NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 4.5 Chapter 8

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Chapter 8

“Bersamamu Hatiku Terasa Tenang” 


♣♣♣

     Tokyo, hari keenam.

     Hari pembukaan pameran tunggal, kami tiba di Shibuya sejak pagi.

     ...Ngantuk. Serius, aku kurang tidur parah. Ya, ini memang salahku. Saat berebut tempat tidur, aku enggak sengaja mengungkit aib masa lalu Enomoto-san. Meski dia sempat meledak, aku tetap merasa bersalah.

     Kami masuk ke studio yang dimaksud satu jam sebelum pameran dimulai. Tenma-kun dan yang lainnya sudah siap dari tadi, dan aksesori serta dekorasi sudah tertata rapi di atas meja.

     “Ah, Natsume-kun! Hari ini Rion-chan juga datang... Eh, kalian berdua kenapa? Lingkaran hitam di bawah mata kalian parah banget...”

     Tenma-kun terkejut melihat keadaan kami.

     “Bukan apa-apa...”

     “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan...”

     Kami kompak memalingkan wajah dengan kesal, lalu Sanae-san datang sambil membawa nampan.

     “Kalian berdua, silakan minum ini. Bisa bikin tubuh terasa lebih ringan, lho.”

     Aku menerimanya tanpa protes. Kopi hitam untukku. Enomoto-san memilih teh. …Seperti biasa, selera kami benar-benar sudah terbaca.

     Mengabaikan Enomoto-san, aku melangkah ke meja milik Tenma-kun.

     “Tenma-kun, aku enggak datang terlalu telat, kan?”

     “Enggak kok, segini pas banget. Soalnya kami harus posting pengumuman dulu di Instagram dan TikTok, jadi datangnya lebih awal aja.”

     Ah, begitu rupanya.

     Tenma-kun dan Sanae-san sedang merekam video dari meja yang sudah selesai dihias. Sambil menghias aksesori milikku, aku ikut mengamati proses itu.

     “...Sepertinya hiasannya cukup seperti ini saja.”

     Aku diberi tahu akun media sosial mereka, lalu mengecek video promosi yang mereka unggah. Dalam video yang menampilkan aksesori penuh kilau itu, ada caption singkat: “Enggak sabar pengin lihat wajah kalian semua hari ini.” …Ditambah satu kalimat lagi: “Hari ini ada tamu baru juga, jadi tungguin ya~”

     “Tenma-kun, maksudmu tamu baru itu aku?”

     “Iya. Natsume-kun, kamu punya wajah yang sepertinya bakal disukai fans kami. Enggak usah cuma ikut kali ini aja, gimana kalau kita terus kerja bareng?”

     “Eh, eh, eh... jangan becanda yang kayak gitu, dong...”

     “Hmm, aku sebenarnya enggak niat bercanda, sih...”

     Pasti cuma basa-basi, deh...

     Tapi tetap saja, mendengar dia bilang begitu, aku enggak bisa menahan rasa senang. Aku memang enggak berniat keluar dari kampung halaman, tapi kalau suatu saat nanti ada kesempatan seperti ini lagi, rasanya pasti menyenangkan.

     Saat aku sedang berpikir seperti itu, Enomoto-san mendesis galak dari belakang, “Kishaaa!” menakutkan seperti kucing marah. Tenma-kun tersenyum kecut, lalu membisikkan sesuatu pelan-pelan agar dia tidak dengar.

     “Kalau aku sampai ‘ngambil’ Natsume-kun, sepertinya Rion-chan bakal benci aku, deh.”

     “Udah, jangan bilang yang aneh-aneh...”

     “Eh, tapi serius deh. Bukannya kalian udah baikan kemarin?”

     “Aku juga enggak ngerti... tapi kayaknya aku enggak sengaja nginjak ranjau, gitu...”

     “Begitu, ya. Tapi, meski begitu dia tetap datang bareng kamu. Artinya kalian tetap akur, dong.”

     “Serius deh, jangan kayak gitu.”

     Aku benar-benar dijadikan bahan bercandaan. Tapi kupikir, sebenarnya orang-orang menganggap hubunganku dan Enomoto-san itu seperti apa, ya? Soalnya aku bilang dia adiknya Kureha-san, jadi mungkin memang enggak terlalu aneh, sih.

     Video promosi pameran yang tadi diunggah langsung dibanjiri komentar dari para penggemar, seperti “Enggak sabar ketemu Ten-kun~” atau “Aku mampir sepulang kerja, ya!” Sesuai dugaan, dia memang seorang selebritas... tapi rasanya, semua ini datang dari pesona Tenma-kun sendiri. Komentar-komentarnya pun terasa hangat dan tulus.

     Semua orang ini bakal datang ke studio kecil ini? Cuma membayangkannya saja sudah bikin jantungku berdebar. Apa aku bisa bertahan seharian dalam kondisi begini?

     Tak lama kemudian, dua perempuan datang. Keduanya tampak modis dan berpenampilan menarik. Awalnya aku kira mereka pelanggan yang datang terlalu awal, sampai akhirnya aku ingat kalau Tenma-kun bilang akan ada dua pegawai paruh waktu hari ini.

     Kami sempat berkenalan (entah kenapa mereka malah banyak tanya soal hubunganku dengan Enomoto-san), lalu aku pun menyelesaikan pemasangan aksesori.

     Sambil mengatur sedikit soal alur acara, salah satu dari mereka melapor pada Tenma-kun tentang situasi di luar.

     “Pega-san, di luar sudah ada yang antri, lho~”

     “Wah, makasih ya.”

     Antri? Antri apa? Aku penasaran, lalu melongok keluar lewat jendela studio. Deretan kaki perempuan berjajar rapi terlihat dari sana. Kaget, aku buru-buru menarik kembali kepalaku.

     ...Ngomong-ngomong, tempat ini tuh setengah bawah tanah, ya. Pantas aja aku kaget.

     “Ahaha, Natsume-kun, reaksimu lucu banget.”

     “E-Erm, mereka enggak lihat, kan? Jangan-jangan aku malah dikira pelecehan, terus...”

     “Tenang aja. Kamu enggak ada niat buruk, kan? Lagipula mereka juga pasti enggak nyadar.”

     Tatapan Enomoto-san yang menusuk dari belakang terasa banget, sih... Tapi serius, kita ini lagi berantem, jadi jangan sampai hal-hal kayak gini pun dia jadi sensitif begitu, dong.

     Meski hari ini Sabtu, aku enggak nyangka orang-orang bakal antri sebanyak itu sejak pagi. Ini semua karena popularitas Tenma-kun... atau mungkin juga pelanggan tetap aksesori mereka?

     “Fufu. Tenma-kun memang hebat, ya.”

     “Eh? Bukannya fans-nya Sanae-san juga ikut datang?”

     “Yang antri di luar itu hampir semuanya fans Tenma-kun, kok. Aku sendiri sih, meskipun dulu sempat jadi artis, grup kami bubar sebelum sempat dikenal. Coba deh lihat, followers-ku di Twitter juga sedikit banget, kan?”

     Dia menunjukkan akun miliknya lewat ponsel.

     Memang sih, untuk seseorang yang pernah jadi idol, jumlahnya terasa agak kurang meyakinkan... Tapi ya, aku sendiri juga enggak tahu standar umumnya gimana, jadi enggak punya pilihan selain percaya aja dengan apa yang dia bilang.

     “Sebagai kreator pun aku masih baru banget, jadi belum bisa berharap banyak punya pelanggan tetap. Jujur aja, dalam pameran ini, posisiku ya semacam ikan remora-nya Tenma-kun.”

     “Ikan remora, ya...”

     Ugh, cara ngomongnya agak... gimana, gitu.

     Sambil menyeruput kopi, aku pun bertanya.

     “Ngomong-ngomong, Sanae-san bisa kenal Kureha-san dari mana, ya?”

     “Ah, dari awal grup dance kami itu enggak begitu populer. Aku memang anggota termuda, tapi untuk ukuran idol, usiaku waktu itu juga sudah enggak bisa dibilang muda. Lagipula, kemampuan menari kami juga enggak sampai yang benar-benar profesional. Kalau dipikir-pikir sekarang dengan tenang, rasanya wajar sih kami hanya bertahan sebagai grup minor.”

     “Wah, ternyata ada juga ya grup yang kayak gitu.”

     “Idol yang bisa muncul di TV itu cuma segelintir aja kok... mereka itu bener-bener bagian kecil dari ‘gunung es’. Justru yang kayak aku—yang tenggelam tanpa sempat dikenal—itu jauh lebih banyak.”

     Sambil berkata dengan nada getir, Sanae-san tersenyum kecut.

     “Aku sendiri sih enggak begitu populer, tapi penjualan barang daganganku lumayan bagus. Jadi waktu unitnya bubar, Kureha-san—yang memperhatikan hal itu—menawariku kesempatan ini. Kebetulan aku memang suka batu alam dari dulu, dan waktu itu juga enggak punya hal lain yang benar-benar ingin aku lakukan...”

     “Penjualan barang dagangan?”

     “Itu maksudnya penjualan merchandise setelah pertunjukan. Di grup kami, sistemnya memang anggota langsung menjual barangnya sendiri ke para penggemar.”

     “Ah, begitu ya. Jadi ada juga yang seperti itu.”

     Urusan dunia idol sejauh ini hanya kuketahui dari manga atau cerita-cerita fiksi. Karena aku enggak paham seluk-beluknya, agak sulit juga buat dibayangkan.

     Artinya, Sanae-san memang bukan idol yang sangat terkenal. Dan kalau perkataannya benar, dia mengikuti pameran ini untuk memanfaatkan popularitas Tenma-kun sebagai kreator.

     (...Apa mungkin Sanae-san juga, seperti aku, datang ke pameran ini demi mendapatkan sesuatu?)

     Memikirkan itu entah kenapa membuatku sedikit termotivasi.

     Aku menepuk pipiku sendiri—pak!—untuk menyemangati diri. Karena taruhannya adalah hubunganku dengan Himari, aku juga harus memastikan sesuatu, bukan cuma menikmati keseruan hari ini.

     Tepat pukul sepuluh—pameran pun dimulai.

♣♣♣

     Begitu pameran dimulai, para pengunjung langsung mulai berdatangan.

     Sebagian besar yang datang adalah perempuan—mulai dari mahasiswi sampai pekerja kantoran. Setelah itu, ada beberapa kelompok siswi SMA… dan bahkan satu rombongan siswi SMP. Dengan wajah berbinar, mereka memanggil Tenma-kun yang menjadi tujuan utama mereka.

     “Ten-kun, lama enggak ketemu!”

