Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
Para Penari di Negeri Hantu
Meski aku sendiri yang bilang, aku ini cewek yang merepotkan.
Jawabanku selalu dingin, aku nggak berusaha memahami perasaan orang lain, dan padahal masih SMP, aku malah ngotot pengen hidup mandiri… tapi anehnya, kalau bisa ngobrol sama seseorang, aku malah ngerasa sedikit senang.
Semakin aku menganalisis diriku sendiri dengan tenang, aku makin muak karena sadar betapa ribetnya aku ini. Tapi meski tahu itu, aku nggak berusaha berubah dan malah terus bersikap menyebalkan, jadi makin nggak ada harapan.
Pasti buat Maiori-kun juga, menghabiskan waktu dengan cewek kayak aku ini membosankan. Waktu itu cuma iseng. Dia pasti nggak akan lagi buang waktu istirahat siangnya buat aku… pas aku mikir kayak gitu, bagian dalam dadaku terasa sedikit nyeri karena kesepian.
"Hei, Kurosaki-san, besok juga ada latihan, mau nari bareng lagi?"
Pas aku mikir kayak gitu, dia malah datang tiap hari. Beneran tiap hari.
Mungkin bilang "nggak kapok-kapok" itu agak kasar, tapi tiap kali jam istirahat, Maiori-kun datang dari kelas sebelah dan makan siang bareng aku. Ujung-ujungnya dia juga selalu ngajak aku ke ruang latihan dansa, dan teman sekelas pun sudah terbiasa ngelihat itu seolah itu hal biasa.
Awalnya aku ngerasa sedikit senang, tapi lama-lama muncul pertanyaan di kepala: kenapa?
Dia cuma orang yang baru sedikit berinteraksi denganku. Aku dingin, sikapku kasar, dan nyebelin—kenapa Maiori-kun tetap menghabiskan waktu buat aku?
Apa mungkin…Aku memberanikan diri untuk bertanya kemungkinan yang agak memalukan.
"…Hei, apa jangan-jangan, Maiori-kun suka sama aku?"
"Hah?"
Maiori-kun langsung ngeluarin ekspresi "nih cewek ngomong apa sih?"
Rasanya agak nyesek.
"Ah, enggak! Maksudku, aku bukannya benci kamu, ya! Cuma, ya… kita kan baru kenal, jadi kalau dibilang suka atau gimana, hmm…"
Dia malah ngasih penjelasan setengah hati yang bikin makin malu. Berhenti, sumpah, malu banget.
Kayaknya dugaan soal dia suka aku itu cuma khayalan konyolku sendiri.
Mukaku langsung merah padam, bahuku gemetar, dan aku ngomong dengan nada sebal.
"Kalau gitu… apa sih yang kamu mau, sampai repot-repot ngajak cewek seribet ini?"
Pas aku ngomong gitu, Maiori-kun keliatan mikir sebentar.
"Mm, emang sih, Kurosaki-san itu nyusahin…"
Hey, bisa nggak milih kata yang lebih halus? Ini cewek yang kamu omongin, tahu!
Aku melotot ke dia, dan dia bilang dengan ekspresi agak malu.
"Sebenernya… aku tertarik sama tubuhnya Kurosaki-san."
Aku langsung nyeret kursi menjauh darinya dengan suara zuzuzuzuzu.
"Ah, bukan gitu maksudnya!"
Sepertinya dia sadar kalau pilihan katanya salah pas liat reaksiku. Dia buru-buru memperjelas satu-satu sambil hati-hati milih kata.
"Waktu kamu datang ke ruang latihan tempo hari, aku lihat kamu latihan peregangan sama dasar-dasarnya. Postur tubuhmu stabil, gerakannya halus dan rapi, sampai ujung jarimu pun lurus. Kamu juga punya stamina, otot intinya kuat, dan otot pendukung gerakanmu juga terlatih. Itu semua kelihatan jelas."
"…Terus?"
"Jadi, hmm, gimana ya bilangnya… mungkin ini terdengar samar, tapi… aku merasa kamu itu orang yang berusaha keras. Yah, memang siapa aku juga sok banget sih ngomong gitu."
"…Hmm."
Maiori-kun kayaknya ngerasa itu komentar yang lancang, tapi aku justru senang. Hal-hal kecil semacam itu—usaha yang nggak kelihatan—kalau ada yang nyadar dan bilang langsung kayak gini, ya tetap aja senang rasanya.
…Ternyata dia cukup memperhatikan juga, ya, meskipun aku sendiri cuma bisa komentar dalam hati, "siapa juga kamu?"
"Terus, maksudmu apa?"
Aku bertanya lagi sambil kesal sama diriku yang tetap nggak bisa ngomong manis.
Maiori-kun masih garuk-garuk kepala sambil jawab dengan malu-malu.
"Makanya, kalau bisa nari bareng orang yang berusaha keras kayak kamu, pasti menyenangkan."
"……"
Entah kenapa, dari lubuk hati yang paling dalam, aku menghela napas panjang.
Orang ini memang cuma polos. Dia cuma suka menari, dan menjalani hal yang menyenangkan sepenuh hati dengan jujur.
Aku jadi merasa bodoh karena terlalu curiga.
Bikin benteng dalam hati itu melelahkan. Maiori-kun juga bukan tipe yang peka, jadi sikap dinginku atau perasaanku pun pasti nggak bakal dia sadari.
Jadi, ya.
Bukan karena aku nyerah karena dia terus-terusan ngajak, tapi lebih karena aku mau minta maaf atas semua kata-kata kasar, dan juga berterima kasih karena udah datang setiap siang. Aku susun alasan-alasan itu rapi, buat menenangkan hati yang keras kepala ini, dan akhirnya aku berhasil memaksa diriku untuk bilang:
"…Latihan berikutnya, kapan?"
"Eh?"
"Hari latihannya. Aku mau nemenin, gitu."
"Serius!?"
Padahal aku ngomongnya kayak orang ngambek, tapi ekspresi Maiori-kun bener-bener kelihatan senang.
Aku jadi pengen nimpuk diriku sendiri yang malah ikut senang cuma gara-gara itu. Dasar simpel.
***
"…Ngh."
Aku tiba-tiba terbangun, dan cahaya terang dari lampu belajar langsung menyilaukan mataku.
Cahaya yang menyengat itu seolah membakar retina, dan kesadaran langsung kembali seketika karena terkejut.
Ruangan yang gelap. Aku duduk menghadap meja. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku mulai menyadari situasinya.
"Ah, aku ketiduran ya…"
Di atas meja, ada buku catatan yang terbuka, penuh dengan coretanku sendiri tentang analisis tari dalam Non-Gifted Musical, seperti yang dilakukan para tokohnya. Beberapa bagian ternoda air liur, tapi… masih bisa dibaca, jadi seharusnya nggak masalah.
Saat aku menoleh ke belakang, kulihat Yuuma tidur dengan posisi rapi di atas futon yang dibentangkan di atas tatami.
Tidurnya lurus sempurna, dengan tangan menempel di sisi tubuh—mirip posisi ‘siap’. Aku jadi ingat mumi yang dipamerkan di pameran Mesir waktu kegiatan sekolah dulu.
"…Eh, nggak, nggak. Jangan dibandingin."
Sambil berbisik agar tidak membangunkan Yuuma, aku mengalihkan pandangan kembali ke meja.
Di samping buku catatan ada ponselku, layarnya masih menyala dan menampilkan adegan dari Non-Gifted Musical yang terhenti dalam keadaan jeda.
Benar, aku memang sedang mengulang-ulang bagian ini karena tidak paham langkah-langkahnya.
"…Setiap gerakannya besar. Mungkin supaya bisa terlihat jelas dari tempat duduk penonton yang jauh? Gerakannya lentur, kuat, tapi juga penuh semangat... Dalam hal genre, ini paling mirip balet atau jazz dance, ya."
Aku bergumam pelan, mencoba merapikan pikiranku sendiri.
Yang penting bukanlah meniru segalanya dengan sempurna, tapi bagaimana membawa citra dari anime ke dalam bentuk tarian di dunia nyata.
Karena berasal dari dunia dua dimensi, ada banyak gerakan dalam video animenya yang tidak mungkin dilakukan oleh otot atau sendi manusia. Tapi kita tidak harus menirunya semua. Tarian punya banyak cara untuk diekspresikan. Kalau ada bagian yang kurang, kita bisa tutupi dengan kreativitas. Yang penting adalah bagaimana menyampaikan karakter tanpa menghancurkan citra keseluruhan dari anime itu…
"Ya, aku masih bisa lanjut."
Sambil mendengarkan suara lembut pepohonan yang bergoyang ditiup angin malam, aku kembali menulis di buku catatan.
Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku menyusun koreografi tarian?
Rasa kantuk mulai menarik kesadaranku, tapi aku mengabaikannya dan terus berpikir.
Tak apa, ini masih sepele. Lagipula aku sudah tahu caranya berjuang sejak lama.
***
…Dan aku baru terbangun lagi saat merasakan kehadiran seseorang di dekatku.
"Hmm, ini langka sekali. Bisa melihat wajah tidurmu, Ruu-kun."
Saat membuka mata sedikit karena suara yang sudah kukenal itu, aku melihat Seira dan Nowa sedang menatap ke arahku dari atas. Mereka memakai yukata rumah penginapan.
Meskipun motifnya tidak terlalu mencolok, tampilan lembut dan anggun mereka cukup mencuri perhatianku bahkan dalam keadaan baru bangun. Bisa dibilang, aku terpikat.
Kelopak mataku berat dan pikiranku masih buram. Saat aku mencoba memahami situasi dengan pikiran yang belum jernih... sepertinya mereka mengira aku masih tertidur dengan mata setengah tertutup.
"Apakah itu sesuatu yang langka?"
"Ya, biasanya aku yang dibangunkan oleh Ruu-kun. Jadwalnya begini: jam tujuh lima belas kamu memanggilku dari luar kamar. Karena aku nggak bangun, jam tujuh dua puluh kamu mengetuk pintu. Tapi karena aku tetap nggak bangun, jam tujuh dua puluh lima kamu masuk dan membangunkanku langsung. Tapi aku tetap tidur lagi, jadi jam tujuh tiga puluh kamu datang lagi buat membangunkanku. Setelah itu, kita buru-buru siap-siap untuk ke sekolah. Begitulah rutinitas pagi antara aku dan Ruu-kun."
"Setidaknya minta maaflah pada Ruto."
Benar juga sih. Tapi ya, minta maaf saja tidak cukup. Setidaknya beri ucapan terima kasih juga.
Kalau memang tahu sampai sedetail itu, bisakah bangun di panggilan pertama saja?
"Ngomong-ngomong, Nowa, lihat ini. Wajah tidur Ruu-kun memang menarik, tapi lihat juga perutnya. Menarik, bukan?"
"Ugh, itu sih… benar juga…"
Mendengar nada suara Seira dan Nowa yang sedikit gugup, aku jadi sadar dengan situasiku sendiri.
