NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 7 Chapter 5

 Penerjemah: Nobu

Proffreader: Nobu


Chapter 5

 “Kamu Menolak Cintaku”


Dua puluh tiga Desember.

     Sekolah sudah memasuki libur musim dingin, memberi kami waktu luang.

     Namun, toko kue itu justru kelabakan. Bahkan dapur yang biasanya tenang, hari ini semua orang berlarian ke sana kemari. Aku pun sudah keluar untuk bekerja paruh waktu sejak pagi, sibuk membantu menyelesaikan dekorasi kue.

     Memang benar, ini adalah puncak kesibukan dalam setahun. Minimarket kami juga sibuk pada waktu seperti ini, tapi tidak sebanding dengan ini....

     "Natsume-kun! Tolong selesaikan yang ini!"

     "Siap!"

     Kue bolu yang telah dibekukan dalam jumlah besar khusus untuk hari ini, diisi dengan krim kocok dan buah-buahan. Setelah sampai padaku, aku menambahkan krim kocok dan melakukan sentuhan akhir.

     Sedikit saja lengah, aku bisa salah jenis kuenya!

     (Ini memang, sangat merepotkan...!)

     Kalau bicara tentang toko kue saat Natal, bayanganku adalah tanggal dua puluh empat lah yang paling sibuk.

     Namun, begitu benar-benar bekerja di toko ini, ternyata tanggal dua puluh tiga inilah yang paling sibuk. Sebab, tanggal dua puluh empat harus fokus pada penjualan, jadi semua persediaan, termasuk pesanan, harus sudah disiapkan hari ini.

     Sambil memikirkan hal bodoh seperti, "Jangan-jangan tanggal dua puluh tiga itu hari libur demi mempertimbangkan toko kue...", datanglah lagi kue-kue yang menunggu sentuhan akhir.

     Staf kasir membuka pintu dapur.

     "Manajer, ada pesanan mendadak! Kue nomor 2 ukuran 15, apakah sudah dibuat?!"

     "Kalau stoknya ada di kulkas."

     "Pelanggan minta tanpa kiwi..."

     "Oh, begitu."

     Masako-san melongok ke mejaku.

     Kue nomor 2 ukuran 15... Ah, itu yang akan kuselesaikan.

     "Natsume-kun. Selesaikan kue tanpa kiwi itu, lalu berikan pada pelanggan."

     "Bagaimana dengan bagian yang kosong?"

     "Tambahkan saja, cinta terbaikmu ya, Natsume-kun♪"

     "Bagaimana dengan bagian yang kosong?"

     "Isi saja dengan stroberi yang sudah dipotong setengah itu..."

     "Baik!"

     Aku menghilangkan kiwi dari resep standar dan mengisi bagian kosongnya dengan stroberi yang sudah dipotong setengah. Setelah itu, aku mengoleskan nappage transparan dengan cepat di atasnya... Oke, selesai sudah.

     Pekerjaan ini mengingatkanku pada kegagalanku saat membuat tiara di libur musim panas lalu... Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama!

     Setelah selesai mengemas, kubawa ke bagian depan toko.

     "Sudah jadi!"

     Staf kasir sedang melayani pelanggan lain. Dari sana, ia mengisyaratkan dengan pandangan mata agar aku menyerahkannya langsung.

     "Uhm, pelanggan yang memesan kue ini..."

     Apakah ibu yang bersama anaknya itu?

     "Apakah Anda pelanggan yang pesan kue tanpa kiwi?"

     "Ah, kami!"

     Setelah mengonfirmasi pesanan dan menyelesaikan proses pembayaran, aku hendak menyerahkan kue. Seorang gadis kecil, mungkin berusia taman kanak-kanak, mengulurkan kedua tangannya. Ia anak yang lucu dengan rambut dikepang dua.

     "Aku yang pegang!"

     "Tidak, Nak. Ibu saja yang pegang."

     "Mau~ pegang~!"

     Ia tampak tidak mau menuruti perkataan ibunya.

     Tampaknya sang ibu mengalah, dan anak itu akhirnya yang memegang kue. Aku menyerahkan produk itu dengan hati-hati, dan si anak menerimanya dengan ragu-ragu.

     Sambil menatap cemas, kotak itu sedikit bergoyang.

