Kalau yang lain melihatmu, akan jadi merepotkan.” 

“Merepotkan bagaimana?” 

“Masuk tanpa izin ke fasilitas militer bisa berujung pada hukuman mati.” 

Fine berkata demikian sekaligus untuk mengancam, agar si wanita menyadari bahaya. 

Namun wanita itu hanya menyentuhkan telunjuknya ke pipi sambil memiringkan kepala. 

“Hukuman mati, ya...”

Dari sikap dan tutur katanya sejak tadi, terlihat jelas dia dibesarkan dengan baik. Mungkin dia bangsawan dari daerah terpencil. Kalau begitu, ketidaktahuannya akan dunia luar bisa dimengerti. 

Namun tetap saja, Fine merasa khawatir akan masa depannya. 

Fine menatap wanita itu dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pandangan mereka pun bersirobok. 

“Wah kamu benar-benar khawatir, ya. Kamu anak yang baik.” 

Wanita itu tersenyum lebar, menatap lurus ke arah Fine. 

Senyum itu murni, tanpa maksud tersembunyi. Entah kenapa, Fine merasakan bahwa senyum itu memancarkan kebahagiaan sejati. 

Senyuman itu sangat berbeda dari hinaan dan cemooh yang biasa dia hadapi. Hangat dan tulus. Siapa sangka, bahwa rasa hangat seperti ini masih ada di dunia? 

Fine mundur selangkah, sudut bibirnya menegang. 

Bukan karena dia terguncang oleh senyum wanita itu. 

Sebaliknya. 

Perasaan yang tiba-tiba muncul dari lubuk hati, semacam kejengkelan atau kecemburuan, membuat wajah kerasnya menyimpang. 

Wanita lembut ini tak tahu apa-apa tentang penderitaan yang dialami para Informan. Tentang hidup dengan mengisap air keruh, mandi darah dan daging kawan sendiri, dibenci masyarakat bak sampah, namun tetap bertahan hidup demi dunia ini. 

Menyadari hal itu membuat wanita itu tampak menyebalkan. Kenapa hanya mereka yang harus menderita? Dia ingin wanita ini merasakannya juga. 

Kebetulan ini latihan militer. Tak ada saksi. Meski postur tubuh wanita itu mirip dirinya, dia tampak lemah. 

Memberinya sedikit pelajaran mungkin bisa jadi bekal hidup. Pikiran kotor itu melintas, dan mata Fine bersinar biru. 

“Tempat ini dipenuhi orang jahat. Bisa-bisa bukan cuma sakit sedikit yang kamu rasakan.” 

Begitu kata Fine, dan tepat saat itu, cahaya menyambar dari belakangnya. Bilah cahaya yang terbentuk seperti pedang mengiris gelapnya malam, mengarah tepat ke leher wanita itu. 

Tinggal dorongan beberapa sentimeter saja, dan daging merah di balik kulit halus itu pasti terlihat. Tapi meski begitu dekat dan begitu cepat, wanita itu tidak mengubah ekspresi sedikit pun. 

“Gaya yang bagus. Tidak buruk, tapi sepertinya masih ada celah dalam kodenya.” 

Wanita itu menyentuh ujung bilah cahaya dengan telunjuknya, lalu menatap Fine sambil tersenyum. 

Mata birunya sebening langit, seolah bisa menembus pandangan. Fine sempat terpaku, lalu cahaya dari mata wanita itu mulai bersinar. 

“Informan!” 

Nyaris bersamaan dengan otaknya mencerna bahwa cahaya itu berasal dari mata wanita itu, sinar menyambar dari atas kepala Fine. Ini bukan cahaya imitasi yang dia gunakan. Ini adalah sinar yang unggul dalam segala hal, baik itu kekuatan, ketajaman, dan kecepatan. 

Kode yang digunakan oleh wanita itu langsung menghancurkan cahaya palsu Fine dalam sekejap. Sinar itu tak menyentuh tanah, hanya berputar mengelilingi mereka, menebar debu cahaya. 

“C-Cahaya ini!” 

Fine terpaku menatap sinar itu. 

Kilau yang tak pernah dia lupakan. Sama seperti cahaya di langit yang dia lihat hari itu. Menatap cahaya yang menjulang ke angkasa, Fine terengah. 

“Tidak mungkin... Jadi, kamu adalah Informan yang menciptakan cahaya di Jabal...?”

“Seperti yang kuduga. Kamu menirunya, ya.” 

Wanita itu menyipitkan mata, seolah sedikit sedih, lalu menunjuk Fine sambil menghela napas. 

“Aku melihat kodemu dalam latihan militer hari ini. Hanya dengan sekali melihat eksekusi kode itu di medan perang, kamu bisa menirunya sejauh ini. Kamu jelas berbakat.” 

“Bakat?” 

“Ya. Kamu sendiri tidak merasa begitu?” 

“Aku...” 

Fine bertahan hidup hingga sekarang dengan kerja keras. Dia tak pernah menganggap dirinya berbakat. 

Namun wanita di depannya menegaskan. 

“Kamu punya bakat. Aku yakin itu.” 

Perasaan Fine kacau. Dia terdiam. 

Emosi gelap yang sempat muncul telah dilenyapkan oleh sinar agung itu, dan kini berubah menjadi kebingungan. Dalam kebingungan itu, tercampur kekaguman, pemujaan, dan sedikit kebahagiaan. 

Lalu wanita itu berkata sesuatu yang semakin membingungkan. 

“Karena itu, aku ingin memberimu satu tawaran.” 

Wanita itu mengangkat telunjuknya yang ramping. Di wajahnya terpancar kelembutan sekaligus keseriusan. 

“Aku akan mengajarkan padamu kodeku.” 



“Itu konyol...”

Fine tak bisa mempercayai telinganya. Seorang Informan mengajarkan kode miliknya kepada orang lain adalah hal yang mustahil. Kode adalah senjata sekaligus aset terpenting. Memberikannya begitu saja tak masuk akal. 

Wajah Fine mengeras karena merasa curiga. 

Wanita itu tampaknya menyadarinya, dan tersenyum kecut. 

“Bukan hal mencurigakan, sungguh. Aku hanya ingin memberimu kekuatan yang luar biasa. Tapi sebagai gantinya, ada satu permintaan.” 

“Jadi ini pertukaran?” 

“Benar.” 

Dengan santai dia menjawab, lalu menyilangkan tangan di belakang punggung. Dia membungkuk sedikit, menatap wajah Fine dari dekat. Meskipun sama-sama perempuan, gerakan itu membuat hati Fine sedikit bergetar. 

Fine mundur satu langkah, bersiap menjaga diri. 

“Apa yang kamu ingin aku lakukan?” 