Setelah begadang memikirkan koreografi semalam, aku langsung rebahan di futon dan tertidur. Karena itu, entah karena posisi rebahan atau karena berguling, yukata penginapan yang kupakai terbuka, memperlihatkan bagian perutku.
Pagi di pegunungan cukup sejuk, dan udara dingin menyentuh kulit yang terbuka.
Panggung pertunjukan sudah dekat, jadi aku harus menghindari masuk angin. Aku buru-buru ingin membetulkan yukata… tapi di saat itu, muncul niat jahat kecil.
Bagaimana kalau aku terus pura-pura tidur? Kira-kira mereka akan bereaksi seperti apa? Pikiran ini muncul tanpa alasan kuat, hanya sekadar keisengan karena setengah sadar.
Dari percakapan mereka, sepertinya Seira dan Nowa memang tertarik dengan perutku. Meski bukan sesuatu yang layak dibanggakan, otot perut yang kulatih untuk menari lumayan terlihat jelas.
Aku tidak punya keinginan pamer tubuh atau semacamnya, tapi akan jadi bohong kalau bilang aku tidak merasa apa-apa saat dua gadis cantik terus menatap perutku.
Jadi ya, sedikit rasa ingin tahu dan harapan kecil—aku terus berpura-pura tidur, menunggu reaksi mereka… lalu,
"Nowa, kau tahu soal kebiasaan hidup pillbug?"
"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"
Aku juga ingin tahu. Sungguh.
Aku hampir saja buka mulut untuk melontarkan komentar karena Seira mendadak bicara hal yang aneh banget.
"Pillbug kalau melewati serangkaian belokan, punya kebiasaan untuk berbelok ke kanan, lalu kiri, lalu kanan, secara bergantian. Itu disebut reaksi pergantian bergantian. Seperti ini contohnya—"
Sambil berkata begitu, Seira mulai menggerakkan jarinya di sepanjang garis otot perutku.
Dengan menganggap garis-garis ototku sebagai belokan, ia menggerakkan jarinya ke kanan dan kiri, membuat sensasi geli menjalar.
Di tengah kuliah dadakan soal pillbug ini, kupikir Nowa pasti akan muak… tapi ternyata—
"U-uh, begitu, ya… kayak gini, maksudnya…?"
Tanpa disangka, dia juga ikut-ikutan. Nowa juga menggerakkan jarinya menyusuri otot perutku seperti Seira.
Sentuhannya ragu-ragu. Ujung jarinya menyusuri perutku perlahan seolah mencari sesuatu, dan wajahnya memerah. Cara dia menyentuhku yang terlalu hati-hati itu justru terasa membuatku gatal karena gemas.
Tapi... ya, gimana ya.
Walaupun yang menyentuhku adalah dua gadis cantik, Seira dan Nowa, aku tidak merasakan getaran apa-apa. Biasa aja, seperti danau tenang tanpa riak.
Dan saat aku bertanya dalam hati kenapa bisa begitu, jawabannya langsung muncul.
Pertanyaan: Kenapa tidak ada debaran saat disentuh oleh gadis-gadis cantik?
Jawaban: Karena aku sedang dijadikan media pembelajaran buat menjelaskan kebiasaan pillbug.
"........"
Namun, begitu jari Seira menyentuh pusarku, tubuhku langsung bereaksi dengan kejutan refleks yang membuat punggungku melenting.
Entah karena melihat reaksiku itu atau apa, Nowa pun ikut-ikutan menyusupkan jarinya. Kedua telunjuk mereka mulai mengaduk-aduk pusarku dengan suara kuchikuchi... Entahlah, sulit dijelaskan dengan kata-kata, tapi ada sesuatu yang benar-benar tidak baik terasa muncul dari dalam tubuhku.
Aku tidak tahan lagi dan, hampir seperti refleks, langsung mencengkeram pergelangan tangan mereka berdua.
Melihatku tiba-tiba bergerak, Seira dan Nowa tampak kaget. Dengan mata setengah terbuka, aku menatap mereka sambil berkata,
"…Kalian lagi ngapain?"
"Mainin perut kamu."
"…Kalau begitu, tolong tunjukkan sedikit rasa malu, setidaknya."
Padahal, malam sudah berganti menjadi pagi.
Memang benar mereka ‘menyerang saat aku tidur’, tapi semua hal lainnya salah.
Meski aku sudah bangun, Seira dan Nowa masih mencoba memaksa jarinya kembali ke pusarku sambil mendorong tanganku. Dasar... mereka benar-benar sudah tak tahu malu.
Akhirnya aku pun melawan, dan pagi-pagi buta kami malah terlibat dalam pertarungan tarik-menarik yang absurd.
Pertarungan sia-sia itu berakhir ketika Yuuma datang memanggil kami untuk sarapan.
Setelah menikmati sarapan di penginapan, kami berjalan menuju taman hutan yang tak begitu jauh dari sana.
Cuacanya cerah. Sinar matahari yang lembut terasa hangat, dan angin musim gugur yang berhembus di antara pepohonan sangat menyegarkan. Jalan setapak yang menanjak—sesuatu yang jarang ditemui di Tokyo—terasa menyenangkan, dan setiap kali kami menemukan tempat dengan pemandangan bagus, kami berhenti sejenak untuk menikmati dedaunan yang berubah warna. Karena itulah, meski hanya menuju taman di tengah gunung, kami menghabiskan waktu cukup lama.
"Wow, festivalnya sudah hampir jadi, ya," seru Seira dengan suara penuh semangat saat kami baru memasuki taman.
Deretan lapak festival sudah berdiri. Lentera festival menggantung di berbagai tempat, dan suasana bising yang seolah siap mengalunkan musik festival bisa terasa. Meski belum sepenuhnya selesai, dan lentera belum menyala, hanya dengan melihat pemandangan ini saja sudah cukup untuk merasakan atmosfer festival.
Taman hutan ini adalah tempat digelarnya Festival Momiji Sasafu.
Kami datang ke sini bukan hanya untuk latihan menari, tapi juga untuk melihat langsung panggung yang akan digunakan saat pertunjukan di akhir pekan nanti.
"Kalau begitu, Ruto, aku akan pergi menanyakan beberapa hal ke panitia soal panggung, ya."
"Kau yakin bisa diandalkan?"
"Fufu, memangnya kau pikir aku ini siapa?"
"Seorang otaku tingkat tinggi yang bisa merasakan gelombang romcom dari kejauhan."
"Itu pujian, tahu?"
Yuuma tersenyum dan berjalan menuju tenda yang tampak seperti pusat operasional panitia.
Meski sempat mengeluh, aku percaya pada Yuuma. Dia punya kemampuan bersosialisasi dan cukup pintar. Dia pasti bisa mengumpulkan semua informasi yang kami butuhkan. Setelah melepas kepergian teman yang bisa diandalkan itu, kami pun berpindah ke tempat yang agak terbuka dan cukup luas untuk menari.
"Kalau begitu, ayo kita mulai. Kau bawa buku catatan koreografi yang kuberikan tadi pagi?"
"Tentu saja."
Nowa mengeluarkan buku catatan yang tadi pagi aku serahkan padanya.
Di bawah langit biru, ponytail Nowa berkibar saat ia mengenakan pakaian dansa yang nyaman dan mudah bergerak.
Atasannya kaus pendek, bawahannya celana ketat panjang berwarna hitam dipadukan dengan celana pendek. Meski simpel, kombinasi itu terlihat kasual dan modis.
Saat menari, perasaan juga penting. Memakai pakaian favorit bisa mempengaruhi semangat. Aku pun hari ini memakai sneakers favoritku.
"Isi buku itu adalah koreografi yang kupikirkan dan buat semalam. Aku coba sesuaikan dengan isi anime, suasananya, dan perasaan karakternya. Tapi karena belum pernah dicoba langsung dengan irama lagu, masih banyak yang bisa dikembangkan. Kalau ada bagian yang terasa aneh, bilang saja."
Sambil mendengarkan penjelasanku, Nowa membolak-balik halaman buku catatan itu.
Mungkin terlihat kuno menulis dengan tangan di zaman sekarang, tapi aku belum bisa lepas dari cara manual ini. Nanti mungkin aku akan belajar metode yang lebih efisien, tapi untuk sekarang, biarlah aku tetap memakai cara lamaku.
"Kau menyusun ini cuma semalam?"
"Ya, kenapa?"
"Ruto emang selalu jadi maniak kalau urusannya soal dansa."
Kasar banget komentarnya.
Aku sempat memelototinya dengan tatapan kesal, tapi Nowa cuma tertawa sambil tersenyum. Kesal juga rasanya, jadi aku pun menoleh ke Seira yang berada agak jauh dariku.
"Seira, kalau kau lihat ada hal yang mencolok atau aneh, bilang saja. Sekecil apa pun."
"Aku ini bukan orang yang paham dansa, nggak masalah?"
"Justru itu bagus. Pandangan dari sisi lain juga penting. Terlebih lagi, kau kan penggemar anime aslinya. Aku ingin tahu bagaimana kesan orang yang suka animenya saat melihat koreografi ini."
"Kalau begitu, serahkan padaku. Non-Gifted Musical alias ‘Non-Gifu’ adalah salah satu karya favoritku juga. Aku punya fanbook resminya. Atas nama semua penggemar, mataku yang jernih akan mengawasi tarian kalian. Terutama bagian tubuh Nowa yang sehat dan agak erotis seperti lengan atas atau pahanya!"
"Matamu sudah keruh karena nafsu, tahu!"
Mata Seira memang berbinar, tapi kata-katanya benar-benar dipenuhi nafsu.
Yah, soal itu sih… aku bisa paham kenapa dia terpikat dengan tubuh Nowa.
Tubuh Nowa yang rajin berolahraga benar-benar proporsional, menampilkan keindahan bentuk yang sehat dan lentur. Seperti yang Seira bilang, lengan dan pahanya memancarkan daya tarik yang bisa dibilang menyilaukan—"Jangan lihat dengan tatapan cabul begitu, dasar mesum."
Ups, aku terlalu lama menatap. Aku langsung batuk kecil untuk mengalihkan perhatian.
Sambil mengganti topik, aku melempar pertanyaan ringan pada Seira.
"Kalau soal singkatan anime, siapa sih yang nentuin namanya?"
"Ada yang ditentukan resmi oleh pihak studio, tapi ada juga yang tiba-tiba populer dari singkatan yang dipakai netizen. Nggak ada aturan pasti, sama seperti nama panggilan orang. Yang penting itu mudah diucapkan. Kayak waktu dulu Ruto memanggilku, ‘Seira-tan~♡’."
"Itu memori siapa dan dari dunia paralel mana?"
Penjelasan Seira yang awalnya sempurna itu langsung rusak gara-gara mengada-ada di akhir.
Dan baru sekarang, aku sadar—aku malah memperhatikan pakaian Seira.
