Penerjemah: Nobu
Proffreader: Nobu
Chapter 5
“Perjalanan Baru”
♣♣♣
Keesokan paginya.
Aku dibangunkan oleh Shiroyama-san yang mengenakan kostum perawat, lalu kami sarapan bersama.... Tidak, tunggu dulu—fakta bahwa aku mulai terbiasa dibangunkan oleh gadis cantik yang cosplay, itu malah mengerikan.
Untuk sementara, yang harus kukonfirmasi adalah....
"Shiroyama-san, apa lagi yang kamu bawa?"
"Eeeh..."
Shiroyama-san tidak lagi larut dalam kegelisahan malam sebelumnya. Apa pun yang ada di dalam hatinya, di permukaan dia berusaha agar aku tidak khawatir. Dalam hal ini, dia benar-benar lebih dewasa dariku.
Sambil makan dengan lahap, dia menjawab dengan senyum ceria.
"Bunny gi—"
"Itu sama sekali tidak boleh. Paham? Kalau kamu memakainya, aku akan mengusirmu."
"Aku langsung ditolak mentah-mentah..."
Tentu saja.
Jika aku menyembunyikan gadis SMP dengan pakaian seperti itu di rumah, masalahnya bakal serius. Kalau di zaman dulu, aku mungkin langsung menuju tiang gantung tanpa sempat masuk penjara.
Lalu, aku membawa Shiroyama-san si perawat menuju minimarket.
Kami masuk melalui pintu belakang ke ruang staf, dan seperti biasa aku menyapa Ayahku yang baru saja menyelesaikan giliran jaga malamnya.
"Ayah, selamat pagi."
"Manajer! Selamat pagi!"
Ayahku tersenyum lembut.
"Yuu, selamat pagi. Mei-chan... hari ini juga luar biasa, ya."
"Terima kasih!"
Aku rasa dia tidak bermaksud memuji, sih. Tapi tidak kukatakan.
Setelah itu, aku minum kopi kalengan bersama Ayah sambil membicarakan persiapan Tahun Baru. Sepertinya pesanan osechi (hidangan Tahun Baru Jepang) cukup laris, jadi suasana hati Ibu sedang baik. Ya, ya. Sepertinya tahun ini kami bisa merayakan Tahun Baru dengan damai.
(Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Mera-san, ya...)
Sudah waktunya pergantian shift, tapi dia belum datang.
Yah, wajar saja, sih. Setelah kejadian kemarin, normal kalau dia membolos.
Artinya, Tahun Baruku tahun ini sama sekali tidak akan damai. Lebih tepatnya, aku akan menghadapi shift penuh kemarahan dari Saku-neesan. Ini salahku sendiri, tapi pasti akan sangat melelahkan....
Ayah menunjukkan jadwal persiapan Tahun Baru di komputer sambil menjelaskan pekerjaanku.
"Yuu. Besok dekorasi Tahun Baru akan tiba, tolong pasang, ya."
"Oke. Sama seperti biasanya, kan?"
"Ya. Zodiak tahun depan adalah..."
Saat kami sedang mengobrol seperti itu...
"Hai."
Pintu belakang terbuka, dan sapaan malas terdengar.
Saat aku berbalik... Mera-san berdiri di sana dengan wajah tidak senang.
"Ah..."
Aku sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tak terduga.
Mera-san melirikku sekilas, lalu berdecak dan membuang muka saat meletakkan barang-barangnya di loker. Kemudian, dia membungkuk singkat pada Ayahku, sang manajer.
"Selamat pagi."
"Ya, selamat pagi. Kamu datang, ya."
"...Karena nanti dimarahi Mama."
"Meskipun begitu, aku tetap terbantu."
Begitu mengenakan celemek kami, dia segera pergi ke area toko. Ayah melihatnya pergi sambil tersenyum lebar.
"Mera-san, dia datang..."
"Pada dasarnya dia anak yang serius, aku yakin."
Ayah berkata begitu, lalu menatapku sambil tersenyum.
"Karena dia serius, dia tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Sama sepertimu, Yuu."
"Uh..."
Aku merasakan sindiran tentang kejadian kemarin.
Ayah mengembalikan pandangannya pada Mera-san yang terlihat di kamera pengawas, lalu menyesap kopi kalengnya.
"Aku rasa anak itu juga mengerti secara logika. Bahwa melampiaskan kekesalan tidak ada gunanya, dan Yuu tidak punya niat buruk. Tapi tetap saja, pengalaman gagal lebih membekas di pikiran. Untuk bisa menertawakannya, butuh waktu."
Fakta bahwa Ayah tidak memarahinya, memang sangat seperti dirinya sekali.
"Tapi kemarin, Yuu memang salah. Jadi, pastikan kamu meminta maaf, ya."
"...Ya."
Namun, Shiroyama-san tampaknya sedikit tidak terima. Yah, apa pun alasannya, sepertinya dia tidak bisa memaafkan orang yang merusak aksesori.
Dia mengepalkan kedua tangannya erat dan berseru.
