Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 2: Duke Reinfeld
Bagian 1
Jurgen von Reinfeld. 26 tahun.
Dia adalah kepala muda dari keluarga Duke Reinfeld yang wilayah kekuasaannya terletak di antara daerah timur dan selatan. Dengan kata lain, dia adalah seorang duke.
Wilayah keluarga Duke Reinfeld sendiri tidaklah begitu luas. Bahkan, dalam kalangan keluarga duke, mereka tergolong baru. Namun, keluarga ini berkembang pesat melalui perdagangan hasil bumi dan mineral khas daerahnya, dan dari sisi tersebut, dia telah menunjukkan pencapaian yang cukup pantas untuk dijadikan calon suami bagi Kakak Sulung.
“Meski begitu, beliau bukan orang yang terlalu peduli soal status keluarga.”
Aku bergumam sambil menelusuri dokumen. Hal yang menjadi perhatian adalah catatan dari dokumen yang dibawa oleh Sebas, dia kurang berbakat dalam seni bela diri.
Sebagai seorang militer sejati, Kakak Sulung sangat memprioritaskan kegunaan seseorang di medan perang. Jika harus memilih seorang suami, dia pasti menyukai seseorang yang kuat, entah itu karena keahlian bela dirinya yang menonjol atau kemampuan memimpin pasukan. Intinya, harus ada sesuatu yang bisa dia tunjukkan di medan perang.
“Jadi, apa yang sebaiknya kulakukan?”
“Yang Mulia Arnold. Saya membawa laporan.”
“Ada apa, Sebas?”
“Tampaknya Duke Reinfeld, calon pasangan Putri Sulung, telah diam-diam datang ke ibu kota.”
“Hah? Bukankah dia seorang duke?”
“Beliau dikenal cukup ringan kaki. Kabarnya, xia datang secara tidak resmi untuk mengucapkan terima kasih pada Yang Mulia.”
“Terima kasih? Karena menerima lamaran pernikahan itu?”
“Yah... Sebenarnya, Duke Reinfeld sudah beberapa kali melamar Putri Sulung. Bahkan, tampaknya sejak lebih dari sepuluh tahun lalu.”
...Lebih dari sepuluh tahun?
Apa-apaan itu? Jadi selama ini dia memendam cinta dan terus mencoba mendekat?
Kalau cerita itu tidak pernah muncul di permukaan, artinya dia terus-menerus ditolak. Melihat bagaimana Ayah biasanya bertindak, tidak mungkin beliau tidak menyampaikan lamaran tersebut pada Kakak. Artinya...
“Selama lebih dari sepuluh tahun, Kakak terus menolak Duke Reinfeld?”
“Begitulah.”
“Begitulah katamu... Itu artinya sudah tak ada harapan, bukan?”
“Kurasa dulu banyak rumah bangsawan yang melamar Putri Sulung. Namun hanya Duke Reinfeld yang tetap terus melamar meski terus-menerus ditolak. Mungkin keteguhan hatinya itulah yang membuat Kaisar tergerak dan akhirnya bersikap lebih aktif.”
“Dan akhirnya, karena terus ditolak, Ayah melemparkan semuanya ke pundakku. Jangan bicara seakan ini cerita indah.”
Ini benar-benar lebih rumit dari yang kukira. Orang seperti apa sebenarnya Duke Reinfeld itu?
Sepertinya dia benar-benar jauh dari tipe yang disukai Kakak.
“Tak ada pilihan lain. Aku akan menemuinya langsung.”
“Itu satu-satunya jalan. Sepertinya Yang Mulia Kaisar pun memikirkan hal yang sama.”
Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Sebas, pintu diketuk.
Kemungkinan besar, itu panggilan dari Ayah.
Baiklah, saatnya menemui calon kakak ipar di masa depan.
* * *
Wah, berat juga ini.
Itulah kesan pertamaku saat melihat Jurgen von Reinfeld.
Setelah Ayah diam-diam bertemu dengan Jurgen, aku pun mengunjungi kamar tempat Jurgen menginap.
“Senang sekali bisa bertemu dengan Anda, Yang Mulia Pangeran Arnold. Nama saya Jurgen von Reinfeld. Belum lama ini saya menerima gelar Duke Reinfeld dari ayah saya.”
Dengan senyum ramah yang tampak tulus, Jurgen berdiri di hadapanku. Tingginya sedikit lebih pendek dariku. Karena tinggiku rata-rata, maka untuk ukuran pria dewasa, dia tergolong agak pendek.
Masalah utamanya ada pada lebarnya. Sudah pasti berat badannya lebih besar dariku.
Kesan visualnya adalah seperti seekor anak beruang yang agak gemuk. Wajahnya yang tersenyum ramah mencerminkan kepribadian yang baik hati, tapi sayangnya itu justru berlawanan dengan selera Kakak. Wajahnya memang tidak bisa dibilang jelek, tapi juga tidak tampan, secara penampilan, cukup mengecewakan.
“Senang juga bertemu dengan Anda. Saya Arnold Lakes Ardler, Pangeran Ketujuh.”
Entah mengapa aku secara alami menggunakan bahasa formal, mungkin karena senyum dan suasana yang dia bawa.
Tidak mungkin bagiku bersikap keras pada orang seperti ini. Dari penampilannya saja sudah terasa bahwa dia orang baik. Tapi, tetap saja.
“Saya mendengar dari Yang Mulia Kaisar bahwa Anda akan menjadi penengah hubungan saya dengan Putri Lizelotte. Apakah benar demikian?”
Ayah lagi-lagi melakukan hal yang tidak perlu...
Lieselotte Lakes Ardler. Putri Sulung sekaligus seorang Marsekal. Jenderal terkuat di antara keluarga kekaisaran. Diminta menjadi penengah untuk menjodohkannya, itu jelas beban yang sangat besar. Apakah dia menyadarinya?
“Ya, yah... Begitulah. Saya diperintahkan oleh Yang Mulia Kaisar...”
“Kalau begitu, saya bisa tenang. Saya dengar bahwa di antara saudara-saudaranya, hanya Anda dan Putri Christa yang berhasil membuat Putri Lieselotte membuka hatinya.”
“Maaf, tapi... Siapa yang mengatakan itu kepada Anda?”
“Putri Lizelotte sendiri.”
“Jadi Anda berhubungan langsung dengan Kakak Lize?”
Perasaan tidak enak menyelimutiku.
Memang benar bahwa hanya aku dan Christa yang bisa membuat Lizelotte terbuka. Karena beliau lebih banyak di medan perang, surat-menyurat dengan kami berdua jadi rutinitas. Dahulu, dia juga mengirim surat ke Leo, tapi sejak tiga tahun lalu, dia tidak mengirim satu surat pun padanya lagi.
Aku sudah menanyakan hal itu ke Leo, tapi dia tidak menjawab. Kakak pun tidak pernah menjelaskan. Hanya sedikit orang yang tahu tentang ini.
Dan sekarang, orang ini bilang dia mendengar langsung dari Kakak? Sepenting apa orang ini?
“Ya, saya telah beberapa kali mengirim surat kepada beliau. Awalnya saya pikir bisa menjadi teman pena, tapi ternyata tidak mudah. Biasanya saya mengirim tiga surat, dan baru mungkin satu yang dibalas.”
“B-Begitu ya...”
Cukup mengejutkan. Tak kusangka dia tipe yang seagresif ini.
Bisa terus mencoba mendekati Kakak sampai sejauh itu, bisa dibilang dia cukup nekat. Aku tak akan bisa menirunya. Bahkan dibalas satu surat dari tiga pun, aku mungkin sudah menyerah.
“Apakah Anda tahu cerita tentang pertemuan pertama saya dengan Putri Lizelotte dari Yang Mulia Kaisar?”
“Tidak, Ayahanda tidak menyebutkannya...”
“Itu terjadi dua puluh tahun yang lalu.”
“Dua puluh tahun!?”
Berarti mereka sudah saling kenal sejak Jurgen berusia sekitar enam tahun?
“Ya, waktu pertama kali saya datang ke ibu kota, ada turnamen pedang untuk anak-anak bangsawan. Lawan saya waktu itu adalah anak yang besar dan lebih tua. Saya kalah telak dan menangis karena merasa tidak adil. Saat itulah seorang gadis kecil datang dan berkata, ‘Kamu salah karena mencoba menang tanpa usaha. Bukan soal umur atau ukuran tubuh. Dia lebih rajin berlatih, itu sebabnya tebasannya lebih tajam.’
“Lalu gadis itu ikut turnamen secara mendadak dan memenangkan semuanya. Baru setelah itu saya tahu bahwa gadis kecil itu adalah Putri Lizelotte yang kala itu baru berusia lima tahun. Saya merasa sangat malu karena menyalahkan segalanya selain diri saya sendiri. Tapi saat bersamaan, saya langsung terpikat pada beliau. Saya masih ingat jelas sosok beliau saat itu. Sangat indah. Sampai sekarang saya yakin beliau adalah wanita tercantik di dunia.”
“Jadi... Anda jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Ya, benar sekali. Saat itu juga saya jatuh hati.”
Tanpa sedikit pun rasa malu, Jurgen mengatakannya dengan tegas.
Orang ini... Ternyata cukup berani.
“Dan setelah turnamen itu, saya langsung melamar beliau.”
“Hah? Apa? Saat itu juga?”
“Ya. Saya yakin bahwa beliau adalah satu-satunya untuk saya. Saya merasakan getaran itu. Tapi beliau langsung menolak saya mentah-mentah dan berkata, ‘Kalau kamu menjadi pria yang layak untukku, baru akan kupikirkan.’ Maka saya pun bertekad untuk menjadi pria yang pantas berdiri di samping beliau.
