Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Chapter 6
"Keindahan yang Sempurna"
♢♢♢
Halo semuanya!
Namaku Inuzuka Himari, gadis tercantik di dunia yang diakui oleh siapa pun!
Aku ini bukan cuma pasangan sehidup semati Yuu, kekasih yang paling ia cintai, tapi juga—percaya enggak percaya—selama liburan musim panas kali ini, aku bekerja sebagai gadis penjaga toko kue milik keluarga Enocchi! Super sibuk, kan? Begitulah aku, gadis super sibuk dan super cantik☆
Hari ini, aku akan memperkenalkan keseharianku, ya!
① Bangun pagi!
Aku bangun bahkan sebelum matahari terbit, lalu membuka jendela dan menghirup udara pagi dalam-dalam. Aroma alami yang masih mengandung embun pagi itu benar-benar menyegarkan. Walau liburan musim panas, aku tetap menjaga ritme hidup yang teratur. Soalnya, kecantikan itu berasal dari gaya hidup yang sehat dan disiplin!
② Jogging pagi!
Aku jogging bareng Kakek sebagai bagian dari rutinitas pagi di liburan musim panas. Tahun ini sih banyak hal terjadi, jadi kami nggak bisa sering melakukannya. Tapi setidaknya di minggu terakhir ini, aku ingin menghargai waktu bersama beliau. Menjaga bentuk tubuh juga sudah semestinya dilakukan sebagai pasangan Yuu, kan?
③ Mandi dan sarapan pagi!
Menu sarapannya: roti panggang dan telur mata sapi buatan Ibu, ditambah salad dari sayuran yang dipanen langsung dari kebun di belakang rumah. Rasanya segar dan alami—benar-benar bikin bahagia!
④ Bersiap dan berangkat kerja paruh waktu!
Aku diantar Ibu naik mobil, mampir dulu ke sekolah. "Loh, kenapa ke sekolah pas liburan?" kamu mungkin bertanya. Itu karena aku harus merawat taman bunga selagi Yuu enggak ada. Memang sih, sekarang enggak ada bunga yang ditanam karena semuanya sudah dijadikan aksesori, tapi kalau sampai ada masalah di taman, bisa gawat juga, kan?
Nfufuu~. Istri yang penuh perhatian seperti ini... Aku sendiri sampai jatuh cinta sama diriku sendiri♪
Dan setelah urusanku selesai, aku langsung menuju misi terpenting musim panas ini... yaitu kerja di toko kue milik keluarga Enocchi!
Bangunan tokonya manis banget, mirip rumah tupai dalam cerita dongeng. Mama Enocchi memang punya selera luar biasa! Nanti kalau aku dan Yuu punya toko sendiri, boleh juga ya minta saran desain dari beliau♪
Masuk lewat pintu belakang, aku langsung menuju ruang ganti. Cuci tangan dengan bersih, lalu berganti ke seragam kerja yang bersih dan wangi. Katanya, seragam ini dicucikan setiap hari oleh Mama Enocchi, lho♪
Yosh! Hari ini juga, dengan pesona super duper imutku, aku akan menjual banyak kue-kue manis lagi~☆
"Selamat pagi semuanya!"
"Oh, selamat pagi, Himari-chan."
Aku menyapa Mama Enocchi dan ibu-ibu paruh waktu yang sudah bekerja sejak pagi-pagi sekali membuat kue. Sampai waktu toko buka, aku juga bantu-bantu menyiapkan kue-kue yang akan dijual.
Pertama-tama, aku mengangkat kue-kue yang baru selesai dibuat ke dalam etalase kaca di konter. Aku menatanya dengan rapi sesuai urutan yang diajarkan padaku, lalu menempelkan papan nama produknya. Pastinya, tart shine muscat yang jadi andalan harus ditaruh di tempat yang paling mudah dilihat, dong.
Hmm~ Aroma mentega yang baru dipanggang ini benar-benar menggoda!
Begitu semua kue selesai dipajang, aku kembali ke dapur untuk mengambil batch berikutnya. Eh, sekalian juga aku menendang Makishima-kun yang sedang diikat di sudut konter. Dia langsung mengeluarkan suara penuh semangat.
“Mmmph! Mmm────ph!?”
Wah, padahal dari subuh sudah diikat, tapi ternyata masih sekuat ini ya~♪ Tapi ngomong-ngomong, aku enggak ngerti dia ngomong apa sih. Ganggu banget deh♪ Ayo kita buka saja kain yang disumpalkan di mulutnya!
“...Puhah!? A-Apa ini!? Kenapa pas aku bangun, tahu-tahu udah ada di toko rumahnya Rin-chan!?”
“Eh? Soalnya kamu juga nyulik Yuu pas dia lagi tidur, kan?”
“Tenanglah! Itu bukan ulahku, melainkan rencana Kureha-san, bukan!? Jangan asal menuduh seolah semua hal itu ide dariku!”
Padahal dia yang jadi tersangka, tapi gayanya sok banget, ya. Sepertinya, dia perlu diingatkan dulu soal posisi dirinya sekarang☆
“Kalau begitu... kita mulai dengan memukul pantat pakai raket tenis, ya—”
“Sudah kubilang, tenangkan dirimu!? Lagipula, bagaimana caranya kamu bisa menculikku dari rumah!?”
“Soalnya kakakmu bilang dia mau bantuin ngangkut kamu asalkan dikasih satu sesi pemotretan cosplay pakai kostum buatan tangan, lho.”
“Dasar biksu mesum pecinta loli itu...”
Mendengar kata-kata yang enggak bisa dibiarkan itu, aku langsung menendang pantatnya dengan keras.
“Ufufuu~. Tapi kalau kamu ngomong gitu, kesannya aku kayak punya badan anak kecil, ya?”
“Hmph. Kalau dilihat saat kamu berdiri di samping Rin-chan, rasanya wajar saja orang sampai berpikiran begitu, bukan?”
“Itu karena Enocchi yang ukurannya enggak normal aja. Aku ini rata-rata, tahu~? Mau kubunuh, nih~♡”
Aku terus menendang-nendang pantatnya, geshi geshi. Rasanya seru juga kalau dia sampai kena wasir gara-gara ini~♪
...Saat aku sedang asyik main begitu, Mama Enocchi muncul dari dapur sambil menyorongkan wajahnya. Ia menyatukan kedua tangan di depan dada dan meminta maaf pada Makishima-kun dengan gaya super manis.
“Maaf ya, Shinji-kun~. Aku enggak sengaja keceplosan tadi~...”
“Tch. Jadi itu sebabnya...”
Begitu dia mulai paham situasinya, aku lanjut ke urusan selanjutnya. Dengan sengaja, aku menepuk-nepuk nampan kosong tempat kue barusan sambil menatap mengintimidasi.
“Jadi? Gimana kalau kamu jujur aja sekarang?”
“A-Apa maksudmu?”
“Nfufuu~. Jangan sok enggak tahu deh. Enocchi juga ngejar-ngejar Yuu sampai ke Tokyo, kan? Apa sih tujuan kalian sebenarnya?”
“...A-aku memilih untuk menggunakan hak untuk tetap diam.”
Yah, wajar sih. Aku juga enggak berharap dia langsung ngaku. Justru karena itu, aku sengaja meluangkan satu malam penuh buat ini.
Dengan tenang, aku mengeluarkan selembar foto dari dalam saku. Begitu dia melihatnya—mata Makishima-kun langsung membelalak lebar!
“Itu... i-itu, jangan-jangan...!?”
“Nfufuu~. Seperti yang kuduga dari Makishima-kun, kamu langsung tahu, ya~?”
Sambil jual mahal, aku mengibaskan foto yang kubawa dari rumah itu tepat di depan wajahnya. Pandangannya langsung terkunci pada foto itu, tak bisa lepas.
...Kena, nih.
Dengan penuh keyakinan, aku menyembunyikan foto itu di balik punggung.
“Kalau Makishima-kun mau sedikit aja jadi anak baik, aku mungkin akan kasih lho... foto polaroid Kureha-san waktu masih SMA~”
“Guh... Grrrgh...!?”
Pufufufu.
Aku “meminjam” foto ini diam-diam dari album di kamar Onii-chan—foto polaroid rahasia Kureha-san saat acara olahraga sekolah. Ia masih SMA, belum jadi model, dan mengenakan seragam olahraga. Kalau sampai beredar di pasaran… nilai jualnya pasti enggak main-main.
Dan yang lebih penting, foto ini diambil tepat saat Makishima-kun sedang tergila-gila pada Kureha-san. Menahan godaan ini? Cowok biasa sih pasti langsung tumbang.
Makishima-kun menggertakkan gigi, lalu berkata lirih, seolah menahan diri.
“...Nahaha. Aku ternyata dianggap semurah itu, ya.”
“Eh…?”
Jangan-jangan... foto ini enggak mempan!?
Saat aku menelan ludah tanpa sadar, Makishima-kun tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar!
“Kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, bawakan lima lembar foto itu sebagai gantinya!”
“HAH!? Eh, tunggu! Jangan manfaatin situasi dong, kebangetan banget sih kamu!”
“Nahaha. Maaf ya, tapi aku juga bisa dalam bahaya tergantung situasinya, tahu? Jadi tanpa imbalan sepadan, aku enggak bisa kasih informasinya.”
“Tch. Tapi... aku cuma bawa tiga lembar, dan... ah!?”
Begitu tanpa sadar keceplosan, Makishima-kun langsung mengeklik lidahnya dan berkata, “Kamon.”
“Kamu jebak aku ya, Makishima-kun!?”
“Nahaha. Sungguh perempuan yang ceroboh. Ayo, kalau kamu khawatir soal Natsu, mendingan serahkan saja tiga lembar itu dengan baik-baik.”
“Grrrgh...!”
Dasar! Dia berhasil bikin aku ngeluarin semua kartu andalan yang kupunya!
Makishima-kun menyodorkan tangannya sambil bilang, “Ayo, ayo, ayo~.” Aku nyaris meledak karena kesal, tapi tetap menahan diri sekuat tenaga dan menyodorkan ketiga lembar foto itu!
“Nih, ambil aja sekalian, dasar perampok!”
“Terima kasih atas pembeliannya~!”
Negosiasi pun selesai.
Aku menambahkan dua lembar foto lagi dan menyelipkannya ke tangan Makishima-kun. Begitu aku melepaskan ikatannya, dia langsung memeriksa “barang rampasan” dengan sigap.
(...Puhaha. Cuma bohong doang kok~♪)
Aku pura-pura kesal, padahal diam-diam tersenyum penuh kemenangan.
Dan seperti yang sudah kuduga, Makishima-kun langsung menjerit.
“H-Himari-chan, tunggu! Foto ini… ada yang enggak seharusnya ikut kefoto juga!?”
“Puhahaha! Ya iyalah! Itu kan hasil jepretan kakakku sama yang lain. Wajar aja kalau ada cowok-cowoknya juga, dong~!”
“Jangan main-main! Ini penipuan, tahu enggak!?”
“Eeh~? Kok ngomongnya jahat banget, sih? Toh yang kefoto juga tetap Kureha-san, kan?”
Sekarang giliranku menyodorkan tangan dan bilang, “Ayo, ayo, ayo~.”
“Oyaa oyaa~? Makishima-kun~. Waktu kita berdua ngopi bareng setelah Obon, siapa ya yang pasang tampang cool terus bilang, ‘Memang, aku ini playboy... tapi aku enggak pernah bohong (dengan gaya sok keren)’?”
“Perempuan ini... Kenapa aku harus repot-repot nyimpen foto si manusia super sempurna itu sama kakakku juga, sih…”
“Yaa, soalnya enggak ada yang versi solo, sih~.”
Mungkin disembunyiin di suatu tempat... atau mungkin udah dibakar juga.
Bagaimanapun, pencarian lebih lanjut itu mustahil. Lagian, kalau sampai ketahuan, aku bisa beneran dimarahin habis-habisan. Buatku, ini udah kayak transaksi yang mempertaruhkan nyawa.
Mama Enocchi sempat melongok dari balik pintu dan berbisik, “Foto anak perempuanku dijadikan alat tawar-menawar…,” dengan wajah dag-dig-dug. Tapi aku cuek saja dan melanjutkan pembicaraan.