“Hehe. Jangan terlalu waspada. Permintaanku sederhana. Ada seseorang yang ingin kulindungi dengan kodeku.” 

“Siapa?” 

“Hmm, mungkin belum saatnya kamu bertemu dengannya. Tapi kalau kamu bisa menguasai kodeku dengan baik, nanti akan kupertemukan kalian.” 

Fine telah sepenuhnya masuk dalam permainan wanita itu. Dia sadar, tapi entah kenapa, perasaan itu justru membuatnya nyaman. Dia tak ingin melawan.

Mungkin saja itu karena degup jantung yang menggema karena menyadari bahwa Informan yang selama ini dia dambakan ternyata berdiri di hadapannya. Tapi lebih dari itu, Fine menyukai aura yang dipancarkan oleh wanita di hadapannya. 

Dunia yang mereka jalani pasti sangat berbeda. Namun, aura wanita itu yang begitu murni, sampai-sampai menimbulkan rasa iri, terasa sangat mirip dengan cahaya yang selalu Fine kagumi. 

Fine bimbang dengan tawaran wanita itu. Nalurinya ingin menerimanya tanpa ragu, tapi akal sehatnya membisikkan segala kemungkinan bahaya dan jebakan. 

“Tapi...”

Saat Fine ragu dan tergagap, wanita itu menyembulkan mulutnya seperti anak kecil yang ngambek. 

“Kalau begitu, aku minta tolong pada orang lain saja, ya. Soalnya, aku nggak berniat jual murah kode ini. Jadi kalau kamu bilang berubah pikiran, itu nggak bisa.” 

“Y-Ya, aku tahu, tapi...”

“Kalau ragu begitu, ya sudah. Aku cari orang lain, deh.” 

Dengan cara bicara yang sengaja dibuat manja, wanita itu membalikkan badan. Sang dewi keberuntungan yang turun ke hadapan Fine kini hendak pergi. 

Seketika sadar, tangan Fine terulur, meraih bahu kecil itu. 

“Tunggu! Aku mengerti. Aku menerima tawaranmu. Jadi...”

Wanita itu menoleh separuh badan ke arahnya. Tak ada lagi candaan di wajahnya. Dia menatap Fine dengan ekspresi tenang, seperti laut tanpa gelombang. 

Tatapan itu mengandung kehangatan seperti seorang ibu. Fine pun terdiam. Tapi dia tahu, selama tidak dia ucapkan sendiri, tak akan ada yang berubah. 

Dia pun mengumpulkan tekad dan berkata, “Ajarkan padaku kode itu, cahaya itu. Kumohon.” 

Mendengar jawabannya, wanita itu tersenyum lembut. 

Dia meluruskan punggungnya, lalu mengulurkan satu tangan ke arah Fine. 

“Aara. Namaku Aara Filia.” 

“Eh?” 

Fine refleks bertanya balik. 

“Namaku Aara.” 

Sambil menaruh tangan di pinggang, Aara menjawab seperti sedang berbicara pada anak kecil. Dia bahkan sedikit menggembungkan pipinya, tampaknya tak senang Fine tak segera menanggapi. 

Fine hanya bisa terpaku memandangi Aara, lalu perlahan mengangguk. 

“Fine Primus. Prajurit darat tingkat satu.” 

“Fine, ya. Nama yang bagus.” 

Aara lalu mendekat dan menjabat tangan Fine dengan paksa. 

“Mulai hari ini, kamu jadi murid kesayanganku. Senang bekerja sama ya.” 

Aara mengatakannya dengan senyum penuh kebahagiaan. 

Itulah pertemuan Fine dengan guru yang mengubah hidupnya. 

Hari-hari berikutnya menjadi masa-masa penuh kebahagiaan bagi Fine. 

Berkat latihan keras yang terus berlanjut, kemampuan Informan-nya meningkat drastis. Seiring meningkatnya kemampuan, jumlah penugasan ke medan perang pun melonjak tajam, dan dalam setiap pertempuran, dia mencatatkan kemenangan mutlak. 

Namun lebih dari pengakuan dan pujian dari masyarakat, waktu yang dia habiskan bersama Aara adalah hal yang paling berharga bagi Fine. 

Aara, yang memancarkan kehangatan seperti matahari, selalu menyambutnya dengan senyum hangat, meski Fine baru saja kembali dari medan perang yang mengerikan. Terkadang Aara bersikap tegas, namun Fine tahu bahwa di balik itu ada kasih dan perhatian. Dia sangat mencintai wanita itu. 

Justru karena itu.

Meski dilanda efek samping yang tak masuk akal akibat eksekusi kode yang seharusnya mustahil, Fine tetap berpura-pura seolah itu hanyalah masalah kecil. Setiap kali dia menjalankan kode itu, otaknya seperti terbakar, dan bahkan ciri fisiknya mulai berubah.

Warna matanya memudar dan berubah menjadi emas. Rambutnya kehilangan warna. Bahkan kulitnya berubah menjadi putih seperti porselen, jauh dari warna aslinya. 

Perubahan penampilan Fine begitu drastis hingga membuat orang-orang di sekitarnya terkejut. 

Tapi dia tak peduli. 

Itu semua sepele. 

Hari-hari yang dia habiskan bersama Aara tak tergantikan. Perubahan pada tubuhnya tak berarti apa-apa di tengah kebahagiaan itu. 

Bagi Fine, yang tak punya keluarga, Aara telah menjadi satu-satunya sosok keluarga sejati. 

Karena itu, bahkan setelah waktu berlalu, Fine yakin bahwa menjadi murid Aara adalah keberuntungan terbesar dalam hidupnya. 

Namun hari-hari itu tidak berlangsung lama. 

Suatu hari, saat Fine kembali dari medan perang, tanpa peringatan apa pun, sang guru telah terbunuh. 

Aara tewas tanpa sempat memberitahukan siapa orang yang dia ingin lindungi. 

Tak ada yang memberi penjelasan. Dunia tetap berjalan seperti biasa meski cahaya matahari itu padam. 

Bagi Fine, itu adalah kenyataan yang tak tertahankan. 

Kenapa Aara dibunuh? Dalam pencariannya atas kebenaran itu, Fine akhirnya menjadi kesatria Causa, dan menempati posisi tertinggi sebagai salah satu dari Enam Pedang Kekaisaran. 

Tanpa sadar, dia telah meraih semua yang dulu dia impikan. 

Namun, lubang yang menganga di dalam hatinya tetap tak bisa terisi. 

Ya, janji dengan Aara masih belum terpenuhi. 

Lalu, saat itulah Fine menemukannya. 

Satu-satunya orang yang mungkin ingin dilindungi oleh Aara. Warisan yang ditinggalkannya, Lupus Filia. 