“Saya memulainya dari membesarkan keluarga kami. Karena saya tidak punya bakat dalam seni bela diri, saya mempelajari perdagangan dan membuat wilayah kami makmur. Saat saya berusia lima belas dan hasilnya mulai terlihat, saya kembali melamar beliau. Kali ini lewat perantara Yang Mulia Kaisar. Tapi jawabannya tetap tidak. Dan sejak itu, kisah ini terus berulang.”
Jurgen tersenyum getir, tapi aku tidak bisa ikut tersenyum. Dia telah mencintai Kakak selama dua puluh tahun? Bahkan aku yang jarang tersentuh pun merasa haru. Orang seperti ini benar-benar ada, ya.
Sayangnya, dengan penolakan sebanyak itu, harapannya sudah sangat tipis. Kakak bukan orang yang mudah mengubah pikirannya.
“Saya pernah mengirim hadiah pedang langka, dan mencoba bergabung dengan militer, tapi saya segera dikeluarkan. Tampaknya berita itu sampai ke telinga beliau. Sejak itu saya bahkan tidak boleh mendekati area militer.”
“...Kenapa Anda sampai sejauh itu? Karena beliau wanita yang memesona?”
“Ya, mungkin karena itu. Beliau cantik dan kuat. Wanita ideal saya. Tapi sekarang, saya mencintai beliau tanpa semua alasan itu. Saya mencintai Putri Lizelotte. Tolong bantu saya. Hanya dia yang bisa saya cintai.”
Berat... Berat sekali. Dua puluh tahun cinta bertepuk sebelah tangan? Normalnya orang sudah menyerah.
Kakak yang terus menolak juga keras kepala, tapi Jurgen yang tak kenal lelah juga agak luar biasa.
Kemungkinan besar, saat ini satu-satunya bangsawan yang masih melamar Kakak adalah dia. Kalau dia menyerah, pernikahan Kakak bisa jadi tertunda selamanya. Mungkin itu sebabnya Ayah sangat ngotot dan menyerahkan urusan ini padaku.
Dia pria yang baik. Aku bisa melihat itu. Dia mencintai Kakak selama dua dekade, berusaha menjadi pria yang pantas, dan benar-benar membuahkan hasil.
Andai saja dia bisa berpaling dari Kakak, dia pasti tidak akan kesulitan mendapat istri.
Tapi dia hanya melihat Kakak. Dia benar-benar mencintai Kakak. Karena dia sangat jujur dari lubuk hatinya.
Hah... Ini merepotkan. Tapi aku tak bisa mengabaikan orang sekeras ini.
Mungkin memang begini sifatku.
“Baiklah. Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Tapi jangan terlalu berharap.”
“Tidak apa-apa! Saya sangat berterima kasih! Biasanya, beliau hanya membalas surat ketika saya bilang akan ke ibu kota. Beliau memang tak ingin bertemu, tapi biasanya menulis bahwa beliau ingin mendengar kabar Anda atau Putri Christa. Dari tulisannya, saya bisa tahu beliau mengkhawatirkan Anda berdua.”
“Begitu ya... Kakak sampai sejauh itu...”
Dulu, Leo juga termasuk yang mendapat surat itu. Jika aku ingin menangani ini secara serius, mungkin aku harus membahas hal itu juga. Aku menyiapkan diri dan menghela napas dalam-dalam.
Kalau Ayah ingin melihat putrinya dalam gaun pengantin, maka aku ingin mewujudkannya.
Dan aku ingin membantu Duke yang tulus ini.
“Duke Reinfeld. Aku akan menggunakan segala cara untuk membuatmu terlihat layak di mata Kakakku. Sebagai gantinya...”
“Anda menginginkan bantuan dalam perebutan takhta, bukan? Saya paham. Sejak saya mendengar bahwa Pangeran Leonard ikut serta dalam persaingan ini, saya sudah menduga Anda pun terlibat. Saya bersedia membantu. Keluarga Duke Reinfeld akan mendukung Anda berdua. Bahkan jika Anda gagal pun, keputusan kami takkan berubah.”
“Kalau begitu, mari mulai rapat strategi. Kakakku bukan lawan yang mudah.”
Dengan berkata demikian, aku mulai menggelar pertemuan dengan Jurgen sambil tersenyum.
Bagian 2
“A-Anda cukup hebat...!”
“Anda juga! Selama ini, saya belum pernah bertemu orang yang seimbang dengan saya!”
Sambil berkata demikian, kami berdua saling mengayunkan pedang kayu.
Meskipun sama-sama tidak mahir dalam ilmu bela diri, gerakan kami tidak stabil dan kurang tenaga. Namun bagi kami berdua, aku dan Jurgen, pertarungan ini terasa cukup sengit. Yah, itu hanya perasaan kami saja.
Selesai sparing, aku menoleh pada Sebas yang mengawasi dari tadi dan bertanya.
“Hah... Hah... Bagaimana?”
“Itu seperti adu tinggi dua biji pohon ek. Pertarungan anak kecil lebih layak ditonton, saya rasa.”
“Seperti yang kuduga...”
Jurgen pun menjatuhkan pundaknya dengan lemas.
Pertarungan antara dua orang di level terbawah rupanya terlihat begitu buruk hingga membuat orang berpikir pertarungan anak-anak lebih layak disaksikan.
Yah, aku memang sudah memperkirakan hasil seperti ini. Karena dia sering disebut tidak berbakat, aku ingin melihat sendiri seberapa parahnya. Kami pun mengusap keringat dengan handuk masing-masing dan mulai memikirkan langkah selanjutnya.
“Kalau begitu, jelas sudah pedang bukan jalannya... Apakah ada yang lebih Anda kuasai?”
“Yang saya kuasai ya... Ada sesuatu yang sudah saya latih terus-menerus selama ini.”
“Itu apa?”
“Halberd.”
Dari tumpukan senjata latihan yang tersedia, Sebas mengambilkan sebuah halberd latihan.
Halberd, senjata yang dijuluki tombak kapak, memiliki mata tombak dengan sisi kapak. Ini senjata multifungsi, namun sangat berat dan sulit digunakan. Katanya senjata ini dikembangkan oleh para kurcaci untuk menutupi kelemahan mereka yang memiliki jangkauan pendek.
Jika dikuasai, memang kuat. Tapi bagi manusia biasa yang belum terlatih, menggunakan tombak biasa lebih efektif.
“Kenapa memilih halberd?”
“Ketika saya melamar Putri Lizelotte saat usia lima belas, saya sempat bertemu langsung dengan beliau. Saat itu beliau berkata tidak akan menikah dengan pria yang tidak bisa menggunakan senjata. Itu sebenarnya sudah saya perkirakan. Saya pun mulai berlatih tombak, tapi tidak berhasil membuat beliau terkesan.”
“Itu sih wajar...”
Kakakku, Lize, selain kuat sebagai seorang jenderal, juga sangat tangguh sebagai individu. Apa pun senjata yang dia pegang, dia bisa menjadi ahli dalam waktu singkat. Tentu saja, upaya setengah hati tidak akan cukup.
“Saat itu beliau berkata kalau seranganku terlalu ringan. Saat itu tubuh saya sangat kurus. Ditambah lagi, tubuh saya kecil. Tak mungkin saya bisa memberikan serangan yang memuaskan beliau. Karena itu saya memilih senjata berat. Tapi, setiap kali saya mengayunkannya, saya kehilangan keseimbangan.”
“Jangan-jangan...”
“Ya, saya makan banyak dan membuat tubuh saya lebih besar. Karena untuk membentuk otot pun, saya punya batasan.”
Kasihan sekali...
Jurgen yang membawa halberd memang terlihat cukup stabil. Ayunannya pun terasa berat dan meyakinkan. Penampilannya saat mengayun juga tampak mantap, tapi ternyata dia mengorbankan bentuk tubuhnya demi itu.
Kakak... Seseorang benar-benar mengubah hidupnya karena ucapanmu. Aku tak bisa tidak merasa kasihan. Sambil menatap Sebas, aku menyampaikan isi hatiku.
“Bagaimana menurutmu?”
“Saya rasa cukup baik. Jika ditanya apakah ini bisa membuat beliau terkesan, saya agak ragu, tapi...”
“Kalau kita jadikan standar harus bisa membuat Kak Lize terkesan, maka hanya para jenderal dan penjaga istana tingkat tinggi yang lolos. Kakak juga pasti tidak mencari sampai sejauh itu.”
“Semoga memang begitu. Tapi tetap saja, ini jauh lebih menjanjikan daripada pedang. Jika mengandalkan bobot untuk menghantam, tidak dibutuhkan banyak teknik. Dan dia memiliki keseimbangan untuk mengendalikan berat itu. Pastinya sudah banyak berlatih. Melihat kemampuan pedangnya, sepertinya bakat bela dirinya selevel dengan Anda, Tuan Arnold.”
“Artinya sama sekali tidak ada... Tapi dia bisa membawa satu senjata itu ke tingkat bisa ditonton... Itu luar biasa. Aku tak bisa menirunya.”
Jurgen mempelajari perdagangan dan mengembangkan wilayah keluarga duke yang awalnya lemah. Tak diragukan lagi, dia punya bakat sebagai pebisnis.
Namun dia tetap memilih jalan latihan fisik. Meskipun tahu bahwa dunia bisnis adalah jalannya, dia terus berusaha keras untuk diakui oleh Kak Lize, berusaha mengubah kelemahan menjadi kekuatan.
“Duke Reinfeld.”
“Ya? Ada apa?”
“Tak pernahkah Anda melirik wanita lain?”