Makishima-kun dengan hati-hati menyimpan foto-foto polaroid itu di sakunya.
“Perjalanan kali ini adalah hadiah liburan untuk Rin-chan. Himari-chan juga kan sudah banyak ditolong. Jadi tolong kali ini, bersikaplah tenang.”
“Tapi berdua-duaan tuh bahaya banget, tahu! Gimana kalau tiba-tiba Yuu jatuh ke dalam jerat racun Enocchi...”
“...Aku benar-benar kagum, kamu bisa ngomong kayak gitu padahal kelakuanmu sendiri lebih parah.”
“Cerewet banget sih!”
Masalah aku enggak usah dibahas! Jangan ngeles dari topik utamanya!
Makishima-kun hanya tertawa mengejek, lalu mengambil sekantong cinnamon rusk dari rak. Ia menjatuhkan diri ke kursi di sudut eat-in corner, dan tanpa izin mulai mengunyah rusk itu renyah-renyah.
“Yah, begini. Natsu memang anaknya setia, tapi enggak bisa dipungkiri, dia juga gampang kebawa suasana. Dalam kondisi biasa, skenario kayak begitu bisa aja terjadi...”
Setelah menjilat jarinya, ia malah menunjukkan ekspresi jenuh, lalu menyatakan dengan yakin:
“...Tapi kayaknya enggak akan ada masalah. Soalnya, Rin-chan enggak bisa berbuat hal-hal licik.”
“…………?”
Apa maksudnya, itu?
Aku memiringkan kepala, dan Makishima-kun mengangkat bahu santai.
“Aku maksudnya ya itu tadi. Rin-chan tuh bukan tipe yang bisa main licik kayak kamu, Himari-chan. Bukan karena wataknya dari lahir, tapi karena pola asuhnya yang membentuk dia begitu...”
“Kenapa ya, cara ngomongmu tuh kesannya jahat banget?”
“Kalau kamu merasa begitu... berarti kamu sendiri menyimpan rasa bersalah, kan?”
“...Kamu tuh emang enggak bisa ngobrol kayak orang normal, ya?”
Makishima-kun tertawa lepas, “Nahahaha.” Lalu, dengan santai menambahkan komentar yang enggak penting-penting amat, “Kalau sama cewek lain selain kamu, aku bisa kok ngobrol normal.”
“Lagian, kamu sendiri yang harusnya coba lebih tenang, Himari-chan. Sekarang ini, Natsu kan udah jadi milikmu. Tapi kalau kamu panik gitu terus, orang-orang malah bisa meragukan kedalaman hubungan kalian.”
“Ugh…!?”
Langsung kena tusuk pakai logika yang enggak bisa dibantah.
Begitu aku terdiam, Makishima-kun menyeringai lebar dengan senyum menyebalkan.
“Kalau kamu benar-benar percaya sama ikatan kalian, ya tenang aja. Lagipula, kamu juga enggak percaya sama Rin-chan yang selama ini udah sedemikian tulus dan berusaha keras?”
“U-ugh… uuuh…!”
Aku yang benar-benar kehabisan kata-kata akhirnya jatuh berlutut di tempat.
...Y-ya juga, sih. Memang, Yuu itu kadang agak enggak bisa diandalkan, tapi kalau sudah saatnya serius, dia tetap bisa bilang “tidak” dengan tegas. Hal kayak pergi jalan-jalan bareng Enocchi... harusnya bisa kuterima dengan senyum, ya?
Lagipula, ya masa sih kalau mereka liburan bareng sampai tidur sekamar segala? Enggak mungkin lah. Kalau sampai segitunya, itu sih udah nggak masuk akal sebagai manusia.
Oke, aku udah mutusin! Kali ini, aku bakal tunjukin kedewasaan seorang istri sah yang sesungguhnya—dengan dada terbuka dan hati lapang!
Saat aku sedang membara dengan tekad seperti itu, Makishima-kun tiba-tiba tersenyum kecil.
“Lagipula... Himari-chan juga enggak berada di posisi yang bisa banyak komentar soal Natsu, kan?”
“Hah?”
Apa maksudnya itu?
Makishima-kun tersenyum penuh arti, menatap ke luar jendela. Aku penasaran, dan ikut-ikutan melirik ke arah yang sama. Dan pada saat itu juga...
Chirin chiriin, bel pintu toko kue berbunyi pelan.
Eh? Kurir, ya?
Tapi biasanya yang biasa nganter itu masuknya lewat pintu belakang. Kalau begitu, ini pasti pelanggan... tapi masih lama banget sebelum jam buka. Jangan-jangan gara-gara kita ribut-ribut di dalam, dia jadi ngira tokonya udah buka?
Aku langsung pasang senyum pelayanan yang sempurna. Lalu, seperti gadis penjaga toko yang profesional, aku membungkuk dengan sopan menyambut tamu.
“Selamat datang~♪”
Seorang pria muda dengan setelan jas rapi berdiri di sana. Aku membungkuk dalam, seperti yang diajarkan.
“Mohon maaf yang sebesar-besarnya, tapi toko kami belum buka untuk umum... se...sekarang...”
Kata-kataku terhenti.
Soalnya aku mengenali sepatu mengilap yang ia kenakan. Dan tepat setelah itu, suara ramah yang familiar terdengar dari atas kepalaku.
“Hai, Himari. Semangat banget ya hari ini, kerja paruh waktunya.”
“...O-Onii-chan!?”
Yang datang itu adalah kakakku tercinta—Hibari Onii-chan yang selalu kubanggakan.
Tapi... kenapa Kakak bisa ada di sini? Masa iya, dia datang buat beli kue?
Tapi beli kue sebelum berangkat kerja tuh... enggak masuk akal banget. Jadi, dia datang ke sini cuma buat nengok aku? Waaah, Onii-chan memang luar biasa! Super sayang adiknya~...
(...enggak. Enggak boleh pura-pura polos kayak anak gadis lugu yang nggak tahu apa-apa.)
Aku cuma punya satu kemungkinan dalam benakku. Dan aku merasa firasatku ini... tepat. Soalnya, dari tadi radar pendeteksi bahaya milikku berdengung terus-terusan. Keringat dingin menetes deras, dan punggungku terasa enggak enak banget...
“Hahaha. Maaf kalau mengejutkanmu. Sebelum berangkat kerja, ada satu hal yang ingin aku pastikan langsung padamu, Himari.”
“H-heh~... Gitu, ya? Hehehe... kaget juga sih...”
Sambil mencoba tetap tersenyum santai, aku melirik pelan ke arahnya.
Mata dingin Onii-chan menatapku dari atas—tajam dan penuh tekanan.
...Oh tidak. Dia serius.
Begitu menyadari situasinya, tubuhku langsung bereaksi. Dalam kecepatan yang bahkan melampaui batas fisikku sendiri, aku berbalik dan mengarah ke pintu dapur—eh, kenapa pintunya enggak bisa dibuka!?
Aku memutar-mutar kenop dengan panik, krek-krek, tapi enggak ada reaksi sama sekali.
“K-kenapa!? Padahal barusan masih bisa—...AAAH!?”
Dari balik pintu, Makishima-kun melambaikan tangan pelan ke arahku. Dengan gerakan mulut yang bisa kubaca sebagai “Sampai jumpa, ya,” dia pun langsung keluar lewat pintu belakang.
“D-dasar playbo—...!?”
Baru saja hendak memaki, tiba-tiba sebuah tangan menutup mulutku dari belakang. Lalu, suara lembut berbisik di telingaku.
“Himari? Anak perempuan itu... enggak boleh pakai kata-kata seperti itu, tahu?”
“Y-ya, maaf...”
Tangan Onii-chan... dingin banget...
Dengan tubuh gemetar, aku menoleh perlahan. Kakakku berdiri di sana tanpa ekspresi, tapi dengan suara yang amat lembut, ia mulai bertanya padaku...
“Pagi ini. Kamu enggak mengambil sesuatu dari ruang kerjaku, kan?”
“……………………………………………………………………Maaf...”
Sudah tentu, aku tidak dimaafkan.
Belakangan aku baru tahu, saat mendengar teriakanku bergema, Mama Enocchi dan para staf di dapur hanya tersenyum hangat dan berkata, “Wah, pagi ini juga ramai, ya~.” ☆
♣♣♣
PoV
Natsume Yuu
Halo! Namaku Natsume Yuu.
Sehari-hari aku adalah murid SMA, yang sedang berjuang mengejar cita-cita sebagai perancang aksesori bunga. Baru-baru ini, aku mulai berpacaran dengan sahabatku sendiri, Himari—jadi bisa dibilang, kehidupan SMA-ku sedang berjalan mulus.
Sekarang adalah minggu terakhir liburan musim panas.
Aku sedang berada di Tokyo bersama teman sekelasku sekaligus sahabatku, Enomoto-san. Liburan musim panas ini jadi jauh lebih tak terduga dari yang kubayangkan (apalagi karena dimulai dengan penculikan...), tapi sejauh ini kami benar-benar menikmati perjalanannya.
Dan mulai hari ini, sebuah peristiwa besar dalam hidupku akan dimulai.
Berkat koneksi dari Kureha-san—kakak perempuan Enomoto-san—aku berkesempatan untuk bertemu langsung dengan seorang kreator aksesori! Aku memang belum tahu seperti apa orangnya, tapi aku yakin ini akan jadi pertemuan yang luar biasa. Soalnya, mana mungkin ada kreator yang jahat, kan?
Semoga saja ini bisa jadi titik awal pertumbuhanku yang berikutnya!
Yosh! Aku jadi semangat banget!!
──Begitulah kira-kira suasana hatiku saat menyambut pagi hari ketiga di Tokyo.
Sinar matahari pagi yang terang dan menyilaukan kembali menyinari kamar suite tempat kami menginap. Cuaca cerah yang benar-benar cocok untuk melanjutkan liburan musim panas ini.
Aku berdiri memandangi secarik memo yang ditempel di pintu kamar tidur, benar-benar kehabisan akal.
"Pengkhianat dilarang masuk."
Dari balik pintu, aura kemarahan yang tenang tapi menusuk seakan-akan merembes keluar.
Tentu saja, ini ulah Enomoto-san. Begitu kami kembali dari makan malam bersama Kureha-san semalam, dia langsung menempelkan pesan itu dan mengurung diri di kamar.
...Dia pasti sudah bangun, kan? Dari tadi kudengar ada suara-suara kecil di dalam.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu.
“Enomoto-san? Kamu sudah bangun?”
“…………”
Tak ada jawaban.
Perutku langsung terasa makin nyeri, seolah sedang dipelintir dari dalam.
…Jadi, dia memang marah, ya?
Ini pertama kalinya Enomoto-san bereaksi seperti ini, jadi aku enggak yakin sepenuhnya. Sebenarnya akan jauh lebih gampang kalau dia nyakar aku pakai Iron Claw kayak biasanya—itu lebih jelas dan bisa kutangani, gitu.
Ya, aku ngerti alasannya. Mungkin karena aku mengabaikan Enomoto-san dan malah menerima ajakan dari Kureha-san. Memang, waktu itu aku enggak terlalu memperhatikan, tapi Enomoto-san kayaknya memang enggak antusias sama sekali.
(Tapi… apa sampai sebegitunya harus marah…?)
Lagipula, aku kan bukan dari awal setuju ikut perjalanan ini.
Tiba-tiba dibawa sampai Tokyo dan diajak, “Yuk kita liburan bareng~,” itu kan agak bikin bingung juga. Aku tahu dia enggak suka sama Kureha-san, tapi buatku, urusan aksesori jauh lebih penting.
(Yah… walau pada akhirnya aku juga cukup menikmati perjalanan ini sih!)
Ugh, rasanya nggak enak banget di dada...!
Di saat kayak gini, andai aku bisa curhat ke Himari... Tapi ya enggak mungkin. Kalau aku sampai cerita, dia bakal tahu aku pergi ke Tokyo bareng Enomoto-san. Kalau sampai itu kejadian, pas aku balik nanti, urusannya pasti jauh lebih ribet. Kenapa sih, sampai harus kayak pasangan pisah ranjang segala gini di tengah liburan ke Tokyo…?
