Penerjemah: Nobu
Proffreader: Nobu
Epilogue
“Napas”
♣♣♣
Malam Tahun Baru
Malam Tahun Baru di keluarga Natsume, seperti biasa, adalah sesuatu yang rutin. Masing-masing anggota keluarga menyantap toshikoshi soba sesuka hati, dan menghabiskan waktu sendiri-sendiri. Kurasa, momen ketika kami semua akan berkumpul lagi seperti ini... mungkin saat kedua orang tuaku membicarakan soal perpisahan.
Malam Tahun Baru seperti itu.
Waktu menunjukkan sedikit lewat pukul sepuluh malam.
Aku sendirian di kamar, merancang sebuah aksesori.
Mulai sekarang, aku akan membuat aksesori yang benar-benar untuk klien.
Apa yang dibutuhkan—apa yang harus dilakukan untuk itu?
Jawabannya belum kutemukan.
Tidak perlu terburu-buru.
Aku tidak boleh terburu-buru, membuat kesalahan, dan akhirnya melukai orang lain lagi.
Aku harus fokus.
Apa yang bisa kulakukan?
Apa yang harus kulakukan demi orang-orang yang mengakui kemampuanku?
(…Mulai sekarang, apa yang harus kulakukan?)
Aku memijat pelipisku, menatap langit-langit.
Waktunya sedikit istirahat.
Yah, seperti yang kuduga… ini, semacam begitu, ya.
Bagaimanapun, memang benar bahwa aku lebih semangat ketika ada tujuan tertentu.
Tidak perlu terburu-buru, tapi menetapkan tujuan kecil itu penting.
(Meskipun begitu… sekalipun tujuan kecil, itu tidak semudah membalik telapak tangan…)
Sambil memikirkan hal itu, aku melirik ponselku.
…Hmm?
Ada panggilan tak terjawab dari Enomoto-san. Sekaligus juga pesan LINE.
[Yuu-kun, ayo kita pergi ke Hatsumode]
TLN : Hatsumode adalah tradisi masyarakat Jepang untuk melakukan kunjungan pertama ke kuil atau kuil Shinto di awal tahun baru.
…Benar juga.
Sejak Natal, aku belum lagi menghubungi Enomoto-san.
Haruskah aku memberitahunya tentang putusnya hubunganku dengan Himari atau tidak?
Tidak, seharusnya aku memberitahunya, tapi ada keraguan apakah dia akan merasa canggung jika diberitahu. Ini juga menunjukkan betapa rendahnya pengalamanku dalam percintaan, dan aku tidak suka itu…
Aku juga ingin mencari suasana baru, jadi ini waktu yang tepat.
Aku menghubungi Enomoto-san dan memastikan waktu untuk pergi ke Hatsumode.
♣♣♣
Di daerahku, ada cukup banyak kuil.
Setiap tahun, aku selalu pergi ke tempat yang sama untuk Hatsumode.
Imayama Hachimangu.
Sebuah kuil tua yang bangunan utamanya terletak di puncak gunung, bisa dicapai dengan menaiki tangga panjang dari area perbelanjaan. Tempat yang kudatangi untuk beribadah adalah kuil Imayama Ebisu, salah satu kuil kecil yang berada di dalam kompleksnya.
Singkatnya, itu adalah tempat pemujaan bagi Dewa Ebisu, salah satu dari Tujuh Dewa Keberuntungan. Ia terkenal sebagai dewa kemakmuran dalam perdagangan, dan saat festival di bulan Februari, para pedagang lokal berbondong-bondong datang untuk berdoa.
Setelah berganti hari, aku pergi bersama Enomoto-san.
Sudah banyak pengunjung lokal, membentuk antrian panjang. Di jalan samping kompleks kuil, deretan kios-kios berjajar, dengan penerangan remang-remang yang menyatu dengan langit malam musim dingin.
Sambil mengantri, aku bertanya pada Enomoto-san.
