NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 5 Chapter 4

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Chapter 4

“Cinta yang Rapuh”


♣♣♣

     Keesokan harinya saat jam makan siang, kami berkumpul di ruang sains.

     Aku, Himari, dan Enomoto-san. Begitu kami duduk di meja enam orang, aku langsung angkat bicara.

     "Baiklah, mari kita mulai rapat strategi ini."

     Himari dan Enomoto-san menyerukan "Ooo!" sambil mengangkat tangan mereka, setuju.

     Tentu saja agenda kami adalah mengenai pembuatan aksesori untuk festival budaya, bukan tentang bagaimana melenyapkan Makishima.

     "Kalian sudah memikirkan apa yang kubilang kemarin saat pulang?"

     "Tentu saja!"

     Himari yang pertama.

     Dengan wajah tersenyum, ia entah dari mana mengeluarkan selembar flip chart. Kamu tahu, papan putih tempat menulis jawaban di acara kuis itu. Dari mana dia mendapatkan benda seperti ini...?

     Dengan lancar ia menuliskan jawabannya di sana. Dengan ekspresi bangga, ia membalikkan papan itu, dan tertulis dalam huruf melengkung:

     'Minta Onii-chan untuk menguburnya di gunung ☆'

     Astaga, kita tidak sedang membahas bagaimana menyingkirkan Makishima!

     Ditambah lagi, apa-apaan ini, dia menulis "Yang perlu disiapkan!" di bagian kosong, lalu daftar alat barbeku dan kembang api? Ini benar-benar terasa seperti petualangan kemah pertama yang mengasyikkan....

     "Ditolak, ditolak. Enomoto-san, tolong berikan contoh yang benar."

     "...Baik."

     Enomoto-san menerima flip chart dari Himari.

     Eh? Jangan-jangan, hari ini kita akan terus begini? Kalau tidak salah, tadi malam ada acara kuis di televisi....

     Kemudian Enomoto-san berpikir keras dengan ekspresi serius, lalu menulis dengan lancar. Meski wajahnya tampak tenang, ia membalikkan papan itu dengan penuh percaya diri.

     'Memasang jebakan di lapangan latihan mandiri di rumah Shii-kun dan membuatnya terlihat seperti kecelakaan.'

     "Bisakah kita berhenti membahas bagaimana menyingkirkan Makishima? Hei, bisakah kita kembali ke kehidupan sekolah yang normal?"

     Ini bukan kontes siapa yang bisa melakukan hal itu dengan cerdas tanpa meninggalkan jejak!

     Aku senang hati kami bersatu padu, tapi aku tidak ingin merasakan pencapaian ini karena hal seperti itu....

     "Yang kuminta itu, 'Apa esensi dari tema kali ini,' lho...."

     "Yuu, kamu bilang begitu ya?"

     "Itu reaksi yang serius, ya ampun...."

     Himari-san, sebegitu terganggunya dia dengan Makishima....

     Menurut 'tiga syarat' Makishima, tema kali ini adalah 'Enomoto Rion'. Artinya, kami harus membuat aksesori dengan motif Enomoto-san. Hal yang sama pernah kami lakukan pada bulan April, saat membuat jepit rambut tulip.

     Namun, setelah kupikirkan semalaman, aku sampai pada kesimpulan bahwa tema kali ini sama sekali berbeda dengan yang bulan April.

     Mendengar penjelasanku, Himari memiringkan kepalanya.

     "Apa bedanya dengan jepit rambut tulip waktu itu?"

     "Terakhir kali itu 'membuat aksesori yang cocok untuk Enomoto-san'. Berbeda dengan itu, kali ini sepertinya dia mengatakan 'ekspresikan Enomoto-san sebagai pribadi melalui aksesori'."

     Himari menimpali, “Ah, maksudmu seperti ini?” sambil tiba-tiba menumpukan sikunya di meja, memiringkan tubuhnya dengan gerakan yang terkesan genit. Ia menatapku dari bawah sambil mengeluarkan suara manja.

     "Hei~, Maasteer~. Cobalah ekspresikan aku dengan koktail~?"

     "Ah, memang terasa seperti itu ya...."

     Terlepas dari meniru yang sangat akurat itu, sepertinya arahnya memang benar.

     Himari menjulurkan lidahnya dengan enggan, mengangkat kedua tangannya menunjukkan tanda menyerah. 

     "Ugh~. Sepertinya aku kurang pandai dalam hal seperti itu~."

     "Yah, itu memang bukan gayamu, Himari...."

     Jika boleh dibilang, ini adalah sudut pandang seorang seniman, bukan pengrajin.

     Ini seperti berada di gua yang penuh harta karun emas dan perak, lalu dibilang "Kamu hanya boleh membawa pulang satu". Karena tidak ada jawaban yang jelas, semua jawaban yang tak terhitung itu adalah benar.

     Himari mengangkat tangan.

     "Jadi, Yuu benar-benar berniat memenuhi syarat itu? Jujur aja, menurutku Makishima-kun kali ini hanya mengada-ada."

     "Tentang masalah ini, apa kata Hibari-san?"

     Himari mengangkat bahunya.

     "Sejauh ini, sepertinya semua yang dia katakan itu benar. Dia bahkan menunjukkan padaku rencana pembayaran pinjaman uang dari Onii-chan. Mengingat mereka sampai menyiapkan surat kontrak, itu memang khas mereka berdua, ya."

     Namun, Himari terkekeh.

     "Tapi Onii-chan juga bilang, 'Shinji-kun tidak punya hak untuk membatasi tindakan Yuu-kun dan yang lainnya'."

     "Eh? Begitukah?"

     "Mungkin terdengar seperti argumen yang culas, tapi intinya, 'Shinji-kun meminjam uang itu murni atas kehendak bebasnya sendiri'. Artinya, meminjam uang dan bagaimana menggunakannya adalah dua masalah yang berbeda. Kalau dia benar-benar ingin mengikat kita dengan rasa terima kasih, seharusnya dia membuat kita menyetujuinya terlebih dahulu."

     "Tapi kalau Makishima enggak melakukannya, bukankah Himari akan dibawa pergi oleh Kureha-san?"

     "Dia harusnya membuat kita menyetujuinya terlebih dahulu. Selama dia enggak memberikan kita pilihan di awal, seperti 'pergi ke Tokyo atau jadi budakku', maka dia hanya menyebarkan uang dan tenggelam dalam kepuasan diri."

     "Kepuasan diri..."

     Khas Hibari-san, cara bicaranya tanpa ampun, ya....

     Himari merebahkan diri di meja dengan malas, menghela napas dengan enggan.

     "Faktanya, kontrak itu hanya mencantumkan pasal peminjaman uang, dan enggak ada apa pun tentang kita atau semacamnya. Jadi, kita enggak perlu mendengarkan perkataannya, kan?"

     "Begitu. Aku mengerti...."

     Aku menyusun kembali percakapan barusan dalam benakku.

      * Makishima meminjam sejumlah besar uang dari Hibari-san untuk membantu kami.

      * Dia menggunakan utangnya dari insiden liburan musim panas untuk mencapai sesuatu melalui festival budaya kali ini.

      * Namun, menurut Hibari-san, kami tidak wajib mengikutinya.

     Ngomong-ngomong, Himari dan... Enomoto-san juga sepertinya beranggapan bahwa mereka tidak perlu menuruti perkataan Makishima.

     Jadi, keputusan ada di tanganku sekarang....

     "Tapi karena kita sudah ditolong, aku rasa kita enggak bisa mengabaikan perkataan Makishima."

     Seperti yang kubilang pada Makishima, uang itu seharusnya jadi tanggungan kami.

     Hanya karena Makishima menggantikannya, aku tidak bisa tertawa dan bilang, "Beruntung sekali!"

     "Duh, Yuu ini naif sekali!"

     "...Benar. Aku naif. Aku memang sangat naif."

     Perkataan Makishima kemarin sangat membekas.

     Kali ini, bisa dibilang aku kalah telak darinya.

     Aku juga kalah saat liburan musim panas. Tapi karena lawan saat itu adalah Kureha-san, lawan yang berada di level lebih tinggi, aku bisa berkompromi. Itu juga jadi pemicu bagiku untuk menyemangati diri bahwa aku hanya perlu mengejarnya nanti.

     Namun, kali ini lawannya adalah Makishima, yang seumuran dengan kami.

     Kalah argumen darinya... atau lebih tepatnya, benar-benar dikalahkan olehnya, terasa sangat menjengkelkan dan membuat dadaku bergejolak.

     Ini bukan karena aku kesal pada Makishima. ...Pada akhirnya, aku diperlihatkan dengan jelas bahwa aku masih naif dan kekanak-kanakan.

     Bagaimana jika ini terjadi di masa depan, setelah aku mandiri sebagai seorang kreator?

     Karena kelalaianku, ada kemungkinan seluruh merek "you" yang telah kubangun akan dikuasai.

     Misalnya, jika aku memiliki toko, aku mungkin harus melepaskannya.

     Misalnya, jika aku berhasil membangun posisi sebagai kreator, ada kemungkinan hak ciptaku akan direbut dan aku tidak bisa lagi berkarya dengan bebas.

     Saat aku berpikir untuk menjadi kreator yang lebih baik, Makishima membuktikan bahwa ia bisa menguasai segalanya dari sudut pandang yang sama sekali berbeda. Aku dihancurkan oleh aturan masyarakat bahwa jika kamu menunjukkan celah, kamu akan dimangsa tanpa ampun.

     Itu sangat menyakitkan.

     Karena itu, justru karena itulah....

     Aku ingin membalasnya. Aku tidak tahu apa motif tersembunyi Makishima dengan 'tiga syarat' kali ini, tapi aku ingin melampaui dan mengalahkannya.

     Memikirkan itu, dadaku terasa panas. Rasanya seperti ada tanda-tanda evolusi baru di depan, sama seperti saat aku sangat ingin sejajar dengan Tenma-kun dan yang lainnya di Tokyo.

     Kesimpulanku sudah bulat.

     "Aku akan melakukannya. Aku akan menggagalkan tujuan tersembunyi Makishima kali ini dan membuat pameran penjualan aksesori festival budaya ini sukses."

     "............"

     Himari menghela napas.

     "Padahal kamu sudah janji kalau kamu akan melihatku saja di festival budaya nanti."

     "Maaf. ...Lagipula, itu enggak masalah, kan?"

     "Memang sih. Tapi aku berencana untuk lebih bermesraan dengan Yuu!"

     "Pembuatan aksesori dan persiapan akan selesai sehari sebelumnya, dan aku berencana untuk meluangkan waktu bermain di hari-H."

     Himari bangkit dengan cemberut.

     "Yuu enggak mengerti! Festival budaya itu adalah acara besar bagi murid kelas dua SMA!"

     "Eh, benarkah...?"

     "Karena tahun depan kita udah jadi murid persiapan ujian, dan ini terakhir kalinya kita bisa bersenang-senang sesuka hati di sekolah pada masa-masa bebas pelajar yang enggak mudah berkembang jadi masalah tanggung jawab!"

     "Cara bicaramu. Kamu jangan sampai berbuat hal yang enggak-enggak, ya?"

     Seharusnya dia bilang ini adalah pembuatan kenangan terakhir.

     Lagipula, aku sendiri tidak yakin akan belajar untuk ujian, dan Himari pasti santai saja dengan pelajaran. Untuk saat ini, aku ingin menikmati festival budaya ini dengan tenang dan bersih, jadi mohon koordinasinya.

     "Yah, baiklah. Kalau begitu, bagaimana dengan aksesori itu?"

     "Hmm. Sama seperti kemarin, kurasa. Motifnya sudah diputuskan, tinggal memilih bunga... Ah, tapi, jam istirahat akan segera berakhir."

     Sambil berbicara dengan Himari, tanpa sadar Enomoto-san sudah selesai bersiap-siap untuk kembali ke kelas. Sambil memegang tas sekolahnya, ia berkata dengan ekspresi dingin.

     "Kalau begitu, sampai nanti sepulang sekolah ya."

     "Enomoto-san, apa kamu enggak apa-apa dengan itu?"

     "Kalau Yuu-kun mau mengerjakan tugas dari Shii-kun, aku sih enggak masalah."

     "Oh, begitu ya. Terima kasih."

     Enomoto-san menjawab singkat dengan "Hm," lalu keluar dari ruang sains.

     Aku dan Himari yang tersisa, entah kenapa saling berpandangan. Tiba-tiba, Himari menatapku dengan tatapan menyelidik, seolah menyalahkanku.

     "...Yuu. Benarkah enggak ada apa-apa antara kamu dan Enocchi di Tokyo?"

     Gulp!

     Aku menahan Himari yang mendekatiku, "Tunggu, tunggu," sambil mendorongnya dengan kedua tangan.

     "K-kenapa kamu mengatakan hal seperti itu?"

     "Enggak, enggak, enggak. Jelas sekali ada yang aneh dengan tingkahnya, kan?"

     "A-apanya yang aneh? Biasa aja, kan?"

     "Apa ada bukti yang lebih kuat dari seorang gadis cantik yang tadinya memancarkan aura suka-suka secara penuh, kini kembali bersikap dingin? Tadi aja dia enggak banyak bicara, kan?"

     "Dia hanya membaca situasi karena aku dan Himari sudah mulai berpacaran..."

     Himari, sambil berkata, "Eh? Begitukah?", menghentikan desakannya.

     ...Dingin. Ya, bersikap dingin.

     Benar, Enomoto-san hanya membaca situasi. Dia hanya membaca situasi, menyadari bahwa aku ragu untuk berinteraksi dengannya.

     Pada akhirnya, aku tidak melakukan apa-apa. Tapi meski menyadarinya, rasanya tidak ada yang bisa kulakukan.

     Seorang pria yang sudah punya pacar sebaiknya menjaga jarak dengan wanita lain.

     Itu mungkin hal yang wajar.

♣♣♣

     Sore harinya.

     Kami bertiga keluar dari sekolah mencari inspirasi bunga. Aku teringat saat kami menjelajahi kota untuk menyelesaikan tugas Kureha-san di liburan musim panas.

     Saat senja di akhir musim panas, dengan sedikit—benar-benar sedikit—sinar matahari yang lebih lembut dari waktu itu, tempat yang kami pilih adalah—

     Toko krep "Tiffany".

     Sebuah toko yang menyajikan krep lezat, terletak di sepanjang jalan raya lama.

