Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Prologue
Rahasia
♢♢♢
Ketika seseorang menyadari ingatannya semakin indah, saat itulah mungkin ia tak akan bisa menghentikan dirinya menjadi buruk rupa.
Aku memikirkan hal itu dengan samar, sekitar saat pergantian tanggal.
Berbaring di tempat tidur, aku menghitung noda-noda di langit-langit.
Noda yang dulu selalu kuanggap mirip wajah itu, bentuknya terasa berbeda dari ingatanku waktu kecil... atau, memang begini adanya?
Ah, sudahlah, enggak penting.
Aku meraih ponselku, melihat LINE dari Yuu yang sudah kubaca tapi belum kubalas.
Yuu mengatakan, "Proposal rencana penjualan sudah selesai."
Itu berarti, Yuu tidak akan memperhatikanku di festival budaya.
Yang ada di dadaku adalah... keputusasaan yang perlahan.
Bukan karena Yuu tidak memikirkanku.
Melainkan pada diriku sendiri, yang cemburu pada hal yang begitu wajar: Yuu yang mengutamakan aksesori daripada aku.
"Apa aku benar-benar mencintai Yuu...?"
Tiba-tiba, kata-kata itu meluncur dari bibirku.
Jika aku mencintai Yuu, seharusnya aku mendukungnya dalam mengejar mimpinya. Namun, aku tidak bisa dengan tulus merayakan pameran penjualan itu.
Musim di mana malam sedikit lebih sejuk.
Ujung obi yukataku yang longgar menjuntai ke bawah dari ranjang.
"Enggak bisa diandalkan," pikirku.
Bukan kain bersulam indah ini, melainkan kesadaranku sendiri yang goyah.
Apa itu cinta?
Apakah itu sesuatu yang begitu indah?
Selama ini aku selalu berpikir romansa adalah sebuah bahaya.
Mengapa aku berasumsi bahwa cintaku sendiri berbeda?
Kenapa aku tidak bisa puas hanya dengan mengatakan 'Aku mencintaimu' dan Yuu membalas 'Aku juga mencintaimu'?
(Cinta itu apa, ya...?)
Aku larut dalam pemikiran filosofis.
Lagipula, apa itu cinta?
Menurut berbagai kamus, cinta adalah perasaan rindu terhadap lawan jenis, atau seseorang tertentu.
Terlalu jelas sampai-sampai jadi enggak jelas artinya.
Apa syarat munculnya cinta?
Hmm? Sepertinya aku pernah membahas hal ini dengan Yuu dulu.
Itu kalau enggak salah, sekitar bulan April, saat Yuu bertemu kembali dengan Enocchi, kan?
Waktu itu, aku bilang apa, ya?
Oh, aku bilang sesuatu seperti, "Itu berarti ingin berciuman atau bercinta, kan?"
Lalu Yuu menyahut, "Itu kan nafsu..."
Begitu, ya?
Jadi, nafsu adalah antena cinta.
Saat seseorang merasa ingin berciuman atau bercinta, apakah itu berarti ia sudah jatuh cinta?
(…Apakah aku ingin berciuman atau bercinta dengan Yuu?)
Tentu saja ingin?
Aku lumayan sering memikirkannya, kok?
Baiklah. Aku jatuh cinta pada Yuu. Pembuktian selesai.
(…Tunggu, tunggu. Kalau berakhir di sini, ini hanya akan jadi buku harian wanita menyedihkan.)
Aku meraih ponselku.
Membuka obrolan LINE, aku mengirim pesan ke Enocchi.
[Enocchi. Akhir-akhir ini, nafsumu kuat?]
Oh, sudah terbaca. Hebat sekali belajar sampai selarut ini.
Nah, soal kehidupan seks Enocchi, ya. Ngomong-ngomong, aku belum pernah dengar cerita seperti itu, jadi aku jadi bersemangat. Mana balasan Enocchi, ya...
…………Ah, diabaikan!
(Ish! Enocchi, seperti biasa dia memang orang yang sangat menjaga kebersihan, ya!)
Mau tak mau, aku beralih ke grup obrolan perempuan klub musik tiup yang aku diundang oleh teman-teman Enocchi.
[Semuanya! Akhir-akhir ini, ada yang pernah ingin bercinta dengan orang yang kalian suka?]
Obrolan itu menjadi sangat ramai.
Semuanya masih bangun selarut ini, benar-benar tidak bisa dibiarkan, ya. Tapi, memang begitulah anak SMA. Aku mengumpulkan informasi sambil menikmati obrolan blak-blakan para gadis.