Pilihan yang tersisa buatku sekarang tinggal dua.
Opsi pertama: Pergi keluar meninggalkan Enomoto-san. Bisa dibilang, menunda penyelesaian masalah. Tapi risikonya: kemungkinan besar situasinya bakal makin parah.
Opsi kedua: Berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan Enomoto-san sekarang juga. Kemungkinannya? Sangat kecil.
Berdasarkan pengalaman selama beberapa bulan terakhir, aku tahu betul kalau enggak milih opsi kedua, nanti aku bakal menyesal banget. Aneh juga, kenapa aku malah berkembang di arah beginian, sih!?
“Enomoto-san, bentar lagi sarapannya bakal datang, lho. Gimana kalau kamu keluar dulu?”
“…………”
Tentu saja, tetap nggak ada jawaban.
Ya, aku juga enggak berharap segampang itu dia bakal tertarik. Aku memutar otak sekuat tenaga. Hmm... gimana ya caranya biar Enomoto-san mau memaafkan aku dan keluar dari kamar? …Enggak tahu. Serius, aku beneran enggak tahu. Kalau ini Himari, tinggal sebut nama Hibari-san, langsung kelar urusannya…
Tunggu dulu?
Untuk bisa ngobrol, dia harus keluar dari kamar dulu. Dan mungkin, kalau tujuannya cuma itu, aku enggak harus minta maaf dulu, kan?
...Legenda Goa Amano-Iwato.
Ada beberapa tempat di Jepang yang diyakini sebagai lokasi kejadian dalam kisah tersebut, dan salah satunya bahkan ada di kampung halamanku sendiri.
Secara garis besar, kisahnya begini: karena suatu alasan, Dewi Matahari—Amaterasu Omikami—mengurung diri di dalam goa. Dunia pun diselimuti kegelapan. Demi menyelamatkan dunia, para dewa yang jumlahnya mencapai delapan juta mencoba berbagai cara untuk membujuknya keluar.
Singkatnya, semua pendekatan langsung gagal total, sampai akhirnya para dewa berpesta di luar gua. Amaterasu yang penasaran dengan suara tawa mereka, akhirnya keluar juga.
Kalau ditarik ke situasi sekarang…
“Ah, aah~. Iya ya~. Kalau hari ini aku udah selesai ketemu kreator, kayaknya enak juga kalau mampir makan pancake yang enak, deh~. Soalnya ini Tokyo, kan? Pasti ada banyak tempat yang terkenal banget. Enomoto-san juga pasti bakal suka, deh~.”
...Hmm, kedengarannya agak kaku ya?
Tapi masih dalam batas wajar, lah. Yang penting bukan aktingnya, tapi isi omongannya. Kalau denger kata-kata itu, pasti sekarang Enomoto-san udah ngebayangin pancake di mulutnya, dong!
Sementara aku menunggu sambil deg-degan... pintu di depanku perlahan terbuka.
“Eh, Enomoto-san! Jadi kamu mau keluar juga... h-hah?”
Begitu aku berseru senang—sepasang mata sayu yang penuh rasa kesal mengintip dari balik celah pintu. Eh? Kayaknya... bukan reaksi yang aku bayangkan, deh...
Dengan tatapan tajam dan mata yang tak berkedip, Enomoto-san bergumam pelan.
“Yuu-kun… kamu enggak lagi mikir kalau aku ini cuma doyan makan aja, kan…?”
“Enggak, sumpah enggak! Maaf banget, serius maaf!”
Padahal sebenarnya aku sempat kepikiran begitu. Beneran, aku minta maaf banget…
Begitu aku langsung sujud di tempat, dia malah menyahut dingin:
“Ulang.”
“Baik…”
Pintu kembali tertutup.
Di ruang tamu yang tiba-tiba terasa jauh lebih luas dari kemarin, aku hanya bisa terisak pelan. Ulang katanya…
…Tapi tunggu. Bagaimanapun juga, dia tadi keluar juga, kan? Itu berarti rencana ‘pancingan hadiah’ ini sebenarnya enggak salah arah. Jadi sekarang tinggal menentukan jenis hadiah yang lebih tepat sasaran, ya. Hmm…
“Tolong… tolong, aku butuh nasihat dari siapa pun…”
Tapi tunggu—untuk urusan seperti ini, aku butuh seseorang yang benar-benar paham dengan kepribadian Enomoto-san… dan yang lebih penting lagi, orang itu tidak boleh memberi tahu Himari soal aku yang lagi di Tokyo bareng Enomoto-san.
Enggak mungkin ada orang kayak gitu… eh, atau jangan-jangan… ada?
Dalam bayanganku, muncul sosok cowok flamboyan dengan kipas di tangan, tertawa keras khas orang yang terlalu percaya diri.
Tapi… apa aku benar-benar mau minta tolong sama dia? Utang budi ke dia tuh bakal ribet ke depannya… Eh, tunggu, yang lebih penting lagi—aku enggak punya cara buat hubungi dia. Selama liburan musim panas ini, Saku-neesan udah nyita ponselku. Dan jujur aja, nomor Makishima pun aku nggak hafal.
Sambil terus mengerang di kepala sendiri, tiba-tiba telepon kamar hotel berdering.
Aku mengangkatnya, dan suara resepsionis menyapaku sopan.
[Panggilan dari Enomoto-sama]
“Ah, ya… halo…”
Perasaan enggak enak langsung menyelubungiku.
Dan benar saja—begitu tersambung, suara riang yang terlalu ceria itu langsung menyambut.
[Selamat pagi~☆ Mau nomor HP-nya Shinji-kun, enggak~?]
“Kenapa sih, kamu bisa tahu terus apa yang ada di pikiranku!?”
Jangan-jangan… dia masang alat penyadap di kamar!?
Soalnya ini udah enggak bisa dibilang cuma karena kepribadianku gampang ditebak, lho… Sambil gelisah aku mulai mengobrak-abrik tasku, dan di seberang sana, suara ceria Kureha-san kembali terdengar.
[Ufufu. Rion tuh, dari dulu memang enggak berubah~]
“Eh? Maksudnya gimana?”
[Kalau lagi enggak suka sama sesuatu, dia pasti langsung ngurung diri di kamar gitu~ Waktu kecil, dia sering banget bikin repot Ibunya, lho~]
“Sungguh? Wah, aku enggak nyangka…”
Selama ini, citra Enomoto-san di mataku itu mandiri dan dewasa. Jadi dengar cerita masa kecilnya yang agak kekanak-kanakan begini tuh rasanya agak segar juga. Meski ada rasa bersalah karena kayak nguping rahasia orang, aku jadi makin penasaran.
“Kalau udah gitu, biasanya harus diapain ya biar dia keluar?”
[Eh~ Masa kamu nanyanya ke aku~?]
“Aku tahu sih, ini curang banget. Tapi kalau didiemin terus, kami beneran bakal jalan sendiri-sendiri mulai sekarang…”
[Yah, enggak ada pilihan lain deh~ Kalau gitu, demi sahabat kecil adikku tercinta, kayaknya aku harus ngajarin jurus rahasia warisan keluarga~]
Jurus rahasia…
Begitu kata itu keluar, aku langsung condong ke depan. Mendengar kata-kata kekanak-kanakan kayak gitu dari Onee-san cantik yang dewasa itu… entah kenapa, sebagai cowok aku ngerasa ini tuh penuh romansa.
[Pertama-tama~ nyalain dulu mode speaker di ponselnya ya~]
“Speaker? …Oke. Udah nyala.”
Begitu aku bilang, suara Kureha-san mendadak naik beberapa oktaf dan langsung berteriak lantang:
[UKURAN LENGKAP RION WAKTU SMP ADALAH~~~~!!]
“ONEE-CHAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN💢!!”
Gebrak!—pintu kamar langsung terbuka lebar!
Begitu Enomoto-san berlari mendekat, ia menekan tombol telepon kamar dengan kecepatan luar biasa dan langsung memutus sambungan. Semua terjadi dalam sekejap mata.
Suasana di ruang tamu jadi hening. Enomoto-san tampak terengah-engah sambil mengatur napas, lalu menatapku tajam dengan wajah memerah. Dalam satu gerakan cepat, dia merentangkan lengannya ke depan.
(Gawat! Jangan-jangan… Iron Claw!?)
Secara refleks, aku mengangkat kedua tangan untuk melindungi kepala.
Tapi… serangan itu tak kunjung datang.
Perlahan, aku membuka mata dengan hati-hati—dan bof! sebuah bantal sofa mendarat tepat di wajahku.
“Mou~~~~~~~~~~~~~~~~~~!”
“Uwah, t-tunggu... buhhek!?”
“Mou~~~~! Mou~~~~! Mou~~~~~~~~っ!!”
“Eh, Enomoto-san!? Tunggu dulu… buhakk!?”
Aku terduduk di lantai setelah dihajar bertubi-tubi dengan serangan bantal. Tapi serangan bantal super lembut itu belum juga berhenti!
“Kenapa sih kamu asyik ngobrol akrab sama Onee-chan padahal kamu ninggalin aku!?”
“Eh!? Bagian mana yang kelihatan akrab tadi!?”
“Kelihatan akrab banget, tahu! Yuu-kun tuh selalu begitu! Waktu giliranku, kamu malah terus main sama Hii-chan!”
“Giliran Enomoto-san? Maksudnya apa giliran!?”
Sejak kapan ini jadi sistem giliran!? Enggak ingat pernah disosialisasikan aturan begituan, deh!?
Setelah dihujani entah berapa kali serangan bantal, Enomoto-san akhirnya berhenti sambil terengah-engah. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca lalu menggeram, “Uuu~!” seperti berusaha menakut-nakutiku (meski malah jadi makin imut, Enomoto-san!), lalu membuang muka dengan kesal.
“Yuu-kun jahat. Aku enggak mau lihat kamu lagi.”
"…………"
Uhh… ini bikin aku serba salah banget buat bereaksi…
Ini Enomoto-san, kan? Enggak mungkin bukan dia. Maksudku, dari mana pun dilihat, jelas itu Enomoto-san. Tapi—gimana ya ngomongnya—gerak-geriknya barusan tuh beda banget dari biasanya, sampai-sampai aku enggak bisa fokus ke kenyataan kalau aku lagi dimarahin…
T-Terus aku harus gimana? Gimana cara nenangin Enomoto-san yang sekarang bertingkah kayak adik kecil beda usia gini? Aku sendiri anak bungsu, jadi bener-bener enggak tahu apa-apa.
Yang jelas, sepertinya dia enggak pengin aku kelihatan di depan matanya. Ya… wajar sih. Toh kamar hotel ini juga Enomoto-san yang minta ke Kureha-san. Aku yang malah bersikap seenaknya di sini, ya emang nggak pantas.
Aku buru-buru beresin barang, narik koperku, lalu menoleh.
“Baik, aku ngerti. Maaf banget ya.”
Selamat tinggal, sweet room tercinta…
Sweet room pertama dan mungkin terakhir dalam hidupku. Aku pikir karena masih ada beberapa hari lagi, aku bisa santai, jadi aku bahkan belum sempat nikmatin kopi gratisan di kamar ini. Aku juga enggak bisa main piano, tapi tadinya sempat pengin coba nekan-nekan tuts grand piano di pojok sana.
Apa ini akhir dari liburan Tokyo-ku? Eh, tapi… anak SMA boleh enggak sih nginep sendirian? Jangan-jangan, aku beneran bakal mengakhiri hidupku di pinggir jalan, ya……?
Begitu aku menyentuh gagang pintu sambil menggumamkan monolog itu dalam hati, tiba-tiba saja aku dihujani pukulan bertubi-tubi dari belakang dengan bantal!
"Mou~~~~!!"
"Gyaa! Sakit, sa—sebenernya sih enggak sakit! Tapi, Enomoto-san, serius deh, ini kenapa sih!?"
Aku ditarik kembali dengan paksa dan diseret masuk ke ruang tengah. Begitu kami duduk berhadapan di sofa, Enomoto-san langsung membentak dengan suara lantang.
"Bukan gitu, tahu!!"
"Kalau gitu, emangnya yang bener gimana!?"
Tanpa sadar, aku ikut membalas dengan nada agak tinggi...
