NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 2 Chapter 4

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 4

Mekar di Langit Malam, Lalu Gugur


Dari semua interaksi kami sejauh ini, aku sudah tahu kalau Maiori-kun itu cukup bodoh.


Tapi hari ini aku sadar bahwa pemahamanku itu terlalu naif.


Maiori-kun ternyata adalah bodo amat-nya dalam urusan dansa.


"Nowa-san, bukan begitu. Nggak kayak balet, hip-hop itu turn-nya harus dengan menurunkan pusat gravitasi, jadi lebih turunin badanmu… Hah? Gimana caranya? Ya, ya biasa aja, tinggal tekuk lutut, pasti pusat gravitasinya turun. …Hah? Kalau lutut ditekuk malah nggak bisa muter? Bisa kok. Nih, lututmu dibuka ke arah luar terus muter dengan tenaga besar, tapi tetap harus kelihatan dinamis dan halus—"


"Mana bisaaaaa!!"


Aku sampai nggak tahan dan berteriak.


Dia beneran terlalu buruk dalam mengajar. Sepertinya Maiori-kun itu tipe yang mengandalkan perasaan.


Gerakan tubuh yang dia lakukan secara alami selama ini adalah hasil dari waktu dan kebiasaan yang sudah meresap.


Tapi saat disuruh menjelaskannya dengan kata-kata, dia kesulitan. Dengan wajah bersalah, dia bertanya padaku,


"...Nggak bisa juga ya?"


"Kau… dasar bajingan…!"


Dan satu hal lagi, cowok ini benar-benar payah dalam memperlakukan cewek.


Di saat seperti ini, biasanya orang akan bilang sesuatu seperti ‘Untuk pemula, kamu udah bagus banget!’ demi menyemangati.


Tapi Maiori-kun malah kelihatan murung dan kecewa tiap kali aku menunjukkan kelemahan. Reaksinya yang seperti itu malah bikin aku naik darah.


Apa maksudmu dengan "memang nggak bisa ya"?

Jadi dari awal kau pikir aku nggak bakal bisa?!

Jangan seenaknya menilai orang!!


"Maiori-kun! Ulangi bagian tadi dari awal! Aku akan melakukannya sampai bisa!"


Melihat aku bersikeras begitu, Maiori-kun membelalakkan mata heran.


"Kau akan… terus berusaha sampai bisa?"


"Kan sudah aku bilang!"


Mungkin aku agak kalap, tapi aku nggak mau mengakhiri ini dalam kegagalan. Aku nggak suka melakukan sesuatu setengah-setengah. Aku tahu sikap keras kepalaku inilah yang dulu membuatku terasing di balet, tapi aku juga nggak sanggup menahan perasaan ini. Kalau ini disebut keras kepala, ya sudah. Karena inilah aku—cara hidup Kurosaki Nowa yang tak bisa diubah.


"Kalau begitu, mari kita mulai. Yang penting itu cara menstabilkan tubuh, jadi kita mulai dari pusat gravitasi. Intinya, semakin rendah pusat gravitasi, semakin stabil. Jadi lutut harus—"


Aku tetap keras kepala menerima ajaran dari Maiori-kun.


Aku nggak akan membiarkan dia menunjukkan ekspresi kecewa itu lagi.


Meskipun tujuannya agak melenceng, pikiranku benar-benar fokus ke situ. Aku tak bisa memikirkan hal lain.


Mungkin karena itu—


"………………fufu."


Aku tidak menyadari bahwa… bibirku tanpa sadar membentuk senyum kecil.


"...Ah, handuk."


Dalam perjalanan pulang dari studio dansa.


Latihan dansa yang pertama dalam sekian lama, serta otot-otot yang jarang kugunakan saat balet, membuat kakiku sudah terasa berat. Saat itu aku baru sadar bahwa aku meninggalkan handuk.


Aku langsung memutuskan untuk kembali. Meninggalkan sesuatu di tempat itu terasa seperti sebuah alasan agar aku bisa datang lagi ke sana.


Bukannya aku menolak untuk menghabiskan waktu lagi bersama Maiori-kun, tapi aku ingin itu berdasarkan keputusanku sendiri. Aku tidak suka dipaksa karena alasan lain.


Maka aku pun kembali ke studio dansa yang mulai diliputi senja—dan di sanalah aku menyadari, Maiori-kun masih ada di dalam.


"Ruto, kebiasaan menundukkan kepala saat turn itu harus kau hilangkan."


"Siap!"


Kyukkyu, suara sol sepatu yang menggores lantai.


Padahal aku tak perlu bersembunyi, tapi entah kenapa aku malah mengintip dari balik pintu.


"Jangan turunkan kakimu saat ritmenya berubah. Step harus kecil, bukan cepat, tapi tajam. Tangkap suara dengan ketepatan gerakan, bukan kecepatan. Jangan mencoba cari cara mudah."


"Siap!"


"Selalu bayangkan seolah-olah kau di atas panggung. Kau kan ingin ke Amerika dengan tarianmu itu, Ruto?"


Yang sedang mengawasi tarian Maiori-kun adalah sensei—pria aneh yang dulu mengajakku ke studio dansa ini.


Itu adalah tarian yang sungguh-sungguh. Kekuatan gerakan dan ketajaman step-nya mencuri perhatianku. Tapi lebih dari itu, yang benar-benar menahan pandanganku adalah semangat yang membara dalam setiap detiknya.


Semangat membara itu menyentuh seluruh sel tubuhku, seolah-olah dia mempertaruhkan segalanya di momen itu.


Aku belum terlalu mengenal Maiori-kun, tapi dari tarian itu aku bisa merasakan bahwa dia punya tujuan—sebuah tempat yang ingin dia tuju. Aku bisa melihat gambaran kehendaknya lewat tarian itu.


Semangat itu membuatku menggigil.


Telapak tanganku basah oleh keringat, dan jantungku berdegup kencang.


Dunia yang serius. Sebuah medan tempur tempat jiwa yang telanjang saling berbenturan.


…Tubuhku—tidak, naluriku—berteriak ingin kembali ke tempat itu.


"Ngomong-ngomong, Ruto. Bagus juga kau ajak Nowa-chan ke sini."


Namaku disebut, dan kesadaranku yang tadi terhanyut dalam panas langsung kembali.


Aku mengintip lagi ke dalam ruangan dan melihat Maiori-kun dengan ekspresi terkejut.


"Kenapa reaksimu kayak nggak nyangka begitu?"


"Karena memang nggak nyangka. Soalnya aku sempat lihat pertemuan pertama kalian, kan. Aku sampai berpikir, wah, ini anak susah juga ya, dan sempat nyesel sedikit kenapa kenalin kalian berdua…"


Eh? Jangan bilang… aku sedang digosipin sekarang?


…Yah, aku akui sih waktu itu memang aku yang salah. Dibilang ‘anak susah’ pun itu udah dibungkus halus banget. Tapi tetap aja…


Saat aku mulai ngomel sendiri dalam hati, Maiori-kun menggaruk kepala dan memiringkan kepala sambil berkata,


"Hmm, memang sih, Kurosaki-san itu orangnya ribet banget…"


Oi, setidaknya berusahalah kasih pembelaan. Cewek itu sensitif, tahu!


Dengan mata setengah menyipit, aku memelototi wajah polos Maiori-kun—dan saat itulah dia menambahkan:


"Tapi, matamu waktu itu… terasa bergetar."


Padahal suara itu tidak terlalu keras, tapi kata-kata itu menusuk ke dalam dadaku.


"Aku dengar dia sudah berhenti dari balet. Aku nggak tahu alasannya, dan meski aku dengar pun, belum tentu aku bisa memahaminya. Tapi sejak pertama kali bertemu, aku merasa Kurosaki-san seperti sedang menahan sesuatu. …Bukan, bukan ‘sesuatu’. Kurosaki-san itu menahan keinginannya untuk menari. Dia memaksakan semacam aturan yang bahkan dia sendiri nggak sepenuhnya setuju, dan menekan perasaanmu sendiri."


Soal itu saja pun, aku bisa tahu—kata Ruto sambil tersenyum kecil.


"Itu sebabnya aku pikir, aku harus terus mengajak dia menari. Untuk menjadi jembatan penghubung antara dia dan dunia tari… atau yah, bahkan kalau aku nggak bisa jadi sesuatu yang sehebat itu, aku cuma ingin jadi seseorang yang bisa membuatmu ingat bahwa di dunia yang dia lihat, ada yang namanya ‘dansa’."


"Hanya sebatas itu… cukup untukmu?"


"Hanya butuh satu dorongan, itu saja sudah cukup. Sensei juga lihat sendiri ‘kan Kurosaki-san hari ini? Meski katanya udah berhenti dari balet, tubuhnya masih terjaga dengan baik. Dia keras kepala dan pantang menyerah sampai bisa. —Tapi yang paling penting, dia terlihat sangat menikmati tarian itu."


Saat mengatakan itu, Ruto tampak tersenyum mengingat sesuatu.


"Kalau begitu, aku nggak perlu jadi apa-apa selain sebuah awal. Karena aku yakin, Kurosaki-san akan bisa bangkit sendiri, dan mulai berlari ke depan dengan kakinya sendiri."


"Hee, kamu perhatian sekali ya, pada Nowa-chan."


"Enggak juga, nggak bisa dibilang perhatian banget."


Ruto hanya tertawa santai. Bagiku, kata-katanya itu terdengar seperti langit berbintang—masa depan yang terlalu menyilaukan.


"Aku cuma… pengen menari bersama Kurosaki-san."


"—!"


Dug, dadaku berdebar kecil, seolah riak menggetarkan seluruh hatiku.


Mungkin… mungkin saat itulah, hidupku bergerak ke arah yang baru. Sebuah jalan bercabang, dan aku memilih cabang yang berbeda.


"……"


Detak jantung yang tadinya tenang mulai berdetak keras.


Egonya yang kusimpan dalam-dalam di hatiku, kini tertelan oleh dorongan yang jauh lebih besar. Kata-kata dari Ruto membakar dan mengalir ke seluruh tubuhku.


Apa yang harus kulakukan dengan panas ini?


Sambil menempelkan tangan ke dadaku, aku membuka pintu studio dengan suara keras bang, seperti hendak memutus keraguan.


Suara dan getaran itu membuat Ruto dan sensei menoleh kaget ke arahku.


"Ruto!"


Tanpa sadar, aku memanggilnya seperti itu.


Mengikis jarak yang selama ini membuatku ragu, aku melangkah mendekat ke arah Ruto dengan langkah besar.


"Panggil aku Nowa. Karena aku juga akan memanggilmu Ruto mulai sekarang."


"Uh, o-oke… kalau begitu…"


Ruto—ya, Ruto—mengangguk terkejut, dan bahkan aku sendiri cukup terkejut setelah mengatakannya. Tapi kata-kata yang muncul dari mulutku tak mau berhenti.


"Aku pernah bilang ‘aku akan menemaninya’, kan? Aku nggak suka melakukan sesuatu setengah-setengah."


Bahkan sekarang, kata-kataku tetap canggung.


Padahal aku bisa menyampaikan semuanya dengan lebih sederhana.


Bisa saja aku bilang: aku ingin jadi rekanmu. Sesederhana itu.


Aku ingin berjuang bersama mengejar tujuan yang sama, ingin menjadi partner seperti itu—kalau bisa menyampaikan perasaanku sejujur itu…


Tapi aku hanya bisa mengangkat dagu dan membusungkan dada seolah ingin terlihat tegar, dan mendengus, "Hmph."


"Makanya, Ruto…"


Mungkin nanti, jauh di masa depan, aku akan menyampaikan rasa terima kasihku.


Karena kamu sudah mengulurkan tangan pada gadis yang takut untuk menggandeng siapa pun.


Karena kamu sudah mengajakku menari bersama.


Aku akan bilang… aku senang, sungguh senang.


"Ajari aku menari."


Mendengar permintaanku, Ruto sempat terdiam sejenak. Lalu seolah menyadari sesuatu, dia tersenyum lebar.


"Kalau gitu, pertama-tama, coba senyum dulu. Mana bisa nikmatin dansa kalau wajahmu kayak lagi marah begitu."


"Maksudmu apa? Mau bilang mukaku selalu cemberut?"


"……………Nggak kok, enggak sama sekali."


"Kamu itu pembohong yang parah, ya!?"


Sensei menatap kami dengan senyum yang seolah sudah bisa menebak arah cerita ini dari awal. Hal itu agak menyebalkan… dan sedikit memalukan. Tapi di tengah pusaran emosi samar itu, sekarang hatiku punya satu hal yang jelas.


Aku ingin menari. Bersama anak laki-laki lurus dan ceroboh ini, yang mengulurkan tangan kepada gadis kesepian sepertiku.


Begitulah perjalanan panjang dan berliku yang kami lalui, sampai akhirnya aku dan Ruto menjadi pasangan dansa.


***


Kalau dibilang aku lengah, ya mungkin benar juga.


Soalnya, semuanya berjalan lancar.


Dengan pertunjukan utama tinggal besok, tarian kami sudah mencapai tahap akhir yang nyaris sempurna.


Bahkan kalau dibandingkan dengan masa SMP sebelum aku berhenti menari, hasil latihan kami saat ini tidak kalah. Malah aku merasa kemampuanku sekarang lebih baik.


Awalnya aku khawatir soal jeda latihan yang terlalu lama, tapi ternyata tubuhku masih ingat bagaimana cara menari. 


Step, isolasi, putaran, pengambilan ritme dan interpretasi musik—semua itu terasa menyenangkan meski hanya dasar-dasar. Bahkan rasa lelah setelah latihan terasa memuaskan.


Kerja samaku dengan Nowa juga mulai sempurna.


Insiden di rumah hantu waktu itu memberiku kesempatan untuk mengenal Nowa lebih dalam. Mengenal partner sangat penting dalam tarian duet.


Kepercayaan yang menghubungkan kami membuat kami tidak ragu. Justru, itu memberi kami kebebasan, kelenturan, dan kekuatan—seolah-olah kami sedang mengepakkan sayap ke langit luas. Perasaan bahwa aku terhubung dengan Nowa, dan tekad untuk tidak kalah, menjaga kualitas latihan kami tetap tinggi.


Hari ini lebih baik dari kemarin.

Dan besok pasti lebih baik dari hari ini.


Semakin kami menumpuk perasaan, semakin kami memaksimalkan tubuh, tarian kami akan menjadi lebih baik. Itu bukan kesombongan, tapi keyakinan yang nyata—dan kami berdua bisa merasakannya.