Di samping itu, pesan-pesan mengerikan dari Enocchi terus menumpuk, mulai dari panggilan telepon sampai LINE yang berisi 'Hii-chan', 'Sedang apa', 'Jangan lakukan hal aneh', 'Angkat teleponku', tapi aku enggak peduli sama sekali☆
Dan, kesimpulannya, kurang lebih seperti ini...
'Pokoknya, kalau bukan dengan orang yang disukai, enggak akan bergairah'
Yah, memang begitu jadinya.
Singkatnya, ini hanya memperkuat 'teori nafsu adalah antena cinta'-ku saja, tapi...
(…Entah mengapa, rasanya enggak puas.)
Bukan nafsu, tapi filosofinya, lho.
Aku, yang telah berubah menjadi monster pengejar filosofi, bangkit dari tempat tidur dan pelan-pelan keluar dari kamar. Berjalan di koridor yang berderit, aku memastikan ada cahaya yang memancar dari kamar Onii-chan. Kalau dia tidak ada di ruang kerjanya jam segini, berarti pekerjaannya hari ini sudah selesai tanpa masalah.
Aku mengetuk pintu.
"Onii-chan. Udah bangun?"
Segera ada balasan.
"Masuklah."
Aku membuka pintu.
Sebuah kamar otaku yang luar biasa menyambutku.
Berbagai poster dan tapestri memenuhi dinding hingga langit-langit.
Komik dan light novel memenuhi rak buku.
Blu-ray game dan anime tertata rapi.
Di televisi besar yang diletakkan di lemari TV mewah, sedang diputar anime Spy x Family. Anya-chan memang lucu, ya, Anya-chan.
Di tengah-tengah kamar otaku itu, Hibari-Onii-chan, si pria tampan yang disayangkan, sedang menikmati anggur dengan anggun. Mungkin tidak ada pria di dunia ini yang pantas memakai jinbei seperti dia.
Sambil melongok ke bawah, mengamati figur-figur gadis cantik yang berjajar di atas lemari TV, aku bertanya pada Onii-chan.
"Hei, Onii-chan. Kenapa putus dengan Kureha-san? Bukannya kalian kuliah di universitas Tokyo bersama dan bahkan tinggal serumah?"
Ketika aku menoleh ke arah Onii-chan, ia menampilkan senyum paling indah. Gigi putih bersihnya yang terawat rapi bersinar cemerlang.
"Himari. Apa kamu memprovokasiku karena ingin dihukum olehku?"
"B-bukan begitu. Aku hanya ingin bertanya sedikit."
Gawat. Wajahnya memang tersenyum, tapi matanya tidak.
Aku keluar dari kamar tidur, lalu tergesa-gesa mengambil kaleng kaviar produksi lokal dari kamarku. Puffufufu, aku sudah menyiapkan bahan negosiasi untuk kemungkinan seperti ini.
"I-ini, silakan."
"…………"
Onii-chan menghela napas pelan.
Ia menghentikan animenya, lalu menggaruk kepala dengan canggung.
"Itu bukan hal yang istimewa. Dia memilih jalan hidup di dunia luar sebagai model, dan aku memilih jalan untuk melindungi kota kelahiran. Karena itu, hubungan kami menjadi beban terbesar. Jadi, berpisah demi kebaikan masing-masing adalah pilihan terbaik."
Mengatakan itu, ia memiringkan gelas wine-nya.
"Itu sama saja seperti menjarangi tanaman agar bunga-bunga indah bisa bermekaran. Kalau terlalu banyak bibit berdesakan di tanah yang sama, nutrisi tidak akan tersebar dengan cukup... pada akhirnya, semuanya akan layu. Kapasitas manusia itu terbatas. Kalau salah memilih, tidak akan ada yang bisa didapatkan."
"Itu seperti Onii-chan," pikirku.
Namun di saat yang sama, aku juga berpikir, "Itu enggak seperti Onii-chan."
Entah apakah dia tahu perasaanku itu... Onii-chan tersenyum tipis.
"Memilih untuk selalu bersama karena saling mencintai adalah hal yang sangat beruntung dan langka. Himari dan yang lain mungkin belum mengerti, tapi kalian akan merasakannya ketika tidak lagi berstatus pelajar."
"Begitu," gumamku pada diri sendiri.
Aku tersenyum lebar dan memiringkan kepala.
"Bagaimana dengan kami? Onii-chan, bukankah kami baik-baik saja?"
"Hah?"
Dingin sekali.
Saking dinginnya suara baritonnya, aku tersentak dan mundur. …Eh? Kukira dia akan bilang, "Kalian baik-baik saja, Himari memang hebat (gigi berkilau)!"
Sambil menghela napas, Onii-chan membuka kaleng kaviar.