     “Pegaaa, aku datang, lho!”

     Hanya saja, meskipun antusiasme mereka tinggi, sikapnya tetap tenang. Tak ada yang langsung berlari mendekat. Dengan langkah santai, mereka antri dan menyelesaikan proses registrasi satu per satu. Sepertinya mereka sudah paham aturan tak tertulis di sini. Dari situ aku bisa menebak bahwa para perempuan yang mengantri ini pasti pengunjung tetap pameran.

     Begitu para tamu selesai mendaftar, Tenma-kun menyambut mereka dengan wajah senang.

     “Halo, Shouko-san. Eh? Warna rambutmu berubah, ya?”

     “Ah, iya! Aku baru nemu salon bagus banget, lho. Disarankan sama stylist-nya, jadi aku coba ganti warna ini.”

     “Oh, iya ya. Kamu bilang mau pindah rumah juga, kan? Warnanya cocok banget sama kamu.”

     “Makasiiih!”

     Wah… gila banget…

     Dalam sekejap, suasananya langsung berubah jadi dunia Tenma-kun. Tapi, ya wajar juga. Dari penjelasan tadi, sebenarnya ini bukan pameran bersama, melainkan pameran tunggalnya Tenma-kun. Untuk mengurangi keramaian, pengunjung yang antri di luar diatur masuk secara bergiliran dalam kelompok kecil.

     Pengunjung lain pun menyapa Tenma-kun dengan akrab. Dan setiap orang dilayani Tenma-kun dengan ramah dan penuh perhatian.

     Yang paling membuatku kagum, Tenma-kun mengingat wajah semua orang itu—bahkan percakapan mereka sebelumnya. Saking naturalnya, aku sampai berpikir, “Jangan-jangan mereka baru ketemu kemarin?”

     Para pegawai yang bertugas membagikan minuman pun memberikan satu per satu ke setiap pengunjung.

     Di situ aku baru menyadari. Sistem “wajib pesan satu minuman”, aturan “giliran 20 menit di pagi hari”… awalnya kupikir semua itu aneh untuk ukuran pameran aksesori. Tapi sekarang aku paham alasannya.

     Para pengunjung ini sebenarnya bukan datang untuk membeli aksesori. Mereka datang hanya untuk bertemu Tenma-kun. Mungkin aksesori di sini cuma semacam “tiket masuk” saja.

     Kalau dulu—sebelum liburan musim panas—aku mungkin bakal merasa risih mendengar kenyataan kalau aksesori hanya jadi nomor dua. Tapi sekarang, aku bisa melihatnya apa adanya tanpa rasa berat hati.

     (...Jadi ini yang dimaksud Kureha-san dengan “senjata seorang profesional”, ya?)

     Membuat perbedaan bukan hanya lewat kualitas barang, tapi juga lewat hal-hal lain di sekitarnya.

     Selebriti menerbitkan novel, atau seorang talent mencalonkan diri dalam pemilu. Ini juga termasuk dalam jenis yang serupa. Secara aturan, sama sekali tidak ada yang salah.

     Sejak kejadian liburan musim panas itu, Kureha-san terus-menerus menawarkan ide pada kami—dan bentuk yang ia maksud adalah persis seperti yang dilakukan Tenma-kun ini.

     Himari masuk ke agensi artis dan menjadi terkenal. Dengan kekuatan promosi itu, dia membantu menjual aksesori buatanku. Untuk menunjukkan betapa efektifnya cara itu, Kureha-san sengaja membawaku ke pameran ini.

     (Sial… wortel yang digantung di depanku ini kelihatannya enak banget…)

     Tidak—jangan sampai terbuai.

     Meski aku bisa menebak rencana Kureha-san, persoalannya bukan sekadar mau mengikuti idenya atau tidak. Aku harus bisa membalik keadaan dan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerap sesuatu yang berguna bagiku sendiri. Itulah alasan kenapa aku datang ke pameran ini.

     ...Tapi, luar biasa juga ya, ini benar-benar panggung tunggalnya Tenma-kun.

     Setiap pengunjung yang masuk, pertama-tama menikmati obrolan bersama Tenma-kun. Setelah itu, mereka diperkenalkan dengan cincin tengkorak model terbaru. Satu orang pasti membeli satu atau beberapa buah. Lalu mereka pergi sambil tersenyum puas.

     Dengan sistem “giliran 20 menit di pagi hari” ini, waktu mereka memang habis hanya untuk itu saja. Hampir tidak ada ruang bagi mereka untuk berpaling dan tertarik ke meja kami. Paling-paling hanya beberapa orang yang melirik ke arah kami saat Tenma-kun sedang sibuk melayani tamu lain—itu pun hanya sebentar. Tidak ada kesempatan untuk berbincang tentang aksesori.

     (...Apa hari ini akan terus begini sampai selesai, ya…?)

     Kalau memang begitu keadaannya, lalu aku harus bagaimana? Disuruh “ambil sesuatu dari pengalaman ini” pun rasanya cuma bikin bingung. Jujur saja, sepertinya aku bakal benar-benar berakhir tanpa bisa melakukan apa-apa...

     Padahal aku harus menjual 20 aksesori sampai habis... Hei, Enomoto-san. Jangan menatapku dengan wajah puas penuh kemenangan begitu, dong.

     “Yuu-kun. Kamu masih ingat janjimu, kan?”

     “A-aku tahu kok. Enggak usah diingat-ingetin terus...”

     Dan tolong, berhenti menyorong-nyorongkan ponsel yang isinya rekaman sumpahku itu. Dengan wajah masam, aku mengedarkan pandangan ke seisi studio.

     Ini... aku benar-benar harus jualan...

     “...Hm?”

     Salah satu pegawai yang membagikan minuman mendekat dan menyodorkan secarik kertas. Di situ tertulis pesan dari Sanae-san, yang sedang duduk di meja seberang sambil tersenyum ramah.

     “Tugas kami baru dimulai setelah makan siang. Jadi tenang saja.”

     Aku kaget, lalu spontan menatap ke arahnya. Begitu pandangan kami bertemu, dia melambaikan tangan kecil dengan pelan.

     ...Eh? Wajahku kelihatan jelas banget, ya? Saat aku masih gelisah sendiri, entah kenapa aku merasa Enomoto-san di sebelahku sedang menatapku lekat-lekat.

     “Eh, Enomoto-san. Kenapa?”

     “Yuu-kun, kamu kelihatan akrab banget sama Sanae-chan, ya. Kayaknya lebih senang daripada waktu bareng aku.”

     Apa sih yang dia bicarakan...

     Rasanya dia juga menatap gelang Gekka Bijin itu dengan tatapan sendu yang sama. Jangan-jangan, aksesori ini bukan cuma punya kesadaran sendiri—tapi malah memihak Enomoto-san sepenuhnya.

     ──Dan akhirnya, suasana seperti itu pun berlangsung terus sampai dua jam berlalu.

     Rombongan yang mengantri sejak pagi akhirnya habis.

     Begitu itu terjadi, Tenma-kun menarik napas lega. Dia memberi instruksi pada para pegawai, lalu mereka menurunkan papan bertuliskan “Sedang Istirahat” di depan pintu.

     Dengan wajah sedikit merasa bersalah, ia berbalik menatapku.

     “Maaf ya, dari tadi aku sibuk melayani tamu terus. Sebenarnya kalau sempat, aku ingin ikut membantu memperkenalkan aksesori Natsume-kun juga...”

     “Ah, enggak apa-apa kok. Aku memang harus berusaha menjual semuanya sendiri…”

     “Eh? Kenapa begitu?”

     “Ah… itu, ya… sedikit masalah pribadi…”

     Sebenarnya aku ini lagi taruhan untuk mempertaruhkan hubunganku sama pacarku—harus menjual semua aksesori biar menang… tapi mana mungkin aku bisa jelasin itu di sini!

     Bagaimanapun juga, ini semua karena aku sendiri masih belum cukup matang.

     Fakta kalau aku belum berhasil menarik minat pengunjung ke aksesori buatanku saja sudah bukti yang jelas. Kalau aku menyalahkan orang lain karena barangku enggak laku, mana mungkin aku bisa bertahan di bidang ini ke depannya.

     Sanae-san ikut menenangkan suasana.

     “Tidak apa-apa kok. Natsume-kun orangnya tenang, jadi pasti bisa.”

     “Bukannya tenang… rasanya lebih karena aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan di tahap awal ini…”

     Tapi yang membuatku cukup kaget, ternyata Sanae-san sendiri juga hampir belum menjual apa-apa.

     Kalau aku yang pendatang baru ini belum bisa menjual apa-apa, ya itu sudah wajar. Tapi Sanae-san beda. Dari ceritanya tadi, sepertinya dia sudah beberapa kali ikut pameran bersama Tenma-kun seperti ini. Kalau Tenma-kun memang selalu menggunakan cara yang sama untuk mencetak penjualan, para pelanggan yang datang kembali pasti sudah mengenal Sanae-san juga.

     Saat aku sedang memikirkan itu, Sanae-san menunduk sedikit dan menatap wajahku.


“Natsume-kun? Kamu lagi mikir, ‘kenapa ya, aksesori Sanae-san yang seharusnya ikut dipamerkan juga malah enggak laku?’ begitu, kan?”

     “Eh!?”

     Aku langsung kaget dan buru-buru memutar otak untuk cari alasan.

     Tapi seketika aku sadar itu percuma, lalu akhirnya memilih mengaku saja dengan jujur. Entah kenapa, di depan Sanae-san, apa pun yang kupikirkan rasanya selalu bisa dia baca begitu saja. …Bukan tekanan menakutkan seperti Hibari-san atau Saku-neesan, tapi lebih ke suasana yang membuatku spontan mengibarkan bendera putih.

     “Y-ya. Aku cuma kepikiran, padahal Sanae-san sudah beberapa kali ikut pameran ini, kok para pelanggan enggak banyak yang kembali beli… Maaf, aku jadi mikir yang enggak sopan.”

     Kupikir dia bakal marah, tapi Sanae-san malah terkekeh ringan.

     “Tidak apa-apa kok. Aku sendiri juga paham betul kalau kemampuanku memang masih belum seberapa.”

     Tenma-kun pun ikut tersenyum, seakan tertular suasana itu.

     “Natsume-kun hatinya baik, ya.”

     “Enggak… enggak juga, kok…”

     “Tidak perlu merendah, kok. Bagaimanapun, meskipun kita sama-sama kreator dengan tujuan yang mirip, pada akhirnya kita juga rival yang harus bertahan hidup di tengah persaingan. Banyak orang yang diam-diam senang kalau melihat orang lain gagal. Bisa memikirkan perasaan orang lain seperti itu—itu sudah bakat alammu.”

