Penerjemah: Randika Rabbani
Proffreader: Randika Rabbani
Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation
Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR
Chapter 1 - Jangan Pasif Menerima Ajakan Sirkel, Ayo Serang Secara Aktif!
Seharusnya aku sudah meninggal, tapi entah kenapa aku terbangun di suatu tempat. Dan saat melihat sekeliling, aku tersadar kalau ini adalah kamar yang dulu kutinggali sejak jaman kuliah sampai akhirnya tinggal bersama istriku.
Kupikir ini semacam kilas balik sebelum kematian, tapi pandanganku sama sekali tidak bergoyang. Tetap jernih. Tapi kemudian aku sadar ada bunyi alarm dari smartphone di atas meja pendek yang berbunyi 'pip pip pip'. Tapi harusnya, bunyi ini adalah bunyi alarm dari beberapa generasi sebelumnya.
Tanggal yang muncul disana adalah, tahun saat dimana aku masuk universitas. Dan itu adalah sehari sebelum upacara penerimaan mahasiswa baru. Jangan-jangan, pikirku. Aku pun segera melompat ke wastafel.
Dan saat bercermin, tampaklah diriku di masa muda.
"Haha! Apa ini.… Ahaha! Mimpi!? Apa aku kembali!? Haha, hahaha!"
Time Leap. Situasi yang terlalu konyol ini membuatku tak bisa berhenti tertawa. Setelah tertawa sepuasnya dan mulai tenang, tiba-tiba terpikir olehku.
"Apa aku bisa mengulanginya? Hidupku..."
Aku mulai berpikir, ini mungkin kesempatan untukku. Hidupku mencapai puncaknya sampai saat aku berpacaran dan menikah dengan istriku. Tapi bagi istriku, aku hanyalah salah satu dari sekian banyak pria. Mungkin, dia menikah denganku hanya karena kebetulan usianya sudah pas dan waktunya tepat.
"Tapi kalau aku bisa mengulang dari masa kuliah, bukan-kah aku bisa menghindari pernikahan dengan istriku? Bukan-kah aku bisa menghindari kemalangan seperti itu?"
Aku bergumam sambil berbaring di lantai dapur menatap langit-langit.
Itulah isi hatiku yang sebenarnya, tanpa kepalsuan.
"Di fakultas yang kumasuki nanti, istriku juga ada. Tapi kalau aku bergerak dengan cerdik, mungkin aku bahkan tidak akan bertemu dengannya. Lagipula universitas itu luas. Dia pun takkan sengaja tertarik padaku yang bukan siapa-siapanya. Kalau begitu, kemalangan seharusnya bisa dihindari."
Jika aku bisa mengulang dari zaman ini, aku bisa bahagia dengan wanita yang jauh lebih baik daripada istriku. Harapan seperti itu mulai tumbuh.
"Diriku yang sekarang punya pengetahuan masa depan dan skill sebagai orang kantoran. Ditambah lagi, pengetahuan yang diperlukan untuk debut universitas."
Kehidupan sebelumnya? Atau putaran pertama? Begitu-kah menyebutnya? Aku yang merupakan introvert akut dari introvert menjalani kehidupan kuliah putaran pertama yang biasa-biasa saja.
Aku memang pintar dalam pelajaran, dan berhasil masuk ke perusahaan besar yang membuat iri semua orang. Tapi aku sama sekali tidak punya hubungan dengan acara-acara khas masa muda.
"Diriku yang sekarang pasti bisa. Tidak, aku harus melakukannya! Benar! Aku tidak mau lagi mengalami keti-dakadilan! Aku! Aku! Aku! Akan melakukan debut univer-sitas!!!!"
Berteriak begitu, aku pun bangkit seolah melompat, lalu berlari keluar kamar. Aku pasti akan meraih masa depan yang bahagia! Untuk itu, aku akan melakukan apa saja!
"Aku pasti akan menemukan wanita yang lebih baik darimu! Dan pasti! Pasti! Aku akan bahagiaaaaaaaa!!"
Aku berlari melintasi kota sambil meraung. Dadaku yang seharusnya kosong setelah ditusuk, kini dipenuhi rasa panas oleh harapan.
*
Hal yang diperlukan untuk debut universitas. Pertama adalah penampilan. Kurasa siapapun pasti akan terpikir untuk pergi ke salon kecantikan dulu. Itu tidak salah. Tapi kalau kau laki-laki, kau harus memilih barbershop yang tepat.
Aku pun langsung masuk ke barbershop bergaya modis di kawasan Shibuya, meminta potong rambut dan shaving.
Dan begitu keluar toko, aku pun langsung menuju ke 『Urahara』 yang terletak di ujung Jalan Takeshita di Harajuku. Aku membeli pakaian di sana, di tempat toko-toko select berjajar. Kuncinya adalah membeli semua setelan dari atas sampai bawah di satu toko. Aku membeli lima set seperti itu.
Uangnya jadi banyak sekali, tapi ini juga investasi awal. Rasanya tiga set saja sudah cukup, tapi lebih baik menyiapkan sedikit cadangan.
Lalu aku pun pulang ke rumahku, dan membentangkan buku catatan di atas meja.
"Kunci masa muda di universitas. Itu adalah 'Sirkel'...!"
Kalau bicara tentang universitas? Orang yang menjawab 'penelitian' kurasa adalah orang yang serius dan itu bagus. Tapi kebanyakan orang mungkin akan menjawab 'Sirkel'.
"Sirkel adalah miniatur masyarakat manusia. Atau tiruan organisasi militer. Disana pasti ada yang namanya 'Kasta'."
Pasti banyak orang yang menderita karena kasta sekolah di SMP dan SMA. Banyak introvert berkasta rendah yang tekun belajar sambil memeluk mimpi naif bahwa mereka akan terbebas dari itu begitu masuk universitas. Termasuk diriku sendiri dulunya. Tapi kenyataannya berbeda. Justru kesadaran akan kasta itu semakin dipercepat secara kejam di universitas!
"Di sinilah pengetahuan masa depan berguna. Aku punya pengetahuan tentang hubungan antar manusia di setiap ang-gota sirkel. Aku akan memanfaatkan itu."
Di dunia sebelumnya, setiap tahun aku diminta oleh profesor untuk bernegosiasi dengan setiap sirkel. Di sanalah aku mengamati dengan saksama hubungan antar anggota dan kasta mereka.
Aku menyambungkan PC ke internet, membuka medsos sirkel-sirkel main-main seperti sirkel acara, sirkel tenis, sirkel minum-minum, dan sirkel antar-universitas, lalu menyalin hubungan antar manusia yang kuingat ke buku catatan.
Kemudian, data-data yang aku salin itu kumasukkan ke dalam software framework untuk berpikir logis yang ada di PC untuk memunculkan 『Key Person』 (kunci).
"Begitu ya. Mereka inilah para key person-nya. Kutemu-kan kalian, target!!"
Aku pun mengunduh foto wajah dari setiap medsos itu, mencetaknya, dan menempelkannya di buku catatan. Dan, 『Buku Catatan Korelasi Hubungan Manusia Universitas』 pun selesai!
"Sekarang, tinggal bertindak saat upacara penerimaan besok! Kukuku, Aahahahahah!"
Aku pun tertawa terbahak-bahak.
Mereka bilang persiapan adalah segalanya dalam perang.
Kalau begitu, kemenangan ini bisa dibilang sudah hampir pasti!
Aku tak sabar menunggu hari esok!