"Himari. Jangan-jangan sampai saat ini kamu belum sadar kalau kamu sudah salah jalan?"
"…………"
Deg, sesuatu yang berat menimpaku.
E-enggak mungkin.
Aku, makhluk yang sangat imut, sangat cerdas, dan sangat dicintai ini, salah?
"O-Onii-chan! Maksudnya apa!? Aku enggak melakukan kesalahan apa-apa, kan!!"
Aku mengguncang-guncang bahu kakakku sambil memprotes.
Lalu di pelipis kakakku muncul urat.
"Menjengkelkan."
Mendapat pukulan telak di ubun-ubun, aku pun tersungkur dengan suara "Pugah!"
…Akhir-akhir ini, aku terlalu sering dipukuli Enocchi sampai kepalaku jadi bodoh.
"Kamu enggak melakukan kesalahan. Tapi, bukan berarti kamu benar."
"A-apa maksudnya...?"
Onii-chan berpikir dengan wajah serius.
Ia menyendok sedikit kaviar dari kalengnya, lalu bergumam dengan nada kagum, "Produsen ini juga semakin bagus dari tahun ke tahun, ya."
"Dengan kejadian Kureha-kun di liburan musim panas itu, Himari telah menempati posisi 'pacar' Yuu-kun."
"Ya."
"Lalu, kenapa kamu masih berpegang teguh pada posisi 'mitra impian' Yuu-kun?"
"Eh?"
Aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
Saat aku memasang wajah bingung, Onii-chan mengulangi.
"Himari ingin menjadi 'pacar' Yuu-kun, kan? Dengan insiden Himari yang mengamuk di ladang bunga matahari saat liburan musim panas, aku mengartikannya begitu... Apa aku salah?"
"…………"
──Eh?
Ada sensasi dingin di leherku.
Rasanya seperti ditusuk pisau tak kasat mata... Ini adalah hal yang sudah sering kualami selama enam bulan terakhir sejak bulan April.
Aku ingin menjadi pacar Yuu.
Itu enggak salah.
Tapi, kenapa itu enggak berarti benar?
"Kukira, 'mitra impian' Yuu-kun sudah kamu serahkan kepada Rion-kun. Kalau Himari mengambil cinta pertama Rion-kun, maka wajar kalau posisi keduanya bertukar."
Onii-chan menghabiskan sisa anggurnya.
"Meskipun begitu, apakah Rion-kun akan menduduki kursi kosong yang Himari tinggalkan, itu harus diputuskan sendiri oleh Rion-kun. Oleh karena itu, aku mendiamkan perjalanan ke Tokyo itu. Aku tahu apa yang akan dilakukan Kureha-kun, dan juga penting untuk menyelesaikan urusan cinta."
"T-tahu? Tahu apa?"
"Cerita tentang Kureha-kun yang akan berpartisipasi dalam pameran seni para kreator asuhannya. Pada malam setelah bermain di laut, kami minum-minum di rumah Shinji-kun. Waktu itu aku membuat Sakura-kun mabuk berat dan mengorek semuanya."
Entah mengapa, rasanya aku mendengar tentang cara yang cukup kejam, tapi sudahlah, mari kita abaikan itu.
"Ng, begini. Aku kurang begitu mengerti apa yang Onii-chan katakan... Kenapa kalau udah jadi pacar Yuu, enggak bisa lagi jadi mitra impiannya?"
"Tidak mengerti?"
Onii-chan berkata dengan nada bosan.
"Nyatanya, kamu sedang mencoba menghalangi tantangan Yuu-kun di festival budaya, kan? Kalau bukan itu, apa lagi namanya?"
"…………"
Berbagai kata berputar-putar di benakku, seperti 'Kenapa Onii-chan tahu?' atau 'Onii-chan jangan main menyimpulkan'.
Tapi aku tetap tenang. Sambil mengetuk-ngetukkan jari, aku menatap ke arah lain dan tertawa kering, "Ahahahaha."
"Itu, maksudku bukan menghalangi, tapi hanya ingin dia sedikit memikirkanku juga..."
"Setidaknya, Himari yang dulu enggak pernah mengatakan hal seperti itu, kan?"
"Tapi, ini kan festival budaya yang istimewa? Wajar aja kalau aku ingin membuat kenangan, kan?"
"Betul, itu wajar. Namun, itu wajar sebagai seorang pacar."
"A-apa yang ingin Onii-chan katakan?"
"Menurutmu apa yang ingin kukatakan?"
Aku refleks memukul pintu.
"A-aku juga memikirkan Yuu, kok! Aku memikirkan masa depan universitas agar bisa membuka dan mengelola toko bersama Yuu..."
