NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V3 Chapter 1

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 1: Masalah Para Pengungsi


Bagian 1

Sebelas tahun yang lalu.

Pada masa itu, Kekaisaran tengah terlibat dalam konflik sengit dengan Kerajaan Perlan yang terletak di sebelah barat.

Di tengah kekacauan tersebut, Kekaisaran Sokal yang berada di sebelah timur menyerbu negeri para Dwarf yang berbatasan langsung dengan Kekaisaran, dan akhirnya memusnahkannya. Banyak kaum Dwarf melarikan diri ke Kekaisaran, bahkan sebagian dari keluarga kekaisaran mereka pun mendapatkan perlindungan di sana. Namun, lebih dari sekadar mengincar harta dan kekayaan yang telah dikumpulkan kaum Dwarf, Kekaisaran Sokal sesungguhnya menginginkan teknologi yang mereka miliki. Maka dari itu, mereka mengajukan protes keras kepada Kekaisaran dan berulang kali melayangkan peringatan.

Sebagai tanggapan, Kekaisaran menjawab bahwa mustahil untuk sepenuhnya membendung arus para pengungsi”, namun akhirnya, karena kesabaran yang habis, Kaisar Kekaisaran Sokal mengutus putranya sendiri sebagai duta besar. 

“Ini benar-benar menjadi urusan yang merepotkan.”

“Betul sekali.”

Franz, sang Kanselir, menyatakan hal itu, dan Kaisar Johannes mengangguk setuju.

Tiga kekuatan besar di benua ini adalah Kekaisaran, Kerajaan Perlan, dan Kekaisaran Sokal. Di antara ketiganya, Kekaisaran berada di tengah-tengah, terjepit di antara dua negara lainnya. Menghadapi permusuhan dari Kekaisaran Sokal di saat tengah bersitegang dengan Kerajaan Perlan adalah skenario yang sebisa mungkin ingin dihindari oleh Kekaisaran. 

“Jika kita menyerahkan kaum Dwarf yang telah kita lindungi, maka seluruh ras campuran di benua ini akan memusuhi kita. Termasuk pula para ras campuran yang tinggal di dalam Kekaisaran. Bila itu terjadi, kita tak akan punya ruang untuk berperang melawan negara lain.”

“Jadi kita harus memilih, melawan Kekaisaran Sokal atau memusuhi ras campuran.”

“Tidak harus begitu. Jika kita memberikan sesuatu yang setara dengan teknologi Dwarf, Kekaisaran Sokal mungkin akan merasa puas untuk sementara waktu.”

“Apa yang harus kita berikan?”

“Kekaisaran Sokal adalah negara adidaya dalam sihir. Namun, mereka kekurangan permata sihir yang sangat penting dalam pengembangan alat sihir. Terutama permata besar, yang kini jumlahnya sangat langka hingga menyebabkan terhentinya proyek senjata sihir.” 

Permata sihir adalah sebutan umum bagi batuan yang menyimpan kekuatan sihir. Karena sifatnya yang dapat menyimpan dan melepaskan energi sihir berulang kali, benda ini sangat berharga dan dapat digunakan kembali meski energinya telah habis.

Jumlah sihir yang bisa disimpan biasanya berbanding lurus dengan ukurannya; semakin besar permatanya, semakin tinggi pula nilainya. 

“Kamu menyarankan kita memberikannya begitu saja? Menjijikkan. Mengapa kita harus bersikap selemah itu? Bukankah kita hanya melindungi orang-orang yang melarikan diri?”

“Benar. Tapi dengan begitu, kita bisa menghindari pertempuran di dua sisi. Untungnya, negeri kita tidak mengalami kekurangan permata sihir. Jika kita bisa mencegah perang hanya dengan itu, maka harga yang dibayar sangat murah. Kita tidak akan memberikan tambang kita, jadi tak akan ada kerugian besar bagi negara ini.” 

Kekaisaran Sokal sudah sejak lebih dari seratus tahun lalu terus menggali permata sihir di tambang-tambangnya demi pengembangan alat sihir, dan karena itulah jumlah permata yang bisa ditambang semakin menurun tiap tahunnya.

Sebaliknya, Kekaisaran tidak terlalu fokus pada pertambangan permata sihir, namun memiliki banyak tambang unggulan. Karena dua alasan itulah Kekaisaran tidak mengalami kesulitan dalam hal pasokan permata sihir. 

“Berarti kita harus menenangkan mereka dengan menyuap. Aku juga tak ingin membebani pasukan kita lebih dari ini.”

“Tepat sekali. Mari segera serahkan permata besar itu dan bungkam mereka. Garis depan barat juga sedang mengalami kebuntuan, mungkin ini kesempatan yang baik untuk menjajaki gencatan senjata.”

“Begitu, ya. Yah, kita memang dalam posisi unggul. Bisa jadi kerajaan akan menyambut usulan ini juga.” 

Dengan demikian, Johannes dan Franz pun mencapai kesepakatan dalam pembicaraan itu.


* * *


Franz telah menyiapkan permata sihir raksasa, dan tibalah hari di mana sang duta besar akan disambut.

Pada hari itu, seorang gadis kecil datang ke istana. Gadis berambut merah muda. Dialah Elna, yang saat itu berusia enam tahun.

Elna, yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, merasa bosan saat ayahnya sedang berbincang, dan tanpa sadar dia pun melangkah menjauh dari tempat itu. 

“Eh?”

Saat menyadarinya, Elna sudah berada di tempat yang tak dikenalnya. Dia menatap sekeliling, namun tidak menemukan pemandangan yang akrab di matanya. Meski begitu, dia masih yakin dirinya berada di dalam istana. Maka dari itu, Erna mulai melangkah, berniat bertanya pada siapa pun yang dia temui.

Lalu, dia menemukan sebuah lubang kecil di dinding istana. Lubang itu tampak cukup besar untuk dilewati seorang anak kecil.

Tersembunyi di balik rerumputan, lubang itu sepertinya adalah saluran udara, namun entah kenapa tampak sangat rapi dan bersih, seolah-olah itu adalah pintu masuk ke markas rahasia. Tertarik oleh rasa penasarannya, Elna pun membungkuk dan merangkak masuk ke dalam saluran itu. Setelah berjalan cukup lama dalam kegelapan, dia sampai di sebuah ruangan yang remang-remang. 

Ruangan yang tertutup rapat itu diterangi oleh cahaya lembut dari alat sihir, dan Elna segera menyadari bahwa ini adalah ruang penyimpanan harta.

“Waaah...”

Lebih besar dari gudang harta milik keluarga pahlawan, ruangan ini dipenuhi dengan berbagai benda yang luar biasa.

Dan yang pertama kali menarik perhatian Elna adalah sebuah benda.

“Pedang sihir!”

Pedang yang dianugerahi sihir elemen seperti api dan angin. Namun yang ada di sini bukanlah buatan teknologi modern, melainkan pedang legendaris buatan zaman kuno. 

Elna mengambil salah satunya dan menariknya dari sarungnya. Kilau dan ketajamannya membuat Elna terpukau tanpa sadar. Dia lalu mencoba mengayunkannya beberapa kali.

“Hmm! Pedang yang bagus!”

Meski pedang itu terlalu panjang untuk anak seusianya, sebagai putri dari keluarga pahlawan, dia bisa mengatasinya dengan kemampuan fisik alaminya.

Merasa puas dengan pedang yang terasa pas di tangannya, Elna mulai memperagakan beberapa jurus pedang. 

Meski ruangannya luas, ini tetaplah gudang harta. Jika dia mengayunkan pedang dengan gerakan yang terlalu kuat di tempat yang dipenuhi benda berharga, hasilnya sudah bisa ditebak. Namun, Elna yang tengah gembira tak menyadarinya.

“Ah...”

Ayunan pedang ke samping secara tidak sengaja mengenai sebuah kotak yang diselimuti kain. Akibat tebasan tajam Elna, kotak itu terbelah dua. Lebih buruknya lagi, dari dalam kotak itu muncul gelombang sihir kuat, yang menyebabkan alat sihir penerang ruangan ikut rusak dan cahaya pun padam. 

Dalam kegelapan, terdengar suara berat menggelegar. Jantung Elna perlahan menjadi dingin. Tak lama kemudian, matanya mulai terbiasa dengan gelap.

Dia melihat bahwa permata raksasa yang lebih besar dari kepala manusia yang berada di dalam kotak itu telah terbelah dua.

Dia telah menghancurkan benda yang ada di ruang harta. Menyadari kenyataan itu, Elna panik. Dia berusaha mengangkat bagian atas permata dan menyatukannya kembali, namun belahan yang begitu sempurna itu tentu tak bisa dikembalikan seperti semula. 

Setelah beberapa saat berlarian panik tanpa arah, Elna pun tak mampu menahan rasa takut dan keputusasaan, lalu menangis.

“Hik... Uuh... Hiks... Ayah...”

“Hei? Ada orang di sana? Tapi kok gelap banget sih.”

Pada saat itu, seorang anak laki-laki muncul dari saluran udara yang dilalui Elna. Rambut dan mata hitam. Dialah Arnold, bocah berusia tujuh tahun. Terkejut karena ada orang lain di ruang harta yang biasa dia jadikan tempat persembunyian, dan heran karena ruangan gelap, Al segera menyadari bahwa ada seseorang yang sedang menangis. 

“Kamu menangis?”

“Hiks... Huhu...”

Karena tidak bisa melihat dalam gelap, Al tak tahu seperti apa sosok yang sedang menangis itu. Namun dari suara tangisnya, dia menebak gadis itu seusia dengannya.

Saat berjalan menyusuri ruangan dengan meraba-raba, Al segera menyadari ada sesuatu yang rusak. 

“Kamu bikin rusuh ya... Ini permata sihir yang terkenal itu, kan?”

“Permata...?”

“Iya. Katanya sih itu hadiah untuk sang duta besar.”

“Duta…? Hiks, hiks...”

“Wah! Jangan menangis, jangan menangis! Aku akan mengurusnya, oke?” 

Itu hanyalah kata-kata untuk menenangkan gadis yang sedang menangis. Al hanya tak ingin repot jika tangisnya makin menjadi-jadi.

Namun, situasi segera berubah. 

“Di sini, Tuan Duta Besar.”

Itu adalah suara Kaisar. Al terkejut sejenak, namun segera paham situasinya dan menyuruh Elna untuk pergi ke arah saluran udara.

“Cepat keluar! Cepat!”

“Tapi...”

“Sudah, cepat!” 

Meski masih kecil, Al tahu betapa seriusnya situasi ini. Kaisar datang ke tempat ini untuk menunjukkan permata itu pada sang duta besar. Jika ternyata permatanya rusak, Kaisar pasti akan murka. Apalagi, jika diketahui itu ulah anak kecil yang bukan darah kekaisaran, tak bisa dibayangkan hukuman macam apa yang akan dijatuhkan.

Memikirkan kemungkinan terburuk, Al segera menyuruh Elna melarikan diri. Tepat ketika Elna sampai di dekat saluran udara, pintu ruang harta terbuka. Al menghela napas, lalu menarik napas dalam-dalam untuk mempersiapkan diri. 

“Ini adalah ruang penyimpanan harta negeri kami. Permata itu... Hm?”

“Maafkan aku! Ayahanda! Aku merusaknya!” 

Tanpa menunggu penjelasan, Al segera menundukkan kepala pada sang Kaisar, seolah ingin segera menuntaskan semuanya.

Kaisar, sang duta besar, dan para pengiring mereka terdiam sejenak, tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Di ruang harta yang seharusnya tertutup rapat, sang pangeran berada di dalam, dan di sampingnya, permata raksasa telah terbelah dua.

Tak ada yang berani berkata apa pun. Tak hanya itu, tak satu pun dari mereka berani menatap wajah Kaisar. 

Perlahan, Kaisar mendekati Al.

“Benarkah kamu yang melakukannya, Arnold?”

“Ya...”

“Itu sungguh benar?”

“Ya, benar.” 

Sambil mengangkat wajahnya, Al menjawab. Karena itu, hanya Al yang melihat ekspresi rumit di wajah Kaisar. Kaisar memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas pelan.

Kemudian terdengar bunyi tamparan yang tajam dan keras. 

“Bodoh! Bodoh sekali! Permata ini adalah lambang persahabatan antara Kekaisaran dan Kerajaan! Bagaimana bisa kamu menghancurkannya! Tidak adakah kesadaranmu sebagai seorang pangeran!?”

“...Maafkan aku.”

Saking perihnya, Al memegangi pipinya, matanya berkaca-kaca. Tapi dia tidak menangis.

Dia merasa tidak boleh menangis. Karena Al tahu, Elna belum benar-benar keluar. Maka dia menahan tangisnya. Jika dia menangis, dia takut Elna akan kembali. 

Sementara itu, melihat Al ditampar, air mata Elna pun semakin mengalir.

Dia tidak tahu harus bagaimana. Dalam hatinya terjadi pergolakan, apakah dia harus jujur dan mengaku. Namun, seolah untuk menghalangi niatnya, teriakan marah Kaisar kembali menggema. 

“Seseorang! Masukkan anak bodoh ini ke penjara! Jangan bebaskan dia selama seminggu! Aku bahkan tak ingin melihat wajahnya!”

“...Maafkan aku.”

Al hanya meminta maaf, tanpa membela diri sedikit pun. Elna, yang hanya bisa melihatnya dibawa pergi, menyadari bahwa dia tak bisa melakukan apa-apa lagi. Dia pun keluar dari saluran udara dan berlari sekencang-kencangnya. Sambil menangis, dia berlari keliling istana hingga akhirnya menemukan ayahnya, Sang Pahlawan. 

“Elna. Ke mana saja kamu tadi?”

“Ayah! Ayah! Pangeran! Pangeran!”

“Tunggu, tunggu. Tenanglah. Ceritakan perlahan.” 

Ditenangkan oleh sang ayah, Elna menceritakan semua kejadian itu dengan berlinang air mata. Melihat raut wajah ayahnya yang semakin muram seiring ceritanya, hati Elna kembali diliputi rasa takut.

 

Bagian 2

“Begitulah kejadiannya, Yang Mulia. Semua ini adalah kesalahan yang diperbuat oleh putri saya, dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya yang telah lalai mengawasinya.”