*
Upacara penerimaan mahasiswa baru di universitasku, Universitas Nasional Kouto, diadakan di Budokan. Tempat ini sangat ramai oleh mahasiswa baru, orang-orang yang melakukan ajakan masuk sirkel, dan lain-lain.
Universitas kami memiliki standar nilai tertinggi di Jepang, jadi media massa pun banyak yang datang meliput. Aku mengamati pemandangan itu dari atap gedung terdekat menggunakan teropong. Dan terlihat mahasiswi baru dalam balutan furisode dan hakama, sementara para senior yang berpakaian kasual dan terlihat sok keren (tapi belum sampai level 'keren karena suasana') dengan beraninya membagikan brosur.
(TL/N : jenis kimono tradisional jepang)
"Aah, lihat itu anak-anak norak dari sirkel acara menge-rumuni gadis-gadis manis. Padahal paling juga nanti diembat oleh senior tampan. Kasihan, kasihan. ...Otto, ketemu!"
Aku pun menemukan salah satu senior yang menjadi 'Target'-ku kemarin menjauh sendirian dari kerumunan sirkel. Dia berjalan menjauh dari depan Budokan, menuju ke arah minimarket. Sesuai rencana! Aku turun dari atap gedung dan menuju minimarket yang sama.
Sesampainya di sana, aku mengintip ke dalam. Terlihat senior targetku memasukkan chuuhai sebanyak mungkin ke dalam keranjang.
Mahasiswa memang cenderung ingin minum alkohol.
Dan mungkin setelah ini mereka akan mengadakan pesta kecil-kecilan di taman terdekat. Dan tepat saat targetku keluar membawa kantong belanjaan yang menggembung penuh, aku sengaja menabraknya dengan santai.
"Uo!"
"Uwah!"
Senior itu terhuyung dan beberapa kaleng chuuhai jatuh dari kantongnya ke tanah. Aku pun segera memungutinya dan memberikannya kepada senior itu.
"Maaf! Saya gugup jadi tidak sengaja menabrak!"
Aku menundukkan kepala dengan sopan kepada senior itu. Sang senior menjawab dengan riang.
"Ah, kamu mahasiswa baru ya. Nggak apa-apa, santai aja! Aku juga tadi masukin chuuhai kebanyakan! Jadi impas lah!"
"Terima kasih! Tapi apa itu tidak terlalu berat? Memang sih bukan sebagai permintaan maaf, tapi biar saya bawakan sebagian!"
Sambil berkata begitu, aku pun dengan cepat mengambil kantong penuh berisi chuuhai dan camilan yang dijinjing senior itu di tangan kirinya. Senior itu terlihat terkesan.
"Kamu baik banget ya! Bagus! Bagus! Sikap hormat ke orang lain kayak gitu keren lho! Kalau gitu aku minta tolong ya!"
Lalu aku dan senior itu berjalan bersama menuju tempat anggota sirkelnya berkumpul.
"Setelan three-piece navy-mu itu keren ya. Mahasiswa baru kan biasanya pakai setelan rekrutmen hitam semua kan? Menurutku itu agak gimana gitu."
"Ini dibelikan ibuku! Katanya kalau upacara masuk harus tampil rapi! Dia bilang aku harus pakai ini terus selfie sama senior dan cewek-cewek manis! Ahaha!"
Aku berbohong. Ibuku bukan orang yang cukup punya selera untuk membelikan setelan seperti ini. Dia juga tidak meminta selfie. Aku mengambil selfie demi strategiku sendiri.
"Seriusan! Haha! Ibumu baik banget ya!"
"Gimana kalau kita selfie satu kali, Senpai!"
"Boleh! Yeaay!"
"Yeaay!"
Sambil memegang kantong minimarket, aku dan senior itu merangkul bahu dan berfoto dengan smartphone.
"Bagi fotonya ke aku dong."
"Oke-ssu!"
Di sini aku dengan santai bertukar kontak dan mengirim-kan foto tadi ke senior itu. Sambil mengobrol dengannya, kami pun sampai di tempat sirkel itu berkumpul.
"Ini markas sirkel kami! Oi, semuanya! Ada orang yang mau aku kenalkan!!"
Senior itu memanggil anggota sirkelnya. Inilah yang kutuju. Tanpa sadar aku merasakan sudut bibirku terangkat. Senior ini adalah orang nomor tiga di sirkel acara antar-universitas terbesar di kampus ini. Dia orang yang rajin, peduli pada junior, pandai mengatur acara, sangat dipercaya oleh ketua sirkel, dan diandalkan oleh para anggota—seorang pilar penyangga tak terlihat. Posisi sebagai mahasiswa baru yang diperkenalkan secara langsung oleh orang seperti ini kepada anggota lain. Itulah tujuanku.
"Ah, maaf menganggu! Aku mahasiswa baru, Tokiwa Kanahisa! Kanahisa ditulis dengan Kanji 'Kana' (奏 - memainkan musik) dan 'Hisa' (久 - lama), jadi panggil saja aku Kanata biar akrab! Mohon bimbingan dan arahannya!"
Para senior di sirkel itu pun tertawa kecil. Tapi tawa itu terdengar sangat ramah.
"Mohon bimbingan dan arahan? Kaku banget! Haha! Santai, santai! Kanata ini menolongku pas bawa barang berat lho! Dia orang baik! Tolong bantu dia ya!"
"Hee, orang baik ya!" "Aku pas tahun pertama nggak setenang itu lho!" "Kalau dilihat-lihat wajahnya juga keren ya." "Tapi wajah tipe Hollywood? Lebih ke selera cowok daripada cewek ya?" "Apa itu...? Evolusi dari wajah 'saus' (wajah tegas)?"
Semua orang membicarakanku. Semuanya reaksi yang bagus. Bisa dibilang aku sudah diterima.
"Otto! Maaf ya sudah menahanmu! Ini brosurnya! Pokoknya harus datang ke pesta penyambutan ya! Kalau ada masalah soal orientasi atau kuliah, hubungi aja aku! Utang budi pasti kubalas! Ahaha!"
Dia orang yang cukup baik.
Setelah disambut sebentar, aku dilepaskan begitu saja. Aku sudah berhasil menjalin koneksi. Dan langkah pertamaku untuk membuat masa mudaku bersinar pun sukses.
*
Saat aku mendekati area Budokan, terdengar suara dingin yang melengking dari para gadis di sudut. Bukan hanya aku, orang-orang di sekitar juga menyadarinya.
"Apa-apaan penampilanmu itu? Sudah kubilang kan? Jaga nama baik SMA kita! Kenapa kamu datang ke upacara masuk pakai baju bebas?"
"Hah? Lihat dong. Ini jelas-jelas gaya formal, tahu! Lagipula bebas kan mau pakai baju apa ke upacara masuk universitas! Kamu bodoh ya?"
Tiga gadis bersetelan jas mengelilingi seorang gadis dengan gaya busana yang agak tidak pada tempatnya. Rambut pirang terangnya ditata kuncir dua dengan pita penuh hiasan yang ramai.
Dia mengenakan blus merah muda dengan banyak renda di lengan dan kerahnya, serta dasi hitam. Rok hitam selutut, sepatu bersol tebal. Dan kaus kaki setinggi lutut.
Tidak salah lagi, ini gaya Jirai-kei. Ditambah lagi, dia bahkan memakai lensa kontak berwarna biru di matanya. Riasannya juga begitu. Wajahnya sangat cantik, tapi dia menyempurnakannya dengan aura menhera yang kuat sekali. Sangat mencolok.