"Tapi saya rasa bersikap seperti itu pada Manajer juga tidak baik!"
Ayah tertawa riang.
"Shiroyama-san baik sekali, ya. Tapi kalau aku melihat anak itu, aku jadi teringat masa muda Ibumu dan merasa rindu."
"Oh? Ibu dulu seperti itu?"
"Ya, benar. Kalau ada sesuatu yang tidak berjalan baik, dia langsung marah. Emosinya jelas terlihat, dan aku suka itu. Yah, mungkin sampai sekarang juga tidak berubah."
"Pendapat orang dewasa..."
Tidak, mungkin itu salahnya orientasi.
Mungkinkah aku disebut masokis itu menurun dari Ayah? Eh, seriusan aku tidak mau....
Bagaimanapun, aku menuju ke dalam toko untuk mulai bekerja.
Mera-san sedang mengisi ulang stok rokok di kasir. Dia terlihat kesusahan dengan banyaknya merek, tapi tetap menyusunnya satu per satu dengan hati-hati.
"Mera-san."
Mera-san pun menoleh ke arahku.
"Kemarin, aku salah. Aku memang tidak berpikir panjang, dan mulai sekarang akan lebih berhati-hati. Aku benar-benar minta maaf."
Aku berkata jujur dan menundukkan kepala.
Mera-san yang menerima permintaan maaf itu...
"Bukankah menyuruhnya memakai kostum perawat itu terlalu mesum?"
Menusuk.
Mera-san, dengan sikap dingin, melewati sisiku begitu saja.
"Manajer, saya mau membersihkan bagian luar."
"Baik, baik. Tolong, ya."
...Suara pintu belakang yang tertutup keras terdengar. Aku yang tertinggal, gemetar di bawah tatapan iba dari Shiroyama-san.
Aku... sepertinya memang tidak bisa akur dengan Mera-san....
♣♣♣
Bukan berarti aku berpikir, "Tentu saja dia harus memaafkanku!"
Kejadian kemarin aku memang terlalu tidak sensitif, dan aku benar-benar merasa bersalah dari lubuk hati. Aku sudah siap menerima satu atau dua makian.
Di ruang staf itu.
Saat istirahat, ketika aku dan Shiroyama-san masih membicarakan cara menangani kain... Mera-san berkata sambil memainkan ponselnya.
"Senpai, aku ingin makan yang manis-manis."
"Oh, ya."
Aku menyodorkan camilan cokelat terbaru.
Cokelat rasa stroberi yang menjadi ciri khas musim dingin, ditumpuk dengan adonan kue kering, sebuah kombinasi klasik. Kemasannya sudah menunjukkan bahwa ini pasti lezat.
Jujur saja, aku selalu rajin mengecek produk baru di minimarket. Ini adalah barang yang kubeli untuk kumakan nanti. Sekarang setelah gajiku ternyata minus, ini bisa dibilang satu-satunya oasis hatiku saat bekerja.
Sambil menahan air mata, aku menyodorkannya pada Mera-san.
Mera-san, satu-satunya harapanku itu...
"Terima kasih~♪"
Aaaah!
Dengan gerakan asal-asalan, dia membuka kemasan, lalu langsung menuangkannya ke dalam mulut!
Dengan pipi mengembung seperti Krayon Shin-chan, dia mengunyah dengan lahap. Bukankah gadis ini seorang gal? Memang terlihat lezat, tapi apakah harga dirinya mengizinkan makan seperti itu di depan orang lain...?
Saat aku memikirkan hal itu, Mera-san yang sudah menelannya berkata,
"Ah, kok rasanya biasa saja?"
Ugh...!
Sungguh gangguan yang menyebalkan. Rasanya dia tahu persis cara yang paling efektif untuk membuatku kesal. Jangan-jangan Saku-neesan terlibat, ya?
Shiroyama-san menatapku dengan tatapan khawatir.
"Yuu-senpai..."
"Tidak apa-apa."
Aku tidak boleh membuatnya khawatir.
Aku pasti akan melewati masa sulit ini!
...Saat aku sedang bertekad demikian, Mera-san berkata,
"Senpai, aku haus."
"Oh, ya."
Aku pergi ke dalam toko dan membeli karamel macchiato terbaru. edisi terbatas musim dingin tahun ini, konon menggunakan biji kopi berkualitas yang dipanggang gelap.
Ketika aku menyodorkannya, Mera-san menyeruputnya dan mengangguk puas.
"Kenapa, ya, yang edisi terbatas itu rasanya tidak jauh beda dari yang biasa?"
Ugh...!
Padahal harganya sekitar tiga puluh yen lebih mahal dari yang biasa!
Saat aku sedang mengerutu dalam hati, Shiroyama-san menatapku dengan cemas.
"Yuu-senpai..."
"Tidak apa-apa."
Aku adalah pria yang akan melakukan apa pun saat waktunya tiba!
...Saat aku sedang memperbarui tekadku, Mera-san berkata,
"Senpai, pijat bahuku."
"Oh, ya."
Seperti seorang pelayan, aku memijat bahunya.