     “……”

     Sebenarnya, yang lebih pantas dibilang begitu itu justru Tenma-kun dan Sanae-san sendiri… Tapi entah kenapa, kalau kusebutkan, rasanya malah jadi terdengar kurang bijak. Jadi aku memilih diam.

     Tapi makin lama aku mengobrol dengan mereka, makin aku kagum pada kebesaran hati mereka. Padahal usianya tidak jauh berbeda denganku, tapi mereka bisa bicara seterbuka itu tanpa malu. Kalau aku di posisi mereka, pasti sudah tak sanggup mengatakannya.

     Mungkin inilah yang disebut perbedaan pengalaman hidup—bukan hanya sebagai kreator, tapi juga sebagai manusia. Orang sering membayangkan mantan idol itu selalu bergelimang kilau dan kemewahan, tapi dalam beberapa hari ini aku sudah tahu kalau mereka pernah melewati hal-hal yang jauh lebih berat daripada yang pernah kualami.

     …Kalau dipikir-pikir, rasanya aku memang tak pantas terlalu banyak menilai orang lain.

     Justru karena dua orang ini sudah bersedia mengajakku ke pameran ini, aku ingin menunjukkan apa yang bisa kulakukan. Dan kalau bisa, aku ingin Tenma-kun dan Sanae-san mengakui bahwa aku juga pantas disebut rival sejajar bagi mereka. Lalu, sebagai bonus, aku juga ingin menjual semua aksesori ini sampai habis.

     Untuk itu—

     “Mulai sekarang, aturan ‘gantian tiap 20 menit’ akan dihapus. Jadi nanti kamu akan punya lebih banyak waktu untuk menarik perhatian pengunjung. Aku sendiri juga harus berusaha lebih keras, supaya Natsume-kun mau menganggapku sebagai rival sejajar, ya?”

     “Eh…”

     Ucapan penyemangat Sanae-san yang terdengar begitu wajar itu membuatku sampai terpaku tak bisa berkata apa-apa.

     Menyadari tatapanku, Sanae-san menoleh dengan ekspresi heran, lalu tiba-tiba seperti baru tersadar. Wajahnya seketika memerah, dan ia tergesa-gesa bicara.

     “M-maaf… Apa aku barusan ngomong sesuatu yang salah tempat…?”

     “Eh, tidak, itu…”

     Salah tempat?

     Tidak mungkin. Justru sebaliknya. Kata-katanya tadi terdengar persis seperti bisa membaca apa yang sedang kupikirkan, sampai aku terkejut begitu saja.

     Saat itu, para pegawai yang tadi ke luar kembali masuk ke studio. Mereka menenteng kantong kertas dari toko sandwich yang tampak keren, bersama tumpukan minuman yang sama kerennya.

     “Makan siang sudah dibeliin, nih!”

     “Terima kasih. Kalau begitu, ayo kita makan sedikit dulu sebelum mulai sesi siang.”

     Mendengar ajakan Tenma-kun, kami pun menyiapkan meja baru. Sambil menata makanan di atasnya, aku sempat menundukkan kepala pelan.

     Rasa ganjil yang tadi kurasakan terhadap Sanae-san… Tidak lama lagi aku akan mengerti apa sebenarnya itu.

♣♣♣

     Kupikir penggemar Tenma-kun bakal kembali menyerbu lagi setelah makan siang, tapi ternyata seperti yang dia bilang, suasana di sesi siang jauh lebih tenang.

     Sesudah jam istirahat, yang antri di luar hanya beberapa orang saja, dan mereka diperbolehkan masuk tanpa batasan waktu. Kalau dibandingkan dengan pengunjung pagi tadi, rata-rata usia mereka sedikit lebih dewasa.

     Seorang pelanggan perempuan tampak menikmati percakapan santai dengan Tenma-kun, lalu perlahan perhatiannya beralih ke aksesori. Setelah berbincang sejenak tentang cincin tengkorak buatan Tenma-kun, ia membeli satu.

     Begitu menerima barangnya, ia langsung memakainya di jari dan dengan gerakan yang sudah terbiasa, berpose berdua dengan Tenma-kun untuk berfoto selfie. Sepertinya dia pelanggan setia yang sudah cukup dekat.

     Tak lama, Tenma-kun berjalan mendekat sambil menggandeng wanita itu ke arahku. Aku langsung kaget dan refleks menegakkan punggung. Tenma-kun tersenyum cerah saat memperkenalkan.

     “Nagisa-san, ini dia anak yang pernah kuceritakan—teman baru kami.”

     “Wah, salam kenal, ya.”

     Baru dibilang “anak yang pernah kuceritakan”, wajahku langsung panas.

     Aku merasa harus segera bilang sesuatu, tapi mulutku cuma bisa membuka-menutup tanpa suara. Radar anti-cewek cantikku ternyata masih aktif! Kalau begini, beneran bisa habis jualanku!?

     “A-ah… e-ehm… s-senang bertemu denganmu…”

     Begitu akhirnya aku berhasil memaksakan diri mengucapkan salam, entah kenapa Tenma-kun dan Enomoto-san langsung bersamaan “bufuu!?”—mereka menahan tawa sampai menyembur.

     (Eh, eh!? Emang aku kelihatan aneh banget, ya barusan!?)

     Sambil jantungku berdetak kencang, perempuan itu sempat terlihat kebingungan. Tapi kemudian dia tersenyum kecil, lalu dengan nada lembut mulai membahas aksesori yang kupajang.

     “Bunga kering ini cantik sekali, ya.”

     “...!? Terima kasih banyak!”

     Aku langsung mendongak dan berteriak menyampaikan terima kasih. Saat dia berkata, “Boleh aku memegangnya?” tangannya meraih bando yang kubuat dari bunga colchicum.

     “Boleh aku membeli ini?”

     “Tentu saja!”

     Aku buru-buru menyiapkan pembayaran.

     Begitu transaksi selesai, Tenma-kun menoleh padaku sambil berkata—

     “Natsume-kun, kamu bawa kartu nama enggak?”

     “Ah, iya! Aku lupa!”

     Aku buru-buru mengambil kartu nama yang dikirim Himari bersamaan dengan aksesori, lalu menyerahkannya pada wanita itu.

     Memang luar biasa, Himari… Pacarku yang paling imut sedunia sekaligus partner takdirku. Dia selalu bisa membaca dengan tepat apa saja yang akan kulupakan…—Eh, astaga, kalau dipikir-pikir malah jadi super memalukan!

     “I-ini… Di akun Instagram ini, saya memajang contoh produk lain juga…”

     “Terima kasih. Akan aku simpan, ya.”

     Begitu dia menerima kartu itu, aku langsung lega.

     Sebelum pergi, wanita itu berkata pada Tenma-kun, “Cincinnya akan aku unggah di Twitter, ya,” lalu melambaikan tangan dan berjalan keluar. Di dalam studio, beberapa pengunjung perempuan lain tampak berbisik, “Wah, cantik sekali,” “Itu dia, ya…” sambil menatap punggungnya yang menjauh.

     …Sepertinya aku pernah melihat dia di suatu tempat. Saat akhirnya aku baru sempat berpikir begitu, Tenma-kun yang baru saja mengantar wanita itu kembali ke arahku. 

     Lalu, sambil terlihat menahan tawa, ia berkata.

     “Jangan-jangan, Natsume-kun… kamu tadi enggak sadar siapa dia?”

     “Eh?”

     Orang tadi maksudnya, kan?

     Ya, aku juga merasa wajahnya familiar. Tapi, satu-satunya perempuan yang kukenal di Tokyo cuma Kureha-san.

     “…Jangan-jangan, tadi itu Kureha-san lagi menyamar!?”

     “Bukan, bukan! Bukan begitu maksudnya!”

     Entah kenapa, Tenma-kun malah makin terbahak.

     Eh, emangnya barusan aku ngomong sesuatu yang lucu banget, ya? Atau jangan-jangan, selera humorku sudah terlalu dipengaruhi Himari, jadi aku enggak nyadar kalau itu sebenarnya momen yang bikin ketawa? Kalau ini acara "Aiseki Shokudo", pasti udah keluar teriakan, “Chotto mateee!”

     Sambil aku sibuk mikir sendiri, di sebelahku Enomoto-san tampak baru bisa bernapas lega, seperti beban di dadanya terangkat.

     “Yuu-kun… Orang tadi itu, aktris terkenal, Yonekawa Nagisa-san, lho.”

     “…………”

     Makna perkataan itu langsung menggelegar di kepalaku. Begitu aku mencocokkan nama itu dengan ingatanku, tanpa sadar aku berteriak kencang.

     “Orang yang main di drama hari Senin itu!?”

     “Benar. Dia pemeran utamanya. Sejak film tahun lalu, banyak yang bilang kariernya lagi melejit banget.”

     “Itu aku tahu. Himari juga ngefans berat sama dia…”

     Pada saat yang sama, semua perkataan dan tingkahku tadi terputar jelas di kepalaku. Bagaimana bisa aku, baru pertama kali bertemu dengan aktris terkenal, malah sok santai cuma bilang, “Terima kasih,” seakan-akan aku siapa!?

     Saat aku menutupi wajahku dengan kedua tangan sambil merintih, “Uwaaaah…” dan rasanya ingin lenyap saja dari dunia, Tenma-kun menepuk pundakku pelan, seakan sedang mencoba menyemangatiku.

     “Jangan dipikirin terus. Enggak apa-apa kok.”

     “T-tapi… gimana kalau dia menganggap aku ini orang yang meremehkan…?”

     “Enggak mungkin. Paling dia cuma berpikir, ‘Oh, dia enggak tahu, ya,’ gitu aja.”

     “Justru itu yang bikin tambah malu…”

     Ternyata, artis yang datang diam-diam kayak begitu memang benar-benar ada, ya. Dan pertemuannya pun se-santai itu. Eh, tapi bukannya kalau artis lagi libur, biasanya mereka nutup wajah pakai masker atau kacamata hitam… ah, padahal model terkenal yang bawa aku ke sini juga tampil santai tanpa menutupi apa-apa.

     Hebat juga, Tokyo. Rasanya seperti ladang ranjau penuh selebritas yang berkeliaran. Mungkin saja, selama beberapa hari ini aku sudah berkali-kali mengalami hal serupa, cuma aku saja yang tidak sadar.

     Ah, Himari… pacarku yang paling imut sedunia. Rasanya aku pengin cepat-cepat pulang ke kampung halaman yang damai… Tapi untuk itu, aku harus menjual habis semua aksesori ini dulu.