Pakaian Seira, sejenis yoga wear, adalah atasan ketat dan modis yang menonjolkan bentuk tubuh. Bagian bawahnya celana jogger dari bahan sweatpants yang tampak nyaman untuk bergerak.
Pakaian itu benar-benar memperlihatkan betapa proporsionalnya tubuh Seira. Tak bisa disangkal kalau penampilannya sangat cocok—tapi entah kenapa, rasanya seperti dia hendak pergi olahraga ke pusat kebugaran, dan aku sedikit heran karenanya.
"Yah, soalnya aku kepikiran buat ikut menari sedikit. Meskipun nggak bisa selevel kalian berdua, Ruto dan Nowa, tapi di Non-Gifu juga ada tarian pendek yang sempat viral di media sosial, yang gerakannya lebih pop dan gampang ditiru."
Mungkin dia membaca isi pikiranku. Sambil menyibakkan rambut yang terjuntai di telinganya, Seira menjelaskan.
"Kenapa tiba-tiba tertarik begitu?"
"Aku ini model, ingat? Meski hype-nya udah agak turun, tetap saja hal-hal yang lagi tren harus diikuti. Media sosial juga bagian dari kegiatan seorang model."
Alasan yang cukup masuk akal. Tapi aku sempat melihat mata Seira bergetar sedikit.
"Alasan sebenarnya?"
"...Aku dapat kiriman beberapa donat baru dari toko donat yang aku jadi model iklannya. Itu… itu benar-benar iblis. Bom kalori. Kategori deep-fried sweets itu selalu penuh dengan hasrat dan godaan."
"Jadi intinya, kau makan kebanyakan dan sekarang mau olahraga buat nebus dosa."
"Bukan salahku! Makanan enak itu pasti penuh gula dan lemak!!"
Kalimat itu terdengar seperti kutipan bijak sekaligus pembelaan yang sangat lemah.
Matanya berkeliaran ke sana ke mari, entah karena rasa bersalah karena tak bisa menahan diri, atau karena merasa berdosa ingin menari hanya karena alasan sepele begitu. Padahal seharusnya dia tidak perlu malu. Tapi wajah teman masa kecilku yang kulihat dari dekat itu tampak agak canggung dan bersalah.
"Menurutmu… apa aku terlalu nggak serius, ya? Menari karena alasan begini."
"Nggak. Sama sekali nggak."
Aku menatap mata Seira dan menjawab tegas. Alasan itu nggak penting. Yang penting adalah kenapa seseorang ingin memulai. Apapun itu, semua sah.
Ingin gerak-gerak sedikit. Ingin menurunkan berat badan sambil bersenang-senang. Ingin jadi sorotan. Ingin jadi populer. Ingin ikut tren. Ingin viral di medsos.
Semua orang pasti mulai dari alasan-alasan sederhana seperti itu.
Aku juga begitu. Alasanku mulai menari adalah karena aku kagum melihat penari di TV—alasan yang sangat kekanak-kanakan. Ya, waktu itu aku memang masih anak-anak.
Langkah awal itu, apapun bentuknya, nggak pernah salah.
"Aku bakal senang kalau Seira mulai suka menari."
"…."
Baru beberapa waktu lalu aku malah menghindari dunia tari, jadi ucapan ini mungkin terdengar munafik. Tapi kali ini, aku benar-benar jujur. Kata-kata itu keluar begitu saja, tulus dari hati.
Kalau suatu hari aku bisa menari bersama Seira—pikiranku yang melayang terlalu jauh itu membuatku tersenyum. Aku merasa geli dengan betapa mudahnya aku bahagia, dan malah tersenyum lebih lebar.
"…Ya, tetap saja… aku suka."
"Suka? Maksudmu, suka nari?"
"Fufu, anggap saja begitu. Lagipula, Ruto itu lamban."
"…?"
Dengan senyum nakal seperti gadis kecil yang tahu cara menggoda, Seira meletakkan jari di bibirnya. Ucapannya sengaja dibuat kabur dan samar, tapi melihat sorot matanya yang lembut, aku merasa enggan untuk menggali lebih jauh.
Aroma manis yang lembut tercium samar. Rambut emas Seira tertiup angin musim gugur, bersinar seperti bintang dengan latar merah daun momiji…
"Ruto, aku sudah hafal bagian intro. Untuk pemanasan, kita mulai dari situ dulu… Ruto?"
"......!"
Patan. Suara buku catatan yang ditutup oleh Nowa membawaku kembali ke dunia nyata. Teman sekelasku dengan ponytail itu menatapku sambil memiringkan kepala.
"Kau kayak… ngelamun ya tadi?"
"Enggak, nggak ada apa-apa."
Aku menggeleng pelan sambil berusaha menampilkan ekspresi normal seperti biasa.
Itu hampir saja bahaya. Yah, bukan bahaya sebenarnya, tapi aku nggak mau sampai mereka tahu aku sempat terpesona menatap Seira. Dengan sadar aku menegangkan otot wajah, mencoba menahan gejolak di dada. Tapi dari sudut mata, aku bisa melihat Seira tersenyum geli.
Senyum yang seperti bisa membaca pikiranku itu membuat rasa malu meletup di dalam dada.
Walau berusaha menutupinya, panas yang membara itu tetap terasa menyebar ke seluruh tubuh.
"Ruto, mukamu merah, tahu?"
"…Yah, kan ini musim momiji."
"Kau itu daun, Ruto?"
Nowa menatapku dengan pandangan curiga karena komentar ngasal yang kukeluarkan sambil menoleh menjauh. Untuk menyembunyikan rasa malu, aku mulai melakukan pemanasan. Nowa, meski masih terlihat bingung, akhirnya ikut-ikutan menggerakkan tubuhnya.
Kali ini, kami tidak saling mengolok atau bercanda.
Karena pencegahan cedera adalah hal yang sensei ajarkan dengan sungguh-sungguh pada kami. Itu sudah tertanam dalam hati, dan bagi kami, pemanasan sebelum menari adalah momen yang hampir sakral.
"Ngomong-ngomong—"
Seira, yang sedang meniru gerakan pemanasan kami, tiba-tiba bertanya.
"Ruto dan Nowa nggak kedinginan pakai baju begitu?"
Bukan pertanyaan, lebih seperti nada khawatir. Memang benar, pakaian kami jauh lebih tipis dibandingkan pakaian Seira. Bahkan perut Nowa sedikit terbuka karena model pakaiannya. Udara pegunungan di bulan Oktober ini dingin, dan angin yang bertiup bisa membuat kulit terasa menggigil.
"Kalau jujur sih, iya, agak dingin."
"Aku juga lumayan kaget karena ternyata cukup sejuk."
"Kalau begitu, mau aku ambilkan jaket ke penginapan? Anggap saja jogging ringan, jaraknya nggak jauh."
Aku menghargai perhatian Seira, tapi aku menggeleng dan menolak tawaran itu.
"Nggak perlu, nggak usah repot."
"Betul, cukup niat baikmu saja. Terima kasih ya."
Seira menatap kami seolah bertanya "Kenapa?", dan aku serta Nowa menjawab serempak:
"Karena nanti juga bakal kepanasan."
***
"Nowa, temponya agak lambat. Dengerin musiknya lebih fokus."
"Hmph, Ruto juga, gerakan tanganmu kasar. Fokusmu terlalu ke ritme, jadi dancenya jadi asal. Coba deh sesuaikan sama aku."
"Gerakanku emang dibuat besar. Kau lihat sendiri panggungnya, kan? Penonton posisinya jauh, jadi kalau nggak dibuat mencolok, nggak bakal kelihatan."
"Jadi maksudmu detail nggak penting? Salah! Penari itu harus sadar penuh mulai dari ujung jari sampai rambut yang melambai!"
"Oh ya? Kalau begitu, senyummu itu keras banget. Otot wajahmu udah sadar belum tuh?"
"Itu senyum? Maksudmu itu senyum? Jangan-jangan kau mikir kalau nggak senyum itu keren? Lagi puber? Puber ya kamu!?"
Dari speaker kecil yang terhubung ke ponsel, terdengar alunan anisong berirama cepat.
Saling lempar komentar yang bernada kasar itu terdengar layaknya sorak-sorai semangat satu sama lain.
Meski saling menyindir, keduanya tetap terus menari. Langkah-langkah kecil tapi gerakan tetap mencolok, kaki-kaki mereka menghentakkan irama dengan berani, menyatu dengan beat dalam musik.
Putaran dengan tumpuan kaki, pandangan yang bergeser ke samping.
Dan di tengah gerakan itu—Pandangan kami bertemu, aku dan Nowa yang menari di belakang serong.
――Hanya segitu?
――Jangan mimpi.
Hanya dengan tatapan yang bersilang sekejap dan senyum licik yang terukir, kami saling melontarkan tantangan tanpa sepatah kata pun.
Sulit bernapas. Kakiku yang lelah memohon istirahat. Tapi dorongan menyedihkan itu tertelan oleh emosi yang jauh lebih besar. Aku tak mau kalah.
Nowa adalah partner yang bisa diandalkan, teman penting yang benar-benar aku hormati.
Justru karena itulah—karena dia yang paling dekat, karena dia yang paling sering menari bersamaku selama ini— Aku tak mau kalah darinya. Aku tak ingin menunjukkan sisi lemahku.
Aku ingin selalu terlihat kuat, ingin menunjukkan bahwa aku adalah partner yang bisa diandalkan.
Perasaan kekanak-kanakan itulah yang jadi bahan bakar gerak tubuhku. Membuatku tetap berdansa.
Aku tahu ini kekanak-kanakan. Tahu juga bahwa ini cuma semacam nafsu tanding yang konyol. Tapi inilah bentuk hubungan kami, bentuk tarian dari "Ruto" dan "Nowa".
"Haa… haa… haa…"
Di akhir lagu, tepat saat musik berhenti.
Napas kami pun berpadu, seirama hingga ke iramanya. Pasti bukan kebetulan. Karena kami terus menari mengikuti irama, tubuh kami jadi terbiasa dengan ritme itu.
Paru-paruku menginginkan oksigen, keringat menetes di pipi, dan kakiku terasa berat seolah kembali teringat pada gravitasi.
Tapi jatuh terduduk terasa seperti kalah, jadi aku bertahan dengan tekad.
Di sebelahku, Nowa juga diliputi keringat, tapi tetap tersenyum penuh semangat.
"Hah… Hebat juga kau, Nowa."
"Kau juga. Padahal habis vakum cukup lama, tapi tetap bisa seperti itu."
Plak—kami saling menepukkan tangan.
Di bawah langit musim gugur yang cerah, terdengar bunyi yang bersih dan menyenangkan.
Dalam dunia tari, menang kalah itu memang ada, tapi bukan segalanya.
Keinginan untuk menari lebih baik dari orang lain tentu ada. Kalau melihat orang yang menari lebih hebat dari diriku, aku pun merasa iri.
Tapi tetap saja, yang paling penting adalah tidak melupakan kesenangan saat menari. Dan untuk itu, kita harus selalu punya rasa hormat pada partner yang menari bersama.