"Enomoto-san juga setiap tahun ke sini?"
"Ya. Biasanya ibuku juga ikut, tapi karena hari ini aku pergi bersamamu, Yuu-kun, katanya dia mau tidur lebih awal."
"Begitu, ya. Yah, orang-orang yang punya usaha sendiri sih, biasanya memang ke sini."
Enomoto-san membungkuk pada Saku-neesan yang menemaninya.
"Sakura-san, terima kasih banyak sudah menemani hari ini."
"Tidak apa-apa. Aku juga memang berencana datang berdoa siang nanti."
Saku-neesan tampak kedinginan, dia mengenakan tudung coat-nya dan menggosok-gosokkan sarung tangan tebalnya. Di balik pakaiannya, dia menyembunyikan penghangat instan khusus luar ruangan yang sangat panas.
Ternyata, dia memang tidak tahan dingin. Karena itu, dia selalu menyuruhku melakukan pekerjaan walk-in selama musim dingin. Dasar iblis.
"Lagipula, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan adikku ini kalau hanya berduaan denganmu. Dia sedang kesepian setelah diputuskan oleh pacarnya."
"Saku-neesan, jangan bilang begitu di depan Dewa-dewa..."
Meski sudah memasuki tahun baru, suasana tetap seperti biasa.
Aku melirik profil Enomoto-san.
Wajahnya seperti biasa. Enomoto-san tidak mengatakan apa-apa, tapi dia sepertinya tahu aku sudah putus dengan Himari. Jaringan informasi perempuan memang mengerikan…
Akhirnya giliran kami tiba, dan kami bertiga berbaris, menyatukan tangan untuk berdoa.
Kami mengucapkan terima kasih atas tahun lalu dan memohon kemakmuran untuk tahun ini.
Setelah selesai, Saku-neesan menunjuk ke tenda terang di seberang.
"Aku mau beli amazake dulu."
"Oke. Kami mau ambil omikuji, ya."
Aku dan Enomoto-san menuju tenda omikuji.
Ada lima jenis omikuji yang berjajar. Zaman sekarang, omikuji juga semakin beragam. Ada yang sekadar menarik kertas keberuntungan, ada yang memilih batu keberuntungan, bahkan ada juga yang khusus anak-anak dengan gambar karakter aneh.
Dari semua itu, aku memilih omikuji yang biasa.
Setelah melihat isinya… wajahku langsung berubah masam.
Ramalan yang Kurang Menjanjikan
"Yuu-kun, bagaimana hasilnya?"
"Yah, begitulah…"
Aku menunjukkan omikuji-ku.
Wajah Enomoto-san langsung berkerut.
"…Setidaknya, bukan nasib buruk kan? Itu sudah bagus."
"…Benar juga."
Namun, isi ramalan itu:
Usaha: Akan menemui kesulitan.
Kesehatan: Cukup baik.
Perjalanan: Aman untuk dilakukan.
Orang yang ditunggu… katanya akan datang.
"Yah, seperti biasa."
"Hehe, mungkin."
Lalu, bagaimana dengan Enomoto-san sendiri?
"Bagaimana denganmu, Enomoto-san?"
"Hmm…"
Dia tersenyum sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.
"Rahasia."
"Hah? Padahal kamu sudah melihat punyaku?"
"Kalau isinya bagus, memang harus dirahasiakan."
"Seriusan…?"
Sepertinya, dalam hal keberuntungan sekalipun, aku tidak bisa mengalahkan Enomoto-san.
Kami tertawa sambil mengikat omikuji di dahan pohon.
Sekarang, Saku-neesan... Oh, dia sedang memegang segelas amazake dan membeli cumi bakar di salah satu kios. Sepertinya dia berencana untuk bersantai sebentar. Yah, soalnya sampai tadi dia masih bekerja di minimarket.
Kami pun memutuskan untuk sedikit bersantai juga.