Soalnya, aku benar-benar enggak ngerti. Tadi diem-dieman, terus tiba-tiba nyuruh aku pergi, lalu sekarang malah bilang bukan itu maksudnya! Jujur aja, bahkan Himari lebih gampang dimengerti dari ini.
"Enomoto-san. Sebenarnya, kamu tuh enggak suka bagian mananya sih?"
Enomoto-san cemberut dan membuang muka ke arah lain, seperti anak kecil yang lagi ngambek.
"…Kenapa sih, kamu harus ketemu sama kreator kenalan Onee-chan?"
Jadi, itu alasannya…
Sebenarnya aku sudah menduganya sejak awal, tapi akhirnya kami sampai di titik di mana kami bisa bicara. Supaya tidak kena serangan bantal lagi, aku memilih kata-kataku dengan hati-hati.
"Kita kan udah jauh-jauh ke Tokyo. Kesempatan kayak begini enggak datang dua kali."
"Enggak juga, kan? Kalau cuma mau ketemu kreator, bisa aja setelah kita balik ke kampung halaman."
"Tapi tetap aja, Tokyo tuh beda."
Memang, aku baru dua hari tinggal di Tokyo.
Tapi itu sudah cukup buat meyakinkan aku sepenuhnya. Hari pertama di Shibuya. Hari kedua di Ginza. Dua-duanya penuh dengan hal-hal yang enggak pernah kutemui dalam keseharianku.
Enggak mungkin ada tempat di kampung yang punya begitu banyak toko aksesori berjejer kayak di sini.
Dan aku juga kaget waktu tahu bahwa toko bunga yang menjual produk sama seperti di kampung bisa tetap untung besar di tengah kota sebesar ini.
Tokyo itu bukan cuma sekadar kota padat penduduk.
Ini adalah pusat dari segala tren di Jepang. Para kreator yang bisa bertahan hidup di medan tempur ini—strategi seperti apa yang mereka pakai, ya?
Pengalaman ini jelas enggak bisa kudapatkan di daerah asal. Belum tentu juga Kureha-san yang suasana hatinya sering berubah-ubah akan kasih aku kesempatan seperti ini lagi. Kalau mau ambil kesempatan, ya sekarang.
"Aku cuma pengin coba hal-hal yang bisa bikin aku berkembang, walau sedikit. Aku ngerti kok kalau kamu marah, Enomoto-san… Tapi meski kamu sampai benci aku, aku tetap pengin lakuin apa yang harus kulakuin."
"…………"
Aku tahu, kata-kataku ini terdengar curang.
Tapi aku enggak bisa mundur sekarang. Meski sebagian alasannya karena kesel juga dipancing-pancing Kureha-san, tapi ada juga sesuatu yang kayak bisikan dari dalam diriku.
Ini titik balik, katanya.
Kalau pengin melampaui diriku yang sebulan lalu, aku harus berani loncat.
Saat aku terus menatapnya, Enomoto-san mendengus kesal, menggembungkan pipi, lalu memalingkan pandangan.
"Kalaupun kamu enggak bisa cari nafkah sebagai kreator, ya kerja aja di toko kue keluargaku..."
"Bukan itu intinya..."
"Kalau Yuu-kun enggak mau kerja yang lain, ya aku aja yang kerja."
"Apa-apaan kondisi itu!? Aku benar-benar enggak mau!"
Itu bukan kreator lagi, tapi jadi cowok pengangguran yang dibiayai ceweknya!
Hibari-san juga agak-agak ke arah situ sih, tapi kenapa semua orang pengin ngasih aku nafkah? Emang aku kelihatan kayak orang yang enggak niat kerja segitunya...?
"Enomoto-san, kumohon!"
"Tsuuun."
…Barusan dia ngucapin sendiri kata “tsun”, ya?
Yaaah, itu enggak penting sekarang. Ini kesempatan emas, dan aku enggak bisa menyia-nyiakannya. Aku menyatukan kedua tangan dan bersiap-siap buat membujuk habis-habisan.
“Apa saja akan aku lakukan!”
Enomoto-san langsung bereaksi dengan sedikit gerakan di tubuhnya.
“Apa saja?”
“S—selama masih dalam batas pertemanan…”
Aku agak gentar, dan dia langsung menatapku dengan pandangan tajam penuh selidik. …Kupikir permintaanku ditolak, tapi saat itu, mata Enomoto-san berkilat terang.
“Kalau begitu, belai kepalaku sambil bilang, ‘Hari ini pun, Rion tetap imut, ya’.”
“…………”
Guhah…!
Apa-apaan permintaan mematikan yang dilontarkan dengan wajah santai itu!? Dan kenapa dia malah pasang wajah bangga segala pula?
“Itu… pengaruhnya apa, ya…?”
"Yuu-kun udah tidur waktu itu, jadi aku nonton drama tengah malam. Di sini salurannya banyak, ya. Enak banget."
"Sialan, pilihan channel di sini jauh lebih lengkap dari kampung halaman!"
Drama cinta anak sekolahan yang super klise—kayaknya cocok banget sama selera ibunya Himari. Enggak nyangka Enomoto-san nonton yang kayak gitu... atau, tunggu dulu?
Kalau dipikir-pikir, Enomoto-san memang mungkin aja nonton drama cowok ganteng begitu... tapi dia bukan tipe yang suka banget nonton beginian.
Tapi dia nonton pas banget yang satu ini... Jangan-jangan—hah!?
"Enomoto-san. Jangan-jangan kamu sengaja pilih yang aku bakal malu buat lakuin...!?"
"…………"
Tanpa sepatah kata pun, Enomoto-san mengepalkan tinjunya. Lalu, dengan bayangan api menyala-nyala di punggungnya, dia meneriakkan tekad bulatnya.
"Demi melindungi perjalanan liburan penuh hadiah ini... aku rela jadi iblis sekalipun!"
"Kamu serius banget, ya..."
Sejak dulu aku sudah bilang, mengumumkan niat jahat langsung ke orangnya itu bukan kebiasaan yang baik, lho.
Tapi tetap saja, strategi Enomoto-san sangat ampuh. Gara-gara itu, aku jadi enggak bisa bergerak bebas begini. Ya sih, bisa aja aku nekat pergi sendirian… tapi di tengah kota Tokyo tanpa ponsel? Itu sih, misi mustahil. Enggak mau! Aku maunya kamu ikut juga.
Enomoto-san mendekat perlahan.
"Yuu-kun. Ayo, cepat."
"Gu… guhhh…"
Aku mengepalkan tangan dengan erat. Memang sih, efeknya besar banget.
Tapi, Enomoto-san juga enggak sadar satu hal. Selama beberapa bulan terakhir, aku sudah terbiasa menjalani adu mental penuh rasa malu bareng Himari—dan karena itu, aku punya sedikit daya tahan terhadap godaan semacam ini!
Akhirnya, aku pun memberanikan diri mengangkat tanganku dan mengusap kepala Enomoto-san. Setelah dua kali usap bolak-balik, sambil menahan bibirku agar tidak kaku, aku berkata:
"R-Rion. Hari ini kamu juga imut banget…"
"…………"
Hyaaaah! Sekalian aja, aku kasih bonus ekspresi paling memalukan sepanjang hidupku! Gimana, Enomoto-san? Puas sekarang… eh?
Tapi ekspresi Enomoto-san benar-benar datar. Matanya menatapku kosong, tanpa emosi sedikit pun. Eh? Kenapa? Jangan-jangan dia lagi enggak enak badan…? Aku pun panik dan mengusap-usap kepalanya dengan cemas, dan—
Tiba-tiba wajahnya memerah seketika, lalu dia mengangkat bantal dan—!
“Mou~~~~~~~~~~~~~~~~!!”
“Kenapaa!? Kan aku udah lakuin persis kayak yang kamu minta!?”
“Yuu-kun itu bukan tipe cowok genit yang bisa ngelakuin hal-hal kayak gitu dengan mudah! Kenapa kamu bisa ngelakuinnya biasa aja!? Aku enggak suka liat kamu kayak gitu! Rasanya kayak lagi liat kamu akrab banget sama Hii-chan, dan aku enggak tahan!!”
“Kamu sendiri yang nyuruh aku ngelakuinnya, kan!?”
…Dan begitulah, akhirnya aku dapat izin dari Enomoto-san.
Meski rasanya agak enggak sreg… tetap aja, ini berarti aku menang!!
♣♣♣
Pukul sebelas pagi. Kami tiba di Shibuya, tepat di lokasi yang sudah dijanjikan.
Masih ada sekitar dua jam sebelum waktu pertemuan dengan sang kreator. Alasan kami datang lebih awal begini adalah karena saran dari Enomoto-san.
Di depan patung Hachiko yang sama seperti dua hari lalu, Enomoto-san mengangkat dagunya dengan percaya diri.
“Pertama-tama, kita mulai dari mempersenjatai Yuu-kun.”
“Maksudnya… gimana?”
Aku bertanya bingung, tapi Enomoto-san melanjutkan tanpa mengindahkan.
“Kamu sendiri udah ngerti waktu aku jelasin kemarin, kan? Kreator yang bakal kamu temui ini adalah orang-orang yang didanai sama Onee-chan.”
“Ya, aku tahu sih, tapi…”
Kreator-kreator yang dikumpulkan Kureha-san untuk kelak mengisi agensinya sendiri—aku sudah paham soal itu. Tapi, apa yang perlu dikhawatirkan dari situ?
Saat aku masih mencoba memahaminya, mata Enomoto-san tiba-tiba membelalak tajam.
“Bisa jadi mereka semua orang-orang berkepribadian buruk kayak Onee-chan… enggak, udah pasti begitu!”
“Kamu kurang banget percaya sama kakak kandungmu sendiri…”
Tapi, yang bikin rumit… aku juga enggak bisa sepenuhnya menyangkal itu.
Saat aku mulai merasa agak kompleks sendiri, Enomoto-san malah tampak membara penuh semangat.
“Aku yang harus melindungi Yuu-kun!”
“Um… emangnya aku sebegitu enggak bisa diandalkan, ya…?”
…Dia mengangguk. Dengan wajah super serius pula.
Sial. Kalau mengingat kelakuanku akhir-akhir ini, aku enggak punya cukup bahan buat membantah. Dan itu menyakitkan.
“Jadi, biar Yuu-kun enggak dianggap remeh, kita harus benerin penampilan kamu dari ujung kepala sampai kaki.”
“Eh? Emang baju yang aku pakai ini enggak bagus?”
Aku menarik-narik ujung bawah pakaianku. Hoodie dan jeans yang biasa kupakai di rumah. …Oke, ini sih jelas enggak banget.
Memang sih, waktu di kampung aku enggak sempat belanja baju baru, tapi yang ini udah kelihatan lusuh banget. Ini bukan perjalanan ke minimarket dekat rumah, lho.
“Tapi, apa enggak terlalu maksa kalau cuma dandanan instan begini…”
“Hmm… Aku juga enggak yakin, sih. Soalnya tren itu, kalau udah muncul di majalah tuh malah udah telat…”
Kalau sama-sama bingung, mending tampil seadanya aja… tapi, gimana kalau nanti dianggap norak dan susah nyambung ngomong?
Saat kami berdua—si duo kampungan—sama-sama berpikir keras, pandangan kami tiba-tiba tertarik ke sekelompok orang yang ramai di kejauhan.
Sepasang cowok-cewek dengan aura kece badai berdiri di sana.
Cowoknya berambut pirang, tampan bak idol, dengan senyum menawan yang menyegarkan. Ceweknya berambut panjang yang dikuncir simpel ke satu sisi, berkacamata, dan punya pesona dewasa yang kalem. Keduanya punya aura yang luar biasa—bukan cuma sekadar cantik dan ganteng, tapi kayak… kelasnya beda gitu. Padahal kelihatannya seumuran kami.
Orang-orang, baik cewek maupun cowok, silih berganti menghampiri mereka buat ngobrol. Dan mereka berdua menanggapinya dengan sangat luwes. Cara mereka bersikap menegaskan kalau mereka jelas bukan orang biasa.
“Artis kali, ya? Memang luar biasa, Tokyo…”
Saat aku masih terkesima, Enomoto-san menjawab penuh semangat sambil mengangguk-angguk.