(TL/N : Jirai-kei ya kek style yang dipake cewek bermasalah lah, tapi lebih kearah bermasalah di mentalnya, nah menhera itu ya istilah yang gambarin yang punya masalah itu)
"Jangan main-main! SMA kita itu sekolah unggulan ternama, tahu! Apa-apaan penampilan itu! Kamu sadar tidak sekolah kita bakal dianggap sekolah berandalan macam apa! Kamu itu menyusahkan!"
"Haah? Cuma gara-gara begini aja kenapa? Tiap tahun ada enam puluh orang dari sekolah kita yang masuk sini, jadi satu orang sepertiku harusnya nggak masalah kan?"
"Cepat ganti bajumu sana! Atau pulang saja sekalian!"
"Ogah. Keluar emang merepotkan, tapi pulang juga sama merepotkannya. Udah boleh pergi belum?"
Saat itulah, aku melihat salah satu gadis bersetelan itu mengangkat tangannya. Lalu dengan suara bergetar karena marah.
"Dasar kamu ini! Sejak SMA memang sudah menyebal-kan!!"
Itu agak gawat.
Mungkin itu persiapan untuk mendorong dada lawan bicara yang kadang dilakukan para gadis.
Dan tanpa sadar tubuhku bergerak.
"Ugh!"
"Eh?"
Aku berdiri di depan gadis Jirai-kei itu dan menahan dorongan itu dengan perutku. Itu lumayan sakit. Aku reflek malah melindunginya. Tindakan di luar rencana. Tapi kalau mau menjalani masa muda yang gemilang, hal seperti ini harus bisa dilakukan. Begitulah pikirku.
Gadis-gadis bersetelan itu pun menatapku dengan tatapan curiga karena tiba-tiba menyela.
"Hei, kamu nggak apa-apa?"
Gadis bergaya Jirai-kei itu mencondongkan tubuh meng-intip wajahku dengan cemas. Mata birunya bertemu pandang denganku. Kilau yang sangat indah. Tapi aku tidak bisa terus menatapnya.
"Ah, tidak apa-apa. Lebih penting lagi..."
Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah gadis-gadis bersetelan. Berusaha memasang wajah seketat mungkin.
"Sekalipun begitu, main tangan itu tidak boleh kan? Apa SMA kalian membolehkan hal seperti itu?"
"Guh. Tapi kan dia yang salah! Sudah tradisi kami kalau semua siswi pakai setelan jas! Dia yang melanggarnya!"
Ini pasti soal aturan tak tertulis para gadis itu. Semacam aturan di luar peraturan sekolah yang ditentukan oleh suasana di antara para gadis, seperti kaus kaki navy hanya boleh dipakai oleh siswi tingkat dua ke atas.
Ini pertama kalinya aku melihat kasus di mana aturan itu masih berlaku bahkan setelah lulus. Mungkin mereka dari sekolah ternama dengan sejarah panjang yang setiap tahun mengirim puluhan siswanya ke Universitas Kouto.
Aku bukan lulusan sekolah unggulan seperti itu jadi kurang paham, tapi kudengar sekolah semacam itu punya jaringan alumni berdasarkan almamater bahkan setelah lulus, jadi mungkin saja begitu.
"Konyol sekali kan. Sudah lulus pun masih seperti ajang bergosip..."
Gadis Jirai-kei di belakangku bergumam begitu. Perum-pamaannya kasar, tapi aku setuju.
"Lagian kamu ini siapa! Kenapa melindungi dia! Kamu pikir kamu siapa!? Mau jadi pahlawan kesiangan? Norak tahu!"
"Kalian seratus kali lebih norak. Cuma gara-gara pakaian saja sampai mempermasalahkan hal sepele. Lihat sekeliling sana! Semua gadis berdandan meriah! Setelan rekrutmen seperti kalian justru kelihatan aneh!"
Yah, meskipun gadis bergaya Jirai-kei ini jauh lebih kelihatan aneh sih. Tapi itu tidak kukatakan.
"Nggak mungkin banget! Kenapa kamu melindungi orang aneh begitu? Nggak mungkin banget! Membantu cewek berandalan yang di sekolah selalu jadi penyendiri itu benar-benar bikin kamu kelihatan menjijikkan!"
Gadis bersetelan yang sok jago ini menyebalkan sekali. Dua orang lainnya juga tertawa cekikikan.
"Begitu ya. Kalian masih terbawa kasta jaman SMA ya! Oke oke! Paham paham!"
Orang yang boleh di-rundung sama dengan orang aneh atau menijikkan. Orang yang membantu orang aneh atau menjijikkan sama dengan orang aneh atau menjijikkan. Jadi, dari sudut pandang gadis-gadis bersetelan ini, aku adalah laki-laki rendahan. Bodoh sekali, pikirku. Hal itu hanya berlaku di masa SMP dan SMA, di mana ruang kelas adalah kandang untuk mengisolasi dari kebebasan, dan pagar untuk melindungi dari dunia luar. Universitas itu jauh lebih kejam. Akan kutunjukkan pada mereka.
Aku menempatkan tanganku di pinggang gadis Jirai-kei itu dan menariknya mendekat.
"Kya! Hei, tiba-tiba kenapa?"
Aku berbisik di telinga gadis Jirai-kei itu.
"Kau ingin membuat mereka bungkam kan? Kalau begitu, serahkan saja padaku. Oke?"
"... Hee.… percaya diri sekali ya... Boleh kok. Tunjukkan padaku, fufufu."
"Kalau begitu, saat aku memberi isyarat..."
Aku memberikan instruksi pada gadis Jirai-kei itu. Dia tersenyum dan mengangguk setuju.
"Bisik-bisik apa kalian! Hal seperti itulah yang menjijik-kan!"
"Aku tidak menjijikkan, dan tentu gadis ini juga tidak. Lagipula kalian ini, ya? Kalian iri kan dengan dia?"
"Nggak mungkin lah! Jangan main-main!!"
Gadis-gadis bersetelan itu sangat marah sampai wajah mereka memerah padam. Tepat sasaran. Gadis Jirai-kei ini, kalau hanya dari segi penampilan, dia bisa saja mencapai puncak kasta, tapi mungkin karena sifatnya yang aneh dia jadi terasing. Mengambil keuntungan dari itu, mereka menjadikan gadis ini target.
Tidak salah lagi motifnya adalah iri hati. Wajah yang terlalu cantik membuat orang yang melihatnya merasa rendah diri. Karena itu mereka menyerang dan berusaha mati-matian untuk menyingkirkannya. Alasan mereka ingin dia memakai setelan jas juga karena ingin menyembunyikan kecantikan gadis ini sedikit saja dengan pakaian yang sederhana. Tapi justru itulah senjatanya. Aku sedikit mengelus punggung gadis Jirai-kei itu dengan jari tanganku yang melingkar di pinggangnya.
"Nn. Geli..."
Dia sedikit menggeliat tapi segera mulai menjalankan instruksiku.
"Uuh! Kusu! Ueee~, Pieeeeeeeeeeee~!"
Gadis Jirai-kei itu memasang wajah menangis dan memeluk dadaku. Dia benar-benar meneteskan air mata. Hei, aku tidak menyuruh sampai sejauh itu sih... tapi ya sudahlah. Malah ini membuatku lebih unggul. Karena bagaimanapun juga, dia tetap sangat cantik meskipun sedang menangis!
"Kalian benar-benar keterlaluan! Mengeroyok satu orang dan melontarkan kata-kata kasar begitu!"