Keahlian tersembunyiku sebenarnya adalah pijat. Karena Saku-neesan selalu menyuruhku memijatnya, secara alami aku menjadi pandai. Kata Saku-neesan, "Apa karena sering mengutak-atik aksesori, tanganmu juga jadi terampil, ya?" Biarkan saja dia.
Dengan sentuhan jempolan dariku, Mera-san yang menjadi lemas berkata,
"Lumayanlah~♪ Senpai, bagaimana rasanya diperlakukan seenaknya oleh juniormu~?"
"............"
Ya, begitulah...
Dari tadi aku memang berakting seolah "kesal!", tapi sebenarnya aku tidak terlalu kesal.
Dibandingkan saat Himari sedang tidak mood, ini jauh lebih baik. Sejujurnya, kalau dengan ini amarahnya reda, dia termasuk kategori sangat manis, ya. Justru aku merasa gemas melihat Mera-san yang menyombongkan diri dengan ekspresi bangga seperti itu.
Ah, jadi rindu...
Setengah tahun lalu aku membuat Himari marah, sampai kami bertengkar hebat soal pergi ke Tokyo atau tidak. Entah kenapa, pertengkaran itu terasa seperti sudah puluhan tahun yang lalu.
Namun, Shiroyama-san yang lebih peka dariku tidak tinggal diam. Dengan bangga sebagai murid nomor satu "you", dia memprotes dengan tegas.
"Jangan jahat pada Yuu-senpai!"
"Hah? Berisik, dasar anak anjing."
Di bawah tekanan Mera-san, Shiroyama-san langsung ketakutan dan bersembunyi di sudut ruang staf.
Sambil menjaga jarak agar tidak terkena serangan fisik, kali ini dia menyemangatiku.
"Yuu-senpai! Berjuanglah lagi!"
"Hm... yah, pada awalnya ini memang salahku, sih..."
"Apa kamu bisa menatap muka Himari-senpai kalau diperlakukan seperti pelayan begitu?!"
Maaf. Tapi aku yang sekarang ini adalah monster ciptaan Himari-senpai yang kamu hormati itu.... kumohon, cepat, bunuh saja aku....
Mera-san yang merasa di atas angin, bersenandung riang sambil berkata,
"Mulai sekarang Senpai adalah budakku. Tentu saja di sekolah juga. Ini sudah keputusan final, ya."
"Tentu saja itu..."
"Kamu ingin dimaafkan, kan?"
"Bukan, bukan begitu maksudku..."
Aku berkata dengan wajah serius,
"Dengan menjadikanku budak dan membawaku ke mana-mana, apa ada untungnya bagimu?"
"Eh..."
Wajah Mera-san menjadi sulit.
Dan setelah berpikir keras, dia berkata dengan serius, "Hmmm...", lalu akhirnya...
"Kurasa aku tidak butuh budak..."
"...Begitulah, ya."
Orang sepertiku yang kelebihannya hanya menyukai aksesori, kalau dijadikan budak, justru Mera-san sendiri yang akan malu. Pasti dia bakal diolok-olok oleh teman-teman gal-nya. ...Meskipun aku sendiri yang mengatakannya, rasanya jadi sedikit sedih.
Saat itu, Shiroyama-san malah menggembungkan pipinya.
"Yuu-senpai, harus lebih percaya diri! Kamu bisa menjadi budak yang hebat!"
"Apa itu harus kuanggap sebagai semangat...?"
Apa ada orang yang akan merasa tertakdirkan jika dibilang, "Kamu bisa jadi budak yang baik, ayo kita raih puncak dunia bersama!" ...ya?
Saat kami sedang membicarakan hal itu, pintu ruang staf terbuka.
Saku-neesan memunculkan wajahnya, lalu berkata pada kami,
"Waktu istirahat selesai. Segera isi ulang stok barangnya."
"Siap."
Kami buru-buru membereskan camilan dan minuman, lalu menuju ke area toko.
Nah, soal pengisian stok hari ini.
Tentu saja, ada tiga area: camilan, mi instan, dan walk-in....
Mera-san berkata dengan senyum yang sangat ceria,
"Senpai. Tolong, ya~♪"
"...Siap."
Tidak ada hak untuk menolak. Ya sudahlah. Aku juga sudah terbiasa dengan pekerjaan ini.
Dengan tekad seorang pejuang yang akan pergi ke medan perang, aku meraih jaket yang tergantung di depan walk-in....
"Eh?"
Jaketnya tidak ada?
Oh, ya, kalau tidak salah kemarin...
"Mera-san, jaketku mana?"
"...Ah!"
Eh? "Ah" apa maksudnya?
Kenapa wajahmu sedikit memucat dan terlihat canggung?
Sebelum sempat menduga—Mera-san sudah berkata dengan wajah tegang,
"Kemarin, aku membawanya pulang begitu saja... sepertinya?"
Mendengar jawaban yang sudah kuduga, aku rasanya ingin menangis.
"Kamu tidak membawanya hari ini...?"
"............"
Mera-san, dengan senyum manis, menyatukan kedua telapak tangannya.