     Variasinya beragam, mulai dari krep manis hingga gurih. Kadang-kadang mereka juga menjual takoyaki edisi terbatas, toko itu selalu mengadakan acara. Ciri khasnya adalah "Mesin Penjual Otomatis Ramalan Cinta" di depan toko. Kabarnya, tempat ini pernah diperkenalkan di acara varietas televisi nasional.

Sambil melahap krep berbentuk kerucut terbalik dengan tumpukan krim, aku duduk berhadapan dengan Himawari di meja bundar. Cokelat pisangnya enak.

     "Baiklah, kita akan memutuskan bunga untuk aksesori bermotif Enomoto-san."

     "Siap!"

     Himari sedang mengunyah krep gurih isi tuna.

     "Oke. Aku akan berusaha."

     Sementara itu, Enomoto-san sendiri ternyata memesan kombo krep manis dan gurih.

     Bukan berarti aku tidak mengerti mengapa ia bisa menghabiskan keduanya karena enak, tapi porsinya lumayan besar di sini, apa dia tidak apa-apa...?

     "Enomoto-san, kamu bisa makan dua-duanya?"

     "Santai."

     Jawabannya cepat.

     Memang Enomoto-san, bahkan saat makan krep pun ia melakukannya dengan berani. Seperti kata Himari, ia memang sedikit dingin, tapi justru itu yang membuatnya keren dan manis.

     "Karena kita diminta untuk mengekspresikan Enomoto-san, aku sudah membawa beberapa ide..."

     Aku membuka buku catatan yang kurangkum selama pelajaran.

     Enomoto Rion.

     Aku mencoba memilah beberapa bunga, menjadikannya tema untuknya.

     "Pertama, tulip."

     "Hmm. Tulip memang mudah didapat karena ada sepanjang tahun, tapi Yuu enggak masalah kalau sama seperti yang sebelumnya?"

     Tusukan itu terasa sakit.

     Dulu, saat tema kami adalah bunga yang cocok untuk Enomoto-san, aku akhirnya memilih tulip merah. Aku tidak merasa pilihan itu salah, tapi Makishima pasti akan berkata, "Haha. Aku tidak akan membiarkanmu bersantai."

     Yang terpenting, rasanya temanya sedikit melenceng.

     Tema jepit rambut tulip adalah 'cinta pertama'. Itu adalah Enomoto-san dari sudut pandangku, bukan representasi dari Enomoto-san sebagai pribadi.

     Aku mencoret tulip.

     "Berikutnya, kosmos."

     Kosmos. Juga ditulis sebagai "bunga sakura musim gugur", salah satu bunga khas musim gugur.

     Indah dan menawan, gerakannya yang bergoyang diterpa angin sangatlah puitis. Bunga ini sangat populer dan mudah didapatkan di toko bunga. Warnanya pun beragam, mudah digunakan untuk flower arrangement. Sebagai hadiah pun, bunga ini pilihan yang baik.

     Aku berpikir, "Enomoto-san itu cantik, dan aku yakin bunga ini akan sangat cocok dengannya..." Tiba-tiba Himari menatap Enomoto-san dengan ekspresi yang aneh.

     "Bunga yang menawan, ya..."

     Hei, Himari.

     Aku mengerti apa yang ingin kamu katakan. Aku juga mengerti Enomoto-san cemberut seolah berkata, "Ada apa?", tapi tidak ada yang percaya jika kamu memegang krep yang menggunung di kedua tangan....

     Aku mencoret kosmos, lalu Himari berkata sambil tertawa.

     "Bagaimana kalau bunga melon aja sekalian?"

     "Melon? Buah melon?"

     Enomoto-san menatapku, meminta penjelasan.

     Aku yang baru saja hendak menyuapkan krep ke mulut, tanpa sengaja mencelupkan hidungku ke dalam krim. Sambil menyeka krim, aku mengalihkan pandanganku.

     "...Makna bunga melon adalah 'kemakmuran', 'kelimpahan', 'kekayaan', 'produktif'. Dengan kata lain, ia melambangkan kecukupan makanan."

     Sebenarnya, ini adalah simbol kekayaan, jadi hal yang menyenangkan, tapi...

     "............"

     Enomoto-san, yang tadinya diam-diam memakan krep di kedua tangannya, melihat ke arah krep-krep itu—dan perlahan telinganya memerah hingga ke ujung.

     Dia tanpa sadar berdiri dan menyerang Himari.

     "Hii-chaaan...!"

     "Puhha-hahaha! Dengan kedua tanganmu penuh, jurus Iron Claw-mu enggak akan bisa menyerang!"

     Jangan membuat masalah di toko, serius....

     Himari mengitari meja dan memelukku.

     "Hehehehe. Aku enggak perlu makan dua, karena aku bisa menikmati dua rasa. Ini Yuu. Aam~♪"

     "Eh..."

     Apakah kamu meminta krep cokelat pisangku?

     Himari mengeratkan lengannya di leherku sambil berkata, "Aam!" Aku terpaksa membiarkannya memakan krepku. Ah, dia mengambil banyak krimnya....

     "Enggak, Himari. Jangan lakukan ini di luar..."

     "Mmm-fufu~. Hohohohayya!"

     "Apa?"

     "Aku suka Yuu yang tetap melakukannya meski begitu~♡"

     Oh, begitu.

     Aku merasa malu dan mengalihkan pandanganku—

     "Ugh..."

     Aku bertemu pandang dengan Enomoto-san yang menatapku dengan sorot mata sedingin es. Jangan-jangan, ini akan jadi pola "Aku juga cepat!"?

     Aku terkesiap dan bersiaga, tapi di luar dugaanku, Enomoto-san memalingkan wajahnya dengan cuek. Lalu ia melahap habis krepnya. Seperti lubang hitam saja. ...Eh, apa dia benar-benar menghabiskan itu barusan? Sulap?

     "Aku punya sendiri, jadi enggak apa-apa."

     "Oh, begitu ya..."

     Padahal suhunya sama seperti saat kami bertemu lagi di bulan April, tapi karena perbedaan dengan akhir-akhir ini, aku rasanya mau flu... Eh? Jangan-jangan dia membaca pikiranku barusan? Kalau begitu, ini terlalu memalukan, kan?

     "Uhm, berikutnya, bagaimana dengan nadeshiko?"

     "Oh, itu bagus!"

     Himari memberikan kesan yang baik.

     Nadeshiko.

     Bersama dengan hagi dan kikyō, ia adalah bunga populer yang termasuk dalam tujuh bunga musim gugur. Bunga merah cerah keunguan, dan karena warnanya yang unik, ada nama 'warna nadeshiko' itu sendiri. Selain itu, seperti kata Yamato nadeshiko, bunga ini memiliki suasana yang memikat dan mengejutkan di tengah kelincahannya.

     Nadeshiko adalah bunga yang sangat delikat dan membutuhkan perhatian ekstra, mulai dari penyiapan tanah hingga penyiraman. Terutama musim panas di Jepang yang panas dan lembap, pemangkasan juga sangat penting. Tingkat kesulitan dalam budidayanya mungkin justru yang meningkatkan daya tarik bunga ini.

Makna bunganya juga beragam, seperti "kepolosan" dan "cinta murni."

     Dalam arti tertentu, aku juga berpikir bunga ini sangat cocok untuk Enomoto-san....

     "............"

     Eh?

     Entah kenapa reaksi Enomoto-san sangat datar. Lebih tepatnya, ia sama sekali tidak terpengaruh.

     "Enomoto-san, apa kamu enggak suka nadeshiko?"

     "...Bukan enggak suka, tapi..."

     Begitu.

     Bukan tidak suka, tapi bukan ini yang dicari. Begitu mungkin maksudnya.

     Logika memang penting, tapi aku ingin tetap menjaga sisi intuitif ini. Jika Enomoto-san sendiri tidak merasa sreg, kita tidak bisa memaksanya.

     Himari dengan santainya menggigit cokelat pisang di tanganku dari samping.

     "Memang sih, untuk Enocchi, itu terlalu imut ya~."

     "............"

     Enomoto-san melancarkan tatapan tajam dan membentuk tangannya seperti cakar, seolah berkata, "Kamu bilang apa barusan?" Dan Himari yang terintimidasi, bersembunyi di balik punggungku dengan sembunyi-sembunyi.

     ...Memang benar, nadeshiko terasa hanya mewakili satu sisi Enomoto-san.

     Aku mencoret nadeshiko dan menyebutkan pilihan terakhir.

     "Kalau begitu, bagaimana dengan licorice?"

     "Licorice?"

     "Maksudku bunga higanbana. Saat musim ohigan, ada bunga merah cantik yang bentuknya seperti kembang api bermekaran, kan?"

     "Ah, kalau itu aku tahu."

     Ada beberapa jenis, tetapi secara umum, bunga ini adalah bunga yang memikat dengan kelopak yang melengkung ke luar.

     Ciri khasnya, daunnya baru tumbuh setelah bunganya gugur, membuat keberadaan bunganya di musim mekar sangat menonjol. Ditambah keindahan bunganya yang tak tertandingi, popularitasnya di dunia hortikultura semakin meningkat.

     Himari berkata dengan sedikit ragu. 

     "Tapi licorice... maksudku, higanbana? Kesannya agak enggak menyenangkan ya."

     "Itu karena musim mekarnya, kurasa. Di Jepang, karena mekarnya bertepatan dengan Ohigan, bunga ini jadi sering ditanam di kuburan. Dari situlah terbentuk citra bunga kematian."

     "Kerugian reputasi yang parah, ya."

     "Bisa dibilang begitu."

     Pada kenyataannya, makna bunga licorice justru memiliki citra yang benar-benar berlawanan, seperti 'gairah', 'ceria', dan 'hati yang gembira'.

     "Licorice juga punya daya tarik yang kuat, dan menurutku bunga ini paling cocok untuk wanita cantik seperti Enomoto-san."

     "Yuu~? Apa yang kamu pikirkan, merayu wanita lain terang-terangan di depan pacarmu sendiri???"

     "Bukan, ini kan soal aksesori..."

     Sensor pacarku ini terlalu ketat. Karena pernah gagal di Tokyo, aku tidak bisa melawan terlalu keras. Eh? Apa aku benar-benar di bawah kendalinya sekarang?

     Dan apa-apaan Enomoto-san menatapku dengan mata menyelidik begitu...? Pikirku, lalu dia tiba-tiba memalingkan wajah.

     "Aku memutuskan untuk enggak lagi menganggap serius pernyataan playboy alami seperti itu."

     "Apa enggak ada yang membelaku di sini...?"

     Padahal ini kan tentang pembuatan aksesori... Aku menangis dalam hati.

     Enomoto-san meletakkan tangan di dagunya dan berkata dengan wajah muram.

     "Tapi gairah... ceria...?"

     "Ah, sepertinya kamu enggak suka?"

     "Bunga licorice-nya sendiri enggak masalah, tapi kalau dibilang mirip aku... lebih mirip Shii-kun, sih."

     "Makishima, ya..."

     Terbayang sosok Makishima tertawa terbahak-bahak sambil mengipasi diri di ladang bunga licorice. Memang dia ulet sekali, apalagi bersaing dengan Hibari-san. Jujur saja, dia sepertinya tidak akan mati meski dibunuh....

     Aku mencoret licorice.

     "Yah, ini memang cuma pilihan ketiga bagiku."

     "Begitu ya? Enggak biasanya Yuu pesimis begini."

     "Sejujurnya, aku belum pernah berhasil membuat licorice jadi bunga awet."

     "Benarkah?"

     "Iya. Karena garis bunganya tipis, ia selalu hancur saat proses pembuatan. Kalau dried flower sih masih bisa diatasi. Hanya saja warna yang dihasilkan enggak sesuai dengan yang kuinginkan..."

     "Kalau begitu, kenapa kamu menjadikannya salah satu pilihan...?"

     "Aku selalu ingin menantangnya..."

     Setelah itu, aku mencoba menyebutkan beberapa bunga lagi, tapi tak ada yang menarik perhatian. ...Ternyata, mengekspresikan seseorang dengan aksesori yang dimodelkan padanya itu cukup sulit.

     Tapi aku bisa sedikit menebak penyebabnya.

     "Kurasa, tetap Gekka Bijin."

     Kesimpulanku sampai pada bunga itu.

     Jika ditanya bunga apa yang paling mirip Enomoto-san, pada akhirnya hanya itu jawabannya. Ada kejutan dari pertemuan kembali di bulan April itu, tapi tetap saja, Enomoto-san identik dengan Gekka Bijin.

     Namun, entah mengapa aku merasa sulit untuk mengatakannya.

     Alasannya adalah...

     "...!"

     Enomoto-san terkejut mendengar perkataanku.

     Dan tanpa disadari, dia segera menyentuh pergelangan tangan kanannya. ...Gelang Gekka Bijin yang seharusnya ada di sana tidak ada. Aku kira dia lupa memakainya pada hari upacara pembukaan tahun ajaran, tapi sepertinya bukan begitu. Setelah itu pun, aku tidak pernah melihatnya lagi.

     Mungkin tidak rusak... Menurutku begitu. Jika rusak, dia pasti akan meminta untuk diperbaiki. Berarti dia menghilangkannya, atau memang sengaja tidak memakainya.

     Jika kasusnya yang terakhir... itu jelas berkaitan dengan sikap dingin Enomoto-san, dan sangat sulit untuk mendekatinya. Aku juga berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyinggungnya, tapi...

     Himari memiringkan kepalanya.

     "Eh? Enocchi, ngomong-ngomong gelang Gekka Bijin-mu ke mana?"

     "...!?"

     Pacarku ini tanpa ragu-ragu menginjak ranjau.

     Tidak menanggapi hal ini terasa seperti terlalu memikirkannya, jadi aku terburu-buru.

     "B-benar juga. Aku penasaran sekali, ada apa? Kalau rusak, aku bisa memperbaikinya seperti biasa... Ah, tapi kalau memang hanya sedang enggak pengin memakainya, enggak apa-apa."

     Mulutku yang berbicara terlalu banyak dan berputar-putar justru terlihat seperti sudah mempersiapkannya....

     Himari juga sedikit terkejut, dan Enomoto-san terlihat canggung. Ah, ini sepertinya ranjau sungguhan.

     Enomoto-san mengalihkan pandangan, sambil terus menyembunyikan pergelangan tangan kanannya.

     "Karena hilang di Tokyo."

     "Oh, begitu ya..."

     Setelah itu, percakapan terhenti.

     Hilang di Tokyo. Kalau tidak salah, pada hari terakhir, dia masih memakainya saat mengantarku ke pameran seni, jadi berarti setelah itu.