     “Tenma-kun, hebat banget, ya. Kamu bisa kenalan sama orang seperti itu…”

     “Waktu itu aku nonton pertunjukan panggung temannya. Kebetulan tempat duduk kami bersebelahan. Sejak saat itu dia baik sekali kepadaku.”

     “H-hebat… aku benar-benar iri sama kemampuan bersosialisasimu…”

     Kalau aku, sekalipun sempat berkenalan, pasti hubungan itu akan berakhir di situ saja. Mempertahankan relasi itu butuh usaha dan naluri yang bagus…

     “Ngomong-ngomong, dia sama Kureha-san itu musuhan, jadi kalau nanti ketemu lagi, sebaiknya jangan sebut-sebut namanya, ya.”

     “Itu sih… justru info yang rasanya aku lebih baik enggak tahu…!”

     Setiap kali nanti aku nonton drama yang dibintangi Yonekawa Nagisa, pasti pikiranku bakal dipenuhi suara-suara kayak, “Orang ini enggak suka sama Kureha-san, ya… pantes.” …Sepertinya aku memang tipe orang yang lebih baik enggak usah tahu urusan pribadi idolanya.

     “Tapi… berkat kamu, aku jadi bisa jual satu…”

     “Ahaha, aku enggak melakukan hal sehebat itu, kok.”

     Satu aksesori langsung terjual di awal sesi siang. Padahal tadi pagi aku sempat kepikiran, “Jangan-jangan satu pun enggak bakal laku…” Tapi ini pertanda yang bagus.

     Enomoto-san menyikut lenganku. Eh, jangan, itu kelemahanku!

     “Yu-kun, kan kamu harus jual sendiri?”

     “A-aku tahu! Aku sama sekali enggak berniat minta Tenma-kun jualin semuanya.”

     Dia sampai menekankan begitu segala. Maksudnya, itu sudah jelas, kan? Kalau aku cuma mengandalkan Tenma-kun, rasanya sama saja kayak waktu bareng Himari. Sekarang aku ingin menemukan sesuatu yang bisa kuraih dengan kemampuanku sendiri.

     Saat itulah Sanae-san mendekat.

     “Yonekawa-san… hari ini juga cantik sekali, ya.”

     “Ah, Sanae-san. Pelanggannya bagaimana?”

     “Untuk sementara semua sudah pulang. Jadi kita menunggu sampai tamu berikutnya datang.”

     Ngomong-ngomong, tadi rasanya Sanae-san sama sekali tidak mengobrol dengan Yonekawa Nagisa…

     “Sanae-san, apa tidak apa-apa kamu tidak menyapa Yonekawa-san?”

     “Ahaha. Soalnya aku sudah dianggap termasuk kubu Kureha-san…”

     Ah, begitu, ya…

     Yah, mungkin memang itu yang wajar. Pada akhirnya, yang benar-benar luar biasa itu kemampuan komunikasi Tenma-kun.

     “Sanae-san. Natsume-kun sudah berhasil jual aksesori, lho.”

     “Wah, itu benar-benar kabar yang bagus sekali!”

     Melihat dia ikut senang begitu, hatiku pun jadi terasa hangat.

     “Tadi aku lihat beberapa pengunjung sedang melihat-lihat aksesorimu, Sanae-san.”

     “Ah, ya. Berkat itu, aku berhasil menjual lima buah.”

     Guhah!

     Sejak kapan!? Saat aku masih sibuk kalang kabut menghadapi pelanggan pertamaku, dia sudah mencetak hasil sebanyak itu. Memang benar, pengalaman Sanae-san yang sudah berkali-kali ikut pameran tidak bisa diremehkan.

     Sementara kami bicara begitu, pengunjung berikutnya membuka pintu. Kami pun segera menghentikan percakapan dan kembali ke posisi masing-masing.

♣♣♣

     Lalu, sesi di siang hari pun berlalu.

     Tanpa kusadari, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Para pengunjung yang sempat mereda, sedikit demi sedikit kembali berdatangan. Kalau siang tadi lebih banyak anak muda, kali ini para wanita dewasa berpenampilan seperti pegawai kantoran mulai berdatangan. Rupanya sekarang giliran orang-orang yang pulang kerja.

     Meski aku sempat menganalisis situasinya dengan tenang, hasilnya tetap tak berubah.

     Aku menatap meja tempat aksesori dipajang yang sejak siang hampir tak bergeser jumlahnya, dan hanya bisa berpikir satu hal.

     —Aksesori ini tidak laku.

     Bukan berarti tidak terjual sama sekali. Beberapa memang ada yang laku.

     ...Ya, hanya sedikit saja. Benar-benar cuma dua atau tiga buah. Itu pun semuanya dibeli oleh teman-teman Tenma-kun yang dia perkenalkan padaku, lebih karena rasa sungkan daripada murni ketertarikan. Katanya, beberapa di antaranya bahkan selebritas juga, meski aku sama sekali tidak menyadarinya.

     Pokoknya, aksesori ini tetap tidak laku. Aku hanya bisa memegangi kepala seorang diri.

     (Kalau begini, sudah wajar Enomoto-san mencibirku. Kalau terus seperti ini… hm?)

     Di sebelahku, Enomoto-san tampak sedang menulis sesuatu dengan cepat di ponselnya. Ekspresinya luar biasa serius. Tatapan matanya begitu tajam, sampai-sampai aku terperanjat dibuatnya.

     Apa mungkin… Enomoto-san sedang merasa tak tega melihat keadaanku sampai-sampai dia berusaha mencari cara untuk keluar dari kebuntuan ini? …Begitu, ya. Ternyata Enomoto-san memang baik. Kemarin aku sungguh-sungguh mengira dia mencaci makiku tanpa ampun, tapi sebenarnya dia cuma sengaja berperan sebagai si jahat supaya aku terpacu…

     Sekilas, mataku menangkap layar ponselnya.

     'Perencanaan Escort Ajaib Yuu-kun'

     …Ah, ini ternyata rencana kencan hukuman setelah aku kalah, ya…

     Enomoto-san sudah benar-benar yakin akan menang. Dia begitu serius merancang rencana kencan idealnya, sampai-sampai seolah-olah aku ini sudah bukan lagi fokus perhatiannya. Sungguh, kira-kira rencana iblis macam apa yang dia susun… Ehh, coba kulihat… “Setelah Yuu-kun mendapatkan SIM dan menyetir menyusuri garis pantai, kita berciuman pertama kali di bawah sinar matahari senja ///” …INI TAHUN BERAPA!? Rasanya tak mungkin ini ide pilihan remaja SMA di era Reiwa…

     Saat aku menatapnya, Enomoto-san buru-buru menutup layar ponselnya. Dengan pipi yang merona malu, dia berbisik pelan.

     “Yuu-kun… jangan dilihat… malu, tahu…”

     “Standar malumu itu benar-benar enggak konsisten…!”

     Sungguh, apa benar dia ini orang yang sama dengan gadis yang dua hari lalu meringkuk di kasur sambil bilang nyaa nyaa? Aku hampir meriang melihat betapa kontras tingkahnya dengan permintaan romantis konyol itu.

     Lagi pula, jadwal yang dia susun sampai detik-detiknya ditulis begitu detail, rasanya seperti jadwal waktu bebas di study tour pertama. Kalau hari-H nanti aku bangun kesiangan sedikit saja, tamat sudah…

     Tekanan dari pertaruhan ini, seiring berjalannya waktu, rasanya kian menyesakkan dada.

     Sementara itu, Tenma-kun terus menjual aksesori-aksesori itu dengan lancar.

     Baru saja, untuk bersiap menyambut pelanggan yang datang selepas senja, dia membuka kotak kardus stok ketiganya. Kalau dihitung total… meskipun aku tidak mengamati secara detail, mungkin sudah ada sekitar 200 buah yang terjual.

     Sanae-san juga mencatat penjualan yang lumayan tinggi. Konsep pameran kali ini memang membuatnya sedikit tertinggal dari Tenma-kun, tapi rasanya dia sudah berhasil menjual lebih dari 50 buah.

     Apa sebenarnya yang menjadi penyebab perbedaan hasil sejauh ini?

     Tak perlu panik. Pameran masih akan berlangsung sampai besok. Dan jumlah aksesori yang harus aku jual tinggal sekitar 15 buah.

     Kalau dibandingkan dengan festival budaya saat SMP dulu, ini sama sekali bukan apa-apa. Hari ini, kalau aku bisa memperoleh sesuatu dari hasil ini, itu sudah cukup. Besok, aku pasti akan menghabiskan semua stok. …Meskipun pikiranku mencoba untuk tetap rasional, perasaan resah aneh ini terus saja menumpuk di dasar perutku.

     (Tidak… justru kalau aku pasrah dan membiarkan diriku terpuruk, itu akan jadi hal paling bodoh. Demi besok, setidaknya aku harus melakukan sesuatu…)

     Aku menenggak habis kopi di dispenser, lalu kembali ke meja. Tepat saat itu, ada seorang pelanggan yang sedang memandangi aksesori-aksesori di sana dan mengambil salah satunya.

     Yang dipegangnya adalah kalung dengan bunga salvia merah. Bunga-bunga itu ditata di atas alas resin, menciptakan kesan cinta yang tengah berkobar hebat.

     “A-a-anu… Aksesori ini, bunga yang dipakai adalah salvia, um… Salvia itu punya makna bunga yang positif seperti ‘kebijaksanaan’ dan ‘cinta keluarga’, tapi salvia merah ini juga melambangkan gairah cinta yang membara… jadi saya berpikir, aksesori ini seperti menyimbolkan cinta yang bergelora lalu tumbuh menjadi kedewasaan… begitu…”

     “Oh, hee… begitu yaa…”

     Begitu…

     Dan kemudian jatuhlah keheningan. Wajahnya berubah dingin seakan berkata, “Terus, memangnya kenapa?”

     Aku membuka mulut, berusaha menambahkan sesuatu… lalu hanya bisa menunduk lesu.

     Sudah bisa ditebak, pelanggan itu kehilangan minat dan beralih ke meja Sanae-san. …Setelah berbincang beberapa patah kata di sana, dia langsung membeli gelang giok tanpa banyak ragu.

     Di sampingku, Enomoto-san terkikik pelan.

     “Yuu-kun, untuk liburan kelulusan nanti, aku mau naik kapal pesiar mewah, ya ♡”

     “Brengsek! Kamu sudah yakin menang sampai-sampai mulai bikin rencana tanpa mikir biaya…!”