"Senpai, semangat!"
"Tidak, aku tidak akan tertipu. Bahkan budak pun akan marah besar, tahu?"
"T-tapi kan itu salah Senpai yang kemarin bilang hal aneh, dong?!"
"Memang benar, tapi tetap saja ada hal yang tidak bisa kamu lakukan."
"Kemarin bisa, berarti hari ini juga bisa! Semangat!"
"Tolong jangan remehkan pekerjaan di walk-in saat musim dingin. Ini benar-benar bukan cuma sekadar berat. Bagaimana kalau kita kerjakan berdua lagi?"
"Tidak mau, tidak mau! Aku sama sekali tidak mau!"
Saat kami sedang ribut—tiba-tiba aku merasakan aura yang sangat kuat dari arah kasir.
""...!?""
Tepat pada saat aku dan Mera-san menoleh.
Pukulan Saku-neesan mengeluarkan dua suara yang keras.
♣♣♣
Aduh... Rasanya kepalaku mau pecah....
Saku-neesan kalau sudah marah karena ribut di toko memang serius. Meskipun tidak sekuat Iron Claw-nya Enomoto-san, pukulan Saku-neesan juga lumayan sakit....
Aku dan Mera-san segera menyelesaikan pekerjaan walk-in. Berkat itu, pekerjaan selesai dalam separuh waktu biasa, dan kami bisa melakukan pekerjaan lain dengan santai.
Shiroyama-san mengisi ulang makanan beku sambil matanya berbinar.
"Yuu-senpai! Aku terharu! Aku percaya kamu adalah pria yang bisa bertindak tegas saat dibutuhkan! Memang sudah kuduga dari Shishou-sama!"
"Shiroyama-san. Jangan biarkan pintu terbuka terus, nanti listriknya boros, lho."
Dipuji karena mengerjai junior perempuan itu tidak membuatku senang, sih.
Yah, bagi Shiroyama-san, keberadaan "you" memang sebesar itu, ya. Meskipun sedikit canggung, aku ingin menerimanya dengan lapang dada.
Saat kami sedang mengobrol, Mera-san yang tidak mood membersihkan lantai dengan pel sambil menggerutu.
"Lagipula, itu benar-benar menyebalkan, deh."
"Itu?"
Saat aku menoleh, Mera-san terkejut kaget.
"Soal 'Shishou' itu. Bodoh banget. Kebanyakan baca manga, ya."
"Bukan begitu. Shiroyama-san itu benar-benar serius dengan aksesorinya."
"Hah? Aku enggak ngomong sama kamu."
"Tidak, kamu menyerangku karena kamu tidak menyukaiku, kan...?"
Kemudian Shiroyama-san membalas dengan nada suaranya yang biasa.
"Aksesori Yuu-senpai itu luar biasa! Aku saja sudah diselamatkan karenanya!"
"...Haaah."
Mera-san menghela napas panjang.
Dengan kesal, dia menceburkan pel ke dalam ember.
"Lagipula, itu yang kubilang munafik. Kamu tidak tahu, ya, apa yang sudah dia lakukan padaku?"
"Ah, tunggu...!"
Melihat kegugupanku, Mera-san tersenyum licik.
"Apa? Tidak mau murid kesayanganmu tahu, ya?"
"Bukan, bukan begitu maksudnya..."
"Oh, benar, ya~ Kamu tidak mau murid kesayanganmu tahu, kan~ Nanti dia bisa kehilangan kepercayaannya padamu~ Lucu, deh~"
"Sudah kubilang, bukan begitu..."
Aku langsung menoleh ke arah Shiroyama-san.
Dia menatapku dan Mera-san bergantian dengan wajah datar. Ya, benar. Kemarin dia sudah mendengarnya, kan. Jadi, meskipun dibilang dengan bangga seperti itu, dia jadi serba salah, kan?
Mera-san tidak menyadarinya, dan tersenyum licik. Mungkin dia merasa sangat puas karena berhasil menyerang "permainan guru dan murid" kami.
Namun, perkataan Shiroyama-san adalah—
"Mana mungkin aksesori punya kekuatan untuk mengabulkan cinta?"
"...!"
Mera-san terperanjat kaget mendengar kata-kata yang tidak terduga itu.
Tanpa memedulikannya, Shiroyama-san melanjutkan,
"Aksesori itu kan cuma perhiasan, ya? Menurutku, orang yang percaya kalau cinta bisa terkabul hanya dengan memakainya, itu aneh..."
"...!?"
Wajah Mera-san memerah padam.
Aku menekan dahiku sambil bergumam, "Aduh..."
...Mera-san tidak tahu.
Shiroyama-san memiliki tatapan tenang yang tidak lazim untuk anak seusia SMP kelas tiga. Dan ternyata, kata-katanya tidak kenal ampun. Karena itu adalah kebenaran, makanya menusuk lebih dalam.
Secara keseluruhan, dia punya sifat yang mirip Saku-neesan kecil, tapi masalahnya adalah... tidak seperti Saku-neesan, dia tidak bisa memilih lawan bicaranya saat meluapkan emosi.