Jadi, ya, mungkin karena itu…


Aku mulai ingin segera tampil di atas panggung.


Aku ingin semua orang melihat tarianku bersama Nowa.


Aku mengakui bahwa keinginan yang terburu-buru semacam itu memang ada dalam diriku. Dan bersamaan dengan itu, aku juga mengakui bahwa aku terlambat menyadari bahaya besar yang sebenarnya sudah mendekat hingga ke kakiku.


――Pagi.


Setelah menyelesaikan rutinitas baruku—joging ringan di jalan setapak pegunungan dan mandi pagi di pemandian air panas penginapan—kejadian itu pun terjadi.


"……?"


Saat aku bergegas kembali ke kamar agar tubuhku yang masih hangat tidak kedinginan, aku mendengar suara humming ceria dari ujung koridor. Aku mencoba mengingat ulang denah penginapan di kepalaku, berusaha mengingat apa yang ada di balik sana.


Kalau tidak salah, dapur.


Sama seperti ruang kemah yang sempat kami gunakan tempo hari, dapur ini bisa dipakai sesuka hati selama sudah dipesan sebelumnya. Aku ingat kemarin Seira menggunakannya untuk menggoreng kentang sebagai camilan pukul tiga sore.


Hanya sedikit rasa penasaran.


Siapa sih yang bangun sepagi ini dan sudah beraktivitas?


Dengan rasa penasaran itu, aku pun mengintip ke dapur. Dan yang kulihat adalah rambut kuda hitam yang bergoyang dengan riang mengikuti irama humming.


Nowa, mengenakan celemek hijau muda, pipinya sedikit memerah seperti terkena panas dari kompor. Meski begitu, dia tampak sangat ceria saat menyenandungkan lagu sambil memutar sendok sayur dengan gerakan melingkar. Bahkan dari luar pun sudah jelas kalau dia sedang dalam suasana hati yang baik.


Lalu, mungkin karena mendengar suara, Nowa pun menoleh sambil membuat rambut kuda hitamnya menari dan berkata:


"Ah, Ruto. Aku yang masak sarapan hari ini, lho―"


"Sialan, aku lengahhhhhh!!"


Aku tahu ini bukan gayaku, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.


Di dalam panci yang diaduk oleh Nowa, cairan ungu itu mengeluarkan suara menggelegak yang sangat tidak menyenangkan. 


Aku bahkan tak sempat menebak ini makanan apa. Apakah ini rawa beracun yang mengeluarkan gelembung, atau kuali penyihir? Imaji yang terlintas di kepalaku hanya sebatas itu. Pokoknya, apapun itu, benar-benar tidak pantas disajikan di meja makan, dan bahkan sulit untuk dijelaskan.


Aku menelan ludah.


Ironisnya, reaksi tubuhku sama seperti ketika melihat makanan yang enak. Tapi maksud dari reaksi itu bukan karena nafsu makan, melainkan ketakutan murni yang menusuk langsung ke pusat saraf.


"Soalnya, waktu itu Seira kan sempat masakin kari buat kita. Jadi aku pikir kali ini biar aku aja yang gantian masak"


Benar, memang ada tanda-tandanya. Semua petunjuknya sudah ada sejak awal.


Di kereta menuju sini, dia sempat bergumam ingin belajar masak dari ibu. Saat masak-masak saat kemah pun dia terlihat semangat bantu-bantu. Memang ada beberapa kejadian yang memicu keinginan Nowa untuk memasak.


Kenapa aku anggap itu semua angin lalu?


Kenapa aku tidak bertindak lebih awal, Maiori Ruto?


Karena kelalaianku itulah, benda menjijikkan yang berbau amis ini sekarang muncul di dunia nyata!


"Sial… andai saja Seira ada di sini…"


"……? Seira tadi sempat bantuin kok"


"Eh, ah, iya?"


Seira sebenarnya cukup jago masak. Belakangan ini dia juga sering belajar dari Ibu, jadi keahliannya terus meningkat. Kalau Seira tadi ikut bantuin, mungkin saja masakan Nowa ini, walaupun tampilannya begini, masih bisa dimakan.


Aku menghela napas lega, lalu menoleh untuk melihat sekitar dapur secara sekilas.


"Terus, Seira-nya sekarang di mana?"


"Itu, di sana"


Mungkin karena tangannya sibuk mengaduk panci, dia hanya mengangguk kecil sambil menunjuk dengan dagu ke arah 'sana'.


Tepat di sebelahku.


Di dekat pintu masuk dapur, ada sebuah lemari pendek, dan bersandar di sanalah――


Seira tampak tergeletak dengan wajah damai seolah sedang tidur nyenyak.


"Se, Seiraaa――!?"


Apa ini yang disebut ekspresi kematian? Wajah Seira yang pucat pasi benar-benar tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.


Tubuhnya sama sekali tidak bergerak, dan di dalam kepalaku mengalun BGM mengejutkan layaknya adegan penemuan mayat di drama horor.


Ujung jari Seira yang terjulur lemas meninggalkan tulisan merah di lantai dengan goresan yang nyaris tak bertenaga: "Pelakunya adalah Black Wing."


Sempat kupikir itu darah, tapi setelah kulihat lebih dekat, ternyata itu hanya saus tomat. Kalau sudah sejauh itu nulisnya, kenapa gak sekalian tulis nama aja sih.


"Hei, Seira, kamu gak apa-apa!?"


"……Uu, uuh…… Ru…kun……?"


Saat aku mengguncang bahunya pelan, Seira membuka matanya sedikit.


"Ma-maaf ya, Ruu-kun… Dalam anime, heroine yang masakannya payah itu kan hal biasa. Aku sempat berpikir kalau rasa yang agak gagal pun bisa dimaafkan karena ada cinta dan masa depan yang bisa diharapkan darinya… Tapi lihatlah aku sekarang. Baru nyicip aja hasilnya bisa begini. Silakan tertawa…"


"……Parah banget, ya, masakannya Nowa?"


"Pertama-tama, dia nyuci beras pakai sabun pencuci piring"


Hari ini, mungkin aku akan mati. Meski udara pegunungan pagi ini terasa cukup sejuk, tubuhku malah terus mengucurkan keringat dingin yang tak henti-henti.


"Ah, tenang saja…… walaupun aku gak bisa bilang ‘gak bahaya sama sekali’, setidaknya bagian-bagian yang benar-benar berpotensi membunuh sudah aku cegah. Jadi ya, itu cuma masakan yang… luar biasa gak enak, gitu aja"


"……Beneran? Soalnya aku sama sekali gak bisa membayangkan bisa selamat setelah makan ‘itu’"


"Good luck, Ruu-kun. Kalau memang ada kehidupan setelah ini… aku ingin bertemu denganmu lagi"


Itu terdengar sangat keren—atau lebih tepatnya seperti wasiat terakhir—lalu Seira pingsan seketika.


Seberapa jauh aku bisa mempercayai pernyataan "tidak membahayakan tubuh" itu?


Naluri dasarku berteriak, lari!—dan aku pun langsung membalikkan badan untuk kabur, tapi tiba-tiba kerahku ditarik keras.


"Pas banget. Aku malas bawa makanannya ke kamar, jadi makan di sini aja. Sekalian cuci piring juga bisa langsung, kan"


"Eh, e-eh, nggak, tunggu…"


Aku menggelengkan kepala dengan penolakan, tapi tentu saja tak ada belas kasihan.


Di sebuah meja kecil di sudut dapur, aku dipaksa duduk di kursi bundar mungil, dan tak bisa berbuat apa-apa selain duduk dengan wajah pucat dan keringat dingin menetes seperti seorang terpidana mati menunggu eksekusi.


Nowa datang membawa masakannya.


Di atas piring besar yang diletakkan di hadapanku, cairan ungu pekat mendidih mengeluarkan suara seperti gobogobo.

Jujur saja, kalau tiba-tiba ada makhluk hidup baru muncul dari dalamnya, aku juga tidak akan terkejut.


"……Chef. Masakan ini, apa ya?"


"Dari manapun kamu lihat, jelas ini white stew. Bukannya kamu tipe yang makan pakai nasi ya, Ruto?"


"…………Bagian mana yang putihnya, coba"


Apa mungkin…Maksudnya "white" di sini adalah karena setelah makan, tubuh ini akan 'terbakar habis jadi putih'…? Maksud simbolis gitu?


Aku mati-matian mencari jalan bertahan hidup, tapi satu-satunya hal yang kutemukan hanyalah senyuman ceria Nowa di hadapanku.


Dengan dagu bertumpu di atas kedua tangannya yang terlipat, dia menunggu dengan penuh harap agar aku segera makan.


Senyum yang benar-benar tanpa tipu daya itu menyadarkanku bahwa dia benar-benar memasak ini demi diriku――


"……"


Aku menutup mata dan menghembuskan napas dalam-dalam.

Siapkan mentalmu, Maiori Ruto. Bukankah kau adalah partner satu-satunya bagi Nowa?


Sebagai bentuk permintaan maaf pada lambungku yang akan segera menanggung beban berat, aku mengusap perutku dengan lembut.


Lalu, aku mengambil sendok, membuka mulut perlahan sambil gemetar.


"....... selamat makan"


"Ya, silahkan disantap!"


Suara Nowa terdengar lebih ceria dari biasanya saat mendorongku untuk makan.


Aku mencelupkan sendok ke dalam piring besar itu.


Gak apa-apa, pasti gak apa-apa. Bagian berbahaya katanya udah dicegah sama Seira, jadi pasti aman.


Meski ketika aku menarik sendok, cairannya mengeluarkan benang-benang mengkilap seperti lendir natto… tetap saja, pasti gak apa-apa.


Dengan penghiburan yang hampir seperti sugesti diri, aku menegaskan bahwa ini hanyalah "bahan makanan".


Dan perlahan-lahan, aku memasukkan sendok itu ke mulut――――――――


Saat aku sadar… Yang kulihat di depanku adalah nenek yang sangat kusayangi, yang telah meninggal saat aku masih kecil.


Nenek? Kenapa nenek ada di sini?Kenapa tersenyum sambil melambaikan tangan?


"Kau belum boleh ke sini, sayang."


Apa maksudnya?


Apa yang sebenarnya terjadi?


***


Kupikir aku adalah tipe orang yang tidak percaya hal-hal berbau gaib, tapi sekarang aku harus mengubah pandanganku.


Kalau aku sampai mengalami pengalaman mendekati kematian yang begitu nyata, aku tak bisa lagi menyangkal keberadaan alam baka.


"Ruto? Kalau kau merasa gak enak badan, mau aku bantu mandikan?"


"Enggak, aku bisa sendiri"


Ajakan dari Yuuma yang datang bersamaku ke pemandian umum kutolak halus.


Bukan soal enak badan atau tidak, tapi dimandikan teman cowok itu rasanya terlalu memalukan.


Tapi… hmm?Tatapan Yuuma barusan… kenapa aku merasa dia tampak kecewa?


Ya sudah, saatnya susun ulang ingatan.


Setelah makan masakan Nowa, aku sadar sekitar lewat tengah hari. Pada sensei dan Yuuma, aku bilang saja kalau aku ketiduran karena kelelahan.


Tapi mereka berdua menatapku dengan penuh kasih… tidak, lebih seperti tatapan para pejuang yang baru pulang dari medan perang.


Mungkin selama aku pingsan, mereka juga sempat mencicipi hasil masakan Nowa.


Bagaimanapun juga, tinggal dua hari lagi menuju pertunjukan.


Karena sudah melewatkan sesi pagi, aku memutuskan untuk benar-benar fokus latihan menari di siang hari.


Seira dan Yuuma tetap setia mendukung kami, dan Yaezakura-sensei muncul di ruang kontrol audio untuk festival.


Katanya, ada masalah teknis dengan peralatan dan dia turun tangan membantu menyelesaikannya.


Saat kutanya kenapa dia bisa paham urusan teknis begitu, katanya karena guru sekolah sering terlibat dalam pengelolaan acara seperti festival budaya dan olahraga, jadi lambat laun jadi terbiasa menangani masalah peralatan.


Menjelang matahari terbenam, staf festival mulai menatap Yaezakura-sensei dengan penuh hormat.


……Yah, memang luar biasa orang itu.


Sambil diam-diam menyimpan rasa hormatku pada Yaezakura-sensei, aku melangkah di atas lantai batu kamar mandi umum.


Tampaknya ada sumber mata air panas alami di dekat sini, karena semua kolam pemandian di penginapan ini menggunakan air panas asli.


Khasiatnya sangat beragam, dan terutama sangat membantu untuk menghilangkan kelelahan serta nyeri otot—sesuatu yang benar-benar berharga bagi tubuh yang diporsir karena latihan menari. Seiring berjalannya waktu sejak awal pelatihan, aku sudah sepenuhnya jatuh cinta pada onsen ini.


"Ruto, kamu kelihatan suka banget sama onsen di sini ya. Ini udah yang keberapa kalinya hari ini?"


"Mandinya pagi, terus satu lagi buat ngusir kantuk waktu bangun siang. Habis latihan sore aku mandi lagi, dan sekarang, setelah makan malam… jadi, yang keempat."


"Kamu yakin gak kenapa-kenapa? Badanmu jangan-jangan udah jadi lunak tuh."


Kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Aku mungkin udah agak keterlaluan.


Tapi onsen di sini punya banyak variasi, dan pemandian terbukanya memperlihatkan pemandangan pegunungan yang gak bisa dilihat di Tokyo. Pemandangan pegunungan yang berubah-ubah tergantung cuaca dan waktu itu begitu memukau sampai rasanya gak akan pernah bosan untuk menatapnya.


Dan yang paling kusuka—saunanya luar biasa. Suhunya pas di seleraku. Aromanya harum seperti kayu hinoki yang elegan, sampai-sampai rasanya seperti mandi di hutan. Kolam air dinginnya juga menyegarkan, dan kursi untuk bersantai disediakan di tempat strategis yang menghadap ke pemandangan dedaunan musim gugur.


Sistem sarafku terasa seimbang, metabolisme meningkat, dan darahku mengalir lancar ke seluruh tubuh. Sensasi seolah kelelahan dan kotoran meleleh bersamaan. Mungkin inilah yang orang-orang sebut sebagai totonou—mencapai kondisi prima. Berkat sauna ini, aku bisa menjaga tubuhku tetap sempurna selama hari-hari pelatihan yang berat ini――


"Eii!"


"Wah!? Eh, Yuuma!? Kenapa tiba-tiba siram aku air panas!?"


Yuuma menyiramkan air dari atas kepala sambil bicara dengan nada yang entah kenapa terdengar ambigu.