"Itu bukan peranmu."
Dia mengucapkan itu dengan tegas.
Onii-chan perlahan berdiri. Matanya yang dingin menatapku tajam, akhirnya menyingkap apa yang selama ini aku hindari.
"Apa kamu lupa? Peranmu seharusnya adalah menjadi model untuk mengantarkan aksesori Yuu-kun ke seluruh dunia."
"…!?"
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Benar.
Peranku adalah menjadi model aksesori Yuu.
Dulu, aku pernah bersikeras tentang hal itu, sampai bertengkar hebat dengan Yuu soal pergi atau tidak pergi ke Tokyo.
Tapi, sekarang──.
Onii-chan menghela napas pelan, seolah dia benar-benar... benar-benar kecewa padaku.
"Apakah matamu dibutakan oleh cinta sampai kamu melupakan senjata terbesarmu sendiri?"
"T-tapi, aku juga mengerti soal manajemen sejak kecil..."
"Kamu hanya mendengar percakapanku, dan kakek, kan? Bagaimana bisa orang yang merasa tahu dari informasi yang didengar dari orang lain bisa berpikir itu berguna dalam praktik?"
Tersentak perkataannya, aku terdiam.
"Terus terang saja, dalam hal bakat dan pengalaman di bidang manajemen bisnis, Rion-kun yang sejak kecil membantu toko kue keluarganya, jelas jauh lebih unggul. Kalau Yuu-kun di masa depan akan memiliki toko dan membutuhkan bantuan, maka belajar di universitas akan lebih baik untuk Rion-kun."
"Berarti aku enggak dibutuhkan...?"
"Sebagai pacar, kamu bisa tetap menjalin hubungan dengan Yuu-kun, bukan? Aku enggak pernah melarang itu."
"Tapi, kalau begitu aku enggak bisa terima. Aku juga ingin melakukan sesuatu demi masa depan Yuu..."
"Kalau begitu, bukankah seharusnya hanya ada satu hal yang kamu lakukan?"
"…Ah."
Aku langsung mengerti maksud Onii-chan.
Itu karena, selama satu bulan ini... di saat-saat tak terduga, hal itu terlintas di benakku.
'Seharusnya aku pergi ke Tokyo bersama Kureha-san dan belajar menjadi model.'
Seandainya aku memilih jalan itu, apa yang akan terjadi?
Setidaknya, kami tidak akan bertengkar soal apa yang akan dilakukan di festival budaya. Karena aku sudah mendedikasikan hidupku untuk impian Yuu.
"Tapi, Onii-chan juga melarangku pergi ke Tokyo, kan...?"
"Memang benar aku melarang. Ajakan Kureha-kun tidak salah, tapi terlalu cepat. Kalau Yuu-kun sampai kehilangan semangat untuk mengejar mimpinya, semuanya akan sia-sia."
Waktu itu, Kureha-san hanya melihatku.
Rasanya seperti, setelah membawaku pergi ke Tokyo, dia tidak peduli apa yang akan terjadi pada Yuu.
Padahal, kalau Enocchi dan Onii-chan tidak melakukan penyelamatan gemilang, mungkin masa depan seperti itu yang akan menungguku... Tunggu?
"T-terlalu cepat...?"
Kejanggalan yang dengan cepat kusedari.
Onii-chan menghela napas dengan canggung, lalu berkata,
"Begini, Himari. Aku ingin kamu mendengarkan dengan tenang. Sejujurnya..."
Onii-chan menggenggam kedua lenganku.
Lalu ia membungkuk, menyamakan tinggi pandangan kami.
"Kalau kalian berdua lulus SMA tetap sebagai sahabat, aku berniat menyarankan Himari untuk pergi ke bawah bimbingan Kureha-kun."
"Eh..."
Mata Onii-chan... tidak berbohong.
Aku ke tempat Kureha-san?
Jadi apa maksudnya?
Onii-chan──berniat memisahkan aku dan Yuu sejak awal?
Itu adalah pilihan terbaik bagi kami?
"Tapi, Himari memilih menjadi pacar. Oleh karena itu, aku diam saja karena kupikir itu juga baik. Aku berpikir, kalau Himari tenggelam dalam cinta dan tidak bisa lagi beraktivitas murni demi mimpinya, aku saja yang akan mendukung Yuu-kun."
"Onii-chan. Itu sudah kamu katakan terus-menerus, kan...?"
"Benar."
"Enggak, itu bukan lelucon....?"
"Betul sekali."
Tiba-tiba, firasat buruk menghampiriku.