Sang Pahlawan datang menghadap Kaisar yang tengah berdiskusi dengan para penasihat tinggi mengenai langkah selanjutnya, lalu menundukkan kepala dan mengucapkan hal itu.

Di sisinya, Elna pun ikut menundukkan kepala. 

Namun, para pejabat tinggi segera melontarkan keluhan terhadap Al.

“Kalau memang begitu, seharusnya dari awal dikatakan dengan jujur...”

“Kehormatan keluarga pahlawan memang penting, tapi kehormatan keluarga kekaisaran jauh lebih penting! Namun, karena semua terjadi di hadapan sang duta besar, sekarang sudah terlambat untuk mengatakan bahwa ternyata pelakunya bukan Arnold!”

“Situasi jadi semakin rumit... Karena pelakunya adalah keluarga kekaisaran, pihak lawan akan bersikap lebih agresif. Jika kita menyalahkan putri bangsawan pada ayahnya, maka kesalahan sang pangeran akan menjadi tanggung jawab Kaisar sendiri. Mengapa itu tak dipahami?”

“Lagipula, yang membuat saluran udara bisa dilalui juga Pangeran Arnold. Bukankah itu sudah cukup bermasalah!? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pangeran itu!? Sungguh tidak bisa dimengerti!”

“Masalahnya bukan lagi pada permata yang rusak. Yang fatal adalah fakta bahwa itu dihancurkan oleh anggota keluarga kekaisaran. Jika pihak seberang menyebut ini bukti bahwa mereka tidak serius untuk menjalin persahabatan, kita tidak akan bisa membantah!” 

Cacian demi cacian tertuju pada Al. Elna ingin sekali berkata bahwa itu salah, bahwa dirinyalah yang bersalah. Tapi dia sadar dirinya tidak berada dalam posisi untuk mengutarakannya.

Karena itu, Elna hanya bisa menahan air mata yang memenuhi matanya. 

Melihat Elna yang begitu menahan diri, Kaisar menghela napas panjang.

“Aku tahu Arnold sedang melindungi seseorang. Hanya saja aku tak menyangka bahwa itu adalah putri dari keluarga pahlawan.”

“Yang Mulia sudah tahu?”

Atas pertanyaan Pahlawan, Kaisar mengangguk sekali. 

“Kotak tempat menyimpan permata itu dilindungi dengan sihir pertahanan. Sekuat apa pun pedangnya, Arnold tak mungkin bisa membelahnya. Karena itu, aku sudah melakukan pemeriksaan sekali. Meski begitu, anak itu tetap bersikeras bahwa dia pelakunya. Di hadapan duta besar, aku tak bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Maka dari itu, aku pun tak punya pilihan lain.”

Kaisar menghela napas lebih dalam lagi, lalu menyandarkan punggung ke singgasana. 

Rencana awal telah berantakan. Sekalipun disiapkan kembali permata yang baru, Kekaisaran Sokal kemungkinan besar tak akan menerimanya. Mereka akan menggunakan kejadian ini untuk meminta sesuatu yang lebih besar, seperti tambang permata. Namun, jika pada saat itu Kaisar menyatakan akan menyelidiki, duta besar pasti akan curiga. Dan seandainya hasil penyelidikan menunjukkan bahwa Elna pelakunya, mereka tidak akan percaya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak ingin mempercayainya. 

Selama Al berada di tempat kejadian, tak ada pilihan lain. Kaisar pun sudah memahami hal itu saat memerintahkan agar Al dipenjara. 

“Pahlawan. Begitulah adanya. Maafkan aku, namun meskipun Elna sekarang mengaku dengan jujur, semuanya sudah terlambat. Kami tidak bisa begitu saja memaafkan Arnold.”

“Tidak mungkin...!”

Elna tak mampu menahan diri dan berseru. Seketika, semua mata tertuju padanya. 

Dihantam oleh tatapan dingin orang dewasa, Elna sempat gemetar, tapi dia tidak mengalihkan pandangan. 

Di saat itulah, seorang wanita memasuki ruangan.

“Tatapan seperti itu tidak pantas diarahkan pada anak kecil.”

Ucapan pertama itu dilontarkan oleh seorang wanita berambut hitam yang mengenakan gaun hitam elegan.

Dialah Mitsuba, selir keenam Kaisar sekaligus ibu kandung Al. 

Justru orang yang tidak ingin mereka lihat di saat seperti ini. Para penasihat tinggi serentak memutar wajah dengan kesal. Mereka tahu, sebagai ibu, Mitsuba pasti akan meminta agar Al dibebaskan dari penjara. 

Namun, bertentangan dengan semua perkiraan, Mitsuba hanya melangkah mendekati Elna tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 

“Kamu putri dari keluarga pahlawan?”

“Y-Ya...”

“Kamu sudah jujur dan mau mengakui kesalahanmu, itu sangat baik. Anak itu pasti merasa puas menerima hukuman sebagai gantimu.”

Sambil berkata demikian, Mitsuba tersenyum dan mengelus kepala Elna. 

Para pejabat tinggi menatapnya dengan mata terbelalak, sementara Kaisar hanya bisa tersenyum kecut.

“N-Nyonya Mitsuba... Bukankah Anda datang untuk bicara soal Pangeran Arnold?”

“Aku hanya datang karena dipanggil. Aku tidak berniat membicarakan apa pun tentangnya. Anak itu sudah membuat keputusan sendiri untuk melindungi gadis ini. Maka, menerima hukuman yang seharusnya diterima gadis ini adalah wajar. Itu adalah tanggung jawabnya.”

“Y-Ya, memang benar, tapi...”

“Lagipula, jika aku memohon kepada Yang Mulia agar membebaskannya dari penjara, untuk apa gunanya? Bukankah kalau begitu, dia hanya akan terlihat seperti anak kecil yang akhirnya diselamatkan ibunya meskipun sudah membuat keputusan sendiri? Semua keberaniannya akan sia-sia. Al telah membuat keputusan sendiri untuk menolong anak ini. Maka jasa itu sepenuhnya miliknya. Aku tidak berniat merebut jasa itu darinya. Tambahan pula, sekalipun Al nanti menyesali perbuatannya di dalam penjara, itu tetap akan menjadi pelajaran berharga baginya. Dia akan belajar bahwa melindungi seseorang adalah hal yang sulit, dan dia juga akan menyadari bahwa selama ini dia hidup di lingkungan yang penuh kemudahan.” 

Pikiran Mitsuba yang begitu dingin membuat para pejabat bungkam. Bagi mereka, sangat aneh seorang ibu bisa berkata bahwa semuanya adalah tanggung jawab anaknya sendiri, padahal putranya yang seorang pangeran sedang dipenjara.

Kebanyakan selir yang mereka kenal sangat menyayangi anak-anaknya dan akan melakukan apa saja untuk membelanya. 

“Aku yang memanggil Mitsuba ke sini. Aku pikir, jika dia memohon, maka aku bisa membebaskan Arnold dari penjara.”

“Tidak perlu. Aku selalu membiarkan anak itu bertindak sesuka hatinya. Tapi aku selalu mengatakan satu hal, semua perbuatannya adalah tanggung jawabnya. Jika dia tak belajar dan lebih memilih bermain, maka dia sendiri yang akan kehilangan ilmu. Kalau dia dikritik atau diejek, itu pun tanggung jawabnya. Kali ini pun sama. Dia bertindak atas keputusannya sendiri, dan akhirnya dipenjara demi melindungi anak ini. Maka semuanya adalah tanggung jawabnya.” 

“Haa... Jadi maksudmu, aku tak boleh memaafkannya.”

Kaisar menggaruk kepala dengan kesal. Sebagai Kaisar, dia tidak boleh menunjukkan kelembutan kepada anaknya. Maka dia memanggil Mitsuba, agar dapat menggunakan permohonan sang ibu sebagai alasan. 

Tapi kenyataannya, justru Kaisar yang ingin membebaskan Al, sedangkan Mitsuba menolaknya. Pola yang tak akan pernah terjadi pada selir lain. 

“Nyonya Mitsuba. Maaf jika saya lancang, tapi bukankah metode mendidik seperti itu justru yang menyebabkan masalah kali ini terjadi? Mohon jangan terlalu memberi kebebasan pada sang pangeran.”

“Masalah macam apa yang dimaksud? Kalau permata untuk sang duta besar rusak, kita tinggal kirimkan yang baru. Dibandingkan dengan pangeran dan putri yang lain, Al adalah anak yang tak banyak menghabiskan uang. Kurasa, dia sudah menghemat paling tidak seharga satu permata.” 

Atas ucapan yang begitu menyindir itu, wajah Menteri Luar Negeri menegang.

Banyak bangsawan dan menteri memang meremehkan Mitsuba karena dia dulunya hanya seorang penari. Meski di depan bersikap sopan, dalam hati mereka menganggap Mitsuba tak lebih dari wanita pendatang. Andai Mitsuba sedikit lebih lemah lembut, mereka bisa saja menyambutnya dengan senyuman. Tapi Mitsuba bukan tipe wanita seperti itu. 

“Masalahnya bukan pada uang. Sang duta besar Kekaisaran Sokal tidak akan puas hanya dengan permata lagi.”

“Kalau begitu, silakan suruh mereka pulang.”

“Haa... Sungguh... Saya yang bodoh karena mencoba membahas politik dengan Anda.” 

Itu sudah hampir menyentuh batas penghinaan terhadap selir di hadapan Kaisar. Saat Menteri Luar Negeri mengucapkan itu, Franz, sang Kanselir, hendak menegurnya, namun Kaisar menghentikannya dengan isyarat tangan.

Kaisar lalu menatap Mitsuba dengan penuh minat. 

“Politik, ya? Memang benar aku tidak paham soal politik. Tapi andai saya yang menjadi menteri, saya tidak akan pernah menyetujui perang yang tak punya perencanaan matang. 

“Sudah jelas kalau kita berperang melawan Kerajaan Perlan, maka Kerajaan Albatro yang punya hubungan baik dengan mereka akan membantu lewat laut. Walau jalur suplai di garis depan terus diputus, semua sia-sia jika bantuan datang lewat laut. 

“Seharusnya, sebelum memulai perang, kita menjinakkan Kerajaan Albatro lewat diplomasi dan membuat perjanjian non-agresi dengan Kekaisaran Sokal. Tapi tanpa persiapan seperti itu, kita malah langsung menyetujui perang. Saya secara pribadi tak akan bisa melakukan hal sebodoh itu.” 

“Y-Ya, tentu saja, tapi...”

“Bahkan saya yang tak mengerti politik pun bisa memikirkan hal ini. Yang Mulia Menteri Luar Negeri yang bijak pasti sudah menyadarinya juga. Dan tentunya juga sudah memprediksi situasi sekarang. Saya yakin bukan hanya bisa pasrah dan bersikap lemah terhadap Kekaisaran Sokal, bukan?

Kalau begitu, bisakah Anda, yang sangat menguasai politik, mengajari saya bagaimana cara menyelesaikan situasi ini?” 

“...Maaf, itu tadi ucapan yang tidak pantas. Mohon dimaafkan...”

Menteri Luar Negeri pun menundukkan kepala. Setengah dari para menteri menatapnya dengan iba, dan separuh lainnya mencibirnya dalam diam. 

Mitsuba, yang telah berkeliling banyak negara, memiliki wawasan yang luas dibanding para selir lainnya. Dia bukan wanita yang dibesarkan hanya di dalam tembok istana. Siapa pun yang menyamakannya dengan selir lain pasti akan kena batunya. 

Melihat cara Mitsuba menangkis argumen lawan dengan begitu tajam, Kaisar mengangguk puas.

Namun, lidah tajam Mitsuba kini berbalik menyerang sang Kaisar.

“Yang Mulia. Mumpung ada kesempatan, izinkan saya mengutarakan sesuatu.”

“U-Uh... Apa itu?”

“Bersikaplah seperti seorang Kaisar. Saya tidak pernah mengira akan menjadi istri dari pria yang hanya bisa membaca raut wajah negara lain.” 

Atas kata-kata yang bisa dibilang sangat pedas itu, sang Kaisar mengernyit, sementara Franz di sebelahnya menutupi wajahnya dengan tangan.

Mitsuba menatap mereka berdua dan melanjutkan. 

“Yang mengusulkan agar permata sihir diberikan ke Kekaisaran Sokal demi membeli waktu adalah Kanselir, bukan?”

“Benar, Nyonya.”

“Melihat kondisi Kekaisaran saat ini, itu memang keputusan yang masuk akal. Namun, diplomasi yang lemah hanya akan membuat lawan semakin semena-mena. Sejak Yang Mulia naik takhta, Kekaisaran tidak pernah menunjukkan kelemahan. Dan jika sekarang tiba-tiba menunjukkan sikap lemah, saya rasa itu hanya akan memicu kesalahpahaman yang tidak perlu.”

“Anda benar. Namun, selama belum tercapai perjanjian gencatan senjata dengan Kerajaan Perlan, kita tidak bisa memulai konflik dengan Kekaisaran Sokal...”

“Kalau begitu, kirim Menteri Luar Negeri untuk segera menyelesaikan perjanjian gencatan senjata.” 

Penunjukan mendadak itu membuat Menteri Luar Negeri terperangah.

Kata-kata Mitsuba seakan menyiratkan bahwa kegagalan bukanlah pilihan. Dalam peperangan, menjaga jalur diplomasi dengan musuh adalah tugas seorang Menteri Luar Negeri. 

“Kalau begitu, bisa saja mereka memanfaatkan kelemahan kita.”

“Itu masih lebih baik daripada terjebak dalam perang tanpa akhir. Kerajaan Perlan mendapatkan dukungan lewat jalur laut, dan menjatuhkan mereka akan sangat sulit. Lagipula, Kerajaan Perlan tidak akan mencoba menindas kita jika posisi Kekaisaran jelas. Kalau Kekaisaran menegaskan sikapnya, mereka tidak akan berani ikut campur seenaknya.” 

“Menegaskan?”