Aku berteriak keras agar terdengar oleh orang sekitar, lalu mengelus lembut kepala gadis Jirai-kei itu.
"Hah? Terus kenapa kalau dia menangis? Kami juga perempuan, tahu. Memangnya air mata perempuan mempan pada perempuan lain? Lucu sekali!"
Itulah yang tidak mereka mengerti. Air mata wanita adalah senjata. Buktinya.
"Ada apa, ada apa? Berantem?"
"Kok ada cewek nangis?" "Itu pacarnya ya? Keren bang-et nggak sih melindunginya?" "Dia di-bully? Kasihan banget." "Bikin cewek nangis itu keterlaluan ya.…." "Nggak jijik apa gangguin pasangan begitu?"
Suara bisik-bisik mulai terdengar dari sekitar. Dan orang-orang mulai berkumpul di sekeliling kami. Semua orang terlihat bersimpati pada kami, sebaliknya mereka menatap gadis-gadis bersetelan itu dengan tatapan menghina atau permusuhan.
Gadis-gadis bersetelan itu pun terlihat bingung dan panik menghadapi perubahan suasana yang tiba-tiba.
"Kalian salah mengira kalau di sini masih sama seperti SMA. Di almamater kalian, gadis ini mungkin akan selama-nya jadi anak yang di-rundung. Hanya dengan gadis-gadis sok kuat seperti kalian bertindak sok hebat, para cowok pasti akan menuruti kalian. Tapi ini itu universitas. Begitu masuk satu langkah, isinya orang asing semua. Semua orang peduli dengan opini publik yang bermoral. Di tempat seperti ini, kalau terus mencoba pamer kekuasaan dengan cara kekanakan dan norak, kalian akan segera disingkirkan dari komunitas!"
Wajah gadis-gadis bersetelan itu memucat. Mereka bisa masuk universitas ini, jadi mereka tidak bodoh. Mereka pasti sudah paham aturan universitas. Ini adalah dunia di mana hanya bermodal sok kuat saja tidak akan berhasil. Dunia di mana jika kau tidak membangun sekutu dan opini publik dengan sikap yang lebih cerdas, kau akan dengan cepat dicap sebagai penjahat dan disingkirkan.
"Menghilanglah dari hadapan kami sekarang juga. Ini peringatan. Akan merepotkan kalau wajah kalian diingat oleh semua orang di sini. Kalian mungkin akan dilarang datang ke pesta penyambutan, dan tidak akan ada sirkel yang mau menerima kalian. Jadi menghilanglah sebelum semua orang mengingat wajah kalian. Kalau kalian masih punya sedikit kepintaran, cepat pergi."
" " "Hiii..." " "
Gadis-gadis bersetelan itu pun segera menghilang dari hadapan kami. Mungkin mereka akan pulang ke rumah tanpa menghadiri upacara masuk. Itu lebih baik. Tetap di sini sekarang pun mungkin tidak akan membawa kebaikan.
Kalau sekarang, masih ada kesempatan untuk mengulang. Dan aku pun, sambil masih memeluk gadis Jirai-kei itu, meninggalkan tempat itu.
*
Setelah menjauh dari keramaian, aku dan gadis Jirai-kei itu beristirahat sejenak di bawah naungan pohon.
"Kamu hebat juga ya. Aku sampai kaget. Bisa membuat-ku kaget itu hebat lho. Terima kasih, tadi itu menyenangkan banget! Fufufu."
Gadis Jirai-kei itu tersenyum cerah. Aku senang dia berterima kasih. Tapi alarm peringatan berbunyi di kepalaku.
"Begitu ya. Kalau begitu aku permisi dulu."
Aku berkata begitu dan mengangguk, lalu mencoba pergi dari hadapannya. Tapi lengan bajuku segera ditahan.
"Tunggu! Kenapa kamu mau pergi? Saat-saat seperti ini, bukannya seharusnya kamu menagih balas budi sambil merampas kontakku, paksa buat janji kencan, atau coba bawa aku ke love hotel? Kanu nggak bakal bisa ketemu gadis secantik aku lagi lho?"
Kalau kau gadis normal, mungkin aku akan mencoba membuat janji kencan. Tapi bagaimanapun juga, wanita ini aneh. Aku sudah memutuskan untuk hidup demi menjalani masa muda yang gemilang dan mendapatkan pernikahan yang bahagia.
Tadi pun dia terlihat sangat menikmati situasi itu kan, aku tidak mau wanita yang terlihat berbahaya dan berbau menhera seperti ini. Penampilannya mungkin setara dengan istriku, tapi wanita dengan isi kepala yang misterius itu tidak bisa. Aku tidak mau terlibat.
"Kau sudah mahasiswa, berhenti menyebut dirimu gadis cantik. Kau sudah dewasa, bukan gadis kecil lagi."
"Hah? Aku masih perawan lho?"
"Salah dengar macam apa itu!? Aku tidak bilang begitu dan tidak tanya itu! Kau pikir aku tipe orang yang akan senang mendengar hal itu!? Jahat sekali!?"
"Lagian, apa kamu nggak tertarik denganku? Kamu nolong aku karena ada maunya kan? Aku tau dari manga sama ranobe kalau hati laki-laki itu begitu."
"Sumber belajarmu salah! Jangan belajar soal hati laki-laki dari situ! Tadi itu cuma reflek tubuhku saja."
"Hee. Jadi kamu nggak tertarik sama aku. Berarti selera-mu yang tipe B-sen (jelek) ya. Maaf ya. Aku nggak bisa memuaskan hasratmu... Akan aku kasihani kamu, fufu."
"Aku bilang bukan B-sen. Dasar orang aneh!"
Benar-benar egois dari ujung rambut sampai ujung kaki. Malah, mungkin wajar saja dia di-rundung? Apa keputusanku menolongnya tadi salah ya?
"Nee B-sen. Sebentar lagi upacaranya mulai, ayo pergi bareng."
"Tidak, aku sendiri saja."
"Dasar kamu ini, udah menolongku tapi nggak mau ber-tanggung jawab sampai akhir? Kalau kamu meninggalkanku sendirian di sini sekarang, nanti akan ada gerombolan yang datang bilang, 『Kasihan ya tadi kamu dibuat menangis! Sini cerita sama kita!』. Dan tahu-tahu aku udah ada di love hotel... Baru aja masuk universitas, eh malah ada pria yang masuk ke dalam diriku!"
"Haha! Imajinasimu bukannya terlalu liar ya. Dan juga, lelucon joroknya parah sekali!"
"Pembela kebenaran itu harusnya menjaga wanita sampai akhir! Ayo! Antar aku ke upacara masuk! Terus sama karena pidato orang-orang penting itu bosenin, ceritakan hal lucu di sebelahku! Aku benci bosan!"
"... Bagaimana kalau aku menolak?"
"Kalau kamu menolak, aku akan menangis sejadi-jadinya, dan akan kucabik-cabik kamu dengan pedang keadilan."
"Cewek itu curang! Iya iya, aku tau. Kita hadiri upacara masuk bersama."
"Nah gitu dong! Mohon bantuannya ya. Aku Ayashiro Himena. Kalau mau menjaga jarak, panggil Ayashiro-san, kalau mau menjilat dan cari-cari kesempatan, panggil Hime-chan."
Kedengarannya suara 'me' nya agak panjang, apa hanya perasaanku saja? Yah, kurasa aku tidak akan memanggil nama kecilnya. Lagipula hubungan ini hanya untuk hari ini saja.