Di festival budaya tempo hari, dia terang-terangan mengatakan kepada orang yang baru dikenalnya, yaitu aku—meskipun sebenarnya lebih menusuk bagi Himari—dengan blak-blakan mengkritik kekurangan pameran, bahkan sampai mengatakan, "Lebih baik tidak mengerjakannya bersama." Dia adalah orang yang gagah berani.
Ini hanyalah spekulasiku pribadi, tapi... Shiroyama-san yang terasingkan di sekolah itu mungkin bukan karena dia "murung" seperti katanya, melainkan karena hal ini.
Dia masih SMP kelas tiga.
Menyeimbangkan sifat ini dengan hubungan sosial di sekitarnya pasti sulit.
Alasan aku tidak menceritakan hubunganku dengan Mera-san kepada Shiroyama-san adalah... mungkin karena aku sudah menduga akan seperti ini. Dan itu menjadi kenyataan... Aku kembali menyadari kesalahanku.
Seharusnya kemarin aku sudah memberitahunya dengan jelas.
Bahwa dia sama sekali tidak boleh mencampuri urusan masa lalu antara aku dan Mera-san.
Ini murni masalah antara aku dan Mera-san.
Namun, Shiroyama-san terlalu kurang pengalaman hidup untuk memahami hal itu.
...Tidak, ini hanya hasil akhir.
Bahkan jika sudah kukatakan sebelumnya, Shiroyama-san mungkin akan tetap melawan perkataan dan tindakan Mera-san, sehingga berakhir dengan skenario yang sama.
Bagaimanapun juga... kata-kata Shiroyama-san membuat Mera-san naik pitam.
Mera-san sendiri bukan tipe orang yang bisa mengabaikan sanggahan terhadap dirinya. Dia berteriak langsung pada Shiroyama-san, seolah ingin menerkamnya.
"Meskipun begitu, faktanya mereka mencoba menipu dan menjual aksesori padaku, kan!"
Shiroyama-san gemetar ketakutan mendengar nada bicara Mera-san yang kuat.
Sebenarnya, yang pertama kali mengemukakan ide tentang 'aksesori yang bisa mengabulkan cinta' itu adalah teman sekelasku, Inoue-san dan Yokoyama-san. Tapi, aku membiarkannya begitu saja. Aku ingin meningkatkan experience point aksesoriku, dan karena itu akan menambah pelanggan, aku membiarkan kalimat promosi yang berlebihan itu.
Tidak ada gunanya beralasan, 'Aku tidak menyangka dia akan percaya.'
Situasi ini tidak diragukan lagi adalah tanggung jawabku.
"Mera-san, itu tanggung jawabku. Shiroyama-san tidak ada hubungannya—"
"Berisik! Senpai diam saja!"
Mera-san menatap lurus ke arah Shiroyama-san.
Targetnya sudah berubah. Sebelumnya, dia mengerjai Shiroyama-san untuk menggangguku. Tapi sekarang, dia sepenuhnya memandang Shiroyama-san.
Firasat buruk menyelimutiku. Namun, sebelum sempat kuhentikan, Mera-san mendekatinya.
Kemudian, dengan nada meremehkan, dia menunjuk dada Shiroyama-san dan tertawa.
"Kamu, pasti tidak punya teman, kan? Orang menyebalkan sepertimu, tidak ada juga yang mau berteman denganmu!"
"...!"
Ekspresi Shiroyama-san mengeras.
Melihat ekspresi itu, Mera-san yang merasa senang, terus menyerang.
"Kupikir aneh banget kamu mati-matian membela Senpai ini... Tapi benar juga ya. Kurasa mau bagaimana lagi kalau kamu tidak punya teman lain. Liburan musim dingin yang seharusnya menyenangkan pun, satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan cuma membantu orang ini, kan?"
Lalu, sambil menatap lurus ke depan, dia berkata seolah mengorek luka.
"Tapi, itu pada akhirnya cuma pelarian dari kenyataan, kan? Kamu memanggil dia 'Shishou' atau apalah, tapi sebenarnya kamu cuma cari muka, kan? Bilang 'Aku menghormatimu sebagai Guru' biar dia tidak meninggalkanmu? Makanya kamu selalu bilang 'ya' untuk apa pun, kan? 'Hebat sekali', 'Luar biasa sekali', aku sudah muak mendengarnya. Kamu bicara seolah-olah dirimu benar, padahal cuma menyanjung orang yang kebetulan menguntungkan karena tidak punya teman lain. Orang seperti itu, meskipun diminta, aku tidak akan mau berteman dengannya!"
Tidak boleh. Aku buru-buru mencoba menghentikannya.
"Jangan bicara begitu! Akulah yang salah di sini!"
"Hah? Aku tidak bilang sesuatu yang separah itu kok... oh."
Mera-san berbalik, matanya terbelalak kaget.
Mengikuti tatapannya, aku pun kehilangan kata-kata.
Air mata Shiroyama-san berjatuhan deras dari matanya.
Bibir itu bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu.