“Sebagai pihak yang melindungi ras campuran. Saat menerima para Dwarf, Yang Mulia telah menetapkan sikap ini. Maka menjalin gencatan senjata dengan Kerajaan Perlan demi melindungi ras campuran akan terlihat sebagai tindakan yang konsisten. Jika dalam situasi seperti itu mereka tetap mencoba mengambil keuntungan, maka dalam dan luar negeri mereka akan menghadapi ketidakpuasan.” 

Mitsuba, yang telah banyak mengelilingi negeri, memahami situasinya.

Berbeda dengan Kekaisaran Sokal yang nyaris tidak memiliki ras campuran, Kekaisaran dan Kerajaan Perlan memiliki populasi ras campuran yang besar. Karena itu, saat hal menyangkut kaum mereka muncul, hanya ada satu arah yang bisa diambil oleh kedua negara. 

“Itu keputusan Yang Mulia sendiri, bukan? Untuk melindungi ras campuran. Mengapa sekarang ragu dengan keputusan itu?”

“Karena aku memikirkan negara ini.”

“Kalau begitu, Yang Mulia harus menjadi Kaisar yang kuat. Anak-anak lebih banyak berpikir daripada yang dibayangkan orang dewasa. Al pun pasti memikirkan banyak hal. Tentang Kekaisaran, tentang ayahnya, dan tentang gadis kecil yang menangis itu.

“Dengan mempertimbangkan semua itu, dia memutuskan untuk memikul kesalahan itu sendiri.

“Menipu Kaisar, mencemarkan kehormatan keluarga kerajaan, dua hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pangeran. Namun, dia tetap menunjukkan keberanian dan memegang teguh keputusannya.

“Bahkan jika banyak orang mencelanya, saya ingin memujinya. Karena dia telah menunjukkan kualitas sejati sebagai seorang pangeran. Menepati keberanian yang telah dia tunjukkan, itulah hal penting bagi seorang pangeran, dan juga bagi seorang Kaisar. Jika putra Anda bisa melakukannya, tentu Yang Mulia pun bisa.” 

Mendengar kata-kata Mitsuba, Kaisar memandang ke langit-langit untuk beberapa saat, lalu menghembuskan napas dalam-dalam. Sejak penyerangan terhadap negeri para Dwarf, kerutan di keningnya tak pernah hilang, namun kini, perlahan mulai mengendur.

Dia telah mendapatkan kejelasan. Lewat perkataan istrinya dan tindakan putranya sendiri. 

“Franz. Ada bantahan?”

“Meski demikian, saya tetap berpikir sebaiknya mengambil langkah yang aman... Namun, saya juga mengerti bahwa hal itu bertentangan dengan prinsip Yang Mulia.”

“Ya. Seperti yang Mitsuba katakan, terlepas dari segalanya, Arnold telah memegang teguh keberaniannya. Aku ingin menerima dan mengakuinya. Siapa lagi yang bisa melakukannya selain aku dan Mitsuba? Siapa yang bisa menerima dan mengakui keberaniannya? Kami adalah orang tuanya. Maka kami harus bersikap seperti orang tua. Seorang ayah yang kalah dari anaknya tidak pantas menerima atau mengakui keberanian sang anak. Sebagai ayah, dan sebagai Kaisar, aku akan menunjukkan sosok yang pantas dibanggakan.” 

Dengan wajah yang kini tampak cerah, Kaisar menyampaikan kata-katanya. Di sampingnya, Franz menghela napas panjang. Meski dia sudah susah payah membuat Kaisar menerima jalan aman, akhirnya segalanya berubah juga. 

Dengan sedikit rasa kesal, Franz melirik ke arah Mitsuba, namun wanita itu sudah membalikkan badan dan melangkah pergi.

Melihat itu, Franz bergumam pelan.

“Yang Mulia... Saya sungguh tidak pandai menghadapi Nyonya Mitsuba...”

“Kebetulan. Aku juga begitu...”

“Kalau begitu, mengapa menjadikannya selir...?”

“Karena aku pikir dia adalah wanita yang luar biasa... Dan kurasa aku tidak salah.” 

Sambil mengangguk puas, Kaisar pun berdiri dan mulai memberikan perintah.

“Panggil semua komandan dari pasukan kesatria pengawal. Pahlawan, kamu boleh mundur. Tapi jika ada keadaan darurat, segera beri tahu. Bersiaplah.”

“Baik!”

“Oh, dan bawa Arnold ke sini. Aku harus menunjukkan padanya sosok seorang Kaisar.” 

Sambil berkata demikian, Kaisar menyunggingkan senyum lebar. Franz hanya bisa menghela napas melihat sikap kekanak-kanakan dari pemimpinnya, lalu segera bergerak sesuai perintah.


* * *


Di ruang singgasana, sang Kaisar dan Kanselir berdiri berjajar bersama para komandan pasukan kesatria pengawal.

Dikelilingi oleh para prajurit tangguh yang menjadi kebanggaan Kekaisaran, sang duta besar tampak sedikit tegang saat dia mengajukan pertanyaan.

“Y-Yang Mulia... Mengenai perbincangan ini, maksudnya...?”

“Benar. Mengenai kejadian sebelumnya, putraku telah berlaku tidak sopan. Sebagai permintaan maaf, kami telah menyiapkan permata sihir yang baru. Kami ingin Anda membawanya pulang.”

“Jadi maksudnya itu... Namun, Yang Mulia, memang benar bahwa negeri kami membutuhkan permata sihir. Akan tetapi, sejumlah permata sudah kami dapatkan dari negeri para Dwarf. Yang kami perlukan sekarang adalah teknik pengolahan dari para Dwarf itu. Mohon serahkan para Dwarf kepada kami. Atau setidaknya, berikan sesuatu yang setara nilainya. Jika tidak, maka kami tak punya pilihan selain menyampaikan pada negeri kami bahwa Kekaisaran tidak menginginkan persahabatan dengan Kekaisaran Sokal.”

“Hm... Kalau begitu, sampaikan saja begitu.”

“...Apa?” 

Sang duta besar yang tadinya merasa berada di atas angin, sejenak tidak dapat memahami maksud dari ucapan Kaisar.

Namun saat matanya bertemu dengan tatapan tajam Kaisar, dia akhirnya menyadari maksud sebenarnya.

“...Apakah Yang Mulia berniat memusuhi negeri kami?”

“Tepat sekali. Di Kekaisaran ini, kami tidak memiliki kebiasaan mengusir mereka yang telah kami terima. Jika permata tidak cukup untuk memuaskan kalian, maka tak ada lagi artinya untuk melanjutkan perundingan ini.”

“...Namun Kekaisaran tengah berperang dengan Kerajaan Perlan. Saya rasa bukan keputusan bijak untuk memulai perang dengan negeri kami dalam keadaan seperti ini.” 

Itu hanyalah gertakan. Atau demikian sang duta besar menilai.

Dia yakin ini hanyalah kepura-puraan untuk menunjukkan sikap tegas, tapi pada dasarnya Kaisar pasti tidak benar-benar berniat untuk berperang.

Karena itulah wajahnya masih memancarkan ketenangan. Namun. 

“Kami telah mengirim utusan kepada Kerajaan untuk mengajukan gencatan senjata. Ini adalah perang demi melindungi ras campuran. Saya yakin kerajaan akan memahaminya.”

“Tidak mungkin...”

“Tak percaya kalau tidak dikatakan langsung? Maka akan kukatakan. Setiap rakyat yang melarikan diri ke negeri ini, kini adalah rakyat Kekaisaran. Mereka yang kini menjejakkan kaki di tanah Kekaisaran, adalah rakyat yang harus kulindungi. Aku tak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun.

“Kalau memang kalian menginginkannya, rampaslah sendiri. Tapi jika memilih untuk merampas, maka datanglah dengan tekad yang sepadan. Aku sendiri akan memimpin kesatria pengawal Kekaisaran yang berdiri di sini dan melawan kalian.” 

Setitik keringat dingin mengalir di pipi sang duta besar. Kesatria Pengawal Kekaisaran. Pasukan elit berisi para petarung hebat yang mampu menghadapi seribu musuh sendirian. Inilah keseriusan sang Kaisar. 

Walaupun utusan telah dikirim untuk mengajukan gencatan senjata dengan Kerajaan Perlan, kesepakatan tidak akan tercapai dalam waktu dekat. Jika pada saat itu Kekaisaran Sokal menyerang, Kekaisaran akan terpaksa menghadapi perang di dua sisi.

Namun sang Kaisar tetap menyatakan bahwa dia siap menghadapi itu. 

“Apakah Yang Mulia berencana menggunakan keluarga pahlawan?”

“Benar.”

“...Jika pedang suci digunakan sembarangan, tidak terbayangkan bagaimana tanggapan negara lain.”

“Ini adalah perang demi melindungi ras campuran. Kebenaran ada di pihak kami. Bahkan jika pedang suci yang merupakan warisan umat manusia digunakan untuk perang, tak satu pun negara lain berhak memprotes. Bahkan jika Kekaisaran Sokal harus dihancurkan.” 

Dari kata-kata sang Kaisar, sang duta besar dapat merasakan tekad yang bulat. Jika memang perang akan terjadi, maka Kaisar akan melakukannya secara menyeluruh. Dia datang ke pertemuan ini dengan kesiapan untuk menghancurkan Kekaisaran Sokal jika perlu. 

Tertindih oleh tekanan yang terpancar dari Kaisar, sang duta besar hanya bisa berkata dengan putus asa,

“Anda akan menyesal nanti...” 

“Jangan meremehkan Kekaisaran. Kami tidak akan tunduk pada ekspresi negara lain. Kami tidak akan merendahkan diri. Kami tidak takut perang.

“Namun, kami takkan pernah membiarkan orang lain mengira kami lemah! Kekaisaran kami adalah negeri yang kuat! Dan aku adalah Kaisar yang kuat!

“Kembalilah dan sampaikan pada negeri kalian, perundingan ini telah gagal!” 

Ditegur keras oleh Kaisar, wajah sang duta besar pun terdistorsi oleh rasa kesal saat dia meninggalkan ruangan.

Kaisar lalu memerintahkan para komandan kesatria pengawal untuk mundur dan memanggil Arnold, yang menyaksikan segalanya dari sudut ruangan. 

“Arnold.”

“Ya, Ayahanda...” 

Saat Arnold mendekat, sang Kaisar meletakkan tangan di kepalanya.

Lalu dengan lembut mengusapnya. 

“Inilah pekerjaan ayahmu. Membuat keputusan. Itu adalah tugas seorang Kaisar. Baik atau buruk, keputusan tetap harus diambil. Tugas para bawahanlah yang mewujudkannya.”

“Sepertinya pekerjaan yang menyusahkan.”

“Maafkan aku... Tapi aku ingin kamu melihatnya, Arnold. Wujud sejati seorang Kaisar.

“Dengarlah, Arnold. Jika di masa depan kamu ingin menjadi Kaisar, atau berniat menjadikan seseorang sebagai Kaisar, ingat baik-baik diriku hari ini. Jika kamu ingin menjadi Kaisar, tirulah aku. Jika ingin mengangkat seseorang, pilihlah orang yang mirip denganku. Inilah hadiahku untukmu. Tapi ingat, kamu tetap harus kembali ke penjara. Paham?”

“Ya!” 

Melihat senyum usil ayahnya, Al pun tersenyum dengan cara yang sama.

Franz, yang melihat interaksi itu, merasa bahwa mereka benar-benar ayah dan anak yang serupa. Namun saat mengingat tumpukan pekerjaan yang akan datang setelah ini, wajah Franz kembali muram.


* * *


Dan kini, masa sekarang.

“Ibu... Kenapa ada setengah permata sihir yang dipajang di sana...?”

“Itu adalah permata keberuntungan.”

“Keberuntungan? Padahal cuma setengah?”

“Benar. Karena permata itu, Al mendapatkan harta yang paling berharga.” 

Mitsuba, yang sedang memangku Christa di pangkuannya, berkata demikian sambil mengingat kejadian di hari itu.

Setelah sang Kaisar menetapkan keputusannya, Elna menyusul Mitsuba.

Lalu, bersama ayahnya, sang pahlawan, dia menyampaikan permohonan maaf yang mendalam.

Sebagai balasan, Mitsuba hanya mengatakan, “Kalau suatu saat nanti anak itu kesulitan, tolong bantu dia.” 

Di sisi lain, Elna meminjam pedang milik ayahnya dan bersumpah pada Mitsuba.

Bahwa dia tidak akan pernah lagi meninggalkan Pangeran Arnold. 

Pada hari itu, melalui kejadian itu, Al mendapatkan pedang terkuat milik Kekaisaran. Meski dirinya sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Mitsuba sengaja tidak memberitahu bahwa gadis kecil di hari itu adalah Elna. Sebab dia percaya, bahwa suatu hari nanti, Elna sendiri yang akan mengatakannya. 

“Harta seperti apa itu?”

“Itu adalah pedang. Pedang yang sangat luar biasa. Walau Al sepertinya tidak bisa memanfaatkannya.”

“Itu benar. Kakak Al memang tidak cocok dengan pedang.” 

Mendengar itu, Christa dan Mitsuba pun saling tertawa kecil.

Namun dalam benaknya, Mitsuba tetap memikirkan Al. 

Al telah melihat wujud seorang Kaisar yang ideal. Itulah mengapa dia ingin menjadikan Leo sebagai Kaisar.

Karena bagi Al, Kaisar bukanlah seseorang yang harus menjadi, melainkan sosok yang harus dilihat. Maka dari itu, dia tidak berniat menjadikan dirinya sebagai Kaisar. 

Melihat Leo menjadi Kaisar yang agung, itu bisa dibilang telah menjadi mimpi Al saat ini. Dan karena itulah, Mitsuba sedikit mengkhawatirkan anak itu.

Karena dalam gambaran masa depan yang Al bayangkan, seolah-olah dirinya sendiri tidak pernah ada. 

“Lapor. Kami baru saja menerima kabar kilat. Pangeran Leonard dan Pangeran Arnold akan segera kembali.”

“Benarkah?”

“Kalau begitu, mari kita sambut mereka.” 

Ucap Mitsuba sambil menyimpan kegelisahan kecilnya di sudut hatinya.

Karena saat ini bukanlah waktu untuk memikirkannya. 

“Uhuk, uhuk... Dingin sekali, ya. Ibu pakai jaket dulu, ya...”

“Ibu sakit lagi?”