Saat melihat Lupus, Fine langsung memahami. Dialah orang yang ingin dilindungi oleh Aara. Orang yang layak dia pertaruhkan nyawa demi melindunginya. Bukan hanya karena parasnya. Aura anggun dan tegas yang dimilikinya sangat mirip dengan Aara yang dia kagumi dan cintai. 

Sejak hari itu, dalam hati Fine lahirlah satu misi rahasia. 

Meski di permukaan dia adalah kesatria Causa, dalam jiwanya terpatri takdir yang akhirnya terbangun. Untuk membalas keinginan terakhir sang guru, satu-satunya yang pernah menyalakan cahaya harapan dalam dirinya. 

Mungkin saja, Causa menyadari hal itu. Dia pun tampaknya pernah menyelidiki kematian Aara secara tersirat. 

Banyak hal yang belum jelas. Namun, kematian langsung Aara memang disebabkan oleh perintah sang kaisar. Meski begitu, ada bekas-bekas beban kode yang sangat tidak wajar sebelum kejadian itu. 

Itu sudah jelas. Hanya sedikit orang yang mampu membunuh Informan seunggul dia. 

Lalu siapa yang membunuhnya? 

Jawabannya, sudah pasti.


Kamu. 

Kamulah yang telah membunuh harapanku. 

Tak akan kuampuni. 

Tak akan kuampuni. 

Meskipun tubuh ini hancur binasa. 

Aku bersumpah. 

Akan membunuhmu. 


Seolah terbangun dari ingatan yang sangat jauh, kata-kata itu mengalir dari mulut Fine. 

Kode terakhir yang diajarkan oleh gurunya, untuk melindungi seseorang yang sangat penting, konon hanya bisa digunakan oleh mereka yang memiliki garis darah khusus. 

Transformasi Kegemilangan Cahaya. 

Kode ini merupakan kebalikan dari kode yang memberikan sifat fisik pada cahaya. Dengan mengubah tubuhnya sendiri menjadi cahaya, Fine dapat mewujudkan berbagai karakteristik seperti dispersi, partikelisasi, dan konversi gelombang sesuka hati. Bahkan bagi gurunya, Aara, menguasainya sepenuhnya adalah hal yang sulit; itu adalah kode rahasia tingkat tinggi. 

Dan kini, Fine tengah menjalankan kode itu. 

Detik yang dia habiskan melesat melintasi langit malam terasa seperti menit di dalam kesadarannya. Amanomikami, yang terpental ke udara, masih tidak bergerak, tubuhnya terentang lebar. 

Fine menghantam sisi wajah musuhnya dengan tubuhnya yang telah menjadi cahaya. Tubuh yang menjadi cahaya itu memanjang dengan bebas dan bisa kapan saja mengembalikan bentuk fisiknya. 

Pukulan itu menghancurkan leher Amanomikami. Tidak hanya itu, kepalanya lenyap tanpa sisa. Setiap pecahan daging yang beterbangan di udara menimbulkan perasaan muak yang luar biasa dalam diri Fine. 

“Aku tidak akan memaafkanmu. Tidak satu pun serpihan dagingmu, sehelai pun rambutmu, setetes pun darahmu, seluruh keberadaanmu tidak akan pernah kuampuni.” 

Karena tubuhnya menjadi cahaya, tiada suara yang keluar darinya. Sebagai gantinya, cahaya yang menyelubunginya bergetar hebat, memancarkan amarahnya. 

Dia terus menghajar kepala Amanomikami yang telah hancur, menghancurkan tubuh yang tersisa menjadi serpihan-serpihan kecil. Ketika dia benar-benar telah menghapus seluruhnya, Fine merasakan sebuah kehadiran di atas kepalanya. 

Dengan punggungnya menghadap cahaya bulan, Amanomikami berdiri lagi, seolah tak pernah dihancurkan tadi. Muncul secara tiba-tiba, tanpa proses regenerasi yang wajar, pemandangan itu sungguh aneh untuk disebut sebagai kebangkitan kembali.

“Apa kode milikmu? Kloning? Ilusi? Pengendalian jarak jauh?” 

Merasa dirinya mulai kehilangan batas-batas kepribadian, Fine segera menganalisis berbagai kemungkinan. Dia membagi tubuhnya menjadi lebih kecil lagi dan menyebarkannya sebagai partikel cahaya. 

Setiap partikel kecil itu bersinar terang dan menyebar ke seluruh kekaisaran. Kesadaran Fine ikut tersebar, berpindah-pindah sekejap dari satu partikel ke partikel lain, mencari tubuh asli Amanomikami. 

“Bukan kloning. Bukan pula pengendalian jarak jauh?” 

Tubuh Amanomikami di langit malam mulai bergerak sedikit. 

“Kalau ini tubuh aslinya, kenapa dia tidak mati?” 

Keabadian tidak mungkin. Fine kembali menebas tubuh Amanomikami dengan kecepatan cahaya. 

Namun, hasilnya tetap sama. 

Saat menyadarinya, Amanomikami yang baru muncul lagi di bawah cahaya bulan, berlenggak-lenggok dalam pakaian tradisional yang gemerlap. 

“Apa yang sedang terjadi?” 

Fine mendekat lagi. Tak ada yang berubah dalam wujud Amanomikami. Bahkan kotak-kotak kecil yang mengelilinginya pun tampak sama seperti sebelumnya. 

Kalau begitu, apa ini? 

Ketika Fine masih diliputi kebingungan, mata Amanomikami yang seharusnya menatap kekosongan tiba-tiba bergerak cepat. Dia tidak mungkin bisa mengikuti Fine yang bergerak secepat cahaya. Fine berusaha mundur. 

Tapi Fine sedikit terlambat. Amanomikami menempelkan telapak tangannya ke wajah Fine. Dengan kekuatan tak terduga dari lengannya yang ramping, dia melempar tubuh Fine jauh ke belakang. 

Tubuh Fine, meski telah menjadi cahaya, terhempas ke tanah di ibukota Kekaisaran Balga. Dia menembus tanah, merobohkan bangunan, membentuk jurang raksasa, dan baru berhenti setelah menembus kota. 

“Ugh...”

Tubuh cahaya seharusnya tidak bisa disentuh dengan normal. Fine melihat kepalan tangannya dengan kaget dan akhirnya mengerti. 

“Benar juga, terlalu berat bagiku rupanya...” 

Keletihan menyapu tubuhnya, pikirannya keruh. Meski telah menduga sebelumnya, melihat kenyataan langsung membuat Fine menghela napas. 

Kepalan tangannya berubah seperti abu putih, kehilangan cahayanya. Tak hanya tangan, namun juga pipinya, rambutnya, lehernya, sekujur tubuhnya perlahan berubah menjadi abu dan gugur. 