Namun, tak ada kata yang terucap, hanya terkatup rapat.
"...Begitu, ya."
Hanya itu yang Shiroyama-san katakan sebelum berlari masuk ke ruang staf.
"............"
"............"
Mera-san berkata dengan nada canggung,
"Tidak perlu melebih-lebihkan begitu, kan..."
Dengan perasaan frustrasi, aku mengepalkan tangan.
Nilai dari sebuah kata mencerminkan nilai dari orang yang mengucapkannya.
Seperti yang sering dikatakan orang, yang penting bukanlah 'apa yang dikatakan', melainkan 'siapa yang mengatakan'. Kata-kata yang sama bisa memiliki makna yang sama sekali berbeda tergantung pada tingkat kesukaan terhadap si pengucap.
Kata-kata penghiburan dari orang yang dekat akan menghangatkan hati.
Kata-kata teguran dari orang yang dekat akan menguatkan hati.
Namun, kata-kata itu sungguh aneh.
Terkadang, ejekan dari orang yang sama sekali tidak dikenal justru bisa menusuk lebih dalam daripada apa pun.
Shiroyama-san sekilas mungkin terlihat mampu mengendalikan emosinya dengan baik.
Mungkin orang akan berpikir, "Apa pun yang dikatakan gadis seperti Mera-san, dia pasti tidak akan peduli," tapi kenyataannya berbeda.
Ada kalanya, kata-kata dari orang yang sama sekali tidak mengenal diri kita terasa seperti kata-kata dari dunia yang tidak ada filter apa pun.
Jika aku mengatakan hal yang sama, dia mungkin bisa menertawakannya sebagai lelucon.
Tapi kata-kata Mera-san, yang bahkan tidak mengenalnya, tidak bisa begitu saja untuk diabaikan.
Momen ketika seseorang merasa seperti sedang dihakimi oleh dunia, itu akan dengan mudah menyingkapkan perasaan jujurnya yang selama ini berhasil disembunyikan dalam hati.
"Shiroyama-san merasa kesulitan mendapatkan teman di sekolah. Tolong jangan bicara seperti itu."
"Hah? Teman kan bisa didapat dengan mudah. Tiba-tiba jadi serius dan tidak jelas begitu."
Perkataan Mera-san ini tidak terdengar seperti memiliki niat jahat. Sebaliknya, dia tampak bingung dengan reaksi kami.
Gadis ini mengatakannya tanpa sedikit pun keraguan. Seolah itu adalah hal yang wajar di dunia, dan semua orang tanpa kecuali bisa menikmatinya. Seperti, "Kalau haus, tinggal beli jus saja, kan?"
Aku berpikir, mungkin gadis ini memang dikelilingi oleh orang-orang baik.
Meskipun di depanku dia seperti ini, di depan teman-temannya dia pasti gadis yang ceria dan baik. Dan orang-orang di sekitarnya juga menganggapnya teman yang baik. Sampai-sampai mau bekerja sama melakukan kenakalan di pameran aksesori saat festival budaya.
Tapi...
"Ada orang yang tidak bisa melakukan hal yang bagi kebanyakan orang terlihat mudah."
"............"
Mendengar kata-kata yang kuucapkan dengan susah payah, Mera-san terdiam, tercengang.
Ada orang yang tidak bisa jatuh cinta secara normal.
Ada orang yang tidak bisa merasakan kebahagiaan secara normal.
Dunia ini tidak terlalu ramah kepada orang-orang seperti itu.
Ada kalanya, jika tidak bisa menjadi "normal", tidak akan mendapatkan apa-apa.
"Kalau itu tentang hal yang sudah kulakukan kepadamu, kamu tidak perlu memaafkanku. Kalau itu bisa membuatmu puas, jadikan saja aku budakmu atau apa pun. Tapi... Shiroyama-san sama sekali tidak bersalah."
Dia menghormati orang yang tidak bisa melakukan apa-apa sepertiku.
Dia menerima orang yang berpisah dengan Himari karena alasan egois sepertiku.
Meskipun aku tidak bisa membalas apa pun, dia bilang itu tidak apa-apa.
Sangat menyesakkan hatiku melihat gadis seperti itu sampai memasang wajah seperti tadi karena diriku.
"Mera-san, aku... tetap tidak bisa menyukaimu."
"...!"
Wajah Mera-san mengerut.
Dengan bibir bergetar, dia berkata padaku dengan jelas,
"Aku juga tidak suka orang sepertimu, Senpai."
Dia menarik napas pendek, lalu menatapku lurus.
"Lagipula aku tidak bisa memahamimu sebagai manusia. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Tidak bisa menjadi normal, jadi berusaha keras melakukan hal yang tidak normal? Itu kan cuma pelarian dari kenyataan. Seperti teriakan putus asa dari seorang pecundang. Kamu sok bijak, menceramahiku agar tidak melibatkan orang lain ke dalam masalahmu, tapi kamu sama sekali tidak sadar sudah mengacaukan kehidupan sekolahku. Sejak kejadian itu, aku jadi sulit datang ke klub, diejek teman-teman perempuan lain, ini yang paling buruk dan mengerikan dalam hidupku—"
Sambil bicara, suaranya bergetar.