“Iya. Tapi akan segera sembuh.” 

Dengan berkata demikian, Mitsuba dan Christa bergandengan tangan, lalu berangkat untuk menyambut kedua pangeran yang kembali.

 

Bagian 3

Ruang singgasana kini dipenuhi oleh para pejabat tinggi dan anak-anak Kaisar. Di tengah mereka, Leo menyampaikan laporan mengenai kejadian terbaru. Aku sendiri berlutut di belakang Leo, namun tak ada hal yang perlu kukatakan. 

“Setelah penaklukan naga laut, Kerajaan Albatro dan Kerajaan Rondine telah memperbaharui ikatan aliansi mereka. Tampaknya, untuk sementara waktu, tidak akan terjadi perang di wilayah selatan.” 

“Baiklah. Kamu telah bekerja keras. Rupanya aku telah memberikan tugas yang lebih berat dari yang kuperkirakan. Tapi kamu berhasil menyelesaikannya dengan luar biasa. Prestasi yang hebat.” 

“Terima kasih banyak.” 

Ayah, yang memuji Leo, tampak sangat puas. Wajar saja.

Dengan tidak terlibatnya Kekaisaran dalam perang selatan dan keberhasilan menaklukkan naga laut, reputasi Kekaisaran pun meningkat pesat. Kerajaan Albatro bahkan secara resmi menyatakan keinginannya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Kekaisaran. Semua hasil dari insiden ini sungguh menguntungkan.

Dan semuanya adalah hasil dari kerja Leo. 

“Kita harus memberinya hadiah. Leonard, apakah kamu menginginkan sesuatu? Kalau kamu mau, aku bisa mengangkatmu sebagai salah satu menteri.” 

Dalam sekejap, wajah para menteri dan kakak-kakakku yang lain membeku.

Satu-satunya bangsawan kerajaan yang menjabat sebagai menteri hanyalah Eric. Dan kini, Ayah mengatakan akan mengangkat Leo ke posisi setara.

Tentu saja para menteri yang berafiliasi dengan berbagai fraksi, termasuk Gordon dan Zandra, tidak menyukainya.

Eric sendiri tetap tenang tanpa perubahan ekspresi, tetapi tatapan dari balik kacamatanya terasa lebih dingin dari biasanya. 

Namun, dengan kekuasaan yang setengah-setengah, pergerakan justru menjadi sulit. Dan bukan tidak mungkin akan diserang dari banyak arah. Lagi pula, Menteri Pekerjaan Umum sudah berada di pihak kami. Tidak perlu lagi mengejar posisi menteri. Aku dan Leo sudah membahas ini sebelumnya. 

“Terima kasih atas kehormatan itu, namun saat ini saya belum merasa mampu menjalankan tugas sebagai menteri.” 

“Hmm. Kalau begitu, apakah kamu memiliki permintaan lain?” 

Sebagai Kaisar, Ayah tidak bisa membiarkan Leo pergi tanpa hadiah.

Jika itu terjadi, maka semua yang datang setelah Leo juga tidak bisa diberi penghargaan. Dan di sisi lain, Leo juga tidak bisa menolak hadiah. Sebab jika dia menolaknya, orang lain akan merasa terdorong untuk ikut menolak. 

“Ya. Sebenarnya, sebelum berangkat sebagai duta besar, saya didatangi seorang gadis dari selatan yang memohon agar saya membantu menyelesaikan masalah desanya. Karena saya tengah menjalankan tugas, saya menolaknya saat itu. Tapi kini, saya telah kembali dengan selamat. Maka saya ingin membantu menyelesaikan masalah yang dia sampaikan.” 

“Oh? Jadi kamu langsung kembali bekerja setelah menyelesaikan tugas? Anak ini sungguh rajin. Bukankah begitu, Arnold?” 

“Ya. Saya tidak bisa meniru itu.” 

“Haha, mungkin kamu benar. Lalu, masalah seperti apa yang dia hadapi?” 

“Penculikan, katanya.” 

“Kenapa dia tidak meminta tolong kepada bangsawan wilayah?” 

“...Karena itu desa para pengungsi, jadi bangsawan wilayah tidak menggubrisnya.” 

“Apa!?” 

Wajah Ayah yang semula tampak tenang berubah muram dalam sekejap.

Sebelas tahun lalu, saat negosiasi dengan Kekaisaran Sokal, Ayah menyatakan bahwa semua pengungsi yang diterima dianggap sebagai rakyat Kekaisaran. Artinya, desa para pengungsi yang telah ada sejak saat itu secara hukum adalah bagian dari Kekaisaran. 

“Sejak kapan desa itu ada?” 

“Gadis itu bilang desa itu sudah ada sebelum dia lahir. Jadi kemungkinan sudah berdiri sebelas tahun yang lalu.” 

“Berani sekali! Apa mereka menganggap kata-kataku tak perlu didengar!?” 

Dalam kemarahan yang meluap, Ayah berdiri dari singgasananya. Semua yang hadir segera berlutut dan menundukkan kepala dalam-dalam. Franz, sang Kanselir, maju sebagai perwakilan untuk menenangkan Kaisar. 

“Mohon tenangkan amarah Anda, Yang Mulia.” 

“Bagaimana bisa aku tenang! Sebelas tahun lalu, aku memerintahkan semua bangsawan wilayah! Bahwa semua pengungsi adalah rakyat Kekaisaran! Dan kini itu diabaikan! Mengabaikan perintah itu berarti mengabaikanku!” 

“Belum tentu demikian. Justru karena itu, Pangeran Leonard ingin menyelidikinya terlebih dahulu.” 

“Tidak! Aku akan menyelidikinya sendiri! Jika itu benar, maka aku akan memenggal kepala bangsawan yang bertanggung jawab!” 

“Jika Kaisar ikut campur dalam urusan perbatasan, negara ini tak akan bisa berjalan. Mohon percayakan hal ini pada Pangeran Leonard.” 

Atas nasihat Franz, Ayah akhirnya kembali duduk di singgasana meski wajahnya masih tampak kesal. 

Kupikir semuanya akan berakhir dengan Leo ditugaskan menyelidiki daerah selatan, namun dua orang yang tidak tahu tempat justru maju ke depan. 

“Yang Mulia, Leonard baru saja menyelesaikan tugas. Mohon izinkan saya yang menangani ini.” 

“Tidak, Yang Mulia. Jangan serahkan pada Leonard yang baru kembali, atau pada Zandra yang hanya seorang wanita. Serahkanlah padaku. Aku ingin menggerakkan tubuhku yang mulai kaku. Akan kutanamkan hukum Kekaisaran pada mereka.” 

Zandra adalah yang pertama maju. Tidak mengejutkan. Wilayah selatan berada dalam pengaruh keluarga ibu Zandra. Jika terjadi masalah di sana, fraksi Zandra akan sangat terdampak.

Gordon menyusul karena tampaknya dia mulai haus akan prestasi. Meski menjabat sebagai jenderal, tanpa perang dia tak bisa meraih kemuliaan militer. 

Namun, mereka seharusnya melihat keadaan Ayah sebelum bicara. 

“Kalian! Kalian hendak menjadikan masalah ini sebagai alat perebutan takhta!?” 

Ayah kembali meledak. Mereka terburu-buru meraih prestasi. Masalah pengungsi adalah luka lama bagi Ayah.

Meskipun secara hukum mereka diakui sebagai rakyat Kekaisaran, masih banyak pengungsi yang tidak dianggap. Diskriminasi terhadap pengungsi masih kuat di Kekaisaran dan daerah terpencil seperti desa Lynfia, yang mana kasusnya tidak jarang.

Yang membuat kasus ini unik adalah Lynfia yang datang sendiri ke ibu kota. Dia bisa menilai bahwa hanya para bangsawan yang bisa menyelesaikan masalah ini, adalah langkah yang cerdas. 

Memang benar. Bagi Ayah, ini soal harga diri. Dan jika masalah ini diselesaikan oleh pihak-pihak yang tengah memperebutkan takhta, citra mereka akan meningkat di mata Kaisar. 

“Masalah ini bukan masalah kalian! Ini adalah masalahku! Aku tidak akan membiarkan kalian menjadikannya alat perebutan takhta! Kalian bodoh!

“Zandra! Ibumu berasal dari selatan! Bisa jadi keluarganya terlibat dalam ini! Sedikit saja kamu harus tahu diri!

“Gordon! Kamu selalu mengandalkan kekuatan! Mana mungkin aku mempercayakan masalah sensitif ini padamu! Kalian berdua, pikirkan dulu sebelum berbicara!” 

“Kami... Mohon maaf...”

Mereka berdua langsung mundur selangkah dan menunduk bersamaan. 

Setelah meluapkan amarahnya, Ayah menghela napas dan akhirnya menatap Leo dengan tenang. 

“Leonard. Aku tugaskan kamu sebagai inspektur keliling. Selidiki secara menyeluruh masalah di perbatasan selatan.” 

“Baik!” 

“Jangan beri ampun sedikit pun. Ungkap semua dosa. Penculikan adalah kejahatan berat di Kekaisaran. Dan membiarkannya juga kejahatan berat. Jangan beri belas kasihan pada siapa pun yang terlibat.” 

Dengan nada tegas, Ayah memberikan perintah pada Leo. 

Sekilas kulirik Zandra. Wajahnya menunjukkan kegelisahan. Jika ekspresinya benar, berarti keluarga ibunya memang terlibat dalam insiden ini. Jika benar penculikan itu didukung oleh bangsawan, dan di balik itu terdapat koneksi dengan keluarga Zandra, maka masalah ini akan menjadi sangat serius. 

Namun jika berhasil diselesaikan, itu akan menjadi pukulan telak bagi Zandra.

Mereka pasti menyesal tidak menghancurkan kekuatan Leo saat kami sedang pergi.

Dengan ini, Leo resmi menjadi kandidat kuat dalam perebutan takhta. Pendukungnya pun pasti akan bertambah. Dia sudah bukan lawan yang mudah lagi. Fondasinya semakin kokoh. Pertarungan yang sesungguhnya baru dimulai sekarang. 

“Rapat selesai. Semua boleh mundur.” 

Saat Ayah berkata demikian, aku pun hendak pergi. Tapi...

“Arnold. Tetap di sini sebentar.” 

“Ya?” 

“Jangan bergerak.” 

“Baik...”

Kenapa cuma aku...?

Dengan perasaan penuh tanda tanya, aku tetap di tempat. Kini hanya aku, Ayah, dan Franz yang tersisa di ruang singgasana. 

Aku menunggu apa yang akan dikatakan, tapi Ayah tampak ragu untuk bicara. Setelah beberapa kali membuka mulut tanpa hasil, akhirnya dia menyerah dan melemparkan tugas pada Franz. 

“Kamu saja yang sampaikan! Franz!” 

“Bukankah Yang Mulia sendiri yang bilang akan mengatakannya?” 

“Kamu saja!” 

“Ah... Pangeran Arnold. Alasan Anda diminta tetap tinggal adalah untuk membicarakan sesuatu tentang Yang Mulia Putri Pertama, yang kini berada di perbatasan timur.” 

“Kakak perempuan saya? Ada apa?” 

“Sebenarnya... Ada lamaran pernikahan untuknya.” 

“Saya menolaknya.” 

Begitu aku menolak tanpa pikir panjang, Ayah dan Franz sama-sama menunjukkan ekspresi kecewa.

Sungguh. Hanya dari ekspresi wajah mereka saja, tak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah Kaisar Kekaisaran dan Kanselir. 

“J-Jangan begitu... Yang Mulia memiliki tiga putri. Yang Mulia Putri Christa masih kecil, dan Yang Mulia Putri Zandra terus-menerus bersikeras bahwa dia tidak ingin menikah.” 

“Namun menjodohkan Kakak adalah ide yang konyol. Beliau adalah marsekal yang memimpin seluruh pasukan di perbatasan timur, kan? Salah satu dari hanya tiga marsekal yang dimiliki Kekaisaran, benar? Satu-satunya orang yang bisa memberikan perintah kepadanya hanyalah Ayahanda sendiri, bukan begitu?” 

“Justru karena itu, kalau dibiarkan seperti ini, tak akan ada orang yang mau melamarnya! Dia sudah dua puluh lima tahun, tahu!!” 

“Kalau begitu, kenapa tidak Ayahanda sendiri yang menyampaikannya langsung?” 

“Aku sudah mengirimkan surat berkali-kali! Dan dia selalu menolaknya! Pada akhirnya, dia sampai berkata bahwa kalau dia harus menerima lamaran, dia lebih baik berhenti jadi anggota keluarga kekaisaran! Anak perempuan yang durhaka!” 

“Kalau dia memang tidak ingin menikah, bukankah tidak apa-apa...” 

“Aku ini ayahnya! Aku punya kewajiban untuk memikirkan masa depan putriku! Dengarkan baik-baik, Arnold! Kamu dekat dengan Christa, dan dia juga menyukaimu. Kirimkan surat, bujuk dia agar datang ke ibu kota. Kalau tidak bisa, kamu yang harus pergi ke perbatasan timur!” 

Itu adalah perintah yang sungguh tak masuk akal. Kalau sampai seperti itu, lebih baik gunakan saja perintah resmi sebagai Kaisar untuk memanggilnya pulang. 

Tapi aku tahu alasannya kenapa tidak dilakukan. Ayah tak mau dibenci olehnya. Putri Pertama dan Christa adalah putri dari Selir Kedua, yang paling Ayah cintai. Terutama Putri Pertama, yang benar-benar mirip dengan Selir Kedua, sehingga Ayah tak bisa bersikap keras padanya. 

Aku menghela napas dan, tak punya pilihan lain, mengangguk. Atau lebih tepatnya, aku tak bisa tidak mengangguk. 

Aduh, sepertinya aku akan terlibat urusan yang merepotkan lagi.

 

Bagian 4

“Lamaran untuk Yang Mulia Putri Pertama?”

“Ya, ini urusan yang merepotkan.” 

Begitu aku kembali ke kamarku, Fine menyambutku dengan teh dan kue-kue.

Sambil menyantapnya sedikit demi sedikit, aku menghela napas panjang. 