Benar-benar seperti sisa kayu bakar yang hangus. Energi kehidupan yang diubah menjadi cahaya kini mengelupas dari tubuhnya. Itu adalah harga yang sejak awal dia ketahui. 

Wajahnya mengerut menahan duka, tapi segera mengepal kuat. 

“Namun, aku belum bisa menyerah.” 

Dengan paksa, dia menegakkan lututnya yang gemetar dan berdiri lagi. Tubuhnya masih bisa bergerak. Masih ada tenaga tersisa untuk mengeksekusi kode. 

Kalau begitu, dia masih belum kalah. 

“Transformasi Kegemilangan Cahaya!” 

Dengan gigih menggertakkan gigi dan membuka matanya lebar, Fine kembali mengeksekusi kode yang sama. Rasa sakit menjalar di otaknya, setetes darah mengalir di pipinya. Tapi, darah itu segera berubah menjadi tetes cahaya. 

Cahaya kembali meretakkan tubuhnya, menghancurkan abu yang menyelimuti tubuhnya. 

Cahaya ini adalah kebanggaannya. Dia tak akan membiarkan siapa pun menodainya. 

Merasakan kehadiran Amanomikami di langit kekaisaran, Fine terbang pelan dan mengarahkan serangan. Mereka mengapung ratusan meter di udara. 

Melihat Amanomikami yang kecil seperti titik di langit, Fine mengangkat satu tangan tinggi-tinggi. 

“Tombak Penghakiman Ilahi.”  

Di antara seluruh kode yang dia miliki, ini adalah yang khusus diciptakan untuk penghancuran titik tunggal. 

Seiring dengan eksekusi kode, segumpal cahaya terkompresi terbentuk di tangannya. Kepadatannya membuat udara berderit, cahayanya menyilaukan, dan akhirnya berubah menjadi tombak. 

Cahaya itu pasti bisa terlihat oleh Amanomikami. 

Justru karena itulah, kode ini dipilih. 

Fine membengkokkan tubuhnya dan mengincar Amanomikami. 

“Demi tuanku. Tidak, demi hukuman ilahi. Terimalah ini.” 

Dengan mata terbuka lebar, Fine melempar tombaknya ke udara. 

Tombak itu melesat secepat kilat, menerobos awan dan menciptakan gelombang kejut saat menembus atmosfer menuju Amanomikami. 

Seperti petir, tombak itu menyelimuti dirinya dengan cahaya. Amanomikami mengulurkan satu tangan. 

“Aku tak begitu suka cahaya yang terlalu menyilaukan.” 

Dengan jari-jarinya yang halus dan mewah, dia tampak hendak menahan kekuatan dahsyat itu. 

Namun sebelum jarinya bergetar dua kali, Fine muncul tepat di hadapannya, lebih cepat dari tombaknya. 

Seperti yang dilakukan Amanomikami padanya, Fine mencengkeram wajah musuhnya dan melemparkannya seperti selembar kain. 

Di arah lemparannya, tombak ilahi itu menunggu. Fine segera menciptakan tombak kedua dan melemparkannya dari arah berlawanan. 

“Wah?” 

Suara ringan Amanomikami terdengar. Lalu langit meledak. 

Dua tombak menghantam, dan Amanomikami yang terjepit di antaranya lenyap, tubuhnya terbakar oleh cahaya yang membanjiri. Langit Kekaisaran menjadi lebih terang dari siang hari, diselimuti sumber cahaya yang panas menyengat kulit. 

Dalam beberapa detik dunia kehilangan bayangan, dan Fine menajamkan pandangannya. Amanomikami tidak akan mati semudah itu. Tapi pasti ada sesuatu aneh yang terjadi. Matanya mencari, dan di tengah dunia yang bercahaya putih, dia menemukan satu bayangan yang tidak tertimpa cahaya. 

“Bangun dari mimpi adalah takdir manusia. Tapi bermimpi pun adalah takdir manusia,” ucap Amanomikami dengan tenang, membalut tubuhnya dengan kegelapan saat melangkah di tengah cahaya. Di tanah kosong, suara sandal kayu terdengar, menggema saat dunia perlahan kembali diliputi gelap. 

“Mimpi, katamu?” 

“Semua orang suka bermimpi, bukan? Mimpi dan harapan, seperti ilusi. Tidak ada bedanya dengan dunia nyata.” 

Dengan suara lembut seperti denting lonceng, Amanomikami menyentuh kotak-kotak di sekitarnya. Mereka terbuka serentak, melepaskan partikel cahaya ke langit. 

Fine menyaksikan dengan tenang dan berkata seolah telah memahami. 

“Jadi begitu. Jadi ini semua adalah mimpimu, ya?” 

Mendengar itu, Amanomikami memutar tubuh dengan malu-malu. 

“Malunya... Tapi ya, ini adalah mimpiku. Dan juga mimpimu. Jika kita bermimpi bersama, maka mimpi itu menjadi nyata.” 

“Kode yang tak masuk akal.” 

Fine sendiri tidak tahu apakah dugaannya benar. Tapi dari kata-kata Amanomikami, dia merasa menemukan inti dari kekuatan perempuan itu. 

Kode milik Amanomikami mungkin adalah kekuatan untuk memanifestasikan khayalan dan keinginan yang dia impikan ke dalam realitas. Artinya, dia bisa menekuk hukum dunia dan mewujudkan kemungkinan apa pun. 

Namun itu jelas telah melampaui batas ilmu pengetahuan. Itu menyimpang jauh dari prinsip dasar seorang Informan, yakni “menciptakan fenomena yang dapat direalisasikan secara ilmiah”.

“Melampaui ilmu pengetahuan, dan memasuki ranah filsafat, ya?” 

Fine teringat bahwa dia pernah menggumamkan kata-kata yang sama setahun silam. Saat itu, ada seorang pria yang, seperti Amanomikami, telah jauh melampaui prinsip-prinsip seorang Informan. Jika bukan karena pria itu, mungkin dia takkan pernah bisa menerima sifat kode milik Amanomikami. 

Namun, bahkan pria itu pun kalah di hadapan keganjilan Amanomikami. 

“Apa aku bisa menang?” 

Fine menatap tangannya yang telah menjadi rapuh seperti tulang dan dipenuhi abu, bertanya pada dirinya sendiri. Waktu yang tersisa untuk tubuh ini tinggal sedikit. Meski begitu, dia masih belum menemukan cara untuk mengalahkan Amanomikami, yang menggunakan kode konyol yang bisa mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. 

Terdengar suara samar dari nyawa yang terbakar. Fine menutup matanya. Bahkan di balik kelopak mata tubuhnya yang telah menjadi cahaya, dunia masih tetap bercahaya putih. Dalam putih yang seakan menggambarkan dunia setelah kematian, bayangan Aara muncul dalam ingatannya. 