Dengan suara seperti tersedu-sedu, Mera-san berkata padaku,
"Aku sungguh mencintainya—dan gara-gara kamu, semuanya hancur!"
Mera-san, yang mati-matian menahan air matanya, sejenak tampak seperti Himari.
Hatiku terguncang.
Rasa sakit yang tak terlukiskan menusuk dadaku.
Ah, jadi begitu—
Apakah ini rasa sakit karena patah hati?
Begitu aku menyadarinya, semua alasan yang mati-matian kucari—ini demi aksesoriku, atau ini penting untuk meraih impianku—pertahanan diri yang tak berarti itu terasa runtuh begitu saja.
Dan di balik keruntuhan itu adalah—semacam kekaguman.
Aku teringat perkataan Shiroyama-san tadi malam.
Kenapa di hadapan Mera-san, aku selalu ingin berselisih seperti ini?
Meskipun secara logika aku tahu bahwa aku juga punya salah dalam kejadian sebelumnya, entah mengapa gadis ini selalu membuat hatiku bergejolak. Alasannya memang sedikit aneh.
Bukan apa-apa.
Aku hanya iri pada Mera-san.
Kesungguhan hati yang begitu gigih untuk terus mempertahankan satu-satunya cinta itu sungguh memukau.
Karena, aku tidak memiliki hal itu.
Aku dengan mudah melepaskan cinta ketika harus memilih antara impian dan cinta.
Berbicara dengan gadis ini, rasanya menakutkan, seolah aku dihadapkan pada kenyataan bahwa pilihanku salah.
Karena itu, mungkin aku melawan untuk menghindari melihat kenyataan itu secara langsung.
"Aku benar-benar membencimu, Senpai."
Mera-san mengusap matanya dengan kasar.
"Jadi, aku tidak akan menjadi orang yang tidak bertanggung jawab sepertimu."
Mengatakan demikian, dia masuk ke ruang staf.
Di sana, Shiroyama-san sedang menangis, dan Saku-neesan berusaha menenangkannya.
Mera-san, tanpa gentar, berdiri di depan Shiroyama-san. Lalu menatap lurus ke bawah dan berkata dengan suara dingin,
"Anak anjing."
Shiroyama-san terperanjat.
Kepada gadis itu, Mera-san berkata dengan jelas,
"Aku akan menjadi temanmu."
Mendengar kata-kata itu.
Semua orang terheran-heran, "...Hah?"
Bukan hanya aku dan Shiroyama-san, bahkan Saku-neesan pun tercengang. Tanpa memedulikan suasana itu, Mera-san menarik lengan Shiroyama-san hingga berdiri.
"Kamu melarikan diri ke pembuatan aksesori karena tidak punya teman, kan? Aku akan menjadi temanmu. Bersiaplah, aku akan membuatmu bermain sampai kamu tidak ingin lagi mengatakan hal-hal menyebalkan seperti 'Shishou' atau apalah itu."
Dia mengacak-acak rambut Shiroyama-san dengan kedua tangannya.
"Jadi, jangan murung di depanku!"
Mata Shiroyama-san membulat.
—Mungkin karena aku murung, dia jadi kesal saat bicara denganku?
Shiroyama-san pernah mengatakan itu di festival budaya.
Mera-san pasti tidak mendengar perkataan itu.
Kata-kata Mera-san memang kasar.
Tapi entah kenapa.
Aku berpikir, kata-kata itu mungkin adalah yang dibutuhkan Shiroyama-san. Tidak ada lagi yang akan membicarakannya di belakang. Terlihat jelas niat untuk menerimanya apa adanya.
Entah mengapa, sosok itu tumpang tindih dengan Himari di festival budaya SMP.
Pada saat Himari mengakui semangatku—mungkin aku memasang wajah yang sama seperti Shiroyama-san sekarang.
Shiroyama-san mengatupkan bibirnya, lalu mengangguk dengan suara bergetar.
"...Siap."
Aku tidak akan menjadi orang yang tidak bertanggung jawab sepertimu.
Aku mengerti makna dari kata-kata itu.
Pada saat yang sama, aku juga memahami sifat asli Mera-san.
Aku jadi benar-benar menyadari bahwa selama ini aku hanya melihat permukaan dari para klien.
Kata-kata yang kasar, namun tulus.
Aku tidak akan menjadi orang yang tidak bertanggung jawab sepertimu.
Seseorang harus menyelamatkan orang yang telah ia sakiti dengan tangannya sendiri.
Aku berpikir, mungkin itu adalah Mera-san yang sebenarnya, sosok dirinya yang tidak kukenal.
—Apakah aku juga bisa melakukan sesuatu untuk cintanya yang telah hilang?
"Mera-san."
Begitu memikirkan itu, aku berkata padanya,
"Aku juga ingin menebusnya. Biarkan aku membuatkanmu aksesori yang benar-benar bisa mengabulkan cinta."