“Aku memang belum pernah bertemu langsung, tapi sudah sering mendengar desas-desus tentangnya. Seorang putri jenderal yang telah mengumpulkan prestasi militer dari berbagai medan perang. Keperwiraannya bahkan terdengar hingga ke luar negeri, dan katanya dianggap sebagai yang terkuat di Kekaisaran.” 

“Itu bukan berlebihan. Faktanya, sejak lima tahun lalu ketika dia ditugaskan menjaga perbatasan timur, Kekaisaran Sokal tak bisa lagi bergerak leluasa. Dia mereformasi total sistem pertahanan perbatasan dan membuatnya menjadi jauh lebih kokoh.” 

“Jadi, dia memang sehebat yang dikabarkan, ya? Tapi bagaimana dengan orangnya sendiri, secara pribadi?” 

Sambil menuangkan teh ke dalam cangkirku yang sudah kosong, Fine bertanya.

Aku mengucapkan terima kasih, lalu menyeruput teh itu, sambil berpikir seperti apa kakakku itu sebagai seorang manusia.

Hmm... 

“Kalau harus dijelaskan dengan satu kata, mungkin tentara?” 

“T-Tentara...?” 

“Ya. Tentara, bukan kesatria. Dan itulah yang paling menggambarkan Kakak.” 

“Aku tidak bisa membayangkannya...” 

“Nanti juga akan paham kalau sudah bertemu langsung. Dia bukan tipe kesatria seperti Elna. Dia seorang tentara. Medan perang adalah kekasihnya. Dia tidak punya idealisme tentang duel satu lawan satu. Yang penting adalah menang. Cara berpikirnya benar-benar berfokus pada hasil.

“Waktu kakak tertua kami yang adalah Putra Mahkota meninggal, dia langsung menyatakan bahwa dia tidak akan ikut dalam perebutan takhta. Siapa pun yang jadi Kaisar, dia akan mengabdi sebagai marsekal.” 

Karena itu, banyak kalangan militer beralih mendukung Gordon.

Bagi para tentara yang ingin mendapatkan prestasi, lebih baik jika Kaisar berasal dari keluarga kekaisaran yang berkaitan dengan militer. Kakakku adalah kandidat utama, dan Gordon berada di posisi kedua.

Jika Kakak ikut dalam perebutan takhta, kemungkinan besar Gordon sudah berada di bawah kekuasaannya sekarang. 

“Seorang perwira militer tidak ikut campur dalam urusan politik. Yang perlu dipikirkan hanyalah melindungi negara. Itulah keyakinannya sebagai tentara, dan dia benar-benar menjalaninya.” 

“Sepertinya beda dengan yang pernah aku dengar... Dari cerita-cerita yang kudengar, dia digambarkan jauh lebih gemerlap...” 

“Dia memang memukau. Tinggi, berambut pirang, dan cantik luar biasa. Cukup dengan berada di suatu tempat, semua mata langsung tertuju padanya. Kalau dari segi aura, mungkin dia agak mirip denganmu.” 

“Eh... T-Terima kasih...” 

Entah kenapa Fine menunduk sambil wajahnya memerah. Saat aku masih merasa bingung, tiba-tiba Sebas muncul begitu saja. 

“Karena Anda memuji Yang Mulia Putri sebagai wanita cantik, lalu mengatakan beliau mirip dengan Nona Fine, maka Nona Fine merasa tersanjung. Sama saja dengan menyebut dirinya cantik, bukan?” 

“Bukankah dia sudah sering dipuji seperti itu? Masih bisa malu juga, ya?” 

“T-Tentu saja... Tergantung orang yang mengatakannya...”


“Begitu ya. Aku sungguh tidak mengerti perasaan seperti itu.” 

Sementara Fine masih terlihat malu, Sebas menyerahkan padaku dokumen. Sebelumnya aku memang sudah memintanya untuk menyelidiki calon pasangan dalam lamaran untuk Kakak. Ayah mungkin tidak akan memilih orang sembarangan, tapi kalau sampai orang itu adalah tipe yang tidak disukai Kakak, bisa-bisa aku yang kena amukannya. 

Namun, sejauh yang kulihat dari dokumen, tidak ada yang mencurigakan. Yah, wajar saja, ini lamaran untuk kakakku, bagaimanapun. 

“Pasti orang ini punya nyali besar kalau berani mengajukan lamaran pada Kakak yang satu itu.”

“Benar sekali. Bagaimanapun juga, beliau adalah sang putri jenderal yang tak pernah kalah. Bahkan disebut sebagai reinkarnasi dari Selir Kedua. Kaisar pun sangat menyayangi beliau.”

“Selir Kedua? Berarti, beliau adalah kakak kandung Putri Christa?”

“Betul. Mereka lahir dari rahim yang sama. Selir Kedua adalah wanita cantik berambut pirang. Beliau juga lembut dan penuh kasih terhadap siapa pun. Saya masih ingat betul akan hal itu.”

“Mungkin itu juga alasan kenapa Ayah menyukai Fine. Karena sifatnya bertolak belakang dengan Kakak, Ayah mungkin melihat Fine sebagai sosok yang dia harapkan dari Selir Kedua. Kalau kamu dan Kakak diletakkan berdampingan, lalu ditanya siapa yang anak Selir Kedua, orang pasti akan menebak dirimulah orangnya.”

“Benarkah? Saya sangat tersanjung mendengarnya.” 

Sepertinya dia memang benar-benar merasa terhormat.

Fine tersenyum cerah, memperlihatkan ekspresi polos yang pasti jadi poin plus di mata Ayah. 

“Yah, karena itulah Ayah sangat khawatir soal siapa yang akan menikahi Kakak. Dia anak sulung, dan kalau lamaran untuk Zandra diajukan lebih dulu, pasti akan ditolak dengan alasan Kakak belum menikah.” 

“Lagipula, Yang Mulia Kaisar tidak begitu menyukai Selir Kelima. Jadi wajar jika beliau tidak terlalu peduli dengan pasangan untuk Zandra.” 

“Tidak menyukai? Tapi bukankah Yang Mulia mencintai semua istrinya secara adil?” 

Mendengar ucapan Sebas, Fine memiringkan kepala heran.

Hmm... Apakah pantas membahas ini di depan Fine?

Ketika aku ragu, pandanganku bertemu dengan Sebas yang mengangguk pelan, seolah berkata bahwa dia sengaja membicarakannya agar Fine juga mendengarnya.

Kalau itu kehendak Sebas, aku tak keberatan. 

“Di permukaan, memang begitu. Beliau tidak pernah membeda-bedakan anak-anaknya. Tapi ada satu rumor yang selalu mengiringi Selir Kelima.”

“Rumor seperti apa?”

“Konon, yang membunuh Selir Kedua adalah Selir Kelima.”

“Seorang selir membunuh selir lain...?”

“Itu bukan hal aneh di Istana Harem. Tapi biasanya terjadi saat ada perebutan takhta atau ketika seorang anak hendak dilahirkan, saat momen kritis. Tapi waktu itu, Putra Mahkota sudah ada, dan Christa juga sudah lahir. Bahkan meski Selir Kedua sangat disayangi, beliau hanya melahirkan anak perempuan. Jadi secara politik, beliau tak terlalu berpengaruh. Tak ada alasan kuat untuk membunuhnya.” 

“Kalau begitu, kenapa sampai muncul rumor seperti itu?” 

Nah, di sinilah letak masalahnya. Selir yang tampaknya tidak punya alasan untuk dibunuh, tiba-tiba saja meninggal dunia. Penyelidikan dilakukan, tapi penyebab kematian tidak ditemukan. Dari semua pihak, yang paling mencurigakan saat itu adalah Selir Kelima. 

“Usia Selir Kedua dan Selir Kelima cukup dekat, dan mereka sama-sama putri dari keluarga duke, jadi selalu dibandingkan. Tapi Selir Kedua dipilih langsung oleh Ayah karena beliau menyukainya, sedangkan Selir Kelima dinikahi karena alasan politik. 

“Keduanya juga sama-sama melahirkan putri lebih dulu, tapi anak dari Selir Kedua lebih populer. Zandra memang cerdas sejak kecil, tapi kepribadiannya bermasalah. Ada semacam rasa iri atau dendam sepihak yang dimiliki Selir Kelima terhadap Selir Kedua.” 

“Jadi rumor itu muncul karena rasa cemburu yang mendorong pembunuhan?” 

“Tak bisa dipastikan. Selir Kelima punya alibi. Saat Selir Kedua meninggal, beliau sedang bersama Permaisuri. Tidak mungkin beliau melakukan pembunuhan langsung, dan tidak ada bukti bahwa itu pembunuhan. Tapi orang tetap mencurigainya karena dia adalah guru dari Zandra.” 

“Guru dari Yang Mulia Zandra?” 

“Benar. Aku sendiri menggunakan sihir kuno, sihir yang sudah tidak diturunkan lagi. Sementara sihir yang tersebar luas di dunia saat ini disebut sihir modern. Zandra menguasai cabang dari sihir modern yang disebut sihir terlarang, yakni sihir yang dulu sengaja dilarang oleh para pendahulu.” 

Sihir terlarang memang beragam. Ada yang dilarang tanpa alasan jelas, tapi ada juga yang memang pantas dilarang karena sangat berbahaya. Zandra meneliti sihir-sihir itu dan membatalkan status larangan pada sihir yang dianggap berguna bagi Kekaisaran. 

Bagi para penyihir, Zandra adalah sosok yang sangat dihargai karena membuat banyak sihir yang tadinya tak bisa dipelajari kini bisa digunakan. Sebagian besar sihir terlarang memang sangat kuat. 

Dan yang pertama kali melakukan hal tersebut adalah ibu Zandra, Selir Kelima. 

“Zandra mengajukan bahwa beberapa sihir yang dilarang sebenarnya berguna dan seharusnya dihapus dari daftar larangan. Tapi dalam proses itu, dia pasti juga mempelajari sihir yang benar-benar berbahaya. Tentu saja, Selir Kelima pun ikut mempelajarinya. Rumornya, mungkin salah satu dari sihir itu adalah kutukan pembunuh yang bisa membunuh orang tanpa jejak.” 

“Apakah benar ada sihir seperti itu?” 

“Aku tidak tahu. Aku hanya bisa menggunakan sihir kuno. Tapi bisa jadi memang ada.

“Sihir kutukan yang tak bisa ditemukan bahkan oleh Kaisar saat melakukan penyelidikan, jika memang ada, bukan aneh kalau itu masuk kategori sihir terlarang.

“Dan yang punya akses untuk mencari sihir-sihir terlarang dari seluruh daratan hanyalah Selir Kelima dan Zandra.” 

“Tapi... Jika sihir itu benar-benar ada...”

“Ya, siapa pun bisa dibunuh tanpa diketahui. Itulah mengapa rumor itu tak pernah bisa ditepis. Tiga tahun lalu, Putra Mahkota meninggal dunia. Penyelidikan dilakukan, tapi tidak ditemukan bukti pembunuhan. Sama seperti saat Selir Kedua meninggal.

“Sejak saat itu, Ayah terus memandang Selir Kelima dengan penuh kecurigaan. Secara formal, karena tak ada bukti, beliau tidak melarang penelitian Zandra atas sihir terlarang.” 

Selain itu, fakta bahwa aktivitas Zandra membuahkan hasil juga jadi alasan beliau tak melarangnya.

Beberapa sihir yang lepas dari status larangan telah diadopsi sebagai sihir militer, bahkan membantu pengembangan senjata sihir baru.

Dengan Kekaisaran Sokal yang merupakan negara sihir kuat sebagai tetangga, melarang sihir secara sembrono bisa menyebabkan para penyihir berbakat pindah ke sana. Ayah juga mengalami dilema. Secara pribadi, beliau pasti ingin segera menghentikannya. Tapi justru karena beliau tak menunjukkan itu, beliau diakui sebagai Kaisar yang hebat. 

“Jadi, karena dia menyimpan dendam pribadi pada Selir Kedua dan punya kemampuan membunuh tanpa bukti, maka dia dicurigai?” 

“Begitulah. Tapi tetap saja itu cuma dugaan. Tak ada bukti sama sekali. Saat Putra Mahkota meninggal, Selir Kelima dan Zandra berada di ibu kota, sedangkan Putra Mahkota berada di garis depan.

“Rasanya terlalu dipaksakan. Sihir kutukan jarak jauh seperti itu bahkan dalam sihir kuno pun mungkin tak ada. Namun, semua itu sudah cukup untuk membuat orang-orang mencurigainya.” 

Dan sekarang, keluarga besar dari Selir Kelima berada di selatan. Itulah yang akan Leo periksa. 

Sebagai inspektur keliling yang bertugas mengungkap kebenaran, Leo sangat cocok. Dia teliti, dan tidak akan melewatkan penyimpangan sekecil apa pun. Tapi di selatan, daerah itu dikuasai oleh keluarga tempat wanita seperti itu lahir. 

Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Tapi kali ini, aku tak bisa membantu secara terang-terangan.

Penugasan terpisah yang diberikan kepada kami adalah ujian untuk mengukur kemampuan masing-masing. 

“Kali ini, aku hanya bisa membantu dari balik bayangan.”

“Kalau begitu, tidak masalah. Bukankah itu sudah biasa?”

“Benar juga.” 

Sambil berbincang demikian, aku tersenyum dan mulai menikmati kue buatan Fine yang lezat.

 

Bagian 5

“Kalau begitu, untuk rapat dewan menteri berikutnya, kita setujui usulan pembangunan jalan baru yang menghubungkan perbatasan timur dengan ibu kota, begitu ya? Menteri Pekerjaan Umum, Tuan Belz?” 

“Ya. Untuk mempercepat pemulihan wilayah timur yang terdampak serangan monster, jalan langsung sangat diperlukan. Selain itu, proyek ini juga bisa menciptakan lapangan kerja. Meskipun sebenarnya, ini hanyalah meniru proyek dari salah satu keluarga duke yang informasinya disiapkan oleh Nona Marie...”

“Usulan yang baik memang seharusnya diadopsi. Terima kasih karena telah menerima usul tersebut.” 

Demikian ucap Marie sambil menundukkan kepala dengan sopan di kediaman Count Belz.

Melihat Marie yang tidak membanggakan jasanya dan hanya menyampaikan terima kasih dengan tenang, Count Belz tersenyum kecut. 