"Entahlah, aku cuma merasa kamu gak bakal balik lagi ke sini."


Tubuh Yuuma yang samar-samar terlihat lewat uap onsen tampak putih dan mulus tanpa noda sedikit pun. Meskipun dia laki-laki, aku sempat merasa sedikit iri karena kulitnya yang seindah itu. Tapi, ada satu hal yang mengganjal:


"Eh, kenapa sih kamu nutup dada pakai handuk segala?"


"……Kamu mau lihat? Kalau mau, Ruto, aku bisa kasih lihat secara khusus kok."


"Idiot."


Ucapan konyol itu langsung kubalas dengan satu kata, lalu aku berjalan ke tempat membilas. Setelah keramas dan mencuci tubuh berdampingan dengan Yuuma, kami pun pindah ke pemandian terbuka.


Mungkin karena waktunya sudah cukup malam, tak ada satu orang pun di sekitar. Tempat ini terasa seperti kami yang menyewanya secara pribadi.


Pemandangan pegunungan sudah terbenam dalam kegelapan, jadi kami tidak bisa lagi menikmati dedaunan musim gugur seperti siang tadi. Tapi, sebagai gantinya, bintang-bintang yang bertaburan menghiasi langit malam dengan cahaya lembutnya.


Udara pegunungan yang jernih membuat bintang-bintang terlihat sangat jelas.


Kami berendam di dalam kolam terbuka yang dikelilingi batu, hanya menatap ke atas menatap bintang-bintang.


Rasa lelah seolah-olah larut dalam air onsen. Pemandangan bintang yang menakjubkan, sesuatu yang tak bisa kami alami di tengah kota, memberikan sensasi luar biasa. Mungkin karena suasana itu, Yuuma tiba-tiba berkata sesuatu tanpa konteks.


"――Aku ingin jadi aktor 2.5D."


"Aktor 2.5D?"


"Itu lho, aktor yang memerankan karakter dari manga atau anime saat dipentaskan di atas panggung."


Bukan karena melihat bintang jatuh, mungkin. Tapi dalam tatapan Yuuma yang menatap langit malam, ada rasa kagum dan kerinduan yang nyata.


Itu bukan keinginan setengah-setengah seperti ‘pengen coba-coba’ atau ‘kalau bisa sih bagus’.


Dia benar-benar memikirkan masa depannya, dan sebagai bagian dari perjalanan hidupnya, sekarang dia sedang menyatakan mimpinya.


"Kedengarannya bagus. Aku rasa itu cocok buatmu."


"……Hmmm."


"Apa lagi?"


"Entah ya… kedengarannya terlalu ringan aja. Soalnya ini pertama kalinya aku bilang mimpiku ke orang lain, lho."


"Kalau kamu ngomongnya cuma iseng, mungkin aku bakal nyelutuk sesuatu. Tapi kalau itu benar-benar mimpi yang ingin kamu wujudkan, aku ya cuma bisa dukung."


Jadi, aku cuma bicara jujur.


Aku nggak begitu tahu detail soal dunia aktor 2.5D. Tapi Yuuma yang suka anime dan manga, dan serius banget ikut klub teater, menurutku pasti cocok. Karena aku merasa begitu, aku ingin mendukungnya, tulus. Sesederhana itu.


"……Gitu ya."


Yuuma menatap wajahku cukup lama, lalu bertanya dengan nada santai:


"Ruto, kamu ya… kamu tuh gak pernah jelek-jelekin orang yang lagi serius berjuang ya."


"Hah? Bukannya itu hal biasa aja?"


"Nggak juga. Coba deh buka SNS atau kolom komentar di aplikasi manga, kamu bakal tahu. Banyak orang yang ngehina atlet yang serius bertanding, atau nyinyir ke karya yang dibuat dengan sepenuh hati, kayak itu hal biasa. Kamu tahu kan, soal perundungan dan hinaan di internet."


Apa yang dikatakan Yuuma terasa dekat.


Meski tidak secara langsung, salah satu alasan aku berhenti menari dulu juga karena suara-suara netizen di SNS. Aku nggak mau bilang semuanya jahat, tapi ada beberapa yang benar-benar menulis dengan niat menyakiti.


Sebagai seorang atlet di bidang pertunjukan seperti dansa, mendapat penilaian dari orang lain adalah hal wajar. Bahkan kritik pedas pun, bisa jadi pelajaran buat berkembang.


Tapi tetap saja…


Di dunia ini, memang ada orang yang sengaja menyakiti mereka yang sedang berjuang keras. Aku gak paham kenapa orang-orang itu bisa begitu. Soalnya, menurutku, berjuang sungguh-sungguh itu sendiri sudah pantas untuk dibanggakan.


"Apa kamu pernah ada yang bilang begitu ya? Kalau mimpi jadi aktor 2.5D itu konyol gitu?"


"Eh? Ah, nggak, bukan itu kok. Aku bukan tipe yang terlalu peduli dengan omongan orang."


Yuuma tertawa kecil sambil bilang kalau aku orang pertama yang dia beri tahu soal mimpinya jadi aktor 2.5D.


Mungkin memang belum semua orang terbuka terhadap dunia anime dan manga. Kupikir ada yang menghina atau menertawakan impiannya, tapi ternyata bukan itu yang ingin dia sampaikan.


"Cuma――rasanya menyenangkan aja, bisa didukung saat menyampaikan hal yang ingin kita lakukan."


Katanya begitu, sambil tersenyum lembut.


Aku tak mau besar kepala, tapi kalau caraku merespons barusan bisa sedikit saja membuat senyum itu muncul, maka aku juga merasa sedikit bahagia.


"Yah, gimana ya. Di pelatihan ini aku juga dibantu banyak, jadi kalau butuh bantuan, bilang aja."


"Aku sih gak mikirin soal balas-budi, tapi… hmm, gini deh."


Zabaa!


Yuuma berdiri dari air, dan dengan mata yang tenang dia menatapku dari atas.


Entah kenapa… suasananya berubah. Dia nggak lagi memancarkan aura kalem dan lembut seperti biasanya.


Malah seperti memaksakan ekspresi malas, agak menyimpang, dan bayangannya terasa seperti… sesuatu yang pernah kulihat sebelumnya.


"――Menurutmu gimana, Ruto?"


Dan perbedaan yang paling mencolok—suara yang barusan bertanya itu terdengar jelas berbeda dari suara biasa milik Yuuma.


Mungkin itu tiruan suara dari salah satu karakter. Bisa jadi, demi mengejar impian jadi aktor 2.5D, dia sudah mulai berlatih akting. Kalau begitu, maksud permintaan bantuannya adalah agar aku menilai aktingnya atau semacam itu?


"Suaramu keren juga. Itu tiruan suara karakter anime, ya?"


"Bukan, itu tiruan suara kamu, Ruto."


Aku barusan bilang suara keren… Malu banget.


Kalau soal seperti apa suara kita sendiri, jujur aja, kita biasanya nggak tahu. Dan pas aku jadi nggak tahu harus gimana, wajahku rasanya panas dan aku mulai garuk-garuk kepala tanpa alasan.


"…Hm?"


Setelah keluar dari air, Yuuma berjalan di atas batu panas dengan langkah pelan dan berhenti di suatu tempat. Di depan pagar bambu yang jadi sekat antara pemandian luar ruangan cowok dan cewek.


"Kalau mau jadi aktor 2.5D, kemampuan akting lewat suara itu penting juga, kan? Makanya aku mau pinjam suaramu buat latihan."


Pinjam suara? Maksudnya gimana?


Aku sama sekali nggak ngerti maksud Yuuma ataupun apa yang sedang dia coba lakukan.


Saat aku masih bingung harus jawab apa, Yuuma menoleh ke arah bagian atas pagar bambu. Mungkin karena dia anak klub teater, suaranya keluar dengan kuat dan jelas menembus malam yang sunyi.


"Nowaaa, dengerin nggak—?"


Suara Yuuma itu… ya, benar-benar tiruan dari suaraku. Apa sih yang dia lakuin?


"Shampoo di pemandian cowok habis nih. Bisa pinjamin shampoo dari sana nggak? Ayolah, Nowa, kita kan udah akrab, tolong dong?"


Nada bicaranya, aksennya, semua agak beda dari biasanya—dia meniru suaraku. Jadi intinya, apa?


Maksudnya "pinjam suara buat latihan" itu sebenarnya pengen nyoba lihat apakah suara tiruannya bisa menipu Nowa?


Memang sih, latihan langsung itu cara terbaik buat jadi lebih mahir, tapi masa ini cara paling efektif buat latihan tiruan suara?


"Nowaaa, nggak denger, ya?"


Dan seperti yang kuduga, tiruan suara Yuuma nggak berhasil. Sisi lain dari pagar tetap diam.


Yah, memang seharusnya begitu.


Aku nggak tahu sejauh apa tiruan suaranya mirip, tapi aku dan Nowa sudah jadi partner dansa selama tiga tahun. Bilang kalau kita punya ikatan itu agak malu, tapi aku yakin Nowa nggak akan salah dengar suaraku dan mengira itu suara orang lain.


Lagipula, pikirkan logikanya. Kalaupun itu benar-benar aku yang minta, apa iya Nowa bakal ngasih shampoo dari pemandian cewek ke cowok?


Permintaan itu aja udah nggak masuk akal. Nanti pas selesai mandi, aku bakal jelasin semuanya ke Nowa.


…Atau, begitulah pikirku sampai…


Pong!


Sebuah botol shampoo melayang dari arah pemandian cewek dan mendarat dengan pas di tangan Yuuma.


…Eh?


Nowa baik banget.…Tapi aku pengen dia sadar dong, itu bukan suara asliku.


Sambil aku lagi merasa kecewa karena alasan yang nggak jelas, Yuuma mendekat sambil nunjukin botol shampoo itu ke arahku.


"Gimana, Ruto? Kamu terangsang?"


"Apa yang kamu pikirin tentang aku, sih?"


Aku tahu sih di dunia ini ada orang dengan berbagai macam preferensi aneh, tapi aku nggak pernah nyangka aku bakal dianggap tipe cowok yang terangsang cuma karena shampoo.


"Bukan gitu. Maksudku, ini kan pemandian, ya. Berarti, waktu Kurosaki-san melempar shampoo ini ke arah pemandian cowok, dia pasti lagi telanjang, kan? Nah, coba pikirin itu. Sedikit aja, nggak bikin kamu deg-degan? Eh, meski aku pribadi sih nggak terlalu tertarik sama cewek 3D."


"Aku bener-bener nggak ngerti kamu mau ngomong apa."


"Tapi tunggu. Karena kita nggak lihat langsung, ini masuknya ke wilayah imajinasi. Kayak fiksi buatan gitu. Jadi, ini masuk ranahku! Seperti Newton yang menciptakan teori gravitasi setelah melihat apel jatuh dari pohon! Inspirasi bisa datang dari mana aja! Dari shampoo ini, kita bisa kembangkan sayap imajinasi dan menciptakan dunia baru—nggak, bahkan karya seni sejati! Aku akan jadi Newton-nya dunia otaku!"


"Kamu tuh, mukamu cakep, tapi dalemnya… bener-bener nyesek, ya."


Aku hanya menatap Yuuma dengan pandangan hangat dari dalam air saat dia asyik dengan delusinya.


Barusan aku memang bilang nggak akan menghina orang yang berusaha sungguh-sungguh, tapi… yeah, kali ini boleh dikecualikan, ya. Soalnya, di dunia ini ada hal-hal yang tetap nggak bisa kupahami meski orang itu berusaha keras.


Udahlah, aku putuskan untuk kembali menikmati pemandian air panas.


Aaah, airnya enak banget.


POV Kurosaki Nowa 


"Nowa, ayo kita bahas soal oppai yang menyebalkan."


"Apa sih yang kamu omongin?"


Saat aku sedang menikmati air panas di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, Seira tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang langsung merusak suasana damai yang tadi menyelimutiku.


Mungkin karena waktunya yang pas, pemandian besar ini hampir seperti milik pribadi. Pegunungan yang diselimuti malam memang tak memperlihatkan warna-warni dedaunan musim gugur, tapi dari bayangan sunyinya yang samar diterangi cahaya bintang, aku bisa merasakan energi besar dari alam yang tak bisa ditemukan di kota. Ditambah lagi kehangatan airnya mengalir dalam tubuhku, mengisi kembali semangat untuk menghadapi hari esok.


Aku sedang tenggelam dalam suasana yang begitu nyaman, tapi komentar Seira yang duduk di sebelahku dan berendam bersamaku, membuatku meliriknya dengan tatapan malas.


"Apa maksudmu 'oppai yang menyebalkan' itu?"


"Itu kan adegan standar di anime dan manga. Saat cewek-cewek mandi bareng seperti ini, biasanya muncul adegan di mana mereka saling remas atau sentuh oppai. Adegan seperti ini sering terjadi kalau ada perbedaan ukuran dada atau salah satu punya kompleks soal dadanya."


"Kok dari tengah-tengah jadi kayak penjelasan manual, ya."


Jadi maksudnya apa? Dia pengin remas dadaku, gitu?


Ya, kalau cuma segitu mah... nggak bakal berkurang juga, silahkan aja.


"Kalau begitu, Nowa, silakan sentuh dadaku sesukamu."


"Ak—aku yang remas? Aku sih nggak tertarik."


"Bukan begitu. Ini semacam bentuk tekadku. Kau tahu kan pepatah itu—yang boleh meremas hanyalah mereka yang siap untuk diremas."


"Itu baru pertama kali aku dengar."


Seperti biasa, aku nggak sepenuhnya ngerti apa yang Seira omongin. Atau mungkin dia lagi ngutip dari anime? Tapi ya sudahlah, kalau itu bisa bikin dia senang, aku ikut aja.


"Kalau begitu, Nowa, kau boleh meremas, menekan, menghisap, bahkan menjilat sesukamu."


"Nggak akan kulakukan sampai sejauh itu!"


Seira berdiri dari air dengan suara cipratan besar, menaruh tangan di pinggang dan menatapku dari atas.


Dan wow, kalau dilihat begini lagi... dia punya tubuh yang luar biasa. Tangan dan kakinya panjang, pinggangnya ramping. Tapi tetap punya lekuk tubuh yang feminin dan berisi. Kulitnya putih dan halus, tubuhnya yang basah bersinar seperti menyerap cahaya bintang dari langit malam.


...Dan ya, memang terlihat menyebalkan.


Ketika melihat tubuh aslinya tanpa tertutup pakaian, tonjolan daging menyebalkan itu ternyata jauh lebih menyebalkan dari yang kubayangkan. Kalau harus dijelaskan dengan onomatope sederhana, rasanya begini—


"Barun barun!"