“Tidak pernah. Saya sudah mengatakan bahwa saya mencintai beliau. Setelah mengatakannya, saya tidak ingin mengingkari kata-kata saya sendiri. Ayah saya dikenal sebagai pria yang hanya punya satu kelebihan, yakni kejujuran. Tapi saya menyukai kejujurannya itu. Karena itu saya juga ingin hidup seperti itu. Mencintai satu wanita dan mempertahankan cinta itu. Menurut saya, cinta seperti itu adalah hal yang indah. Dan saya percaya, jika tidak demikian, Putri Lizelotte tidak akan pernah berpaling kepada saya.”
“...Sebas. Entah kenapa aku merasa bersalah mendengarnya...”
“Menerima atau menolak itu hak sang Putri. Jika setiap usaha pasti menghasilkan pernikahan, maka semua orang akan berusaha. Usaha itu memang layak dihargai, tapi bukan segalanya. Hati wanita, seperti langit musim gugur, mudah berubah. Tak sedikit wanita yang jatuh cinta pada pria sembrono, bukan pada pria yang serius melamar.”
“Hei, Duke Reinfeld sampai berlutut!!”
“Itu hanya contoh. Pada akhirnya, semua tergantung pada Putri.”
Mungkin selama ini dia menutup telinga dari komentar luar.
Dan dia sudah menahan diri agar tidak berpikir ke arah negatif, dan terus berusaha sejauh ini.
Bagi Jurgen, mungkin pembicaraan ini terlalu kejam.
Aku mendekatinya untuk menyemangati, tapi...
“Duke Reinfeld, tetap semangat.”
“Ugh! Kalau aku terpuruk karena hal seperti ini, aku tak layak untuk Putri Lizelotte! Aku sungguh lemah!”
“...”
“Jika beliau lebih menyukai pria santai, maka aku akan memainkan dua peran sekaligus! Yang Mulia Arnold! Tolong ajari aku cara menjadi pria santai!”
Dengan tiba-tiba bangkit, Jurgen menghadapku dengan semangat.
Karena dia terlalu tiba-tiba, aku sampai mundur ke arah Sebas.
“Orang ini tak kenal menyerah, ya.”
“Dan berani sekali memintaku mengajarinya menjadi orang yang santai. Bukankah itu kurang ajar?”
“Itu kenyataannya. Di ibu kota ini, tidak ada yang lebih mendalami jalan yang santai daripada Anda.”
“Jangan bilang itu jalan yang santai. Aku tidak pernah menapaki jalan seperti itu. Aku hanya tidak memilih jalan mana pun.”
“Saya mengerti! Jadi kuncinya adalah, jangan memilih jalan mana pun! Sangat inspiratif!”
“...”
“...”
Aku tidak bisa menanggapinya. Luar biasa. Itu saja.
Ternyata dengan cinta, manusia bisa sampai sejauh ini. Aku benar-benar meremehkan yang namanya cinta.
“Kak Lize pada dasarnya menyukai orang yang kuat. Kalau kita bisa tunjukkan sisi kuat dari Duke Reinfeld, mungkin ada harapan?”
“Bagaimanapun juga, Putri sudah menyaksikan perkembangan Duke selama dua puluh tahun, bukan? Mungkin setidaknya dia mengakui kekuatan itu.”
“Itu hanya hasil akhirnya. Aku ingin menunjukkan proses usahanya. Melihat seseorang yang berusaha bisa menarik perhatian. Benar begitu?”
“Ada benarnya juga.”
“Yang Mulia Arnold. Maaf jika ini lancang, tapi bolehkah saya bertanya satu hal?”
“Kamu sudah lancang dari awal, jadi silakan saja.”
“Ah, bagus kalau begitu. Bagaimana Anda bisa membuat Putri Lizelotte menyukai Anda?”
Orang ini benar-benar tanpa filter.
Sambil menghela napas kecil, aku mulai mengingat momen saat aku mulai disukai oleh Kak Lize.
Itu terjadi sebelas tahun yang lalu. Saat aku dipenjara selama seminggu karena membela seorang gadis.
Kakak tertua kami rupanya telah mengetahui banyak hal melalui Ayah, dan sepertinya dia memberitahu kakak kami bahwa aku dipenjara karena melindungi seorang gadis. Sejak itu, Kakak datang ke penjara setiap hari.
Setiap kali datang, dia terus berkata bahwa jika aku memberitahu siapa yang kulindungi, dia akan membujuk Ayah untuk membebaskanku.
Tentu saja, aku tak pernah berpikir bahwa Kakak mengetahui semuanya. Tapi aku tetap bersikeras mengatakan bahwa itu perbuatanku sendiri hingga akhir. Kalau dipikir sekarang, mungkin aku juga sedang keras kepala saat itu.
Aku dipenjara selama seminggu demi melindungi seorang gadis. Jika aku sudah sejauh ini dan akhirnya mengungkapkan rahasianya, rasanya semua pengorbananku akan sia-sia. Karena itulah aku menjaga rahasia itu sampai akhir dan keluar dari penjara dengan kepala tegak.
Saat itulah Kakak mengelus kepalaku dengan lembut dan berkata, “Sebagaimana layaknya adikku...”
“Apa?”
“Dia bilang begitu saat aku masih kecil. Karena aku bersikeras mempertahankan pendirianku, kakak memuji sikapku. Sejak saat itu, dia mulai memperhatikanku lebih sering. Mungkin sikapku waktu itu terlihat menyenangkan di matanya.”
“Itu kabar baik. Setidaknya berarti Duke Reinfeld tidak salah langkah.”
“Benar juga. Cara bersikap Duke Reinfeld pasti terlihat menyenangkan bagi kakakku. Dia pasti menyukai orang yang gigih. Walau begitu, aku sendiri tidak tahu seperti apa selera pria kakakku... Yah, mungkin akan lebih cepat kalau bertemu langsung saja.”
Sambil berkata demikian, aku pun berdiri.
Sejak awal, mengandalkan surat untuk hal sepenting ini sudah merupakan kesalahan.
“Sebas, bersiaplah. Untuk sementara, kita akan menuju wilayah Duke Reinfeld.”
“Siap. Akan segera saya atur.”
“P-Pangeran Arnold!!”
“Wilayah Duke lebih dekat ke tempat kakak daripada ibu kota. Jika aku pergi ke sana, mungkin dia akan datang menemuiku. Dan kalau dia tetap tidak mau bergerak, ya sudah, kita yang akan mendatanginya.”
Aku berkata begitu sambil tertawa. Mengharapkan respons dari ibu kota untuk menghadapi kakakku rupanya terlalu naif.
Aku pun akan maju ke garis depan.
Namun tentu saja, untuk perjalanan jauh seperti ini perlu persiapan. Kalau ingin menemui kakak, setidaknya perlu membawa satu atau dua buah tangan.
Semoga saja tak ada yang mengganggu selama itu, tapi sayangnya ada beberapa orang yang kemungkinan besar akan menghalangi.
“Setidaknya, lebih baik berjaga-jaga.”
Bagian 3
“Apakah Anda memanggil saya, Yang Mulia Putri Zandra?”
“Aku senang kamu datang, Count Zeifried.”
Pria paruh baya bertubuh ramping itu memasuki kamar Zandra. Ciri khasnya adalah senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya, senyum itu adalah senjatanya.
Count Zeifried tidak memiliki jabatan istimewa maupun berasal dari keluarga bangsawan kuno. Namun, dalam perebutan takhta, setiap kubu berusaha merekrutnya. Itu karena Count Zeifried memiliki senjata yang tak dimiliki banyak orang, yakni jaringan pergaulan yang luas.
Dengan koneksi luas yang dimilikinya, Count Zeifried menjadi sosok yang diincar semua fraksi, termasuk fraksi Leo. Pada akhirnya, Zandra berhasil menariknya dengan uang besar dan intrik di balik layar.
Kini, Zandra memanggil Count Zeifried untuk satu alasan.
“Aku ingin bertanya sesuatu sejak awal. Apa kamu punya kelemahan yang bisa digunakan terhadap Duke Reinfeld?”
“Jadi begitu. Kabarnya Duke Reinfeld telah lama mengajukan lamaran kepada Yang Mulia Putri Pertama. Apakah ini terkait dengan hal itu?”
“Tepat sekali. Kali ini, Yang Mulia Kaisar telah menunjuk Arnold sebagai rekan Duke Reinfeld. Jika lamaran itu diterima, fraksi Leonard akan semakin kuat. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi!”
“Itu memang akan memberikan mereka dukungan yang besar.”
“Benar! Pasukan penjaga perbatasan timur yang terkuat di kekaisaran dan sang Putri Jenderal! Kalau mereka menjadi pendukung, mereka pasti semakin besar kepala!”
“Tetapi, Yang Mulia, saya rasa ada hal lain yang lebih patut dikhawatirkan.”
Zandra yang histeris disanggah dengan lembut oleh Count Zeifried. Dalam fraksi Zandra, sangat sedikit yang berani menyuarakan pendapat padanya. Dalam hal ini, Count Zeifried adalah sosok yang istimewa.
Dia adalah tokoh netral yang sangat dibutuhkan. Zandra pun menyadari hal itu dan tidak akan menyepelekan ucapannya.
“Apa maksudmu?”
“Memang benar, bila Yang Mulia Putri Pertama dan pasukan perbatasan timur menjadi pendukung, fraksi Pangeran Leonard akan semakin kuat. Namun, pada akhirnya mereka hanyalah pasukan penjaga perbatasan. Putri Pertama pun tidak bisa sering meninggalkan garis depan. Maka, perannya dalam perebutan takhta akan tetap terbatas. Justru, dukungan dari Duke Reinfeld itulah yang lebih berbahaya.”
“Padahal keluarganya baru naik daun dan wilayahnya kecil. Apakah patut begitu dikhawatirkan?”