     (...Tapi, apa benar-benar hilang?)

     Mulai memikirkan hal itu membuatku terjebak dalam lingkaran. Gelang Gekka Bijin yang begitu dia hargai... Jika benar-benar hilang, seharusnya dia menghubungiku saat menyadarinya.

     Aku pulang terlambat sehari. Aku bisa mencarinya di tempat-tempat yang Enomoto-san kunjungi sebelum aku pergi ke bandara. Namun, dia tidak menghubungi, berarti dia sebenarnya masih memiliki gelang itu, atau sengaja—

     Aku menggelengkan kepala.

     Hentikan. Dugaan seperti itu tidak baik. Lagipula, apa pun yang kukatakan hanya akan terdengar hambar, mengingat aku telah menginjak-injak perasaan Enomoto-san.

     'Rion enggak menyadarinya, jadi kamu terus memperlakukannya seperti cadangan, ya~?'

     Benar.

     Aku telah mengkhianati Enomoto-san. Meskipun tidak ada niat, tidak salah lagi dia merasakannya demikian.

     Dan keputusan apa yang telah Enomoto-san ambil? Melihat sikap dinginnya belakangan ini, dia pasti tidak ingin aku menyelidikinya lebih jauh.

     Saat ini, kami terpaksa bertindak bersama karena Makishima. Aku tidak boleh salah menilai hanya karena dia bersedia membantu dengan aksesori.

     Aku seharusnya hanya fokus menyelesaikan tugas Makishima dan menyukseskan pameran penjualan aksesori festival budaya.

     Haruskah disebut pemahaman diam-diam?

     Enomoto-san juga tidak berusaha melanjutkan percakapan. Untuk saat ini, pembicaraan tentang gelang itu berakhir di sini.

     Ini kesalahanku. Aku seharusnya tidak membahas Gekka Bijin di sini. Memang benar dalam hatiku tidak ada bunga lain yang lebih cocok untuk Enomoto-san, tapi aku seharusnya tidak mengucapkannya.

     Begitulah, untuk sementara ini, masalah itu diputuskan untuk ditunda.

     Saat hal itu tampaknya selesai...

     "Kalau begitu, buat aja lagi!"

     "Eh?"

     Aku dan Enomoto-san terkejut dengan usulan Himari yang begitu santai.

     Himari menyentuh cincin nirinso di choker-nya sambil menunjukkan ekspresi bangga, seolah berkata, "Himari-chan pintar sekali~!"

     "Waktu aku juga begitu, jadi buat aja lagi, kan? Hehehe. Aku juga enggak sabar menantikan aksesori baru dari Yuu yang sudah naik level di Tokyo~♪"

     "Ah, enggak..."

     Aku ragu-ragu.

     Sejujurnya, bagaimana ya? Enomoto-san sepertinya tidak mengharapkan hal seperti itu.

     ...Namun, jika aku langsung menolak di sini, pasti akan ada pertanyaan "Kenapa?". Saat aku ragu untuk menjawab, Enomoto-san menghela napas pelan.

     "...Kalau begitu, baiklah."

     Dengan persetujuan Enomoto-san yang setengah hati, bunga untuk aksesori itu pun akhirnya diputuskan.

♣♣♣

     Akhir pekan itu. Cuaca cerah.

     Lewat tengah hari, kami bertiga kembali berkumpul.

     Lokasinya berada di belakang jalan utama, masuk ke sebuah gang di area perbelanjaan kota. Karena aku sudah sering ke sana sejak SMP, langkahku mantap dan tidak ragu.

     Yang kami kunjungi adalah sebuah rumah tua bergaya tradisional yang berdiri tenang. Di halamannya yang sempit, bunga-bunga musiman bermekaran.

     Dibandingkan kunjungan sebelumnya, ada lebih banyak pot kosong. Mungkin sedang dipersiapkan untuk menanam bunga musim dingin.

     Di pintu gerbang tembok batu, tergantung papan bertuliskan "Kelas Merangkai Bunga Araki". Meski dinamakan kelas merangkai bunga, nomor telepon kontaknya tetap saja nyaris pudar.

     Himari melihatnya dengan ekspresi tak percaya.

     "Seperti biasa, dia enggak niat mengumpulkan murid, ya."

     "Yah, katanya sih sebagian besar hanya hobi."

     Enomoto-san memiringkan kepalanya.

     "Dari dulu aku penasaran, bagaimana cara Araki-sensei menopang hidupnya?"

     "Pekerjaan utamanya adalah desainer taman."

     "Desainer taman? Maksudmu orang yang merancang taman?"

     "Benar. Dia mendesain ruang yang mencakup taman, seperti taman kota atau halaman tengah gedung perkantoran. Katanya dia juga sering dipanggil untuk menanam kembali tanaman setiap musim, atau untuk penataan acara. Jadi, kelas merangkai bunga ini hanya sampingan... Atau lebih tepatnya, sepertinya itu pun sudah mulai luntur karena kompetisi game dengan anak-anak."

     Hari ini pun, sorak-sorai anak-anak terdengar dari halaman.

     Mengintip dari pintu masuk ke arah halaman, terlihat seorang wanita cantik paruh baya berbusana kamisol dan celana jeans dikelilingi anak-anak SD, sedang mengoperasikan Nintendo Switch. Setiap kali ia menggerakkan controller dengan kasar, ponytail-nya yang diikat seadanya ikut bergoyang.

     Araki-sensei.

     Ia adalah orang yang mengajariku cara merawat bunga dari SD hingga SMP. Dulu, masih ada mahasiswa atau ibu rumah tangga yang menjadi muridnya, tapi sekarang ia sibuk bermain game dengan anak-anak SD.

     "Araki-sensei, selamat siang."

     Begitu aku memanggilnya, Sensei menyadarinya.

     Ia melirik jam tangannya dan berkata dengan nada lesu, "Astaga, sudah jam segini." Dari sakunya, ia mengeluarkan dompet kulitnya yang lusuh, lalu menyelipkan uang saku ke tangan anak-anak SD itu.

     "Pergi makan siang. Kumpul dua jam lagi."

     "Siap!"

     Anak-anak itu, sambil menggenggam rezeki nomplok mereka, riuh-rendah melesat melewati kami.

     Sungguh gerakan yang cekatan! Zaman sekarang, gerakan seterbata ini bahkan mungkin tidak terlihat di festival olahraga SD.

     Araki-sensei melepas kacamatanya, lalu mengernyit sambil memijat pangkal hidung.

     "Anak yang diperkuat dari update kemarin itu sulit digunakan, ya..."

     Aku melirik sekilas ke layar Switch.

     Sepertinya hari ini mereka sedang seru bermain Splatoon, bukan Pokemon. FPS memang melelahkan mata. Aku paham.

     "Apakah dia kuat?"

     "Sekarang dia overpowered, jadi aku ingin menguasainya, tapi rasanya enggak cocok. Mata yang bisa mengawasi medan perang memang penting, tapi kecepatan sekitarnya enggak selaras, itu masalahnya..."

     "Kalau begitu, kenapa enggak pakai yang sudah biasa kamu gunakan aja?"

     "Lingkungan saat ini bisa dibilang ditentukan oleh superioritas dan inferioritas orang ini. Enggak bisa mengandalkan anak-anak SD."

     "Sensei, ini pertarungan sungguhan, ya..."

     Sensei melepas sandalnya dan naik ke teras.

     "Kalian belum makan siang, kan? Aku mau merebus somen, mau makan bersama?"

     "Apakah boleh?"

     "Aku punya sisa banyak dari hadiah Ochugen. Bantu aku menghabiskannya."

     "Ah, begitu..."

     Kami pun melepas sepatu dan naik ke teras.

     Kami dipersilakan masuk ke dapur yang terasa kental dengan nuansa Showa. Sambil membantu menyiapkan piring dan lain-lain, dalam waktu sekitar 30 menit, hidangan sudah tersaji di meja.

     Dengan sumpit sekali pakai dari minimarket yang tertumpuk banyak di rak, kami menyatukan tangan di depan tumpukan somen yang baru matang. Di sana, kami juga menyampaikan tujuan kedatangan hari ini.

     "Araki-sensei, apakah ada kenalan pemasok yang membudidayakan Bunga Gekka Bijin?"

     "Bunga Gekka Bijin? Pilihan yang langka, ya."

     "Kami ingin menjual aksesori bunga Gekka Bijin di festival budaya nanti."

     "Hmm, kalau bunga yang lebih populer sih aku tahu, tapi kalau itu aku harus coba tanyakan dulu."

     Di sampingku, Himari dan Enomoto-san yang duduk berhadapan saling menggoda, "Enocchi, aam~?" "…Aku bisa makan sendiri."

     Sambil memandangi mereka, Araki-sensei menyeruput somen-nya dengan anggun.

     "Oh, jadi Natsume-kun, kamu memutuskan berpacaran dengan Inuzuka-chan?"

     "...!?"

     Aku tersedak, "Buh!"

     Himari juga terkejut, "Bagaimana kamu tahu!?"

     Araki-sensei menjawab dengan santai. 

     "Yah, berbeda dengan saat kalian datang liburan musim panas lalu, aura yandere Inuzuka-chan sudah hilang... Mogggh!"

     "Araki-sensei~! Jangan bilang apa-apa!"

     Himari sangat panik dan langsung membekap mulut Sensei. Apa ya? Penasaran, tapi sepertinya ini ranjau, jadi lebih baik tidak bertanya.

     Aku mencelupkan somen ke kuah dan menyeruputnya.

     "Ah, Yuu! Aku mau bicara dengan Araki-sensei, ya, hehehe!"

     "Eh? Inuzuka-chan? Aku sedang makan, lho..."

     "Ayo, Sensei~! Kamu harus menelepon pemasokmu untuk menanyakan tentang Gekka Bijin!"

     "Itu bisa nanti saja setelah makan..."

     "Ayo! Cepat!"

     "Yah, somen enggak akan kabur, baiklah..."

     Araki-sensei didorong dari belakang, dan keduanya menghilang dari dapur.

     Terdengar samar-samar mereka berbicara di sana, tapi meja di sini diselimuti keheningan. Hanya terdengar suara kami, aku dan Enomoto-san, menyeruput somen.

     "............"

     "............"

     Sungguh canggung.

     Apa yang kami bicarakan saat liburan di Tokyo ya? Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya. Dengan perasaan perut melilit seolah somen akan muntah kembali, aku mencoba berbicara.

     "Uhm, Enomoto-san?"

     "Hm?"

     "Kalau kamu enggak sreg, enggak usah memaksakan diri ikut membuat aksesori ini. Aku akan bilang ke Makishima kalau kita mengerjakannya bersama..."

     "Hm."

     "Lalu, kalau kamu enggak suka Gekka Bijin..."

     "............"

     Meski aku sudah memilih kata-kata sebaik mungkin, Enomoto-san tidak memberikan reaksi.

     Hanya suara somen yang terus berkurang. Setelah mangkuk kuahnya kosong, ia dengan rapi menyeka bibirnya. ...Seperti biasa, porsi makannya dan keanggunannya tidak sinkron.

     Enomoto-san menatapku lekat-lekat.

     "Yuu-kun, apa kamu tidak ingin membuat aksesori Gekka Bijin?"

     "Eh?"

     Aku terkejut mendengar pertanyaan tak terduga itu, dan tanpa sadar aku langsung menjawab apa adanya.

     "Tidak, aku ingin membuatnya!"

     Aku tanpa sengaja berdiri, lalu memegang kedua bahu Enomoto-san.

     "Aku memikirkan aksesori apa yang bisa mengekspresikan Enomoto-san, dan hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah Bunga Gekka Bijin. Gelang yang kubuat saat SMP itu, tak diragukan lagi, adalah mahakarya terbaikku saat itu. Aku terus memikirkan bagaimana jadinya kalau aku yang sekarang membuatnya. Festival budaya ini adalah kesempatan untuk mempraktikkan apa yang kudapatkan di Tokyo, dan kali ini aku benar-benar bertekad untuk menghasilkan sesuatu yang luar biasa berkat kerja sama Enomoto-san. Uhm, jadi apa yang ingin kukatakan adalah..."

     Karena berbicara mengikuti momentum, aku kehilangan jejak apa yang ingin kusampaikan.

     Apa yang ingin kukatakan? Aku ingin diizinkan membuat aksesori Bunga Gekka Bijin? Tidak, itu sudah kusampaikan. Lalu, apa lagi yang belum kukatakan... Oh, aku teringat.

     "Aku akan membuat aksesori Bunga Gekka Bijin yang melampaui gelang sebelumnya. ...Aku akan senang kalau Enomoto-san menyukainya."

     Enomoto-san menatapku dengan wajah terkejut.

     Saat itulah aku akhirnya menyadari kondisiku. Aku sepenuhnya memaksakan keinginanku sendiri, tanpa memikirkan perasaan Enomoto-san.

     ...Perasaan menyesal itu sungguh luar biasa.

     "Ah, maaf. Aku bicara tanpa memikirkan perasaan Enomoto-san..."

     "............"

     Enomoto-san terdiam.

     Ketika aku gemetar karena tak tahan dengan keheningan yang mencekam itu, ia mengalihkan wajahnya dengan cuek.

     "Kalau begitu, enggak masalah."

     "B-begitu ya..."

     Yang mana...?!

     Enomoto-san, itu oke atau tidak, yang mana?!

     Aku tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Memang sih, dia bilang tidak masalah, jadi seharusnya oke, kan? Tapi apa semudah itu? Contoh wanita di sekitarku hanya Himari dan Saku-neesan, jadi aku sangat kekurangan referensi tentang emosi. Seseorang, tolong bawakan buku referensi tentang hati wanita...!

     Suasana menjadi berat karena kecanggungan yang berbeda dari sebelumnya. Jumlah somen yang tersisa untuk diseruput demi mengalihkan perhatian pun semakin menipis. Tidak, sebelum itu, indikator kesehatan perutku yang dalam kondisi genting. Gawat, aku mau muntah.

     Tepat ketika aku merasa sudah mencapai batas, Himari dan Araki-sensei yang sedang melakukan rapat strategi misterius di sana, kembali.

     Mereka terkejut melihat sedikitnya somen yang tersisa dalam air dingin di mangkuk kaca.

     "Yuu dan yang lainnya makan banyak sekali, ya. Benar-benar somen sabuk hitam..."

     "Hahaha, nafsu makan di usia pertumbuhan memang hebat, ya."

     Entah kenapa aku merasa malu....