"Hm? Apa itu barusan?"


"Nggak, bukan apa-apa. Lupakan saja."


Aku menepis pandangan Seira yang kebingungan sambil memiringkan kepala.


Oke, jadi aku tinggal remas dadanya Seira, ya.


"Kalau begitu, aku mulai, ya."


"Silahkan, jangan sungkan."


Apa sih arti 'sungkan' dalam konteks ini?


Sambil berpikir begitu, aku menyentuh dadanya dari belakang—dan meremasnya.


Gyumuu.


Uwaa, apa ini...? Lembut sih, tapi bukan cuma lembut. Kulitnya halus banget, hangat, dan langsung terasa nyaman di telapak tanganku. Perpaduan semua itu membuat sensasinya luar biasa menyenangkan.


Tanpa sadar, aku menelan ludah.


U-uh...


Aneh. Padahal aku bilang nggak tertarik, tapi entah kenapa tanganku nggak mau lepas. Rasanya seperti meremas marshmallow yang nggak bisa hancur walau ditekan sekuat apapun. Daging lembutnya seperti punya daya tarik aneh yang bikin jari-jariku nggak bisa berhenti. Gimana ini?


"Hehe, gimana Nowa? Dada cewek juga nggak buruk, kan? Aku merawatnya dengan waktu dan biaya yang nggak sedikit, jadi pasti terasa enak, kan?"


Momi momi, guni guni.


"Aku juga rajin latih otot dada supaya terasa mantap saat diremas. Bukan otot keras kayak laki-laki, tapi otot lembut dan lentur. Aku juga sering stretching—"


Gyumu gyumu, funi funi.


"……U-um, Nowa? Aku nggak keberatan sih, tapi... kok rasanya kamu makin kencang... Ah, tunggu, bagian itu agak sensitif! T-tolong, lebih lembut sedikit...!"


Seira memelintir pinggangnya dan menyingkir sedikit, membuatku sadar diri.


Hah! Gawat. Tanpa sadar aku jadi terlalu fokus.


Spontan aku melepas tanganku dari dadanya. Ujung jariku masih sedikit bergerak, tapi aku menahan diri sekuat tenaga. Bahaya, bahaya.


"F-fufufu! Ternyata kau punya sisi aktif juga, ya Nowa. Sampai-sampai kau tak mendengar suaraku. Benar-benar budak nafsu! Binatang birahi! Boneka yang dikendalikan oleh hasrat!"


"Jangan kasih aku julukan aneh-aneh, dong!?"


"Kalau aku sudah diperlakukan sebebas ini, maka aku pun akan bertindak bebas tanpa ragu!"


"...Iya iya, silakan."


Aku membalikkan badan, menyandarkan diri pada Seira agar dia bisa meremas dengan mudah.


Tangan rampingnya merayap dari bawah ketiakku seperti pemangsa yang siap menyerang, dan langsung menggigit dadaku. Dalam proses itu, kukunya mencakar ujung dadaku dengan ringan—


"………Ahhn!"


Sebuah suara lolos dari mulutku, dan buru-buru kututup dengan tangan.


Suaranya tiga oktaf lebih tinggi dari biasanya.


Aku memutar leher untuk melihat ke belakang, dan mendapati wajah Seira membeku—dan memerah seperti tomat.


"…Nowa. Suaramu barusan tuh… terlalu erotis, atau, ya…"


"Di-diam, ah!"


Aku sendiri juga nggak nyangka suara kayak gitu bisa keluar dari mulutku.


Ugh… malu banget… Bahuku sampai gemetaran, jadi aku cepat-cepat merendam tubuh lebih dalam ke air untuk menenangkannya. Tapi Seira masih menempel di punggungku dan terus meremas-remas dadaku.


"…Gimana, enak nggak?"


"Umu, umu umu, pas banget. Ukuran paling imut yang cocok dengan gadis sporty seperti dirimu. Tapi kalau kau ingin lebih besar, aku siap membantumu tumbuh dengan teknik remasan spesialku."


"Aku suka ukuran yang sekarang. Kalau terlalu besar malah ganggu saat menari."


"Tapi menurutku Ruu-kun lebih suka yang besar, deh. Di rumah, pas aku pakai baju yang agak longgar di bagian dada, dia diam-diam suka ngintip."


"Kalau begitu remas saja sepuasnya, Seira. Lebih kuat, seperti menguleni adonan mi."


"Serahkan padaku!"


Aku rasa anggapan bahwa dada bisa membesar kalau diremas itu cuma mitos, tapi mencoba kan lebih baik daripada tidak sama sekali. Lagipula, aku juga nggak akan rugi apa-apa. Kalau tidak dilakukan, kemungkinan tetap nol.


Dan yang paling penting, dasar si bodoh itu. Dari dulu pandangan matanya tuh gampang banget ditebak. Cewek tuh sensitif soal tatapan kayak gitu, jadi harusnya lebih halus, atau setidaknya lakukan dengan lebih pintar.


…Nggak, bilang "lebih pintar" juga aneh, ya. Lain kali kalau aku melihatnya lagi, aku akan tendang tulang keringnya. Seperti gerakan kick turn. Pokoknya biar sakitnya nempel lama.


Saat aku diam-diam memutuskan begitu, Seira yang menempel di punggungku tertawa kecil. Ketika aku menoleh seakan bertanya "apa?", dia membalas dengan senyum hangat yang lembut.


"Hehe, Nowa benar-benar suka sama Ruu-kun, ya."


"Eh!? Bukan suka dalam arti itu, tahu! Ini, yah… sebagai partner! Sebagai rekan dansa, aku cuma ingin memahami perasaan Ruto sebanyak mungkin! Ini bentuk kebaikan hatiku!"


Aku sendiri nggak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan.


Mulutku ini memang selalu begini. Di saat penting, aku nggak bisa jujur, udah bawaan lahir, deh, keras kepala banget.


Dengan bibir yang tersenyum, aku bergumam, "Uuuh…" seperti anak kecil. Seira menatapku dengan pandangan hangat, dan karena tatapan itu membuatku malu, aku membenamkan wajah ke dalam air.


"Kalau begitu, bagaimana denganmu, Seira? Kamu suka sama Ruto?"


"Aku suka. Kalau itu keinginan Ruu-kun, aku bahkan siap memberikan segalanya untuknya."


Jawaban langsung, tanpa ragu. Tidak ada nada berlebihan atau penekanan dalam ucapannya.


Seira mengatakan itu dengan sangat alami, seperti menyebutkan fakta yang jelas. Mendengar keyakinannya itu, aku sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum kecil dengan perasaan seperti menerima kebenaran.


Seira bukan tipe orang yang akan ragu-ragu soal hal seperti itu, bukan sekarang.


Dia gadis yang rela datang jauh-jauh dari Amerika demi Ruto. Aku nggak pernah tanya detail alasan dia pindah, tapi jelas Ruto adalah pusat dari tujuannya.


"…Aku iri padamu. Pada kejujuranmu itu, Seira."


"Kepribadian yang menyimpang juga bisa menawan, lho. Lihat saja karakter tsundere, di dunia anime itu adalah kebutuhan abadi. Dan itu bukan sesuatu yang bisa diciptakan begitu saja."


"…Tunggu, maksudmu kamu ngomongin aku, ya?"


"Kamu baru sadar, ya?"


Dengan wajah menyebalkan, Seira tersenyum. Aku langsung menyiramnya dengan air.


Mungkin semuanya memang berjalan seperti rencana Seira.


Dia memang kelihatan ceroboh, tapi sebenarnya licik.


Dia tahu saat suasana mulai serius, dan sengaja bercanda untuk mencairkannya. Dengan cara yang aku sendiri nggak bisa lakukan, dia menjaga suasana agar tetap menyenangkan.


Dan entah kenapa, itu sedikit membuatku sedih.


Sebagai teman… atau setidaknya, untukku, perhatian semacam itu sebenarnya nggak perlu.


"Hey, Seira."


Mungkin karena aku memikirkan itu…


Kata-kata yang biasanya takkan keluar dari mulutku, tiba-tiba saja lolos begitu saja.


"Kalau kamu benar-benar ingin Ruto, kamu nggak perlu menahan diri karena aku."


Aku tahu itu terdengar terlalu cepat. Tapi aku juga tidak merasa itu sesuatu yang jauh di masa depan.


Seira adalah gadis yang baik. Dia mampu berusaha keras demi orang lain, dan rela mengorbankan banyak hal demi tujuan. Dengan kekuatan dan sinarnya, dia mampu mendorong langkah Ruto yang sempat berhenti. Dia melakukan hal yang aku sendiri tidak bisa lakukan—gadis kuat yang baru kembali dari Amerika.


…Aku ingin dia mendapatkan balasannya.


Akan sangat menyakitkan jika gadis sebaik dan sekuat ini tidak bisa mendapatkan apa yang benar-benar dia inginkan.


Hatiku terasa sesak.


Tapi aku menegangkan wajah agar dia tak menyadarinya. Entah seberapa berhasil menyembunyikannya, tapi Seira hanya tersenyum kaku, seolah sedikit bingung.


"……Hmm, hmm~"


"? Maksudmu apa dengan reaksi itu?"


Dari sudut pandangku, aku sudah mengatakan sesuatu yang cukup berani. Tapi reaksi Seira justru tampak setengah hati. Masih dengan senyum canggung, dia berbicara dengan hati-hati seolah sedang memilih kata-kata.


"Aku memang berpikir kalau bisa jadi pacarnya Ruu-kun pasti akan menyenangkan. Hidup manis seperti dalam light novel romantis yang lagi ngetren, penuh kemesraan seperti gula yang meleleh, lalu menikah, punya banyak anak, dan di akhir hayat dikelilingi cucu sambil tenang menghembuskan napas terakhir."


"Nggak perlu sampai sejauh itu, tahu…"


"Tapi secara realistis, aku nggak merasa bisa jadi pacarnya Ruu-kun sekarang. Maksudku, ada masalah yang lebih mendasar, sih. Dalam hal cinta, Ruu-kun itu masih bocah. Bahkan levelnya bisa dibilang anak SD. Kadang aku sampai malu sendiri ngelihatnya."


"…Padahal kamu suka sama dia, kan?"


Meski begitu, aku bisa mengerti apa yang dia maksud.


Ruto bukan berarti nggak tertarik pada cewek. Tapi kalau soal cinta… atau lebih tepatnya, soal perasaan cinta yang ditujukan padanya, dia benar-benar lambat. Bahkan ketika ada obrolan atau sentuhan yang seharusnya bikin orang lain jadi sadar lawan jenis, dia nggak terlalu peduli.


Mungkin karena dia nggak memandang cewek dengan cara seperti itu, jadi dia juga nggak menolak kalau sampai mengucapkan hal-hal yang memalukan, atau bersentuhan secara berlebihan.


Kurasa dia belum pernah benar-benar membayangkan dirinya punya pacar atau jatuh cinta.


Atau mungkin lebih tepatnya, di dalam pikirannya nggak ada ruang untuk hal seperti itu. Karena—Ruto…


"Di dunia yang dilihat Ruu-kun, pusatnya adalah dansa."


Mungkin karena memikirkan hal yang sama, Seira menyambung kesimpulan yang hampir saja kukatakan.


"Mungkin Ruu-kun masih terikat dengan janji yang dia buat waktu kecil denganku."


"…Soal pergi ke Amerika dengan kemampuan dansanya untuk menemuimu, ya?"


"Iya. Karena aku datang ke Jepang lebih dulu, janjinya jadi agak buram, tapi aku yakin Ruu-kun masih mengejar janji itu. Sampai dia bisa menghasilkan prestasi cukup besar untuk pergi ke Amerika lewat dansa, dia nggak akan bisa memikirkan soal cinta. Ruu-kun hanya akan bisa mencintai seorang gadis setelah semua itu selesai."


Seira pun menenggelamkan tubuhnya lebih dalam ke air hangat itu.


Lalu, sambil memandang langit malam, dengan suara seperti sedang mengulurkan tangan ke arah bintang jauh di sana, dia berkata:


"Itulah kenapa aku iri pada Nowa."


"…Aku?"


"Aku cuma bisa mendukung impian Ruu-kun dari jauh. Tapi kamu bisa benar-benar berdiri di sampingnya dan membantu mewujudkan impian itu. …Aku iri, dan juga merasa frustrasi. Karena aku nggak bisa menari."


"…"


"Itulah sebabnya, aku ingin memintamu. Tolong jadilah kekuatan bagi tarian Ruu-kun, juga untuk bagianku."


Seira perlahan menggenggam tanganku.


Meski tangan kami bersentuhan di dalam air, sentuhannya terasa sangat hangat. Karena yang dia titipkan saat itu adalah hatinya sendiri. Saat menerima semangat sebesar itu, berpaling darinya jadi hal yang mustahil.


Sambil menggenggam erat tangan Seira, aku berkata,


"…Iya, aku akan berusaha."


Meskipun ucapannya pelan, tapi aku menuangkan seluruh perasaanku ke dalamnya.


Sepertinya tekadku tersampaikan dengan baik, karena Seira menatapku dan tersenyum lembut. Saat aku mulai merasa geli oleh kehangatan di matanya itu――


"Ngomong-ngomong, Nowa."


Entah sejak kapan, Seira kembali ke wajah menyebalkannya seperti biasa.


"Aku akan mengembalikan kata-katamu soal ‘jangan menahan diri’. Kalau nanti impian Ruu-kun benar-benar tercapai sepenuhnya, saat itu mari kita bertarung secara adil."


"…Itu maksudnya deklarasi perang apa lagi, sih?"


"Ngomong-ngomong, aku juga nggak keberatan kalau berakhir di rute harem, lho? Atau bahkan, mungkin itu justru yang terbaik? Ruu-kun di tangan kanan, dan Nowa di tangan kiri… hmm, ini benar-benar kemewahan yang luar biasa."


"Ini semua obrolan apa sih sebenarnya!?"


Kusiram Seira yang mulai berfantasi aneh-aneh dengan air hangat.


Seira juga tak mau kalah dan melawan balik, dan kami pun mulai bercanda tak jelas seperti anak kecil. Tapi rasanya menyenangkan.


Ini pertama kalinya aku membicarakan hal sedalam ini dengan seseorang. Walaupun baru kenal sebentar, aku sadar Seira sudah jadi teman penting bagiku. Rasanya sedikit malu, tapi aku akhirnya mengakui itu.


Lebih dari yang aku sangka, Seira ternyata adalah gadis yang bisa melihat jauh ke depan.