     Hei, ini bukan liburan pasangan lansia yang baru pensiun setelah menyerahkan perusahaan ke anaknya, tahu! Lagipula aku tuh payah dalam bahasa Inggris, jadi seharusnya aku mulai belajar dari sekarang…—bukan itu maksudnya! Kenapa aku malah mulai mikir “mendingan dari sekarang kuantisipasi masalahnya…” begini sih!

     (Ah! Sial, sementara aku sibuk mikirin hal konyol, aksesori Tenma-kun sudah laku lagi!?)

     Dan di sini… meskipun aku sudah mencoba menyapa pelanggan, tetap saja gagal.

     Kenapa, sih? Ini sudah bukan level canggung atau gugup lagi…

     Apa karena dia sudah sering ikut pameran begini? Kalau aku juga beberapa kali ikut, apa lama-lama bakal laku dengan sendirinya?

     Aku… enggak tahu. …Perasaan ini rasanya sudah lama sekali. Sama persis seperti sebelum aku bertemu Himari waktu festival budaya SMP dulu. Badanku panas karena rasa cemas, tapi tulang punggungku dingin sampai menggigil. Rasanya tak berdaya, kepalaku jadi pusing.

     Segelas kopi yang kuminum buat doping… ya, cuma segini efeknya.

     (Padahal kupikir aku bisa lebih dari ini…)

     Waktu festival budaya SMP juga… sebenarnya yang menjualkan hanya Himari.

     Aku sama sekali… belum banyak berubah. Ya, masuk akal sih. Sejak saat itu, kami selalu bersama, sebagai takdir yang saling terkait, menjual aksesori berdua.

     Aku yang membuat, Himari yang menjual.

     Aku hanya mendapatkan rekan paling hebat tanpa pernah benar-benar belajar cara menjual. Tapi entah kenapa, aku sok yakin bisa melakukan ini dengan baik. Apa aku, yang begini payah, sungguh-sungguh bermimpi bisa jadi lawan setara Tenma-kun dan yang lain? Jijik rasanya.

     Hanya karena Himari tidak ada di sampingku, aku jadi sebegitu rapuhnya.

     Tiga tahun terakhir ini… rasanya seperti semuanya kosong belaka. Apa yang kami bangun cuma sekadar cinta saja? Jadi, apakah selama ini aku tak pernah menekuni aksesori dengan sungguh-sungguh? Apa bagiku aksesori hanyalah alat untuk mempertahankan Himari tetap di sisiku?

     Saat pikiranku hampir terjerembap ke kubangan hitam—

     Sebuah bayangan lelaki berdiri di depan mejaku.

     “Noppo-kun. Cuma kamu saja yang udah mau gulung tikar, ya?”

     “Eh…?”

     Aku mendongak. Noppo-kun? Maksudnya aku?

     Yang berdiri di sana adalah seorang pria brewokan. Bajunya lusuh sampai-sampai, sedetik aku sempat curiga jangan-jangan ini perampok yang nyasar masuk ke pameran.


     (TLN : "Noppo" Yang artinya "Jangkung/Tinggi" Kalau di terjemahkan kedalam bahasa Indonesianya. Jadi, si om-om ini intinya manggil MC "Anak jangkung") 


    Tapi kalau diperhatikan lebih seksama, kesan yang kudapat bukan jorok, melainkan lebih seperti liar. Pakaian yang lusuh itu pun sepertinya memang dari awal mengusung konsep seperti itu. Rambutnya yang awut-awutan ternyata ditata rapi sampai ke detail terkecil. Saat angin dari pendingin ruangan berembus, tercium wangi kolong yang bersih.

     (…Eh, tapi serius, dia siapa?)

     Tidak, kalau dipikir dengan kepala dingin, pasti dia pengunjung pameran ini. Memang, ada beberapa pengunjung pria di pameran ini, tapi semuanya masih muda dan berpenampilan rapi. Orang ini benar-benar mencolok. Saat aku masih terpaku menatapnya, dia kembali membuka suara.

     “Hoi. Jangan melamun di depan pelanggan.”

     “Ah!? M-maaf!”

     Aku buru-buru meraih salah satu aksesori yang dipajang.

     “A-anu, bagaimana kalau anting yang ini!?”

     “Haah!? Menurutmu, aku ini tampak seperti orang yang bakal pakai anting bunga begitu!?”

     Kalau begitu, kenapa berdiri di depan mejaku!?

     Semua aksesori buatanku memang aksesori bunga. Justru tidak ada barang lain selain itu. Bukannya sudah jelas, dia pasti ingin membelikan untuk pacarnya, atau semacamnya!

     “Hoi. Ayo, berikutnya!”

     “B-berikutnya? E-eh, kalau kalung yang ini—”

     “Bukan itu! Gunakan matamu baik-baik! Matamu!”

     “M-mata…?”

     Serem, serem, serem!

     Aku paling tidak bisa menghadapi orang yang suka membentak begini. Kalau Hibari-san atau Saku-neesan, mereka memang memberi tekanan, tapi masih bisa diajak bicara… Eh, maksudnya pakai mata itu apa!? Saat aku panik sendiri, di seberang sana, Tenma-kun yang sedang melayani pelanggan mendadak berseru kaget.

     “Shishou!? Lama tak bertemu!”

     “…Yo.”

     Begitu saja, si pria itu seolah langsung kehilangan minat pada aksesori punyaku, lalu berjalan ke meja Tenma-kun. Rasanya lega, tapi juga sedikit kecewa… Shishou?

     Jadi, orang itu yang kemarin disebut Tenma-kun sebagai guru sekaligus mentor di dunia kreator, ya. …Entah kenapa, sosoknya benar-benar kebalikan dari bayanganku. Kukira dia akan tampak lebih kalem dan dewasa, sesuai citra seorang guru Tenma-kun.

     Sambil aku masih terpaku memikirkan itu, Tenma-kun sudah lebih dulu meraih tangan pria itu dan menggenggamnya erat, lalu mengayun-ayunkannya dengan penuh semangat. Bukan senyum profesional yang ia tunjukkan pada pelanggan tadi, melainkan ekspresi ceria yang terasa sangat sesuai usianya.

     “Hari ini Anda benar-benar datang! Saya senang sekali!!”

     “Bukannya kamu sendiri yang memanggilku ke sini.”

     “Soalnya, Anda tidak pernah membalas chat saya!”

     “Kalau aku punya waktu buat makan sama kamu, lebih baik kugunakan buat kerja.”

     …Entah kenapa, percakapan mereka terdengar seperti pasangan lama yang sudah terbiasa satu sama lain.

     Sementara aku dan yang lain hanya bisa memperhatikan, pria itu mengenakan sarung tangan dengan gerakan mantap, lalu meraih cincin tengkorak di atas meja. Ia menatapnya sekilas, kemudian berkata seolah sedang meludah cibiran.

     “Kamu masih saja memakai jasa pemasok ini?”

     “E-eh…”

     “Bukankah aku sudah bilang sebelumnya, tempat ini hasil kerjanya kasar. Kamu tidak mencoba mencari yang lain?”

     Tiba-tiba, tubuh Tenma-kun bergetar sedikit. Awalnya aku kira hanya penglihatanku saja, tapi kemudian dia menampilkan lagi senyum ramah yang mudah disukai orang.

     “Pihak pemasok ini sudah banyak membantu saya. Ah, belum lama ini mereka juga datang menonton pertunjukan panggung tempat saya tampil…”

     “…………”

     Semakin Tenma-kun berbicara, ekspresi pria itu semakin dingin. Lalu, dengan suara pelan namun memiliki ketegasan yang menusuk, ia bertanya.

     “Itu… cita-cita yang kamu kejar?”

     “…………”

     Kata-kata Tenma-kun, yang biasanya tak pernah berhenti mengalir, mendadak terhenti. Dia sempat ingin mengatakan sesuatu, namun mengurungkan niatnya. Dilihat sepintas, sikapnya itu pasti tak lain menunjukkan wajah seorang anak lelaki seusianya. Aura dewasa yang biasa terpancar darinya lenyap, berganti dengan ekspresi kesal saat ia menggigit bibir.

     “…Bukan.”

     “Begitu. Kalau kamu sendiri sudah sadar, itu lebih baik.”

     Pria itu menghela napas, lalu kembali menoleh padaku. Ia melangkah mendekat dan, sama seperti sebelumnya, mulai meneliti aksesori di atas mejaku.

     “Noppo-kun. Aksesori buatanmu… indah.”

     “Eh? A-ah, terima ka──”

     Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, suaranya yang dingin langsung memotong.

     “Tapi, hanya itu saja.”

     Kata-kataku terhenti di tenggorokan.

     Pria itu mengangkat ibu jari kanannya, menunjuk ke arah pundaknya—tepatnya ke arah Tenma-kun di belakangnya.

     “Sebaliknya, anak ini cuma mengandalkan tampang.”

     “…?”

     Aku belum sempat menangkap maksudnya saat ia melanjutkan dengan nada mencemooh.

     “Menjerat perempuan dengan wajahnya, lalu membuat mereka membeli aksesori sebagai penggemar. Tipe yang menjual barang lewat nilai tambah semacam itu. Kualitas karyanya nomor dua. Karena itulah meskipun grupnya bubar, dia masih bisa menerima pekerjaan kecil-kecilan di dunia hiburan, entah itu pertunjukan panggung atau acara lain.”

     “Shishou… soal kecil-kecilan itu rasanya enggak perlu diucapkan…”

     Mendengar protes Tenma-kun yang pelan, pria itu langsung menatap tajam. Tenma-kun buru-buru mengalihkan pandangannya, tampak serba salah.

     “Kamu ini, Noppo-kun, pasti punya kemampuan yang bagus. Kamu memilih gaya mencurahkan segalanya untuk mengasah kualitas. Seorang kreator yang rela menyingkirkan hal lain demi mempertahankan prinsip itu. Gaya lama, tapi cukup simpatik.”

     “…………”

     Itu… barusan, dia memujiku, ya?

     Entah kenapa cara bicaranya yang berbelit membuatku susah menangkap maksudnya—

     “Tapi, untuk kreator masa kini, si brengsek bermodal tampang ini masih lebih berguna.”

     “Eh…”

     Pria itu diam-diam meraih kartu nama bertuliskan "you" yang tergeletak di atas meja. Ia memindai QR code dengan ponselnya, lalu membuka akun Instagram kami.

     Matanya bergerak cepat menyisir foto-foto aksesori di situ. Ujung mulutnya, yang dipenuhi janggut tipis, terangkat miring seolah mengejek.

     “Perempuan yang muncul di Instagram ini siapa?”

     “Oh, itu… model aksesori saya…”

     “Seumuranmu sudah punya model tetap? Lumayan juga koneksimu. Kenapa dia tidak ikut datang hari ini?”