     "Ah!"

     Namun, dia berhasil memegangnya dengan erat kembali.

     Aku dan ibunya merasa lega, lalu saling pandang dan tersenyum kecut.

     "Terima kasih banyak!"

     "Dadah~!"

     Setelah mengantar ibu dan anak itu, aku kembali ke dapur dengan perasaan hangat.

     "Entah kenapa, suasana seperti ini menyenangkan ya..."

     Masako-san tersenyum-senyum sambil mengibas-ngibaskan selembar dokumen.

     "Ufufu. Natsume-kun, nanti kamu mau mengisi ini~?"

     "Membawa surat nikah ke dapur itu tidak patut ya. Akan saya laporkan."

     "Waah! Hanya bercanda kok~!"

     Enomoto-san, yang sedang memotong buah dengan cepat, melotot tajam. Pisau buah di tangannya berkilat.

     "Kita sedang sibuk, kalian berdua tolong serius."

     "Siap..."

     "Baik..."

     ...Dan kemudian pukul empat sore tiba.

     Entah bagaimana, kami berhasil menyelesaikan semua pesanan sesuai target.

     Aku pun sangat lelah dan langsung terduduk di kursi.

     "Hah~, selesai juga..."

     "Yuu-kun. Kerja bagus."

     "Enomoto-san juga, kerja bagus..."

     Dasar Enomoto-san, sepertinya dia masih santai...

     Bersama-sama kami mengangkut kotak kue terakhir ke dalam kulkas besar di belakang. Ruangan yang pagi tadi penuh dengan krim kocok dan buah-buahan kini telah berubah, rapi dipenuhi kotak-kotak kue.

     Aku merasa takjub melihat tumpukan kue Natal yang menjulang tinggi.

     "Ini nanti malam, tidak akan ada gempa bumi kan...?"

     "Jangan bilang begitu, kesannya seperti pertanda buruk..."

     Setelah meletakkan kue terakhir, sebagai jaga-jaga, kami mengikat isi kulkas dengan sabuk pengikat barang. Dengan begitu, tidak akan ada yang jatuh meskipun terjadi sesuatu.

     Saat kembali ke dapur, Masako-san sedang memberikan kata-kata penyemangat kepada para staf.

     "Terima kasih atas kerja keras kalian hari ini. Setelah besok berlalu, keadaan akan lebih tenang untuk sementara. Mari kita hadapi ini bersama-sama ya."

     "Baik!"

     Para ibu paruh waktu pulang dengan senyum ceria. Di dapur yang kini sepi tanpa mereka, aku dan Enomoto-san membulatkan tekad.

     Masih ada pekerjaan beres-beres hari ini, dan satu hal lagi....

     "Nah, kalau begitu, Yuu-kun. Sudah siap?"

     "Ya. Mohon bantuannya."

     Sebelum beres-beres... aku punya satu tugas terakhir.

     Enomoto-san telah menyiapkan bolu yang digunakan di toko, buah-buahan yang sudah dipotong, dan krim kocok yang di-whipped dengan hati-hati.

     "Bahan-bahan untuk kue Hii-chan sudah lengkap."

     "Terima kasih!"

     Aku menyiapkan edible flower yang terkemas rapi.

     Mulai sekarang, aku akan membuat kue original untuk Himari.

     "Kalau begitu, aku beres-beres dulu, ya. Kalau ada apa-apa, panggil saja."

     Kata Enomoto-san, lalu dia mulai membersihkan oven di sana.

     "Baiklah, ayo mulai."

     Kue dengan edible flower sebagai sorotan utamanya.

     Konsepnya sudah terbentuk dalam benakku.

     Pertama-tama, sama seperti kue-kue toko, aku melapisi buah-buahan dan krim kocok putih di antara dua lapis kue bolu.

     Dan dari sinilah, bagian terpentingnya. Aku tidak punya bahan cadangan, tapi aku akan mencobanya walau tanpa latihan.

     Memegang pisau palet, aku mulai melukis pemandangan hari itu pada kue bundar di hadapanku.

     ──Fokus.

     Aku bisa mengingatnya seperti baru kemarin.

     Hari itu adalah hari yang cerah.