Dia bilang iri padaku, tapi sebenarnya akulah yang iri padanya. Pada hidupnya yang kuat dan jujur, yang begitu lurus seperti Seira. Aku ingin bisa hidup seperti itu juga.


"Hey, Seira."


"Ada apa?"


"Kau bilang ada sesi pemotretan majalah lusa, kan?"


"Ah, iya. Di dekat sini ada tempat dengan pemandangan daun musim gugur yang indah, dan katanya itu sering dipakai buat sesi pemotretan majalah tempat aku tampil. Waktu aku bilang akan ada training camp di sini, Ma'am langsung bantu atur semuanya. Dia bilang sekalian saja ambil foto yang bagus."


"Boleh nggak… aku ikut juga?"


Sebenarnya, aku juga sudah diundang ke pemotretan itu.


Waktu cosplay event di musim panas kemarin, aku tukeran kontak dengan ibunya Seira—Olivia-san, CEO brand fashion Erling Sunrise. Sejak itu aku sudah beberapa kali diundang jadi model.


Tapi karena sibuk dengan latihan dansa dan rasa minder karena berpikir "aku bukan tipe model", aku selalu menolak. Tapi… entah kenapa, aku jadi ingin melihat dunia yang Seira lihat.


Tentu saja aku nggak mikir dengan ikut jadi model aku bisa langsung seperti Seira. Tapi di luar semua pemikiran itu, sekarang aku merasa ingin mencoba langkah baru.


"Boleh nggak, kira-kira ya? Bukannya besoknya ada panggung?"


"Aku tahu jadwalnya. Aku bisa balik sebelum waktunya latihan, jadi nggak masalah."


Dan, aku menambahkan,


Sambil meletakkan tangan di dada, merasakan detak jantung yang berdegup kencang.


"Sekarang aku merasa… ada semangat yang menyala di sini. Aku ingin mencoba banyak hal."


Bukan karena terhanyut oleh langit berbintang. Bukan juga karena pusing karena berendam terlalu lama di air panas.


Ini… adalah kata-kata yang dipilih oleh hatiku sendiri.


"Baiklah, aku akan tanyakan ke Mama."


"Iya, makasih."


Seira tersenyum dan menerima permintaanku.


Tak ada bintang jatuh yang terlihat di langit yang bersinar itu. Tapi menurutku itu tidak masalah.


Aku nggak butuh takhayul soal permintaan yang dikabulkan atau sihir bintang keberuntungan. Karena yang namanya keinginan—sesuatu yang benar-benar kita inginkan—itu akan bersinar karena kita mengejarnya sendiri, dengan kaki kita, dengan tangan yang menjangkau sekuat tenaga. Itu sebabnya aku percaya—itulah cara mewujudkannya.


***


Sehari sebelum pentas.


Hari itu kami menyudahi latihan lebih awal supaya tidak terlalu capek besok.


Gerakan tari sudah tertanam di tubuh. Begitu mendengar musik, tubuh ini bisa bergerak dengan sendirinya. Aku sudah bekerja sama dengan Seira dan Yuuma untuk menyusun koreografi yang bisa menyampaikan nuansa anime, dan kami berulang kali memperbaikinya supaya tampilannya lebih baik.


Jadi, semuanya akan baik-baik saja. Aku yakin, besok akan sukses.


Dengan firasat itu di dalam dada, kami pun kembali ke penginapan.


Di kamar, ada banyak sekali yukata.


"…Hah?"


Karena kaget, aku refleks mengeluarkan suara aneh.


Tempatnya adalah kamar yang kami gunakan untuk menginap.


Yukata dengan pola indah tergantung berjajar di rak gantungan, dan pemandangan itu membuat ruangan tampak seperti toko penyewaan yukata. Saat aku masih terdiam karena warna-warnanya yang mencolok, seorang wanita yang sedang memegang salah satu yukata menoleh dan tersenyum padaku.


"Ah, selamat datang~. Yukatanya sudah siap, lho."


Wanita dewasa dengan aura modis.


Dia cantik, tapi senyumnya yang ramah membuatnya tidak terasa menakutkan atau sulit didekati. Senyum itu terasa familiar, seperti pernah kulihat sebelumnya. Aku membalik-balik memori dalam kepalaku dan akhirnya mengingat namanya.


"…Umm, Yusa-san?"


"Oh~ kamu ingat nama wanita yang baru kamu temui sekali? Wah, kamu ini pasti playboy ya, Nak?"


Yusa-san menggoda sambil tersenyum nakal.


Aku membalas respons itu dengan senyum basa-basi sambil dalam hati merasa lega karena nama yang kusebut tadi ternyata benar.


Wanita ini adalah Yusa-san, editor majalah fashion yang waktu liburan musim panas lalu ikut hadir saat pemotretan Seira. Aku sempat menerima kartu namanya, tapi... aku nggak bisa baca nama depannya. Terlalu bergaya.


"Kenapa Yusa-san ada di sini?"


"Aku diminta tolong oleh Seira-chan dan ibunya. Sekalian datang untuk pemotretan besok, aku juga bawa yukata-nya."


"Ibunya?"


"Ibu Seira-chan. Pernah dengar nama ‘Queen Olivia’? Seorang desainer kelas dunia, baru-baru ini juga diangkat sebagai ‘CEO wanita terlalu cantik’ dalam tayangan TV spesial. Penerbit tempatku bekerja adalah bagian dari grup ‘Erling Sunrise’. Secara jabatan dia itu CEO sih, tapi semua orang memanggilnya dengan sebutan Presdir(Presiden direktur)."


Bayangan tentang Olivia-san mengambang di kepalaku.


Dia memang cantik, tapi juga memancarkan aura misterius yang membuatnya terasa seperti seorang penyihir. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tapi kulit dan bentuk tubuhnya masih terlihat muda, seolah dia menghisap darah wanita muda setiap malam.


"Ruu-kun, Ma’am baru saja kirim pesan. Hmm-hmm… katanya, 'Kalau begitu, boleh ya Ma’am datang dan menghisap darah Ruto-kun selanjutnya?'"


Menakutkan, serius. Apa dia cenayang?


Ini udah bukan sekadar "aku mudah ditebak", tapi lebih ke level supernatural.


Tergetar oleh pesan Olivia-san yang seakan-akan kemampuan supranatural itu nyata, aku cuma bisa membeku, sementara Seira mulai berbincang dengan Yusa-san tanpa memedulikanku.


"Yusa-san, terima kasih sudah mengabulkan permintaan egoisku."


"Tidak masalah, kok. Aku memang sudah berencana ikut pemotretan sejak awal, dan sebenarnya aku lebih suka bekerja di lapangan ketimbang duduk ngadep meja kantor."


"Kalau begitu, aku sangat berterima kasih. Lalu, soal yukata ini…"


"Ya, aku juga bawakan untuk teman-temanmu, jadi silakan pilih sesukamu. Kalau ada yang kamu suka, bilang saja, nanti aku bantu pakaiin juga."


"Terima kasih banyak. Kalau begitu, Nowa, ayo kita pilih yukata yang cantik."


Nowa yang sepertinya belum bisa memproses situasinya, hanya bisa berkata "Eh, eh?" sambil ditarik oleh Seira. Sementara mereka pergi, aku membungkuk pelan ke arah Yusa-san.


"Umm, maaf kalau Seira memaksa atau gimana…"


"Hmm? Apa kamu tahu permintaan macam apa yang Seira-chan buat ke aku?"


"Kalau nggak salah, dia bilang ingin menyiapkan yukata agar semua orang bisa memakainya dan pergi ke festival bersama, kan?"


"Benar sekali. Hebat juga kamu. Tapi jangan khawatir, itu bukan permintaan berlebihan. Besok Seira-chan dan temannya… Nowa-chan, ya? Mereka ada sesi pemotretan di sekitar sini, kamu tahu kan?"


Aku mengangguk. Aku baru tahu pagi tadi kalau Nowa juga akan ikut.


"Aku memang sudah berencana hadir juga ke sesi pemotretan itu, jadi ya, bisa dibilang sekalian saja. Malah beruntung bisa kabur dari kerjaan tumpukan dokumen. Jauh lebih menyenangkan mendandani gadis-gadis lucu ketimbang mantengin layar komputer seharian."


"Editor majalah fashion bisa melakukan hal seperti itu juga ya?"


"Yah, sebenarnya ini cukup khusus. Aku juga ditunjuk jadi semacam manajer Seira-chan saat dia bekerja sebagai model di Jepang. Karena aku juga mantan model, katanya aku cocok untuk dukung dia. Jaga kondisi model juga bagian dari tugas manajer, jadi aku selalu berusaha mengabulkan permintaan Seira semampuku."


Penjelasan dari Yusa-san membuat mataku sedikit membesar.


Ternyata dia manajernya Seira juga. Dan lebih mengejutkan lagi—dia mantan model. Tapi kalau dipikir-pikir…


"Yah, memang sih. Yusa-san itu cantik dan modis banget."


"Eh? Seorang siswa SMA memuji aku? Wah, ternyata aku masih belum layak dibuang ya~"


Dia memutar tubuhnya dengan lincah dan berpose seperti model.


Postur tubuhnya stabil dan pose elegannya benar-benar terlihat layak masuk sampul majalah. Rasanya dia masih sangat layak jadi model aktif. Kenapa dia berhenti ya?


"Ngomong-ngomong, Nak, kamu sudah pikirkan soal tawaranku waktu itu?"


"Tawaran?"


"Yang soal kerja paruh waktu di redaksi kami."


Dengan tambahan penjelasan itu, aku baru ingat. Memang waktu pemotretan Seira saat liburan musim panas lalu, Yusa-san pernah menawari aku untuk kerja paruh waktu. Aku jadi merasa bersalah karena lupa dan belum sempat menjawabnya.


"Maaf… padahal aku belum sempat ngasih jawaban, tapi boleh nggak… aku tolak saja…"


"Yah, dari cara kamu nggak ngabarin apa-apa sih aku sudah menduga, hahaha. Nggak apa-apa kok. Dari awal tawarannya juga agak maksa. Tapi boleh tahu alasannya? Nggak tertarik karena itu majalah cewek?"


"Eh, ya… itu juga sih, tapi… aku ada hal yang ingin aku kejar."


Sesuatu yang ingin kulakukan. Atau mungkin, sesuatu yang ingin kucapai. Aku menjawab jujur, dan Yusa-san menatapku seakan sedang menilai sesuatu.


"…Kenapa menatapku seperti itu?"


"Nggak, cuma berpikir… kalau seseorang punya alasan buat berjuang, itu tandanya dia sedang bahagia."


"Eh…?"


"Yup. Mungkin aku nggak tahu kamu mau ke mana, dan kata-kataku ini bisa dibilang agak asal, tapi… Kakak ini dukung kamu, lho. Cowok yang berusaha itu selalu terlihat keren."


"U-uh… terima kasih…?"


Karena nggak yakin harus jawab apa, aku malah mengucapkan terima kasih dalam bentuk pertanyaan.


Setelah puas mengucapkan apa yang ingin dia sampaikan, Yusa-san berbalik dan mulai membantu memilih yukata untuk Seira dan lainnya. Huh… maksud dari dukungan itu apa, ya? Baik Yusa-san maupun sensei, orang dewasa tuh memang suka ngomong pakai sindiran atau kata-kata berlapis yang bikin bingung.


"Yukatanya sudah dipilih? Kalau begitu, mari mulai ganti baju. Satu per satu silakan masuk ke kamar sebelah."


Yang dimaksud dengan kamar sebelah adalah kamar tempat aku dan Yuuma tidur, di balik pintu geser.


Meskipun ada sekat pemisah, tetap saja akan sulit bagi para gadis untuk berganti pakaian jika ada laki-laki di ruangan yang sama. Maka dari itu, aku pun keluar dari kamar.


Sepertinya para cewek memang suka pakaian yang imut, ya—Seira, Nowa, dan Yuuma tampak senang sambil memandangi yukata penuh warna yang ada di tangan mereka.


Aku pun diam-diam ikut menantikan penampilan mereka dalam balutan yukata, lalu menutup pintu kamar dengan hati berbunga.


………Tunggu sebentar, tadi ada satu orang yang jelas-jelas aneh, kan!?


***


Langit yang memerah bagai terbakar diwarnai awan-awan terbelah yang membentuk bayangan kelam.


Aku berjalan menyusuri jalan gunung, sedikit lebih awal menuju lokasi festival.


Katanya karena butuh waktu lama untuk memakai yukata, Seira dan yang lainnya memintaku untuk jalan duluan.


Sebenarnya aku juga nggak keberatan menunggu, tapi Yusa-san bilang,


"Perempuan itu makhluk yang menghargai situasi,"

dan dia mengusirku keluar dari penginapan. Intinya, mereka mau menampilkan yukata-nya langsung di lokasi festival, kan?


"Uups..."


Karena pikiranku sedang melayang, kakiku sempat terpeleset ketika mengenai batu kecil dan nyaris jatuh.


Meski tidak seformal yukata, aku pun sudah berganti pakaian ke busana musim panas ala Jepang. Lebih tepatnya: jinbei.


Meskipun musim sudah memasuki awal musim gugur, cuaca di pegunungan terasa cukup sejuk, dan jinbei yang ringan ini terasa nyaman saat tertiup angin. Baju ini juga disiapkan oleh Yusa-san.


Waktu aku menerima pakaian itu di kamar, Yusa-san sempat bergumam,


"Eh? Katanya cowoknya cuma dua orang, deh," sambil memegang satu jinbei cadangan.


...Ya, soal itu, orang yang sedang ceria memilih yukata di sebelahmu itu... sebenarnya cowok.


Aku malas menjelaskan, jadi kubiarkan saja. Tapi pada akhirnya, jadi bagaimana tuh nasibnya?


"Oh..."


Lokasi festival akhirnya terlihat di depan mata, membuatku tanpa sadar bersuara.


Cahaya yang berbeda dari warna senja menyelimuti area itu. Jalanan yang dihiasi lentera tampak seperti jalur menuju dunia lain, seolah mengundang semua orang yang lewat ke dalam keajaiban malam.


Deretan stan di kiri dan kanan adalah pemandangan khas festival.


Kami memang sempat latihan menari di sini tadi siang, tapi sekarang tempat itu terasa seperti dunia yang sama sekali berbeda.


Festival Momiji Kota Sasafu.


Hari ini adalah hari pertama dari perayaan dua hari yang diadakan di akhir pekan. Di bawah cahaya lentera yang berayun pelan, terdengar tawa ceria para pengunjung.