     Pada akhirnya, Araki-sensei mulai merebus somen lagi. "Nah, kalau memang selezat itu, makanlah lagi," katanya sambil menyajikan somen dengan porsi dua kali lipat, dan aku merasakan perasaan mual.

♣♣♣

     Setelah benar-benar dijamu, kami pun menikmati teh dengan kue yang kubeli dari toko kue keluarga Enomoto-san.

     "Araki-sensei, bagaimana hasil telepon dengan pemasok?"

     "Ah, itu."

     Araki-sensei menceritakan hasil panggilan teleponnya dengan pemasok tadi.

     Menurutnya, sulit sekali mendapatkan bunga yang tidak biasa dipasok ke toko bunga. Gekka Bijin membutuhkan waktu lebih dari setahun dari penanaman hingga kesempatan mekar pertama, dan bahkan setelah mekar, ia gugur hanya dalam semalam.

     Yang terpenting, Gekka Bijin tidak selalu mekar setiap tahun.

     Ada kisah tentang Gekka Bijin yang tidak mekar sama sekali selama lebih dari 10 tahun, dan saat orang-orang berpikir bunganya mungkin sudah mati dan hendak membuangnya, bunga itu mekar pada malam itu juga. Bunga ini memang memiliki aura megah, tapi ternyata cukup moody.

     Secara keseluruhan, bunga ini tidak realistis untuk dipasok sebagai produk ke toko bunga. Wajar saja jika pemasok merasa kesulitan menerima pesanan mendadak seperti ini.

     Araki-sensei berkata dengan nada menyesal. 

     "Maaf aku tidak bisa membantu."

     "Tidak, aku juga minta maaf sudah meminta yang tidak masuk akal secara mendadak..."

     Setelah itu, kami bertukar pikiran sebentar dengan Araki-sensei mengenai pameran penjualan di festival budaya.

     Araki-sensei memiliki pengalaman pameran ikebana dan flower arrangement, jadi kami meminta sarannya tentang penataan bunga saat itu.

     "Yang penting dalam pameran adalah penanganan alur pengunjung."

     "Alur pengunjung?"

     "Artinya, kamu mengendalikan penempatan produk untuk menciptakan penekanan pada kesadaran pelanggan. Ketika kamu memikirkan aksesori mana yang ingin kamu jadikan produk utama, kamu menata produk lain agar produk utama itu yang paling berkesan. Kalau berhasil, kamu bisa mendapatkan hasil di luar dugaan dan bahkan bisa mengendalikan jumlah stok."

     Himari bertanya dengan penuh minat. 

     "Sensei, itu seperti set menu?"

     "Benar. Kalau hidangan utamanya tidak paling berkesan, kan jadi sedih, ya."

     Aku ingat, saat pameran kelas merangkai bunga yang kuikuti waktu SMP, memang ada maksud seperti itu. Karya Sensei terkonsentrasi di bagian akhir, dan mungkin itu untuk menekankan kesan yang tersisa setelah melihat pameran.

     Saat aku berpikir, "Begitu, ya," Enomoto-san menunduk menatap kue dengan wajah murung.

     "...Enomoto-san, wajahmu pucat, apa kamu merasa enggak enak badan?"

     "Ah, enggak, enggak kok..."

     Sambil berkata begitu, ia menusuk-nusuk Mont Blanc di piring dengan garpu.

     "Aku hanya berpikir, dessert pun bisa selezat hidangan utama."

     "...? Ya, aku juga berpikir begitu, tapi itu hanya sebuah perumpamaan..."

     Mungkinkah dari sudut pandang toko kue, perumpamaan tadi menyinggung? Tidak, kurasa Enomoto-san bukan tipe orang yang mudah tersinggung karena hal seperti itu....

     Aku tidak begitu mengerti maksudnya dan melanjutkan pembicaraan dengan Araki-sensei.

     "Kalau begitu, bagaimana penataan yang paling baik untuk hidangan utama... atau lebih tepatnya, produk utama yang paling ingin dijual?"

     "Tempat yang menonjol di depan. Tempat yang bisa terlihat dari mana saja. Tempat yang mudah dijangkau secara fisik untuk membeli. ...Itu juga tergantung pada jenis kotak yang disiapkan, jadi diskusikanlah dengan ruang yang ada."

     Konsultasi dengan ruang, ya.

     Kalau tidak salah, pameran solo Tenma-kun dan yang lain juga didesain agar aksesori ketiga orang itu bisa terlihat sekilas dari pintu masuk. Di atas itu, denah bangunannya dibuat agar penggemar Tenma-kun mudah berbelanja.

     Sambil mencatat saran Sensei, aku bergumam.

     "Karena selama ini aku tidak terlalu memikirkannya, banyak sekali yang harus kupelajari..."

     "Hahaha, aku kaget karena tidak pernah ditanya soal tata letak penjualan. Natsume-kun, suasana dirimu berubah sejak liburan musim panas. Ada apa?"

     "Ah, itu..."

     Tepat ketika aku hendak menceritakan tentang pameran solo di Tokyo, alarm ponsel seseorang berbunyi. Kalau tidak salah itu lagu Chage & Aska.

     Semua mata tertuju pada Araki-sensei.

     "Ah, sudah waktunya."

     Menghentikan alarm, Sensei berdiri.

     "Apa anak-anak sudah kembali?"

     "Tidak, ini untuk menyiram bunga."

     "Oh, begitu..."

     Karena hari ini kami sudah banyak menerima saran, kami pun memutuskan untuk membantu.

     Di belakang rumah, ada sebuah gubuk yang dulunya digunakan sebagai gudang. Araki-sensei telah mengubahnya menjadi semacam rumah kaca untuk budidaya bunga.

     Sinar matahari yang masuk dari jendela di langit-langit menerangi ruangan dengan lembut.

     Ada banyak rak bertingkat yang terpasang, berjejer rapi pot-pot bunga yang masih kuncup dan belum mekar. Aroma hijau tanaman dan tanah memenuhi ruangan.

     Himari sudah pernah melihatnya, tapi ini pasti pertama kalinya bagi Enomoto-san. Ia menatap pemandangan itu dengan penuh minat.

     "Hebat sekali..."

     "Aku membuat kloset di kamarku agar bisa menanam bunga, kan? Itu meniru tempat ini."

     "Oh, begitu ya. Memang mirip."

     Kami menarik selang dari keran dan mulai menyiram bunga satu per satu dengan hati-hati.

     Aku sendiri sudah lama tidak melihat-lihat di sini, tapi seperti biasa, banyak sekali varietas yang ditanam. Ada Christmas rose, pansy, cineraria... bahkan ada Japanese allspice dan camellia dari jenis semak rendah.

     Himari bergumam dengan nada kagum, "Wah..."

     "Kalau melihat tempat ini, Araki-sensei benar-benar seperti guru bunga ya."

     "Hahaha, karena sepertinya aku enggak akan jadi pro gamer, jadi terpaksa kulanjutkan saja."

     Araki-sensei, sulit membedakan itu lelucon atau serius....

     Saat aku masih mencoba memahami isi hati guruku, Enomoto-san yang sedang menyiram di seberang sana berseru.

     "Yuu-kun, ini besar sekali..."

     "Eh?"

     Aku berjalan ke arahnya.

     Aku terpukau oleh pot bunga besar yang diletakkan di sana. Batang-batang daunnya yang banyak menjulang seolah meraih langit. Tingginya mencapai dadaku, jadi mungkin tingginya lebih dari satu meter.

     Ini adalah tanaman yang indah, seolah air mancur memancar dan waktu berhenti begitu saja. Meskipun tidak ada bunga yang mekar, kehadirannya saja sudah memberikan kesan artistik yang kuat.

     "Wah, ini besar sekali..."

     "Yuu-kun, kamu tahu ini apa?"

     "Ini Gekka Bijin."

     Enomoto-san menoleh dengan ekspresi terkejut, "Eh!?"

     Dengan bangga, aku mulai menjelaskan seperti biasa, meskipun tidak ada yang bertanya.


     "Ditambah lagi, ini sudah dipelihara bertahun-tahun, dan tunas bunganya sudah terbentuk lho. Mungkin tingginya lebih dari satu meter sedikit? Kalau tumbuh lagi memang masih bisa lebih tinggi, tapi sampai sebesar ini saja sudah hebat... Hmm?"

     Aku memiringkan kepala, "Oh?" pada perkataanku sendiri.

     Ada yang mengganjal.

     Gekka Bijin. Gekka Bijin, ya. Gekka Bijin... —Tunggu!

     "Araki-sensei! Ada Gekka Bijin di sini, kan!?"

     Aku tanpa sengaja berseru keras.

     Araki-sensei menoleh dengan wajah polos, "Ah, itu?"

     "Kan yang ditanya cuma soal pemasok..."

     Ia menjawab dengan ekspresi yang sangat polos....

     Himari yang berada di sampingnya berkata dengan wajah tak percaya.

     "Araki-sensei memang begitu ya..."

     "Wanita cantik itu lebih baik sedikit misterius, kan."

     "Kurasa Sensei hanya ceroboh..."

     Aku hampir saja menyela, "Kamu ini, bukannya mengabaikan pernyataanmu sendiri tentang 'wanita cantik'?" Tapi setelah kupikir-pikir, Himari juga termasuk tipe itu. Sejak dulu aku merasa mereka berdua sangat akrab, ternyata sehati. Pantas saja.

     "Tapi, aku juga sudah lama enggak melihatnya..."

     Aku kembali memandangi Gekka Bijin itu.

     Cukup besar. Tidak, kehadirannya sangat luar biasa, lebih dari sekadar ukurannya yang besar.

     Mungkin ini yang disebut vitalitas. Meskipun bunganya belum mekar, aku rasa tidak ada bunga lain yang memiliki aura sekuat ini. Jika sebesar ini, pasti akan menghasilkan bunga yang sangat indah dan besar.

     Dadaku berdebar tanpa sadar.

     Betapa senangnya jika aku bisa mengubah Gekka Bijin yang mekar dari tanaman ini menjadi aksesori.

     Sampai di titik itu, aku tiba-tiba tersadar.

     "Ah, tapi tanaman sebesar ini, pasti Araki-sensei sangat menghargainya, kan? Aku terlalu terbawa suasana... Maaf, lupakan saja."

     Aku memukul kepalaku sendiri.

     Kenapa aku berpikir seolah-olah itu pasti akan diberikan kepadaku? Gekka Bijin sulit untuk dibudidayakan. Mau bagaimana lagi. Untuk Gekka Bijin yang akan digunakan di festival budaya, aku hanya bisa mencarinya di toko daring atau semacamnya....

     Saat itu, Araki-sensei berkata dengan santainya.

     "Tidak, ini milikmu, lho?"

     "...Hah?"

     Apakah aku salah dengar?

     Aku merasa baru saja mendengar bahwa bunga ini milikku. Haha, khas Araki-sensei. Lelucon yang buruk. Pasti begini rasanya saat seorang salaryman lajang tiba-tiba didatangi seorang gadis yang berkata, "Aku putrimu."

     Ketika aku memasang wajah aneh, Araki-sensei tertawa terbahak-bahak.

     "Kamu kan yang menanamnya di sini saat SMP. Setelah memetik bunganya untuk membuat aksesori festival budaya, karena mengganggu, aku memindahkannya ke sini... Eh? Jangan-jangan kamu lupa?"

     "............"

     Kenangan tiga tahun lalu berputar di benakku.

     ...Benar. Saat SMP, aku menyewa tempat di kelas merangkai bunga ini untuk menanam bunga. Saat itu, aku menanam pot misterius yang Araki-sensei dapatkan dari kenalannya, dan bunga Gekka Bijin ini mekar.

     Aku menjadikannya aksesori di festival budaya SMP, dan kemudian—

     Aku berlutut dengan lemas.

     "Aku lupa...!"

     "Hahaha, kamu ini pelupa sekali, ya."

     "Tapi setelah festival budaya SMP, Araki-sensei bilang 'sudah tidak ada'! Aku shock karena kupikir sudah dibuang!?"

     "Padahal maksudku 'sudah tidak ada di halaman', lho."

     "Bagian yang paling penting tidak tersampaikan...!"

     Himari berkata dengan nada terkejut, "Sensei memang begitu, ya..." Lalu Araki-sensei tertawa tanpa merasa bersalah.

     "Aku pikir kapan kamu akan mengambilnya, tapi karena tidak kunjung datang, sekalian saja aku menyiramnya. Tapi dia ini, tidak pernah mekar di depanku. Benar-benar kurang ajar, ya."

     Orang ini benar-benar tidak dewasa....

     Tapi, memang benar Araki-sensei yang telah merawatnya hingga sebesar ini.

     "Karena sudah dirawat sampai sejauh ini, kalau Sensei ingin menyimpannya..."

     Sensei menjawab dengan senyum cerah.

     "Akan sangat membantu kalau kamu cepat membawanya pulang karena mengganggu."

     "Sensei..."

     Setidaknya cara bicaranya....

     Apa pun itu, kami berhasil mendapatkan Gekka Bijin.

♣♣♣

     Senin.

     Saat jam makan siang di ruang sains, kami menyusun rencana untuk pameran penjualan aksesori. Himari membuat rencana di aplikasi ponselnya, sementara Enomoto-san mendengarkan sebagai penasihat.

     "Karena ini acara sekolah, aku ingin mendonasikan keuntungannya ke organisasi sukarela, seperti saat festival budaya SMP dulu. Sasaki-sensei juga bilang itu ide bagus."

     "Yah, itu sudah sewajarnya, ya... Eh? Kalau begitu, biaya bahan aksesori juga diambil dari anggaran klub hortikultura ini?"

     "Untuk saat ini, begitulah rencananya."

     "Hmm. Kalau begitu, apakah bisa menghasilkan penjualan yang signifikan?"

     "Kali ini, aku ingin mengikuti kebijakan yang enggak terlalu mementingkan total penjualan."

     "Kalau begitu, seperti saat SMP, kamu akan menetapkan tujuan lain?"

     Aku mengangguk.

     "Tujuan kita kali ini adalah... 'mendapatkan keuntungan dalam batasan anggaran'."

     Himari memiringkan kepalanya dengan heran, jadi aku memberikan penjelasan tambahan.

     "Saat SMP, tujuannya hanya 'menjual 100 aksesori', apa pun bentuknya. Kali ini, aku bertujuan untuk melakukan aktivitas penjualan yang lebih praktis, dengan mengasumsikan situasi nyata."

     "Jadi, maksudmu kita akan mensimulasikan pameran solo yang kamu lakukan di Tokyo?"