Setelah mendapatkan amazake, kami duduk berjejer di tangga batu.
"Bagaimana dengan Mei-chan?"
"Dia pulang dua hari yang lalu. Sekarang dia bolak-balik dari rumah ke minimarket, dan sering menghabiskan waktu bareng Mera-san. Sepertinya dia sudah bicara serius dengan kakaknya soal masa depannya."
Shiroyama-san rupanya menjelaskan soal dia kabur dari rumah pada Mera-san.
Lalu Mera-san langsung menimpali, "Hah? Ada ya di situasi begitu malah enggak mau sekolah?" atau "Kalau enggak suka sekolah ya tinggal berhenti aja kan?" Dan sepertinya, itu membuat Shiroyama-san akhirnya memutuskan pilihannya.
…Entah kenapa, Mera-san jauh lebih cocok jadi guru daripada aku. Kudengar obrolannya dengan Shiroyama-san dan dia sepertinya gadis baik-baik. Kenapa denganku dia selalu bersikap seperti itu, ya?
"Syukurlah."
"Yah, aku tidak tahu seberapa serius Mera-san mengatakan akan berteman dengan Shiroyama-san…"
Apakah dia akan menjadi Himari-nya Shiroyama-san?
Atau, apakah akan ada pertemuan lain?
Meski begitu, aku berharap ini akan mengarah pada hasil yang sedikit lebih baik bagi Shiroyama-san.
"Minggu depan sudah semester ketiga, ya…"
"Benar juga."
Malas sekali rasanya kembali ke sekolah.
Setelah liburan usai, aku pasti akan berhadapan lagi dengan Himari. Saat itu, aku tidak tahu harus memasang wajah seperti apa.
…Tidak, tidak ada gunanya ragu sekarang.
Apa pun hasilnya, itu adalah masa depan yang telah kupilih sendiri.
Hal baik maupun hal buruk, semuanya akan kubawa bersamaku ke masa depan.
Untuk itu—
"Enomoto-sa..."
"Yuu-ku..."
Dan, kedua suara kami pun bertabrakan.
Setelah hening sejenak… kami saling mempersilakan, 'Kamu duluan,' 'Tidak, kamu saja.' Pada akhirnya, Enomoto-san lah yang bicara lebih dulu.
"Bulan Februari nanti, ada studi tur kan?"
"Oh, ya. Benar."
Di sekolah kami, studi tur memang diadakan saat semester ketiga di tahun kedua.
Pembicaraan mengenai hal ini sebenarnya sudah ada sejak semester kedua. Kabarnya, ada murid sukarela dari setiap kelas yang membentuk semacam buku panduan perjalanan. Yah, aku termasuk tipe orang yang tidak akan ikut dalam acara seperti itu.
Murid lain baru akan mulai bergerak setelah liburan musim dingin berakhir.
Aku ingat kami akan membentuk kelompok atau merencanakan perjalanan. Karena ini dianggap 'bagian dari proses belajar,' kudengar juga akan ada semacam tugas.
Enomoto-san bertanya,
"Kamu sudah memutuskan mau pilih tujuan yang mana?"
"Tujuannya Tokyo dan Okinawa, kan?… Kurasa, Tokyo."
Di sekolah kami, kami harus memilih satu dari dua tempat, dan itu akan diputuskan segera setelah tahun baru.
Meskipun tidak mutlak karena ada pertimbangan keseimbangan jumlah murid, aku ingin pergi ke Tokyo.
"Mungkin aku bisa bertemu dengan Tenma-kun dan yang lainnya."
"Benar… Aku juga berencana memilih Tokyo."
"Serius?"
"Ya. Begini, jadi…"
Enomoto-san mengusap-usap gelas kertas amazake-nya yang sudah dingin.
"Saat studi tur, kan ada waktu bebas, ya?"
"Yah, begitulah. Katanya juga ada waktu untuk mengerjakan tugas…"
"Nah, makanya…"
Kemudian, dengan sedikit tegang, dia berkata.