Tanpa sadar, tinjunya mengepal. Fine membuka matanya. 

“Tidak ada pilihan lain.” 

Menatap Amanomikami yang berdiri tenang di depannya, Fine bersiap untuk mengeluarkan kartu terakhirnya. 

Tiket sekali jalan yang sudah dia sobek sejak awal. 

Tak ada lagi alasan untuk menyembunyikan apa pun. 

Menyadari perubahan dalam aura Fine, Amanomikami menyentuh partikel cahaya yang melayang di udara. 

“Masih ada yang disembunyikan, ya?” 

Mendengar suara Amanomikami yang terdengar sedikit tegang, Fine langsung menunjuk padanya. 

“Jika mimpimu bisa diwujudkan menjadi kenyataan, maka aku hanya perlu membunuhmu sebelum kamu sempat bermimpi.” 

“Benar. Jika mimpi berakhir sebagai mimpi, maka semuanya berakhir di sana.” 

“Kalau begitu, tidurlah dengan tenang. Aku akan membawamu ke tidur abadi tanpa pernah terbangun lagi.” 

“Aduh, sepertinya itu akan menyenangkan.” 

Amanomikami tersenyum kecil, seperti merasa canggung. 

Wajah itu akan kuperlihatkan keputusasaan yang bisa merobek senyum itu. Fine pun mengeksekusi kode terakhir yang tersembunyi di kedalaman pikirannya. 

“Pedang Cahaya Mahkota Surgawi...” 

Di ujung tangan Fine yang terangkat tinggi, sebuah lingkaran cahaya menyilaukan muncul jauh di langit. Lingkaran cahaya itu terbentuk dalam skala yang jauh melebihi kemampuan Fine, menjadi lingkaran raksasa berdiameter beberapa kilometer. Di dalam lingkaran besar itu terdapat tiga lingkaran kecil yang saling bertumpuk, dan dari masing-masing lingkaran tergantung bilah-bilah cahaya besar. 

Bahkan Amanomikami pun menunjukkan ekspresi terkejut saat melihat pemandangan itu. 

“Ini... Dari segi skala saja, tidak kalah dari Aara Filia. Memang benar, gurumu adalah seseorang yang pantas mencapai puncak.” 

Menunjukkan kekaguman yang nyaris tulus, Amanomikami memandang ke atas. 

Namun, Fine mengucapkan nama jurusnya sekali lagi. 

“Pemusnah Cahaya Penebus Dosa.” 

Dengan tangan menutupi wajahnya, dia melafalkan nama itu dengan datar. 

Ini bukanlah teknik yang diajarkan Aara. Ini adalah kode murni ciptaan Fine sendiri. Sebuah teknik yang dia lahirkan dengan susah payah karena tidak mampu sepenuhnya menguasai cahaya. 

Justru karena itu, dia menamainya dengan makna menghancurkan cahaya itu sendiri. 

Setelah mengeluarkan teknik ini, tak akan ada yang tersisa. Bahkan dirinya sendiri. Sebuah kode yang menyimpan tekad untuk musnah bersama semuanya. 

Begitu kode itu disebutkan, tubuh Fine mulai melebur menjadi cahaya, seolah ditelan angin. Di sisi lain, bilah-bilah cahaya setara dengan Tombak Penghakiman Ilahi mulai turun membanjiri Amanomikami. 

Ribuan bilah cahaya itu mengarah ke Amanomikami. Dia mencoba memukul cahaya itu dengan tangan kosong sambil mundur, namun bilah-bilah yang hancur berubah menjadi pita cahaya yang kembali menyatu dan membentuk bilah baru. 

“Ini tidak ada habisnya, ya.” 

Menilai pertahanan tidak berguna, Amanomikami mengangkat bahunya dan menerima bilah cahaya itu secara langsung. Ratusan bilah cahaya menembus tubuhnya, mencabik-cabik dirinya. 

Namun dia segera muncul kembali. 

Di langit malam, seolah tak terjadi apa-apa, Amanomikami menguap kecil sambil berdesah. 

“Terulang lagi. Aku bosan.” 

Ekspresi yang dia tunjukkan sungguh menunjukkan kejenuhan. Meskipun di hadapannya terdapat kode dengan daya hancur luar biasa, dia sama sekali tidak meragukan posisinya yang unggul. 

Namun, ekspresi itu berubah seketika setelah menguap. 

“Hmm? Apa ini?” 

Dia memandang telapak tangannya, menyadari ada yang aneh. Dari ujung jarinya, sesuatu berwarna abu-abu mulai luruh. Tipis, ringan, seperti abu. 

Bersamaan dengan itu, partikel-partikel cahaya mulai menyebar dari tubuhnya. Warna cahaya itu berbeda dari yang biasa keluar dari kotaknya. 

Warna cahaya ini... 

“Jadi aku juga mengalami transformasi cahaya, ya...” 

Fenomena aneh itu, meskipun ganjil, terlihat sangat indah saat benda berubah menjadi cahaya dan menjadi abu. Amanomikami menatap jemarinya yang terangkat ke langit, terpukau oleh proses cahaya itu. 

“Indah sekali, ya...” 

Belum selesai ucapannya, ribuan bilah cahaya menancap di tubuh mungilnya. Ketika dia meledak, cahaya kembali menjalar di langit. Partikel-partikel cahaya yang mengejar Amanomikami terus mencari sosoknya yang muncul lagi di langit malam. 

Melihat tubuhnya muncul kembali, Amanomikami tersenyum ceria seperti gadis kecil. 

“Wow, mengejutkan. Bahkan setelah mati, tubuhku tidak bisa kembali seperti semula.” 

Suara tinggi Amanomikami menggema di langit malam yang kelam. Itu bukan teriakan, bukan juga raungan kemarahan. Itu adalah tawa murni yang penuh sukacita dan gairah. 

“Bagus, bagus. Ini mulai menyenangkan. Mari kita menari lebih lama, bernyanyi, dan mainkan simfoni kehidupan!” 

Saat Amanomikami berseru, matanya bersinar biru. Kotak-kotak kecil baru muncul di belakangnya dan terbuka satu demi satu. 

Partikel cahaya berwarna biru yang mengandung faktor informasi, saling bentrok dengan bilah-bilah cahaya milik Fine dan musnah. Meski begitu, dari segi jumlah, Fine masih unggul jauh. 

Amanomikami mulai berlari di antara ribuan bilah cahaya, dan bahkan bilah-bilah itu saling berbenturan. Percikan pelangi meledak seperti kembang api di langit, menciptakan panorama luar biasa. 

Dalam hal keindahan, ini sudah menyerupai mimpi atau ilusi. Amanomikami berenang dan menari santai di antara cahaya pelangi di langit. 