     Ketika kata "pameran solo di Tokyo" terlontar, aku merasa Enomoto-san melirikku sejenak... tapi mungkin hanya perasaanku saja. Dia sedang makan bekalnya sambil menonton video kucing di ponsel.

     "Benar. Aku ingin melakukan sendiri semua bagian yang sebelumnya aku serahkan pada Tenma-kun dan yang lainnya."

     Biaya bahan bunga dan komponen aksesori.

     Biaya sewa tempat penjualan di hari H.

     Kami akan menghitung semua itu dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

     Jika pada akhirnya kami mendapatkan lebih dari anggaran, semuanya akan disumbangkan. Namun, kali ini, bukan uangnya yang menjadi kekayaan kami, melainkan pengalamannya.

     "Pertama, kita akan menyusun rencana penjualan dan meminta Hibari-san atau Saku-neesan untuk meninjaunya. Kalau sudah disetujui, kita akan melanjutkan dengan itu untuk festival budaya."

     "Tapi, bukankah itu cukup sulit? Kurasa anggaran kali ini akan jauh lebih rendah daripada dana kegiatan 'you' yang biasa."

     "Justru karena itulah, ini layak dilakukan. Di masa depan, kita enggak selalu bisa memiliki dana yang melimpah. Aku rasa kita harus berlatih agar bisa untung dalam situasi apa pun."

     Tenma-kun dan yang lainnya di Tokyo juga beraktivitas dengan dana dari sponsor, Kureha-san.

     Mengikuti jejak itu, kali ini aku juga ingin mencoba beraktivitas dengan 'modal dari sponsor'.

     "Yuu, aku mengerti kebijakan pameran penjualanmu, tapi itu berarti jumlah aksesori yang akan disiapkan juga terbatas, kan? Kurasa enggak bisa lagi hanya menyiapkan seadanya seperti sebelumnya..."

     "Benar. Menurutku, strategi 'sejumlah kecil produk unggulan dengan harga tinggi' adalah yang paling tepat..."

     Anggaran yang terbatas berarti biaya bahan untuk setiap aksesori juga terbatas.

     Dalam hal ini, daripada memperbanyak jumlah dan terlihat murahan, lebih baik menjual sedikit dengan fokus pada kualitas tinggi agar bisa menghasilkan keuntungan pada akhirnya.

     "Aku setuju dengan itu, tapi berapa banyak yang akan kamu buat? Lalu, apakah hanya bunga Gekka Bijin?"

     "Itu juga tergantung apakah Gekka Bijin akan mekar sebelum batas waktu produksi. Tapi, kurasa sebaiknya jangan terlalu berharap bahwa Gekka Bijin saja bisa mencukupi semua aksesori."

     "Benar juga. Gekka Bijin itu katanya sangat moody, kadang mekar, kadang enggak, kadang hanya satu, kadang banyak sekali."

     Meskipun itu juga terasa sangat mirip dengan Enomoto-san... aku tidak akan pernah bisa mengatakannya.

     "Untuk saat ini, aku berencana menjadikan Gekka Bijin sebagai bintang utama, dengan bunga-bunga lain sebagai pelengkap."

     "Itu yang Araki-sensei bilang, tokoh utama dan pendukung, ya."

     "Akan jadi sia-sia kalau Gekka Bijin mendominasi dan yang lain enggak laku, jadi aku akan berusaha maksimal juga untuk aksesori lainnya. Tapi waktu terus berjalan, jadi sebaiknya kita pilih bunga yang mudah didapat dan sudah biasa kita olah, ya."

     "Oke. Kalau begitu, sampai Gekka Bijin mekar, kita kerjakan yang itu dulu, ya."

     Lalu aku menoleh ke arah Enomoto-san.

     "Enomoto-san, ada permintaan?"

     "Enggak ada."

     Sikap dingin...!

     Enomoto-san dengan gestur cueknya, memutar-mutar tomat ceri di dalam mulutnya. Tidak, aku sudah bersyukur dia mau mendengarkan seperti ini.

     Himari menopang dagunya dengan kedua tangan di meja, kakinya bergoyang-goyang sambil tersenyum.

     "Yuu, kamu benar-benar berubah sejak pulang dari Tokyo, ya. Seperti sudah maju selangkah? Baguslah kamu bisa ikut pameran tunggal itu."

     "...Benar."

     Karena ini acara sekolah.

     Jika hanya mengatakan itu, ya sudah. Karena ini acara sekolah, wajar jika biaya bahan dikecualikan. Tidak perlu memperhitungkan biaya sewa tempat penjualan. Karena ini adalah acara bagi murid untuk belajar tentang masyarakat.

     (...Tapi, pertumbuhanku tidak ada di sana.)

     Aku tidak melakukan penjualan ini untuk belajar tentang sistem masyarakat dan merasa puas, atau untuk menjadikan hal itu sebagai tujuan. Mengabaikan biaya bahan untuk memanipulasi keuntungan. Menganggap biaya sewa tempat tidak ada dan dengan bangga menyatakan untung.

     Mana mungkin aku bisa puas dengan main-main seperti itu dan berkembang.

     Di Tokyo, aku menyaksikan langsung bagaimana Tenma-kun dan Sanae-san berjuang di medan nyata.

     Selalu menghadapi evaluasi yang sangat ketat dari Kureha-san, terombang-ambing dalam badai negosiasi bisnis yang sesungguhnya, dan mengukir hasil untung atau rugi pada diri sendiri.

     Tenma-kun menghabiskan banyak waktu dan upaya untuk berpartisipasi dalam pertunjukan panggung dan melayani penggemar, sebagai cara untuk menyebarluaskan aksesori miliknya.

     Sanae-san selalu menempatkan dirinya dalam posisi yang tidak menguntungkan, menjual aksesori seolah seorang pendekar pedang yang bertahan hidup di medan perang.

     Apa yang membedakan aku dan mereka?

     Itu adalah ketegangan.

     Kesediaan untuk selalu berada di lingkungan yang mencekam seperti medan perang, dan terus mengasah bakat. Itulah yang tidak kami miliki.

     Himari berpromosi di Instagram sebagai model, dan aku mengasah teknikku. Gaya penjualan daring 'you' kami sudah sempurna, tetapi pada saat yang sama, kami menutup diri dari evolusi. Aku menyadari hal itu.

     Karena itulah, pertama-tama aku perlu mengetahui posisiku saat ini.

     Seberapa jauh aku tertinggal dari Tenma-kun dan yang lainnya? Untuk menentukannya, pameran penjualan aksesori festival budaya kali ini perlu disesuaikan dengan kenyataan sebisa mungkin.

     Anggaplah setiap kesempatan ini adalah satu-satunya.

     Saat itulah aku teringat sesuatu.

     "Ngomong-ngomong, Himari. Ada hal yang harus kuminta izin darimu mengenai pameran penjualan aksesori..."

     Saat itu, bel tanda berakhirnya jam istirahat sekolah berbunyi.

     Kami secara refleks terdiam. Seolah waktu di seluruh sekolah berhenti, hiruk pikuk jam istirahat mereda.

     Aku menatap speaker berdebu di bagian depan ruang sains. Kemudian, terdengar suara lugas dari Sasaki-sensei, guru matematika.

     "Natsume, kelas dua. Datanglah ke ruang guru."

     Hanya itu yang diumumkan, lalu siaran internal sekolah terputus.

     Hal itu berlalu begitu saja sebagai pemandangan sekolah yang biasa. Di luar ruang sains, suara percakapan para murid segera kembali terdengar.

     Namun, kami berbeda.

     Kami bertiga saling berpandangan, memiringkan kepala.

     "Ada apa, ya?"

     "Yuu, apa kamu melakukan sesuatu?"

     Menanggapi tatapan Himari dan Enomoto-san, aku menggeleng.

     "Enggak, aku rasa aku juga enggak lupa PR..."

     Untuk sementara, aku berdiri.

     Rapat penjualan aksesori dihentikan, dan ruang sains pun dikunci. Himari dan Enomoto-san berpamitan, mengatakan mereka akan bermain di klub musik tiup bersama.

     Aku sendirian menuju ruang guru.

♣♣♣

     Sesampainya di ruang guru, Sasaki-sensei sudah menunggu.

     "Sasaki-sensei, ada yang bisa saya bantu?"

     "...Ikut aku."

     Eh?

     Sasaki-sensei berjalan lebih dulu tanpa menatapku. Wajahnya gelap, dengan kerutan dalam di antara alisnya.

     Untuk sementara, aku mengikutinya tanpa berkata apa-apa.

     Kami tiba di ruang bimbingan. Aku didesak masuk tanpa sepatah kata pun.

     "Permisi—...?"

     Sudah ada orang di dalam.

     Wali kelasku, guru pembimbing klub hortikultura, dan... wakil kepala sekolah.

     (Ah, ini tidak baik.)

     Sebuah intuisi tiba-tiba muncul. Ini deja vu. Beberapa bulan yang lalu, ada situasi yang mirip seperti ini.

     Saat itu, uhm, apa ya?

     ...Benar. Saat ada keluhan dari orang tua mengenai aksesori custom yang kujual di sekolah. Beberapa murid bersaksi omong kosong bahwa aku memaksa mereka membeli, dan berakhir dengan kegaduhan penarikan barang.

     Tiba-tiba aku merasa kedinginan. Jantungku berdebar kencang.

     Pada Sasaki-sensei yang masuk setelahku, wakil kepala sekolah berkata, "Sasaki-kun."

     "Eh, saya yang harus menjelaskan?"

     Sasaki-sensei menggaruk kepalanya tanpa berusaha menyembunyikan ketidakpuasannya.

     "...Astaga, pekerjaan tidak menyenangkan selalu dilempar ke orang lain."

     Dengan kata-kata yang terlontar pelan, wakil kepala sekolah melotot.

     Sasaki-sensei mempersilakanku duduk di sofa, sementara ia sendiri duduk di seberangnya. Dia mengerang sambil memijat pangkal hidungnya.

     Lalu, dia menatap lurus ke mataku dan berkata. 

     "Natsume, terus terang saja. Mengenai rencana pameran penjualan aksesori bunga klub hortikultura di festival budaya kali ini, beberapa staf pengajar memberikan pendapat untuk membatalkannya."

     "............"

     Mengejutkan... kalau kubilang tidak, itu bohong. Tapi, daripada terkejut, perasaan putus asa karena harapan "semoga tidak terjadi" itu pupus lebih mendominasi. Entah mengapa, aku sudah punya firasat saat memasuki ruang bimbingan ini.

     Tapi, apa alasannya? Mengapa aku harus menerima perkataan seperti itu?

     "K-kenapa, Sensei?"

     "Kamu tidak tahu?"

     "Uhm, mungkin karena masalah yang dulu...?"

     Sasaki-sensei mengangguk.

     "Keributan keluhan dari orang tua tempo hari ternyata menjadi masalah yang lebih besar dari yang dibayangkan. Aku belum memberitahumu, tapi sebenarnya ada pembicaraan untuk mendorongmu keluar dari sekolah."

     "Apa!?"

     "Aspek 'berdagang di dalam lingkungan sekolah' ternyata meninggalkan kesan yang buruk. Hukuman itu berhasil aku tangani dan batal, tetapi para guru yang kala itu menjadi pusat perhatian, kini menyuarakan keberatan terhadap pameran penjualan di festival budaya kali ini."

     "Tapi, saya hanya menjual kepada klien yang sudah setuju! Saya sama sekali tidak melakukan pemaksaan..."

     "Bukankah sudah kubilang waktu itu? Apa ada bukti yang mendukung kesaksianmu itu?"

     "Ugh..."

     Tidak ada.

     Benar. Karena tidak ada bukti bahwa 'klien membeli atas kemauan sendiri', kami terpaksa pasrah.

     "...Lalu, bagaimana selanjutnya?"

     Sasaki-sensei menghela napas.

     "Keputusan akan diambil dalam rapat staf besok, tapi secara internal, arahnya adalah melarang pameran penjualan klub hortikultura."

     "T-tidak mungkin! Padahal kami tidak melakukan kesalahan apa pun..."

     "Ini bukan masalah itu. Karena kamu memiliki pandangan yang lebih dewasa daripada murid lain, akan kusampaikan... Di zaman sekarang, sekolah tidak bisa mengambil risiko dengan menyetujui proyek yang sudah diketahui akan memicu masalah."

     Pemicu masalah.

     Dengan kata lain, itu adalah kasus viral negatif. Sesuatu yang pernah terbakar, apinya akan selalu membara. Meskipun terlihat padam, jika disiram minyak, kobaran api akan bangkit lagi dengan ganas.

     Terlebih lagi, hal itu berpotensi menyebabkan kerusakan yang lebih besar. Atau bahkan, ada orang yang senang melihatnya, dan diam-diam mengincar kesempatan untuk sengaja membakarnya.

     Pihak sekolah, kata Sasaki-sensei, mengkhawatirkan hal itu.

     "Sasaki-sensei, bukankah Sensei membantu saya dengan konsultasi penjualan waktu itu? Jadi saya kira sudah dapat izin..."

     "Itu adalah kelalaianku. Maaf sudah membuatmu berharap. Dari sisiku, aku ingin melihat perjuanganmu...".

     Wakil kepala sekolah terbatuk keras seolah menghentikan perkataan itu, dan dengan kesal menyilangkan kakinya lagi.

     Sasaki-sensei mendecakkan lidah dan mengalihkan pandangannya dengan canggung.

     (Begitu. Wakil kepala sekolah adalah pemimpin oposisi, ya...)

     Sasaki-sensei memikirkanku.

     Namun, dia tetaplah 'orang sekolah'. Terlepas dari keinginan pribadinya, dia tidak bisa menentang keputusan itu.

     Aku pernah diselamatkan oleh Sensei saat masalah sebelumnya. Jika aku mengeluh di sini, jelas sekali posisi Sasaki-sensei akan memburuk.

     (...Tapi, aku tidak bisa menerima hal itu begitu saja.)

     Aku mengepalkan tangan.

     Dengan tenggorokan bergetar, aku berusaha keras menyatakan keinginanku.

     "Saya tidak mau. Saya ingin mengadakan pameran penjualan aksesori."

     Suasana membeku.

     Para guru tampaknya mengira aku akan menyerah. Wali kelasku dengan panik berusaha menenangkanku. Tapi, aku menolaknya.