     Meskipun udara dingin, hawa segar terasa nyaman di kulit.

     Airnya dingin, dan aliran sungai memantulkan cahaya matahari, berkilauan.

     Pemandangan fantastis, seolah barisan pohon maple merah terang tenggelam di dalam sungai, masih terekam jelas di benakku.

     "Kita akan selalu menjadi pasangan yang tak akan pernah pudar, ya♡"

     Dengan hati-hati aku mengambil krim kocok, seolah mereplikasi perasaan Himari saat itu. Aku membagi krim kocok ke dalam tiga mangkuk dan memberinya tiga warna berbeda dengan pewarna makanan.

     Merah yang sudah sepenuhnya berwarna, kuning yang seolah baru akan dimulai, dan oranye yang cerah. Dengan tiga pisau palet, aku mengoleskan setiap warna secara bergantian di atas kue bolu. Sengaja kubuat permukaannya tidak rata, untuk merepresentasikan karpet daun maple yang menutupi seluruh permukaan musim gugur. Dengan begitu, ketiga warna itu tidak akan bercampur, melainkan saling menonjolkan keindahannya.

     (Aku sudah berlatih di sela-sela pekerjaan paruh waktu, tapi ternyata tetap sulit...)

     Meskipun ada bagian cekung dan cembung, ketebalan krim kocok harus tetap merata. Jika hanya sebagian saja yang menggunung, kue akan langsung terlihat tidak proporsional.

     Bahkan jika itu terjadi, aku tidak bisa mengikisnya dengan pisau palet. Tiga warna krim kocok yang bercampur juga tidak boleh terjadi.

     (Agar Himari bisa dengan jelas mengingat hari itu, saat dia menikmati waktu bersama sebagai pacar...)

     Di atas kue kecil ini, aku ingin menciptakan dunia besar yang membuat Himari ingin berbaring telentang. Aku ingin mengukir bukti kebersamaanku dengan Himari. Aku ingin membuat kue yang bisa memancarkan keindahan, sehingga dia akan memotongnya dengan perasaan itu.

     ...Pemberian krim kocok sudah selesai. Terakhir, alih-alih buah, aku menaburkan bunga edible yang sudah didapatkan oleh Araki-sensei—

     "...Selesai!"

     Menyadari gerakan tanganku yang mengepalkan tinju, Enomoto-san melongok dan berseru "Ohh..." dengan takjub.

     "Wah, hebat sekali..."

     "Cukup tegang tadi, tapi syukurlah berhasil dengan baik."

     Kue yang mereplikasi pemandangan indah daun maple yang berguguran.

     Jika harus menjelaskan konsepnya...

     "Aku mencoba membuat kue dari pengalaman kencan pertama kami, yaitu saat berburu daun musim gugur bersama Himari."

     "Memang benar, Hii-chan pasti akan sangat senang dengan ini sekarang."

     Tapi sungguh, hasilnya seperti sebuah keajaiban.

     Kualitasnya jauh lebih baik dari yang kubayangkan sebelumnya. Saat aku sedang asyik tersenyum bangga, Enomoto-san yang sedang memotret dengan ponselnya tiba-tiba berujar.

     "Yuu-kun, kamu memang pandai mengekspresikan kenangan atau perasaan orang lain dalam bentuk sesuatu, ya."

     "Kenangan?"

     Sambil menyiapkan kotak untuk kue, aku memiringkan kepala mendengar kata-kata santai itu.

     "Sekitar bulan Juni lalu, kamu sempat mendengarkan cerita para murid di sekolah dan membuat aksesori sesuai pesanan mereka, kan? Waktu itu juga hasilnya dapat sambutan yang luar biasa… yah, kecuali dari sebagian orang."

     "Ah, benar juga... kecuali sebagian orang."

     Meskipun ada kenangan yang sedikit pahit, pengalaman itu tetaplah berharga.

     Masalahnya adalah aku sama sekali belum bisa memanfaatkan pengalaman itu.

     Kalau dipikir-pikir, aku memang selalu begitu. Baik perjalanan ke Tokyo maupun festival budaya, tidak peduli seberapa berharganya pengalaman yang kudapatkan, aku tidak tahu bagaimana mewujudkannya.