Aku ikut tersenyum mendengarnya, mungkin karena aku juga seorang performer. Melihat senyuman orang lain saja sudah bisa bikin aku bahagia.


Cahaya hangat dari festival ini membuatku betah memandangi tempat itu tanpa henti. Mungkin karena itu, aku tidak sadar waktu telah berlalu cukup lama.


"Maaf menunggu, Ruu-kun."


Suara yang terdengar dari belakang membuatku menoleh.


"…………uh."


Dan saat itu, waktu seakan berhenti.


Pikiranku terputus, seolah kesadaranku disapu bersih. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Yang keluar dari bibirku yang sedikit terbuka hanyalah suara tak bermakna.


Karena... mereka sangat cantik.


Saking cantiknya, aku menahan napas.


Semua kenangan dalam kepalaku seakan tertimpa oleh pemandangan di depan mata.


Seluruh hatiku terfokus hanya untuk membekukan momen ini dalam ingatan.


"Bagaimana? Aku bahkan minta tatanan rambutku dibenahi juga, lho."


"Hmph. Aku nggak suka dipandangi lama-lama, tapi kali ini kuizinkan, deh."


Kedua gadis itu menatapku sambil pipinya sedikit memerah terkena cahaya senja.


Yukata Seira berwarna merah menyala seperti kelopak mawar. Warna yang begitu mencolok dan penuh semangat itu terlihat menawan dengan kombinasi obi kuning yang dililit lembut di pinggangnya.


Rambut panjangnya ditata setengah ke atas, dihiasi tusuk rambut dengan lonceng kecil. Setiap kali Seira memiringkan kepalanya, suara lonceng itu berdenting dengan ringan.


Sementara Nowa mengenakan yukata biru indigo yang menenangkan.


Motif bunganya—mungkin bunga asagao?—memberikan kesan tenang dan lembut, kebalikan dari citra ceria dan aktif yang biasanya ia tunjukkan.


Namun, senyumnya yang malu-malu sambil pipinya merona tetaplah senyum yang kukenal.


Dan aku pun menggigit bibirku, menyadari betapa selama ini aku meremehkan keberadaan gadis secantik ini di sampingku.


"...Kalian... cantik banget."


Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutku, dan aku buru-buru menutupinya dengan tangan. Tapi baik Seira maupun Nowa tersenyum pelan dengan wajah puas.


Bukan senyum menjengkelkan seperti biasanya, bukan juga senyum sok percaya diri, melainkan senyum lembut dan rapuh yang terasa bisa larut dalam cahaya lentera malam festival ini.


"Fufu, terima kasih, Ruu-kun. Aku senang."


"Wah, untuk ukuran cowok keras kepala macam Ruto, komentarmu kali ini lumayan bagus, ya?"


Hei, yang keras kepala itu siapa, coba—aku nyaris membalas begitu, tapi kutahan.


Sepertinya apa pun yang kukatakan sekarang bakal terasa berlebihan.


Lagipula, kalau mereka malah minta aku kasih komentar lebih lanjut, dalam kondisi mentalku yang sekarang—dada berdetak hebat begini—aku nggak yakin bisa berkata apa-apa. Lagipula... ini memalukan, tahu!


"Ayo jalan, Ruu-kun. Terakhir kali aku jalan di festival barengmu itu... sejak SD, ya?"


"Buruan, Ruto. Kami tinggalin kamu, lho."


Gadis-gadis itu berjalan di antara deretan lentera dengan yukata yang berkibar pelan.


Dunia di depan mataku terlihat terlalu indah, sampai-sampai aku bertanya-tanya apakah ini bukan mimpi.


Aku tertawa kecil pada khayalanku sendiri yang terlalu jauh itu, lalu bersiap untuk mengejar mereka. Tapi saat itu—


"Maaf, Ruto. Aku lambat soalnya belum terbiasa pakai geta."


Oh, iya. Satu orang lagi juga pakai yukata waktu itu.


Saat aku menoleh, terlihat Yuuma berdiri dengan yukata kuning.


Sahabatku yang tampan itu tersenyum tenang sambil menunggu komentarku.


Meski kuabaikan fakta bahwa dia sebenarnya cowok dalam yukata cewek, aku harus akui dia cocok banget.


Dan berbeda dari Seira dan Nowa yang tampil memesona sampai bikin napas sesak, penampilan Yuuma terasa… menenangkan. Dengan kata lain—


"Aaah… yukata kamu yang paling bikin tenang, deh."


Begitu aku mengutarakan perasaanku—kedua bahuku langsung dicengkram dari belakang.


Saat menoleh, Seira dan Nowa sedang tersenyum… tapi mata mereka sama sekali tidak tersenyum.


Dengan ngeri, aku mencoba menerjemahkan tatapan mereka yang menyala-nyala.


[Oi, berani-beraninya kamu bilang…]


[…Yuuma yang paling bagus gimana maksudnya itu, hah!?]


Genggaman di bahuku mengencang seperti ragum.


Aduh! Aduuuh, sakit! Sakit banget! Aaaahh!!


Tak diragukan lagi, aku tengah dihujani aura mengintimidasi dari para gadis di sekitarku, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah memasang senyum kering. Meski tahu segalanya sudah terlambat, aku hanya bisa merenung dalam hati, seolah telah mencapai pencerahan.


...Iya, sepertinya aku barusan salah memilih opsi, ya.


Suara musik festival mulai terdengar.


Aroma makanan yang dipanggang menyeruak dari deretan stan, dan perutku merespons dengan bunyi kelaparan yang sangat jujur.


Di taman yang kini hanya diterangi cahaya lentera, berbagai pemandangan menghangatkan hati tampak di mana-mana—pasangan kekasih berbaju yukata, kakak-adik yang saling menggandeng tangan sambil tertawa kecil, keluarga yang tersenyum lembut dari belakang.


Penuh dengan senyuman, cahaya lembut yang menyelimuti tempat ini terasa nyaris menelan keberadaanku, seolah ingin membuatku lupa di mana seharusnya aku berdiri.


"Ruu-kun, aku melihat stan yang sepertinya menarik! Ayo kita ke sana!"


Mungkin dia tidak menyadari kegundahan hatiku barusan, tapi Seira menarik tanganku dengan ceria, membimbingku ke arah deretan stan.


Rasanya seperti dia menarikku keluar dari kegelapan menuju cahaya. Ada perasaan yang tiba-tiba menghangat di dadaku.


Dulu dia gadis kecil yang penakut. Cengeng. Anak yang sangat peka terhadap suara sekitar, dan karena itu, aku selalu merasa harus melindunginya.


Tapi, sekarang…


Teman masa kecilku yang tumbuh besar di Amerika, kini sudah melampaui aku. Dia menjadi seseorang yang cukup kuat untuk menarikku menuju cahaya.


Rasanya… sedikit aneh. Tapi juga sangat hangat.


"...Hm? Ada apa, Ruu-kun? Apa ada sesuatu di wajahku?"


Mungkin karena terlalu tenggelam dalam pikiran tadi, aku terus saja menatap Seira.


Teman masa kecilku yang kini berdiri anggun dalam yukata memiringkan kepala, dan lonceng kecil di tusuk rambutnya berbunyi sharan.


Aku menghela napas kecil lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku.


"Mulutmu belepotan cokelat. Diam sebentar, ya."


Mungkin itu sisa dari choco-banana yang tadi dia makan.


Aku dengan hati-hati mengusap bibir Seira yang sedikit kotor akibat jajanan dari stan.


Sambil melipat kembali sapu tanganku dan memastikan mulutnya bersih, Seira menjulurkan lidah sambil berseru "beh", seperti menggoda. Lidahnya merah, mungkin karena permen apel tadi.


"May I have a minute?"


Saat itulah, sebuah suara terdengar.

Bahasa Inggris yang fasih.


Aku menoleh dan mendapati seorang pria asing berambut pirang berdiri di sana.


Kalau tidak salah, festival ini memang mengundang pelajar asing dari Amerika.


Aku memang beberapa kali melihat orang asing, tapi ini pertama kalinya ada yang menyapa langsung.


"Me? No problem."


Sebelum aku sempat bereaksi, Seira menjawab dengan suara tenang dan percaya diri.


Hanya karena dia berbicara dalam bahasa Inggris, aura dewasa yang terpancar darinya jadi terasa lebih kuat dari biasanya.


"Thank you. Now, I'll be brief so as not to interrupt your wonderful date."


"Don't worry, we live together, but he is not my boyfriend. He is a pathetic Japanese boy who never touches me at all, even though he lives with such a cute childhood friend."


"Heii! Seira! Aku ngerti sedikit-sedikit kok bahasa Inggris!"


Meskipun begitu, dengan level bahasa Inggrisku yang seadanya, aku cuma bisa menangkap kata-kata seperti boyfriend dan pathetic.


Karena itu aku menyerah dan membiarkan Seira mengurus sisanya. Tapi tiba-tiba dia menoleh padaku dan bertanya:


"Ruu-kun, dia nanya makanan apa yang wajib dicoba di festival Jepang. Menurutmu apa ya? Pizza? Hamburger? French fries?"


"Kenapa kamu malah mainin dek Amerika sih?"


Aku membalas dengan nada lelah pada Seira yang memiringkan kepala sambil loncengnya berbunyi nyaring lagi.


Akhirnya aku coba menjelaskan dengan bahasa Inggris yang terbata-bata tentang beberapa makanan khas festival Jepang.


Si pria bule itu tampak sedikit terkejut mendengar jawabanku, lalu menatapku penuh rasa ingin tahu.


...Apa dia pernah melihatku sebelumnya?


Aku mencoba mengais-ngais ingatan, tapi selain keluarga Seira, aku rasa aku tak punya kenalan orang Amerika.


Namun tatapan pria itu… seolah dia tahu siapa aku. Ketidaksesuaian antara ekspresinya dan ingatanku membuat wajahku menegang sedikit.


Saat aku masih bingung, pria itu berkata sesuatu lagi dengan cepat sambil menatap wajahku.


Dari intonasinya, sepertinya itu pertanyaan. Tapi aku tak bisa menangkap maksudnya. Seira di sampingku akhirnya membantu menerjemahkan.


"Ruu-kun. Dia bertanya, 'Apa kamu yang namanya Ruto, si dancer itu?' katanya."


"Eh? Ah... Iya, aku memang Ruto, tapi…"


Refleks aku menjawab dalam bahasa Jepang, lalu buru-buru mengangguk agar bisa dimengerti.


Pria itu langsung berkata, "Oh!" sambil menunjukkan reaksi berlebihan khas bule dan mulai mengoceh panjang lebar.


Aku menyerah untuk mencoba memahami sendiri dan menatap Seira dengan mata penuh harap.


Seira mengangguk-angguk, lalu mulai menerjemahkan.


"Sepertinya dia penggemar berat hip-hop dance. Dia sering menonton kompetisi-kompetisi di Jepang, dan dari situlah dia kenal kamu. Twister? Butterfly? Aku nggak paham nama gerakannya, tapi intinya dia sangat memuji tarianmu!"


Nada suara Seira penuh semangat, seolah dia juga senang mendengarnya.


Meski pujian itu bukan untuknya, tapi karena itu membuat Seira bahagia, aku merasa sedikit bangga.


Aku pun menatap si pria dan mengucapkan, "Thank you."


Saat tanganku menjabat tangan pria itu, aku bisa merasakan kekokohan tulangnya yang berbeda dengan orang Jepang.


Di seberang lautan sana, bahkan tanpa saling memahami bahasa…Tarianku tetap bisa menyentuh hati seseorang.


Perasaan itu begitu besar, begitu nyata, sampai-sampai senyumku muncul tanpa disadari.


Pria bule itu juga tersenyum, lalu menanyakan sesuatu lagi padaku.


"Seira, tadi dia bilang apa?"


"......"


"Seira?"


"……Uhmm..."


Ketika aku meminta bantuan menerjemahkan, Seira yang tadi tampak gembira kini mendadak memasang ekspresi bingung.


Meski masih diliputi kebingungan, aku menyuruhnya melanjutkan, dan dengan suara yang sedikit ragu, teman masa kecilku berkata:


"Dia bertanya... apa kau sudah berhenti menari?"


Zukiri. Seketika, sebuah rasa nyeri membelah pikiranku.


Untuk menutupi suara retakan itu, aku mencoba menanggapi pertanyaannya dengan kepala dingin.


Dia penggemar hip-hop dance. Kalau dia benar-benar mengikuti kompetisi Jepang, maka dia pasti tahu aku tidak lagi tampil sejak hari itu, enam bulan yang lalu.


Itu sebabnya dia bertanya, apakah aku sudah berhenti menari. Hanya itu. Bukan pertanyaan aneh.


Memang benar aku sempat berhenti menari. Tapi sekarang tidak lagi. Aku sudah kembali. Dengan kata lain—tak ada alasan bagiku untuk terpengaruh oleh pertanyaan ini.


"Seira, tolong terjemahkan."


"...Baik."


Lewat Seira, aku menyampaikan kalau aku memang sempat rehat, tapi sekarang aku masih tetap menari.


Mendengar itu, pria asing itu tersenyum senang dan menjawab:


"Next time I want to see your dance in New York!"


Aku bahkan tak butuh terjemahan.


Dengan suara murni itu, dia mendoakan agar mimpiku—yang belum sempat kuraih—terwujud.


Krek…. Retakan-retakan lain merambat dalam benakku. Rasanya seperti seseorang menodongkan sesuatu tepat di hadapanku.


Seolah-olah aku baru sadar bahwa selama ini aku telah membuang muka.


Hari ketika aku berkata penuh semangat bahwa aku akan menang dan pergi ke Amerika kembali membanjiri ingatanku, seolah baru terjadi kemarin.


Hari ketika aku menyerah pada mimpiku.

Hari ketika aku melepas janji yang penting bagiku.

Hari ketika tarian yang sangat aku cintai, sekejap berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.


Sesuatu yang kelam, yang selama ini diam di dalam hatiku, kini mulai bergolak, seakan mencium kelemahanku.


Kenangan itu mencengkeram dadaku hingga terasa sakit.

Aku seperti tersesat di malam tanpa jalan keluar, napasku mulai sesak, dan tanganku terangkat ke dada—


"Ruu-kun."


Tangan itu bertemu dengan tangan Seira. Hangatnya jari-jari yang saling menggenggam membuat kesadaranku yang mulai mengabur kembali tertarik ke dunia nyata.


Entah sejak kapan, pria asing itu telah pergi.


"Supaya kita nggak terpisah... ayo terus pegangan tangan, ya."