Kedengarannya mungkin biasa saja, tapi aku selalu ingin percaya bahwa semua penari adalah rival sekaligus teman seperjuangan.
"Kalau begitu, ayo kita cek bagian tadi."
"Ya. Masih banyak yang kurang sih, tapi bagian sebelum reff itu kita agak ketinggalan. Jadi kita fokus ke sana ya."
Namun sebelum itu, Nowa bilang akan ambil air minum dan pergi menuju ransel yang diletakkan di satu tempat.
Poni hitam yang dikuncirnya berayun tertiup angin musim gugur, dan aku tanpa sadar menatap keindahan rambutnya seperti anak kucing yang tertarik pada mainan. …Bukan waktunya untuk bengong. Aku menggeleng pelan, lalu bicara ke Seira yang berdiri sambil memegang ponsel, merekam kami.
"Gimana? Terekam dengan baik?"
"...Ah, ya, kurasa tidak ada masalah."
"Maaf ya, tiba-tiba minta tolong buat rekam segalanya."
"Bukan masalah… Tapi, bagaimana ya…"
Seira tampak… bukan kaget, tapi lebih seperti melongo, lalu bertanya dengan ragu-ragu.
"Itu tadi, maksudku… kalian sangat heboh. Terus terang banget saat ngomong satu sama lain."
"Oh, itu memang gaya ajaran sensei kami. Guru yang ngajarin kami nari."
"Ajaran? Maksudmu?"
"Kalau ada perasaan, salurkan. Jangan simpan kata-kata di dalam hati. Kalau perlu bertengkar, ya bertengkarlah. Dan lalu—"
"—Tumpahkan semua itu ke dalam tarianmu."
Suara penuh semangat datang dari belakangku, menyelesaikan kalimatku. Saat aku menoleh, Nowa berdiri di sana sambil menyodorkan botol minum.
"Kami sudah mendingan sekarang. Dulu sih parah, nggak tahu mana yang sebaiknya diucapkan dan mana yang tidak, jadi kadang ngomong hal-hal yang seharusnya nggak diomongin juga."
"Benar juga. Kita sampai pernah debat soal makanan kesukaan, anjing vs kucing, dan hal-hal nggak penting lainnya."
"Dan sampai sekarang pun aku tetap nggak terima soal itu! Kucing itu manja dan menggemaskan!"
Aku menerima botol minum dari Nowa yang mendengus kesal.
Aku tak berniat memuji masa-masa penuh pertengkaran itu, tapi aku yakin, karena masa itu lah kami bisa benar-benar jadi partner.
Kedengarannya mungkin sok tahu, tapi aku dan Nowa memang keras kepala. Kami sama-sama orang yang sulit mengubah pendirian kalau sudah punya tujuan atau sesuatu yang ingin dicapai.
Faktanya, kami masih bisa berdiri dan menari bersama karena tujuan kami mirip. Karena kami telah saling bertabrakan dengan keras, tapi tetap bisa berdiri berdampingan.
Kalau dipikir-pikir, mungkin itu adalah keberuntungan yang nyaris seperti keajaiban… Atau itu terlalu dramatis?
"...Iri, ya. Hubungan kayak gitu."
Tiba-tiba. Sebuah suara terdengar seperti tumpahan isi hati yang tak bisa dibendung. Aku menoleh.
Seira menatap ke arah kami dengan senyum… tak sepenuhnya bahagia. Seperti seseorang yang melihat langit malam yang indah namun tak bisa digapai. Aku menatapnya heran.
"Seira? Tadi kamu dengar obrolan kami?"
"Dengar, kok. Katanya Nowa cocok pakai kuping kucing, kan?"
"Tidak satu pun bagian itu yang benar."
Komentar usil Seira langsung disambar Nowa yang kesal.
Senyum Seira yang sok imut itu terlihat seperti biasa, tapi sekelebat ekspresi bening tadi sudah tak terlihat.
Apa aku cuma salah lihat?
Aku masih merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi aku tak punya cukup alasan untuk bertanya lebih jauh. Jadi aku mengalihkan perhatian dan mulai memutar rekaman video tarian kami bersama Nowa.
"Seira, ada bagian yang menurutmu kurang pas? Hal kecil pun nggak masalah."
"Hal yang kurang, ya… Hmm, kalau berdasarkan perasaanku sih, dibanding biasanya, tarianmu kali ini terasa agak terburu-buru."
"Itu karena biasanya genre tarian kami hip hop."
"Kali ini bukan?"
"Dasarnya tetap hip hop, tapi kami tambahkan banyak variasi. Hip hop itu dasarnya pakai gerakan naik-turun badan, jadi ritmenya cocok untuk tempo lambat. Lagu kali ini tempo-nya cepat banget. BPM-nya 188. Kalau bawain hip hop dengan kecepatan segitu, ya, itu udah bukan manusia."
"Bahkan Ruto pun nggak bisa?"
"Ya, gimana pun, aku masih tergolong manusia juga, tahu."
BPM itu, gampangnya ya soal tempo lagu. Lebih tepatnya, itu menunjukkan jumlah ketukan dalam satu menit. Waktu anak-anak klub musik tiup latihan pakai metronom, bunyi "klik klik" itu—berapa kali terdengar dalam semenit—itulah BPM-nya.
"Tapi, hip hop itu jenis tarian yang sangat bebas. Nggak ada bentuk gerakan yang benar-benar baku, dan nggak ada aturan yang melarangmu mencampurkan gerakan dari genre tari lain. Cara mengekspresikan diri itu tanpa batas. Kita bisa menciptakan tarian sebebas mungkin, disesuaikan dengan lagu dan pesan yang ingin disampaikan. Tentu aja, ini nggak berlaku cuma untuk hip hop."
Tari itu berubah seiring zaman, budaya, dan tren yang silih berganti. Hasilnya, di zaman sekarang, ada begitu banyak genre tari. Bahkan dalam hip hop sendiri pun ada berbagai subgenre, dan dari sana berkembang lagi jadi jenis tarian lain seperti breakdance, popping, atau locking.
Tarian memang terbagi jadi banyak jenis. Tapi aku yakin, pada dasarnya semuanya punya esensi yang sama.
Ada sesuatu yang ingin disampaikan lewat tarian.
Selama kita nggak lupa akan perasaan itu, tarian akan terus berkembang tanpa batas, dan yang paling penting: bisa dinikmati dengan bebas.
Aku yakin, dalam menari, ada banyak sekali bentuk jawaban yang benar. Kadang hal yang awalnya kita pikir salah, ternyata adalah kebenaran.
Walau nggak ada bentuk pasti atau aturan baku yang harus diikuti, kalau pada akhirnya kita semua bisa tertawa bersama, aku rasa itu adalah bentuk "benar" dari sebuah tarian.
Mungkin kedengarannya terlalu idealis. Tapi aku harap memang begitu adanya.
Saat aku menengadah, aku melihat Seira sedang menyipitkan mata lembut—dan berkata:
"Kelihatannya kau senang sekali ya, Ruu-kun."
"Aku senang, kok. Soalnya, menari itu memang selalu menyenangkan."
Aku membalasnya begitu. Pada sahabat masa kecil yang telah mengingatkanku kembali betapa serunya berdansa.
Bisa menyatakan itu dengan percaya diri membuatku sedikit bangga... dan sedikit malu juga.
***
Tiga kali matahari terbenam. Dan tiga kali terbit kembali.
Sore hari di hari Rabu.
Di belakang penginapan, ada area terbuka yang dikelilingi pepohonan—semacam area perkemahan.
Meskipun disebut perkemahan, tempat itu bukan buat menginap, tapi lebih seperti tempat memasak terbuka.
Ada peralatan seperti tungku dari batu bata, panci nasi khas luar ruangan, dan lainnya. Mengingatkan pada kegiatan praktik masak saat camping sekolah.
"Untuk menu utama, biar aku yang masak kare. Ruu-kun dan yang lain, tolong siapkan nasinya, ya."
Seira yang mengatur semua dengan percaya diri.
Apron miliknya bermotif bendera Amerika, sama seperti piyama yang biasa dia pakai. Entah kenapa, aku mulai merasa nyaman melihat motif itu yang sekarang sudah cukup akrab di mataku. Meskipun aku tahu ini bukan perasaan yang bisa dengan mudah dimengerti orang lain.
Saat aku sedang memikirkan hal itu dalam diam, Nowa di sampingku melirik dengan tatapan curiga.
"...Apa nggak apa-apa sih menyerahkan semuanya ke Seira? Aku sih nggak kebayang dia bisa masak."
Memang sih, dari penampilannya sehari-hari, Seira nggak tampak seperti tipe yang jago masak. Tapi sebenarnya tidak demikian.
Untuk menghilangkan kekhawatiran Nowa, aku menambahkan penjelasan dengan nada lembut.
"Meski kedengarannya mengejutkan, tapi Seira itu bisa masak, lho. Dulu waktu dia baru datang ke Jepang, dia agak kesulitan pakai dapur, tapi sekarang dia bahkan sering dimintai tolong sama Ibu buat masak menu makan malam. Dan enak pula."
"Serius?"
"Fufu. Tenang saja. Kalau sudah Seira-chan yang masak, bikin makan malam itu kayak sarapan—enteng banget."
"Cepat juga kamu bikin bahan promosi sendiri, ya."
Nowa membalas dengan komentar setengah tak percaya. Dia juga sudah mengenakan apron yang disediakan pihak penginapan.
Dengan rambut ponytail dan pakaian seperti itu, kesan "cewek rumahan" sangat terasa. Tapi justru aku satu-satunya orang di sini yang tahu, betapa berbahayanya kondisi itu.
"Nowa, kamu pasti juga capek karena latihan nari hari ini, kan? Biar aku aja yang urus nasinya. Kamu istirahat dulu."
"...Hah? Kenapa gitu? Aku juga mau bantu, tahu?"
"Nggak usah. Serahin aja ke aku. Kamu tenang aja. Percayain ke aku."
"...?...?...? Ya, ya, ngerti… ngerti…"
Nowa akhirnya mundur sambil kelihatan agak bingung. Tapi karena dia nggak suka diam tanpa melakukan apa-apa, dia pun mulai bantuin menyiapkan minuman dan cuci alat masak.
Aku merasa lega melihat itu, lalu mulai bersiap menanak nasi.
"Ruto, gimana, latihan dancenya lancar?"
Pertanyaan itu datang dari Yuuma, yang memotong sayuran di sebelahku saat aku sedang mencuci beras.
Dengan wajah cakepnya dan bandana di kepala, dia terlihat punya semacam aura moe.
"Lancar. Kami bisa menyusun koreografi lebih cepat dari dugaan, jadi latihan bisa dimulai lebih awal. Berkat itu, sekarang kami udah bisa menampilkan sesuatu yang cukup layak dilihat."
Tubuhku sendiri juga mengingat gerakannya lebih baik dari yang kuduga.