“Mereka berdua adalah idol yang sempat naik daun sekitar dua tahun lalu.”
“Ah, jadi dugaanku benar, ya?”
“Seingatku, cowok itu namanya Itou-kun dari ‘Tokyo☆Shinwa’, dan cewek itu kayaknya Sanae-chan dari ‘velvet’... kurasa, sih. Soalnya sekarang aura mereka kelihatan lebih dewasa.”
“Mereka mantan member berarti? Sekarang udah enggak?”
Wajah Enomoto-san langsung terlihat rumit saat menjawab.
“Ada banyak hal yang terjadi, dan dua-duanya... grup mereka bubar.”
“Wah...”
Memang katanya dunia itu keras, tapi melihat langsung dua orang yang benar-benar mengalami nasib seperti itu rasanya bikin hati muram. Yang paling bikin nyesek, aku jadi sadar kalau aku sendiri pun bisa mengalami hal serupa...
“Member yang lain sih pada pindah ke agensi baru, tapi dua orang itu masih tetap bertahan di agensi yang lama.”
“Heh. Kamu tahu banyak juga ya, Enomoto-san.”
Aku cuma berkomentar tanpa maksud apa-apa, tapi ekspresi Enomoto-san langsung menunjukkan rasa kesal yang banget.
“...Itu grup dari agensi yang sama kayak Onee-chan.”
“Ah, gitu ya...”
Wah, jebakan berbahaya, nih. Kalau itu ranjau, tolong jangan buka topiknya dari awal dong...
Tapi ya, mantan idol yang lagi kencan di Shibuya, ya. Sebagai anak kampung, aku enggak begitu paham, tapi mungkin di kota besar hal kayak gitu udah biasa dan enggak terlalu dipermasalahkan.
Saat aku sibuk mikir hal yang mungkin nggak penting itu, Enomoto-san menarik lengan parka-ku. Waktu aku lihat, dia sudah mengangkat ponselnya sambil matanya berkilat penuh semangat.
“Yuu-kun, buat kenang-kenangan, yuk.”
“Eh, bukannya itu agak enggak sopan, ya...?”
“Enggak apa-apa, kok. Tuh lihat, cewek-cewek lain juga pada minta foto bareng. Kesempatan langka kayak gini enggak datang dua kali, lho.”
“Itu sih benar juga, tapi...”
Cowok berambut pirang itu sedang berfoto bareng dengan seorang cewek yang sepertinya fans-nya. Padahal grupnya sudah bubar dua tahun lalu, tapi popularitasnya masih luar biasa. Sepertinya dia belum pensiun dari dunia hiburan dan sekarang aktif sebagai solois, mungkin. Tadi juga sempat kelihatan kasih semacam kartu nama.
Tanpa ragu sedikit pun, Enomoto-san langsung menerobos kerumunan orang itu.
“Enomoto-san, kamu ternyata cukup gampang kegoda ya...”
“Menurutku, justru Yuu-kun yang terlalu enggak bergairah. Sebagai calon kreator, seharusnya kamu bisa lebih tertarik sama banyak hal, tahu?”
Duargh!
Tertembak telak di ulu hati dengan argumen yang tak terbantahkan. Iya sih, perasaanku emang kayak udah mati rasa akhir-akhir ini.
“O-oke, aku usahain semangat...”
Lagian, habis ini aku juga bakal ketemu kreator yang belum pernah kujumpai. Bukannya malu-malu di perjalanan, lebih baik anggap aja ini bagian dari pengalaman.
Masalahnya sekarang, gimana caranya menerobos kerumunan ini? Aku tuh dari dulu nggak jago ngomong sama orang asing...
Saat aku masih sibuk berpikir, Enomoto-san tiba-tiba melambaikan tangan dengan semangat dan berteriak.
“Ya, ya, ya! Kami juga mau foto, dong!!”
“Enomoto-san semangatnya udah setingkat nonton gulat pas hari pertama!?”
“Yuu-kun juga ikut, ya! Tolong fotokan aku berdua sama pacarku!!”
“Kenapa malah aku!? Terus, jangan asal-asalan ngeklaim aku pacar kamu dong!?”
Tapi, strategi nekat Enomoto-san ternyata berhasil. Si cowok tampan berambut pirang itu menoleh dan mata kami saling bertemu.
Tiba-tiba, matanya terbelalak. Dia buru-buru minta maaf ke cewek yang tadi bersamanya, lalu langsung berjalan ke arah kami.
(Eh? Beneran aku yang dia tuju...?)
Namun, di saat aku masih terpaku karena bingung—dia malah melewatiku begitu saja.
Saat aku menoleh dengan bingung, cowok pirang itu sudah berdiri tepat di depan Enomoto-san. Dia membungkuk sedikit, lalu tiba-tiba mengecup punggung tangan Enomoto-san.
“Kamu punya tangan yang sangat indah.”
Suasana sekitar langsung riuh.
Tegang—enggak ada kata lain yang lebih tepat menggambarkan atmosfer saat itu. Ya, wajar saja. Seorang cowok selebritas tiba-tiba menggoda penggemar ceweknya di depan umum!
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa Enomoto-san bakal langsung direkrut jadi artis? …Kenapa pikiranku langsung ke sana sih? Ini pasti gara-gara serangkaian kejadian absurd bareng Kureha-san belakangan ini. Otakku jadi kebiasaan mikir aneh-aneh.
Saat aku masih sibuk menebak-nebak, Enomoto-san malah dengan kejam menepis tangan si cowok dengan santai. “Pey,” begitu bunyinya. Lalu ia menyatukan kedua tangan dan mulai melenturkan jari-jarinya satu per satu dengan suara “krek-krek” yang menyeramkan—aura membunuhnya jelas terasa.
Entah kenapa, dari punggungnya seperti muncul nyala api gelap pekat yang menjulang.
“Yuu-kun. Gerakan backbreaker yang kita lihat di Korakuen Hall waktu itu… kamu pengin lihat lagi, kan?”
“Eh!? Bukannya kamu fans-nya!?”
“Justru karena aku fans, makanya dia harus tetap jadi harapan yang enggak ikut campur sama kehidupan nyata!”
“Hah!? Jadi Enomoto-san ini… tipe otaku idealis yang ribet soal prinsip, ya!?”
(TLN : Istilah "otaku" di sini condong ke arti "penggemar fanatik dengan prinsip atau kode etik yang kaku terhadap idola atau fandom", khususnya dalam budaya idol Jepang. Jadi, bukan sekadar otaku umum pecinta anime atau game.)
Dengan mengabaikan laranganku, Enomoto-san menerjang maju dengan ekspresi siap membunuh. Sepertinya ciuman barusan benar-benar membuatnya naik darah. Padahal dia sendiri yang bilang ingin minta foto…
"Dasar buaya murahan, harus musnah!"
"Uwaaah!?"
Pemuda pirang tampan itu terjatuh terduduk. Saat rambutnya yang ditata rapi ditarik dengan kasar, ia sempat menampakkan ekspresi setengah mabuk sambil mendesah, “Aaahn♡” (kenapa coba!?).
Namun itu hanya sesaat. Ia langsung menjerit kesakitan saat dikunci dengan Iron Claw keemasan.
“Uwaaa!? Sakit, sakit!? S-sa-salah paham! Aku cuma ingin bilang tanganmu cocok banget buat aksesori buatanku—itu saja!”
Enomoto-san menyipitkan mata curiga dan mengerutkan alis.
"…Tangan?"
“Y-ya, tanganmu. Tangan secantik milikmu itu cocok banget buat aksesori yang aku buat.”
Dengan cepat, dia mengenakan topinya kembali dan mengeluarkan tempat kartu nama dari saku celananya.
“Aku sedang magang sebagai desainer di "Origin Production." Ini kartu namaku, silakan.”
Begitu katanya sambil menyerahkan kartu nama pada aku dan Enomoto-san. Kartu itu memiliki desain nyentrik bernuansa tengkorak—sangat avant-garde.
Benar saja, tertulis di sana: Desainer Magang, berdampingan dengan logo agensi hiburan tersebut. Aku dan Enomoto-san saling berpandangan.
““Desainer magang…?””
Dengan senyum secerah matahari khas mantan idol, pemuda pirang itu menjawab:
“Aku memang sempat jadi idol di sana beberapa tahun lalu. Tapi sekarang, aku sedang belajar desain aksesori di bawah bimbingan seseorang.”
“Aksesori…?”
Seketika, aku dan Enomoto-san merasa ada sesuatu yang terhubung di kepala kami.
“Kalau begitu… jangan-jangan kamu ini orang yang dibimbing oleh Kureha-san…?”
“……!?”
Wajah pemuda pirang itu langsung bersinar cerah. Ia tiba-tiba meraih pundakku dan mengguncang-guncangkannya dengan ekspresi super senang.
“Jadi kamu yang namanya Natsume-kun, ya!?”
“Y-ya, saya Natsume…”
“Wah, kamu lebih tinggi dari yang kubayangkan! Aku sendiri enggak terlalu tinggi, jadi aku iri banget!”
“T-terima kasih banyak… (?)”
Aku kurang paham maksudnya, tapi sepertinya dia menyambutku dengan hangat. Setidaknya, aku lega karena orangnya enggak se-menakutkan yang dibayangkan. Meskipun, ya… agak menyeramkan dengan cara lain.
Saat itu juga, dari belakang si pemuda tampan, muncul satu orang lagi—wanita dewasa berkacamata yang tadi berdiri di sebelahnya. Begitu mata kami bertemu, dia langsung tersenyum sempurna padaku.
“Senang bertemu denganmu. Aku Sanae, juga dari OriPro. Tapi mungkin bukan tempat yang tepat untuk ngobrol di sini. Bagaimana kalau kita pindah tempat? Aku sudah reservasi di restoran enak, lho.”
“Ah, b-baik…”
Wah, dia terlihat dewasa dan begitu ramah. Jujur saja, aku sampai deg-degan dibuatnya.
“…………💢”
“Aduh!?”
Aku diam-diam dicubit pantatku oleh Enomoto-san. Kenapa juga, sih!?
♣♣♣
Tempat yang kami datangi adalah sebuah bar & kafe bergaya kekinian yang terletak di gang kecil tak jauh dari Stasiun Shibuya. Kabarnya, siang hari tempat ini beroperasi sebagai kedai kopi, dan malamnya menyajikan minuman beralkohol.
Dengan sedikit gugup karena nuansa dewasa yang terasa di tempat itu, aku pun bertanya pada pria yang duduk di hadapanku.
“Eh, ngomong-ngomong, kenapa tadi datangnya dua jam lebih awal…?”
“Eh? Oh, itu karena Kureha-san bilang, ‘Soalnya kan itu Yuu-chan dan kawan-kawan, pasti deh bakal datang lebih awal karena pengin ngelakuin yang aneh-aneh. Jadi kamu cegat aja, yaa~☆’ gitu. Aku sih enggak nyangka beneran bakal datang.”
“Ah… gitu, ya…”
Apa sih? Emang sekarang ini tiruin suara Kureha-san lagi tren di Tokyo? Atau memang dia aja yang pengaruhnya segitu kuatnya? Ya udahlah… aku juga udah enggak bakal kaget lagi sama apa pun yang dia bilang…
Saat aku mulai merasa lemas, cowok berambut pirang itu pun kembali memperkenalkan diri secara resmi.
“Namaku Itou Tenma. Aku satu tahun di atasmu, kelas tiga SMA. Senang berkenalan, ya.”
“Ah, aku Natsume Yuu. Pegasus?”
Kupikir itu nama panggung waktu dia masih jadi idol, tapi Itou-san hanya tersenyum kecut dan menggeleng pelan.
“Itu nama asliku, lho. Keren banget, ya?”
Dia tertawa seolah itu urusan orang lain saja.
Perempuan berkacamata di sebelahnya menambahkan penjelasan.
“Grup tempat anak ini dulu bernaung, "Tokyo☆Shinwa", adalah grup yang terdiri dari para cowok-cowok tampan dengan nama-nama ‘berkilau’ alias nama-nama unik.”