“Jangan diremehkan. Orang itu luar biasa. Dia memiliki bakat dagang yang langka dan tahu cara meraih simpati orang. Jika dia menginginkannya, dia bisa menjadi kanselir berikutnya. Setahu saya, dia nyaris tidak memiliki kelemahan, dan banyak bangsawan memiliki utang budi padanya. Jika dia mendukung Pangeran Leonard, maka pengaruh fraksinya akan melejit tanpa ragu.”
“Jarang sekali kamu berkata sejauh itu. Tapi sungguh menyebalkan. Kenapa orang sepertinya melamar wanita itu selama bertahun-tahun? Seharusnya dia tidak kekurangan wanita, kan?”
“Entahlah. Tapi satu hal yang pasti, lamaran-lamarannya selama ini tidak pernah berhasil. Dan saya rasa, ke depannya pun tidak akan berhasil.”
Dengan kata lain, tidak perlu terburu-buru mengambil tindakan. Begitulah maksud Count Zeifried. Dia tahu, bertindak gegabah hanya akan membawa bencana.
“Tapi bagaimana jika, bagaimana jika dia berhasil!? Wanita itu sangat menyayangi Arnold! Karena itulah Kaisar menunjuk Arnold sebagai rekan Duke Reinfeld! Kalau berhasil, semua pujian akan jatuh ke tangan Arnold! Dia sudah mendapat pengakuan dalam kasus federasi, dan kalau sampai ini juga berhasil, aku benar-benar tidak tahan!”
Count Zeifried hanya bisa menghela napas.
Dia memilih bergabung dengan fraksi Zandra karena meyakini bahwa di sanalah dirinya akan bersinar paling terang. Di sekeliling Eric banyak orang berbakat, dan Gordon tidak akan mendengarkan selain pada sesama prajurit. Maka pilihannya hanya dua, Leonard atau Zandra. Dan dia memilih Zandra karena secara struktur fraksi, dia unggul. Ibunya adalah adik dari Duke di selatan dan dia didukung banyak penyihir.
Perebutan takhta adalah perang kekuatan fraksi. Kelemahan individu dapat ditutupi oleh kekuatan kolektif, begitulah yang diyakini Count Zeifried. Namun, segera setelah bergabung, dia langsung harus menghadapi sifat keras Zandra. Meski lebih terbuka dari Gordon, Zandra tetap terlalu keras kepala. Itu adalah kelemahan fatalnya.
“Yang Mulia Putri Zandra. Saat ini, Pangeran Leonard tengah menyelidiki masalah pengungsi di selatan berdasarkan perintah kekaisaran. Dan mengenai Duke Reinfeld pun, semua berada di bawah yurisdiksi Kaisar. Bila kita bertindak sembarangan, hanya akan membuat Kaisar murka. Saya rasa, yang terbaik adalah menunggu waktu yang tepat.”
“Aku tak punya waktu! Pamanku menguasai sebagian besar wilayah selatan! Jika masalah ditemukan di sana, itu akan menyeretnya ke dalam krisis pertanggungjawaban! Dan dampaknya akan kena padaku juga! Aku tidak bisa hanya duduk diam menyaksikan musuh memperluas pengaruh!”
“...”
Count Zeifried tidak begitu saja menerima perkataan Zandra. Jika benar paman Zandra tak terlibat, maka dia hanya perlu menjelaskan. Tapi kenyataannya, Zandra gelisah, itu berarti ada kaitannya. Dan sekarang, yang menyelidiki adalah Leonard, yang terkenal tak pandang bulu dalam mengungkap kebenaran.
Jika dibiarkan, kekuatan antara Zandra dan Leonard bisa saja terbalik.
Oleh karena itu, rasa cemas Zandra kini diarahkan pada Arnold dan Duke Reinfeld. Tapi bahkan jika mereka digagalkan, Leonard tak akan berhenti. Landasan kekuasaannya tetap akan goyah.
Namun, karena Zandra tetap memaksakan keinginan itu, maka Count Zeifried pun harus memenuhi harapannya. Dia juga butuh hasil untuk mengukuhkan posisinya dalam fraksi.
“Baiklah. Kalau begitu, mari kita hancurkan pertunangan ini dari luar, tanpa mengaitkannya dengan kita.”
“Kamu punya rencana?”
“Ya. Apakah Yang Mulia masih ingat pada Count Belz?”
“Tentu saja! Sampai sekarang pun aku masih kesal padanya!”
“Saya yakin itu. Tapi kali ini, giliran kita untuk membalas. Sejak kejadian itu, Yang Mulia Kaisar sangat sensitif terhadap masalah hubungan pria dan wanita. Itulah titik yang akan kita serang.”
“Rinciannya?”
“Duke Reinfeld dikenal tulus melamar Putri Pertama selama bertahun-tahun, dan Kaisar bersimpati padanya. Karena itulah Arnold dijadikan pendukung. Tapi bagaimana bila ketulusan itu palsu? Saya memiliki kenalan di rumah bordil yang bisa dipercaya. Dengan bantuan mereka, kita bisa menyebarkan kabar bahwa Reinfeld membawa wanita penghibur ke istana. Biasanya Kaisar akan menyelidiki lebih dalam, tapi jika menyangkut Putri Pertama, beliau pasti akan langsung murka dan menjatuhkan hukuman. Maka pertunangan akan batal.”
“Rencana yang brilian! Aku benar-benar tepat telah merekrutmu! Jika ini berhasil, kamu akan jadi senjata rahasiaku!”
“Terima kasih banyak. Maka izinkan saya segera mengurusnya. Dan mohon, jangan menunjukkan ketertarikan pada kasus ini dalam bentuk apa pun.”
“Aku tahu.”
Count Zeifried pun meninggalkan kamar Zandra. Tanpa mereka sadari, sesosok bayangan telah pergi lebih dulu, diam-diam, tanpa suara.
Bagian 4
“...Begitulah rencana yang tampaknya sedang mereka susun.”
“Hmph, jadi yang bergerak memang Zandra, ya. Tepat sekali aku menyuruhmu mengawasinya.”
Aku berkata begitu sambil menyunggingkan senyum tipis.
Ini masa persiapan sebelum keberangkatanku ke wilayah Duke Reinfeld. Aku sudah berjaga-jaga agar tidak ada gangguan, tapi tak kusangka prediksiku akan seakurat ini, hingga rasanya membuatku ingin tertawa.
“Apa yang akan Anda lakukan?”
“Rencana mereka hanya untuk menciptakan kesan. Meninggalkan jejak, lalu membuat Ayah percaya. Bisa dipastikan, mereka akan meninggalkan pakaian wanita penghibur atau aroma parfum di kamar sang duke tanpa sepengetahuannya. Begitu para pelayan istana menemukannya, kabar itu akan segera sampai ke telinga Ayah melalui kepala pelayan.”
“Untuk rencana dari fraksi Putri Zandra, ini cukup efisien. Bahkan jika gagal, tak ada risiko yang berarti, itu yang menjadikannya luar biasa. Bagi Count Zeifried yang tampaknya enggan terlalu terlibat, ini memang siasat cerdas.”
“Benar juga. Aku sendiri sebenarnya ingin merekrut Count Zeifried. Jaringannya luas dan dia cukup cerdas. Dia bisa berperan sebagai penasihat dan pengendali Zandra, yang sangat dibutuhkan fraksinya. Dia bergabung ke sana karena yakin bisa berkontribusi dan mendapatkan posisi penting di sana.”
Setelah seorang kandidat naik takhta, para pendukung dan tangan kanan mereka biasanya akan menduduki posisi penting. Meski Count Zeifried dikenal luas, saat ini dia tidak menjabat posisi penting mana pun. Tanpa langkah besar, dia tidak akan bisa naik lebih tinggi. Karena itulah, dia memilih fraksi yang menurutnya menjanjikan masa depan, meskipun, sayangnya, dia keliru dalam menilai.
“Kalau dibiarkan, fraksi Zandra bisa saja makin kokoh. Sayang sekali, tapi sebaiknya dia disingkirkan sekarang.”
“Anda tidak berniat merekrutnya ke pihak kita?”
“Kalau ingin mendapatkan tokoh sepertinya, lebih baik berusaha mendapatkan Duke Reinfeld. Jauh lebih unggul. Dia lebih dikenal luas dan punya kekayaan besar.”
“Benar juga.”
“Jadi, bisakah aku mengerahkan satu tugas lagi untukmu?”
“Dengan senang hati.”
“Mereka akan menanam bukti-bukti di kamar Duke Reinfeld. Karena ingin tahu hasilnya dan cemas bila Zandra melakukan kesalahan, Count Zeifried pasti akan menginap di istana. Pindahkan semua bukti yang mereka siapkan ke kamarnya. Count Zeifried sudah menikah. Jika Ayah mendengar bahwa istana dipakai layaknya rumah bordil olehnya, kemarahan beliau akan semakin besar. Dia tidak akan bisa bertahan di ibu kota.”
Aku tersenyum lebar sambil menjelaskan rencana serangan balik. Sebas menghela napas panjang.
“Haaah...”
“Ada apa?”
“Tidak, saya hanya bertanya-tanya bagaimana bisa Anda tumbuh menjadi seperti ini?”
“Yah, aku juga kadang berpikir begitu. Meski lingkungan di sekitarku buruk, aku tumbuh lurus dan sehat. Aku layak dipuji, kan?”
“Padahal lingkungan Anda sangat mendukung. Jadi ini sepertinya memang bawaan sejak lahir.”
“Begitukah. Berarti aku memang lahir dengan sifat lurus, ya.”
“Tapi tampaknya kita punya perbedaan besar soal makna ‘lurus’.”
Setelah bertukar beberapa canda seperti itu, Sebas menghilang dari kamar tanpa suara.