     “Dia tinggal di kampung, di Kyushu… jadi hari ini cuma saya sendiri…”

     “Kalau yang perempuan di sebelahmu ini? Tampangnya lumayan, tapi dia bukan model?”

     Tatapannya tajam menyorot Enomoto-san.

     “...Eh, itu…”

     Dia terus saja bertanya seenaknya, membuat suasana makin canggung. Tapi karena aku sudah tahu dia adalah gurunya Tenma-kun, aku tak berani bersikap tidak sopan.

     “Dia sahabat saya. Biasanya membantu mengurus pekerjaan administrasi aksesori…”

     “Hmm. Jadi model tetapmu tidak datang, tapi si perempuan bagian administrasi malah ada di sini. Dan sekarang cuma duduk santai, ya.”

     “A-apa maksud Anda dengan semua ini!”

     Suaraku tanpa sadar terdengar tajam, tapi lelaki itu hanya terkekeh pelan melalui hidung. Seakan hendak bilang, Anak ingusan sepertimu coba menantangku? Tidak ada apa-apanya.

     “Kamu tahu ungkapan ‘Tuhan bersemayam pada setiap detail’?”

     “S-saya tahu. Maksudnya kalau mau membuat sesuatu yang bagus, kita harus mencurahkan perhatian sampai ke detail terkecil, kan?”

     Itu prinsip yang berlaku untuk semua bidang kreativitas.

     Misalnya di J-POP, bagian A dan B mesti disusun rapi agar bagian reff bisa lebih menggugah. Dalam manga pun, latar belakang tak boleh digambar asal-asalan. Bahkan dalam pementasan teater yang diikuti Tenma-kun, aku pernah dengar betapa pentingnya memperhatikan setiap properti di atas panggung.

     Kalau mengabaikan detail kecil, takkan pernah tercipta karya yang layak. Itu berlaku juga bagi kami para kreator aksesori.

     Namun lelaki itu menepis pemikiranku tanpa ragu sedikit pun.

     “Itu salah kaprah.”

     Ia mendekatkan wajahnya padaku, membuat jarak kami hanya sejengkal.

     “Kalau memang Tuhan bersemayam pada setiap detail, itu berarti—pada akhirnya, segala ketekunan seorang kreator hanyalah sesuatu yang tidak akan pernah benar-benar disadari oleh orang awam.”

     “—!?”

     Sambil berkata demikian, dia mengambil salah satu aksesori buatanku.

     “Bunga-bunga kering yang kamu rawat satu per satu hingga menjadi seindah ini—orang yang membelinya takkan bisa membayangkan nilai sebenarnya, seberapa besar tenaga yang kamu kerahkan untuk merampungkannya, atau lima—enam tahun masa latihan yang kamu habiskan demi menguasai teknik ini. Hal yang sama berlaku pada keahlianmu mengolah perak. …Di usia semudamu, kamu sudah menjadikan teknik tempa sebagai metode utama, bukan lost-wax casting—itu memang mengagumkan.”

     Lalu, dengan nada tegas dan jeda di setiap kalimat, ia melanjutkan:

     “Namun, seindah apa pun Tuhan yang berhasil kamu panggil ke dalam karyamu—kalau kamu menyebut dirimu seorang profesional, semua itu tak berarti apa-apa bila tak bisa kamu tukar menjadi uang. Ini hanyalah… sampah.”

     “—!”

     Sekejap, amarah menyulut kepalaku dan aku berdiri.

     …Namun, di situlah semuanya berhenti. Tatapannya menancap tepat padaku, lurus dan jernih. Saat aku menatap mata bening itu, aku sadar: dia bukan sedang meremehkanku.

     “Usaha untuk menyampaikan ‘Tuhan’mu pada klien—aku tak melihat itu dari dirimu yang hanya duduk di situ. Pada titik itu saja, sebelum kamu benar-benar bertarung, kamu sudah kalah dari si tampan ini.”

     Lalu tanpa sungkan, dia meraih kepalaku dan mengacak-acaknya dengan kasar.

     “Jangan cuma duduk melongo dengan tatapan kosong di tengah-tengah pameran. Kalau kamu berhenti berjuang sebelum selesai, mana mungkin kamu dapat pengalaman, dasar bodoh.”

     Dia dengan ringan mengetukkan kepalan tangannya di kepalaku.

     Bertolak belakang dengan sikapnya yang blak-blakan, entah kenapa, aku justru merasakan semacam kehangatan darinya. Aku sampai bengong, lalu reflek menjawab asal.

     “Y-ya…”

     Aku sempat terpikir, orang ini mirip siapa, ya? Mungkin… Kureha-san? Atau mungkin Hibari-san? …Tidak, entah kenapa, rasanya justru lebih mirip Saku-neesan.

     “Noppo-kun. Namamu siapa?”

     “Ah, di kartu nama saya…”

     “di sini cuma tertulis ‘you’, tahu.”

     “Ah, begitu… Maaf. Ehm… Saya, Natsume Yuu.”

     ──Dan seketika. 

     Pria itu melotot dengan mata terbelalak. Sambil sedikit terhuyung ke belakang, ia tetap menatapku tajam. Tatapannya seperti sedang menilai barang dagangan… atau lebih tepatnya, seolah ingin memastikan sesuatu, ia mengamatiku dari atas sampai bawah.

     “Natsume? Jangan-jangan… keluargamu yang punya minimarket…?”

     “Eh. Ah, ya. Benar sekali.”

     “Punya tiga kakak perempuan…?”

     “A-Anda kok tahu sedetail itu…”

     Entah apa yang baru saja ia sadari, mendadak ia menghentakkan kakinya kuat-kuat ke lantai.

     “Dasar perempuan licik itu!! Dia pasti sudah merencanakan ini!!”

     “…? …??”

     Aku dan Enomoto-san hanya bisa berdiri terpaku, sama-sama tak mengerti apa yang sedang terjadi. Pria itu menatapku tajam, lalu berdehem keras. “Hem!” Ia kemudian melirik sekilas ke arahku.

     “Yu—! …Yuu-kun.”

     “Y-ya…?”

     Yuu-kun?

     Namaku dipanggil dengan suara yang makin mengecil di akhir, membuatku refleks menjawab dengan waspada. Sambil mengalihkan pandangan dengan canggung, pria itu entah kenapa berkata dengan nada memohon.

     “Soal pertemuan kita ini… jangan pernah beritahu Sakura-chan. …tidak, jangan katakan padanya, ya?”

     “Apa…?”

     Nama kakak perempuanku yang ketiga baru saja disebut, membuatku terkejut. Dan saat aku masih terpaku, kehilangan kata-kata, pria itu buru-buru melangkah keluar dari studio.

     “Ah, t-tunggu…!”

     Aku cepat-cepat mengejarnya, tapi saat sampai di luar, sosoknya sudah lenyap entah ke mana. Matahari senja musim panas masih terang, tapi sepertinya ia sudah masuk ke gang di balik gedung-gedung sekitar.

     Aku pun tak punya pilihan lain selain kembali ke dalam studio.

     Tenma-kun berkata pelan, “Maaf ya, karena Shishou tiba-tiba saja seperti itu,” dengan ekspresi sungguh-sungguh menyesal. Aku hanya membalas kalau itu tidak masalah.

     Begitu aku kembali duduk di meja, Enomoto-san bertanya dengan wajah heran.

     “Tadi orang yang agak kurang sopan itu… kenalan Sakura-san, ya?”

     “Kurang sopan… yah, entahlah. Tapi kalau soal dia kenal sama Saku-neesan, itu sudah pasti.”

     Kalau begitu, kata-kata yang ia sempat umbar saat pergi—“perempuan licik”—hampir bisa dipastikan yang dia maksud itu Kureha-san. Entah kenapa, aku merasa cukup yakin soal itu. Aku mengembuskan napas panjang.

     Dunia ini rasanya sempit sekali. Tapi, meninggalkan itu semua, berkat nasihat barusan, pikiranku rasanya jadi jauh lebih jernih. Kabut yang tadinya menyelimuti benakku seakan tersibak, berganti dengan kejernihan yang menyejukkan.

     Waktu sampai pameran hari ini ditutup tinggal sekitar satu jam lebih sedikit lagi…

     Yang harus kulakukan bukan cuma duduk bengong sambil menonton aksesori orang lain terus terjual satu demi satu.

     Aku menatap Enomoto-san, lalu menepuk kedua tanganku di depan dada dengan mantap.

     “Maaf, Enomoto-san! Untuk sementara, tolong bantu layani para pengunjung, ya!”

     “Eh, tapi…”

     “Enggak perlu menyapa pengunjung lebih dulu. Kalau ada yang mau membeli, cukup bantu urusan uang kembalian saja. Kumohon! Tolong, ya!”

     “……”

     Aku menundukkan kepala dalam-dalam pada Enomoto-san.

     “Kalau cuma itu… ya, baiklah.”

     Syukurlah dia mau menyetujuinya. Dengan begini, aku bisa lebih fokus.

     Aku menarik napas panjang, lalu memejamkan mata.

     Apa yang sebenarnya dikatakan pria tadi padaku? Usaha untuk menyampaikan ‘Tuhan’ dalam karyaku pada klien… bukan, bukan itu… Sebelumnya—dia bilang, seberapa pun aku mencurahkan obsesi dalam detail, kalau tidak laku, itu hanya sampah belaka… Dia juga bilang, di zaman sekarang, seorang kreator seperti Tenma-kun yang bisa menarik orang lewat ketenarannya jauh lebih tinggi kelasnya daripada aku yang cuma sibuk mengutamakan kualitas aksesori… Kalau begitu, apa yang harus kulakukan sekarang supaya bisa terus berjuang… apa… aku tidak bisa mengingatnya.

     Apa tadi dia hanya mengejekku saja?

     …Tidak, mustahil. Aku bisa memastikan itu.

     Karena… meski tutur katanya kasar, isi perkataannya tulus.

     Siang tadi. Tepat setelah sesi sore dimulai, Yonekawa Nagisa datang berkunjung. Dia bilang aksesori buatanku hanya “bunga kering yang cantik.”

     Memang kebanyakan orang awam tidak tahu… tapi sebenarnya, dried flower dan preserved flower itu dua hal yang berbeda.

     Cara pembuatannya, teksturnya, karakteristiknya, berapa lama bunganya bisa tetap terjaga… semua itu tidak sama.

     Namun, bagi orang kebanyakan, semua tetap disebut “bunga kering.”

     Sementara orang itu—dia menyebutnya dengan tepat, "preserved flower". Saat menyentuh aksesori buatanku, dia bahkan memastikan memakai sarung tangan. Meski aku cuma pemula yang karyanya belum seberapa, dia tetap menunjukkan rasa hormat.