Kalau disuruh tampil besok pun, aku rasa aku masih bisa menari cukup baik.
Meski tentu saja, aku dan Nowa bukan tipe yang puas dengan hasil ‘cukup’. Kami ingin sempurna, jadi masih akan terus memperbaiki bagian-bagian kecil sebelum hari H.
Yang jelas, kami nggak dikejar waktu. Dan itu sangat melegakan.
"Kalau begitu, waktumu agak lebih longgar sekarang, ya?"
"Dibilang longgar banget sih enggak, tapi ada waktu sedikit buat main. Contohnya kayak acara masak-masak outdoor gini."
"Kalau begitu, besok—"
Saat Yuuma mulai mengatakan sesuatu, boof!—nyala api besar muncul dari tungku.
Aku menoleh terkejut. Ternyata tanpa sadar Nowa sudah mulai menyalakan api, dan sekarang dia berdiri dengan ekspresi puas sambil mengangkat dagu sedikit.
...Dia suka api, ya? Rasanya cocok sih. Api kan biasanya dikaitkan sama sifat agresif. Pas banget dengan kepribadian Nowa.
"Ruto, apinya udah nyala. Bawa nasinya ke sini."
"O-oh, iya…"
Padahal aku sudah bilang ingin bertanggung jawab urusan masak. Tapi… ya sudahlah. Asal dia nggak menyentuh bahan makanan langsung, mestinya aman.
Aku menoleh ke Yuuma sambil membawa panci nasi.
"Maaf, bisa lanjut nanti nggak?"
"Tenang aja. Soalnya yang mau aku bilang juga sebaiknya didengar semua orang. Bisa nanti pas makan, kok."
Dengan senyum yang rapi dan kalem, Yuuma melepas kepergianku. Aku pun berjalan ke arah tungku dan mulai menanak nasi bersama Nowa.
Ngatur api itu susah. Panci nasi yang mulai mendidih dan mengeluarkan bunyi blup-blup itu seperti bayi yang gampang rewel, jadi nggak boleh lepas dari pengawasan.
Aku sempat panik mengatur ini-itu, tapi akhirnya nasi bisa matang tanpa gosong.
Mungkin karena aku pernah beberapa kali bantu Ibu masak nasi pakai panci tanah liat waktu kecil. Saat kenangan lama itu muncul, aku menoleh dan melihat Nowa mengelap kening dengan puas.
Kaus ketatnya menempel di tubuh yang berkeringat, membuat lekuk tubuhnya sangat jelas terlihat dan… aku jadi bingung mau lihat ke mana.
"Kenapa sih, Ruto? Tiba-tiba aja buang muka begitu."
"...A-anu. Itu, ini. Asapnya kena mata. Makanya."
Sambil melempar alasan setipis asap, aku lanjut menyiapkan makan malam ala camping bersama Nowa.
Nasi yang telah matang aku pindahkan ke piring lebar, lalu menuangkan kare buatan Seira di atasnya. Setelah itu, aku membawanya ke arah dek kayu.
Sementara kami sibuk memasak, langit sudah gelap, dan cahaya lampu di area perkemahan menarik serangga-serangga besar yang tak bisa dilihat di kota, beterbangan mengitari cahaya.
Tapi cewek-cewek di kelompok kami bukan tipe yang takut hanya gara-gara serangga. Mereka malah berkata "Ooh" atau "Besar juga, ya."
Apa sih yang disebut ‘femininitas’ itu sebenarnya?
"Kalau begitu, mari kita makan!"
Dengan aba-aba dari Seira, kami menyatukan tangan dan mengucapkan, selamat makan.
Kare buatan Seira berisi potongan daging besar-besar, terasa agak bergaya Amerika. Tapi dari uapnya tercium juga aroma masam khas tomat yang cukup kuat, dan perutku langsung merespons dengan bunyi lapar.
Saat aku hendak mengambil sendok kayu, Nowa yang sudah lebih dulu mencicipi kare itu, matanya berbinar.
"Wah, enak banget! Seira ternyata benar-benar bisa masak, ya!"
"Fufu, tentu saja. Kalau kau menikah denganku, kau bisa makan masakanku sepuasnya setiap hari. Bagaimana, Nowa? Kupikir kita bisa menembus batasan gender, kau tahu? Bagaimana menurutmu, hm?"
"Tapi ya… Menurutku masih kurang pedas. Harusnya lebih spicy lagi, sih."
"Kare itu makin manis, makin enak, kan?"
"Kare itu makin pedas, makin enak, lah."
Seketika muncul percikan api di antara Seira dan Nowa.
Aku tak ingin terlibat, jadi aku fokus makan dalam diam.
Iya, enak. Selain karena kami sendiri yang masak, makan di alam terbuka juga menambah cita rasa. Rasanya bukan cuma di lidah, tapi di suasana juga terasa menyenangkan.
Di sebelahku, Yuuma hanya tersenyum-senyum menyaksikan perdebatan kecil itu. Tiba-tiba aku teringat dengan pembicaraan yang sempat tertunda, dan setelah membasuh mulut dengan air, aku pun menanyakan kelanjutannya.
"Ngomong-ngomong, Yuuma, tadi kau mau bilang apa?"
"Tadi yang mana?"
"Kau sempat bilang ada yang mau dibicarakan pas makan, kan?"
Saat aku mengingatkan, Yuuma mengangguk "Ah, iya," lalu menyeka mulutnya dengan serbet dan mulai berbicara.
"Besok… bagaimana kalau kita pergi ke ghost house?"
"Ghost house?"
"Semacam rumah hantu versi luar negeri, gitu."
Begitu mendengar kata "rumah hantu", pundak Nowa langsung bergetar pelan.
Aku dan Seira saling pandang, bingung harus menanggapi atau tidak. Menyadari kebingungan itu, Yuuma pun melanjutkan penjelasannya.
"Jadi, di dekat sini ada mansion tua bergaya Barat yang pernah dipakai jadi latar anime. Dulunya bangunan itu terbengkalai, tapi sekarang sudah dibeli pemerintah daerah dan diubah jadi rumah horor. Sebagai bagian dari promosi kota juga. Kalau berhasil menyelesaikan tantangannya, bisa dapat merchandise edisi terbatas juga."
"Oh? Anime apa itu?"
Mendengar kata tempat suci anime, Seira langsung tertarik. Setelah mendengar judul animenya dari Yuuma, dia pun berseru, "Wah, jadi itu animenya!"
"Aku memang nggak terlalu ngerti soal tari, tapi bukankah kalian ingin mengekspresikan perasaan karakter lewat tarian? Dalam anime NonGift, para tokohnya juga sempat nyasar ke mansion di hutan, kan? Kalau kalian mengalami sendiri tempat itu, mungkin bisa lebih memahami perasaan karakter-karakternya."
Aku mengangguk setuju. Apa yang dikatakannya masuk akal, dan niatnya untuk mendukung kami juga sangat aku hargai.
Tapi... dari sorot mata Yuuma yang tampak sangat bersemangat, aku bisa merasakan sesuatu yang lebih materiil dari sekadar niat baik.
"Jadi, alasan sebenarnya?"
"Aku pengen… merchandise limited… aku… otaku…"
"Kenapa ngomongnya kayak robot?"
Aku mengangkat bahu melihat betapa jujurnya teman yang satu ini soal keinginannya.
Meski begitu, aku tahu kalau ia juga serius soal niat mendukung kami. Meski baru beberapa bulan berteman, aku paham kalau Yuuma adalah tipe yang berhati hangat.
"Ruu-kun!"
Lalu Seira memandangku dengan mata berbinar.
Mungkin dia juga ingin merchandise-nya. Atau ingin mengunjungi lokasi anime itu langsung.
Tatapan penuh semangatnya yang sebening langit biru benar-benar memukau. Tapi…
"Maaf, aku dan Nowa nggak bisa ikut. Latihan kami belum sempurna. Kalian pergi berdua aja, jangan pikirin kami."
Seira tampak sedih dan menunduk. Hatiku terasa perih melihatnya. Tapi... sejak topik rumah hantu muncul, wajah Nowa kelihatan pucat. Sendok kare-nya pun terhenti di tengah jalan. Aku tahu betul apa artinya.
"Oh, begitu? Kalau begitu, aku juga nggak jadi."
"Yakin? Nggak apa-apa tuh?"
"Iya, nggak harus besok juga, kan?"
"Benar juga. Kalau Ruu-kun dan Nowa nggak ikut, rasanya sepi juga kalau pergi sendiri. Ini ‘kan acara kemah bareng."
Keduanya menjawab dengan nada santai, tanpa kesan sedang ‘mengalah’. Aku merasa bersyukur bisa punya teman seperti mereka. Namun…
"……N-nggak apa-apa, kok!"
Tiba-tiba, Nowa memaksa suaranya untuk terdengar tegas.
"Latihan kita juga lancar-lancar aja, jadi nggak masalah kalau sehari diisi buat main! Kita juga jauh-jauh datang ke sini, jadi sekalian jalan-jalan juga nggak apa-apa! Justru kalau ada waktu refreshing, latihan bisa makin semangat, kan!?"
Aku langsung paham kenapa Nowa bersikeras begitu. Dia nggak ingin kehadiran ketakutannya jadi alasan Seira dan Yuuma gagal bersenang-senang.
Melihat Seira dan Yuuma tersenyum senang dan setuju, Nowa pun tampak lega. Ia pura-pura bersikap santai, tapi aku tahu itu hanya sikap pura-pura.
"……"
Aku sempat ingin menegurnya, tapi akhirnya mengurungkan niat.
Nowa itu orang yang keras kepala dan kurang pandai mengekspresikan diri, tapi hatinya sangat baik. Aku tahu itu, karena aku sendiri sudah sering kali diselamatkan oleh kebaikan hatinya.
...Karena itu, aku yang akan menjaga dan mendukung Nowa.
Sebagai pasangan yang saling mengisi kelemahan, aku merasa itu sudah jadi bagianku.
Dengan niat itu, aku kembali menyuap kare ke dalam mulut.
Orang sering bilang kalau kamu sedang kepikiran hal lain, rasa makanan jadi nggak terasa. Tapi kare buatan Seira, dengan bumbu khas Amerika itu, tetap berhasil menyuarakan rasanya dengan lantang di lidahku.
***
Tempatnya ternyata lumayan niat.
Rumah horor itu berdiri sunyi di lokasi yang dalam di pegunungan, di tempat yang nyaris tak tersinari cahaya matahari.
Dalam anime aslinya, mansion ini digambarkan sebagai tempat di mana seorang gadis yang tersesat karena kehilangan arah pulang secara tak sengaja masuk ke dalamnya. Semalam, aku sempat menonton episode pertamanya bersama Seira. Meski hanya satu episode, ternyata cukup banyak elemen horornya. Aku jadi agak susah tidur, tapi itu rahasia.