Aku ingin dia menyangkalnya, jadi aku berkata memohon,
"Kalau begitu, aku yang sekarang ini enggak cukup?"
Onii-chan tidak menjawab.
Sebagai gantinya, dia mulai mengatakan sesuatu yang tidak kuinginkan.
"Himari. Kalau kamu memiliki sedikit pun keraguan terhadap perasaanmu kepada Yuu-kun──"
"…!"
Aku menolak kata-kata selanjutnya.
"Enggak mungkin! Aku berbeda dari Onii-chan! Aku bisa melakukannya dengan baik. Aku bisa memiliki impian dan cinta, semuanya!"
"…………"
Mata Onii-chan, sedingin es.
DIa menghela napas, seolah sudah tidak tertarik padaku.
"Begitu. Kalau begitu, buktikanlah."
Aku keluar dari kamar Onii-chan.
Saat itu juga...
"Ternyata, jadi begini."
Kata-kata Onii-chan, meninggalkan duri kecil di dadaku.
Saat seseorang menyadari ingatannya semakin indah, saat itulah mungkin ia tak akan bisa menghentikan dirinya menjadi buruk rupa.
Cinta, jika dirahasiakan akan menjadi bunga, jika diungkapkan akan menjadi racun.
Tapi, aku tidak suka bermekaran dengan indah sampai harus menipu diri sendiri.
Karena perasaan yang kusampaikan pada Yuu, seharusnya sama sekali tidak salah.
♣♣♣
PoV
Natsume Yuu
Apakah keinginan untuk tetap sama meskipun sudah menjadi sepasang kekasih ini adalah keegoisanku?
Pukul dua dini hari.
Aku sedang berbaring di sofa, di ruang keluarga rumah.
Rumah yang sepi tanpa siapa-siapa itu hening, dan aku berpikir dalam kantuk yang samar.
Di atas meja ada proposal rencana penjualan aksesori untuk festival budaya yang akan datang. Baru saja selesai, dan besok aku berencana meminta Sasaki-sensei memeriksanya.
...Rencananya, sih begitu.
(Belum ada balasan dari Himari...)
Aku melihat LINE yang baru saja kukirim.
Berkat Enomoto-san, proposalnya sudah selesai, tapi belum ada balasan dari Himari. Sudah dua jam aku menunggu seperti ini.
(Ternyata, dia tidak ingin mengadakan pameran penjualan, ya...)
Kemarin, aku bertengkar dengan Himari... atau lebih tepatnya, kami salah paham.
Hal seperti itu terjadi.
'Apa tujuan Yuu?'
'Tujuan untuk mengadakan pameran penjualan di festival budaya yang ada di depan mata sekarang, apakah benar-benar diperlukan untuk itu?'
Festival budaya.
Himari, kurasa dia ingin menikmati festival budaya sebagai seorang kekasih.
(Kenapa tiba-tiba dia mengatakan hal seperti itu...)
Apakah mengadakan pameran penjualan aksesori itu enggak menyenangkan bagi Himari?
Selama ini mengejar impian bersamaku... apakah sebenarnya itu menyakitkan bagi Himari?
Himari bilang, kita harus melihat masa depan lebih jauh dan melakukannya secara terencana.
Aku tahu itu benar.
Namun, aku tidak yakin bisa bergerak dengan cekatan jika hanya membayangkan masa depan yang begitu jauh.
Saat liburan musim panas... ketika aku memutuskan untuk melangkah maju bersama Himari menuju masa depan.
Aku merasa berada di tempat yang berbeda dari yang kubayangkan waktu itu.
(Himari bilang cinta itu merusak, jadi kukira hubungan kami sebagai kekasih akan lebih santai.)
Aku mencintai Himari.
Itu tidak salah lagi.
Tapi, entah bagaimana...
Faktanya, hubunganku dengan Himari yang sebelumnya menghalangiku untuk menerima hubungan kekasih yang baru ini dengan tulus.
"Bagaimana cara menyeimbangkan antara cinta dan impian...?"
Saat aku merenung sambil bergumam, terdengar suara pintu depan terbuka.
Yang muncul setelah menyalakan lampu ruang keluarga adalah Saku-neesan, yang sedang bekerja paruh waktu di minimarket pada tengah malam. Melihatku, dia mengerutkan wajahnya dengan malas. Ekspresinya terlalu jelas...
"Kamu. Sedang apa jam segini?"
"Aku hanya ingin berpikir di ruangan yang lebih luas. Saku-neesan, minimarketnya bagaimana?"
"Istirahat. Hari ini, majalah yang biasa kamu baca sudah masuk, lho."
"Ah, nanti akan kuambil."
Entah mengapa, mood Saku-neesan hari ini sedang baik.