"Yuu-kun, maukah kamu jalan-jalan bersamaku?"
"............"
Aku berpikir sejenak...
"Mungkin aku akan bertemu dengan Tenma-kun dan yang lainnya..."
"Ya, Tidak apa-apa."
"Kalau begitu, baiklah. Ayo kita jalan-jalan bersama."
Memang, aku merasa tidak enak pada Enomoto-san saat perjalanan ke Tokyo di liburan musim panas lalu.
Semoga ini bisa menjadi penebusan...
Ketika aku sedang memikirkan hal itu, Enomoto-san berkata,
"Saat itu, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu, Yuu-kun."
Ada deja vu dalam kalimat itu.
Sebuah aroma khas, jika boleh kubilang begitu.
Yang terlintas dalam ingatanku adalah momen di liburan musim panas itu.
"Setelah pertandingan ini berakhir, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu, Himari."
Dalam upayaku mengerjakan tugas dari Kureha-san, untuk pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku pada Himari.
Merasakan napas yang sama, aku sedikit ragu untuk menjawab.
Tapi…
"…Baiklah."
Dan kemudian.
aku pun menyembunyikan kata-kata yang hampir terucap tadi di dalam hati.
♢♢♢
PoV
Inuzuka Himari
Malam Tahun Baru di keluarga Inuzuka adalah tradisi berkumpul bersama seluruh anggota keluarga yang ada di rumah.
Kami menyantap toshikoshi soba yang disajikan tepat saat lonceng Joya no Kane berdentang. Kakek dan Onii-chan yang biasanya selalu berdebat tentang ini itu setiap kali bertemu, hari ini terlihat tenang menikmati waktu bersama. Udang tempuranya lezat sekali.
Di televisi, siaran langsung pengunjung Hatsumode tahunan sedang berlangsung. Banyak orang bersembahyang di kuil-kuil terkenal di seluruh negeri. Terlihat dingin sekali—kasihan para reporter.
Tahun ini, bagaimana ya dengan Hatsumode?
Biasanya aku pergi berdua dengan Yuu, tapi tahun ini aku sendirian. Kalau begitu, tidak ada hal khusus yang ingin kumohon pada Dewa.
Onii-chan, yang sedang menyantap soba-nya dengan anggun dan tenang, berkata sambil menonton televisi.
"Semoga tahun ini menjadi tahun yang penuh berkah, ya."
Ibu mengangguk setuju sambil menyeruput kuah.
"Benar. Asal keluarga sehat, itu sudah cukup."
Kakek menggigit udang tempuranya dengan lahap dan tertawa terbahak-bahak.
"Jangan khawatir. Keluarga kita memang hanya itu saja kelebihannya."
"Itu benar sekali," kami semua tertawa riang bersama.
Lalu, ketiganya secara bersamaan menatapku dengan pandangan lesu.
"""...Haaahhh..."""
Mereka menghela napas panjang dan berat, seolah menghembuskan seluruh udara dari paru-paru mereka. Kombinasi yang serasi bagaikan orkestra terkenal dari luar negeri, membuatku gemetar ketakutan.
Onii-chan dengan kasar memotong-motong soba di dalam mangkuknya menggunakan sumpit.
"Malam Tahun Baru tanpa Yuu-kun. Betapa hambar rasanya…"
Ibu dengan ekspresi sedih menatap kotak makanan besar yang diletakkan di sudut dapur.
"Padahal aku sudah menyiapkan Osechi selama sebulan penuh, berharap Yuu-kun akan memakannya…"
Kakek mengeluarkan pochibukuro dari sakunya, dan tampak hampir menangis tersedu-sedu.
"Uang tahun baru ini, harus kuberikan pada siapa ya…"
Berikan saja padaku, dong...
Dalam suasana suram yang diciptakan ketiga orang itu, aku menyelesaikan toshikoshi soba-ku dalam keheningan.