“Oh? Transformasi cahayanya berhenti. Jadi hanya aktif saat diserang, ya. Sayang sekali.” 

Berdiri di tengah neraka cahaya yang mustahil ditempuh oleh manusia, Amanomikami memandangi telapak tangannya dan mengangkat alis dengan ekspresi kecewa.

Meski begitu, setiap kali bilah cahaya menyayat pipinya, transformasi cahaya kembali dimulai. Artinya, setiap bilah itu membawa kode yang secara sementara memberikan efek pencahayaan pada target serangan. Amanomikami memahami kartu as Fine dan semakin menekuk sudut bibirnya ke atas. 

“Begitu rupanya. Jadi kamu menyentuh bilah-bilah itu agar waktu transformasimu bertambah, ya. Pintar, pintar.” 

Amanomikami tertawa, namun tak bisa disangkal bahwa tubuhnya juga terus mengalami kehancuran akibat transformasi cahaya. Dari lengan bajunya yang anggun, partikel cahaya berjatuhan layaknya abu yang terkelupas. 

“Masih bisa bertahan dalam kondisi ini...” 

Dalam keadaan tubuh yang tersebar menjadi cahaya, Fine menggertakkan gigi gerahamnya. Jika waktu terus berlalu seperti ini, Amanomikami akan sepenuhnya berubah menjadi cahaya dan lenyap sebagai abu. Dia akan menerima kematian yang pasti. 

Meski terpojok hingga titik itu, perempuan itu justru menari, melompat, dan bernyanyi bagaikan gadis kecil, seolah merasakan kebahagiaan dari mendekatnya kematian. 

“Apa dia waras...?”

Fine bergumam di ruang hampa dan meningkatkan intensitas serangannya. Kepadatan bilah-bilah cahaya di langit bertambah, menyempitkan ruang gerak Amanomikami secara drastis. Jumlah bilah yang mengenainya pun bertambah, dan seolah-olah kecepatan transformasi cahayanya pun ikut meningkat. 

Dengan ini. 

Fine merasa yakin. Dia merasa telah menemukan jalan menuju kemenangan. 

Namun, ketika tatapan Amanomikami yang berenang santai di antara bilah-bilah cahaya menatapnya, Fine menyadari bahwa keyakinannya hanyalah ilusi. 

“Menyenangkan, tapi aku mulai bosan. Mari kita akhiri saja,” ucap Amanomikami dengan ringan, lalu memutar tubuhnya. 

Saat dia bertepuk tangan, cahaya-cahaya tak terhitung jumlahnya di sekeliling mereka berhenti bergerak. Gelombang penghentian itu menelan semua cahaya di sekitarnya dalam sekejap. Cahaya yang membeku di ruang hampa retak seperti kaca atau es, lalu mulai hancur berkeping-keping. 

“Apa...?” 

Fine menyadari bahwa ini adalah bentuk kehancuran ruang. 

Tubuhnya yang telah tersebar demi membimbing bilah-bilah cahaya telah bercampur dalam ruang hampa. Dia merasakan sensasi bagian tubuhnya hancur dalam sekejap, dan buru-buru mencoba mengumpulkan tubuhnya kembali. 

Namun, sudah terlambat. 

Sebagian besar tubuh yang telah dihancurkan tak menunjukkan tanda kembali. Yang dia rasakan hanya firasat kematian. 

“Ugh!” 

Ketika akhirnya mendapatkan kembali bentuk tubuhnya, Fine berada dalam kondisi yang mengenaskan. 

Tangan palsunya telah hilang, kaki kanan dan kiri juga lenyap, dan bahkan tangan yang tersisa hanya tinggal ibu jari dan telunjuk yang masih utuh. 

Dalam kondisi seperti ini, jika transformasi cahaya sepenuhnya berakhir, dia akan langsung mati. Fine menelan ludah menghadapi detik-detik terakhirnya. 

“Menyedihkan sekali wujudmu.” 

Tiba-tiba suara terdengar dari belakang, dan Fine bahkan tak sanggup menoleh. Bagian belakang kepalanya dicengkeram, dan tengkoraknya berderit. Jeritan tanpa suara keluar dari tenggorokannya. 

“Belum pernah aku terluka separah ini seumur hidupku. Sungguh, luar biasa nikmat.”

Amanomikami, entah sejak kapan telah berdiri di belakangnya, berbicara sambil terengah-engah. Barangkali, belum pernah sebelumnya dia kehilangan napas seperti ini. Itu sendiri adalah bukti bahwa dia telah didesak sejauh itu. 

Fine menatap ke bawah, melihat cahaya yang memudar dari tubuhnya, dan menyadari betapa tubuhnya terasa begitu berat. Transformasi cahaya akan segera berakhir. 

“Sungguh menyedihkan...” 

Suaranya terdengar berat, menggema dalam tenggorokannya. Di belakangnya, Amanomikami menempelkan tangannya ke pipi dan berkata, “Satu langkah lagi, dan kamu mungkin bisa membunuhku. Aku benar-benar berharap begitu, sayang sekali.” 

Fine mengabaikan suara Amanomikami yang mulai kembali ke nada biasanya, dan memaki dalam hatinya. 

Monster sialan. 

Pelan-pelan kelopak matanya yang berat mulai menutup. Cengkeraman Amanomikami pada kepalanya semakin kuat, namun rasa sakit itu pun sudah tak terasa. 

Dia sadar akhirnya telah tiba. Tapi penyesalan masih tertinggal. Di pandangan terakhirnya, dia melihat sosok peninggalan sang guru, dengan rambut perak yang berkibar. 

Ah, guruku tercinta, Aara Filia. Sepertinya aku akan berakhir tanpa sempat menepati janji terakhir kita. 

Dengan perasaan sesal yang lebih dalam dari kebencian yang telah dia tumpuk, Fine menuju cahaya akhir yang merengkuhnya.


* * *


Cincin cahaya yang bersinar megah di langit hancur berkeping-keping.

Pada saat yang sama, tubuh Fine yang sebelumnya digenggam oleh Amanomikami ikut tersebar. Dia yang diselimuti cahaya nan agung, pada akhirnya benar-benar berubah menjadi abu yang terbakar habis dan lenyap terbawa angin di langit. 

“Fine...”

Lupus hanya bisa membisikkan namanya sambil menutupi mulut dengan tangannya. 

“Itu akhir yang cocok untukmu. Sebagai kesatriaku, kamu telah mati dengan terhormat.”

Causa, yang sejak tadi mengamati kejadian dari sudut ruang takhta, berkata dengan nada lemah dan ekspresi sedih yang mendalam.

Kesatria yang paling dia percayai dan sayangi telah gugur. Dia pun dilanda kehampaan dan rasa tak berdaya. 