Sambil berbincang ringan denganku, dia menghangatkan roti sisa dari minimarket di pemanggang roti. Sekalian menuangkan susu ke dalam cangkir, dia duduk di sisi lain sofa.
Lalu dia mulai membolak-balik majalah yang dibawanya untuk dirinya sendiri.
(Saku-neesan enggak bisa istirahat, jadi sebaiknya aku kembali ke kamarku saja...)
Sambil berpikir begitu, aku berusaha merapikan proposal rencana penjualan.
Saku-neesan mengambil salah satu lembarannya, lalu membacanya tanpa bicara.
"...Oh, begitu. Pameran penjualan aksesori harga rendah, ya."
Aku langsung terkejut dan bersiaga.
Karena aku tidak punya kenangan indah saat Saku-neesan bicara soal aksesori...
"Meskipun rencana penjualannya sudah bagus, apa kamu sudah menentukan konsep atau temanya?"
"Eh?"
"Seperti ini, lho. Coba cara penjualan yang berbeda dari biasanya, atau berkreasi dengan desain meja pajangan."
Oh, begitu maksudnya.
Pameran seni Tenma-kun yang kukenal di Tokyo. Itu sama saja dengan saat dia menyewa jasa vendor untuk membuat tempat pameran terlihat bagus.
"Karena pemeran utama kali ini adalah Gekka Bijin, aku sudah punya bayangan tentang itu. Aku enggak tahu apakah benar-benar bisa terealisasi karena masalah kapasitas dan anggaran, tapi..."
"Gekka Bijin? ...Oh, Rion-chan, ya."
Tak disangka, dia langsung tahu dalam sekejap.
Saku-neesan memang selalu cepat tanggap dalam hal-hal seperti ini...
"Kamu, masih bermain-main sahabat dengan Rion-chan?"
"Karena Makishima mengatakan hal aneh, masalah itu jadi ditunda."
"Yah, bukan urusanku juga sih."
Kalau begitu, aku berharap dia tidak mengatakan apa-apa...
"Kali ini juga akan memikirkannya bersama Himari-chan, kan? Berbaik-baiklah."
"Tidak..."
Saku-neesan memiringkan kepala.
Pemanggang roti yang menghangatkan roti berbunyi 'ting'.
"Kali ini, aku ingin sepenuhnya memproduseri pameran penjualan ini."
"Oh, begitu. Kamu, aneh sekali..."
Saku-neesan meletakkan roti yang baru diambil dari pemanggang roti ke piring sambil berkata, "Aduh, panasnya..." Sambil mengoleskan selai kacang, dia melanjutkan pembicaraannya.
"...Kamu mengatakan hal yang aneh, ya. Bukankah hal seperti itu biasanya menjadi peran Himari-chan sampai sekarang?"
"Kali ini aku ingin mencoba seberapa jauh aku bisa melakukannya. Aku ingin mendapatkan keuntungan dari pameran penjualan yang kuproduseri sendiri. Kalau itu berhasil, mungkin aku bisa melihat pemandangan yang sedikit lebih dekat dengan Tenma-kun dan yang lainnya..."
"Hm..."
"Lalu, sepertinya Himari sedikit enggak bersemangat dengan pameran penjualan. Mungkin saja, kali ini kami akan bergerak sendiri-sendiri."
"Hah? Kenapa?"
"Eh, itu..."
"...Kamu enggak sedang melakukan hal bodoh lagi, kan?"
Dia mengetahuinya dengan santai.
...Saat aku menjelaskan pertengkaran dengan Himari, Saku-neesan menghela napas panjang.
"Hargai Himari-chan, ya. Adik bodoh."
"A-aku sudah... berusaha menghargainya. Tapi nyatanya, aku malah membuat Himari merasa enggak nyaman seperti ini."
"Di festival budaya seperti ini, seharusnya kamu menyenangkan pacarmu aja, kan? Kenapa malah memperumit keadaan dengan cara yang aneh?"
"M-memperumit, itu..."
Yah, kalau dibilang memperumit, memang begitu.
Aku melanjutkan pembicaraan dengan Saku-neesan sambil merasa canggung.
Itu adalah hal yang Himari katakan padaku hari ini.
'Kenapa aku mengejar mimpi?'
Waktu itu aku sempat terdiam, tapi jika dipikirkan baik-baik, itu adalah hal yang sederhana.
"Di Tokyo, aku menyadari. Kalau hanya mengejar kualitas aksesori seperti sebelumnya, enggak akan ada artinya kalau enggak sampai ke tangan klien. Kalau enggak menemukan nilai tambah untuk itu, bukankah teknik yang kumiliki enggak akan berguna?"