"T-terima kasih atas makanannya…"
Lalu, aku buru-buru meninggalkan dapur seolah melarikan diri.
(Ughhh! Cinta keluargaku pada Yuu terlalu berat!)
Aku duduk di beranda, memandang taman yang indah.
Malam itu, bulan bersinar terang.
Hanya dengan cahaya itu, pemandangan terlihat begitu jelas meski sudah larut malam. Udara terasa dingin, dan napasku berubah menjadi putih.
"…Tidak ada yang tersisa lagi ya."
Aku bergumam tanpa sadar pada diriku sendiri.
Untuk apa aku hidup mulai sekarang?
Akankah rasa sakit ini benar-benar menjadi masa lalu?
(…Entah kenapa, aku tidak suka)
Belum genap seminggu berlalu, tetapi hari itu terasa sudah puluhan tahun yang lalu.
Perasaan yang tadinya begitu bergejolak, kini sudah tenang seperti lautan yang damai.
Akankah aku hidup tanpa mengharapkan apa-apa, menjadikan perasaan yang paling berharga di dunia sekalipun sebagai masa lalu?
…Saat itu, ponselku berdering.
Mungkin ucapan Selamat Tahun Baru. Sejak tadi, teman-teman sekelas sedang ramai di obrolan grup merayakan kedatangan tahun baru.
"Siapa ya… eh?"
Ternyata, itu adalah penelepon yang sedikit tak terduga.
Bukan pesan, melainkan panggilan masuk… Ada apa ya di saat seperti ini?
Telepon Tak Terduga dari Kureha-san
"…Halo."
Lalu, Kureha-san, si penelepon itu, berkata dengan riang.
[Himari-chan, selamat tahun baru~♪]
"…Selamat tahun baru."
balasku, sedikit kesal karena dia selalu terdengar ceria.
"Ada apa?"
[Kyaaah. Kurasa tidak baik melampiaskannya padaku hanya karena Yuu-chan memutuskanmu~?]
Seperti biasa, dari mana dia mendapatkan semua informasi ini…
"Kalau begitu, sepertinya tidak ada urusan, jadi sampai jumpa. Mari kita saling sapa lagi tahun depan."
[Bercanda! Cuma bercanda kok, jangan ditutup teleponnya~!]
Kureha-san tertawa kecil sambil berpura-pura panik.
[Baiklah, langsung saja ke intinya ya!]
Kemudian, dia mengangkat topik yang tidak kuduga.
[Kalau masih sama seperti waktu aku SMA dulu, sebentar lagi ada studi tur, kan~?]
"Eh?… Oh, ya, benar."
Studi tur.
Benar juga. Kalau tidak salah, akan diadakan di bulan Februari. Destinasinya bisa memilih antara Tokyo atau Okinawa.
"Tokyo atau Okinawa. Memangnya kenapa?"
[Hehehe. Kamu pilih yang mana?]
"Hmm… Sepertinya Okinawa."
Karena Yuu mungkin akan memilih Tokyo.
Mendengar jawabanku, Kureha-san berkata.
[Himari-chan, datanglah ke Tokyo~♪]
"…Tidak mau."
[Ayolah~! Ayo kita bersenang-senang~!]
"Kalau itu yang kudengar, aku pasti tidak mau."
Kureha-san tertawa cekikikan seperti biasa.
Namun, di detik berikutnya, dia berkata dengan suara yang sedikit dingin.
[Apa kamu mau terus kalah dari Rion?]
"…!"
Sial.
Kureha-san di seberang telepon sepertinya menyadari kegelisahanku. Tidak sulit membayangkan dia kini menampilkan senyum jahatnya yang tipis itu.
[Aku akan mempertemukan Himari-chan dengan orang yang menarik]
Setelah itu, Kureha-san kembali ke nada suaranya yang lembut seperti biasa.
[Pasti akan berguna untuk hidupmu nanti, kok ♪]
1 comment