(TL/N : yap dibacanya me nya agak panjang, kek dua harokat gitu kalau arab wkwk, jdi kek himeena)
"Kesempatan itu pasti tidak akan ada kan. Aku panggil kau Ayashiro saja. Aku Tokiwa Kanahisa. Panggil sesukamu."
"Baiklah. B-sen Impo Kana-chan."
"Oi jangan main-main! Dan aku tidak impoten! Terus berhenti panggil Kana-chan juga!"
Soal impo itu tolong jangan diungkit. Di putaran pertama, aku jadi impo gara-gara perselingkuhan istriku. Itu benar-benar menyakitkan. Penderitaan karena harus minum obat ereksi itu sulit diungkapkan dengan kata-kata. Aku benar-benar bersyukur bisa sembuh setelah kembali muda di dunia putaran kedua ini.
"Ayo berangkat, Tokiwa. Kita harus hindarin terlambat! Fufufu."
Mengabaikan protesku, Ayashiro mulai berjalan dengan senyum ceria.
"Dasar merepotkan sekali."
Aku pun berjalan di samping Ayashiro, dan kami mema-suki aula tempat upacara masuk diadakan.
*
Kenapa upacara masuk itu membosankan sekali ya? Pidato membosankan dari Rektor dan om-om lainnya. Pidato tamu yang juga membosankan.
"Benar-benar membosankan ya. Sedih rasanya peman-dangan seperti ini yang terbentang setelah memenangkan perang ujian masuk."
"Setuju banget. Universitas kita kan negeri? Biaya sewa tempat ini pun kalau ditelusuri mungkin asalnya dari pajak. Minta kembali rasanya."
Ayashiro yang duduk di sebelahku juga terlihat bosan. Sejak tadi kami hanya mengobrol ngalor-ngidul. Ayashiro itu pintar, ceplas-ceplos, dan sinis, jadi mengobrol dengannya cukup menyenangkan. Tapi itu pun tidak berlangsung lama.
"Berikutnya adalah pidato penerimaan dari perwakilan mahasiswa baru, Hagiri Hiroto-san."
Seorang mahasiswa laki-laki berdiri di atas podium. Wajahnya tampan, postur tubuhnya juga bagus, tapi ekspresi-nya yang penuh percaya diri memberikan kesan angkuh.
"Siapa itu? Sok hebat. Dia peringkat pertama ujian masuk tahun ini? Nilaiku kalah dari orang seperti itu ya. Harusnya aku belajar lebih serius."
Ayashiro menatap Hagiri dengan ekspresi agak tidak suka. Ayashiro sendiri sepertinya juga tipe percaya diri, jadi mungkin mereka tidak cocok.
『Bisa menghabiskan hari ini di tempat ini adalah kebang-gaan besar dalam hidup saya. Di tempat ini sekarang berkum-pul para pemuda yang penuh potensi untuk memimpin Jepang, bahkan dunia, di masa depan. Keberuntungan itu......』
Rentetan kata-kata indah yang kosong dan tidak penting. Parade basa-basi. Kesombongan berkedok kerendahan hati. Pidato itu penuh dengan kata-kata hampa seperti itu, tapi sam-butan di aula cukup baik. Hagiri memang memiliki semacam karisma.
"Ara ara. Pintar sekali bicaranya, sepertinya bisa jadi politisi di masa depan ya. Tapi rasanya kurang semangat gitu. Aroma kesombongan hampa yang mencurigakan."
"...Kau cukup pandai menilai orang ya."
"Nn? Begitu? Penilaian karakterku benar? Lagian kamu kenal dia?"
".…. Pernah kalau bertemu muka. Tapi kurasa dia tidak mengenalku."
"Begitu ya. Hmm."
Ayashiro menatapku dengan tatapan agak curiga, tapi dia tidak bertanya lebih jauh. Sepertinya dia anak yang tak terduga pengertiannya. Mungkin sifat Jirai-kei nya hanya di penampilan saja. Di saat seperti ini, aku yang hanya punya pengalaman dengan istriku sangat menyesal tidak punya mata untuk membedakan wanita baik dan buruk. Begitulah pikirku.
Upacara masuk selesai, dan saat kami keluar aula, terlihat lagi keramaian ajakan pesta penyambutan.
Kami berjalan perlahan di antara orang-orang yang ramai.
"Kamu mau masuk sirkel mana?" kata Ayashiro.
"Sirkel tenis dan sirkel acara, terus tipe yang sok peduli atau intelek, lalu sirkel seni sebagai hobi."
"Serakah sekali tau mau ikut banyak. Tapi baguslah. Setidaknya kamu nggak bilang mau ikut sirkel seks bebas."
"Aku tidak mau pergi ke tempat seperti itu. Terlalu kotor. Aku lebih ingin menghargai debaran jantung dan kilauan masa muda. Kalau kamu bagaimana, Ayashiro?"
"Aku ya. Aku ingin ikut klub riset fashion, atau tempat hobi yang feminin banget gitu. Terus yang serius ngebahas masalah sosial. Terus juga, tenis juga menarik sih, tapi kesan-nya aku bakal diajak main ganda 'malam hari' terus, jadi pass deh?"
"Kau ini langsung lari ke lelucon jorok ya! Menyusahkan tahu, hentikan! Sirkel tenis juga ada macam-macam, dari yang seperti ajang cari jodoh sampai yang murni hobi, jadi lihat saja pelan-pelan."
"Yah, bener juga sih ya. Masih banyak waktu juga kan. Ngomong-ngomong, dari tadi rasanya kita diperhatiin banget ya, apa cuma perasaanku?"
Setelah dia bilang begitu, memang rasanya banyak orang yang melihat ke arah kami. Rasanya seperti mereka berbisik-bisik. Tapi bukan tatapan jahat atau merendahkan. Malah seperti rasa penasaran?
"Bukankah itu karena penampilanmu yang seperti menhera? Yah, kau memang manis sih, tapi tidak cocok dengan TPO (Waktu, Tempat, Kesempatan)."
"Makasih pujiannya. Tapi kayaknya bukan aku yang diliat. Tatapan semua orang itu ada semacam rasa kagumnya. Kalau orang melihatku biasanya tatapannya kayak iri atau kayak liat panda."
"Apa iri dan panda bisa muncul bersamaan? Tapi benar juga, mereka melihatku ya? Kenapa?"
"Mungkin... ah, benar saja."
Ayashiro pun mencari sesuatu di smartphone-nya, lalu menunjukkan hasilnya padaku. Layar media sosial. Di sana terpampang selfie yang kuambil bersama Senpai tadi.
Koran Universitas Kouto
Fitur Mahasiswa Baru Edisi Pertama
Tokiwa Kanahisa-kun!
Ini adalah selfie akrab antara mahasiswa baru dan Senior!
Mahasiswa baru berwajah Hollywood ini katanya dengan santai, tanpa pamer, keren, dan sigap menolong Senpai-nya lho! Kandidat Mr. Universitas Kouto masa depan!?
Wajah Hollywood itu apa coba...?
"Kamu langsung jadi orang terkenal ya. Kamu hebat."
"Hmm. Tidak kusangka akan sedikit viral begini. Agak malu jadinya. Hehehe."
Padahal selfie itu kusiapkan untuk pamer ke teman seangkatan nanti kalau aku sudah akrab dengan Senpai. Tidak kusangka malah jadi viral begini. Lagipula, sepertinya Senpai itu benar-benar menyukaiku ya.
"Ne ne. Boleh minta tolong sebentar?"