“Anggotanya ada yang bernama Tenshi, Shōryū, atau nama-nama yang terkesan seperti makhluk-makhluk mitologi. Kami semua suka dengan nama masing-masing, tapi sayangnya, bagian itu sering disalahpahami dan malah lebih sering menuai kritik. …Ah, kalau mau panggil aku, kamu bisa pilih, Pegasus atau Tenma. Mana saja yang kamu suka.”
“K-kalau begitu, karena belum terbiasa dengan Pegasus-san, boleh aku panggil Tenma-san saja?”
“Tentu saja. Sanae-san dan anak-anak fans juga memanggilku begitu, jadi enggak masalah.”
Perempuan berkacamata itu lalu menuangkan jus berwarna merah dari teko kaca ke gelasku. Minuman itu disebut jus sangria, dihiasi potongan buah warna-warni yang mengambang—kelihatan stylish banget. Rasanya pun manis alami dan enak banget.
Setelah itu, perempuan berkacamata itu juga menyodorkan kartu namanya pada kami. Tulisannya kurang lebih sama dengan yang dimiliki Tenma, tapi desainnya bernuansa khas suku asli Amerika.
“Namaku Sanae Miko. Dulu aku tergabung dalam unit tari bernama "velvet", tapi sekarang aku, seperti dia juga, sedang belajar membuat aksesori di bawah bimbingan Kureha-san. Aku sekarang duduk di bangku kuliah tahun kedua, jadi sekitar tiga tahun di atas kalian, ya.”
"Senang berkenalan dengan kalian…"
Kakak perempuan yang sudah kuliah... hanya mendengar kata itu saja sudah cukup membuat jantungku berdebar. Tapi karena dari tadi Enomoto-san di sebelahku terus melirik dengan pandangan menyipit, aku pastikan ekspresiku tetap datar!
Padahal biasanya aku enggak terlalu nyaman dengan tipe wanita cantik seperti ini, tapi anehnya, dia enggak terasa menakutkan sama sekali. Auranya lembut, dan rasanya menenangkan saat diajak bicara.
...Namun, entah kenapa, Tenma-kun dan Sanae-san menatapku dengan ekspresi penuh arti. Lebih tepatnya, mereka tersenyum geli—seolah sedang melihat makhluk langka.
Hah!? Jangan-jangan, ini yang dikhawatirkan Enomoto-san!?
"Um, kayaknya emang enggak cocok ya pakai hoodie lusuh buat ketemu orang penting kayak hari ini…"
"Ah! Enggak, bukan itu maksudnya, Natsume-kun!"
Keduanya buru-buru membantah.
"Eh? Kalau begitu, kenapa…?"
Lalu mereka saling berpandangan dan tertawa kecil.
“Dengar-dengar, kamu ini cowok yang sempat menantang Kureha-san yang galak itu, jadi aku kira kamu orangnya bakal lebih garang. Apalagi dari Kyushu juga. Tapi ternyata kamu kelihatan tulus dan bikin tenang, ya.”
“Aku juga sempat mikir, gimana kalau hari ini kamu tiba-tiba nantang adu bikin aksesori? Kan dari Kyushu juga. Tapi ternyata kamu orangnya kelihatan pintar, jadi syukurlah.”
—Stereotip orang Kyushu-nya keterlaluan banget…!
(Yah, walau aku juga jadi lega mereka ternyata orang baik…)
Keduanya berbicara dengan ramah pada kami, membuat semua ketegangan yang kurasakan sebelum datang ke sini terasa konyol.
…Masalahnya, ada di Enomoto-san yang duduk di sebelahku.
Dari tadi dia seperti sedang siaga penuh, menatap mereka berdua dengan tatapan menyipit yang jelas-jelas mengintimidasi. Entah apa yang bikin dia seketus itu… eh? Enomoto-san biasanya begini enggak, ya? Gaya dia sejak datang ke Tokyo kayak berubah-ubah terus, aku jadi bingung sendiri…
Aku pun berbisik pelan ke arahnya.
“Enomoto-san, enggak perlu sewaspada itu, kok…”
Tapi responsnya tetap dingin.
“Enggak masuk akal banget deh, langsung nyoba nyium lawan jenis gitu.”
…Eh, Emang kamu bisa ngomong gitu, Enomoto-san?
Bukannya kemarin-kemarin kamu juga maksa nyium dengan alasan ‘ciuman sahabat’ atau ‘kenangan musim panas’, ya?
“Pokoknya, Yuu-kun tuh harus lebih waspada. Kamu enggak tahu kan, kapan bisa kena jebakan.”
“Jebakan, katanya…”
Aku yakin, ini semua cuma karena Enomoto-san masih kesal banget sama Kureha-san.
Waktu aku lagi tenggelam dalam rasa enggak puas yang enggak jelas ini, Tenma-kun tiba-tiba mengulurkan tangan dan meraih tanganku sambil tersenyum ramah. Tanpa peduli ekspresiku yang terkejut, dia mulai mengelus punggung tanganku dengan lembut.
“Seperti yang kuduga dari seseorang yang direkomendasikan Kureha-san. Fufu… tanganmu bagus sekali, ya…?”
“U-um, sebentar? Tenma-san…?”
“Aduh, manggil ‘Tenma-san’ segala. Terlalu formal, dong. Santai aja, anggap kita seumuran. Fufu…”
“U-uh... baiklah, kalau begitu aku panggil Tenma-kun saja, ya…”
Sret… sret… sret… sret…
Bahkan saat aku bicara, dia masih terus mengelus punggung tanganku, lalu berpindah ke telapak tangan. Jarinya menyelip di antara jemariku, membelai lembut namun terus-menerus. Cara dia menyentuhku ini jelas sudah melewati batas komunikasi normal antar sesama pria... meskipun, gara-gara Hibari-san, aku jadi enggak yakin juga!?
Yang jelas, tatapan mata Tenma-kun benar-benar melewati batas. Saat aku terpaku tak bisa bergerak—tiba-tiba dia mengecup punggung tanganku!
“Kamu luar biasa. Jemarimu panjang dan kuat. Tangguh seperti pria sejati, tapi kulitmu halus bak sutra. Tak kusangka aku bisa bertemu bakat sehebat ini…”
Ah, aku ngerti sekarang! Orang ini... kayaknya lagi ngomong sama tanganku, ya!?
Sambil terkekeh pelan—“Fufufufufu…”—Tenma-kun terus membelai sampai akhirnya Sanae-san mencolek kepalanya. Dengan ekspresi minta maaf, dia menarik Tenma-kun menjauh. Tenma-kun pun bergeser dengan suara penuh penyesalan, “Aaah~…”
“Maaf ya. Dia itu... penderita fetis tangan akut.”
“Fetis tangan, ya……”
Rasanya aku pernah dengar istilah itu di suatu tempat.
Saat aku dan Enomoto-san masih menatap curiga, Tenma-kun tersenyum lembut penuh pesona.
“Pernahkah kalian mendengarkan suara dari tangan kalian sendiri?”
“Eh? Maksudnya gimana...?”
“Seperti yang kamu dengar. Tangan yang diperlakukan dengan baik akan mengalunkan lagu yang sangat indah. Dari tangan kalian, aku bisa merasakan cinta kalian masing-masing.”
"…………"
Enomoto-san menarik-narik lengan bajuku. Dari ekspresi wajahnya, jelas sekali ia ingin bilang, “Pulang, yuk? Ya, yuk pulang?”
Melihat itu, aku hanya tersenyum pelan.
Namun, bukannya menggenggam tangan Enomoto-san... aku malah meraih tangan Tenma-kun dengan erat.
“Aku mengerti. Aku juga bisa merasakan kehendak dari bunga yang dibesarkan dengan penuh kasih.”
“Eh!? Benarkah!? Jadi kamu juga, ya!”
"Aku juga, kadang tanpa sadar suka ngomong sendiri. Maksudku... mereka itu menyapaku duluan. Masa iya, aku tega pura-pura enggak dengar?"
"Benar, kan! Aku juga selalu merasa begitu! Soalnya, mereka itu—partner kita yang tak tergantikan!"
Aku dan Tenma-kun pun berjabat tangan erat, seolah kami adalah sahabat karib yang telah berteman selama sepuluh tahun.
"Seperti kata Kureha-san! Natsume-kun, kamu ini... penyimpang yang luar biasa!"
"Aku juga awalnya sempat kaget waktu dengar kamu mantan idol, tapi… aku bener-bener senang bisa ketemu langsung sama kamu!"
Di samping kami, Enomoto-san tampak benar-benar syok. Tapi aku tidak bisa memedulikannya sekarang.
Aku ingin menikmati kebahagiaan ini sepenuhnya. Bertemu seseorang yang sejiwa denganku… di tempat asing yang jauh dari kampung halaman… rasanya seperti keajaiban.
Tatapan kami pun serempak berpindah pada Sanae-san.
Dengan wajah lelah seperti ingin berkata, “Astaga… anak laki-laki zaman sekarang…”, ia mengambil sebuah kantong perhiasan dari dalam tasnya. Di dalamnya tersusun batu-batu alam warna-warni yang pastinya digunakan untuk membuat aksesori.
"Aku selalu membawa batu-batu ini bersamaku selama sebulan sebelum digunakan. Ah, bukan ‘membawa’, ya. Lebih tepatnya, aku hidup bersama mereka. Menjalani hari-hari bersama agar bisa benar-benar selaras. Begitu sinkronisasi itu terbentuk… aku bisa mendengar suara batu-batu itu. Dan rasanya, setelah mereka berpindah ke tangan klien, mereka akan terus membawa kebahagiaan."
""──Aku juga!""
Aku dan Tenma-kun berteriak bersamaan.
Betapa tulusnya perempuan ini terhadap aksesori. Aku juga ingin bisa seperti itu… meskipun, kalau aku bawa-bawa bunga ke mana-mana, nanti malah layu…
“Eh, Yuu-kun.”
“Ah, Enomoto-san. Maaf, ya.”
Enomoto-san yang sejak tadi seperti ditinggal sendirian, akhirnya membuka mulut dengan sedikit ragu.
“Sekarang kalian udah nyambung banget, kan? Ya udah, tukeran kontak terus kita pulang aja…”
Namun saat itu, Tenma-kun menoleh ke arah Sanae-san dan berkata:
“Oh iya, Sanae-san. Gimana kalau Natsume-kun ikut juga di itu, ya?”
Enomoto-san seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi aku sudah lebih dulu teralih perhatiannya ke arah Tenma-kun. Sanae-san mengangguk menjawab ucapannya.
“‘Itu’ yang kalian maksud… apa, ya?”
Saat aku bertanya, Sanae-san menjelaskan.
“Akhir pekan ini, kami akan mengadakan pameran dan penjualan aksesori kami. Kami juga ingin sekali melihat aksesori buatanmu, Natsume-kun. Kalau kamu mau, bagaimana kalau ikut bergabung?”
“B-benarkah!?”
Aku refleks membungkuk ke depan karena terlalu antusias saat bertanya balik, tapi keduanya langsung mengangguk mantap.
“Tapi, tunggu dulu. Aku enggak bawa aksesori yang siap dijual ke sini…”
“Kalau memungkinkan, bisakah kamu minta dikirim dari kampung halamanmu? Soalnya kami dengar dari Kureha-san kalau kamu punya partner kerja di sana.”
Oh, iya juga.
Aksesori bunga musim panas yang kubuat memang sudah selesai dan tinggal dikirim. Kalau aku langsung menelepon Himari, mungkin dia bisa segera mengirimkannya.
(Akhir pekan, ya. Hari ini hari Rabu… berarti, kalau cepat, mungkin masih sempat dikirim tepat waktu…)
Saat aku sedang menghitung-hitung tanggal, aku sadar kalau Enomoto-san sedang menatapku tajam. Gawat. Baru ingat, aku tadi benar-benar mengabaikannya.
“Eh, Enomoto-sa—”
“...Tsun.”
Ah, dia bilang “Tsun” lagi!
Agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Tenma-kun dan Sanae-san, aku berbisik pelan di telinganya.
“Umm, soal pameran itu...”
“Pokoknya enggak boleh.”
“Tolong banget, ini sangat penting...”
“Kan kita udah sepakat cuma ketemuan doang.”
“Aku tahu, tapi mereka udah repot-repot ngajak juga, masa aku nolak...”