"...Nggak segitu ramai juga, kok, sampai harus—"


"Pegangan. Aku nggak mau kita terpisah."


"...Iya, baiklah."


Aku menggenggam tangannya lebih erat.


Gadis yang tersenyum lembut di sampingku begitu cantik.

Namun, di balik kelembutan itu, entah kenapa hatiku terasa nyeri—seperti ada yang mengeluh dari dalam.


...Apa aku akan kembali bergantung pada kebaikan itu?


Suara samar itu terdengar entah dari mana di dalam pikiranku, tapi aku memilih pura-pura tidak mendengarnya.


Kami mengitari berbagai stan seolah ingin melupakan sesuatu.

Takoyaki, yakisoba, ika-yaki…


Meski sadar kami sudah membeli terlalu banyak, kami tetap berpura-pura tidak menyadarinya dan menikmati festival dengan tawa.


Kami tetap saling menggenggam tangan, tak ingin saling terpisah di tengah keramaian.


"Ah, itu dia! Seira, Ruto, ke sini!"


Terdengar suara memanggil kami di tengah kerumunan.


Poni panjang Nowa yang dikuncir tinggi melambai kencang saat ia mengangkat tangannya lebar-lebar.


Rambut hitamnya yang menari di udara malam musim gugur tampak lembut tapi penuh semangat, seakan mencerminkan dirinya saat ini—tenang namun penuh energi. Aku bahkan sempat berpikir begitu, meski agak samar.


"Maaf nunggu, ya. Nih, aku beli banyak makanan enak!"


"Makasih... Tapi kok semua makanannya berat-berat, ya? Aku sih nggak keberatan, tapi nggak ada yang manis-manis?"


"Buatku sih, jajanan di festival Jepang masih terlalu santai. Justru di acara seperti ini, kita harus lupakan diet dan nikmati lemak sepuasnya. Fried chicken, barbeque meat, onion ring, fried pickles. Kalau makanan manis, ya sugar donut, dong."


"Kamu tahu nggak sih konsep 'eneg' itu?"


"Nggak apa-apa, aku kan juga pesen lemon soda."


Logikanya agak absurd, dan aku juga nggak yakin Seira benar-benar sedang diet. Tapi kupikir tak apa, karena aku tahu dia rajin olahraga dan lari untuk menjaga bentuk tubuhnya.


Kami berkumpul di area tempat duduk luar ruang yang disiapkan untuk menonton pertunjukan panggung.


Meja dan kursinya dari plastik, memang agak ringkih, tapi nuansa festivalnya justru makin terasa.


Yuuma yang datang belakangan membawa es serut dan permen kapas, jadi pilihan makanan manis pun jadi lengkap. Tapi tetap saja—


"Eh? Ruu-kun, Nowa, kalian kok nggak banyak makan?"


"Besok kan ada pertunjukan. Nggak bisa makan makanan berminyak dulu."


"Benar. Jadi Seira dan yang lain makan aja, nggak usah ditahan."


Meskipun agak sungkan merusak suasana, aku dan Nowa tetap memegang prinsip yang ditanamkan oleh ‘sensei’.


Menjelang kompetisi, makanan berat dan sulit dicerna harus dihindari. Bukan karena kami nggak suka jajanan festival. Kami hanya menunda sampai selesai tampil besok.


"Hmm. Jadi aku harus menghabiskan semuanya, ya? Serahkan padaku."


Karena Yuuma bukan tipe yang makan banyak, beban konsumsi meja ini otomatis jatuh ke Seira.


Tapi dia tampak begitu senang memakan semuanya tanpa terlihat repot, meski besok akan ada sesi pemotretan.


Yah, kalau sampai perutnya buncit, itu urusan nanti.


"Nanti aku tinggal bilang kalau aku lagi hamil anakmu, Ruu-kun, jadi nggak masalah."


"Itu masalah banget!"


Dan tolong, berhenti membaca isi kepalaku tanpa izin.


Aku menatap Seira dengan mata letih, tapi dia hanya tersenyum cerah sambil memegang sepotong takoyaki di tangan.


…Melihat senyum itu, tiba-tiba kenangan lama melintas di kepalaku.


Saat kami masih SD.


Festival kecil di taman dekat rumah.


Kami membeli satu porsi takoyaki isi tujuh butir dengan uang saku yang kami kumpulkan bersama.


Lalu kami bertengkar soal siapa yang makan takoyaki terakhir, sampai-sampai Olivia-san yang menemani kami harus turun tangan menengahi.


Itu kenangan konyol, tapi bersinar.


Kenangan-kenangan itu mulai berdatangan. Maju dan mundur, masa lalu dan sekarang saling bersilangan dalam pikiranku.


Melihat Seira menikmati takoyaki, tubuhnya memang sudah dewasa sekarang, tapi senyum hangat yang ia berikan padaku masih tetap sama.


Itulah kenapa aku benar-benar merasa bersyukur karena bisa mendapatkannya kembali.


Hubunganku dengan Seira. Waktu yang kami habiskan bersama. Semua itu adalah sesuatu yang tak bisa kulepaskan—yang sangat penting bagiku.


――――Tapi, benarkah aku sudah mendapatkannya kembali?


Krak….krakk…


"…………!"


Retakan itu muncul lagi di dalam kepalaku.


Padahal akan lebih baik kalau aku tetap pura-pura tidak menyadarinya.


Padahal akan lebih baik kalau aku tetap melupakannya.


Namun, terlepas dari keinginanku, seseorang di dalam diriku mulai membisikkan kenyataan yang dingin.


Kenapa kau puas?

Kau pikir semua ini ada karena usahamu?

Waktu yang terasa membahagiakan ini, bukankah cuma karena kau bergantung pada kebaikan Seira?


Krekkk..krekk….


Suaranya menggema dari kedalaman pikiranku, menorehkan rasa sakit seperti hatiku akan tercerai-berai.


Hentikan, kumohon. Aku tidak ingin merusak momen menyenangkan ini.


Bagian rasional dari diriku berteriak putus asa, tapi suara itu tak juga berhenti.


Seolah-olah ia sedang mengucapkan semua kelemahan yang selama ini aku sembunyikan.


Saat aku menoleh ke dalam kesadaranku sendiri, suara itu mengambil bentuk manusia.


Itu adalah aku—pada hari aku berhenti menari. Aku yang menyerah pada mimpinya, dengan sorot mata yang muram dan kosong. Dia menyeringai dan berkata:


—Karena kau...

—Belum melakukan apa-apa.

—Kau belum menepati janji itu, bukan?


Papapapaaa! Suara terompet menggema di langit malam musim gugur.


"……!"


Itu menandakan dimulainya pertunjukan di hari pertama festival.


Dentuman suara brass band mengembalikanku ke dunia nyata.

Pembuka acaranya adalah grup musik dari sekolah lokal, dan lagu yang mereka mainkan adalah tema dari sebuah game Jepang yang cukup terkenal, bahkan aku pun mengenalnya.


Mendengarkan brass band dari jarak dekat menimbulkan sensasi yang tebal dan berat—getarannya sampai terasa ke kulit.


Guncangan itu mengembalikan kesadaranku yang sempat mengembara ke tempat jauh.


Iya. Besok, kami yang akan berdiri di atas panggung itu.


Alasan kami menonton pertunjukan malam ini pun adalah karena kami ingin merasakan langsung atmosfer venue demi persiapan.


Aku melihat sekeliling.


Wajah penonton yang menikmati penampilan brass band. Anak-anak yang melompat-lompat sambil mengangkat tangan.


Pasangan yang berhenti melangkah dan memusatkan pandangan ke panggung. Pasangan lansia yang menutup mata dan larut dalam alunan musik. Mahasiswa asing dari Amerika yang terlihat gembira mendengarkan irama musik di negeri asing ini.


Dan di sampingku—Seira tersenyum dengan wajah bersinar.


Senyum itu—senyum yang dulu sangat ingin kulihat.


Senyum yang ingin kupersembahkan lewat tarianku, setelah menepati janji yang pernah kubuat.


Dan begitu melihat senyum itu, suara lain kembali bergema dalam diriku.


"Aku akan jadi penari hebat dan ikut kompetisi tari di Amerika! Terus aku pasti akan datang nemuin Seira!"


Suara dari masa kecilku yang percaya penuh pada impian.

Janji yang saat itu kuucapkan dengan sepenuh hati.


Aku ingin membuat Seira—yang saat itu menangis—tersenyum lewat tarianku.


Tapi ke mana perginya janji itu sekarang?


Ke mana perginya tekad kuat yang dulu kugenggam erat-erat?

Padahal aku belum memenuhi satu pun dari janji itu.


Kenapa aku bisa merasa nyaman menjalani hari-hari bersama Seira seolah semuanya baik-baik saja?


"……"


Pikiranku mulai berputar tak menentu.


Ada suara samar yang berkata, "berhenti", tapi aku tetap tak bisa menghindar dari kenangan itu.


Momen yang menentukan segalanya.


Peristiwa yang membuatku benar-benar menyerah.

Hari ketika aku berhenti menari.


Tatapan dari atas panggung.

Suara kecewa.

Helaan napas penuh kekecewaan.

Dan kata-kata jahat yang menghujani dari internet.


"……a."


Pandangan mataku seperti mendistorsi. Panggung yang tengah dimeriahkan oleh brass band terasa jauh dari jangkauanku. Aku merasa terlempar dari arus kegembiraan yang ada di sekitarku.


Hentikan, aku membentak dalam hati.


Kali ini tak apa. Aku sudah berlatih dengan baik.

Aku sudah memastikan setiap gerakan berkali-kali.


Lagipula ini bukan kompetisi. Kalaupun ada kesalahan, tidak akan ada kebencian seperti waktu itu. Harusnya begitu.


Jadi tidak apa-apa.

Aku bisa menari.


Aku pasti bisa membuat banyak orang tersenyum, seperti di panggung ini.


Dan meskipun bukan seperti yang dulu kuimpikan— Meskipun bukan dalam wujud janji yang dulu kuucapkan,

Aku pasti bisa membuat Seira tersenyum juga.


…………Benarkah?


"Ruto."


Sebuah suara memanggilku dan aku tersentak.


Hampir semua orang sedang menatap panggung.


Tapi hanya satu orang—Hanya Nowa, dengan yukata biru tua, yang melihat ke arahku.


"Aku mau beli minuman. Temani aku."


"Ah, iya..."


Nowa bangkit berdiri, lalu berjalan ke arah berlawanan dari panggung, menuju deretan stan makanan.


Karena tak terbiasa memakai geta, langkahnya pelan.


Aku memilih mengabaikan nyeri yang masih menusuk kepalaku dan mengikuti gerakan kuncir kudanya yang bergoyang.


Cahaya lentera yang menyinari malam terasa hangat, namun entah kenapa juga terasa sedikit sepi.


Karena terlalu terang, sinar bintang di langit malam mungkin tak lagi sampai ke hati siapa pun.


Di depan salah satu stan, aku berdiri sambil menatap botol-botol ramune yang mengambang dalam air es.


Dalam botol yang terguling itu, kelereng biru tertahan di dalam soda, seolah tak bisa ke mana-mana.


Mungkin karena suasana hatiku sedang murung, aku pun merasa kelereng itu seperti diriku sendiri—terjebak dan sulit bernapas. Untuk mengusir pikiran menyedihkan itu, aku mencelupkan tanganku ke dalam air es.


Setelah membayar pada mbak penjaga stan, aku membeli dua botol ramune.


Saat hendak menyerahkan satu kepada Nowa, aku baru sadar bahwa gadis dengan yukata biru tua itu sudah cukup jauh dariku.


"……Nowa?"


Arah yang dituju oleh Nowa berlawanan dari arah panggung. Bahkan ia melewati deretan stan makanan, seolah ingin benar-benar menjauh dari area festival.


...Sebenarnya, dia mau ke mana?


Meski kupikirkan, jawabannya tak muncul. Tapi aku juga tidak bisa membiarkannya begitu saja.


Aku pun mengejarnya, berlari menggunakan geta yang tidak nyaman dipakai.


"Hoi, Nowa! Mau ke mana kau?"


"……"


Meski kutanya, dia tidak menjawab. Suasana makin sepi, menjauh dari keramaian festival, jumlah lentera semakin sedikit, dan cahaya di sekitarku pun mulai terasa suram dan menyesakkan.


Tiba-tiba, aku teringat pada sebuah buku cerita yang kubaca saat kecil. Tentang anak yang melanggar pesan orang dewasa dan masuk ke hutan.


Tergoda oleh kata-kata peri yang cantik, dia terus melangkah ke dalam hutan dan tersesat di negeri misterius.


Ternyata, peri itu adalah pelayan sang ratu penyihir, dan si anak lelaki itu pun tak pernah bisa kembali ke rumah...

Kalau tidak salah, ceritanya seperti itu.


"……"


...Tidak mungkin, pikirku.


Tapi, penampilan Nowa yang mengenakan yukata benar-benar cantik bagaikan peri.


Saking memesonanya, aku seolah bisa melihat sayap transparan di punggungnya.


Perasaan tidak enak mulai menyelinap. Detak jantungku mulai berdentam tak beraturan.


"Yap, sepertinya tempat ini pas, ya."


Begitu Nowa menghentikan langkahnya, suara detak jantungku terasa semakin keras.


Saat ia menoleh, rona merah tipis menghiasi pipinya.


Wajahnya tampak rapuh tapi memancarkan sedikit pesona. Senyumnya yang disinari cahaya lentera itu begitu lembut, sampai membuat bahuku bergetar.


"A-a-aku nggak akan tertipu, tahu..."


"Hah?"


"Aku nggak bakal pergi ke negeri misterius. Aku masih punya urusan yang belum selesai di dunia ini."


"...Kau makan sesuatu yang aneh tadi, Ruto?"


Ia menatapku seolah kesal dan bingung.


Respons alaminya itu membuatku sadar kembali.


Sepertinya aku terlalu terbawa suasana festival dan mulai berhalusinasi yang aneh-aneh.


Tapi tetap saja—kenapa Nowa datang ke tempat seperti ini?


Aku melihat sekeliling.


Tempat ini semacam lapangan kecil di atas bukit, agak jauh dari pusat festival.


Awalnya dibuat untuk menikmati pemandangan dari atas gunung, jadi ada beberapa bangku yang disediakan agar orang bisa melihat kota di kaki gunung.


Kalau siang hari, pemandangannya pasti luar biasa. Tapi karena ini malam hari, yang terlihat hanya kelap-kelip cahaya dari kota.


Meskipun begitu... tetap saja indah, sih.


"Kau capek ya? Terlalu ramai, mungkin?"