Dengan bahu yang merosot, Causa memandang Lupus dengan tatapan lesu, lalu menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum kecil. 

“Pertaruhan kali ini, aku kalah telak. Tampaknya bahkan aku pun tidak bisa menang terus-menerus.” 

“Langka sekali kamu mengeluh, Kakanda.”

Lupus mencoba memprovokasinya dengan ucapan itu, namun tanggapan yang datang darinya terdengar lebih lemah daripada biasanya. 

“Ini bukan keluhan. Aku hanya sudah kehabisan cara. Kesatriaku, Fine Primus, telah gugur. Kesatriamu, Tsushima Rindou, juga tewas. Dengan kelemahan kita sekarang, tak mungkin kita bisa mengalahkan makhluk aneh itu dan merobek tenggorokan sang kaisar, bukan?” 

Causa menatap ke arah Amanomikami yang turun dari langit melalui langit-langit yang telah hancur.

Meskipun dia terluka dalam pertarungannya dengan Fine, luka-lukanya tidak cukup parah untuk disebut mematikan. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka, dan sisa abu dari transformasi cahaya menempel di pakaiannya. 

Amanomikami mendarat di ruang takhta. 

“Aku sudah sangat menikmati malam ini. Rasanya perutku kenyang dan aku ingin tidur.”

Dengan senyum anggun di balik topengnya, Amanomikami menundukkan kepala ringan kepada Lupus dan Causa yang sudah tak berdaya. 

Melihat sikapnya itu, Causa mengklik lidahnya dengan kesal. 

“Pertarungan hidup dan mati para kesatriaku, baginya hanya sekadar pencuci mulut. Sungguh menyakitkan.” 

Causa telah kehilangan semangat juangnya sepenuhnya. Di hadapan kekalahan total, pikirannya hanya memutar rencana untuk mengakhiri situasi ini sebaik mungkin.

Namun bagi Lupus, tak ada masa depan dari titik ini. Apa pun bentuk perundingan yang dilakukan, akhir yang menanti dirinya tetaplah yang terburuk. 

“Apakah ini tempat terakhir yang bisa kami capai? Sungguh menyakitkan.”

Lupus menggigit bibirnya dan berbisik ke lantai. Tak ada yang menjawab kata-katanya. 

Kaisar yang duduk di atas takhta menyilangkan kaki sambil menatap para pemberontak yang kini tersungkur. 

“Amanomikami. Kamu berbicara seolah semuanya telah usai. Tapi masih ada urusan yang harus diselesaikan.” 

Dengan suara berat itu, Amanomikami tampak seolah baru mengingat kehadiran sang kaisar, lalu menoleh dan membuka mulutnya. 

“Ah, maaf. Apa tadi yang harus kulakukan?” 

“Aku memerintahkanmu untuk menangkap Lupus. Jangan dibunuh, tangkap hidup-hidup dan bawa ke laboratorium bawah tanah. Setelah itu, ambil otaknya dengan hati-hati.” 

Nada Kaisar terdengar naik, seolah jengkel pada sikap seenaknya Amanomikami. Yang disebut pun hanya menghela napas pendek. 

“Aku terlupa. Tapi aku lelah. Tidak boleh aku istirahat sebentar?” 

“Istirahat, katamu? Omong kosong! Mana mungkin kamu kelelahan karena ini saja! Aku tak bisa menunggu lagi. Mimpiku selama bertahun-tahun akan segera terwujud. Lakukan sekarang juga!” 

Di atas sandaran tangan takhtanya, jari-jari Kaisar bergetar gelisah.

Raut wajahnya jelas menunjukkan rasa frustasi. Tapi apakah itu hanya karena dia tak sabar?

Lupus membasahi bibirnya yang retak sambil memperhatikan tingkahnya. 

“Benar-benar orang yang tak kenal ampun...”

Amanomikami menoleh sambil mengayunkan lengan bajunya, bertemu pandang dengan Lupus.

Lupus melangkah maju. Inilah satu-satunya kesempatan. 

Dia bertaruh pada jeda sesaat dalam perubahan situasi, lalu melontarkan kata-kata dengan tegas. 

“Amanomikami, apa kamu benar-benar rela begitu saja?” 

Suara Lupus yang menyeruak tak terduga membuat gerakan Amanomikami terhenti. Setelah jeda sejenak, kepalanya miring. 

“Eh? Maksudmu apa?” 

Seperti yang dia harapkan, Amanomikami terpancing. Pertanyaan abstrak dan waktu yang tak terduga mengguncang prioritas tindakan seseorang.

Kalau lawannya adalah Causa atau sang Kaisar, mungkin tak akan berhasil, tapi Amanomikami tidak punya ketahanan semacam itu. 

Kaisar di takhta tampak menyadari siasat Lupus, menghela napas dengan kecewa. Beberapa detik sebelum intervensinya menjadi penentu. 

Lupus segera menggempur dengan kata-kata. 

“Kaisar ingin mencuri kemampuan eksekusi kode para Informan. Tak satu pun dikecualikan. Amanomikami, kamu juga akan kehilangan kekuatanmu. Kamu tahu itu, tapi tetap membantunya?” 

“Tentu saja.” 

Amanomikami menjawab seolah hal itu adalah fakta yang tak perlu dipertanyakan.

Namun Lupus merasa yakin dia belum sepenuhnya memahami kenyataan. 

“Kamu yang berada di puncak para Informan, pernahkah berpikir apa yang terjadi jika kehilangan segalanya? Kamu telah membunuh dan menindas banyak orang dengan kekuatanmu. Kebencian yang kamu kumpulkan tak terhitung jumlahnya. Semua itu akan kembali padamu. Sekalipun kamu kehilangan kekuatanmu, kebencian dunia takkan lenyap.” 

“Itu benar, tentu saja. Dendam, kebencian, pasti lebih banyak dari jumlah bintang-bintang. Aku tak bisa membayangkannya. Tubuh ini mungkin akan tercabik-cabik, direbus, dan dibakar berkali-kali.” 

Amanomikami meraba tubuhnya dan menggeliat sensual, lalu sorot matanya di balik topeng beriak lembut. 

“Itu pasti luar biasa nikmat.” 

Di bawah sinar bulan, pipinya yang merona muncul dari balik bayang topeng. Dia menghela napas dan perlahan melonggarkan kerah bajunya, menampakkan dadanya.

Di kulit putih pucatnya, tertinggal bekas luka yang mengerikan. 

“Itu malam peperangan di masa lalu. Aiman-lah yang memberiku luka ini. Rasa panas yang menyebar dari inti tubuh pada hari itu, masih belum kulupakan. Hanya mengingatnya saja tubuhku sudah berdenyut.” 

Dengan lembut dia mengelus bekas lukanya, lalu menelusuri lehernya dengan jari dan menggigit ujung jarinya.