     Dan lagipula, itu bukan hal yang bisa dilakukan sembarangan, kan?

     Sekilas saja memandang, dia sudah bisa menebak berapa lama aku menekuni bidang ini. Tidak mungkin dia asal bicara saat menyebut “lima sampai enam tahun masa belajar.” Bisa dibayangkan betapa dalam pengalamannya.

     Dia bilang, “Tuhan bersemayam pada setiap detail.” Dan sikapnya yang penuh ketelitian tadi, sudah menjadi bukti perkataannya sendiri. Mana mungkin orang seperti itu akan mengucapkan sesuatu tanpa pikir panjang.

     (Apa? Apa sebenarnya hal yang harus kulakukan supaya bisa terus berjuang… ah!)

     Orang itu… pertama kali bicara, dia bilang:

     “Gunakan matamu baik-baik. Matamu!”

     Gunakan mata.

     Saat mendadak disuruh begitu, aku memang sempat kebingungan. Tapi kalau dipikirkan dengan tenang, sebenarnya itu hal yang sederhana.

     Dalam seni bela diri, aku pernah dengar istilah mitori-geiko. Maksudnya, daripada sekadar diajari dengan kata-kata, kamu harus mencuri teknik lawan dengan mengamati setiap gerakan mereka secara saksama.

     Di tempat ini, siapa yang harus kuamati dan kuambil ilmunya…? Tentu saja, dua orang yang penjualannya jauh lebih baik dariku. Tentang itu pun, dia sebenarnya sudah memberiku petunjuk kecil.

     Gaya yang dipakai Tenma-kun jelas bukan sesuatu yang bisa kuterapkan secara mendadak. Maksudnya, masa aku harus tiba-tiba menebar senyuman maut penuh pesona ke semua pelanggan perempuan yang datang? Itu gila banget. Salah-salah, nanti aku malah dituduh macam-macam. (Kalau Hibari-san sih, mungkin saja bisa.)

     Kalau begitu… satu-satunya orang yang bisa kupelajari adalah Sanae-san.

     Kalau diingat-ingat lagi, sikap dan hasil yang dicapai Sanae-san itu tidak sejalan. Dia bilang, di pameran ini tidak akan ada penggemarnya yang datang. Kebanyakan pengunjung memang pertama-tama menghampiri Tenma-kun—jadi dia tidak bohong soal itu.

     Tapi nyatanya, dia berhasil menjual dengan stabil. Memang, batu alam buatannya sangat menarik, tapi rasanya tidak mungkin perbedaan permintaan pasar sampai sejauh itu.

     Mungkin, sama seperti Tenma-kun, senjata utama Sanae-san bukan hanya aksesorinya. Dia pasti punya cara lain untuk membuat orang yang awalnya bukan penggemarnya langsung memutuskan membeli di tempat.

     Aku membuka mata.

     Lalu, aku menatap lekat-lekat cara Sanae-san menjual. Dia menghampiri seorang perempuan yang berdiri di luar antrian pembeli yang mengobrol dengan Tenma-kun. Mereka bertukar beberapa kalimat… lalu Sanae-san menunjukkan kalung batu alam di atas meja. Setelah itu, dia menambahkan sesuatu… ah, pelanggan itu langsung membeli.

     Tunggu, tunggu, tunggu. Semua langkah itu terjadi begitu mulus—aku sama sekali belum menangkap intinya.

     Sekali lagi. Sanae-san memandang pelanggan itu. Dia pura-pura santai, padahal sebenarnya menatap dengan penuh perhatian. Selama beberapa detik, dia sama sekali tidak bergerak… hanya menatap.

     Di saat yang sama, dua orang pelanggan lain datang ke mejanya. Sanae-san… eh? Tidak menanggapi? Dia benar-benar mengabaikan mereka, tetap saja memperhatikan perempuan yang sejak tadi jadi sasarannya.

     Dan anehnya, bukannya melayani dua orang yang sudah di depan meja, dia justru memanggil si perempuan yang berdiri agak jauh!

     Begitu dipanggil, perempuan itu mendekat. Sanae-san langsung menunjukkan jepit rambut kulit—yang sama seperti dia kenakan sendiri. Setelah menjelaskan sedikit soal produknya, perempuan itu langsung memutuskan membeli.

     Sementara itu, dua pelanggan yang datang lebih dulu hanya terus melihat-lihat barang… lalu pergi tanpa membeli apa pun dan kembali ke meja Tenma-kun.

     Kelihatannya bukan karena mereka marah diabaikan. Jadi, apa sebenarnya perbedaan antara orang yang dibujuk membeli dan yang tidak?

     Untuk ketiga kalinya. Sanae-san menatap seorang pelanggan perempuan yang baru saja masuk ke studio. Sama seperti sebelumnya, ia tidak sedikit pun mengalihkan pandangan. Perempuan itu tampak ingin mendekat ke meja Tenma-kun… eh?

     Sambil berbicara dengan Tenma-kun, perempuan itu beberapa kali melirik meja Sanae-san. Dia sepertinya tidak bisa fokus pada obrolannya dengan Tenma-kun.

     Begitu Tenma-kun berpaling untuk melayani pelanggan lain, Sanae-san langsung memanfaatkan momen itu dengan tepat—dia memanggil perempuan tersebut. Selama proses itu, pelanggan lain yang sempat mendatangi mejanya pun tetap ia abaikan sama sekali.

     (…jangan-jangan, dia sedang memilih pelanggan yang memang menunjukkan minat paling besar pada aksesorinya?)

     Saat aku tiba pada kesimpulan itu, rasanya ada benturan keras yang menghantam kepalaku.

     Kalau mau dibilang buruk, cara itu seperti gaya angkuh yang sengaja memilih pelanggan sendiri. Tapi nyatanya, metode itu benar-benar masuk akal.

     Dalam ruangan terbatas, dengan waktu dan biaya yang juga terbatas, cara itulah yang paling efisien untuk memastikan penjualan. Lagipula, kalau asal menegur siapa saja secara putus asa, itu sama saja seperti terang-terangan mengumumkan, “Lihat, barangku tidak laku!” …Persis seperti yang kulakukan tadi.

     Tapi… apa hal semacam itu benar-benar mungkin dilakukan?

     Kalau memang bisa, rasanya sudah seperti kemampuan cenayang.

     (Tidak, Sanae-san pasti memang bisa melakukannya)

     Aku teringat cerita tentang masa ketika dia masih tergabung dalam unit tari.

     Sanae-san bilang dulu dia bukan anggota yang paling populer di dalam grup. Tapi hanya dalam hal hasil penjualan langsung—penjualan barang yang diserahkan sendiri kepada pembeli—dia selalu menonjol jauh di atas yang lain.

     Itu bukan sesuatu yang biasanya mungkin terjadi.

     Penjualan merchandise biasanya sebanding dengan seberapa populer orangnya.

     Kalau dia tetap bisa mencetak hasil penjualan tinggi, berarti… dia pasti sengaja menarik calon pelanggan yang berpotensi menjadi penggemarnya sendiri, dari antara orang-orang yang awalnya datang untuk anggota lain.

     (…Aku ini memang bocah yang tidak tahu apa-apa dan sangat kurang ajar.)

     Sampai acara pameran hari ini dimulai, aku masih yakin kalau Sanae-san datang ikut serta karena dia juga sedang mencari “sesuatu” agar bisa melangkah lebih jauh sebagai kreator.

     Tapi ternyata, dia bukan datang untuk mendapatkan sesuatu.

     Sanae-san sudah memilikinya sejak awal.

     Dan demi terus mengasah senjata itu, dia sengaja menempatkan dirinya di situasi yang tidak menguntungkan.

     Bisa dibilang, itu adalah gaya bak ular berbisa. Sejak para pengunjung melangkahkan kaki ke “kandang” yang sudah Tenma-kun siapkan, mereka mulai diam-diam diamati dari titik buta. Begitu lengah sedikit saja, taringnya akan langsung mencabik. Dan saat racunnya sudah menjalar ke seluruh tubuh, percuma saja baru sadar. Semuanya sudah terlambat.

     Setelah menyadari hal itu, gerak-gerik Sanae-san jadi tampak semakin jelas.

     Sekilas dia terlihat hanya duduk manis sambil tersenyum ramah. Tapi matanya tidak pernah berhenti mengamati sekeliling, walau sedetik pun. Dan sekali dia sudah menetapkan target, dia tidak akan melepaskan pandangan barang sesaat pun hingga tiba saat yang tepat untuk menyapa. …Lalu, satu aksesori lagi berhasil dia jual.

     Aku sampai ternganga menyaksikan ketajaman pengamatan itu.

     (…Apa aku bisa melakukannya?)

     Bukan, bukan apa aku bisa. Harus aku lakukan.

     Dalam situasi ini, satu-satunya cara untuk sedikit saja meningkatkan hasil penjualan adalah meniru gaya Sanae-san.

     Pas sekali, seorang pengunjung wanita baru saja masuk. Aku mengamati gerak-geriknya. Dia menghampiri Tenma-kun lebih dulu, mendengarkan penjelasan tentang aksesori. Lalu, setelah lama bimbang memilih di antara aksesori yang tinggal sedikit, akhirnya dia membeli salah satunya. Begitu ada pengunjung lain datang, dia menyerahkan tempatnya. Saat itu, dia sempat menoleh ke arahku… eh!? Begitu mata kami bertemu, dia langsung tampak kaget dan buru-buru memalingkan wajah. Dengan tergesa-gesa dia menuju meja Sanae-san.

     Tunggu, reaksi barusan apa!? Sakit hati sekali rasanya. Memangnya wajahku seaneh itu sampai orang harus kabur? Padahal aku sudah susah payah potong rambut di salon yang Tenma-kun rekomendasikan…

     “Yuu-kun, Yuu-kun!”

     “Eh? Ah, ada apa, Enomoto-san?”

     Dengan wajah agak jengah, Enomoto-san berkomentar,

     “Kalau kamu menatap pengunjung begitu tajam, kesannya jadi seperti orang mencurigakan…”

     “…………”

     Guhah…!?

     Komentar yang begitu tenang itu rasanya menusuk sampai aku hampir saja memuntahkan darah. Jadi sikapku barusan memang begitu mencurigakan, ya. Ya wajar sih… kalau tiba-tiba ada orang asing yang menatapmu terus, pasti bikin takut…

     Kalau sampai mengganggu Tenma-kun, itu jelas masalah. Aku pun menatap Enomoto-san dengan serius, memohon bantuannya.