"Apa?"
"Lingkarin tanganmu di pinggangku kayak tadi."
"Eh? Kenapa?"
"Sudah~ sudah~, lakukan aja."
Ayashiro-san bahkan tidak menunggu jawabanku, langsung mendekatkan dirinya padaku. Dan terpaksa aku melakukan seperti yang diminta dan melingkarkan tangan di pinggangnya.
Lalu Ayashiro mengeluarkan tongkat selfie dan memo-tret kami dengan smartphone-nya. Dia lalu menunjukkan foto yang sudah diambil.
"Lihat lihat! Bagus kan? Boleh kupakai kan? Kalau nanti ada para cowok bodoh yang cuma modal keren suasana coba merayuku, aku bakal tunjukin ini! Pasti jadi jimat pelindung yang bagus! Fufufu."
Ayashiro-san terlihat senang. Kupikir merusak suasana itu tidak sopan.
"Syukurlah kalau begitu."
"Iya kan. Fufufu. Kalau aku bilang, 'Aku ini teman seks cowok ini lho', semua pasti akan pucat sama gemetar karena terhina ya. Fufu."
"Hentikan! Citraku bisa hancur! Jadikan saja teman biasa! Tolonglah!"
"Eeh~ gimana yaa? Nn~?"
Ayashiro yang terus memprovokasiku ini terlihat meng-gemaskan sesuai usianya. Candaan seperti ini baru pertama kali kualami, rasanya hatiku jadi hangat dan menyenangkan. Tapi itu tidak berlangsung lama.
"Permisi. Boleh ganggu sebentar?"
Terdengar suara manis yang seolah menggema sampai ke inti tubuh dari belakang. Refleks tubuhku terasa bergetar. Saat aku berbalik, di sana berdiri seorang wanita. Wanita yang sangat cantik mengenakan furisode cantik bermotif bunga sakura. Dan jantungku mulai berdebar tidak enak.
"Kamu ini siapa? Kami sedang mengobrol lho?"
Ayashiro memanyunkan bibirnya dan mengeluarkan suara kesal. Wanita yang memakai furisode itu tampak sedikit bingung dengan sikapnya.
"Un, maaf ya. Tapi aku ingin bicara sebentar dengan anak laki-laki di sebelahmu itu."
Wanita itu mengalihkan pandangannya padaku. Wajah-nya memang sangat cantik. Rambut cokelat misterius seperti abu yang membara dengan warna mata yang senada. Warna itu memberikan kecantikan misterius yang anggun sekaligus fana pada wanita ini. Seperti biasa, dia terlalu cantik.
"Eh? Cewek yang ngajak kenalan duluan? Viral sedikit aja hebat juga ya. Sampai wanita secantik ini pun terpancing. Masyarakat modern ini kenapa sih."
"Eh? Bukan, ini bukan ngajak kenalan duluan kok. Ehem! Eeh~ begini. Tokiwa Kanahisa-kun. Sebentar lagi akan ada acara makan-makan untuk antar mahasiswa baru saja. Mau bagaimana? Hari ini kan tidak ada pesta penyambutan, jadi tujuannya untuk membangun koneksi antar sesama (angkatan) tanpa memandang fakultas atau jurusan..."
Kalau kuperhatikan, di arah datangnya wanita ini ada sekelompok mahasiswa baru yang tampan dan cantik. Dilihat dari jarak di antara mereka, sepertinya mereka baru pertama kali bertemu. Tapi mereka terlihat agak bangga. Mungkin ini kelompok yang baru saja dikumpulkan oleh seseorang.
Tim spesial yang isinya hanya cowok tampan dan cewek cantik, menarik tatapan iri dari sekitar. Aku diundang ke tim itu. Dalam arti tertentu, ini suatu kehormatan.
Andai saja di dalam kelompok itu tidak ada si 『Hagiri Hiroto』...!
Tanpa sadar aku mengertakkan gigi gerahamku kuat-kuat. Aku yakin kalau tidak begitu, tubuhku bisa bergerak reflek dan melakukan hal yang tidak terbayangkan. Dan wanita di depanku melanjutkan.
"Nggak bisa ya? Aku ngerti kok kalau kamu bingung diajak tiba-tiba begini. Tapi Hiroto yang ngumpulin acara ini orangnya baik dan peduli, jadi kamu pasti bisa cepat akrab!"
Benar. Wanita di depanku ini memanggil Hagiri Hiroto dengan nama kecilnya. Di masa ini, dia dan pemuda itu adalah teman masa kecil. Rumah mereka bersebelahan, orang tua mereka juga akrab, dan katanya mereka tumbuh seperti kakak beradik.
Mereka memiliki ikatan tak tergantikan karena mengha-biskan waktu dan ruang yang sama di SD, SMP, dan SMA.
Jika dibiarkan begini saja, setelah Golden Week berlalu, mereka berdua akan menjadi sepasang kekasih. Pasangan ideal yang membuat iri semua orang.
Tapi saat ini, mereka masih berteman.
"Itu sih aku paham, tapi kamu ini siapa? Kalau mau ajak orang, perkenalin diri dulu itu lebih baik kan?"
"Ah! Cerobohnya aku! Benar juga ya! Namaku..."
Tidak perlu kau katakan. Karena aku sudah tahu betul. Aku tidak mau dengar. Karena itu akan mengingatkanku pada hal yang tak terlupakan. Aku sudah berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Fakta dia juga kuliah di universitas ini.
"Igarashi Ririse."
Wanita itu mengatakannya dengan senyum lembut. Senyuman itu, dulu pernah kumiliki seorang diri, meskipun hanya untuk waktu yang singkat. Karena gadis ini adalah wanita yang menjadi 'istri'-ku di dunia putaran pertama.
"Hee gitu ya. Salam kenal ya. Aku Ayashiro Himena."
"Himena? Boleh aku panggil Hime-chan?"
"Ogah. Panggil aku Himena-sama."
"Kenapa gadis ini sok hebat sekali! Imut seperti boneka tapi sombongnya kelewatan!!"
Terbawa oleh tempo Ayashiro, 'istri'-ku tertawa ceria seperti biasa. Aku tidak begitu mengenal dirinya di masa ini.
Karena aku hanya melihatnya dari jauh. Aku dan 'istri'-ku baru mulai pacaran beberapa saat setelah lulus kuliah. Dan karena itu, dia terasa seperti wanita asing bagiku.
"Ada apa, Ririse. Sedang kesulitan? Perlu kubantu?"
"Ah, Hiroto! Iyaa, ahaha. Aku agak kewalahan ya. Uni-versitas memang tempat yang luar biasa ya. Penuh orang aneh! Ufufu."
'Istri'-ku menjulurkan lidahnya sedikit dan tertawa lucu. Aku tidak tahu wajahnya yang seperti itu. Aku hanya mengenal 'istri'-ku yang dewasa. Tapi orang yang mengenal 'istri'-ku yang seperti itu sekarang ada di depanku.
"Hai, salam kenal. Aku..."
"Nggak perlu perkenalan diri . Tadi kamu udah berkicau sok hebat dari atas podium kan?"
Ayashiro menatap Hagiri dengan tatapan agak curiga. Hagiri sedikit bingung oleh tekanan tatapannya.
"Berkicau...? Ahaha... Kau ini aneh ya. Ahaha..."
"Iya kan! Makanya aku juga jadi terbawa suasana!"
"Aku jadi paham kenapa Ririse yang bisa akrab dengan siapa saja sampai bingung. Jadi, bagaimana? Kalian. Ayo ikut pesta kecil bersama kami."