“Pangeran Leonard memiliki orang kepercayaan yang hebat. Dengan kehadiran Nona Marie, urusan pemerintahan pasti akan berjalan lancar.” 

“Saya ini masih jauh dari kata layak. Saya belum bisa memberikan kontribusi apa pun.” 

“Anda terlalu merendah. Kekuatan Pangeran Leonard terus tumbuh pesat, bukan?” 

“Itu bukan karena saya. Semua berkat wibawa dan kepribadian Pangeran Leonard serta Nona Fine.” 

“Memang benar mereka berdua memiliki pengaruh yang besar. Tindakan heroik Pangeran Leonard telah menjadi bahan perbincangan di berbagai tempat, dan Nona Fine berhasil mendapatkan dukungan dari Serikat Dagang Ras Campuran. Dengan adanya dukungan finansial, kekuatan mereka menjadi lebih stabil, dan jumlah bangsawan yang bergabung pun meningkat. Namun, semua keberhasilan mereka tentu tak lepas dari dukungan yang diberikan Anda di sisi mereka.” 

“Saya sangat tersanjung atas pujian Anda, tapi sungguh, saya tidak melakukan apa-apa. Tidak banyak hal yang bisa saya lakukan.” 

Setelah kembali menunduk, Marie membalikkan badan dan meninggalkan kediaman tersebut. Dan itu bukanlah kebohongan. Walau menyandang posisi orang kepercayaan, Marie hanyalah seorang pelayan. Dia tidak mampu menarik banyak orang untuk mengikutinya. Dia bisa mendukung, tapi tidak bisa memimpin. Itulah posisi Marie. 

Sambil mengamati punggung Marie yang semakin menjauh, Count Belz mengelus perutnya dan bergumam pelan. 

“Perempuan yang sulit dipahami... Apa aku membuatnya kesal, ya...?”

Melihat Marie yang tak pernah menunjukkan perubahan ekspresi maupun senyum sopan sedikit pun, sungguh membuat lambungnya terasa perih.


* * *


 


Dalam perjalanan pulang dari kediaman Count Belz.

Marie menyelesaikan beberapa urusan belanja, lalu berjalan menuju istana dengan kantong belanja di pelukannya. 

Namun, fia tiba-tiba berhenti melangkah dan dengan tenang berbelok ke gang sempit.

Dan saat itu... 

“Hei, Nona! Mau main sebentar sama kami, nggak?” 

Tiga pria muda menghadangnya, memilih saat jalanan sepi tanpa satu pun pejalan kaki lain.

Dari penampilan dan sikap mereka, jelas mereka adalah preman kelas rendahan. 

Marie, yang disapa oleh ketiganya, perlahan meletakkan kantongnya ke tanah, lalu berbalik menghadap mereka dengan tenang. 

“Tak masalah. Aku juga ingin bermain dengan kalian.” 

“Wah! Ternyata asyik juga, ya! Kupikir kamu bakal kaku banget soalnya pakai seragam pelayan! Kami punya tempat rahasia nih, ayo ke sana...”

Pria yang tampak sebagai pemimpin hendak menyentuh bahu Marie. Namun, tangannya tak pernah sampai ke sana. 

“Gyaaaa! T-Tanganku...!”

“Jawab. Siapa yang menyuruh kalian mendekatiku?” 

Marie telah menancapkan pisau dari lengan bajunya ke tangan pria itu, menempelkannya ke dinding.

Tanpa perubahan ekspresi, Marie menatap langsung ke mata pria itu, yang seketika merasakan aura kematian. 

“H-Hiih...! K-Kami nggak ngapa-ngapain...” 

“Kalau kamu berbohong, akibatnya akan lebih buruk. Aku berjalan tanpa pengawal karena aku cukup mampu menjaga diri sendiri. Jawablah dengan jujur. Orang-orang di ibu kota pasti tahu betapa berbahayanya menyerang seorang pelayan.” 

Di ibu kota kekaisaran, hanya bangsawan dan saudagar besar yang mampu mempekerjakan pelayan. Menyerang seorang pelayan berarti menyerang kehormatan tuannya, bukan karena mereka peduli, tapi karena masalah harga diri. Tak akan ada yang membiarkan hal itu berlalu begitu saja.

Karena itulah Marie mengajukan pertanyaan itu kepada mereka. 

“S-Sebelumnya, ada pria berpakaian hitam bilang suruh culik kamu...”

Sambil bicara, pria itu mengeluarkan satu keping koin emas dari sakunya.

Mungkin dia dijanjikan lebih jika berhasil menyerahkan Marie. 

Berpikir bahwa ini mungkin cara kotor untuk memanfaatkan pemuda yang miskin ini, Marie mengambil tiga koin emas dari dompetnya.

Koin-koin itu bukanlah milik Marie pribadi. Mereka adalah dana yang dipercayakan langsung oleh Leo. Namun, terserah Marie mau digunakan untuk apa uangnya. 

“Kalau kamu kekurangan uang, seharusnya kamu bekerja, bukan menyerang yang lemah.” 

“Eh...?”

Marie memasukkan satu keping ke saku pria itu, lalu melemparkan masing-masing satu keping ke dua pria lainnya.

Tindakan tak masuk akal, memberi uang kepada orang yang menyerangnya, membuat ketiganya gugup. Mereka tak tahu apa yang akan dilakukan Marie selanjutnya. 

Namun, Marie mencabut pisau dari tangan pria itu dan dengan cekatan menghentikan pendarahannya. 

“Uang itu adalah upah. Sebarkan cerita bahwa Pangeran Leonard menyelamatkan banyak nyawa di luar negeri. Sebarkan ke seluruh ibu kota sebanyak mungkin.” 

“Kamu mau kami menyebarkan kabar itu...?”

“Hanya sebarkan fakta. Tak perlu dilebih-lebihkan. Itu saja sudah cukup untuk meningkatkan reputasi Tuanku.” 

“Tuanmu... Jangan-jangan... kamu itu...”

“Aku adalah pelayan pribadi Pangeran Leonard. Menyerangku tanpa tahu siapa aku, kalian memang nekat.” 

“Sungguh...?”

Ketiganya mengira Marie adalah pelayan dari bangsawan biasa, dan kini tubuh mereka gemetar mendengar nama besar itu.

Marie berkata dengan tenang kepada mereka yang masih terpaku. 

“Sekarang pergilah dan lakukan tugas kalian. Dan jika hidup kalian sulit, datanglah ke istana. Selama kalian hidup dengan benar, Pangeran Leonard tidak akan meninggalkan orang-orang seperti kalian.” 

“T-Terima kasih! Terima kasih banyak!” 

Para pemuda itu menunduk penuh rasa syukur sebelum berlari meninggalkan tempat itu. 

Dari belakang Marie, sesosok bayangan muncul. 

“Kamu memang pekerja keras ya. Mengubah pion musuh jadi pion sendiri lalu menyebarkan reputasi Leo. Cerdik.” 

“Tak sebanding dengan Anda, Nona Elna. Sedang patroli di ibu kota, ya?”



“Benar. Aku sukarela ikut. Soalnya kalau hanya diam di istana, aku tak tahu bagaimana kondisi rakyat.” 

“Pendekatan yang bijak, menurut saya.”

“Yah, sebenarnya aku hanya meniru Al saja. Dia selalu bilang mau keliling, padahal sambil memperhatikan rakyat juga.” 

Elna menjawab sambil bertolak pinggang. Marie memandangnya sekilas dengan alis yang sedikit berkerut. 

“Saya rasa Tuan Arnold hanya menggunakan itu sebagai alasan untuk bersenang-senang.” 

“Aku tak menyangkal. Tapi dia tetap memperhatikan hal-hal penting. Dia juga berjasa besar di selatan.” 

“Kalau memang begitu... Nona Elna, saya mohon bantuannya untuk mengikuti mereka tadi.” 

“Untuk berjaga-jaga siapa tahu orang yang menyuruh menculikmu akan muncul, ya? Baiklah. Lalu, kamu curiga pada siapa?” 

“Hampir bisa dipastikan ini kerjaan salah satu pembunuh dari pihak Putri Zandra. Sejak Tuan Leonard mendapatkan banyak prestasi, mereka jadi lebih aktif.” 

“Padahal kamu sudah tahu, tapi tidak bisa menuduh langsung. Perebutan takhta memang merepotkan. Kalau aku, sudah kuterobos markas mereka.” 

“Kita butuh bukti konkret. Saling membongkar kelemahan adalah hal lumrah dalam politik.” 

Mendengar jawaban Marie, Elna mengangkat bahu, lalu segera menghilang dari tempat itu.

Marie pun memandangi kepergiannya, lalu melangkah kembali ke istana.


* * *


“Demikian hasil dari pembicaraan dengan Count Belz.”

“Dimengerti. Terima kasih. Kehadiranmu sangat membantu, Marie.”

“Tidak, saya hanya bisa melakukan hal-hal sederhana seperti ini.”

“Seperti biasa ya. Oh, bisakah kamu sampaikan hasil ini pada Kakak juga?”

“Untuk Tuan Arnold? Saya rasa tidak perlu, tapi...”

“Tolong, ya.”

“Kalau itu keinginan Anda, saya akan laksanakan.” 

Setelah berkata demikian, Marie membungkuk sambil membawa dokumen, lalu meninggalkan ruangan dan menuju kamar Al.

Dalam perjalanannya, dia menerima beberapa laporan dari bangsawan yang berada di pihak Leo, lalu akhirnya sampai di depan kamar Al. 

“Permisi, ini Marie. Tuan Arnold, apakah Anda ada di dalam?” 

Dia mengetuk pintu dan menunggu jawaban. Tak lama, pintu terbuka. Namun, yang muncul bukanlah Al. 

“Selamat datang, Nona Marie.”

“Nona Fine? Di mana Tuan Arnold?”

“Ada kok, di dalam.” 

Fine menyambut Marie dengan senyum lembut.

Dengan posisinya, Fine cukup mengatakan “masuk saja”, tapi fakta bahwa dia repot-repot keluar dan menyambut langsung adalah cerminan sifat baik hatinya, dan Marie mengaguminya akan hal itu. Namun, kekaguman itu segera menguap. 

Al sedang tidur siang dengan posisi yang sangat malas di sofa. Fine berjalan perlahan agar tidak membangunkannya. 

“Karena Tuan Al sedang tidur, aku yang akan menggantikannya, ya.”

“...Sejak kapan beliau tertidur?”

“Sejak kapan, ya? Sepertinya sudah cukup lama.” 

Dengan sedikit nada lelah, Marie menyerahkan dokumen kepada Fine. 

“Ini adalah usulan yang akan diajukan oleh Count Belz pada rapat dewan menteri berikutnya.”

“Baik, akan kuserahkan nanti.”

“Terima kasih. Dan... Nona Fine, bukankah Anda terlalu memanjakan Tuan Arnold?”

“Begitukah? Saat lelah, tidur adalah obat terbaik. Dan kalau ingin tidur, lebih baik tidur saja!” 

“Kalau Tuan Arnold menjalankan tugasnya dengan baik, mungkin itu bisa dimaklumi. Tapi jika hanya bermain dan tidur terus, reputasinya akan terus menurun. Dan reputasi Anda pun bisa ikut terpengaruh.” 

“Tidak masalah bagiku. Jika ada orang yang menjauh karena itu, maka artinya memang tidak cocok dengan kami. Lagipula, meskipun terlihat seperti ini, beliau sebenarnya sangat rajin. Beliau hanya suka bekerja di balik layar, tanpa diketahui orang.” 

“Dari sudut pandang Anda, sepertinya siapa pun akan terlihat sebagai orang luar biasa ya, Nona Fine...” 

Menilai bahwa percuma berkata lebih jauh, Marie membungkuk dan meninggalkan ruangan.

Sambil berjalan, dia kembali teringat wajah tidur Al yang tidak beraturan itu. Elna, Fine, dan bahkan Leo pun memandang tinggi Al.

Marie dulu mengira itu hanya karena hubungan darah, tapi kini bahkan orang di luar keluarga pun mulai mengakuinya. Mungkin memang ada sesuatu yang istimewa pada dirinya. 

Namun, pada saat yang sama, bisa jadi dia memang sekadar pemalas sejati. Itulah yang membuat kepala Marie sedikit pening. 

“Aku pikir dia mulai sedikit membaik, tapi kalau tidak berubah lebih baik lagi, itu bisa menjadi beban bagi Tuan Leonard. Mulai sekarang, aku akan mulai memberinya sedikit teguran.” 

Dengan tekad itu, Marie pun kembali menuju tempat Leo.

 

Bagian 6

Aku dan Leo memang telah diberikan tugas, tapi bukan berarti kami akan langsung berangkat meninggalkan ibu kota. 

Masih ada persiapan, dan dalam kasusku, itu pun tergantung pada Kakak. 

Selama waktu itu, kami masing-masing melakukan apa yang bisa kami kerjakan. Leo sibuk bertemu dengan para tokoh penting dan menarik mereka ke pihaknya. Sedangkan aku menangani pertemuan dengan perwakilan dari Serikat Dagang Ras Campuran. 

“Orangnya seperti apa?”

“Orang yang baik.”

“‘Orang baik’ versi Fine tidak bisa dipercaya, tahu.”

“Tidak mungkin...”

Fine berseru seakan terkejut dan terluka. Tapi memang begitulah kenyataannya. Jika Fine dan Leo yang menilai seseorang, hampir semua akan dianggap ‘baik’. Kedua orang itu cenderung melihat sisi positif daripada sisi negatif. 

Aku sebaliknya. Ketika melihat kakak Trau, mereka berdua akan mencari kelebihannya terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya terpikir, “gemuk”. Inilah yang disebut perbedaan daya tarik manusia. 

Ironisnya, dunia lebih mudah bagi orang seperti mereka. Mungkin karena itulah aku jadi ingin melindungi mereka. 

“Kami sudah menunggu. Yang Mulia, Nona Fine. Sang Perwakilan telah menunggu.”

“Sudah kudengar, tapi ternyata sekretarisnya seorang elf, ya. Bagaimana bisa bergabung dengan Serikat Dagang Ras Campuran?” 