Karena pepohonan tinggi di sekitarnya menghalangi cahaya matahari, suasana di tempat ini tetap suram meski cuaca sedang cerah. Arsitektur bangunannya yang indah dan tanpa cela justru menambah kesan menyeramkan.
Karena masih pagi, selain staf tidak ada pengunjung lain di sekitar sini. Kami memang sengaja datang lebih awal agar tidak berdesakan, tapi sepertinya datang agak siangan pun tidak masalah.
Wussh—hembusan angin mendadak bertiup, membuat rambut Seira yang ada di sebelahku beterbangan.
"Uh… tempat ini cukup punya suasana ya. Ruu-kun, sini, kita gandengan tangan."
"Kau cuma takut, kan?"
Merasa dinginnya hawa horor, Seira menggigil dan mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku langsung menghindar dengan gesit. Dia kembali mencoba menggapai tanganku, tapi aku menghindar lagi. Begitu terus. Ia mengulurkan tangan—aku menghindar. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya dia mulai pakai gerakan tipu-tipu. Tapi tetap saja, aku menghindar: hiyoi, hiyoi.
"……Hei. Bisa nggak kalian tunjukkan sedikit interaksi remaja SMA yang lebih wajar? Aku nggak benci tingkah anak muda yang polos sih, tapi kalau kelewat kekanak-kanakan gini, rasanya kayak lagi jagain anak TK."
Mendengar suara bernada setengah pasrah itu, aku dan Seira langsung menoleh bersamaan.
Di hadapan kami berdiri seorang wanita dewasa yang mengenakan setelan jas hitam rapi meski ini bukan acara resmi. Dia adalah wali kelas kami—Yaezakura-sensei—yang terlihat mengusap kepalanya dengan wajah capek.
"Aku sudah dengar kalian berdua ini teman masa kecil, tapi ternyata hubungan kalian se-dekat ini, ya. Boleh aja sih mesra-mesraan, tapi tolong lihat-lihat tempat juga."
"Kami nggak mesra-mesraan kok."
"…………Tapi Maiori, tanganmu itu."
Baru kusadari, tanganku ternyata sudah digenggam erat oleh Seira. Bukan berarti aku risih gandengan tangan dengannya, tapi tetap saja rasanya canggung kalau di depan guru. Aku mencoba melepaskan, tapi Seira justru mengaitkan jarinya makin erat.
"Fufu, aku dan Ruu-kun terikat oleh benang takdir, jadi tidak semudah itu dilepaskan."
"Benang takdirmu terlalu kencang ikatannya, tahu nggak."
Aku menghela napas, lelah oleh jurus kekuatan Seira yang terlalu paksa untuk disebut takdir. Yaezakura-sensei menatap kami dengan ekspresi yang entah itu keheranan atau keputusasaan.
"Maafkan aku, ya. Meskipun aku bilangnya sebagai pembina klub, kenyataannya aku belum banyak bisa mendampingi kalian. Tapi mulai hari ini aku akan ikut bersama kalian, jadi kalau ada yang perlu bantuan, jangan ragu untuk mengandalkanku."
Sensei mengatakannya dengan wajah tulus menyesal.
Sejak hari pertama kami sampai di penginapan, beliau memang langsung pergi entah ke mana dan baru bergabung lagi pagi ini. Sepertinya beliau merasa bersalah sebagai guru yang membiarkan murid-muridnya tanpa pendampingan.
"Ngomong-ngomong, selama ini sensei ke mana saja?"
"Ada urusan pribadi. Aku butuh waktu lama untuk membujuk seseorang. Orang itu—padahal cuma mau ketemu mantan muridnya—malah bikin berbagai rintangan untuk dirinya sendiri…"
"……?"
"Ah, maaf. Lupakan saja. Bukan urusan kalian."
Sensei mengibaskan tangannya, lalu mengalihkan topik.
"Yuk, kita urus pendaftaran ke dalam. Tolong panggil Kurosaki dan yang lainnya juga."
Sensei melirik ke arah Nowa dan yang lainnya yang sedang berdiri agak jauh sambil memandangi mansion. Sebelum aku sempat melangkah, Seira berbicara pada Yaezakura-sensei dengan suara agak tegang.
"Sensei, apa tidak apa-apa kalau biaya masuk ke rumah hantu ini ditanggung oleh Anda?"
Itu memang sudah dikatakan oleh sensei sebelumnya.
Nada bicara Seira jauh lebih formal daripada biasanya. Sepertinya dia belum terlalu dekat dengan sensei, dan kesannya seperti sedang memakai persona profesional. Entah kenapa, aku jadi teringat pada 'Princess Seira' saat ia tampil sebagai model.
"Aku tak apa. Dana klub dari sekolah memang sudah habis untuk biaya penginapan. Sisanya pakai dana pribadiku… tapi kau tak perlu memikirkannya."
"Aku ini model profesional, jadi punya cukup tabungan. Ibu juga memberiku uang saku untuk bebas digunakan selama di Jepang. Jadi aku bisa bayar sendiri tanpa harus merepotkan Sensei—"
"Kalau begitu, gunakanlah uang itu untuk membuat hidupmu sendiri jadi lebih menyenangkan."
Yaezakura-sensei memotong perkataan Seira.
Sambil tersenyum lembut, beliau mengelus rambut Seira dan berkata,
"Yuzuki, kamu perlu belajar sedikit lagi untuk bisa mengandalkan orang dewasa. Karena pekerjaan modeling, kamu jadi sudah terlalu cepat merasakan kerasnya dunia. Aku nggak tahu apakah kamu sadar atau tidak, tapi kamu selalu memperlakukan orang dewasa secara setara. Kamu tidak suka menerima sesuatu secara sepihak. Padahal, di usia sepertimu, kamu seharusnya masih boleh banyak bergantung pada orang dewasa."
Mata Seira membelalak, terkejut. Mungkin selama ini tidak ada orang yang pernah mengatakan itu padanya.
Ia tampak bingung, tidak tahu harus menanggapi kata-kata sensei seperti apa.
"Aku ini guru. Tugasku cuma satu: jadi sosok yang bisa kalian banggakan. Jadi jangan terlalu jaga jarak. Andalkan aku. Manja juga boleh. Tak perlu sok kuat atau sok dewasa. Kumohon, jangan rampas kesempatan ini dariku sebagai guru kalian."
"……"
Dan pada saat itu juga.
Sesuatu dalam diri Seira tampak meleleh. Wajah yang biasanya tegar mendadak melunak, dan ia pun roboh ke pelukan Yaezakura-sensei sambil tersenyum cengengesan.
"…………Ma'ammm…"
"Astaga, anak ini badannya besar tapi hatinya tetap anak kecil, ya."
Yaezakura-sensei tetap mengelus rambut Seira dengan senyum lembut.
Beliau bilang tugasnya hanya menunjukkan teladan yang bisa dibanggakan muridnya. Tapi tidak banyak orang dewasa yang benar-benar mau memikul tanggung jawab itu dan tetap mau melindungi anak-anak.
Meski tinggi badan Yaezakura-sensei tidak jauh berbeda dengan Seira, tapi entah kenapa beliau terlihat jauh lebih besar dari sudut pandangku.
"Ruu-kun, dengarkan! Ini pertama kalinya aku dibelai sejak jadi anak SMA!"
"Begitu ya, baguslah."
"Aku baru saja mengenal konsep ‘mama vibe’ di Jepang. Sepertinya aku menemukan fetish baru!"
"Jangan teriak-teriak soal fetish begitu, kau tuh cewek."
Aku cuma bisa tertawa kecil, dan dalam hati, aku berterima kasih.
Rasanya lega sekali mengetahui bahwa ada orang dewasa di dekat Seira yang mau menerima dia apa adanya. Memberi tempat untuk bersandar, yang tidak bisa diberikan olehku sebagai hanya seorang teman masa kecil.
Hari ini, di saat ini—Yaezakura-sensei benar-benar telah menjadi ‘guru’ bagi kami.
"Kalau begitu, ayo urus pendaftarannya. Tolong panggil Kurosaki dan yang lain juga."
Dengan senyum lembut dan suara yang tegas, Yaezakura-sensei memberikan perintah.
Aku tahu, bukan cuma karena beliau lebih dulu hidup dari kami. Tapi karena senyuman itu adalah milik Yaezakura-sensei, aku merasa yakin dan aman.
Sambil merasa bersyukur bahwa guru Seira adalah beliau, aku pun berjalan bersama Seira memanggil Nowa dan yang lain.
Biaya ikut rumah hantu adalah delapan ribu yen per orang.
Gimana ya, yah... lebih mahal dari yang kukira.
"Kwaaaaaaa!? Nggak nyangka semahal ini! Dengan begini aku nggak bisa ngasih saweran ke Aures-sama lagiiiiii!!"
Gimana ini. Sensei yang tadi bisa diandalkan sebagai orang dewasa, sekarang berteriak seperti burung buas.
Melihat wanita cantik bersetelan jas hitam menggeliat dan berguling-guling di tanah, gimana ya, rasanya susah ditonton. Nilai Yae-sensei dalam diriku langsung merosot tajam. Sahamnya terlalu naik turun sampai aku nggak bisa prediksi sama sekali.
"Segitu parahnya, ya?"
"U-umu. Karena aku sering ngasih saweran ke Aures-sama, aku selalu bokek. Tapi jangan remehkan aku. Cara orang menggunakan uang itu beda-beda, selama mereka puas dengan itu, bebas saja digunakan untuk apa pun. Inilah cara yang benar dalam menggunakan uang, menurutku!"
"Hebat ya," balasku datar. Aku nggak merasa kasihan.
"Sial, padahal gajian masih setengah bulan lagi, dan sekarang aku harus bertahan hidup cuma dengan isi dompet! Kayaknya tadi terlalu sok gaya, ya?"
"Ngomong-ngomong, masih punya berapa?"
"Satu lembar Noguchi, empat lembar Murasaki Shikibu."
"Kenapa kamu punya banyak uang dua ribuan sih?"
Totalnya sembilan ribu yen. Itu udah di level di mana makan, pakaian, dan tempat tinggal nggak bisa dijamin. Kalau nanti aku punya rezeki lebih, mungkin aku bakal bawain bekal atau camilan. Aku juga sering dibantuin sama Yaezakura-sensei, soalnya.
Sambil memikirkan hal itu, Seira datang bersama rombongan Nowa.
"Sensei, aku udah bawa Nowa dan yang lainnya… sensei?"
"Ah, nggak apa-apa. Cuma agak capek nyetir aja."
Sensei bangkit sambil menepuk-nepuk debu dari jasnya dan berpura-pura seolah nggak terjadi apa-apa. Ya, memang dia yang udah nyetir sejauh ini, jadi itu bukan sepenuhnya bohong, tapi juga jelas bukan penyebab utama dari tingkah anehnya tadi.
Kemampuannya berganti peran itu luar biasa. Sampai bikin aku bingung, apa dia aktris atau gimana. Tapi tanpa peduli kebingunganku, sensei berkata dengan suara tajam:
"Rumah hantu ini sepertinya harus dimasuki berpasangan. Kalian tentukan sendiri pasangannya."