     "Saya tidak melakukan kesalahan! Kalau tidak suka, jangan beli dari awal! Saya juga tidak melakukannya karena ingin menonjol, dan para orang tua seharusnya mengabaikannya saja! Saya sendiri tidak ingin orang yang tidak mengerti aktivitas saya membeli dari saya. Sungguh pengecut jika mereka asal membeli lalu menjadikan saya penjahat!"

     "............"

     Ekspresi para guru bermacam-macam.

     Wakil kepala sekolah menunjukkan ketidaksukaan yang jelas, wali kelasku tampak merepotkan, dan guru pembimbing klub terlihat panik.

     Sasaki-sensei melipat tangan dengan wajah serius.

     Di ruang bimbingan yang sunyi senyap itu, ia adalah yang pertama angkat bicara.

     "...Saya yang akan bicara. Bapak/Ibu Wakil Kepala Sekolah, silakan kembali ke ruang guru."

     Wakil kepala sekolah mendecakkan lidah.

     Para wali kelas juga tampak lega.

     "Kalau begitu, Sasaki-kun. Selanjutnya aku serahkan padamu, ya."

     Wakil kepala sekolah berdiri dan langsung pergi.

     Para wali kelas tampak ragu, tapi karena Sasaki-sensei berkata "Serahkan saja padaku," mereka pun ikut keluar.

     Setelah tinggal berdua dengan Sasaki-sensei, aku merasa sedikit lega.

     Dengan orang ini, aku tidak perlu terlalu sungkan. Aku menggigit bibir, lalu berkata dengan susah payah. 

     "Apa saya melakukan kesalahan? Waktu itu, saya sudah menjelaskan harga aksesori sebelumnya, dan saya juga menunjukkan desain jadinya. Tapi kenapa malah dikembalikan secara sepihak, dan lagi, kenapa hanya saya yang dijadikan penjahat?"

     "Yah, begitulah. Manusia itu cenderung melupakan hal-hal yang tidak menguntungkan bagi dirinya."

     Sasaki-sensei dengan canggung, seolah hendak mengeluarkan rokok dari saku dadanya... entah kenapa malah mengeluarkan permen. Permen Chupa Chups.

     Entah mengapa, satu batang permen itu diserahkan padaku.

     "Sejak mulai berhenti merokok, aku jadi anehnya mendambakan yang manis-manis. Kamu juga isaplah. Masukkan gula ke otak."

     "B-baiklah..."

     Aku mengikutinya dan memasukkan permen itu ke mulut.

     Dua pria dewasa mengemut Chupa Chups. Rasanya otakku terisi gula dan menjadi lebih tenang... atau setidaknya begitulah perasaanku.

     "Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah berusaha keras, tapi begitu mereka menyebut citra sekolah dan segala macamnya, aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa."

     "...Tidak. Saya sungguh berterima kasih pada Sensei."

     Itu tulus dari hati.

     Jika Sasaki-sensei tidak begitu peduli, situasiku mungkin akan lebih buruk. Aku tidak boleh melupakan itu. Sensei pun memiliki batasan dalam apa yang bisa dan tidak bisa ia lakukan.

     "...Maafkan saya tadi."

     "Tidak, aku benar-benar terkejut. Kamu ini, tadinya kukira kamu tipe herbivora, tapi ternyata kamu orang yang akan berusaha keras di sana?"

     "Saya sendiri, sedikit terkejut..."

     Saat keributan aksesori di bulan Juni pun, aku termasuk golongan moderat. Padahal aku sendiri yang bilang pada Himari, "Menghasilkan uang di sekolah itu salah,"... Atau lebih tepatnya, aku memang kesal waktu itu. Aku merasa sedikit lega dengan diriku sendiri.

     Sensei terlihat kewalahan, menggaruk kepalanya. Lalu, seolah ingin menyemangatiku, dia menepuk punggungku dengan ceria.

     "Yah, begitulah. Kesempatan pameran penjualan tidak hanya kali ini, kan. Memang disayangkan, tapi kamu bisa menunggu kesempatan berikutnya. Kamu pekerja keras, jadi pasti kali berikutnya akan berhasil..."

     "...!"

     Mendengar perkataan itu, aku tersulut emosi.

     Aku mengunyah permen yang sudah mengecil di mulut, lalu berbisik penuh dendam.

     "Kalau begitu, kapan kesempatan berikutnya...?"

     Tanpa sadar suaraku bergetar.

     Perkataan Sensei pasti tulus. Dan aku tahu betul ia mengatakannya tanpa niat buruk.

     Namun, kata-kata klise itu justru mengusik sarafku.

     "Kapan kesempatan berikutnya itu datang?!"

     "K-kapan berikutnya? Uhm..."

     Sasaki-sensei mengulang perkataanku dengan terkejut... lalu menatap mataku dengan ekspresi serius.

     "Natsume. Liburan musim panas kemarin, ada apa?"

     "............"

     Aku menceritakan tentang pameran solo di Tokyo.

     "Saat liburan musim panas, saya berkesempatan untuk bertemu dan berteman dengan sesama kreator aksesori. Meskipun seumuran dengan saya, mereka berdua sudah berjuang di medan yang jauh lebih praktis. Kami bersaing dalam catatan penjualan, dan seorang mentor yang tegas memberikan masukan yang tajam... Cara bicara saya ini mungkin tidak pantas untuk Himari yang sudah berjuang bersama saya, tapi saya jadi merasa apa yang kami lakukan selama ini hanyalah main-main saja..."

     Yang terbayang di mataku adalah—pameran solo di Tokyo, hari kedua.

     Setelah diantar oleh Enomoto-san, aku menghadapinya dengan niat untuk menjual habis semua aksesori. Aku percaya diri. Aksesori petunia yang berhasil kujual setelah 'mencuri' teknik Sanae-san sehari sebelumnya, memberiku semangat meski kami terpisah.

     Aku bisa naik level sebagai kreator.

     Aku bisa dianggap sebagai rekan sejajar oleh Tenma-kun dan yang lainnya.

     —Tapi, aku tidak berhasil menjual satu pun.

     Aku sudah berusaha sekuat tenaga.

     Berkali-kali aku menyapa pelanggan, sambil menundukkan kepala meminta saran pada Sanae-san. Namun, tidak ada yang menoleh padaku.

     Dan semuanya berakhir tanpa hasil.

     Yang benar-benar membuatku kesal bukanlah karena tidak laku terjual.

     Melainkan karena Tenma-kun dan yang lainnya terlalu baik.

     Setelah pameran, mereka mengundangku ke pesta perpisahan. Mereka memuji kerja kerasku. Mereka menyebutku "teman" meskipun aku tidak menjual satu pun.

     Namun, aku tidak bisa mengangguk dengan tulus. Dalam hatiku, kecurigaan bahwa Tenma-kun berkata begitu karena dia baik, dan Sanae-san berkata begitu karena dia dewasa, tidak hilang.

     Ikatan sejati hanya bisa terjalin di posisi yang setara.

     Itu adalah hal yang sering kali kami ulang, aku dan Himari, dalam beberapa bulan terakhir.

     Meskipun Tenma-kun dan yang lainnya tulus menganggapku sebagai teman, aku tidak merasa pantas bagi mereka.

     "Orang-orang yang menganggap saya teman itu terus melangkah maju, lalu kapan saya harus mulai berlari?! Di pedesaan ini, setiap kesempatan itu berharga! Ada banyak hal yang harus saya lakukan, banyak hal yang harus saya atasi, tapi sampai kapan saya harus melakukan pemanasan di sini?!"

     Kenapa kegiatan ekstrakurikuler boleh?

     Kenapa belajar boleh?

     Padahal mereka bilang indah untuk maju mencapai tujuan, tapi pengecualian berlaku bagi mereka yang keluar dari batasan yang sudah ditetapkan. Bukankah itu pengecut?

     Apakah sangat salah jika seorang murid SMA mencari modal?

     Untuk mengasah kemampuan sebagai kreator dibutuhkan uang. Biaya menanam bunga, peralatan, komponen aksesori, perlengkapan produksi... semua itu harus aku tanggung sendiri.

     Mencari uang saku untuk bermain dibolehkan, tapi kenapa aku tidak boleh mencari modal untuk mengasah kemampuan? Apakah aku tidak boleh mengejar impian jika tidak memiliki hubungan baik dengan orang tua dan tidak bisa mendapatkan uang dari mereka?

     Aku menarik ujung kemeja Sasaki-sensei, lalu tanpa sadar berteriak.

     "Apakah tujuan saya untuk menjadi kreator yang diakui semua orang itu adalah hal yang harus sebenci itu!?"

     "............"

     Sensei terdiam, memutar permen di dalam mulutnya.

     Aku tahu kata-kataku egois. Tapi aku tidak menyesal. Jika aku tidak percaya diri, siapa yang akan mengakui aksesori buatanku hebat?

     Sasaki-sensei akhirnya menghela napas panjang, lalu berkata dengan tenang.

     "Besok, aku akan memanggilmu lagi. Tunggu sampai saat itu."

     "T-tapi..."

     Aku terdiam, menggagap, karena tatapan tajam dan mengintimidasi dari Sasaki-sensei.

     Didorong oleh Sasaki-sensei, aku meninggalkan ruang bimbingan.

♣♣♣

     Keluar dari ruang bimbingan, aku berjalan menuju kelas.

     Aku bertanya-tanya apakah Himari sudah kembali. Saat memikirkannya, Himari berlari dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangan.

     "Yuu, pasti berat ya!"

     "Ah, Himari. Kamu dengar sesuatu?"

     "Aku dengar dari guru pembimbing! Pameran penjualan festival budaya dilarang?"

     "...Yah, begitu."

     Karena keributan pengembalian aksesori tempo hari, muncul keberatan dari staf pengajar. Keputusan akan diambil di rapat staf besok, tapi sepertinya sudah tidak ada harapan.

     Ketika aku menceritakan hal itu lagi, Himari memanyunkan bibirnya.

     "Mengungkit-ungkit hal yang sudah berlalu terus-menerus, enggak dewasa sekali, ya."

     "Yah, perkataan pihak sekolah, bisa dimengerti sih..."

     Aku bisa memahaminya, tapi aku tidak bisa menerimanya.

     Meskipun menekan keinginan minoritas demi mayoritas adalah hal yang lumrah, orang yang terpaksa menjadi minoritas tentu tidak akan merasa senang. Syukurlah. Aku merasa lega. Ternyata Himari juga berpendapat sama.

     Saat aku merasa lega seperti itu, hal tak terduga terjadi.

     Himari, sambil mengayun-ayunkan tempat bekalnya yang kosong, berkata dengan santai. 

     "Yah, kalau gagal, mari kita nikmati saja festival budaya ini seperti biasa. Lagipula pameran penjualan enggak hanya kali ini aja, kan?"

     "............Eh?"

     Perkataan itu sama persis dengan perkataan Sasaki-sensei tadi.

     Ketika aku bertanya lagi, Himari memiringkan kepalanya.

     "Yuu, ada apa?"

     "Ah, enggak... Aku enggak menyangka kamu akan berkata seperti itu."

     "Hahaha, justru kamu pikir aku akan bilang apa?"

     Himari menepuk-nepuk punggungku.

     Saat itulah aku akhirnya menyadari. Ah, dia mencoba menyemangatiku. Sama seperti Sasaki-sensei tadi, dia hanya bersikap ceria.

     Himari pun pasti tidak bisa menerima pembatalan pameran penjualan. Tapi dia tidak boleh ikut marah, dia harus tetap tenang, mungkin begitu.

     "Bagaimana kalau kita coba adakan pameran penjualan? Bukan sebagai klub hortikultura, tapi, seperti, di belakang gedung olahraga, atau..."

     "Apa-apaan itu nada seperti penjual obat terlarang!? Enggak boleh begitu!?"

     "Banyak tamu penting yang akan datang ke festival budaya, ini adalah kesempatan untuk mendapatkan pengalaman berjualan..."

     "Tapi enggak boleh melakukannya sembarangan. Kalau melakukan sesuatu seenaknya di lingkungan sekolah, nanti bisa dikeluarkan, lho!"

     Aku jadi sedikit kesal mendengar perkataan yang benar itu.

     "Kalau begitu, biarlah! Kalau dilarang menjual aksesori selama masih sekolah, lebih baik sekalian aja berhenti..."

     "Y-Yuu? Tenang sedikit, ya?"

     Himari berjalan ke depanku, lalu menjepit pipiku dengan kedua tangannya.

     Dengan mulut yang mengerucut seperti bebek, aku menatap lurus ke wajahnya. ...Saat itulah aku akhirnya menyadari.

     (Ah, Himari. Jangan-jangan dia serius...?)

     Bukan untuk menyemangatiku, tapi dia memang tidak setuju dengan apa yang kuucapkan.

     Hal itu tiba-tiba memberati dadaku. Aku mendadak takut dilihat oleh Himari. Himari di depanku, entah mengapa, terlihat seperti orang asing.

     Himari berkata dengan wajah serius. 

     "Hei, Yuu? Coba pikirkan baik-baik? Memang mengejutkan penjualan di festival budaya dilarang, tapi bukan berarti kamu harus putus asa, kan?"

     "P-putus asa? Aku enggak bermaksud begitu..."

     "Kamu jadi begitu. Yuu, kamu enggak sadar kalau kamu mengucapkan hal-hal aneh?"

     "Itu enggak aneh! Aku harus mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin untuk menjadi kreator yang diakui semua orang!"

     "Tentu saja itu penting! Tapi, bukan berarti kamu boleh seenaknya dengan alasan mulia itu. Apalagi sampai keluar sekolah, itu namanya melarikan diri!"

     Satu kalimat itu, menusuk tepat di dadaku.

     Tidak, hal seperti itu sudah sering sekali Saku-neesan katakan padaku. Ada orang yang bisa mencapai mimpinya, ada juga yang gagal dalam hidup. Bahkan, yang terakhir justru lebih banyak.

     Yang merepotkan adalah, tidak seperti game, hidup akan terus berlanjut setelah kegagalan. Setelah gagal, untuk bisa terus hidup, diperlukan rencana cadangan. Himari dan Hibari-san juga memahami itu, makanya mereka menyarankanku untuk melanjutkan sekolah.

     (Tapi, aku sekarang sangat ingin mengejar mimpiku...)

     Selama ini, aku berjalan tanpa arah, hanya memimpikan ideal samar-samar 'memiliki toko sendiri'.

     Berjalan di jalan yang gelap gulita, hanya dengan kehangatan tangan Himari sebagai penopang, di jalan yang tidak diketahui ujungnya.