     “Enomoto-san. Mulai sekarang aku akan mengamati para pengunjung habis-habisan. Jadi kalau kelihatan kayak orang mesum, tolong hentikan aku.”

     “Yuu-kun… kamu sadar kan, kalimat barusan itu terdengar sangat berbahaya…?”

     Teguran Enomoto-san yang penuh akal sehat itu benar-benar menusuk…

     Tapi untungnya, dia tidak langsung mengusirku dengan kuncian Iron Claw. Malah akhirnya dia mengangguk setuju. Bahkan di tengah pertengkaran seperti ini pun, dia tetap saja baik hati…

     Aku mencoba menenangkan diri dan kembali mengamati para pengunjung.

     Tidak boleh dilakukan secara serampangan. Kalau hanya asal menebak, itu sama saja dengan sembarangan menghampiri orang dan menawarkan dagangan. Kurasa, ketika mengamati calon pembeli, Sanae-san selalu punya keyakinan tertentu di dalam benaknya.

     Kalau begitu, apa sebenarnya yang menjadi dasarnya?

     Bagaimana caranya dia bisa langsung menemukan orang yang tampak benar-benar tertarik pada aksesori miliknya? Dalam obrolan kami sebelumnya, rasanya ada sesuatu yang menyerempet soal itu… Ah.

     Sanae-san pernah bilang, “Batu alam yang sudah lama kamu bawa-bawa itu, lama-lama akan terdengar suaranya.”

     Tentu saja, bukan berarti batu itu benar-benar bisa bicara. Aku paham betul. Tapi bukan pula hanya khayalan yang sepenuhnya fantasi.

     Aku sendiri, saat merawat bunga, sering merasa seakan-akan mereka menyapaku. Meski Himari suka mengejek, Tenma-kun dan yang lain juga bilang mereka bisa memahami perasaan itu.

     Fokus pada bunganya—

     Pasti ada pemicu, ada tanda sekecil apa pun yang tidak boleh luput dari pengamatan.

     Ini adalah aksesori yang sudah kucurahkan seluruh hati dan tenaga untuk membuatnya. Tidak akan ada orang lain di dunia ini yang lebih memahami mereka selain diriku sendiri.

     Misalnya, marigold yang satu ini.

     Kalau diingat-ingat, dulu aku sempat kesulitan merawat bunga ini.

     Marigold sebenarnya bunga yang tahan panas dan mudah dibudidayakan, tapi entah kenapa yang satu ini selalu tampak layu dan tak bersemangat. Aku sudah mencoba membuatkan naungan, memindahkannya ke pot baru. Bahkan waktu Himari tiba-tiba heboh ingin pindah ke Tokyo dan aku sendiri jadi stres berat, bunga ini hampir mati seakan tak tahan lagi.

     Tapi lihatlah sekarang, ia berhasil mekar dengan indah seperti ini.

     Lihat baik-baik, dia sudah berubah menjadi aksesori yang manis sekali. Terus terang, di antara semua aksesori musim panas kali ini, inilah yang paling membuatku merasa terikat secara emosional… Aduh, rasanya mataku jadi panas.

     Aksesori-aksesori itu seakan bersuara, “Pamerannya belum selesai, tahu!” “Semangat terus!” Aku tahu… Aku tahu kok. Tapi kalau menatap kalian seperti ini, semua kenangan musim panas itu langsung memenuhi kepalaku… Ugh, pandanganku jadi kabur!

     …Eh?

     Di tengah bunga-bunga yang bersemangat menyorakiku, ada satu yang tampak mengkerut, seolah sedang gugup.

     Petunia… bunga yang keanggunannya manis, seperti warna rose wine.

     Ngomong-ngomong, dia ini memang tipe yang pemalu. Dulu saja lama sekali baru mau tumbuh dari tanah, sampai-sampai aku hampir tidak sengaja mencabutnya karena kukira tidak akan tumbuh. Tapi sekarang dia sudah jadi bunga yang begitu cantik… Eh?

     Dia sedang memandangi apa, ya? Arahnya bukan ke arahku atau bunga lain… Tatapannya mengarah ke meja Tenma-kun. Saat kuikuti arah pandangnya… ah.

     Pandangan kami beradu.

     Seorang gadis dengan potongan bob sebahu, penampilannya tampak pendiam. Dia datang bersama seorang temannya—sepertinya sedang menunggu giliran untuk berbincang dengan Tenma-kun. Mungkin karena sedang tidak ada yang dikerjakan, dia jadi tanpa sengaja melihat ke arahku.

     Begitu sadar kami saling menatap, dia buru-buru memalingkan wajah.

     “…………”

     Aku pura-pura mengalihkan pandangan ke arah lain sambil meneguk kopi. Sambil berusaha tetap terlihat santai, aku mencuri-curi perhatian ke arahnya, dan memang—dia kembali menatap petunia ini.

     …Suara bunga, ya.

     Tak kusangka, kebiasaanku berbicara pada bunga akhirnya membawaku ke sini. Bukan, ini bukan berarti pikiranku sudah miring. Tadi, aku benar-benar merasakan tatapan hangat itu, tertuju pada aksesori ini, walau hanya sesaat.

     Itu dia. Pasti inilah yang dimaksud Sanae-san saat bilang, “batu alam itu akan berbicara padamu.”

     Aku menarik napas panjang.

     Jantungku berdegup kencang. Ini kesempatan sekali seumur hidup.

     Gadis itu akhirnya selesai mengobrol dengan Tenma-kun. Dia juga membeli cincin tengkorak. Lalu, saat hendak meninggalkan studio bersama temannya, aku memberanikan diri memanggilnya.

     “Ah, e-ehm. Kalau tidak keberatan… mau lihat-lihat dulu, sebentar?”

     Temannya menatapku dengan alis yang merapat curiga. Penampilannya tampak modis, sepertinya tipe yang memang senang dengan tren. Dia menarik lengan gadis berambut bob itu, seakan menyuruhnya cepat-cepat pergi.

     “Hei. Nanti kita telat pulang, tahu.”

     Sepertinya mereka masih anak SMA. Mungkin aturan di rumah cukup ketat.

     Meski begitu, aku yakin. Gadis berambut bob itu menoleh ke temannya dan berkata pelan, “Sebentar saja,” lalu menundukkan pandangannya ke meja pajang.

     Tidak—lebih tepatnya, dia terpaku pada petunia itu. Mungkin dari tadi dia hanya ingin melihatnya lebih dekat. Tatapan matanya tampak penuh rasa ingin tahu dan begitu tulus.

     …Sepertinya akan cocok, pikirku.

     Tidak, bukan sekadar cocok. Saat kulihat dari dekat, aku semakin yakin. Warna petunia yang lembut dan anggun itu benar-benar serasi dengan sosoknya.

     Entah mengapa, petunia itu seakan menatap balik ke arahnya. Meski biasanya pemalu, kali ini justru terlihat bersinar begitu menawan, memancarkan pesona yang aneh tapi indah.

     Mungkin saja, bunga ini melakukan perjalanan sepanjang 1.200 kilometer dari kampung halaman hanya untuk bisa bertemu dengan gadis ini. Entah kenapa, aku benar-benar memikirkan hal konyol seperti itu dengan serius.

     “…Aksesori petunia ini, kami sendiri yang menanam bunganya. Dia ini pemalu sekali, sampai-sampai lama sekali tidak mau bertunas. Waktu akhirnya tumbuh pun, perkembangannya tidak sesuai rencana. Akarnya sering terlilit dengan tanaman lain, bahkan seolah-olah takut pada bunga lain… Ah, maaf. Maksudku, aku hanya ingin bilang kalau setiap bunga juga punya kepribadian masing-masing.”

     Tanpa sadar, aku meluncurkan cerita sepihak yang membuat kedua gadis itu menatapku dengan ekspresi sedikit kaget. …Sial, kalau gara-gara kebodohanku mereka jadi ilfeel, itu benar-benar gawat.

     Astaga, rasanya menegangkan sekali bicara dengan cewek yang baru dikenal. Temannya di belakang sudah kelihatan sebal, sampai mengetuk-ngetukkan ujung sepatu. Sumpah, perutku sakit. Ini apa, ujian mental? Kalau tahu begini, seharusnya sejak dulu aku belajar ngobrol sama cewek selain Himari.

     Tapi, sudah terlambat untuk menyesal sekarang. Aku tak punya waktu untuk terus kebingungan di sini. Hal yang harus kusampaikan sebenarnya tidak banyak.

     Pikir, cepat pikir. Pikirkan kata-kata yang mungkin diinginkan si gadis berambut bob ini… Tidak, bukan begitu!

     Perasaan orang lain bukan sesuatu yang bisa kutebak seenaknya. Yang ingin kusampaikan cuma satu: aksesori ini—bunga ini—sepertinya benar-benar menyukai dirimu.

     Bunga ini, yang lama sekali hidup sendirian, yang bahkan takut pada bunga lain, hari ini terus menatapmu yang baru pertama kali ia temui. Mungkin terdengar bodoh, tapi aku yakin.

     Bertahun-tahun lamanya, aku hanya memandangi bunga. Berkali-kali gagal, sedikit demi sedikit belajar memperbaiki, lalu disemangati Himari, hingga akhirnya jumlah keberhasilan pun mulai bertambah.

     Benar. Rasanya sama seperti saat aku pertama kali bertemu Himari. Aku yang pemalu ini, entah kenapa, hanya pada Himari aku bisa membuka hati. Kalau memikirkan bahwa pertemuan seperti itu mungkin juga terjadi pada aksesori ini… dadaku bergetar. Aku ingin sekali membuatnya berhasil.

     Aku merasakan tenggorokanku yang kering gemetar.

     Aku menatap matamu dengan tulus.

     “Bunga ini punya makna, 'bersamamu hatiku menjadi tenteram'. Dan…—”

     Ikuti saja perasaanmu.

     Sampaikan apa adanya, biarkan kata-kata ini membawa niatmu.

     Kalau ternyata gagal, aku tinggal memikirkan kata lain untuk kesempatan berikutnya. Bahkan kalau perlu kuberikan saja gratis, asal bunga ini bisa sampai ke tanganmu. Semua kegagalan, semua langkah yang tersesat—kalau pada akhirnya aku bisa menang, semuanya akan terbukti tak sia-sia.

     Itulah yang dinamakan mengejar mimpi—begitu yang pernah diajarkan seorang cowok sok santai padaku.

     “Aku yakin… bunga ini akan terlihat paling indah saat kamu yang memakainya. Kalau kamu mau… maukah menerimanya?”

     Dan akhirnya, aksesori buatanku menemukan seorang sahabat sejatinya.

     

0

Post a Comment



close