Aku bertanya kemungkinan yang paling masuk akal.

Toh, Nowa memang bukan tipe yang suka keramaian.


Mungkin dia merasa lelah dan ingin mencari tempat yang tenang.


Itu sangat mungkin. Di sini tidak ada keramaian. Lentera yang menerangi pun hanya beberapa, dan suasananya memang redup dan tenang.


"…Soalnya, Seira memintaku."


Suara kecil itu terdengar samar dari dalam cahaya yang remang.


Suaranya tenggelam dalam keheningan malam, sampai aku nyaris tak bisa menangkap isi kalimatnya.


Tapi saat ia menatapku, mata Nowa memancarkan tekad yang kuat. Sinar itu bahkan seolah bisa menyaingi bintang-bintang di langit malam.


"Ruto."


Suara yang dibawa oleh angin malam itu terdengar manja, manis.


Sorot matanya tetap tajam, tapi senyumnya lucu dan mirip seperti seekor kucing.


"…Lihatlah dansaku."


Permintaan itu terucap begitu lembut sampai aku telat bereaksi beberapa detik.


"…………Hah?"


Aku bahkan tak sempat bertanya maksudnya.


Saat itu, irama brass band yang terdengar samar dari kejauhan mengiringi langkah Nowa yang mulai menari.


Karena memakai yukata, gerakannya kaku.


Langkah-langkahnya dengan geta menghasilkan suara kakkon, kakkon saat kayu memukul lantai.


Karena obi (ikat pinggang yukata) membatasi pergerakan panggulnya, ia menggerakkan lengannya lebih besar untuk menyeimbangkan.


Motif bunga asagao yang tergambar di lengannya pun ikut menari dalam cahaya lentera.


...Tunggu.



"H-h-hey, Nowa! Kau lagi ngapain sih?!"


Suara yang keluar dari mulutku terdengar seperti membentak.


Ya, tentu saja.


Menari pakai yukata itu berbahaya banget.


Meskipun terlihat anggun, obi yang ketat dan kain yang berat pasti menghambat gerakan tubuh.


Kakinya tidak akan bisa bergerak bebas. Kalau sampai menginjak ujung yukata, ia bisa jatuh dan susah bangkit.


Geta juga membuat kaki sulit menapak. Dan kalau mencoba melangkah cepat, bagian antara jari-jari bisa sakit karena tali sandal menghimpit.


"Ah!"


Dan ya, seperti yang kuduga. Nowa kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terjatuh ke depan.


Aku segera bergerak dan menangkap tubuhnya sebelum ia benar-benar jatuh.


Botol ramune di tanganku terlepas dan terdengar suara kring ketika pecah.


"...Kau ini, ngapain sih..."


Dengan wajahnya menempel di dadaku, aku mengulang kata-kata yang tadi.


Besok itu hari tampil di panggung.

Kalau kau cedera, akan merepotkan.

Aku tak mau Nowa terluka.


Dan bukan cuma itu.


Yukata yang tadi dipakai rapi, rambut yang sudah diset cantik—semuanya kini sedikit berantakan.


Kenapa dia nekat melakukan ini?


Dengan sedikit rasa kesal, aku memeluknya lebih erat. Namun Nowa, dengan bahunya yang bergetar, berkata lirih:


"Itu memang tujuannya."


"...Nowa?"


"Kalau aku jatuh, Ruto yang harus menahanku."


"......"


"Sebagai gantinya, kalau Ruto yang jatuh... aku yang akan menopangnya."


Meski tubuhnya gemetar, suara Nowa terdengar penuh keyakinan. Sebuah kontradiksi yang terasa begitu nyata.


Saat tubuh kami bersentuhan dan saling merasakan kehangatan masing-masing, aku benar-benar bisa merasakan suhu dari hati Nowa—secara langsung.


"Jangan pikul semuanya sendirian. Kalau ada yang menyakitkan, bagi denganku. Kalau terasa berat, bilang minta bantuan. Kalau ada yang kau rasakan, ucapkan dengan kata-kata. Jangan berpura-pura kuat. Jangan memikul semuanya sendiri. Biarkan aku bertarung bersamamu."


Wajah yang disandarkan di dadaku itu, terlihat rapuh—seperti anak kecil yang tersesat dan takut.


"Lihatlah aku."


Mendengar suara itu…...Ah, jadi begitu.


Perasaan yang jatuh di tempatnya.

Semuanya jadi masuk akal.


Nowa benar-benar mengenalku.


Kalau yang dilakukan Nowa hanyalah sekadar mencemaskanku, mungkin aku sudah menutup telinga dari awal.


Baik itu simpati maupun kata-kata penyemangat, semuanya akan kutepis dengan senyuman pura-pura seolah semuanya baik-baik saja.


Tapi yang Nowa lontarkan adalah… keluh kesah.


Itu bukan sesuatu yang bisa kuabaikan. Suara lirih itu seolah meminta bantuan—dan aku tak mungkin berpura-pura tak mendengarnya.


Meskipun itu mungkin bagian dari rencananya, aku tetap tak bisa mengabaikan hatinya yang terbuka seperti itu.


Nowa, yang biasanya selalu bersikap tangguh dan tak pernah menunjukkan kelemahannya, mengapa dia mengatakan semua itu sekarang?


Aku tak sebodoh itu sampai tak bisa memahami maksudnya.

Tujuannya pasti sederhana.


Agar bisa merangkul hatiku yang pengecut ini, Nowa menunjukkan sisi lemahnya padaku.


"...Nowa."


Dug dug, detak jantungku bergema di dalam dada.


Keramaian festival yang seharusnya tak jauh dari sini terasa seperti kejadian di dunia yang berbeda.


Ternyata, semuanya sudah terbaca oleh Nowa.


Rasa sakit yang kusimpan, usaha keras untuk memendam semuanya sendiri, juga ketakutan yang selama ini kusembunyikan.


"Kita ini partner, kan?"


Aku takut menari.

Takut gagal.

Takut mengecewakan orang lain lagi.


Luka hati yang menyedihkan itu berusaha kusimpan sendiri.


Karena aku tak ingin menyeret Nowa ikut dalam ini.


Rasa takut ini adalah masalahku sendiri, dan akulah yang harus mengatasinya.


Makanya aku menyembunyikannya, bersikap seolah semuanya baik-baik saja, agar partner-ku tak perlu mengkhawatirkan apa pun, dan kupikir itu yang seharusnya kulakukan.


Tapi sekarang aku sadar—itu adalah keputusan yang bodoh.

Karena ternyata… dengan begitu, aku justru lebih melukai Nowa. Dan suara itu—suaranya—yang memberitahuku akan hal itu.


"Jangan tinggalkan aku sendirian lagi…"


Matanya yang berembun menatapku ke atas.


Tatapan yang pernah kulihat. Tatapan yang sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengan Nowa.


Saat ia baru saja berhenti dari balet, dan masih takut mempercayai siapa pun.


Ia gemetar sendirian saat itu…

Sama seperti aku sekarang.


Karena itulah dulu aku mengajaknya menari bersamaku.

Karena aku ingin mendukungnya.

Karena aku ingin menjangkau hatinya lewat tarian.


"……"


Tanpa sadar, aku sudah memeluk Nowa.


Gadis yang wajahnya bersandar di dadaku, aku pun menyandarkan hatiku padanya.


Posisi kami tidak stabil—kalau salah satu melemah, kami akan jatuh bersama. Tapi sekarang, cara kami bersandar itu terasa nyaman.


"Hey, Ruto."


"Apa?"


"Kau nggak suka kalau aku lemah?"


"Aku nggak terlalu suka saat kau pura-pura kuat dan menyembunyikan kelemahanmu."


"Aku juga sama."


Mungkin alasan kami bisa menjadi partner adalah karena kami serupa.


Kami sama-sama canggung, dan terkadang saling kesal pada kekurangan satu sama lain.


Tapi untuk saling menopang hidup yang canggung ini, kami pun akhirnya saling menggenggam tangan.


Dulu kami sering bertengkar karena belum tahu caranya menjaga jarak.


Tapi sekarang, kami sudah sedekat ini—dekat hingga bisa saling merasakan hangatnya hati satu sama lain.


Dan saat sudah sedekat ini, menyembunyikan isi hati sudah bukan hal yang mungkin lagi.


Aku tertawa kecil. Tawa yang terdengar seperti seseorang yang sudah menerima kenyataan.


"Nowa."


"Apa?"


"Boleh aku mengeluh… sedikit saja?"


"Boleh kok."


Aku memeluknya lebih erat.


Kegelapan yang melekat di hatiku… kurasa tak apa jika kubagi dengan Nowa.


Karena ini adalah sesuatu yang hanya bisa kutitipkan pada partner yang menari bersamaku.


Mungkin ini egois. Tapi—aku sudah diajarkan, kalau tangan yang gemetar itu… tak perlu disembunyikan lagi.


Jadi, aku pun membuka mulut.


Kepada satu-satunya partner-ku.


Kepada gadis yang mengulurkan tangan ke dalam hatiku—aku menatap matanya dan berkata:


"Aku… sepertinya masih takut untuk menari."


"Ya."


"Aku takut naik ke atas panggung. Takut kalau tarian ku justru mengecewakan orang lain lagi. Memikirkannya saja membuat kakiku lemas, tanganku gemetar, dan pikiranku terus memikirkan hal-hal buruk."


"Ya."


Nowa menggenggam tanganku. Lembut, halus, dan—sama seperti tanganku—gemetar.


"Aku juga sama."


Ya. Nowa juga pasti mengalami kegagalan yang sama denganku. Sejak hari itu, kami belum pernah benar-benar menari bersama lagi.


Tentu saja kami sama-sama merasa cemas. Tentu saja kami sama-sama takut.


Baru sekarang aku sadar—bahkan saat kupeluk seperti ini, aku bisa merasakan detak jantung Nowa yang bergetar.


Meski ia selalu terlihat kuat, sebenarnya ia juga ketakutan dan menggigil.


Aku tak bisa menemukan kata-kata ajaib yang bisa meredakan rasa takut itu. Tak ada dialog keren yang bisa menyelamatkan sang heroine dalam sekejap.


Tapi—aku bisa membaginya.


Mari kita bagi ketakutan dan keraguan ini.

Dan bersama-sama, hadapilah semuanya.


Kalau langit terlalu luas untuk diterjang sendirian, maka mari kita terbang bersama… dengan tangan saling menggenggam.


Itu saja yang bisa kulakukan. Tapi jika hanya itu—aku bisa melakukannya.


"Nowa."


"Apa?"


"Ayo kita menari bersama. Besok, dan selamanya setelah itu."


"Apa itu barusan… semacam… pengakuan?"


Nowa tertawa kecil, lalu menjawab dengan suara manja dan lembut.


"Tentu saja. Jangan pernah berpikir kau bisa lepas dari sisiku dengan mudah, ya."


Entah sejak kapan, rasa sakit di kepalaku telah menghilang.

Ketakutan masih ada. Kenangan akan kegagalan masih belum bisa terlupakan.


Tapi meskipun begitu…Aku ingin menari—bersama Nowa.


Aku ingin menari bersama partner-ku satu-satunya—Gadis yang selalu menatapku dengan tulus, apa adanya. Karena perasaan itu terus meluap dari dalam hatiku.


Duarrrrr!


Seketika, kembang api mekar di langit malam. Cahaya tujuh warna yang menerangi kegelapan seolah menuruni langit untuk memberkati kami berdua.


"……"


Kami diam-diam menatap langit malam sambil merasakan getaran dentuman itu di kulit.


Bukan karena terpukau—rasanya sedikit berbeda.


Kami melihat lebih dari sekadar warna-warni yang mekar di udara. Kami melihat sebuah cita-cita.


Sebuah harapan yang samar, mungkin terlalu samar untuk disebut mimpi—bahwa suatu hari kami juga bisa menjadi seperti kembang api itu: bersinar meski di tengah kegelapan.


"Ruto."


Namaku dipanggil.


Partner-ku yang masih bersandar di dadaku menatapku dari bawah dengan senyum percaya diri seperti biasanya.


"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"


"Kalau dibilang semangat sih belum yakin, tapi… aku dapat cukup keberanian. Paling nggak, cukup buat tampil di panggung besok."


"Syukurlah. Kau ini benar-benar partner yang nyusahin, tahu nggak?"


Hmph, gumamnya dengan hidung terangkat sebelum perlahan menjauh dariku. Barulah aku sadar—wajahnya sedikit memerah.


Seolah ingin menyembunyikan rasa malunya di dalam gelap, Nowa berlari kecil menuju tepian lapangan tinggi itu.


Cahaya lembut yang menetes dari langit dan cahaya dari kota di kejauhan serta kembang api yang mekar di angkasa—semuanya seperti menyinarinya, hanya untuk membuat gadis itu bersinar lebih indah.


"Hey, Ruto."


Di bawah cahaya seperti itu, Nowa berbicara.


Mungkin karena diselimuti cahaya yang menyilaukan, dia merasa bisa sedikit lebih jujur.


Mungkin karena malam yang begitu cerah, dia yakin kata-katanya akan tenggelam di tengah keramaian dan tak akan terlalu kentara.


Gadis dalam balutan yukata itu menoleh ke arahku—Dengan senyum canggung seolah sedang menertawakan dirinya sendiri—Dan akhirnya, dia pun mengatakannya dengan pasti padaku.


"Kalau suatu saat nanti aku hampir menangis… tolong, kali ini Ruto yang datang menolongku, ya."


Kembang api mekar—dan kemudian lenyap.


Suara lirih dari gadis yang biasa bersikap tangguh itu, larut bersama cahaya tujuh warna, melayang ke langit musim gugur.


Begitu pelan, hingga nyaris tenggelam di balik dentuman kembang api yang riuh.


Mungkin Nowa pun mengira aku tak mendengarnya—karena tak lama kemudian ia kembali menatap langit, menyipitkan mata terhadap cahaya yang menyilaukan.


Di malam festival yang gemerlap ini, harapan kecil seperti itu mungkin bisa hilang begitu saja ditelan keramaian.


Tapi…


"…Iya. Aku janji."


Aku membalas dengan suara pelan, nyaris hanya untuk meyakinkan diri sendiri.

Aku tak akan membiarkannya lenyap begitu saja.

Aku tak akan pura-pura lupa.


Harapan kecil yang diucapkan oleh partner-ku yang selalu terlihat kuat itu—Doa kecil yang mungkin hanya bisa dia ungkapkan di malam seperti ini….


Akan kuingat selamanya.


Aku…



Akan benar-benar mengingatnya.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close