     Aku bisa merasa puas meskipun begitu, karena tidak ada orang lain di jalan itu.

     Tapi itu adalah kesalahpahaman.

     Orang-orang yang berjalan di jalan yang sama dengan kami memang ada, hanya saja aku tidak mau melihatnya.

     Dan entah takdir atau apa—aku bertemu dengan Tenma-kun dan Sanae-san.

     Mereka berjalan di jalan yang gelap gulita ini, sambil menerangi jalan mereka sendiri.

     Di Tokyo, aku menerima cahaya itu dari Tenma-kun dan yang lainnya.

     Jalan yang gelap gulita itu tersinari, dan aku merasa tiba-tiba melihat arah yang seharusnya kutuju.

     Di ujung jalan itu, terlihat punggung Tenma-kun dan yang lainnya yang terus melangkah.

     Namun, cahaya yang kumiliki rapuh dan lemah, sekecil korek api yang menyala di malam Natal.

     Aku harus entah bagaimana mengejar mereka sebelum padam.

     Jika tidak mulai berlari sekarang, aku tidak akan sempat.

     Hanya perasaan tergesa-gesa itulah yang memenuhi dadaku.

     ...padahal ada begitu banyak, tapi yang lain seolah menahan langkahku, itu sangat menjengkelkan.

     Ketika aku terdiam, Himari menegaskan perkataannya.

     "Apa tujuan Yuu? Kamu sudah bilang padaku sebelumnya, kan? Kamu ingin menjadi kreator yang dibutuhkan semua orang. Itu bukan bohong, kan?"

     "Mana mungkin bohong. Justru karena itu, aku ingin mengumpulkan pengalaman di pameran penjualan festival budaya."

     "Tapi itu tujuan akhirmu, kan? Apakah tujuan mengadakan pameran penjualan di festival budaya yang ada di depan mata ini benar-benar mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan itu?"

     "P-perlu, dong. Kenapa kamu berkata begitu...?"

     Himari tersenyum cerah dan menggenggam tanganku.

     "Hei, Yuu? Kamu ingat apa yang kukatakan sebelumnya? Tentang aku yang berpikir untuk kuliah di luar prefektur?"

     "...Ya, aku ingat."

     Himari mengatakan dia ingin belajar lebih serius demi aktivitas kami. Aku terkejut, tapi... aku berpikir, jika itu keputusan Himari, tidak apa-apa.

     Namun, Himari mengatakan sesuatu yang lebih mengejutkan.

     "Bagaimana kalau Yuu juga, untuk sementara waktu, fokus belajar tentang manajemen bersama?"

     "...Eh?"

     Ketika aku bertanya balik, dia dengan panik menambahkan penjelasan. 

     "Tentu saja, kita akan tetap beraktivitas seperti biasa. Tapi untuk aksesori, kita ambil sikap 'mempertahankan', ya. Kurasa penting untuk memperkuat fondasi terlebih dahulu."

     "K-kenapa tiba-tiba?"

     Himari menjawab dengan ekspresi bangga.

     "Waktu liburan musim panas, saat aku bekerja paruh waktu di toko Enocchi, aku banyak mendengar cerita dari Mama Enocchi. Tentang bagaimana dia bisa punya toko itu, dan berbagai saran untuk itu. Di antara semua itu, ada cerita yang benar-benar membuatku sangat paham..."

     "Y-ya..."

     "Mama Enocchi, katanya setelah lulus kuliah, bekerja di department store. Kamu tahu, yang sekarang jadi supermarket besar, tapi katanya ada sebelum kita lahir? Wah, enggak kuduga... atau mungkin enggak juga? Pokoknya, kalau punya gelar karyawan tetap, akan menguntungkan saat ingin membuka toko dan mengajukan pinjaman dari bank..."

     Kemudian, dengan senyum tulus tanpa pamrih, dia berkata. 

     "Kalau mimpimu gagal, enggak masalah sama sekali, kan? Kita bisa mencari pekerjaan lain, lalu di hari libur bisa berkencan dengan akur? Mungkin akan sulit mengurus Onii-chan, tapi pasti kita bisa akur, kan?"

     Lalu, entah apa yang dipikirkannya, dia tersentak dan tiba-tiba pipinya merona.

     Sambil melilitkan jari-jarinya di kedua tangan, dia berkata dengan sangat malu-malu, "Eh~, bagaimana, ya? Bilang aja, deh~?", lalu menatap wajahku dengan pandangan ke atas.

     "Asalkan hidup kita sudah mapan, aku juga bisa dengan tenang bilang, 'Belum 30 tahun sih, tapi aku mau jadi istrimu?'"

     "............"

     Himari berseru gembira, "Kyaa, aku mengatakannya! ☆"

     Namun, aku tidak bisa langsung membalasnya.

     Perkataan itu, terasa menjijikkan.

     Ketika mimpiku gagal?

     Maksudmu, jika aku tidak bisa menjadi kreator seperti Tenma-kun dan yang lainnya?

     ...Himari, apa kamu serius mengatakan itu?

     Tanpa kusadari, aku telah menjauh satu langkah dari Himari.

     "Enggak, apa yang kamu katakan...?"

     "Eh?"

     Kali ini Himari yang terkejut, lalu tersadar.

     Dan seolah mengingat perkataannya sendiri, wajahnya memerah padam hingga seolah mengeluarkan uap, lalu ia panik.

     "Ah, benar, kan? Padahal kita baru pacaran kurang dari sebulan, terlalu cepat ya? Hahaha, maaf ya~. Aku memang punya sisi seperti itu~! Yang tadi enggak jadi! Enggak jadi, ya!"

     Himari yang tadi berusaha mengalihkan pembicaraan dengan tawa kikuk tiba-tiba berhenti dan bergumam, “Eh?” seakan baru menyadari sesuatu.

     Ketika dia menyadari adanya perbedaan suasana di antara kami, dia bertanya balik dengan ragu-ragu.

     "Y-Yuu? Kenapa kamu marah?"

     Aku sedikit ragu... tapi memutuskan untuk mengatakannya. Tidak, aku tidak setenang itu. Saat mencoba menahan diri, kata-kata itu sudah terucap.

     "Enggak, aku juga berharap bisa begitu, sih. Tapi hal-hal seperti itu, bukankah seharusnya setelah kita mewujudkan impian kita dulu?"

     "............"

     Mendengar perkataan itu, kali ini Himari menyadarinya.

     Dia menarik-narik lengan seragamku, lalu mendekatiku.

     "Kalau begitu, Yuu mengejar impian untuk apa?"

     "Eh...?"

     Mata itu tampak putus asa.

     Dia mati-matian berusaha agar tidak kehilangan sesuatu yang terasa begitu fundamental dan salah arah. Suasana rencana hidup serbamerah muda dan bahagia tadi lenyap, digantikan dengan desakan padaku.

     "Untuk apa? Hei, katakan padaku!"

     "Untuk apa, maksudmu..."

     "Bukanlah untuk bahagia bersamaku? Bukankah karena itu, saat bulan Mei dulu, kamu bilang akan mengikutiku meskipun harus membuang mimpimu...?"

     "I-itu..."

     Eh?

     Mendengar perkataan itu, aku tiba-tiba teringat. Benar, waktu bulan Mei itu—saat Himari bilang akan pergi ke agensi hiburan, dan aku memutuskan untuk mengikutinya.

     Aku memang memilih Himari daripada aksesori.

     Perasaan itu tidak berubah.

     Makanya, meskipun aku mengabaikan perasaan Enomoto-san, aku tetap memilih Himari.

     Tapi sekarang, aku—

     "Yuu, ada apa denganmu?"

     "............"

     Suara Himari yang bergetar mencengkeram dadaku.

     Tiba-tiba sesuatu terasa menakutkan. Apa itu? Aku tidak begitu mengerti, tapi rasanya seperti aku bukan diriku sendiri.

     "...Maaf. Biarkan aku sendiri sebentar."

     Aku melepaskan genggaman tangan Himari.

     Dan di tengah bunyi bel tanda berakhirnya jam istirahat, aku berlari ke arah yang berlawanan dari kelas.

♣♣♣

     Keesokan harinya. Saat pelajaran Bahasa Jepang Klasik.

     Sensei kakek-kakek menghentikan gerakan tangannya di papan tulis dan bertanya. 

     "Kalian berdua, ada apa hari ini~?"

     Tatapannya tertuju padaku dan Himari. Kami saling berpandangan tanpa suara... lalu entah mengapa mengalihkan pandangan.

     "Tidak ada..."

     "Bukan apa-apa kok..."

     Sensei kakek-kakek memiringkan kepalanya.

     "Kalian. Terlalu akrab memang tidak baik, tapi terlalu pendiam juga mencurigakan, ya~."

     "M-maafkan kami..."

     Kenapa kami ditegur hanya karena mengikuti pelajaran dengan tenang? Sungguh tidak masuk akal....

     Gadis-gadis di sana berisik sekali, "Sudah putus?", "Gawat, ya?", "Sahabat baik (candaan) pun enggak bisa mengalahkan iblis musim panas~"... Saat pelajaran semua diam, jadi ini bukan tempat untuk berbisik-bisik, kan! Serius, tolonglah!

     Aku melirik Himari.

     Dia juga menatapku pada saat yang bersamaan, lalu kami berdua serentak mengalihkan pandangan.

     Tidak, kami tidak putus kok....

     Hanya saja, bagaimana ya, seperti perbedaan selera musik? Begitulah?

     Meskipun aku membuka ponselku, tidak ada pesan dari Himari.

     Aku melirik Himari lagi.

     Lagi-lagi mataku bertemu dengan Himari, dan aku buru-buru mengalihkan pandangan.

     (Meminta maaf juga bukan itu intinya, tidak, memang aku juga mungkin tiba-tiba mengaktifkan tombol aneh...)

     Jika sudah tenang, perkataan Himari juga tidak sepenuhnya salah... atau tidak juga.

     Memang benar lebih sedikit impian yang terwujud, dan aku mengerti pentingnya memiliki rencana cadangan.

     Tapi, bukankah itu hanya idealisme?

     Untuk mewujudkan impian, dibutuhkan waktu. Aku bukan jenius, dan selama ini aku selalu menjadi lebih baik seiring dengan usaha yang kulakukan. Hasilnya, dalam hal teknis, aku bisa diakui bahkan oleh Tenma-kun dan yang lainnya.

     Apakah fokus belajar bersama Himari hingga kami masuk universitas—dalam jangka waktu tertentu—benar-benar akan membuatku bahagia?

     Meskipun aku bisa menjalani hidup bahagia dengan Himari, apakah aku akan puas dengan itu?

     (...Mana bisa tahu kalau belum dicoba.)

     Andai saja hidup punya cadangan.

     Seperti, mencoba mengikuti perkataan Himari sekali... dan jika gagal, aku bisa mengulanginya lagi.

     Saat itu, bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi.

     "Baiklah, mari kita akhiri sampai di sini saja hari ini~."

     Kata-kata guru kakek-kakek itu menandakan jam makan siang telah tiba.

     Himari... ah, dia sudah tidak ada. Kecepatan kaburnya saat suasana canggung memang luar biasa, ya. Aku bisa membayangkan itu pasti hasil latihan dari hidup bersama Hibari-san....

     Apa yang harus kulakukan?

     Tidak, tidak perlu dipikirkan lagi. Langsung saja ke ruang sains. Lagipula, makan siang di tengah tatapan tajam teman-teman sekelas ini tidak mungkin. Mungkin ini yang dimaksud dengan duduk di atas duri....

     Saat aku memikirkannya, siaran internal sekolah berbunyi.

     "Kelas dua, Natsume. Ke ruang bimbingan."

     ...Sasaki-sensei, seperti biasa, begitu dingin.

     Di tengah keramaian jam makan siang begini, pasti ada murid yang tidak dengar. Yah, untungnya aku dengar.

     Aku keluar dari kelas dan menuju ruang bimbingan.

     ...Ini mungkin pemberitahuan hasil rapat staf, ya. Sungguh membuatku berat hati dan perutku melilit.

     Berjalan sendiri menuju vonis mati, hukuman macam apa ini? Apakah Jepang benar-benar menjunjung tinggi moralitas?

     Dengan pikiran-pikiran tidak penting yang terus bermunculan, aku tiba dan langsung masuk.

     "Permisi..."

     Ups, aku terkejut saat masuk.

     Bukan hanya Sasaki-sensei, Wakil Kepala Sekolah juga ada. Kerutan di antara alisnya parah sekali, dan dia terlihat lebih muram dari kemarin.

     Sasaki-sensei mempersilakanku duduk di sofa.

     "Oh, Natsume. Duduklah."

     "B-baik..."

     Ada apa? Kenapa Wakil Kepala Sekolah juga ada?

     Hanya vonis mati, Sasaki-sensei saja sudah cukup... Ah, jangan-jangan dia datang untuk melihatku menangis? Bukankah itu terlalu jahat?

     Aku duduk dengan perasaan muak, lalu Sasaki-sensei mulai berbicara dengan nada berat.

     "Seperti yang kubilang kemarin, di rapat pagi para staf pengajar, masalah partisipasi klub hortikultura di festival budaya sudah dibahas."

     "B-baik..."

     "Setelah memikirkannya semalaman, bagaimana pendapatmu, Natsume?"

     "............"

     Ditanya lagi, aku mengepalkan tangan.

     Aku teringat perkataan Himawari kemarin. Apa gunanya menghadapi tatapan tajam para guru di sini? Bagi Himari dan yang lainnya, tidak ada gunanya menghancurkan masa SMA hanya karena berpegang teguh pada 'satu kali' kesempatan.

     Tapi, meskipun begitu, aku tetap ingin...

     "...Saya ingin mengadakan pameran penjualan aksesori."

     Wakil kepala sekolah mendecakkan lidah.

     Tidak, memang aku yang salah, tapi bukankah ini terlalu terang-terangan? Orang ini memang terlihat tegas, tapi hari ini dia lebih menakutkan dari biasanya. Apakah pantas melakukan itu di depan murid?

     Saat aku gemetar hebat... eh?

     Entah mengapa Sasaki-sensei tersenyum tipis. Tatapannya terasa lembut.

     "Natsume, apa kamu sudah merenungkan kejadian keributan tempo hari?"

     "...Ya. Menjual kepada murid, itu adalah kelalaian saya."

     "Kalau begitu, kenapa kamu ingin melakukannya lagi? Kamu sudah berjanji padaku tidak akan berjualan di lingkungan sekolah, kan?"