Mendengar kata-kata itu, Mera-san—
"Hah? Tidak mau."
...Ruang staf menjadi sunyi senyap.
Saku-neesan menekan pangkal hidungnya seolah menahan sakit kepala.
Shiroyama-san ternganga.
Dan Mera-san, dengan ekspresi "Apa-apaan orang ini?".
Aku seorang diri menunduk, diliputi perasaan sedikit malu.
Ya... sudah kuduga.
♣♣♣
Keesokan harinya.
Saat istirahat di minimarket.
Di atas meja persegi untuk empat orang, terhampar berbagai kain berwarna-warni.
Shiroyama-san, sambil memegang salah satu kain, berbicara dengan riang.
"Aksesori kain itu memang terlihat sederhana, tapi potensinya tidak terbatas dan luar biasa! Tentu saja bahan apa pun bisa dijadikan aksesori, tapi yang paling keren adalah kita bisa menciptakan kesan tiga dimensi yang unik dengan menumpuk bahan-bahan yang sama sekali berbeda! Kalau aksesori logam, kan, cenderung hanya menggunakan satu jenis bahan. Tapi aksesori kain itu luar biasa karena bisa menggunakan sisa kain, baju bekas, bahkan celana jins lama pun bisa jadi bahan. Dan ketika ditumpuk, itu bisa menciptakan ketebalan yang indah. Misalnya, kalau renda ditumpuk dengan kain denim, ketebalannya jadi bervariasi dan hasilnya luar biasa—"
"............"
Mera-san mendengarkan celotehan cepat khas seorang otaku dengan wajah tanpa ekspresi.
Setelah mendengarkan tanpa sepatah kata pun, dia hanya mengucapkan satu kalimat.
"Tidak mengerti."
Mendengar itu, Shiroyama-san entah mengapa langsung tersenyum cerah.
"Kalau begitu, aku akan jelaskan sekali lagi!"
"Tidak perlu!"
Mera-san berteriak.
"Aduh! Orang ini benar-benar cuma bicara soal aksesori, ya! Lagipula, kosakata pujiannya cuma 'luar biasa' doang, kenapa, sih?!"
Sambil menggaruk-garuk kepala, dia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Daripada itu, soal drama kemarin yang..."
"Tidak nonton!"
"Aaaaaah...!"
...Sulit sekali, ya.
Aku berubah menjadi patung di sudut agar tidak mengganggu, sambil mengamati situasi itu.
Akhirnya Mera-san yang menyerah mengubah topik pembicaraan, menelungkupkan wajahnya di meja.
"...Sudahlah. Bicara saja sesukamu."
"Baik!"
Shiroyama-san, luar biasa sekali... Ah, aku jadi ikut-ikutan kosakata Shiroyama-san.
Namun, kalau sudah sepihak begini, aku jadi khawatir. Karena aku pun pernah mengalaminya. Seorang otaku, kan, kalau sudah bicara tentang hal yang diminati, dia jadi lupa diri....
Saat aku sedang gelisah, entah kenapa kakiku ditendang dari bawah meja. Mera-san, pelakunya, mendengus.
"Aku tidak mau jadi pembohong sepertimu, Senpai."
Kata-katanya sungguh menusuk hatiku....
Saat aku tersenyum pahit, Shiroyama-san yang melihat interaksi kami, tiba-tiba mendapat ide cemerlang.
"Itu benar! Yuu-senpai juga ikut jadi teman saja!"
"Hah? Kenapa?"
Mera-san bertanya balik dengan ekspresi "Apa-apaan orang ini?".
Namun, Shiroyama-san, dengan sangat serius, memiringkan kepalanya.
"Tapi Kamako-senpai, kamu cukup menyukai Yuu-senpai, kan?"
"Haaah?! Kenapa jadi begitu?!"
Shiroyama-san melanjutkan dengan bangga.
"Kemarin, Onee-sama bilang, rasa benci itu adalah kebalikan dari obsesi. Jujur saja, kalau dilihat dari luar, kamu yang terus-menerus menyerangnya itu tidak beda jauh dengan orang yang berkali-kali berteriak 'I love you'."
"............"
Wajah Mera-san seketika memerah padam.
Pada saat yang sama, dia mencengkeram twintail Shiroyama-san.
"Jangan besar kepala~~~~!"
"Kyaaaaa! Tolak kekerasaaaan!"
Karena takut kena imbasnya, aku menghilangkan keberadaanku dan fokus menjadi patung.
Saat aku berpikir, 'Semoga tidak dimarahi Saku-neesan, ya...', Mera-san yang sepertinya sudah puas menghukum Shiroyama-san, tertawa padaku dengan provokatif, "Heh."
"Yah, kalau Senpai memohon sih, mungkin bakal kupikirkan?"
Menanggapi itu.
Aku tersenyum balik dengan ceria.
"Aku benar-benar menolak."
"...💢"
Mera-san mengamuk, lalu kami semua dihukum oleh Saku-neesan.
Dengan perasaan tidak terima, aku mulai memasang dekorasi Tahun Baru.
Post a Comment