"Aku enggak ada hubungannya, tahu."
"B-besok itu hari spesial buat kamu, Enomoto-san!"
"Itu memang sudah kita sepakati dari awal."
Begitu aku mencoba menatap wajahnya, dia langsung menoleh ke arah lain, menghindar dengan gerakan tajam.
(Tenang… jangan panik. Besok, aku akan membujuknya sekuat tenaga...!)
♣♣♣
Untuk sementara, aku keluar sendiri dari kafe dan menelepon di pinggir jalan.
Tadinya aku sempat bingung karena Enomoto-san enggak mau minjemin ponselnya, tapi Tenma-kun dengan baik hati meminjamkan miliknya. Dia benar-benar orang yang baik.
Seingatku, Himari sedang bekerja paruh waktu di toko kue milik keluarga Enomoto, jadi aku menelepon nomor telepon tetap toko itu. Tak lama, Himari yang sedang jaga toko langsung mengangkat.
[Terima kasih atas panggilannya! Ini adalah Toko Kue Kucing Manis—Ketty Cat~♡]
"H-Himari? Ini aku…"
── Klik. Sambungan langsung terputus.
Aku mengernyit. Apa aku salah pencet tadi? Tapi kupikir-pikir lagi, ini memang nama toko kue keluarga Enomoto, kan?
Aku menekan tombol redial. Tak lama kemudian, suara Himari terdengar lagi.
[Terima kasih atas panggilannya! Ini adalah Toko Kue Kucing Manis—Ketty Cat~♡]
Suaranya sama persis dengan sebelumnya, sampai-sampai aku nyaris mengira itu pesan suara yang direkam. Dengan firasat buruk yang merayap pelan, kali ini aku mencoba pendekatan yang berbeda untuk menjalin komunikasi dengannya.
“Eh, aku Natsume Yuu… apakah Himari-san yang bekerja paruh waktu di sana ada…?”
[Maaf, tidak kenal]
“Eh?”
[Kami sama sekali tidak mengenal pria bernama Natsume Yuu]
“U-um, Himari…?”
Dari seberang telepon terdengar suara menarik napas panjang dengan tenang.
Lalu, dengan nada dingin bagai vonis hukuman mati, suara itu berkata:
[Laki-laki tukang selingkuh yang berbohong pada pacarnya dan bersenang-senang di Tokyo dengan cewek lain bukanlah Yuu yang aku kenal. Kamu palsu. Silakan mati]
— Terdengar bunyi gagang telepon dibanting dengan kasar. Aku menatap ponsel di tanganku dan spontan berseru:
“Ehhhhh…!?”
Tunggu dulu. Jadi keberadaanku di Tokyo bareng Enomoto-san udah ketahuan total!? Hei, Makishima, ini gimana ceritanya!?
Dengan panik, aku mencoba menelepon untuk ketiga kalinya.
[Terima kasih atas panggilannya! Ini adalah Toko Kue Kucing Manis—Ketty Cat~♡]
…Meskipun begitu, dia tetap saja mengangkat telepon. Aku jadi agak bangga karena pacarku benar-benar menjalankan tugasnya sebagai putri penjaga toko yang bisa diandalkan.
“U-uh, Himari-san. Sebenarnya ini ada alasannya yang cukup dalam…”
“Silakan. Aku ini perempuan berhati lapang, jadi bakal aku dengarkan.”
—Pandai sekali bicara.
“Lihat, waktu kejadian sama Kureha-san kemarin itu, Enomoto-san udah banyak bantuin aku, kan?”
“Itu udah diceritain Makishima-kun.”
“Kalau begitu kamu pasti ngerti, kan? Dia pengin jalan-jalan bareng aku, dan kalau itu bisa jadi bentuk rasa terima kasih ke Enomoto-san, maka…”
Aku bisa merasakan Himari tersenyum tipis dari seberang sana.
Lalu, dia berteriak sekuat tenaga.
[Mana mungkin aku ngerti────────────!!]
Yah, sudah kuduga sih.
[Yuu! Kamu enggak sadar kalau barusan itu kamu ngomong aneh banget!? Cowok yang punya pacar, jalan-jalan bareng cewek lain itu jelas enggak bener, tahu!?]
Itu memang argumen yang terlalu masuk akal sampai-sampai aku benar-benar enggak bisa membantahnya.
Ya, aku tahu. Entah kenapa aku kebawa arus sama ritme-nya Enomoto-san, sampai pikiranku jadi kacau. Tapi reaksi kayak gitu justru yang wajar, kan? …Meskipun yang ngomongin aku itu Himari, rasanya tetap agak susah buat nerimanya.
"Enggak ada apa-apa seperti yang kamu pikirkan, kok! Kami cuma main bareng aja!"
"Beneran? Cuma makan bareng dan ngobrol-ngobrol doang?"
"Iya! Percaya sama aku."
[Cuma lihat-lihat tempat wisata bareng, gitu?]
“Bener, bener. Cuma naik ke dek observasi gedung pencakar langit, terus foto-foto bareng doang.”
[Kamu enggak terus-terusan digoda buat ciuman atau semacamnya, kan?]
“T-t-tentu saja enggak!”
[……Jawabanmu barusan, kayaknya aneh, deh?]
“I-itu cuma perasaanmu aja, kok!?”
Iya, aku memang digoda.
Tapi yang satu ini enggak bakal aku omongin. Rahasia ini bakal kubawa sampai ke liang kubur!
“Enggak ada apa-apa, serius! Cewek yang aku suka di dunia ini cuma kamu, Himari!”
[U-uh……]
Begitu mendengar ucapanku, Himari terdiam sejenak, lalu mulai bergumam dengan suara yang makin pelan. Setelah itu, ia bicara supercepat—kayak lagi baca mantra atau doa.
[Ya, ya? Aku tahu kok kalau Yuu itu kelewat sayang sama aku? Terus, aku juga tahu dari pengalaman langsung kalau Yuu tuh enggak punya nyali buat ngelakuin yang aneh-aneh? Maksudnya, kamu udah dua tahun lebih bareng sama makhluk hidup yang secantik dan seimut aku, tapi tetap cuma sebatas sahabat, jadi kelihatan banget, kan? Sebagai Himari-chan yang punya nilai istri tertinggi di dunia ini, aku tuh harus bersikap dewasa dong, ya!?]
O-oh. Aku sih enggak sepenuhnya ngerti maksudnya, tapi yang penting Himari udah enggak marah lagi. Syukurlah.
...Tapi ya ampun, pacarku ini gampang banget dibujuk. Gimana bisa selama dua tahun ini dia bisa bilang dengan wajah polos, “Aku enggak akan pernah jatuh cinta~” padahal aslinya begini? Tapi justru celah di kepribadiannya itu yang bikin aku makin sayang. Rasanya cinta ini bakal meledak kayak Big Bang, My honey.
Lalu Himari bicara dengan nada yang manis banget, seolah-olah aku bisa membayangkan senyum menggemaskannya dari sini.
[Ahaha. Aku sampai kehilangan kendali, jadi malu sendiri, deh. Tapi ya, masa iya kalian sampai nginep di kamar hotel yang sama, sih~]
“…………”
[Eh? Yuu?]
“T-t-t-tentuu saja tidak! Mana mungkin hal begituan~!?”
Nyaris aja……!?
Saat aku lengah, tiba-tiba kata-kata yang sangat menohok menghantam dan membuatku membeku sesaat! Spontan aku menutupinya dengan kebohongan, dan sekarang rasa bersalahnya nyaris bikin aku mati…!
Waktu aku masih deg-degan kayak habis lari maraton, suara Himari kembali terdengar di ujung sana.
[Terus? Sebenarnya kamu ada perlu apa?]
“Oh, iya. Jadi begini, aku punya permintaan mendesak buat Himari—”
Aku pun menjelaskan soal ajakan dari Tenma-kun dan Sanae-san tadi, tentang pameran tunggal dan bazar aksesoris yang akan mereka gelar. Juga rencana mereka untuk memajang karyaku di sana.
Mendengar itu, Himari langsung berseru penuh semangat.
[Wah, keren banget! Yuu, kamu bisa akrab sama orang yang baru kamu temui sendirian!?]
“Itu yang kamu soroti!? Ya, maksudku, itu juga karena Tenma-kun dan yang lainnya adalah orang baik. Kami juga punya semacam koneksi sesama kreator gitu, jadi langsung nyambung.”
Selama ini Himari, Enomoto-san, juga Hibari-san selalu menunjukkan pengertian dan mendukungku.
Tapi, semua itu masih dalam bentuk “dukungan” semata. Tentu saja aku sangat bersyukur atas hal itu. Tapi, bagaimana ya, baru kali ini aku bertemu seseorang yang benar-benar memiliki pengalaman yang sama. Di tempat yang jauh seperti ini, aku dan orang-orang seperti Tenma-kun benar-benar bisa merasakan keterhubungan di antara kami.
Karena aku begitu girang, mungkin perasaan itu tersalur bahkan lewat sambungan telepon. Suara Himari pun terdengar ceria dan penuh semangat.
[Oke deh, Yuu! Kalau kamu juga mau jualan, hajar aja semuanya—!]
“Hajar, katanya…”
[Iya dong! Persaingan itu justru bikin makin akrab, kan? Aduh, aku jadi ikutan terbakar semangat nih. Jangan-jangan nanti aku sampai lemes saking kerennya aksesoris buatanmu!]
“Segitunya, ya…”
Aku tertawa kecil, tapi bisa memahami maksudnya. Kalau bisa, aku juga ingin Tenma-kun dan Sanae-san menyukai karyaku.
Lalu, lewat sambungan telepon, aku mendengar bunyi bel yang familiar—bel tanda ada pelanggan datang ke toko kue.
[Waduh, ada pelanggan! Nanti langsung aku kirim ya! Kirimnya ke mana?]
“Oh, ke hotel tempat aku nginap aja. Nanti aku titip pesan ke resepsionis biar mereka terima.”
[Oke, siap! Habis selesai kerja, aku langsung mampir ke sekolah buat ambil barangnya, ya!]
Begitu aku menyebutkan nama hotelnya, Himari langsung mencatatnya.
[Yuu, semangat ya! Chu♡]
Telepon pun diakhiri dengan kecupan sayang yang dikirim lewat udara.
Karena kejutan itu, aku tanpa sadar menutupi wajahku dan berjongkok di tempat. …Jarak delapan ratus kilometer pun tak sanggup menghalangi betapa manisnya pacarku. Jantungku nyaris berhenti dibuatnya.
(Dia benar-benar tak terkalahkan…)
…Setelah akhirnya bisa menenangkan diri, aku buru-buru kembali masuk ke kafe.
“Makasih udah minjemin ponselnya. Soal aksesori… akhirnya bakal dikirim juga, sih…”
Tapi begitu kembali ke meja tempat Tenma-kun dan yang lain duduk, aku langsung kehilangan kata-kata.
Soalnya, Enomoto-san sedang hisssssss—menunjukkan sikap mengancam ke arah mereka berdua. Auranya persis seperti kucing yang mengembang karena wilayahnya dimasuki lawan!
Tenma-kun dan Sanae-san tersenyum kaku, kelihatan bingung banget. Aku pun mengembalikan ponsel sambil mencoba pura-pura tidak melihat yang tadi.
"Ada apa, Enomoto-san? Kamu habis ngapain? Kok jadi begini?"
"Ah, enggak. Sebenarnya bukan karena aku diperlakukan buruk atau gimana, tapi waktu Natsume-kun keluar tadi, kami ngobrol, terus... kayaknya tanpa sadar bikin dia kesal…"
Eeeeh……
Saat aku menoleh ke arah Enomoto-san, dia langsung memalingkan wajah dengan ekspresi cemberut, seperti anak SD yang keras kepala dan mau bilang, “Bukan salahku, kok!” Imut sih, aku akuin. Tapi buat ukuran anak SMA, sikap itu agak... yah.
Sanae-san menjelaskan sambil tampak sedikit bingung.
"Begini, tadi aku sempat dengar kalau dia itu adiknya Kureha-san. Jadi aku pikir, setelah pameran nanti, gimana kalau kita makan bareng dengan Kureha-san juga... dan waktu kuajak, dia malah langsung pasang wajah enggak enak…"
“Ahh….”