Hagiri yang tersenyum segar memang terlihat menarik. Di antara para wanita di sekitar, banyak yang menatap Hagiri dengan pandangan kagum. Bagus ya. Sangat sangat membuat iri ya. Dengan senyum ini dia! Pria selingkuhan ini, telah merebut dan menghancurkan milikku yang berharga!
"Tempatnya udah dipesan kok. Tempatnya sangat cantik, makanannya juga enak lho. Kalian pasti akan menikmatinya! Kalian mau datang kan?"
Beginilah aku bertemu kembali dengan pria yang paling kubenci, dan wanita yang paling kucintai.
*
Situasi yang konyol sekali. Terlalu sibuk dengan debut universitasku, aku benar-benar menyingkirkan 'istri'-ku dan pria selingkuhan itu dari pikiranku. Aku tidak memikirkan apa yang harus kulakukan jika bertemu mereka.
"Hei, kalian jurusan apa?"
Pria selingkuhan di depanku, Hagiri, bertanya sambil tersenyum.
"Aku masuk Fakultas Hukum, Jurusan Pelatihan Profesi Hukum."
Aku terkejut.
Ternyata Ayashiro dari jurusan top di fakultas Soshum. Tapi rasanya cocok untuknya yang sinis dan pintar.
"Hee hebat ya. Di masa depan kau akan jadi elit di antara para elit di universitas kita ya. Kalau gitu, bukankah koneksi antar sesama itu penting? Kalau dibangun dari sekarang, pasti akan jadi aset besar di masa depan."
"Benar juga. Susah untuk menyangkal itu ya."
"Iya kan. Aku juga di Fakultas Kedokteran, tapi kurasa di jaman sekarang kita perlu menguasai lintas fakultas dan jurusan, bukan cuma spesialisasi. Pesta ini untuk itu."
Aku kesal pada Hagiri yang seenaknya pamer fakultas. Pria ini adalah monster yang masuk Fakultas Kedokteran Universitas Kouto, fakultas tersulit dengan standar nilai tertinggi di negeri ini, sebagai peringkat pertama. Puncak elit ujian masuk.
Di Universitas Kouto, saling pamer kekuasaan tipis-tipis berdasarkan nilai ujian umum, nilai ujian mandiri, serta fakultas dan jurusan adalah pemandangan sehari-hari antar mahasiswa. Hal seperti itulah yang benar-benar menyebalkan.
Tapi kupikir bisa dimaklumi jika 'istri'-ku sampai berselingkuh. Antara pekerjaanku dan dokter, kebanyakan wanita pasti akan memilih dokter.
"Oh gitu ya. Jadi calon dokter ya di masa depan. Hebat. Ngomong-ngomong, Tokiwa fakultas apa?"
Benar juga, aku belum memberitahunya. Atau lebih tepatnya, aku tidak mau mengatakannya di depan pria ini. Karena secara hierarki pasti kalah dari Fakultas Kedokteran Jurusan Kedokteran. Mengatakannya di depan Ayashiro pun, di depan 'istri'-ku pun, aku tidak mau. Aku menghela napas sekali.
"Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur."
Sebagai tambahan, aku seorang mengulang setahun. Saat ujian pertama kali, aku mencoba masuk universitas seni tapi gagal, lalu menyerah pada bakat seniku dan masuk jurusan arsitektur.
Karena itu aku tidak mau mengatakannya. Dibandingkan dengan orang yang langsung lulus masuk fakultas kedokteran, rasanya menyedihkan.
"Eh? Bohong! Kebetulan sekali ya! Aku juga jurusan Arsitektur!"
Saat aku sedang murung, 'istri'-ku berkata begitu dengan suara gembira. Lagi-lagi kesalahan fatal. Aku cenderung lupa karena hampir tidak ada interaksi sama sekali dengan 'istri'-ku selama masa kuliah di putaran pertama, tapi dia memang satu jurusan denganku.
"Hee. Ternyata kau satu jurusan dengan Ririse ya. Haha. Teman masa kecilku ini agak ceroboh, jadi tolong bantu dia ya. Ahaha."
"Teman masa kecil? Aku baru denger istilah itu di dunia nyata. Berarti kalian pacaran ya?"
Ayashiro bertanya dengan penuh minat. ...Aku tidak mau mendengarnya.... Secara pribadi, ini adalah pembicaraan yang sangat ingin kututup telingaku.
"Eeh~ bukan begitu kok. Tapi aku menganggap Hiroto sebagai orang yang tak tergantikan lho. Fufufu."
'Istri'-ku menjawab begitu sambil tertawa ceria.
"Ya, aku percaya kalau kami terikat oleh ikatan yang kuat satu sama lain. Ahaha."
Hagiri pun berkata sambil tersenyum segar. Keduanya saling menatap dengan tenang dalam suasana yang entah bagaimana terasa baik. Orang yang tak tergantikan. Ikatan kuat yang telah dibangun. Hubungan yang diprioritaskan di atas pernikahan. Itu kan sudah jelas ya?
Hmm, rasanya tidak adil. Sejak awal aku memang tidak punya kesempatan menang kan.
"Gitu ya. Huuuum. Jadi gitu ya. Semacam 'cadangan' su-paya nggak terluka, laki-laki 'praktis' gitu ya. Aku jadi pengen punya teman masa kecil juga deh. Bikin iri~"
Suasana di tempat itu membeku. Mulut Hagiri tertutup rapat membentuk garis lurus. 'Istri'-ku berhenti dengan tawa tertahan.
"Ti-tidak! Tunggu sebentar! Kenapa kamu bilang begitu!? Hiroto bukan laki-laki 'praktis'!"
'Istri'-ku memanyunkan bibirnya dan memprotes mati-matian pada Ayashiro. Tapi Ayashiro cuek saja.
"Oh ya? Tapi kalian nggak punya hubungan fisik kan? Tapi laki-laki sama perempuan bersama? Mustahil. Seriusan mustahil. Bahkan dengan hubungan fisik aja kadang nggak bisa bersama, apalagi tanpa seks bisa saling mengikat? Aku sih ragu ya."
"Tidak begitu! Persahabatan antara pria dan wanita itu ada!"
"Iya sih ya. Mungkin ada. Artinya bagimu laki-laki itu cuma punya daya tarik yang nggak melebihi persahabatan, dan kamu juga nggak cukup kuat memikirkannya sampai nggak bisa menahan hasrat padanya. Bukannya cinta yang membabi buta yang menciptain ikatan yang benar-benar kuat? Aku mikirnya begitu. Itu nggak lain adalah gejolak emosi kuat yang egois dalam menginginkan pasangan. Misalnya cinta atau nafsu. Hubungan kalian mungkin baik, tapi itu bukan sesuatu yang saling menginginkan dengan hebat. Persaha-batan antar lawan jenis itu nggak lebih dari pelipur lara bagi mereka yang nggak punya nilai untuk saling menginginkan. Perasaan membosankan kayak gitu bukankah cuma sesuatu yang 'praktis'? Bener kan? Kalau saling menginginkan dengan hebat, justru akan saling merepotkan."
Entah kenapa ucapan penuh makna yang sepertinya ada benarnya keluar dari mulut Ayashiro. 'Istri'-ku meletakkan tangan di dahi dan termenung.
"Uuuh... eh... tapi kami selalu bersama dan akrab selama ini..."
"Kalau hubungan kalian goyah cuma karena argumen ngawur dariku, berarti emang cuma segitu aja kan."