"Untuk ukuranmu, aku rasa kamu memikirkan hal yang masuk akal. Tapi, itu bukan alasan untuk membuat Himari-chan menangis, kan?"
"A-aku enggak membuatnya menangis, kok..."
Mungkin, sih...
"Saat liburan musim panas, aku menjadi pacar Himari. Tapi pada akhirnya, aku enggak tumbuh sama sekali sejak awal. Kalau aku enggak bisa menjadi orang yang setara dengan Himari, aku enggak bisa mengatakan 'aku cinta' dengan bangga. Kalau terus-terusan digendong ke mana-mana seperti sebelumnya, aku hanya akan jadi seorang himo (pria pengangguran yang bergantung pada wanita)."
Saat liburan musim panas, aku pernah dikatai Kureha-san.
Anak bertalenta seperti Himari yang mengabdikan hidupnya untuk orang biasa sepertiku adalah kerugian bagi dunia.
Itu memang benar.
Karena itu, aku akan bertekad menjadi kreator yang kuat.
Aku akan menjadi kreator yang kuat seperti Tenma-kun dan Sanae-san, dan membuktikan bahwa Himari tidak salah.
Hanya setelah menjadi cukup kuat untuk mandiri dari Himari, barulah aku bisa setara dengannya.
Untuk itu──aku tidak ingin menyia-nyiakan sedikit pun kesempatan.
"…………"
Saku-neesan menghabiskan suapan terakhir rotinya.
"Kamu, entah kenapa jadi mirip orang yang menyebalkan, ya..."
"Orang menyebalkan?"
Ketika aku bertanya balik, Saku-neesan mendecakkan lidahnya seolah berkata, "Sialan."
"Kamu enggak perlu tahu."
...Melihat tingkah lakunya itu, aku merasa ada sesuatu yang terlintas di benak.
"Ngomong-ngomong, Saku-neesan. Apa kamu punya kenalan di Tokyo?"
"Hah?"
Dia menjawab seolah, 'Apa-apaan bertanya hal yang sudah jelas?'
"Ada Kureha, kan?"
"Ya, memang, tapi selain itu...?"
"Lainnya? Kerabat fiktif kita?"
Bekas luka dari perjalanan dengan Enomoto-san yang tiba-tiba diungkit itu terlalu menyakitkan...
"Seorang pria, seumuran Saku-neesan..."
Saku-neesan menyemburkan susu yang sedang diminumnya.
Lalu sambil terbatuk-batuk, dia buru-buru menyeka mulutnya.
"S-Saku-neesan?"
"...Kamu. Jangan-jangan bertemu Yataro?"
"Y-Yataro-san...?"
Wajah guru Tenma-kun yang kutemui di pameran Tokyo terlintas di benakku.
Dia mengenal Saku-neesan, dan entah mengapa tampak gelisah padaku, adiknya.
"Maaf. Aku enggak tahu namanya..."
"Orangnya seperti apa?"
"Um, rambut hitam berantakan. Janggut tipis. Pakaiannya, seperti, gaya damaged? Oniisan yang sedikit menyeramkan. Sepertinya dia juga kenal Kureha-san, tapi..."
Saat aku menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk wajahku, urat-urat di pelipis Saku-neesan perlahan menonjol. Tak lama kemudian, dengan mulut berkedut, ia bangkit sambil memegang ponselnya.
"Tunggu sebentar."
Dia keluar dari ruang keluarga.
Baru saja terdengar suara dia masuk toilet, lalu...
"──Kureha!! Kamu ○※●×△ yang ×@*%○○▼※□...!"
Pukul dua dini hari, suara teriakan yang sangat keras menggema.
Apa ini enggak apa-apa? Besok, apa tetangga enggak akan komplain?
Lagipula, ini pertama kalinya aku melihat Saku-neesan berteriak sekencang ini, kan?
...Sepertinya ini lebih sensitif dari yang kukira.
(Oh, ngomong-ngomong, aku disuruh tidak memberitahu siapa pun bahwa aku bertemu Yataro-san, ya...)
Saat aku berpikir, 'Gawat,' Saku-neesan kembali.
Kemudian dia membanting ponselnya ke sofa. Namun, kemarahannya sepertinya tidak mereda, terlihat dari tinjunya yang bergetar hebat.
"Orang itu. Kirain enggak pernah menghubungi karena apa, ternyata jadi himo-nya Kureha..."
Himo, ya.
Mengingat perkataanku barusan, aku mencoba bertanya dengan senyum, berusaha menyelesaikannya selembut mungkin.
"Um. Pacar, ya?"