Kami pun berdiskusi sebentar dan memutuskan pasangan.
Tepatnya, itu usulan dari Yuuma. Karena ini semacam kelanjutan dari kegiatan aku dan Nowa di kamp, jadi memang lebih pas kalau kami berdua yang berpasangan. Seira sempat cemberut, tapi akhirnya setuju sambil bergumam, "Yah, kali ini aku ngalah deh. Soalnya Seira-chan itu dewasa."
Entah siapa yang sebenarnya dia ingin jadikan pasangan. Aku berdiri di samping partner-ku, dan menepuk pundaknya pelan.
"Tenang saja, Nowa."
"……"
"Nowa?"
"Eh, ah, apa? Kamu ngomong sesuatu?"
"Kalau takut, nggak usah maksa ikut kok."
"A-a-aku nggak takut! Ghost Buster Nowa nggak bakal kalah sama hantu!"
"Kamu suka banget ya sama julukan itu?"
Julukan aneh yang juga pernah kudengar waktu festival budaya. Aku sampai miringkan kepala.
Melihat wajahnya saja sudah cukup buat tahu kalau dia cuma sok berani. Semua orang pasti punya hal yang nggak mereka kuasai. Karena itu, aku harus mendukungnya. Melihat Nowa yang ketakutan, aku pun melangkah masuk ke rumah hantu bersama dia.
Bagian dalam rumah besar bergaya Victoria itu tentu saja gelap gulita.
Perabot antik serba putih tidak memiliki satu noda pun, dan justru karena terlalu bersih itu, suasananya jadi aneh, seperti nggak pernah ada manusia yang tinggal di sini. Mungkin ada jendela yang terbuka, karena angin dingin menyusup dan menjilat punggungku dari waktu ke waktu, membuatku menggigil seolah ada es yang ditempelkan ke kulit.
Mengikuti cerita aslinya, tujuan kami adalah melarikan diri dari mansion ini.
Pintu masuk yang tadi kami lewati sudah tak bisa dibuka. Dalam versi anime-nya, si gadis protagonis melarikan diri dari para arwah yang menghuni mansion, dan berhasil keluar lewat ruang rahasia.
Aku nggak tahu seberapa jauh rumah hantu ini meniru cerita aslinya, tapi kami harus tetap waspada selama menjelajahinya. Bukan hanya untuk menghadapi hal-hal seram, tapi juga agar tidak melewatkan petunjuk untuk keluar.
"...N-ne, Ruto~..."
"……"
Namun pikiranku segera diganggu oleh sesuatu yang tak terduga. Begitu benar-benar masuk ke rumah hantu ini, masalah yang jauh dari dugaanku pun terjadi.
"Ruto~ kamu masih di situ, kan~?"
"Aku di sini."
"Beneran di sini?"
"Iya lah. Tuh, kita juga lagi pegangan tangan."
"Nggak cukup~. Pegangnya lebih kuat lagi, yang kenceng, yang erattt~!"
Apa-apaan ini, lucu banget.
Masalah serius: Nowa terlalu imut.
Ya, aku tahu Nowa benar-benar takut sekarang, dan menikmati kondisi dia yang seperti ini itu hal terburuk yang bisa kulakukan. Tapi… ini beneran nggak adil.
Awalnya dia masih berusaha terlihat kuat, tapi setelah lima menit berlalu, dia pelan-pelan mulai menggandeng tanganku, dan sekarang dia sudah nempel erat di lenganku.
Sifat manja yang nggak pernah aku lihat darinya sampai sekarang. Perbedaan sikap ini terlalu manis sampai jantungku terus berdebar-debar. Ini bahaya. Lebih bahaya daripada rumah hantunya sendiri.
Saat aku mengatur napas untuk menenangkan degup jantungku yang liar—
Gatak.
"~~~~~!!"
Entah pakai sistem apa. Begitu kami lewat, rak gantungan jatuh dengan suara keras, memecah keheningan dalam mansion ini.
Nowa mengeluarkan jeritan yang bahkan tak terdengar, lalu menyembunyikan wajahnya di lenganku.
"...Kamu nggak apa-apa?"
Saat kutanya, Nowa menggeleng pelan.
Di matanya tampak selaput air mata yang tipis—dan saat aku melihatnya, sesuatu dalam diriku seolah beralih. Aku berpisah dari sisi diriku yang selama ini memandang semuanya dengan terlalu santai.
"Nowa, tak usah lihat. Kalau takut, terus saja sembunyikan wajahmu di lenganku."
Tak ada jawaban, tapi aku bisa merasakan ia mengangguk pelan.
Sambil tetap memeluk Nowa di lenganku, kami melanjutkan penelusuran di dalam gedung. Lukisan yang bergerak, piano yang memainkan lagu sendiri—berbagai gimmick horor menyerang kami berkali-kali, dan tiap kali itu terjadi, tubuh Nowa bergetar dan ia semakin erat menggenggamku.
…Ternyata ada juga hal yang Nowa tidak bisa tahan. Meski terkejut, justru karena itu aku merasa makin terdorong untuk menopangnya.
"...Hei."
Perkataan itu meluncur pelan. Dengan suara seperti sedang mencari jawaban, Nowa berbicara padaku.
"Ada apa?"
"Kaget ya? Karena aku ternyata penakut seperti ini."
"Kalau dibilang kaget sih, ya kaget juga. Tapi Nowa biasanya sangat tenang, jadi sesekali takut seperti ini ya wajar juga buat menyeimbangkan semuanya."
"Apa sih itu," kata Nowa sambil tertawa kecil.
"Bukan karena aku takut sama hantu, sih. …Yah, sedikit takut juga sih. Tapi lebih dari itu, aku benci kalau harus mengingat-ingat kenangan menakutkan yang nempel di tempat seperti ini."
Tubuhnya yang menempel di lenganku mendadak menegang kuat. Bahkan lewat lenganku, aku bisa merasakan jantung Nowa yang berdetak kencang.
"Waktu kecil, aku pernah pergi ke taman hiburan bersama keluargaku. Taman hiburan yang lumayan besar, dan karena sedang musim tertentu, mereka mengadakan acara horor besar-besaran. Ada rumah hantu yang sangat besar dan hanya dibuka dalam waktu terbatas. Aku sendiri belum benar-benar tahu seperti apa rumah hantu itu, tapi karena papa dan mama suka hal-hal horor, melihat mereka tampak begitu senang membuatku berpikir, ‘Oh, ini pasti tempat yang menyenangkan’—dan aku pun ikut bersemangat."
Aku diam saja mendengarkan kisah masa lalu Nowa.
Suaranya kecil dan gemetar, nyaris larut dalam suara angin yang bergema di dalam gedung.
"Tapi, aku tersesat. Karena kaget dengan gimmick rumah hantunya, aku berlari tak tentu arah di tempat gelap. Lalu, aku menangis sendirian sampai akhirnya ditemukan oleh staf dan dibawa keluar. Aku segera bertemu lagi dengan papa dan mama, tapi aku tidak bisa berhenti menangis. Akhirnya hari itu kami tidak menaiki atraksi lain dan langsung pulang ke rumah."
Pelan-pelan tangan Nowa bergerak menyusuri lenganku dan menggenggam jariku.
Seperti anak kecil yang tersesat, mencari kehangatan orang tuanya dengan tangan yang meraba-raba dalam gelap.
"Kalau berada di tempat seperti rumah hantu, aku jadi tak bisa menahan ingatan itu. Perasaan sedih. Perasaan sepi. Ketakutan saat sendirian, dan kegelisahan saat tak ada siapa pun di sekeliling."
Nowa menatap wajahku dengan mata yang gemetar.
Ekspresinya terlihat rapuh, seolah akan hancur hanya dengan disentuh sedikit saja.
"Hei, Ruto…"
Suara Nowa terdengar seolah sedang memohon.
"Kau… nggak akan meninggalkanku sendirian, kan?"
Itu adalah…
Bukan sekadar pertanyaan untuk saat ini saja, rasanya ia sedang menanyakan sesuatu yang jauh lebih besar.
Aku ingin mencari tahu arti dari perasaan aneh itu, tapi memutuskan untuk tidak melakukannya.
Sambil merasakan hangat tubuh gadis yang sedang gemetar, aku mencoba mencari kata-kata untuk menyemangati Nowa—dan saat itulah…
"...Uuh… hiks… euh…"
Seseorang sedang menangis. Entah sejak kapan dia ada di sana—seorang gadis kecil sedang menangis di dalam ruangan.
Gadis kecil yang seumuran anak SD, mengenakan gaun putih mengembang. Ia duduk membungkuk, seolah menyembunyikan diri di tengah kegelapan, tubuhnya bergetar bersama isakan tangisnya.
Kenapa bisa ada anak kecil di tempat seperti ini…?
Sejenak aku bertanya-tanya, tapi segera menyadari bahwa aku harus bicara padanya—namun…
"Hei, kamu sendirian? Di mana ayah dan ibumu?"
Nowa bahkan tidak sempat berpikir sejauh itu.
Dia langsung bergerak sebelum sempat memikirkan apapun.
Nowa sudah berlari menghampiri gadis itu dan menggenggam tangan kecilnya yang bergetar.
Aku sempat terkejut… tapi kemudian tersenyum, seolah telah mengerti.
Nowa memang tetaplah Nowa. Meski sedang ketakutan, meski tubuhnya gemetar di tengah kegelapan. Kalau demi orang lain, dia bisa langsung berdiri dan bergerak.
Itu membuatku bangga… tapi juga, sedikit merasa sedih.
"Nowa, dia tersesat?"
"Ya, sepertinya begitu. Umm, kamu bisa bilang namamu?"
Nowa bertanya pelan, tapi gadis kecil itu hanya terus merengek. Bukan karena waspada terhadap kami… sepertinya dia benar-benar ketakutan sampai tak bisa mendengar suara siapa pun.
Sambil memikirkan harus berbuat apa terhadap gadis kecil yang terus mengusap hidungnya itu—tiba-tiba…
"Hei, adik kecil. Lihat ini ya."
Dengan satu gerakan ringan, Nowa berdiri dan mengangkat kakinya, menekuk lutut—lalu berputar dengan cepat ke samping.
"Wah!"
Gadis kecil itu berseru. Bukan karena terharu, tapi karena kaget melihat gerakan Nowa yang tiba-tiba.
Gerakan balet yang hanya menggunakan kekuatan tumit dan gaya sentrifugal untuk menghasilkan putaran.
Aku pernah melihatnya saat menonton pertunjukan balet bersama Nowa dulu.
Adegan 32 kali putaran grand fouetté milik Odile, si angsa hitam dari Swan Lake babak ketiga.
Meski aku tak paham banyak soal balet, aku masih ingat betapa aku terpesona oleh keindahan gerakan itu.