Yang menyambut kami di depan ruangan adalah sekretaris elf itu sendiri.

Sudah pernah aku dengar dari Fine dan yang lain, tapi tetap saja terasa asing. Elf biasanya hidup menyendiri di desa-desa tersembunyi. Mereka tertutup dan melindungi pemukiman mereka dengan penghalang, jarang sekali keluar. Meski nama mereka dikenal luas, orang yang benar-benar pernah melihat elf secara langsung mungkin hanya segelintir. 

Berumur panjang, wajah rupawan, dan konon ada yang hidup hingga seribu tahun. 

Bahwa seorang elf bisa terlibat dengan banyak orang di luar desa saja sudah mengejutkan, apalagi bekerja sebagai sekretaris seorang vampir di serikat dagang. Rasanya agak sulit dipercaya. 

“Kami para elf memang tertutup. Itu adalah sifat ras kami. Tapi aku ingin melihat dunia luar. Di antara elf, aku termasuk yang menyimpang. Jadi aku meninggalkan desa dan pergi keluar. Tapi dunia luar lebih keras daripada yang kubayangkan. Di saat seperti itu, sang perwakilan menerimaku ke dalam serikat. Serikat ini memang menjadi tempat bagi ras campuran seperti kami.”

“Kisah yang menyentuh, benar bukan, Tuan Al?”

“Asal bukan cerita bohong.” 

Aku sengaja berkata begitu. Fine menatapku seolah bertanya mengapa aku bicara seperti itu, tapi aku tak peduli. Mendengar ucapanku, sekretaris elf itu sedikit menyipitkan mata, tampak agak jengkel. Dia menjawab bahwa terserah mau percaya atau tidak, lalu mundur selangkah. 

Kelihatannya cerita itu memang benar. 

“Permisi.” 

Aku memasuki ruangan tempat sang perwakilan berada. Dan di situlah hal yang tak kuduga terjadi. 

“Senang bertemu dengan Anda, Pangeran Arnold. Saya Yuria, perwakilan Serikat Dagang Ras Campuran.” 

Rambut perak yang disanggul tinggi, tubuh yang dibalut gaun berpotongan berani. Kulitnya pucat seperti mayat, terpapar tanpa ragu. Matanya yang berwarna merah keunguan menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. 

Dia memiliki penampilan menawan khas vampir. Melihat kulit putihnya, aku jadi teringat para vampir yang pernah kutemui di timur. Dan mengingat mereka, aku otomatis juga mengingat bagaimana Fine pernah hampir jatuh ke tangan mereka. 

Raut wajahku mungkin menunjukkan ketidaksenangan. Yuria pun tersenyum kecut dan membungkuk. 

“Meski tak ada hubungannya, izinkan aku menyampaikan permintaan maaf atas tindakan sesama rasku. Karena peristiwa di timur, Anda dan Yang Mulia Kaisar telah berada dalam bahaya. Kami sungguh-sungguh meminta maaf.”

“...Maafkan aku. Aku Arnold Lakes Ardler, Pangeran Ketujuh.” 

Tidak ada gunanya merusak hubungan yang sudah Fine susun susah payah. Aku langsung meminta maaf dan duduk bersama Fine. 

Sepertinya mereka telah membuat Fine menunggu, tapi tidak berlaku hal yang sama padaku. Mungkin karena fase pengujian sudah lewat. Lagi pula, mereka pun membutuhkan kami. 

“Jadi, Yang Mulia. Apa tujuan kedatangan kali ini?”

“Aku akan langsung saja. Apa maksudmu memanfaatkan Fine?” 

Meminjam nama Fine, itulah syarat yang diajukannya. 

Jika dugaanku benar, dia ingin meluncurkan produk dengan cara yang belum pernah dilakukan di ibu kota. 

“Maksud Anda “memanfaatkan” terdengar buruk.”

“Tidak usah formal. Terlalu kaku didengar.”

“Begitukah? Padahal aku sudah mengaktifkan ‘mode tamu penting’ untuk Pangeran.”

“Aku bukan tamu. Aku mitra dagang. Jangan pakai gaya bicara yang menyembunyikan isi hati.”

“Kalau begitu, aku turuti. Lagipula, ini lebih nyaman bagiku juga.” 

Yuria tersenyum ramah. Seperti kebanyakan pedagang, dia tampaknya punya bakat memikat orang lain. Menarik lawan bicara, lalu tahu-tahu sudah masuk ke dalam hati. 

“Lalu soal penggunaan Fine... Menurutmu aku akan memanfaatkannya seperti apa?”

“Jangan balas pertanyaan dengan pertanyaan.”

“Tak masalah, kan? Aku cuma penasaran seberapa pintar pangeran sisa ini.”

“Kalau kamu tahu julukan itu, berarti kamu tahu kenapa. Karena dianggap tak berguna, jadi dijuluki begitu.” 

Setelah perbincangan singkat itu, Yuria melirik ke arah Fine.

Gawat, pikirku. Tapi sudah terlambat. Yuria tersenyum menyeringai. 

“Padahal yang sedang bicara itu pangeran yang dijuluki tak berguna, tapi Fine tak tampak panik. Justru aku melihat kepercayaan dalam ekspresinya.”

“Eh? Ah, uh...”

“Aku akan memakai Fine sebagai model iklan. Menyatakan bahwa produk itu dipakai oleh Fine. Kalau bisa, akan kupasang lukisannya di toko.” 

Karena sudah ketahuan dari reaksi Fine, tak ada gunanya menyembunyikan lagi. Untuk mempercepat pembicaraan, aku mengungkapkan rencana yang ada di kepalaku. Mendengarnya, Yuria tampak agak terkejut. 

“Tak kusangka... Kukira kamu berpura-pura bodoh, tapi ternyata lebih cerdas dari dugaanku. Benar-benar seperti pepatah ‘elang yang cakap menyembunyikan cakarnya’.”

“Aku tidak menyembunyikan apa pun. Mereka menyebutku begitu karena aku tak pernah menunjukkan minat pada apa pun.”

“Sekarang berbeda?”

“Aku sudah memutuskan untuk menjadikan adikku sebagai kaisar. Dia mirip Fine, terlalu jujur untuk bertahan di dunia ini. Karena itu, dia harus dilindungi. Urusan tipu daya dan taktik adalah bagianku. Kalau ada yang mencoba menipu Leo atau Fine, aku yang akan menghancurkan mereka.”

“...Akan kuingat baik-baik.” 

Aku menatap tajam Yuria, mengintimidasinya dengan tatapan.

Tampaknya dia merasakan ancaman yang sulit dijelaskan. Dengan nada agak tegang, dia menjawab. 

Melihat itu, aku menurunkan ketegangan dan kembali bertanya seperti biasa. 

“Lalu, bagaimana sebenarnya kamu ingin memakai Fine?”

“Hampir sama dengan dugaanmu. Awalnya, aku ingin menjual kosmetik. Katakan bahwa produk itu digunakan oleh Blau Mève. Dengan begitu, pasti akan laris manis.”

“Pasti. Dan citra negatif tentang Serikat Dagang Ras Campuran pun bisa dihapus. Kalian bisa masuk ke ibu kota dengan kepala tegak.”

“Jangan bicara seolah kami yang mendapat untung paling besar. Kami juga akan menjalankan bagian kami dengan baik.”

“Itu urusan nanti. Untuk sekarang, serang serikat dagang yang bekerja sama dengan pihak lawan. Putus sumber dana mereka, supaya mereka tak bisa bergerak bebas.” 

Aku mengatakan hal itu seolah mudah. Yuria menghela napas kecil. Reaksinya wajar. 

Soalnya, serikat dagang yang bekerja sama dengan lawan adalah serikat besar yang berakar kuat di ibu kota. Menghancurkan mereka hampir mustahil. 

“Maksudmu memberi tekanan agar mereka tak bisa membantu pihak lawan, ya? Apakah cukup dengan membuat mereka setengah mati?”

“Sedikit lebih dari itu. Coba sampai tiga perempat mati.”

“Itu hampir mati sepenuhnya... Yah, akan kuusahakan. Lalu, soal dana bantuan untuk kalian, seberapa besar yang kalian butuhkan?”

“Untuk sekarang belum perlu. Saat dibutuhkan, siapkan sebanyak yang kubutuhkan.”

“Kamu pikir uang bisa muncul begitu saja? Makin besar jumlahnya, makin sulit dipersiapkan.”

“Aku tahu. Tapi tetap kulakukan.” 

Mendengar tuntutanku yang berat, Yuria menggeleng pelan sambil menghela napas. Namun, pada akhirnya dia pun mengangguk.

Jika mereka tidak bisa memenuhi permintaan setinggi ini, maka aku tidak bisa meminjamkan Fine pada mereka. 

“Ya ampun... Aku benar-benar sudah memutuskan untuk membantu kekuatan yang luar biasa merepotkan.” 

“Kalau mau menyalahkan, salahkan saja Fine.” 

“Tidak mau. Anak sepolos dan semanis itu tidak mungkin bisa aku salahkan. Kalau harus menyalahkan, aku lebih memilih menyalahkanmu.” 

“Terserah saja. Ayo, Fine.” 

“Ah, y-ya!” 

Fine, yang sedang menikmati kue-kue kecil yang disajikan, buru-buru menghabiskan camilannya dan mulai bersiap untuk pergi. Melihat itu, Yuria merengut dan mencibirkan bibirnya. 

“Kenapa tidak tinggal sedikit lebih lama?” 

“Sayangnya, masih banyak yang harus dikerjakan. Kamu juga, segera mulai persiapan produkmu. Aku akan menghubungimu lagi di waktu yang tepat.” 

“Hmph. Hei, Arnold. Kalau kamu sungguh-sungguh memintanya, aku bisa membantumu sepenuh hati, tahu? Kalau aku memberi aba-aba, hampir semua ras campuran pasti akan ikut membantu. Bagaimana?” 

“Mungkin aku akan memintamu saat waktunya tiba. Tapi sekarang belum bisa. Lagi pula, aku tidak tahu apa bayaran yang harus kuberikan, jadi aku tolak dulu.” 

Aku menolak tawaran Yuria, yang menatapku dengan tatapan menggoda. 

Entah kenapa, dari perempuan ini terasa aura yang memikat dan berbahaya. Bukan berarti aku punya kesan buruk padanya, tapi juga bukan kesan baik. Mungkin dia seperti kucing yang terlalu ingin tahu. 

Rasanya dia akan mencampuri sampai ke hal-hal yang seharusnya tidak dia usik. Kalau aku tidak punya apa-apa yang perlu disembunyikan, mungkin aku tidak akan peduli. Tapi sayangnya, aku hanya punya hal-hal yang tidak boleh diketahui orang lain. 

Dia memang tak diragukan lagi hebat sebagai seorang pedagang, tapi untuk sekarang, aku lebih baik menjaga jarak. 

Dengan tekad itu, aku pun meninggalkan tempat Yuria.

 

Bagian 7

“Leonard. Kalau begitu, aku serahkan semuanya padamu.” 

“Baik. Saya akan menjadi mata dan telinga Yang Mulia, dan akan membongkar setiap ketidakadilan yang ada.” 

“Bagus.” 

Sambil berkata demikian, Leonard menerima mantel ungu dari Ayah. Itu adalah simbol dari pengangkatan sebagai Inspektur Kekaisaran. 

Selama mengenakan mantel itu, tidak ada satu pun yang boleh menghalangi langkah Leo. 

“Jangan kompromi. Selidikilah sampai kamu merasa puas.” 

“Baik!” 

Dengan begitu, Leo mengenakan mantel tersebut dan meninggalkan ruang takhta. Orang-orang lain pun ikut mundur, namun aku tetap tinggal. Ayah tampak seperti masih ingin berbicara denganku. 

“Kamu khawatir?” 

“Tentu tidak. Leo itu sangat andal.” 

“Tapi dia kurang fleksibel. Selama ini kamu yang melengkapinya. Namun, kali ini kamu tidak berada di sisinya.” 

“Jika Ayahanda ingin tahu sejauh mana dia mampu berdiri sendiri, kurasa tidak akan berjalan semudah itu.” 

“Oh? Mengapa?” 

“Dia itu tipe orang yang pandai meminta bantuan. Dia tahu bagaimana membuat orang lain ingin membantunya. Jadi meskipun aku tak ada di sana, pasti akan ada yang membantunya.” 

“Begitukah? Kalau begitu, tidak masalah. Tapi, bagaimana dengan dirimu?” 

Mendengar pertanyaan Ayah, aku mengernyit. 

Sama seperti Leo, aku juga diberikan misi. Meskipun, menyebutnya misi terasa agak berlebihan. 

“Entahlah. Aku akan melakukan sebisanya, tapi mohon jangan terlalu berharap.” 

“Itu tidak bisa. Lamaran untuk putri sulung tergantung padamu. Kalau dia tidak menikah, Zandra pun tidak akan menikah.” 

“Berat sekali tanggung jawabnya. Tapi tolong jangan marah kalau aku gagal. Bagaimanapun, ini soal kakak tertua.” 

“Aku tahu. Tapi, Arnold. Aku sudah melewati usia lima puluh. Waktu tidak banyak lagi. Aku ingin melihat putriku dalam gaun pengantin.” 

“Aku tidak ingat pernah mendengar bahwa Ayahanda sakit.” 

“Aku tidak sakit. Tapi saat aku menua, aku tak akan bisa mengendalikan semuanya. Pada akhirnya, aku akan disingkirkan. Siapa pun yang menjadi kaisar nantinya. Sama seperti aku dahulu.” 

Sambil menatap jauh, Ayah memandangi kota yang terlihat dari istana. Mungkin beliau sedang berpikir, berapa lama lagi dia bisa menyaksikan pemandangan ini? 

Perebutan takhta terjadi di antara anak-anak beliau, tapi yang duduk di puncak kursi kemenangan itu masihlah dirinya. 

Sudah pasti, siapa pun yang menang nanti akan memaksa beliau turun takhta. Jika itu terjadi, melihat putrinya menikah bukanlah prioritas lagi. 

“Langka sekali Ayahanda bersikap pesimis.” 

“Aku bermimpi tentang Selir Kedua dan Putra Mahkota tadi malam. Rasanya begitu nostalgia... Entah sudah berapa orang yang aku kenang dalam hidup ini.” 