* * *
Hari berikutnya. Count Zeifried, yang langsung bergerak setelah merancang rencana, dibuat terkejut luar biasa saat barang-barang yang dia perintahkan untuk disembunyikan di kamar Duke Reinfeld justru ditemukan tersebar di kamar tamu tempat dia sendiri menginap. Dia pun diseret menghadap Ayah.
“Count Zeifried!! Bisa jelaskan apa yang terjadi di sini!?”
“Y-Yang Mulia! Ini pasti kesalahpahaman!”
“Yang salah itu justru perbuatanmu! Sudah beristri, tapi membawa pelacur! Dan di istanaku pula! Sepertinya kamu tak punya rasa hormat pada Kaisarmu! Belum pernah aku dengar bangsawan memperlakukan istana kaisar sebagai rumah bordil!!”
“Ampuuuun!! Tolong, ampunilah saya! Ini sungguh hanya kesalahpahaman...”
“Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun! Hukumannya akan kupikirkan nanti! Sekarang, renungkan kesalahanmu di penjara!!”
“T-Tunggu, Yang Mulia! Yang Muliaaa!!!!”
Count Zeifried diseret pergi oleh para pengawal, meninggalkan aula singgasana.
Aku yang datang untuk melaporkan rencana keberangkatanku esok pagi hanya bisa tersenyum dalam hati melihat keadaannya.
Dengan ini, Zandra kehilangan satu aset berharga. Dan seperti yang telah diingatkan oleh Count Zeifried sendiri, satu-satunya yang bisa Zandra lakukan sekarang hanyalah bersikap seolah tidak tahu-menahu. Karena jika kasus ini diselidiki lebih lanjut, kebusukan lain akan terungkap. Count Zeifried pun pasti tahu itu, jadi dia takkan membuka mulut.
Dengan begini, Zandra takkan bisa bergerak dalam waktu dekat. Eric dan Gordon pun tidak akan bertindak terhadap kubu Leo, yang sedang menjalankan misi atas perintah Kaisar. Berbeda dengan Zandra, keduanya menduduki jabatan resmi sebagai menteri dan jenderal, dan tindakan ceroboh hanya akan membuat mereka kehilangan posisi. Karena itu, mereka tak bisa bertindak sembarangan.
Artinya, meskipun aku meninggalkan ibu kota untuk sementara, tidak akan jadi masalah.
Sambil memikirkan semua itu, aku menyampaikan pada Ayah bahwa aku akan berangkat esok pagi.
“Begitu. Kamu ingin menemuinya?”
“Ya. Aku menilai itu pilihan terbaik.”
“Memang, dia bukan tipe yang akan bergerak hanya karena surat.”
“Benar. Kalaupun dia tidak bisa datang sampai ibu kota, mungkin dia akan bersedia datang ke wilayah duke.”
Ayah beberapa kali mengangguk pelan mendengar jawabanku. Di sisinya ada Franz, dan tak ada lagi jejak kelemahan seperti sebelumnya.
“Yang Mulia. Bolehkah saya menyampaikan permohonan pribadi?”
“Tentu. Silakan, Kanselir.”
“Terima kasih. Duke Reinfeld, dua puluh tahun lalu, semenjak jatuh cinta pada Putri Lizelotte di masa kecil, tidak pernah sekalipun mengirimkan surat langsung kepada beliau. Setiap surat selalu melewati saya. Wilayah Duke tidak cukup dekat untuk dikunjungi dengan mudah. Meski begitu, beliau selalu menitipkan surat pada saya. Tahukah Anda mengapa?”
“Karena dia merasa surat langsung akan menjadi beban bagi Kakak?”
“Tepat sekali. Dia selalu bilang, jika tidak merepotkan, mohon berikan surat ini pada waktu yang tepat. Jika beliau merasa tidak senang, silakan sobek surat itu. Hanya Duke Reinfeld yang menunjukkan pertimbangan seperti itu sebagai pelamar. Karena itulah, meskipun menolak lamaran, Putri Lizelotte selalu membaca surat-suratnya, dan tak pernah menolak hadiah darinya. Bahkan setelah beliau aktif di medan perang sebagai jenderal, saya masih mendengar hal serupa dari para ajudannya.”
Itu adalah fakta yang mengejutkan. Aku tidak heran kalau Duke Reinfeld bersikap penuh pertimbangan, tapi aku tak menyangka Kakak selalu membaca surat-surat itu.
Apakah mungkin ada harapan?
“Bagi bangsawan yang tinggal jauh dari ibu kota, surat dan hadiah adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan. Banyak yang menunjukkan perasaan berlebihan agar tak dilupakan. Dalam hal itu, Duke Reinfeld sangatlah sopan dan bersahaja. Karena itulah, Putri Lizelotte tidak pernah menolak surat dan hadiahnya, meski selalu menolak lamarannya.”
“Begitu. Artinya, beliau tidak membenci Duke secara pribadi, ya?”
“Benar. Pasti ada alasannya. Mungkin beliau memang tak berniat menikah, atau mungkin ada alasan lain. Jika alasannya yang pertama, maka tak ada yang bisa dilakukan. Tapi jika ada alasan lain, saya harap Anda bisa membujuknya. Jika Putri Lizelotte benar-benar membenci Duke Reinfeld, beliau pasti sudah berhenti membaca surat dan menerima hadiah itu sejak lama. Tapi beliau tidak. Justru karena itu semua terasa menyedihkan.”
Karena suratnya selalu melalui Franz, dia tentu tahu isinya, tahu hadiahnya, dan tahu reaksi Kakak saat menerimanya.
Franz yang selalu perhatian pasti juga telah memberi nasihat. Maka dari itu, pastilah dia sangat berharap cinta ini bisa terwujud.
“Dua puluh tahun... Bagi sebagian orang itu mungkin terkesan terlalu memaksa. Aku pun salah satu dari mereka. Aku berkali-kali mengatakan padanya untuk menyerah. Bahwa itu demi kebaikannya sendiri. Bahwa sekeras apa pun dia berusaha, itu takkan ada artinya.
“Tapi tiap kali, Duke Reinfeld selalu menjawab, ;Jika Putri Lizelotte merasa ini mengganggu, saya akan berhenti.’ Baginya, Lizelotte adalah hidupnya. Entah berhasil atau gagal, dia ingin menuntaskan semuanya kali ini.”
Tampaknya Ayah pun masih memiliki sisi manusiawinya.
Dia mulai merasa bersalah karena telah membiarkan seseorang terikat pada satu cinta selama dua puluh tahun.
Dari satu sudut pandang, ini bisa terlihat seolah Kakak hanya memanfaatkan perasaan Duke demi kenyamanan sendiri.
Tentu saja, Kakak pasti tidak punya niat seperti itu. Tapi selama dia tidak secara tegas mengatakan untuk berhenti mengejarnya, maka pada dasarnya, dia memang sedang membiarkannya terus terikat.
“Kalau... Kakak bilang tidak berniat menikah dengan siapa pun, apakah Ayahanda akan menyuruhnya menyerah?”
“...Kalau memang begitu, ya mau bagaimana lagi.”
Keinginan untuk melihat Kakak dalam gaun pengantin, itu hanyalah keinginan pribadi Ayah.
Dengan nada menyesal, beliau menghela napas. Mungkin beliau berharap, jika Kakak menikah, maka Kakak akan terhindar dari pertarungan takhta.
Jika nanti Gordon atau Zandra yang naik takhta, Kakak pasti akan disingkirkan dengan dalih apa pun. Namun jika dia telah menikah, maka statusnya bukan lagi keluarga kekaisaran. Itu bisa mengurangi ancaman terhadapnya. Kekaisaran pun tidak akan kehilangan jenderal hebat.
Lagipula, sekalipun dia kaisar, Ayah tidak bisa bertindak sesuka hati.
“Kalau begitu, akan kuusahakan. Aku tidak tahu apakah bisa membawa kabar baik, tapi aku akan berusaha semampuku. Mohon bersabar menanti hasilnya.”
“Baiklah. Aku serahkan padamu.”
Setelah itu, aku meninggalkan aula singgasana.
Bagian 5
Leo, yang menuju ke wilayah selatan, kini telah tiba di sebuah kota. Kota tersebut adalah Wumme, kota terbesar di wilayah selatan.
Yang memerintah wilayah itu adalah keluarga bangsawan besar yang memiliki pengaruh luas di seluruh selatan, keluarga Duke Kruger.
“Saya berterima kasih atas kerja samanya, Duke Kruger.”
“Ah, tidak perlu. Memberi dukungan kepada Inspektur Kekaisaran adalah kewajiban seorang bangsawan.”
Sambil berkata demikian dengan senyum di wajahnya, pria berambut hijau itu tampak tenang. Meski usianya telah melampaui lima puluh, dia masih terlihat muda.
Bertubuh tinggi dan ramping, di pinggangnya tergantung pedang tipis. Dia adalah seorang pejuang yang dahulu kerap turun ke medan perang. Namanya Sven von Kruger.
Dia adalah kakak dari Selir Kelima Kaisar saat ini, yang berarti dia juga ipar sang Kaisar.
“Untuk urusan selatan, saya rasa yang paling tepat untuk ditanyai adalah Anda, Duke Kruger. Saya akan langsung saja,menurut Anda, apakah ada bangsawan yang mencurigakan?”
Leo menatap langsung ke arah Duke Kruger.
Banyak kejadian yang terjadi di wilayah selatan memiliki keterkaitan dengan Duke Kruger. Leo menyadari hal itu. Namun, bukan berarti dia bisa langsung menyelidiki Duke Kruger begitu saja.
Pertama-tama, dia harus memulai dari tempat yang berkaitan dengan desa Lynfia. Tapi sebelum itu, Leo penasaran siapa nama yang akan disebut oleh Duke Kruger.