     "Ya. Jadi kali ini, bukan untuk keuntungan pribadi saya. Saya akan melakukannya dalam batas anggaran klub, dan keuntungannya akan disumbangkan kepada organisasi sukarela. Situasinya seharusnya berbeda dari yang sebelumnya."

     Aku menatap lurus ke arah para guru.

     "Saya akan berpartisipasi dalam pameran penjualan ini dengan tujuan mengumpulkan pengalaman sebagai seorang kreator aksesori yang diakui banyak orang di masa depan. Mengingat lokasi ini, mendapatkan kesempatan berinteraksi langsung dengan banyak pelanggan adalah hal yang berharga. Oleh karena itu, mohon izinkan saya mengadakan pameran penjualan ini. Mohon sekali!"

     "............"

     Sasaki-sensei terdiam sejenak, lalu melirik Wakil Kepala Sekolah.

     "...Begitulah. Natsume ternyata keras kepala, ya."

     "...Apa yang kamu banggakan itu. Sungguh, itu mengingatkanku pada masa studimu."

     Wakil Kepala Sekolah menghela napas. Lalu berkata kepada Sasaki-sensei, "Baiklah. Kamu yang bertanggung jawab."

     Ada apa? Saat aku berpikir begitu, Sasaki-sensei menepuk lututnya.

     "Natsume. Aku sudah menduga kamu akan berkata begitu!"

     "B-baik... eh?"

     "Aku mengerti niatmu. Dan aku melihat niatmu untuk mengambil tindakan pencegahan. Namun, tetap saja ada kemungkinan muncul masalah lain. Kamu mengerti, kan?"

     "B-baik. Itu..."

     "Apa kamu punya solusi untuk itu?"

     "Eh? Ah, tidak..."

     Ketika aku kehabisan kata-kata, Sasaki-sensei mendesak, "Jawab cepat." Meskipun dia dalam posisi menyalahkanku, entah kenapa Sasaki-sensei tampak senang.

     "M-maaf. Saya tidak bisa memikirkannya."

     "Ugh! Kalau begitu, pihak sekolah mana bisa setuju!"

     "B-begitu, ya. Kalau begitu, pameran penjualannya..."

     Ternyata tetap tidak bisa.

     Saat aku mulai pasrah, Sasaki-sensei tertawa.

     "Nah, di sinilah aku akan memberikan solusi untuk itu. Dengarkan baik-baik."

     "Eh..."

     Aku memikirkan makna perkataan itu sejenak... lalu condongkan tubuhku ke meja.

     "Apa saya boleh mengadakan pameran penjualan?!"

     "Aduh, aduh. Dengarkan sampai selesai. Itu pun kalau kamu bisa memenuhi syarat dari pihak sekolah."

     "M-maafkan saya!"

     Aku buru-buru duduk kembali dengan tegap.

     Tenang. Ini belum berarti disetujui. Syarat macam apa yang akan mereka berikan... Oh, Wakil Kepala Sekolah terlihat malas sambil mengorek telinganya dengan jari kelingking.

     Sasaki-sensei bertanya kepadaku.

     "Apa penyebab utama keributan sebelumnya?"

     "Eh? Itu, umm... menjual aksesori di dalam lingkungan sekolah?"

     "Itu salah satunya, tapi kalau diibaratkan api dan minyak, itu adalah apinya. Itu hanya sumber api, dan ada faktor lain yang menyebabkan api menyebar luas. Penyebab fundamental mengapa keributan itu menjadi masalah besar... menurutku adalah harga aksesori."

     "...Ah!"

     Benar.

     Waktu itu, para wali murid yang tahu kalau aksesori buatanku yang dibeli harganya jauh lebih mahal daripada barang jadi di pasaran… sempat terkejut.

     "Jadi, Natsume, aku ingin kamu mengatasi masalah ini. Dengan begitu, jika ada keluhan lagi dari orang tua kepada pihak sekolah, kami bisa menjawab, 'Kami sudah berupaya memperbaikinya'."

     "B-begitu, ya. Tapi, itu kan akal-akalan..."

     "Kamu tidak ingin mengadakan pameran penjualan?"

     "Saya ingin sekali!"

     Aku hampir saja keceplosan. ...Ini pasti efek buruk dari berpacaran dengan Himari.

     "Lalu, syaratnya adalah...?"

     Aku menelan ludah.

     Sasaki-sensei menunjukkan telapak tangan kirinya yang terbuka. "Ada apa? Janken?" Saat aku bingung, Sasaki-sensei tersenyum tipis.

     "Aksesori, maksimal lima ratus yen per buah. Kalau kamu bisa menyerahkan rencana penjualan itu, pameran penjualan aksesori di festival budaya kali ini akan diizinkan."

     "...!?"

     Mataku terbelalak. 

     Aksesori, maksimal lima ratus yen per buah.

     Kata-kata itu memiliki makna....

     "Wakil Kepala Sekolah, apakah ini sudah cukup?"

     "...Baiklah. Yah, kalau bisa sih, ya."

     Mengangguk pada perkataan Sasaki-sensei, Wakil Kepala Sekolah berdiri.

     Melirikku, ia berkata, "Murid dengan ambisi terlalu tinggi juga sulit dihadapi," lalu pergi meninggalkan ruang bimbingan.

     Setelah Wakil Kepala Sekolah pergi, aku merosot di sofa. Ketegangan tiba-tiba sirna, dan pada saat yang sama, rasa putus asa yang luar biasa melandaku.

     Aku mengulangi syarat yang baru saja diucapkan Sasaki-sensei.

     "Aksesori, maksimal lima ratus yen per buah..."

     Sasaki-sensei mengeluarkan Chupa Chups dari saku dadanya dan tertawa renyah.

     "Sulit, ya?"

     "...Sangat mustahil."

     Aksesori bunga, dengan harga satuan lima ratus yen.

     Itu berarti harga jualnya akan menjadi seperempat, atau bahkan kurang dari sepersepuluh dari harga jual "you" biasanya.

     Jika harganya dipatok begitu rendah, bahkan sebelum bicara soal sumbangan ke organisasi sukarela, sangat diragukan apakah biaya bahan bisa tertutupi. Semakin banyak terjual, semakin besar kerugiannya.

     Sasaki-sensei tertawa.

     "Lagipula, harga barang di stan festival budaya biasanya segini, kan?"

     "Ugh..."

     Itu benar.

     Bahkan di festival budaya SMP dulu, kami menjual dengan kisaran harga ini. Meski begitu, sering kali ditolak karena dianggap mahal. Meskipun ada perbedaan dengan makanan, perkataan Sasaki-sensei memang masuk akal.

     "Dan kamu ingin mengumpulkan pengalaman, kan? Kalau ini saja tidak bisa kamu lewati, di masa depan kamu hanya akan menghadapi kasus-kasus yang lebih sulit."

     "...Itu, benar juga."

     Aku berubah pikiran.

     Kesempatan sudah datang, kenapa harus jadi pesimis begini?

     "Saya akan segera membuat rencana penjualannya."

     "Oh!"

     Sasaki-sensei menepuk pundakku dengan keras. Aku tahu ia sedang menyemangatiku, tapi rasanya sakit sekali....

     Begitulah, aku berhasil mempertahankan posisiku dengan susah payah.

 

♢♢♢

PoV 

Inuzuka Himari

     Aku tidak peduli dengan Yuu! Behh!

     Jam makan siang. Aku asyik makan siang di kelas Enocchi.

     Topik hari ini adalah... tentu saja, ketidaksetiaan Yuu!

     "Lagipula, parah banget, kan!? Padahal aku sudah mikirin Yuu sebegitunya, tapi dia malah ngambek dan enggak mau bicara padaku sejak kemarin!"

     "Ih, Natsume-shi, parah banget."

     "Apakah itu berarti wanita enggak boleh ikut campur urusan pekerjaan? Aku jadi ilfeel."

     Gadis berkacamata dan gadis berambut kepang, teman-teman Enocchi, setuju denganku.

     Wah, memang beda ya gadis-gadis yang bisa diajak bicara ini. Keduanya cantik, jangan-jangan di sinilah surgaku. Rasanya hatiku yang hancur ini terbasuh bersih.

     (Ah, tapi ini, seperti istri muda yang mengeluh habis-habisan di arisan istri-istri saat suaminya bekerja. Mungkin bagus juga♡)

     Saat aku asyik dalam kesenangan, Enocchi yang memangku aku berkata dengan nada jijik.

     "…Hi-chan. Minggir."

     "Enggak mau."

     "Minggir."

     "Kalau sudah merasakan sentuhan paha yang halus dan lembut ini… jadi ketagihan♡"

     "............"

     Ketika aku terlalu bersemangat dan menggesek-gesekkan pipiku di paha Enocchi, kepalaku digenggam erat.

     "Mogyaaahh...!?"

     "Hari ini kamu akan kulenyapkan...!"

     Teman-teman Enocchi menganalisis dengan tenang, "Inuzuka-san enggak pernah kapok, ya," "Bukannya dia memang sengaja mencari gara-gara supaya dihukum?"

     Aku yang diturunkan secara paksa dari pangkuannya, protes dengan cemberut.

     "Enocchi juga senang kok!"

     "............"

     Enocchi tanpa suara menggerakkan tangan kanannya seperti mencakar, jadi aku diam. Dua kali memang terlalu berat. Bahkan bisa mengancam nyawa.

     "...Hmm?"

     Ponselku bergetar.

     Ah, pesan dari Yuu! Hehehe. Jangan-jangan dia akhirnya mau minta maaf padaku. Bagaimanapun juga, dia terlalu suka padaku... Eh?

     "Hi-chan, ada apa?"

     "............"

     Aku membaca pesan itu dan menghela napas pelan. Sambil menyandar pada Enocchi, aku menggerutu.

     "...Yuu. Padahal dia bilang akan memprioritaskan aku selama SMA."

     Di sana tertulis dua hal: persetujuan bersyarat dari Sasaki-sensei untuk pameran penjualan aksesori, dan bahwa dia akan fokus pada aksesori untuk sementara waktu demi menyusun rencana.

     "Penyakit aksesori Yuu-kun kan sudah biasa."

     "Aaaah!? Enocchi, kesal deh komentar sok tahu begitu!"

     "Memang benar, kok."

     Sambil berkata begitu, dia memasukkan tomat ceri dari bekalnya ke mulut dengan wajah cuek. ...Anak ini selalu ada tomat ceri di bekalnya, ya. Jangan-jangan payudaranya yang sebesar megaton ini berkat tomat? Apakah likopen itu penting? Apakah darah yang lancar bisa mengembangkan payudara?

     Saat aku memutar otak memikirkan misteri kehidupan, Enocchi berkata. 

     "Ngomong-ngomong, Hii-chan, kamu suka Yuu-kun di bagian apanya?"

     "Eh..."

     Aku meletakkan tangan di pipi dan berpose layaknya gadis cantik yang malu-malu, "Kyaa! ☆".

     "Tentu saja wajahnya, dong~? Lalu dia baik hati~? Yah, ada kebiasaan buruknya yang sedikit kelewatan sih~? Tapi manusia penuh kekurangan, jadi enggak masalah, kan~? Lalu bagian lengan atasnya, tanpa diduga kekar dan membuatku berpikir dia benar-benar lelaki, lho~? Ah! Lalu belakangan ini, aku juga merasakan erotisme pada tulang selangka yang tak terlindungi..."

     "Jangan bercanda begitu."

     Dibilang bercanda dan langsung diabaikan!?

     Aku protes dengan keras. 

     "Enocchi, jahat sekali! Padahal kamu juga menyukai Yuu!"

     "Aku sudah jadi temannya, kok."

     Dia memalingkan wajah dengan cuek.

     Reaksi dingin seperti ini... Jangan-jangan dia benar-benar sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi terhadap Yuu? Aku kira dia masih menyimpan perasaan... Hmm?

     "...Hei, Enocchi. Apa yang terjadi antara kamu dan Yuu di Tokyo?"

     Aku menyelidikinya pelan-pelan.

     Kedua teman Enocchi tersentak dan menahan napas. ...Ah, gawat. Sepertinya suasana yang keluar lebih serius dari dugaanku.

     Namun, Enocchi sendiri menjawab dengan sangat tenang.

     "Enggak ada. Aku hanya berpikir, orang yang punya hobi serius seperti Yuu-kun itu, melelahkan kalau terus bersamanya."

     "............"

     Mendengar jawaban itu, entah mengapa aku merasa sangat mengerti.

     Memang benar Yuu bisa jadi melelahkan saat bersamanya. Semakin Yuu serius dengan aksesori, semakin aku harus berlari dengan kecepatan yang sama dengannya.

     Yuu katanya punya teman kreator di Tokyo, jadi pasti dia hanya memikirkan itu saja.

     Aku menopang daguku dengan kedua tangan, lalu menjawab dengan acuh tak acuh. 

     "Oh."

     Selesai.

     Teman-teman Enocchi tampak lega, dan suasana makan siang pun kembali seperti semula. Sambil makan bekal, aku memikirkan pertanyaan yang tadi diajukan padaku.

     (Sisi Yuu yang kusukai, ya...)

     ...Eh?

     Aku, kenapa ya aku suka Yuu?

     Tidak, tidak, tunggu, tunggu. Aku tidak buta cinta sampai sebegitunya, kok. Aku suka Yuu karena, um, aksesorinya indah, lalu, uhm, dia bersemangat dalam membuat aksesori... Ah, benar.

     —Aku ingin merebut mata penuh gairah Yuu dari aksesori.

     Aku ingin dia melihatku lebih dari bunga-bunga aksesorinya.

     Itu sebabnya, aku, di hari liburan musim panas itu... di ladang bunga matahari, merebut Yuu.

     Eh?

     Kalau begitu, situasi sekarang ini apa, ya?

     Aku pacar Yuu, dan aku teman seperjuangan Yuu dalam mengejar impian... Teman seperjuangan?

     Padahal Yuu sangat bersemangat dengan aksesori dan ingin mengadakan pameran penjualan di festival budaya, tapi aku malah bilang ayo membuat kenangan di festival budaya... Loh, loh?

     "Hii-chan?"

     "...!?"

     Enocchi menatapku dengan cemas.

     "Hii-chan, wajahmu pucat."

     "Ah, umm..."

     Aku mengeluarkan Yogurppe drink, lalu menusukkan sedotan dan menghisapnya. Bakteri asam laktat membuatku tenang.

     Namun, perasaan dingin yang menusuk tulang tak kunjung hilang, dan aku menggenggam erat cincin nirinso di leherku.

     —Eh?


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close