Ayashiro meludahkannya dengan dingin. Meskipun aku baru kenal sebentar dengannya, sepertinya dia marah karena candaan kami tadi diganggu. Hal itu benar-benar menghangat-kan dadaku.
"Hentikan penghinaan lebih lanjut itu."
Hagiri berdiri di depan 'istri'-ku seolah melindunginya.
"Ayashiro-san, tadinya aku bermaksud mengundangmu juga ke pesta, tapi tidak jadi. Aku sudah memutuskan untuk melindungi Ririse. Aku tidak mau mengundang orang jahat sepertimu."
"Oh gitu. Padahal aku sendiri nggak minta diundang tau. Mengundang seenaknya terus batalin seenaknya. Sibuk sekali orang ini ya."
Ayashiro berkata begitu sambil membuang muka. Tapi senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Tokiwa-kun. Mungkin ini bukan urusanku, tapi sebaik-nya kamu berhenti berteman dengan orang seperti itu. Orang yang menyakiti orang lain tanpa alasan itu sampah. Tidak ada gunanya berteman dengannya."
Kau yang bilang begitu? Padahal kau sudah merebut istriku? Padahal aku sudah menderita luka seumur hidup dan bahkan kehilangan hidupku?
"Tokiwa-kun. Abaikan saja dia, ikutlah pesta kami. Aku ingin bicara dengan orang dari jurusan yang sama dengan teman masa kecilku yang berharga, dan ini juga demi kebaikanmu."
"Maksudmu gerombolan di belakang sana?"
Aku menatap gerombolan pria tampan dan wanita cantik di belakang Hagiri. Benar-benar kelompok yang keren. Warga kerajaan kaum populer yang dipilih dengan cermat dari setiap jurusan. Pria selingkuhan di depanku ini mungkin raja-nya. Kalau begitu, 'istri'-ku mungkin si ratu ya?
"Benar. Aku mencari orang-orang berbakat dari setiap jurusan dan mengajak mereka. Semua setuju dengan ideku. Mereka adalah teman-teman hebat yang saling membantu dan meningkatkan diri. Orang-orang spesial."
Begitu ya, sifat asli tidak berubah rupanya. Pria seling-kuhan ini terus-menerus menyalahkanku dengan nada seperti ini saat perselingkuhannya terbongkar. Katanya kami tidak sepadan. Katanya dia spesial. Katanya dia berbeda dengan orang 『bawah』 sepertiku.
"Ucapanmu sama sekali tidak mempan padaku. Tidak ada satu pun yang kusetujui. Ayashiro bukan sampah. Memang aneh tapi wanita yang menarik. Dia sangat layak dijadikan teman."
"Ara? Kamu membelaku?"
Aku hanya tersenyum pada Ayashiro. Tapi mungkin hanya dengan itu saja perasaanku sudah tersampaikan pada-nya. Dia balas tersenyum lembut dan mengangguk.
"Lagipula aku ini mantan penyendiri yang mencoba debut universitas. Makanya aku benci sekali gerombolan gemerlap yang sok keren seperti itu. Aku tidak mau melihat riajuu selain diriku sendiri."
Dunia putaran pertama. Sebelum bertemu 'istri'-ku, duniaku tidak berwarna. Wajahku memang tampan, otakku juga encer, tapi kepribadianku sangat buruk. Aku tidak bisa bergaul dengan baik dengan orang sekitar. Makanya aku selalu iri setengah mati pada orang-orang yang selalu terlihat gemerlap. Kupikir lebih baik semuanya hancur saja. Tapi setelah pacaran dan menikah dengan 'istri'-ku, aku tahu bahwa dunia ini adalah tempat yang sangat indah. Aku jadi bisa berhenti membenci kebahagiaan orang lain.
"Dan lagi. Lagipula mereka itu selain modal tampang memangnya punya kualitas dasar apa? Benar tidak?"
Aku yakin. Hagiri mungkin murni memilih berdasarkan penampilan saja, dan di antara mereka semua, orang yang benar-benar pintar mungkin tidak diajak 'bergabung'.
"...Bukan begitu. Mereka punya bakat yang bersinar. Malah, kebetulan saja orang-orang berbakat yang kukumpul-kan itu berwajah tampan atau cantik."
"Kalau begitu, bisa kau bawa salah satu ke sini dan buktikan bakatnya?"
Wajah Hagiri menjadi pucat dan dingin. Dia menatapku dengan tajam. Para pria tampan dan wanita cantik itu adalah pion yang dikumpulkan pria ini untuk menjadi pengikut setianya. Pengikut yang enak dipandang akan membuat raja yang berdiri di atasnya terlihat lebih bersinar. Bakat malah akan mengganggu. Karena bisa saja mereka menendangnya dari takhta.
"Meragukan mereka, jahat sekali kau ini! Padahal kupikir kau orang baik yang berinisiatif menolong orang! Aku kecewa! Aku batalkan ajakan untukmu. Kau tidak pantas menjadi teman kami."
Dia malah marah balik. Artinya tepat sasaran. Mereka itu hanya bagus di luar saja. Aku lebih baik mati daripada menja-di teman orang-orang seperti itu. Itu sama saja dengan kebo-dohan membuang masa mudaku ke selokan.
"Ne, Hiroto."
Di tengah kami yang saling menatap tajam, 'istri'-ku angkat bicara.
"Ada apa, Ririse?"
"Apa yang Tokiwa-kun bilang itu benar? Bukannya kamu bilang kita akan berinteraksi dengan orang-orang hebat yang berbakat di antara mahasiswa tahun pertama?"
'Istri'-ku menunduk dan berkata begitu dengan nada sedih.
"Benar kok. Apa aku pernah berbohong padamu?"
"...Iya ya. Un. Hiroto tidak pernah bohong ya. ...Tapi."
'Istri'-ku mengangkat wajahnya dan menatapku. Mata cokelatnya yang seperti abu membara terlihat sangat indah, dan lembut.
"Ririse? Ada apa?"
"Uun. Nggak ada apa-apa kok. Ayo kita pergi. Kalian berdua jangan bertengkar ya. Sudah hentikan. Hiroto, ayo kembali ke tempat teman-teman. Sudah waktunya kan?"
"Ah, benar juga. Ayo kita pergi. Berurusan dengan orang-orang ini hanya buang-buang waktu."
Hagiri membalikkan badan dari kami dan kembali ke arah teman-temannya.
"...Maaf ya, Tokiwa-kun. Lain kali kita bicara baik-baik ya."
'Istri'-ku tersenyum sedih, lalu berjalan ke arah Hagiri. Dan mereka pun berbondong-bondong pergi dari sana untuk acara makan-makan entah apa itu.
"Ayashiro. Setelah ini, kamu senggang?"
Ketegangan pun langsung hilang dan kata-kata itu keluar begitu saja.
"Senggang sih sampai malam. Malam ini aku ada acara makan malam sama ayah."
"Kalau begitu, mau jalan-jalan denganku sampai waktu itu?"
"Ara! Boleh juga! Mau pergi ke mana?"
"Entahlah. Tergantung suasana dan mood saat itu mung-kin. Ahaha."
"Dasar nggak terencana ya, tapi kedengarannya menarik. Ufufu."
Kami tertawa sambil meninggalkan aula upacara masuk.
Hari itu kami bermain sepuasnya sampai malam. Itu adalah hari yang bisa kukatakan dengan bangga sebagai bagian dari masa muda yang gemerlap.
Post a Comment