“Bangsawan yang mencurigakan, ya. Kalau yang jelas-jelas mencurigakan, tentu tidak ada karena saya telah menaruh perhatian. Namun, saya memang tidak sepenuhnya mampu mengendalikan para bangsawan di sekitar perbatasan.”
Tidak sepenuhnya mampu mengendalikan. Menggunakan ungkapan samar seperti itu dalam situasi seperti ini, sungguh mencurigakan.
Karena dengan kalimat seperti itu, dia bisa berdalih sebanyak apa pun. Tapi hanya dengan itu, Leo tidak bisa langsung menudingnya.
Sambil memperhatikan dengan saksama setiap gerak-gerik Kruger, Leo menampilkan senyum di wajahnya dan melanjutkan percakapan ringan setelahnya.
* * *
Sementara Leo tengah bertemu dengan Duke Kruger, Lynfia sedang berbelanja di kota.
Tentu saja, sambil berbelanja, dia juga memantau keadaan kota.
“Itu juga, tolong.”
“Baik, seperti biasa!”
“Akhir-akhir ini, ada hal aneh yang terjadi?”
“Aneh, ya? Hmm, kurasa nggak ada, sih.”
Dia bertanya pada penjual buah, namun jawaban yang diterimanya seperti itu.
Itu adalah toko kelima yang dia datangi. Semuanya menjawab dengan nada serupa.
Setidaknya di permukaan, kota Wumme tampak tidak mengalami perubahan apa pun.
“Begitu ya. Terima kasih.”
Mengucapkan itu sambil membawa barang belanjaannya, Lynfia menatap sekeliling.
Barang-barang yang dibutuhkan sudah hampir semuanya dibeli. Pengumpulan informasi juga tampaknya tak terlalu berguna. Saat dia tengah mempertimbangkan apa yang harus dilakukan selanjutnya, dia melihat seorang kakek berambut putih yang tampak kesulitan di sudut jalan.
“Maaf, nak. Bisakah kamu bantu...?”
“...”
“Hmm, orang-orang di sekitar sini sungguh dingin ya...”
Kakek itu mendesah kecewa. Bertubuh pendek dan telinga yang sedikit runcing, kakek itu adalah seorang dwarf. Dwarf umumnya memang terlihat tua, tapi kakek ini tampak sudah sangat lanjut usia, bahkan untuk seorang dwarf.
Tubuhnya kurus untuk seorang dwarf yang biasanya gempal, dengan janggut putih yang panjang. Dia membawa tongkat putih dan punggungnya membungkuk. Melihat kakek dwarf yang tampak renta itu, Lynfia tidak bisa berpaling begitu saja dan menyapanya.
“Kakek, ada apa? Apa kamu baik-baik saja?”
“Oh, akhirnya ada gadis baik hati. Maaf, bisakah kamu tunjukkan jalan ke gerbang kota? Aku ini payah dalam hal arah. Sudah tiga hari tersesat.”
“Tiga hari? Wah, itu benar-benar parah. Mari, akan aku antar.”
Meski biasanya ekspresinya datar, Lynfia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar bahwa kakek itu sudah tersesat selama tiga hari di dalam kota.
Namun segera, untuk menenangkan sang kakek, Lynfia tersenyum dan bersedia menuntunnya.
Senyuman Lynfia itu membuat sang kakek pun ikut tersenyum.
“Aduh, benar-benar terima kasih. Mungkin karena aku dwarf, tidak ada yang mau mendengar. Aku benar-benar bingung.”
“Begitu ya. Benar-benar sial.”
Meskipun nada bicaranya tenang, kata-kata Lynfia mengandung simpati yang terasa hangat.
Merasakan itu, kakek dwarf pun tertawa lebar.
“Tapi tak apa, karena aku bertemu denganmu. Aku benar-benar beruntung.”
“Aku juga... Pernah ditolong saat dalam kesulitan. Atau lebih tepatnya, masih dalam proses menerima pertolongan saat ini.”
“Begitu ya? Jadi kamu juga punya masalah, nak?”
“Iya, begitulah.”
“Hmm, berat juga, ya. Hmm, ini mungkin takdir. Mungkin ada sesuatu dalam tasku yang bisa berguna untukmu.”
Sambil berkata begitu, kakek itu membuka tasnya dan mulai mengobrak-abrik isinya. Lynfia sempat menolak dengan sopan, namun sang kakek menegaskan bahwa anak muda tak seharusnya menolak pemberian, dan tetap mencari sesuatu di dalam tasnya.
“Kakek, lewat sini, lewat sini.”
“Hm? Oh, iya, iya, ke sana rupanya.”
Karena kakek itu terus sibuk dengan tasnya, setiap kali Lynfia mengalihkan pandangan, dia akan mulai berjalan ke arah yang salah.
Dengan sabar, Lynfia terus membetulkan arah jalannya. Tanpa sadar, mereka sudah tiba di depan gerbang kota.
“Kakek, kita sudah sampai.”
“Hm? Sudah sampai? Sampai di mana?”
“Gerbang kota.”
“Oh! Ya ya! Aku sedang mencari hadiah untukmu sampai lupa tujuannya!”
Kakek itu mengangkat wajah dan tertawa lebar.
Lynfia berpikir, dengan sifat seperti ini, tak heran jika dia bisa tersesat. Dia sempat khawatir apakah kakek ini bisa dibiarkan keluar kota sendirian. Namun.
“Nak, ini untukmu. Seruling yang terbuat dari pohon roh. Jika kamu benar-benar butuh pertolongan, tiuplah ini. Temanmu akan tahu di mana kamu berada.”
“T-Tidak, aku tak bisa menerima benda seperti itu! Kakek saja yang menyimpannya!”
“Aku tak butuh itu. Kamu saja yang simpan. Pastikan kamu meniupnya saat benar-benar butuh, ya. Mengandalkan orang lain itu bukan hal yang buruk.”
Sambil tersenyum hangat, kakek itu berjalan keluar dari gerbang kota.
Punggungnya tampak sangat rapuh hingga membuat Lynfia merasa khawatir, namun dia masih memiliki tugas yang harus dijalankan.
Sambil menunduk memberi hormat pada punggung sang kakek, Lynfia kembali ke dalam kota.
“Manusia ternyata belum sepenuhnya kehilangan harapan, ya. Sekarang, ke mana aku harus pergi selanjutnya? Adakah suara yang memanggilku kali ini?”
Dengan gumaman itu, sang kakek menghilang ke dalam pegunungan, menjauh dari jalan utama.
Bagian 6
Sudah satu minggu berlalu sejak aku meninggalkan ibu kota kekaisaran. Dengan santai menuju wilayah Duke Reinfeld, akhirnya aku tiba di ibu kota wilayah tersebut.
“Selamat datang. Inilah ibu kota wilayah kekuasaan saya, Wilayah Duke Reinfeld, Erz, dan ini kediaman saya.”
“Akhirnya sampai juga, ya.”
Turun dari kereta, aku meregangkan tubuh panjang lebar. Di hadapanku terbentang sebuah rumah besar. Ukurannya memang cukup besar, namun untuk ukuran seorang duke, bisa dibilang masih tergolong kecil. Wilayah Duke Reinfeld yang terletak di tenggara kekaisaran memang tidak sebesar wilayah duke lainnya. Mungkin ukuran seperti ini justru yang paling pas.
“Perjalanan yang panjang. Mari beristirahat dulu dengan tenang.”
“Benar juga. Aku cukup lelah.”
Waktu ke wilayah Duke Kleinert dulu, aku menunggang kuda selama lima hari. Terus menerus menunggang sampai hampir membinasakan kuda. Itu karena saat itu aku sedang terburu-buru. Tapi kali ini tidak. Jadi aku mengambil waktu seminggu dengan kereta, perlahan-lahan. Meski begitu, kereta yang kupakai kali ini adalah kereta sihir tercanggih yang biasa digunakan oleh keluarga kekaisaran dan para duke. Jauh lebih cepat dibandingkan kereta biasa.
“Maafkan saya. Saya terlalu banyak bicara selama perjalanan, sampai-sampai membuat Anda lelah.”
Ujar Jurgen dengan ekspresi menyesal.
Aku hanya membalasnya dengan senyum masam. Memang benar, selama di dalam kereta, Jurgen terus saja bicara.
Bukan berarti aku tak suka, tapi bukan berarti juga aku tak merasa lelah.
“Kalau bisa, aku ingin mandi dulu.”
“Serahkan padaku. Di kediaman saya ada pemandian besar. Ibu sangat memperhatikan hal itu.”
“Itu terdengar menyenangkan.”
Sambil berkata begitu, aku mengikuti Jurgen masuk ke dalam kediamannya.
Namun, sesaat setelah memasuki rumah, seorang lelaki tua yang tampaknya adalah kepala pelayan segera berlari menghampiri Jurgen dengan ekspresi panik.
“Ada apa? Kenapa panik begitu?”
“A-Ada hal darurat! M-M-Mohon dengarkan dengan tenang!”
“Kalau begitu kamu dulu yang tenang. Bicaralah perlahan.”
Jurgen mencoba menenangkan pelayannya. Sang pelayan menarik napas panjang dan akhirnya mulai berbicara dengan lebih tenang.
“Y-Yang mulia telah tiba barusan!”
“Ah, aku tahu. Dia datang bersamaku.”
“B-Bukan Yang Mulia Arnold!”
“Kalau begitu jangan pakai sebutan ‘Yang Mulia’. Lebih baik panggil aku dengan ‘Yang Mulia Marsekal’.”
Suara yang membuat lututku nyaris roboh terdengar memasuki telingaku.