"Kalau kamu selidiki, akan kubunuh."
"...Siap."
Suaranya, dingin sekali...
Kakak, apakah boleh melampiaskan niat membunuh seperti ini pada anggota keluarga...?
Jangan membangunkan singa yang sedang tidur.
Aku bangkit dari sofa, membawa proposal yang sudah kurapikan.
"Kalau begitu, aku tidur aja, ya. Besok juga sekolah..."
"…………"
Saat aku hendak kabur dari ruang keluarga, Saku-neesan tiba-tiba berkata,
"Adik bodoh. Ada satu hal yang ingin kusampaikan."
"Eh?"
Jangan-jangan soal Yataro-san?
Masa sih "kamu akan punya kakak ipar satu lagi"? Aduh, Hibari-san aja sudah cukup, sungguh.
...Aku memikirkan hal-hal bodoh, tapi sepertinya bukan itu.
Saku-neesan berkata dengan nada bosan sambil membuka majalahnya.
"Kamu ingin menjadi kreator yang kuat hingga bisa mandiri dari Himari-chan, dan bisa membanggakan diri bahwa kalian setara. Itu adalah pemikiran yang mulia, dan aku rasa itu memang gaya berpikirmu. Kalau aku yang sebelum liburan musim panas, aku bahkan akan memujimu."
"...Itu cara bicara yang agak mengganggu, ya."
"Memang sengaja kubuat begitu. Untuk ukuran adik bodoh, kamu lumayan peka juga, ya."
Dia melirikku sekilas, lalu berkata dengan tegas,
"Adik bodoh. Begitu sudah menjadi pacar, pemikiran mulia itu salah."
Dalam gaya bicaranya yang lugas itu, aku merasakan ciri khas Saku-neesan.
"Himari-chan sama sekali tidak ingin kamu mandiri. Pemikiranmu itu, sangatlah egois."
"K-kenapa?"
"Sudah jelas. Daripada itu, cukup setiap hari pergi ke sekolah bersama, mengobrol hal-hal sepele, bersemangat dengan hobi yang sama, makan enak sepulang sekolah, dan sesekali berciuman atau bercinta. Kebanyakan orang tidak mencari romansa seperti film Hollywood dalam hidup mereka. Cukup jika saat ini, mereka bahagia."
"Tapi, Himari berbeda, kan? Dia berjanji akan mengejar mimpi bersamaku..."
Saku-neesan menghela napas yang sangat panjang.
Lalu dengan kesal, dia mengetuk piring yang ada remah rotinya dengan jari.
"Bukankah Himari-chan menjadi pacarmu sebelum mimpinya terwujud karena dia menginginkan kebahagiaan semacam itu?"
"…!"
Itu adalah hal yang selalu kucoba hindari untuk dipikirkan.
Liburan musim panas itu.
Ladang bunga matahari.
Himari menciumku.
Aku menerima perasaannya itu.
Tapi...
'Kenapa Himari, di saat nilai sejati kami sebagai mitra takdir dipertanyakan, justru menginginkan perubahan dalam hubungan kami?'
Saat aku kehabisan kata, Saku-neesan berkata dengan dingin,
"Pacar tidak bisa menjadi mitra takdir. Kalau salah satu berusaha mencapai puncak, yang lain akan menjadi penghalang. Hidup itu memang begitu."
Itu adalah kata-kata yang seolah menyimpulkan segalanya.
"Kalau kamu mencintai Himari-chan dan ingin menghargainya... bukankah kamu perlu memperbarui caramu memandang mimpimu sendiri?"
"…………"
Aku menggigit bibir.
Rasanya seperti dia berkata, "Sadarilah batasanmu."
Apa yang Saku-neesan katakan, selalu benar.
Kali ini pun aku tahu aku tidak salah. Memang benar saat ini aku belum bisa melakukannya dengan baik. Tapi, bukan berarti aku bisa menyerah begitu saja.
Jika aku menyerah pada ini... apa lagi yang akan tersisa padaku?
"Kami akan baik-baik saja, sama seperti sebelumnya."
Mengatakan itu, aku meninggalkan ruang keluarga.
Liburan musim panas itu.
Aku bersumpah akan menjadi kreator yang kuat, yang bisa mendapatkan segalanya.
Cinta, mimpi, semuanya akan kudapatkan.
Untuk itu, aku akan melakukan segala yang kubisa dengan segenap tenaga.
Jika tidak begitu, aku tidak akan bisa membalas Himari yang telah menemukanku di festival budaya SMP pertama kali kami bertemu.
Bahwa kami bertemu bukan hanya untuk tenggelam dalam cinta.
Karena aku percaya itu.
Post a Comment