"Waaah…"
Gadis kecil itu tanpa sadar telah berhenti menangis.
Cahaya berkilau di matanya yang masih sembap, seperti sorot mata anak-anak yang sedang mengagumi sang putri.
Mungkin, awal mula impian Nowa juga seperti ini, pikirku entah kenapa di saat yang tidak tepat.
Kami percaya pada kekuatan tarian. Meski kata-kata tak bisa disampaikan, meski orang di hadapan kami menundukkan wajahnya—
Dengan tarian, kami yakin, kami bisa menyampaikan isi hati.
"Fuh…"
Tarian Nowa seolah mencerminkan hatinya yang tulus, berputar dengan gerakan indah.
Rasanya sayang jika harus meneteskan air mata saat melihatnya, karena gerakan itu sendiri sudah cukup menjadi pesan yang kuat.
"Kamu nggak boleh terus menangis hanya karena kamu perempuan, tahu?"
Nowa menghentikan putarannya dengan ringan dan menunjukkan senyum percaya diri, seakan membusungkan dada.
Dia sedikit membungkuk agar sejajar dengan mata si gadis kecil, mungkin karena merasa yakin bahwa kata-katanya akan tersampaikan sekarang.
"Kalau terus menunduk, memang kau tak perlu melihat hal-hal yang menakutkan. Tapi, kau juga akan melewatkan semua hal menyenangkan yang ada di dunia ini. Itu sangat disayangkan, bukan?"
Sambil membungkus tangan si gadis kecil dengan lembut, Nowa tersenyum untuk menenangkannya.
"Jadi, berhentilah menangis. Mungkin kau tak bisa berhenti selamanya, tapi setidaknya untuk sekarang, kami—kakak-kakakmu ini—akan menemanimu melawan semua hal menakutkan itu."
Gadis kecil itu mengangguk kuat-kuat.
Tak ada lagi rasa takut dan kesepian di matanya seperti tadi. Dari genggaman eratnya pada tangan Nowa, aku bisa merasakan kekuatan baru yang mendorongnya untuk melangkah maju.
Memang benar, tarian Nowa punya kekuatan yang bisa menarik hati.
Aku, yang sudah berkali-kali terselamatkan oleh kekuatan itu, merasa silau meski sedang berada di dalam kegelapan seperti ini.
"Namaku Nowa. Dan kakak laki-laki yang berdiri bengong di sana itu namanya Ruto."
"Hei," aku menyela.
"Namaku Kana!"
"Kana-chan, ya. Nama yang indah sekali. Kana-chan tersesat dari papa dan mama, ya?"
"Iya, aku juga nggak tahu di mana pintu keluarnya."
"Begitu, ya. Kebetulan kami juga sedang mencari jalan keluar. Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi bersama-sama?"
Saat Nowa mengusulkan itu, gadis kecil itu, Kana-chan, tersenyum cerah dan menggenggam tangan Nowa dengan lebih erat.
Nowa mengangguk lembut dan mulai berjalan dengan langkah kecil.
"Kalau begitu, Ruto, kau yang jadi penunjuk jalan, ya."
"Entah bagaimana kesimpulanmu bisa seperti itu… Tapi ya sudah."
Karena aku merasa tak bisa berbuat apa-apa sebelumnya, aku memutuskan untuk setidaknya berguna dalam menjelajahi jalan keluar.
Bangunan ala barat yang bentuknya seperti labirin ini sangat membingungkan karena gelap dan berliku. Ditambah lagi, banyak jebakan untuk menakuti kami di berbagai tempat, membuat langkah kami melambat sampai terasa lucu.
Tiba-tiba vas pecah, jejak kaki berdarah yang bukan milik siapa pun, boneka bisque bermata merah yang terus menatap kami, atau kami berjalan lurus tapi entah kenapa kembali ke ruangan yang sama. Bahkan suara erangan mengerikan terdengar dari arah tak diketahui—
"Hey hey, Kak Nowa, seru banget, ya!"
"A-apanya~ Kakak malah pengen cepat-cepat keluar…"
"Kenapa? Bukankah kakak bilang tadi, menyia-nyiakan hal-hal menyenangkan itu rugi?"
"Kuh! Aku nggak nyangka kata-kataku sendiri langsung dipakai untuk menyerang balik!"
Kana-chan ternyata punya keberanian yang luar biasa.
Tampaknya dia menangis bukan karena takut pada rumah hantu, tapi lebih karena panik karena terpisah dari orang tuanya.
Berkat Kana-chan, suasana jadi jauh lebih cerah. Mungkin karena tak mau terlihat lemah di depan gadis kecil itu, Nowa pun berjalan dengan tegap dan mantap.
Setelah beberapa puluh menit menyusuri rute yang ada—
Akhirnya kami menemukan sebuah pintu bertuliskan "Keluar" di ruangan paling dalam.
Dari celah di antara daun pintu, sinar matahari mengintip masuk. Aku yakin, di balik pintu itu adalah dunia luar.
"Ah! Itu pintunya!"
Kana-chan berseru dengan penuh semangat dan berlari ke arah pintu keluar.
Namun, dia tiba-tiba menoleh ke belakang dan memiringkan kepala melihat aku dan Nowa yang tidak mengikutinya.
"? Kenapa?"
Pertanyaan yang sangat wajar. Aku pun memasang senyum dibuat-buat seolah bercanda.
"Mulai dari sini, Kana-chan harus pergi sendiri, ya."
"Kenapa?"
"Soalnya kalau kau pergi bareng kami, nanti papa dan mamamu jadi merasa berutang budi pada kami. Padahal kalau dalam keadaan darurat seperti ini, saling tolong-menolong itu hal yang wajar dan nggak perlu dihitung-hitung. Tapi, orang dewasa itu rumit, mereka pasti merasa punya utang budi ke kami. Jadi mending anggap saja nggak pernah ada kakak baik hati yang menolong Kana-chan."
"?"
"Hmm, mungkin nanti kalau Kana-chan sudah lebih besar, baru mengerti, ya?"
Aku tahu alasanku terdengar curang, bahkan untukku sendiri, tapi aku menghembuskan napas dengan pasrah.
Meski aku bukan aktor yang hebat, tampaknya sikapku cukup meyakinkan sampai Kana-chan bisa menangkap ada maksud di balik semua ini—meski ia sendiri tak benar-benar memahaminya.
Dengan ragu-ragu, Kana-chan menoleh ke belakang beberapa kali, tapi tetap berjalan perlahan menuju pintu keluar.
Begitu tubuh kecil itu akhirnya benar-benar meninggalkan rumah hantu—Plop.
Nowa langsung jatuh duduk di lantai, lututnya terlipat dan bokongnya mendarat duluan.
"…Ruto."
Nowa menatapku dengan mata yang tampak kesal dan frustasi.
Tangannya yang menyentuh lantai gemetar, dan kakinya yang melipat tak punya tenaga sama sekali.
Sepertinya, dia kehilangan tenaga di kakinya.
Aku baru sadar beberapa saat yang lalu. Begitu melihat pintu keluar, rasa lega menyerang, dan tubuh Nowa pun melepas semua ketegangannya—aku bisa melihatnya jelas dari samping.
Tapi dia tetap bertahan berdiri karena tak ingin menunjukkan kelemahan di depan Kana-chan.
Aku mengangkat bahu melihat partner-ku yang tetap keras kepala seperti biasa, lalu bertanya sambil membungkuk.
"Mau kugendong di punggung?"
"... Gendongan ala putri."
"Kayaknya kau nggak cocok disebut putri, deh."
"Aku ini memberimu kesempatan langka buat jadi pangeran. Jadi bersyukurlah."
Meski dalam situasi seperti ini pun, Nowa tetap keras kepala. Aku tertawa kecil dan menyelipkan tangan ke bawah lutut dan punggungnya.
Tubuh yang kuangkat terasa jauh lebih ringan dari yang kukira. Sentuhan lembut tubuhnya, wangi manis dari rambutnya—semuanya membuatku sadar kalau Nowa tetaplah seorang gadis.
"Maaf ya, Ruto."
"Jangan minta maaf. Seperti yang aku bilang, saling menolong saat butuh itu hal yang biasa. Aku juga sudah sering ditolong sama kamu, dan aku yakin ke depannya juga akan begitu."
"…Begitu, ya. Kalau begitu, terima kasih."
"Yap, kalau begitu baru aku terima. Sama-sama."
Nowa tersenyum kecil dan menggenggam erat leherku.
Kata-kata "ke depannya juga" tadi, aku ucapkan dengan penuh kesadaran.
Kau nggak akan meninggalkanku sendirian, kan?
Gadis yang menanyakan itu—semoga ini sudah jadi jawabannya.
Karena untuk sesuatu yang seperti ini… kita memang tak butuh alasan khusus.
Meski tanpa alasan khusus, saling menopang satu sama lain itu adalah hal yang wajar—dan bagiku, Nowa adalah seseorang seperti itu. Bukan sekadar lewat kata-kata, tapi aku ingin menyampaikannya lewat sesuatu yang lebih dalam, dari hati.
Apa perasaanku tersampaikan padanya? Aku menoleh sedikit dalam hati, bertanya-tanya.
Semoga tersampaikan, aku membisik pelan dalam benakku.
"Hey, Ruto…"
Suara lembut berbisik di dekat telingaku.
Gadis kecil yang tadi ketakutan dalam kegelapan kini sudah tak ada lagi.
Tatapannya kini mengarah ke pintu keluar—ke arah pemandangan yang sama seperti yang kulihat.
"Sensei pernah bilang, kan? Kalau penari itu tak punya pintu keluar."
Mungkin karena ia sedang melihat pintu keluar, jadi ia tiba-tiba teringat akan ucapan itu.
Kami para penari selalu punya impian.
Di kepala kami, selalu ada bayangan tentang bagaimana kami ingin menari—tarian yang ideal.
Kami berusaha mencapainya, terus berlatih dan melatih diri, dan saat akhirnya kami sampai ke sana… saat itu juga, di dalam kepala kami sudah muncul tarian yang lebih hebat lagi yang ingin kami raih.
Selama kami terus menari, penari adalah makhluk yang tak akan pernah selesai.
Sensei pernah tertawa sambil berkata seperti itu.
"Kira-kira, kita bisa sampai sejauh mana, ya?"
"Kalau sejauh yang bisa dicapai… pasti bisa, kan?"
Tarian kami, seperti yang dibilang, mungkin memang tidak memiliki ‘pintu keluar’.
Kadang kami akan berhenti. Kadang juga mungkin melangkah mundur. Tapi saat itu tiba, cukup saling menopang seperti ini, lalu perlahan-lahan kembali melangkah maju.
Kalau bersama Nowa, rasanya aku bisa melakukannya. Atau… setidaknya, aku ingin percaya bahwa kami bisa.
Kami membuka pintu keluar.
Melangkah ke luar.
Dan akhirnya, kami yang tadi berada dalam kegelapan, kembali ke dunia yang dipenuhi cahaya.
Post a Comment