Aku langsung paham.
Sepertinya—entah gimana caranya—Sanae-san enggak sengaja menginjak salah satu ranjau milik Enomoto-san. Bahkan aku aja yang cukup dekat sama Enomoto-san belum sepenuhnya paham gimana rumitnya hubungannya dengan Kureha-san.
“Maaf, ya. Soalnya... Enomoto-san itu kurang akur sama Kureha-san, sebenarnya…”
"S-sepertinya begitu, ya. Kami juga salah."
Saat Tenma-kun dan yang lain panik, Enomoto-san berdiri dari duduknya. Ia langsung menarik lenganku dengan paksa, seolah ingin menyeretku pergi.
"Yuu-kun. Ayo pulang."
"Eh? Ah, tunggu, Enomoto-san!?"
"Urusanmu udah selesai, kan?"
"Ya, tapi…"
Aku masih pengin ngobrol lebih lama dengan Tenma-kun dan Sanae-san.
Aku baru saja memikirkan hal itu—eh, uwaaah! Aku ditarik tanpa kompromi!? Enomoto-san, hari ini kamu tega banget!?
"Yuu-kun enggak akan ikut ke pameran atau semacamnya."
Setelah berkata begitu, ia pun berbalik dan buru-buru melangkah keluar dari kafe. Namun saat itu juga, Tenma-kun buru-buru mengulurkan kartu namanya padaku.
“Natsume-kun! Lusa kami akan mulai menyiapkan pamerannya. Telepon saja ke nomor yang tertera di kartu itu, ya!”
“Ah, terima kasih!”
Setelah membuat janji itu, aku pun meninggalkan kafe bersama Enomoto-san.
♡♡♡
PoV
Enomoto Rion
Sebelum pulang ke hotel, aku mampir ke supermarket bersama Yuu-kun.
Supermarketnya keren, menjual banyak produk makanan impor dari luar negeri. Suasananya beda banget dari yang ada di kampung halaman, jadi aku merasa agak senang juga.
Yuu-kun berjalan di sampingku sambil mendorong troli belanja.
“Yuu-kun, malam ini mau makan apa?”
“Hari ini kita enggak makan di luar aja?”
“Di hotel ada dapur, jadi aku masak aja.”
“Serius? Wah, aku jadi enggak sabar!”
Yuu-kun setuju sambil tersenyum. Sejak datang ke Tokyo, kami terus makan di luar. Terlalu terbiasa dengan makanan mewah juga enggak bagus, kan?
“Hmm. Kalau yang masak Enomoto-san, aku sih apa aja pasti suka.”
“Kalau begitu…”
Di rak mi kering, aku menemukan pasta impor dari luar negeri.
Namanya fusilli, jenis pasta pendek yang bentuknya meliuk seperti bor. Katanya, bentuknya yang berulir itu membuat saus lebih mudah menempel, jadi rasanya makin nikmat. Saat aku menunjuknya dengan ekspresi “gimana?”, Yuu-kun langsung mengangguk dan memasukkannya ke keranjang. Rasanya seperti pasangan pengantin baru. Ehehe...
Kami ambil juga tomat kalengan impor dan sayuran segar. Lalu daging cincang, dan sedikit bumbu aromatik. Menu makan malam hari ini adalah pasta saus tomat dengan sayuran musim panas.
“Umm, Enomoto-san. Soal pameran itu tadi…”
“Enggak boleh.”
Yuu-kun langsung memasang wajah sedih sambil menggumam, “Uuh…” Rasanya agak menusuk hati, tapi aku harus tahan. Aku juga enggak akan selalu mengiyakan semua permintaannya.
Dalam perjalanan menuju kasir, kami melewati bagian camilan. Deretan rak yang penuh warna menarik perhatian kami, dan kami pun berhenti sejenak.
Ada snack impor, kue kering, dan cokelat berjejer rapi. Semuanya tampak manis dan tinggi kalori… tapi kelihatan enak banget.
…Hah!?
Dengan gerakan super alami, Yuu-kun berusaha memasukkan sebungkus keripik kentang impor ke dalam keranjang. Aku buru-buru menghentikannya sekuat tenaga.
“Enggak boleh. Enggak boleh, Yuu-kun.”
“Tapi, di kampung enggak ada yang kayak gini…”
“Dari kemarin kamu udah makan manis terus, kan?”
Yuu-kun langsung terdiam, tertegun. Aku mencubit pinggangnya sedikit. Memang sih, efeknya enggak langsung kelihatan, tapi kelihatannya dia juga agak khawatir sama maraton manis-manis yang dia lakukan kemarin.
Meski begitu, dia masih belum menyerah. Dia menatapku dengan pandangan penuh harap, seolah memohon.
“Tapi ini kan mumpung lagi liburan… kapan lagi coba bisa kayak gini?”
“Kalau mau makan, kan bisa beli online.”
“Ya sih, tapi tetap aja…”
Ekspresi Yuu-kun yang sedikit ngambek itu juga lucu… eh, maksudnya—enggak! Aduh, dia mulai teralihkan ke florentine bar yang karamel-nya berkilauan!?
“Yuu-kun! Emang kamu pikir enggak apa-apa kalau kreator aksesori jadi gendut!?”
“Uuh…”
Agak curang sih, tapi aku sengaja menyerang kelemahan Yuu-kun. Soalnya, prinsip kalau kreator itu harus tampil stylish adalah ajaran langsung dari Hii-chan.
Ternyata efeknya langsung terasa. Dalam sekejap, Yuu-kun menyerah begitu saja.
“...Oke deh. Aku tahan.”
“Yaay. Yuu-kun memang hebat.”
Setelah itu kami berjalan ke arah kasir.
Yuu-kun tampak sengaja menghindari kontak mata denganku. Apa dia segitu kecewanya, ya? Kalau sampai segitu pengennya, mungkin boleh satu bungkus aja… enggak, enggak! Enggak boleh! Dari tadi juga udah sering makan di luar, jadi kami harus jaga pola makan juga.
(Soalnya, aku ini sahabat nomor satu-nya Yuu-kun…!)
Dengan semangat yang membara seorang diri, aku sampai di depan kasir.
Saat itu juga, Yuu-kun mengeluarkan dompetnya dan berkata.
“Aku aja yang bayar. Enomoto-san, tunggu di luar dulu, ya.”
“Eh, tapi kan…”
“Kamu udah mau masakin buat makan malam, jadi wajar dong kalau aku yang bayarin belanjaannya.”
“Kalau gitu… baiklah.”
Yuu-kun, baik banget…
Dan entah kenapa, barusan terasa seperti hubungan kami benar-benar setara. Baiklah! Aku akan masak makan malam yang super enak buat Yuu-kun!
Tapi, tepat saat aku membalikkan badan meninggalkan Yuu-kun—aku menyadarinya. Wajah Yuu-kun sedikit mengendur, lalu ia sempat mengepalkan tangan kecil seolah mengucap “yes!” pelan-pelan…
“……”
Aku memutar arah lewat rak sebelah, dan diam-diam mengintip isi keranjang belanja dari belakang Yuu-kun.
Di situ—terselip sekantong keripik kentang yang seharusnya tadi sudah aku kembalikan ke rak.
Saat aku dengan cekatan mengambil bungkus itu, Yuu-kun langsung berseru, “Ah!?”—menyadari keberadaanku. Sambil menyodorkan bungkusan keripik kentang itu ke arahnya, aku tersenyum manis dan berkata,
“Yuu-kuuun? Ini... apa ya, hmm?”
“Eh, Enomoto-san!? Kenapa kamu—”
“Soalnya wajahmu kelihatan senang banget, jadi aku curiga ada apa-apa.”
“Otot wajahku terlalu jujur…!”
Aku menghela napas, lalu melangkah kembali ke rak untuk mengembalikan bungkus keripik itu. Di belakangku, Yuu-kun panik dan buru-buru mengejarku sambil tergagap, “A-awawa!”
“Satu bungkus aja, boleh kali!”
“Enggak boleh. Nanti kamu enggak bisa makan masakanku, kan.”
“Aku janji bakal makan semuanya juga!”
“Pokoknya enggak boleh. Selama kamu aku yang tanggung jawab, aku juga harus jaga kesehatanmu.”
Aku kan masak buat Yuu-kun dengan sepenuh hati, masa kalah sama keripik kentang? Dengan hati yang tegas, aku menggagalkan ambisi rahasianya.
Yuu-kun menatap bungkus keripik itu dengan mata penuh kerinduan sambil menggerutu, “Gunu-nu…” Tapi saat dia sadar usahanya sia-sia, dia pun memalingkan muka dengan wajah cemberut.
Dan lalu, dia bergumam pelan—ucapan yang enggak bisa aku abaikan.
"…Entah kenapa, Enomoto-san itu kayak 'ibu' banget."
“Haah!?”
Aku langsung membalas dengan suara tinggi, setengah marah.
"Bukan! Aku bukan ibumu!"
"Tapi, rasanya kamu ngomong hal yang sama kayak Ibu-nya Himari…"
"Enggak! Aku cuma mikirin kesehatanmu, Yuu-kun…"
Mata bulat Yuu-kun menatapku lurus-lurus. …Ugh!? Terkena tatapan berbinar itu, aku pun goyah.
"…H-hanya satu bungkus, ya!"
"Yeay!"
…Aku lemah.
Kami pun berjalan pulang ke hotel sambil berbagi kantong belanjaan, dengan sebungkus besar keripik kentang impor yang menyembul keluar dari tas plastik.
Sore itu terasa lembap dan gerah.
Kabarnya ada konser di Tokyo Dome malam ini, jadi jalanan dipenuhi para penggemar perempuan. Ada yang tampak girang, ada juga yang terlihat murung. Sayup-sayup terdengar suara orang berbisik—"Tolong jual tiketnya", atau "Kalau beda oshi, boleh bareng satu orang kok"—percakapan yang khas di momen seperti ini.
Yuu-kun memandangi orang-orang yang berdandan sekece mungkin dengan sorot mata penasaran. Kemungkinan besar, dia sedang memperhatikan aksesori yang mereka kenakan. Tatapan serius itu… bukan ditujukan padaku.
Aku pun mendorong bahunya dengan ringan. “Hei!”
“Aw!? Eh, kenapa? Ada apa?”
“Yuu-kun, kamu sebegitu penginnya ikut pameran itu?”
“Boleh ikut!? Serius nih!?”
“Enggak boleh.”
“Terus kenapa nanya……”
Yuu-kun langsung menunduk kecewa.
…Ya, aku tahu. Buat Yuu-kun, aksesori adalah yang paling penting. Tapi aku… belum cukup dewasa untuk bisa menerima itu begitu saja dan bilang “ya sudah”.
“Yuu-kun. Di antara aku dan orang-orang itu, siapa yang lebih penting buatmu?”
“Eh…”
‘Orang-orang itu’—Yuu-kun langsung paham maksudku adalah dua kreator yang kami temui siang tadi.
Yuu-kun pun menjawab dengan nada seolah itu hal yang jelas.
“Ya jelas, Enomoto-san lah.”
“Beneran?”
“Beneran. Soalnya… kita kan sahabat.”
“…………”
Aku tahu Yuu-kun mengatakannya dari hati. Saat aku menatapnya, dia menoleh dengan kepala miring, seolah bertanya, “Kenapa?”
Aku pun kembali menubrukkan tubuhku ke pundaknya. Yuu-kun sempat kebingungan, tapi akhirnya menyambut tubuhku dengan tangannya.
“Eii!”
"Eeh, serius deh, kenapa sih kamu, Enomoto-san?"
"Enggak ada apa-apa."
"O-oh, gitu ya. Kalau gitu... eh, kalau gitu apa?"
Sambil menanggapi ucapannya sendiri, Yuu-kun tertawa geli seorang diri.
Tanpa sadar, mataku tertuju pada kantong belanja plastik yang kami bawa berdua. Kantong itu tidak bisa sepenuhnya menutupi bungkus besar keripik kentang impor yang menjulur keluar.
Hei, Yuu-kun.
Masakan yang kubuat sendiri... enggak cukup, ya?
Keripik ini... emangnya kamu harus banget makan sekarang juga?
Post a Comment