Bukan karena suara itu mengintimidasi, tapi ada kekuatan alami di dalamnya yang membuat siapa pun mengerti bahwa ini adalah suara dari seseorang yang dilahirkan untuk memberi perintah. Sang pemilik suara perlahan menuruni tangga.
Rambut emas yang berkilau, mata ungu yang dalam. Tubuh yang tinggi untuk seorang wanita. Tubuhnya penuh lekuk, dan seragam militernya yang ketat menonjolkan figurnya. Dia mengenakan mantel biru di atas seragam militernya yang hitam. Di Kekaisaran, hanya tiga orang yang boleh mengenakan mantel biru, mereka adalah para Marsekal.
Seorang wanita cantik yang mirip Christa versi dewasa, yang bisa membuat siapa pun terpesona dengan kegagahan dan kekuatannya. Namanya adalah Lizelotte Lakes Ardler. Putri Pertama Kekaisaran sekaligus jenderal terkuat di antara para anggota keluarga kekaisaran.
“Kak Lize...! Kenapa kamu di sini...?”
“Apa itu cara menyapa kakakmu yang sudah lama tidak kamu temui? Ulangi.”
“Eh...?”
“Ulangi.”
“...Senang bertemu kembali, Kak Lize. Senang melihatmu dalam keadaan sehat.”
“Bagus.”
Dengan suara dan tatapan yang tak memberi ruang untuk membantah, aku akhirnya terpaksa mengulang salamku.
Tampaknya puas, Kak Lize tersenyum dan mendekatiku.
“Lama tak jumpa, Al. Kamu juga tampak sehat. Bagaimana dengan Christa?”
Tanpa basa-basi, dia langsung beralih ke obrolan santai. Seperti biasa, dia memang keras kepala dan seenaknya.
Sementara itu, Jurgen masih ternganga dan berlutut. Seharusnya dia berkata, “Terima kasih atas kedatangannya,” atau semacamnya dulu, tapi ya sudahlah. Orang seperti Kak Lize, apa pun yang dikatakan padanya pasti tidak akan masuk. Bukan karena dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan orang lain, tapi karena dia tidak berniat untuk melakukannya. Dia memang seseorang yang hidup dengan prinsip egosentrisme.
“Christa juga sehat. Belakangan ini dia sudah punya teman-teman sebaya, dan mulai sering tertawa.”
“Begitu ya. Maaf telah merepotkanmu.”
“Tidak apa-apa, dia adikku. Lagi pula, yang paling banyak mengurusnya adalah Ibu.”
“Begitu. Ibu juga sehat?”
“Ya. Seperti biasa.”
Mendengar seluruh laporan itu, Kak Lize mengangguk puas.
Barulah akhirnya pandangannya beralih ke arah Jurgen.
“Jurgen, maaf telah mengganggu saat kamu tidak ada.”
“Tidak, saya malah minta maaf karena belum sempat menyambut Anda dengan layak.”
“Kak Lize, boleh aku bertanya satu hal. Kenapa kamu ada di sini?”
Sesuai rencana, aku baru akan mengirimkan surat setelah tiba di sini.
Aku benar-benar tidak menyangka dia sudah lebih dulu datang.
Memang jarak dari perbatasan timur ke sini tidak begitu jauh, kalau dibandingkan dengan ibu kota.
Apalagi bagi kakakku, jarak seperti itu bukan masalah. Tapi tetap saja, sebagai Marsekal yang mengurus perbatasan timur, seharusnya dia tak bisa begitu saja bergerak bebas.
“Aku sedang melatih pasukan baru di garis belakang. Di sana aku mendengar kabar bahwa kamu akan datang ke sini.”
“Kamu dengar kabar...?”
Dari mana sih jaringan informasimu.
Bukan hanya cepat tahu, tapi juga langsung bertindak setelah mengetahuinya. Itu gila.
“Aku sudah menjelaskan kenapa aku datang. Sekarang giliranmu. Kenapa kamu datang ke sini bersama Jurgen?”
“Eh... Karena...”
Sial. Aku menggali kuburku sendiri. Haruskah aku jujur? Atau mengelak saja?
Saat aku masih ragu, Kak Lize tersenyum kecil.
“Tidak perlu dikatakan. Pasti atas perintah Ayah, kan?”
“...Tepat sekali.
“Namanya juga ayah sendiri. Aku tahu betul kebiasaannya.”
Dia mendesah lelah, lalu mengalihkan pandangan ke Jurgen.
Jurgen tampak canggung, tapi tak berusaha menyembunyikan apa pun.
“Kamu ini nggak kapok ya, Jurgen. Kali ini bahkan mengajak adikku juga. Apa yang kamu rencanakan?”
“Seperti biasa, Yang Mulia Lizelotte.”
“Begitu. Maka jawabanku juga tetap sama. Aku tak berniat menikah denganmu. Aku tidak akan menikah dengan seseorang yang tidak bisa mati bersamaku.”
“Saya sudah tahu. Tapi tetap saja saya...”
Cukup. Aku ingin mengobrol dengan Al. Pinjamkan aku salah satu kamar.”
“...Baik.”
Dengan mantel berkibar, Kak Lize berjalan seolah rumah ini miliknya sendiri.
Punggungnya seakan berkata untuk mengikutinya, tapi jelas aku tak bisa mengikuti seenaknya.
“Kak Lize, aku kelelahan karena perjalanan panjang. Boleh aku mandi dulu?”
“Tidak masalah.”
“Aku yang merasa tidak nyaman.”
“Perkataanmu seperti gadis saja. Ya sudah. Aku juga mau mandi. Bagaimana kalau kita mandi bareng, sudah lama juga.”
“Ya...?”
Apa yang baru saja dia katakan? Tak mungkin aku mandi bareng denganmu!
“T-Tidak, aku tak mau!”
“Jangan menolak. Akan aku cuci punggungmu.”
“A-Aku akan mandi bareng Duke Reinfeld! Kami sudah berteman selama perjalanan! Ini momen tepat untuk mempererat persahabatan dalam keadaan telanjang!”
Terdengar agak memaksa, tapi hanya ini caraku untuk menghentikan kakakku.
Mungkin dia sadar maksudku, karena Jurgen ikut mendukung.
“Yang Mulia Lizelotte, saya yang akan mencuci punggung Pangeran. Jadi tenanglah.”
“Begitu ya.”
“Ya, jadi Kak Lize, tolong tunggu di kamar.”
“Tak ada pilihan lain. Mari kita mandi bersama.”
“Hah!?”
“Masuk terpisah itu repot, kan? Tenang saja. Aku tak malu tubuhku dilihat orang lain.”
“Ugh!”
Sepertinya Jurgen membayangkannya. Dia mimisan parah dan terjatuh.
Melihatnya begitu, Kak Lize tertawa puas.
“Hahaha, kamu tetap polos ya, Jurgen.”
“Itu bukan bahan tertawaan! Tolong, Kakak, tunggulah di kamar, ya? Tolonglah!”
“Apa? Kamu tidak suka mandi bersama kakakmu?”
“Ya, aku tidak suka! Jadi, tolong tunggu saja di kamar!”
“Begitu ya. Kalau begitu, mandilah kalian berdua.”
Kak Lize menaiki tangga dengan ekspresi bosan.
Itu nyaris saja. Hampir saja dia membunuh seorang duke. Kalau sampai Marsekal aktif sekaligus Putri Pertama membuat seorang duke mati kehabisan darah karena mimisan, itu benar-benar tragedi. Mati karena daya tarik, secara harfiah.
“Duke, kamu baik-baik saja?”
“Y-Ya... Saya baik-baik saja... Tapi, seperti yang diharapkan dari Yang Mulia Lizelotte. Begitu luar biasa tangguh...”
“Kurasa beliau memang sudah mengabaikan sisi kewanitaannya...”
“Tidak, justru karena itulah, karena cara beliau mempermainkanku seperti itu... Di situlah daya tarik beliau...”
“Kalau begitu, sepertinya Kak Lize bisa melakukan apa saja dan tetap membuatmu jatuh cinta...”
Sambil menghela napas karena keduanya sama-sama aneh, aku dan Jurgen pergi ke pemandian besar untuk membersihkan tubuh dan melepas lelah dari perjalanan panjang.
Bagian 7
Setelah mandi dan membersihkan diri dari debu perjalanan panjang, aku dan Jurgen mulai mengenakan pakaian sambil membicarakan rencana ke depan.
“Untuk saat ini, semuanya berjalan sesuai irama Kakak. Kita tidak boleh terus-terusan terbawa begitu saja.”
“Ya. Tapi, kita benar-benar sudah didahului dengan sangat rapi.”
Wajah Jurgen saat mengatakannya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Justru tampak seperti dia sedang mengaguminya. Yah, memang benar sih. Kakak benar-benar menghancurkan semua rencana kami dengan sangat sempurna. Tapi ini bukan saatnya mengagumi dia.
“Sebagai adik, aku merasa sikap Kakak terhadapmu bukanlah sikap membenci. Justru aku rasa beliau menilaimu dengan cukup baik.”
“Benarkah?”
“Itu hanya kesan pribadiku, tapi Kak Lize memang orang yang seperti itu. Sekalipun aku datang ke sini, kalau dia membencimu, dia tidak akan datang ke kediamanmu. Jadi, kurasa alasan dia menolak lamaran pernikahan ada pada syarat yang dia katakan sendiri.”
“‘Aku tidak akan menikah dengan orang yang tak bisa mati bersamaku’...?”
“Benar. Sebaliknya, jika syarat itu terpenuhi, maka pernikahan itu sendiri bukan sesuatu yang dia tolak. Kalau dia memang benar-benar menolak konsep pernikahan, tidak ada yang bisa dilakukan.
“Tapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang wanita dari keluarga kekaisaran. Sejak kecil dia sudah diberi tahu bahwa suatu hari nanti dia akan menikah. Jadi, kalau kamu bisa membuktikan bahwa kamu memenuhi syarat itu, masih ada harapan.”
“Saya mengerti... Tapi untuk bisa menjadi orang yang bisa mati bersama beliau, satu-satunya cara adalah menjadi ajudannya.”
Dan itu masalahnya. Kak Lize sendiri yang menyingkirkan Jurgen dari militer.
Kakak tidak memberinya kesempatan untuk menjadikan Jurgen sebagai ajudannya.
Satu hal itu saja sudah terasa tak seperti kebiasaan Kak Lize. Dia memang bukan tipe yang suka menyuruh-nyuruh orang. Karena itu, hal ini jadi terasa mengganjal.
“Bagaimanapun juga, kamu harus setidaknya bisa membuktikan bahwa kamu bisa bertarung.”
“Saya mengerti. Akan saya tunjukkan hasil latihan saya pada Yang Mulia Lizelotte.”
Sambil berkata demikian dengan penuh semangat, Jurgen menepuk perutnya yang menonjol.
Melihat daging yang bergetar itu, entah kenapa aku jadi sedikit khawatir, meskipun tentu saja, aku tidak mengatakannya.
* * *
“Mandinya lama sekali. Apa memang butuh waktu selama itu hanya untuk mencuci rambut dan badan?”
“Menganggap mandi hanya sebagai kegiatan untuk mencuci rambut dan badan adalah penghinaan terhadap makna sejati mandi itu sendiri, Kak Lize.”
Begitu membuka percakapan, Kak Lize melontarkan pertanyaan itu. Rambutnya tampak berkilau indah.
Kemungkinan besar, seperti yang dia katakan, dia tidak banyak repot. Mungkin hanya mencuci secara biasa saja.
Wanita lain pasti akan mengeluh jika mendengarnya.
Aku dan Jurgen duduk di meja bundar tempat Kakak berada. Teh telah disiapkan di atas meja. Ada juga kue, tetapi diletakkan di dekat Kakak, membuat kami tak bisa meraihnya.
“Begitukah? Di medan perang, air itu barang berharga. Tidak ada konsep menikmati mandi.”
“Waktu masih di ibu kota, kamu tidak perlu memikirkan itu, bukan?”
“Di ibu kota pun aku tak suka karena ada para pelayan wanita. Akhirnya, di mana pun aku berada, aku tetap mandi cepat. Aku tak paham bagaimana caranya menikmati mandi.”
Para pelayan itu luar biasa.
Berendam bersama Kakak dan mencuci tubuhnya, apa mereka tidak takut?
Yah, mungkin mereka harus menutup mata terhadap hal semacam itu.
Pekerjaan yang penuh penderitaan. Nanti aku akan bawa oleh-oleh untuk para pelayan Ibu.
“Karena mandi adalah momen penuh celah, mungkin secara bawah sadar Anda tak suka situasi rentan seperti itu, Yang Mulia Lizelotte.”
“Ohh! Itu dia! Kamu pintar juga, Jurgen.”
Dengan senyum, Kak Lize memuji Jurgen.
Sebagai hadiah, dia memberikan kue yang ada di hadapannya pada Jurgen.
Hal yang kulihat mengejutkanku!!
Aku kaget. Kak Lize sangat terikat dengan benda miliknya. Bisa dibilang penuh sentimen. Bahkan aku sendiri bisa menghitung dengan jari berapa kali menerima sesuatu darinya.
Pernah suatu kali, salah satu bawahannya mendapat amarah dari seorang bangsawan besar dan dipukuli hingga harus dirawat. Setelah mendengar itu, Kak Lize langsung masuk ke rumah bangsawan tersebut dan berkata.
Bawahanku adalah milikku. Bahkan nyawanya pun ada di bawah tanggung jawabku. Artinya, kamu telah merusak properti milikku. Lalu dia menghajar bangsawan itu habis-habisan.
Itu sempat menjadi masalah besar, tapi Putra Mahkota turun tangan dan berhasil meredamnya sebelum membesar.
Dan sekarang Kak Lize memberikan kue pada Jurgen... Meskipun awalnya itu memang milik Jurgen, dan kuenya sebenarnya disiapkan untuk bertiga. Tetap saja, sangat jarang terjadi. Ini menandakan Kakak cukup menyukai Jurgen.
“Terima kasih banyak.”
“Sama-sama.”
Hanya sepotong kue, tapi Jurgen menerimanya dengan rasa syukur yang besar, dan Kakak pun menerimanya seolah itu hal yang wajar. Sepertinya hari ini dia sedang sangat baik hati.
Untuk memastikan hal itu, aku memberanikan diri mengulurkan tangan ke arah kue. Namun, sekejap kemudian, pandanganku berputar dan punggungku terbanting ke lantai.
“Sepertinya setelah lama tak bertemu, kaum jadi lebih bandel, ya? Al.”
“Kak Lize... Kamu tidak berubah sama sekali.”
Pergelangan tanganku yang terulur sudah dalam genggamannya.
Dengan satu tangan, dia membalik tubuhku sepenuhnya dan menjatuhkanku dengan lembut, tanpa melukaiku. Hanya karena sepotong kue, betapa menakutkannya.
“Aneh... Kukira Kakak sedang dalam suasana hati yang baik?”
“Aku memang dalam suasana hati yang baik. Karena akhirnya bisa bertemu adikku lagi. Meski kamu anak durhaka yang punya waktu luang di ibu kota tapi tak pernah datang menemuiku, aku tetap senang bisa melihatmu. Bukankah aku kakak yang luar biasa?”
“Entahlah. Biasanya orang tak menyebut seseorang yang melempar adiknya hanya karena mau mengambil kue sebagai kakak yang luar biasa.”
“Itu karena kamu mencoba mencuri kuenya diam-diam.”
“Itu kan untuk bertiga. Kue itu disiapkan untuk kita semua.”
“Namun diletakkan tepat di depanku, bukan? Artinya itu milikku.”
“...”
Kakak pun menyantap kuenya dengan lahap.
Di garis depan, makanan manis seperti ini jarang tersedia. Sebagai seorang marsekal, Kak Lize bisa hidup mewah kalau mau, tapi dia memilih hidup sederhana agar tak mencoreng wibawanya di hadapan prajurit.
Karena itu, bisa dibilang ini pertama kalinya dalam sekian lama dia menikmati camilan. Pantas saja dia dalam suasana hati yang baik.
Melihatnya, Jurgen pun tampak bahagia.
Kenapa? Kenapa hanya aku yang tanganku digenggam begini? Tidak adil.
Sudah sejak tadi aku mencoba melepaskan diri, tapi genggamannya tak mengendur.
“Kakak, bisakah Kakak melepaskanku sekarang?”
“Kenapa?”
“Apa maksudnya!?”
“Kenapa aku harus melepaskan orang yang belum minta maaf?”
“Padahal itu memang kue untuk bertiga...”
“Itu milikku.”
“...Maaf karena mencoba mencuri kuemu.”
“Masih ada kata-kata yang kurang.”
“Kue milik Kakak! Maaf sudah mencoba mencurinya.”
“Bagus.”
Barulah setelah itu aku dibebaskan.
Sambil mengusap pergelangan tangan dan kembali duduk, aku melihat ke arah piring kue milik Kakak yang kini hampir kosong.
“Hmm? Jurgen, kuenya sudah habis.”
“Tolong jangan bicara seolah itu hilang sendiri. Kakaklah yang memakannya.”
“Akan segera saya siapkan lagi.”
“Bagus.”
“...”
Kenapa komentarku selalu diabaikan?
Jurgen bertepuk tangan, dan para pelayan datang membawa kue di atas piring kecil. Aromanya manis tapi tidak berlebihan. Mungkin cheesecake. Terlihat enak.
Pertama-tama, satu diletakkan di hadapan Kakak. Lalu satu diletakkan di hadapanku, namun sebelum aku sempat menyentuhnya, tangan Kakak menyergapnya dan menarik ke hadapannya.
Sudah cukup!
“Hei, ini sudah keterlaluan!”
“Apa yang keterlaluan?”
“Semuanya! Kenapa Kakak mengambil piring yang ditaruh di depanku? Kakak sudah punya bagiannya!”
“Aku tidak punya.”
“Sudah dimakan, kan? Cepat sekali... Dan itu yang di hadapanku, itu punyaku! Jangan seenaknya ambil!”
“Barang milik adik adalah milik kakak.”
“Apa itu logika seorang tirani!? Kalau begitu, kalau aku bilang barang milik adik perempuan adalah milik kakak laki-laki, Kakak setuju?”
“Aku tidak tunduk pada ketidakadilan.”
“Aargh! Sudahlah!”
Menyadari bahwa kata-kata tidak akan menyelesaikan masalah, aku mengulurkan tangan langsung ke kue.
Namun Kakak menepis tanganku dengan satu tangan, sementara tangan satunya mulai menyendok kue.
Sial!
Aku bertekad merebut kue itu dan menyerang dengan kedua tangan, namun semuanya ditangkisnya hanya dengan satu tangan.
Dan dalam waktu singkat, kuenya habis dimakan oleh Kakak.
“Aah...”
“Yang Mulia Arnold, silakan ambil milik saya.”
“Terima kasih banyak, Tuan Duke... Terima kasih...”
“Sudah kukatakan, milik adik adalah milik kakak, bukan?”
Kue yang diberikan oleh Jurgen pun dicegat sebelum sampai di tanganku.
Dan, seperti sebelumnya, masuk ke dalam perut Kakak. Sungguh tak adil...
Pada akhirnya, aku tak sempat makan apa pun hari itu.
Post a Comment