Tatapan matanya yang tak fokus menyapu aula takhta, dan dia menjilat jari dengan tak puas. 

“Apa yang sebenarnya...” 

Lupus akhirnya menyadari betapa anehnya Amanomikami.

Perempuan di hadapannya bukanlah manusia biasa. Meski memiliki kekuatan besar, dia tidak menggunakannya demi stabilitas dunia seperti Aiman.

Sebaliknya, dia menyakiti dirinya sendiri, merasakan kenikmatan dari rasa sakit itu, sebuah bentuk penyimpangan mutlak yang hanya melayani hasrat pribadinya. 

Lupus tanpa sadar mundur selangkah dan merasakan kehadiran seseorang di belakang. Dia menoleh, dan melihat Causa berdiri dengan wajah muram di bawah cahaya bulan.

Dia memandang Lupus dari atas, lalu mendengus. 

“Percuma. Berhentilah.” 

Dengan berkata demikian, Causa mendorong Lupus dengan keras.

Terdorong oleh kekuatan tak terduga, Lupus terhuyung dan terjatuh keras di atas permadani merah. Pipinya tergores dan rasa sakit menyengat. Saat hendak mengangkat wajahnya, sepasang sendal kayu hitam pun turun tepat di depan matanya.

Kaki yang diayunkan dengan bunyi menghantam udara itu nyaris mengenai ujung hidung Lupus, membuat tubuhnya membeku. 

“Aku sudah puas malam ini. Kalau gadis kecil sepertimu bisa dikuliti seperti ulat dan diakhiri begitu saja, maka itu sudah cukup.” 

Kata-kata mengerikan itu jatuh dari atas kepala, membuat wajah Lupus memucat. Giginya bergemeletuk, tubuhnya seakan membatu, membeku dalam ketakutan.

Dia telah mempersiapkan segalanya untuk hari ini. Dia seharusnya telah menguasai cara bertarung seorang diri.

Namun pada saat yang paling krusial, hatinya justru membeku. Meskipun otaknya memahami situasi, dia tak sanggup menjalankan proses penyusunan dan pelaksanaan kode yang sudah dia kuasai dengan baik. 

Pada dasarnya, apa yang bisa dia lakukan melawan Amanomikami?

Kemampuannya, dalam tingkatan resmi pun, paling banter mungkin baru mencapai tingkat tujuh.

Dia tahu benar bahwa semakin keras dia melawan, semakin parah nasib yang akan menimpanya. 

Kalau begitu, tidak ada pilihan selain menyerah di sini.

Meski semua jalan yang telah dia tempuh, semua pilihan yang dia buat, dan semua rekan yang telah mendukungnya lenyap tak bersisa, jalan pun tertutup. 

Harapan pun terputus, dan seperti halnya kewajaran, pandangan matanya mulai bergetar. Sudut matanya terasa panas, dan air mata yang penuh penyesalan dan kehampaan mengalir di pipinya. 

Ini persis seperti malam itu.

Hari saat mereka melancarkan upaya pelarian. Dingin tanah di pelabuhan malam itu kembali terlintas di benaknya, dan Lupus tertawa getir. 

Kesatria sinis yang dulu menyelamatkannya dari krisis semacam ini, kini sudah tiada.

Kesadaran itu terasa kosong dan menyakitkan hingga ke lubuk hatinya. 

“Ah... Jadi inilah akhir jalanku.” 

Amanomikami yang berdiri menatap Lupus yang terbaring, mengambil salah satu kotak kecil. Dia membuka kotaknya dengan telunjuk, lalu mencubit partikel cahaya di dalamnya. 

“Jika satu tangan dicabut, akan menjadi kupu-kupu. Jika satu kaki dicabut, akan menjadi bunga. Sisa bagiannya akan dimasak dengan darah dan daging sebagai persembahan malam bulan, untuk riasan kematian.” 

Sambil mencubit cahaya dengan ibu jari dan telunjuk, Amanomikami menyanyikan lagu. Suaranya yang merdu dan mengalun indah menyusup ke dalam hati siapa pun yang mendengarnya. 

“Pengantin bunga tanpa tangan dan kaki...” 

Inilah bait terakhir.

Apa yang akan menimpanya setelah lagu itu selesai? Lupus menahan rasa takut yang mencekam dan mulai menutup kelopak matanya yang gemetar. 

Saat itulah. 

“Sudah cukup, aku muak dengan lagu bodohmu itu.” 

Suara itu terdengar entah dari mana. Lupus membuka matanya yang nyaris tertutup dan mengangkat wajahnya. Itu bukan halusinasi.

Sebagai buktinya, nyanyian Amanomikami terhenti. Yang terdengar kemudian hanyalah suara tetesan cairan yang menggema dalam keheningan. 

Lupus membuka matanya sepenuhnya dan melihat jejak darah merah yang menetes ke lantai. Dia mendongak dengan rasa ngeri. 

“...!”

Apa yang tampak di hadapannya membuatnya terengah.

Yang tersisa hanyalah tubuh bagian bawah Amanomikami, berdiri tegak seperti boneka. Darah menetes deras ke wajahnya, membuat Lupus segera bangkit panik. Dia terjatuh ke lantai dengan pantat lebih dulu karena terlalu cepat bangun, lalu dengan rasa tak percaya menoleh ke arah datangnya suara barusan. 

Dalam sinar bulan yang mengalir deras, di balik bayangan paling gelap yang tak terjangkau cahaya, tampak celah ruang yang terdistorsi secara tidak wajar. Sekilas, mata manusia biasa tak akan menyadarinya, seolah-olah itu hanya tipuan mata. Dari celah itu, cahaya biru gelap yang keruh tengah mengintip. 

“Tidak mungkin...” 

Lupus berbisik.

Air mata mengalir dari matanya, namun kali ini bukan hanya karena emosi sebelumnya. 

Sosok yang melangkah perlahan dari celah ruang itu.

Tidak diragukan lagi. 

“Tsushima... Rindou?” 

Melihat sosok yang muncul di bawah sinar bulan, Causa pun bergumam dengan suara yang bercampur ketakutan. 

Reaksinya memang benar.

Meski pria itu adalah seseorang yang mereka kenal baik, namun penampilannya saat ini benar-benar asing. Pipinya cekung, rambutnya acak-acakan, pakaiannya compang-camping, dan wajahnya berlumuran darah. 

Namun yang paling mencolok dari semuanya adalah, warna matanya berbeda antara kiri dan kanan. 

“Mata itu...!” 

Lupus melihat aura dendam dan obsesi yang menyelimuti pria itu, serta emosi yang terlalu berat untuk disebut sebagai amarah, dan dalam sekejap, dia memahami segalanya. 



Previous Chapter |

0

Post a Comment

close