“Kalau Ayahanda tak menyukainya, hentikan saja perebutan takhta ini. Tetapkan seorang putra mahkota, dan selama masih punya kuasa, kirim anak-anak lainnya ke daerah tertentu. Setidaknya nyawa mereka bisa diselamatkan.” 

“Itu tidak bisa. Takhta yang dimenangkan dengan usaha dan takhta yang diwariskan tidaklah sama. Takhta adalah sesuatu yang harus direbut. Hanya dengan itu, kaisar yang kuat akan lahir. Hanya dengan itu, kekaisaran bisa dilindungi.” 

“Kalau begitu, mohon jangan bersikap lemah. Ayahanda memiliki kuasa untuk menghentikan ini, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Karena itu, adikku terjebak dalam perebutan keluarga yang bodoh ini. Banyak orang berpikir sama seperti Ayahanda. 

“Namun, mereka diam karena Ayahanda menyetujui adanya perebutan takhta ini. Mereka menenangkan diri dengan berpikir itu hal yang perlu. Keraguan Ayahanda adalah penghinaan terhadap semua yang terlibat. Aku tak akan memaafkan Ayahanda jika sekarang memutuskan mundur...!” 

Kalau sistem kekaisaran ini mengizinkan kaisar menunjuk penerusnya, tak akan ada perebutan seperti ini. 

Tapi kaisar yang memperoleh takhta melalui perebutan akan lebih kuat dari yang hanya menerima warisan. Aku paham logikanya. Pemenang tidak akan membiarkan takhtanya direbut. Tapi mereka yang menerima warisan, tidak merasa itu benar-benar miliknya. Di situlah perbedaan mentalitas muncul. 

Kalau tujuannya melahirkan kaisar yang kuat untuk melindungi kekaisaran, maka perebutan takhta adalah konsekuensi yang dianggap perlu. Dan demi itu, berkali-kali pertikaian bodoh pun terus berulang. 

“...Mendengar ceramah dari anak sendiri, dan lagi darimu, Arnold.” 

“Maaf bila lancang.” 

“Tidak apa-apa. Entah kenapa, tanpa Franz, rasa lemah ini muncul begitu saja. Maafkan aku. Lupakan saja kata-kata tadi.” 

“Baik.” 

“...Arnold. Kamu masih ingat wujud diriku yang pernah kutunjukkan padamu?” 

“Tenang saja. Aku tidak pernah melupakannya. Aku juga masih ingat kata-kata Ayahanda saat itu.” 

“Begitukah... Kalau begitu, aku tenang.” 

Sambil berkata demikian, Ayah mempersilahkanku pergi. Tampaknya karena perebutan takhta makin serius, Ayah pun mulai merenung. Jika Leo jadi kaisar, mungkin Ayah akan selamat. Tapi beliau tidak akan menunjuk Leo hanya demi keselamatan pribadi. 

Walaupun rasa lemah sempat muncul, beliau tetap terikat oleh tanggung jawab sebagai kaisar. 

“Sepertinya memang harus merebut takhta dengan tangan sendiri...”

Aku bergumam pelan dan melangkah keluar dari istana, untuk mengantar kepergian Leo.


* * *


“Kalau begitu, sampai jumpa. Jaga kesehatan, ya.” 

“Iya, Kakak juga semangat, ya.” 

“Aku akan lakukan secukupnya saja.” 

Dengan itu, kami saling mengucapkan salam perpisahan. 

Tak perlu kata-kata panjang. Ini bukan perpisahan selamanya, toh. 

“Yang Mulia Pangeran Arnold.” 

“Masih saja memanggil dengan cara kaku begitu, ya, Lynfia.” 

“Saya tidak dalam posisi untuk bisa memanggil Anda dengan akrab seperti orang lain.” 

“Status itu nggak penting. Tapi kalau kamu memang lebih nyaman begitu, silakan saja. Maaf ya, sudah membuatmu menunggu lama sampai sejauh ini.” 

“Tidak, justru saya yang harus berterima kasih atas segalanya.” 

“Aku hanya membalas pertolonganmu saat menyelamatkan nyawaku, dan atas jasamu menjaga Fine dan yang lainnya saat kami tak ada. Ini bahkan belum cukup untuk membalas semua itu.” 

“Aku tak merasa telah melakukan hal besar. Mendapat perlakuan istimewa seperti ini, sejujurnya membuatku merasa tak enak.” 

Lynfia menundukkan kepala sambil berkata demikian. Tapi itu hanya kerendahan hati. 

Dia telah melindungi Fine dan yang lain dengan sangat baik. Itu berarti dia telah menyelamatkan kami di saat kami berada dalam posisi terdesak. Mengirim petualang ke desa dan mengungkapkan ketidakadilan pun tak cukup untuk membalas jasa Lynfia. 

“Yah, kalau kamu berpikir begitu, terserah. Tapi kami tetap berterima kasih. Karena itu, aku akan memastikan masalah desamu selesai.” 

Aku menyerahkan sebuah kantong, seukuran sedikit lebih besar dari kepalan tangan, kepada Lynfia. 

Merasa kantong itu cukup berat, Lynfia mengintip isinya. 

“Ini...!?” 

“Itu kantong yang dibuat dengan sihir. Ruang dalamnya sepuluh kali lebih luas dari yang terlihat. Dan koin emas di dalamnya itu milikku. Aku dapat dari tunjangan negara. Karena tidak pernah kupakai, jadi sudah lumayan terkumpul. Awalnya mau kupakai buat biaya perebutan takhta, tapi karena kamu sudah menjalin koneksi dengan serikat dagang, aku tidak membutuhkannya sekarang. Aku percayakan padamu.” 

“T-Tidak mungkin! Uang sebanyak ini... bagaimana mungkin saya bisa!?”

‘Kalau kuberikan pada Leo, belum tentu dia bisa memanfaatkannya. Tapi kamu pasti bisa. Leo selalu memilih cara lurus. Kuharap kamu bisa bantu dia. Aku yakin itu juga akan menyelamatkan desamu. Dan, uang itu memang untuk dipakai. Tak perlu dikembalikan. Kalau bisa, gunakan untuk membangun kembali desamu, ya?” 

“Yang Mulia...” 

“Aku sebenarnya ingin ikut ke sana juga, tapi tidak bisa. Maaf tidak bisa menemanimu sampai akhir, tapi izinkan aku setidaknya melakukan ini.” 

“...Terima kasih banyak. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan ini. Saya akan memastikan diri menjadi kekuatan bagi Pangeran Leonard.” 

Lynfia menunduk dalam-dalam sambil berkata demikian. 

Wajar saja. Di dalam kantong itu adalah tunjangan seorang pangeran selama kurang lebih sepuluh tahun. 

Memberikannya begitu saja mungkin juga keterlaluan, tapi aku punya penghasilan dari pekerjaan sebagai Silver. Meskipun dikelola oleh Sebas, uang dari situ jauh lebih besar daripada tunjangan pangeran. Meski begitu, ini bukan jumlah kecil yang tak terasa. Tapi, dengan uang sebanyak ini, Lynfia pasti bisa menggerakkan bangsawan selatan. Dia akan memanfaatkannya dengan cara yang Leo pun tak akan pikirkan. 

“Kamu terlalu membesar-besarkan. Justru kami yang berutang budi. Anggap saja ini sebagai ungkapan terima kasih. Tak perlu dipikirkan.” 

“...Mungkin ini tidak pantas untuk dikatakan sekarang, tapi saya bersyukur Anda diserang saat itu. Karena itu saya bisa bertemu dengan Anda. Dan Anda mengulurkan tangan kepada saya. Rasa lega dan bahagia yang saya rasakan saat itu, hanya saya yang tahu. 

“Sekarang saya mengerti kenapa Nona Fine mempercayai Anda. Setelah masalah desa saya selesai, saya pasti akan kembali dan menjadi kekuatan Anda. Mohon serahkan urusan Pangeran Leonard pada saya.” 

“Masih saja kaku, ya. Tapi karena itulah aku bisa percaya padamu. Tolong jaga adikku.” 

“Baik, serahkan saja padaku.” 

Setelah menunduk dalam-dalam, Lynfia pun menaiki kereta yang ditumpangi Leo. 

Meski ada pasukan kesatria kerajaan yang mengawal di sekeliling, pengawalan pribadi sepenuhnya dipercayakan pada Lynfia. Itu menunjukkan betapa Leo mempercayainya. 

“Kalau begitu, aku berangkat ya!” 

“Oke. Kalau merasa tak mampu, jangan ragu untuk pulang.” 

“Ahaha, Kakak juga sebaiknya pulang saja kalau terasa berat. Soalnya para bangsawan selatan pasti lebih lunak daripada Kakak tertua kita, kan.” 

“Itu benar.” 

Sambil mengobrol dari jendela kereta, aku mengantar kepergian Leo yang perlahan menjauh. 

Yah, tak ada gunanya terus khawatir. 

“Sudah saatnya aku mengurus urusanku sendiri.” 

Pertama-tama, aku harus bertemu dengan calon tunangan Kakak Tertua. Setelah itu baru mengirim surat. Pasti itu akan menggugah hatinya. Akan sibuk, nih.

 

Bagian 8

Salah satu kamar di dalam Istana Harem. Di sanalah Zandra datang berkunjung. 

“Ibu! Ibu!” 

Mengabaikan para pelayan wanita seakan mereka tak ada, Zandra menerobos masuk ke dalam ruangan tanpa ragu. 

Itu adalah kamar milik Selir Kelima sang kaisar, ibu Zandra sendiri. 

Sang pemilik kamar, seorang wanita berambut hijau, menghela napas pelan dan menyambut putrinya. 

“Ada apa, Zandra? Mengapa kamu begitu ribut?” 

“Tentu saja aku ribut! Leonard ditunjuk menjadi petugas inspeksi dan berangkat ke selatan! Ke wilayah yang merupakan basis dukungan kita!” 

Zandra, yang tampak histeris, berteriak dengan nada panik, sementara sang ibu, Zuzan, hanya terkekeh seolah hal itu bukan perkara besar. 

Mungkin karena tidak menyukai senyum tenang ibunya, Zandra membentuk cambuk angin dan mencambuk pelayan yang berada di dekatnya. 

“Kyahh! M-Maafkan saya...!” 

“Diam! Diam! Dasar Leonard! Dia pergi ke tempat para paman! Dia punya wewenang untuk menjatuhkan kita semaunya!” 

“Aaah! Uh...! A-Ampu...!” 

“Diam! Tutup mulutmu! Kalian semua ada di sini hanya untuk dipukuli!” 

Dengan kata-kata itu, Zandra terus mencambuk pelayan yang sudah tak sadarkan diri hingga tubuhnya bersimbah darah. 

Biasanya, setelah pelampiasan amarah, seseorang akan merasakan sedikit penyesalan. Namun, Zandra sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah dan kembali melanjutkan pembicaraan dengan ibunya. 

“Masalahnya adalah Leonard. Sudah pasti dia akan menyelidiki segalanya secara menyeluruh. Jika insiden itu sampai terungkap, kita tak akan bisa berkelit.” 

“Tak perlu khawatir. Urusan selatan sudah kita serahkan pada kakakmu. Dia akan menanganinya dengan baik. Kalaupun gagal, seluruh tanggung jawab akan jatuh padanya. Kita tidak akan terseret.” 

“Tapi kita tak bisa kehilangan dukungan dari selatan.” 

“Tidak masalah. Jika penelitianmu berhasil, kita tak perlu takut pada siapa pun, bukan?” 

“Itu memang benar, tapi...” 

“Asalkan kamu dan aku selamat, takhta itu pasti jadi milik kita. Setelah kita duduk di takhta, kita bisa membalas para bangsawan selatan. Mereka pasti akan memaklumi jika kita sempat meninggalkan mereka. Lagipula, mereka akan selalu tunduk pada yang kuat.” 

Zuzan berkata demikian sambil tersenyum. Senyum yang menggoda dan penuh bahaya. 

Tidak seperti Zandra yang terang-terangan menunjukkan emosi, Zuzan adalah wanita yang menyimpan semuanya dalam-dalam. 

Senyumnya, yang telah terakumulasi dengan kebencian selama bertahun-tahun, cukup untuk membuat siapa pun yang melihatnya menggigil ketakutan. 

“Aku tak bisa melakukan penelitian sihir terlarang karena perintah Yang Mulia. Hanya kamu satu-satunya harapanku.”

“Aku mengerti, Ibu.” 

“Kamu anak yang luar biasa. Kamu paling pantas menjadi kaisar. Kamu telah mewarisi bakat-bakatku. Tak lama lagi, para pedagang budak akan datang membawa anak-anak. Tikus percobaanmu akan segera tiba. Pastikan kamu menyempurnakannya. Sihir kutukan yang paling mematikan.” 

“Tentu, akan kulakukan. Dan semua yang membuatku kesal akan kukutuk sampai mati. Tak seharusnya aku dibuat kesal. Siapa pun yang mengusikku akan kubunuh semuanya.” 

“Itu dia, semangat yang bagus.” 

Sambil mengelus rambut hijau yang sama seperti miliknya, Zuzan memandangi putrinya dengan penuh kasih. 

Putrinya yang bisa dikatakan sebagai salinan dirinya sendiri, mewarisi semua sifat yang diinginkan untuk diteruskan. 

Jika Zandra berhasil merebut takhta, itu sama saja dengan Zuzan sendiri yang meraih kekuasaan. 

“Kalau keadaan mendesak, aku sendiri yang akan menyingkirkan para penghalang. Kamu lakukan saja apa yang bisa kamu lakukan. Tak perlu cemas. Kita punya banyak sekutu.” 

“Baik, Ibu.” 

Dengan ucapan itu, ibu dan anak itu berpelukan. 

Jika sang kaisar melihat pemandangan ini, dia pasti akan meragukan apakah wanita dan gadis ini benar-benar selir dan putrinya. 

Sebab keduanya sama-sama menampilkan senyuman yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya merasa ngeri. 

Satu-satunya yang menyaksikan adegan itu adalah para pelayan wanita, yang dengan putus asa menundukkan wajah mereka. 

Dan mereka hanya bisa berdoa. Agar neraka ini segera berakhir.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close