     Mungkin ini berarti aku masih belum matang... tapi, ada bagian yang tidak bisa kuterima hanya dengan alasan itu.

     Di manakah jalan yang harus kutempuh? Aku tidak memiliki karakter unik seperti Tenma-kun atau Sanae-san di Tokyo. Atau bisa dibilang, keunikan sebagai seorang kreator...

     Aksesori bunga bukanlah sesuatu yang one-of-a-kind dariku.

     Jika dicari di internet, ada banyak orang yang lebih terampil dariku.

     Satu-satunya hal yang kumiliki adalah, aku hanya menyukai bunga dan sedikit bisa memahami perasaan klien. Aku rasa itu tidak bisa menjadi ciri khas sebagai seorang kreator.

     Dengan perasaan seperti itu, aku menggelengkan kepala menanggapi perkataan Enomoto-san.

     "Tapi, hal seperti itu bisa dilakukan siapa saja. Itu tidak bisa disebut keahlian."

     Sambil mengatakan itu, aku meletakkan kue untuk Himari ke dalam kulkas.

     Baiklah. Sekarang tinggal menyelesaikan beres-beres dapur, lalu membawa ini pulang.

     "Enomoto-san. Aku akan mengepel lantai... Eh?"

     Entah mengapa Enomoto-san membelalakkan mata, jadi wajahku pun ikut-ikutan aneh.

     "Tidak bisa?"

     "Eh...?"

     Mendengar itu, aku jadi bingung.

     "Mengepel lantai enggak boleh ya...?"

     "Bukan begitu, maksudku soal aksesori tadi..."

     Soal aksesori? ...Apakah yang dibicarakan tadi soal mewujudkan kenangan orang lain dan semacamnya?

     Aku terkejut karena mengira semuanya sudah selesai. Saat aku masih terdiam, Enomoto-san melanjutkan perkataannya.

     "Biasanya, hal seperti itu tidak mungkin. Mampu mereplikasi isi hati orang lain, itu tidak bisa dilakukan oleh orang dengan selera biasa."

     "Tapi Enomoto-san dan yang lainnya juga membuat kue berdasarkan permintaan pelanggan, kan...?"

     "Tentu saja kami bisa mengakomodasi buah favorit atau pertimbangan alergi. Tapi, menurutku itu adalah hal yang secara fundamental berbeda."

     Sambil berbicara, Enomoto-san mulai mencuci peralatan pembuat kue.

     "Pada dasarnya, seorang patissier mengekspresikan dunianya sendiri. Orang lain bisa memuji keindahannya, tapi itu hanya dunia batin si patissier."

     "Aku masih belum begitu paham, sih..."

     Aku juga melanjutkan percakapan sambil mengepel lantai.

     "Kurasa itu karena Yuu-kun melakukannya secara normal, jadi kamu tidak merasakannya. Mampu membentuk isi hati pelanggan, itu tidak mungkin dengan selera biasa. Maksudku, itu kan seperti bisa mengintip isi hati orang lain? Aku selalu kagum, 'Orang ini bisa melakukan hal yang aneh ya'."

     "Hal yang aneh..."

     Mendengar itu secara tiba-tiba, rasanya menusuk hati...

     Enomoto-san tersenyum kecut sambil menggosok spons hingga berbusa.

     "Tapi, menurutku itu adalah bakat. Kalau patissier yang bisa melakukan hal seperti itu... seperti mereka yang dipercaya membuat kue pernikahan pesanan khusus di hotel-hotel besar. Kurasa kamu selevel dengan orang-orang seperti itu."

     "Oh, yang kadang jadi viral di media sosial itu ya...?"

     Video-videonya sering muncul di Twitter, ya.

     Meskipun dari industri yang berbeda, aku juga suka menonton video semacam itu. Tekniknya luar biasa, dan aku sering berpikir apakah bisa diterapkan pada aksesori buatanku...

     ...Eh?

     Aku menjatuhkan pel.

     Saat aku masih terdiam dalam lamunan, ide itu tiba-tiba terlintas di benakku.

     ──Menambahkan bunga pada kenangan berharga klien, lalu mengabadikannya dalam bentuk aksesori.

     Ada sesuatu yang merayap di punggungku, seolah membelai tulang belakang.

     Hal yang selama ini kulakukan seolah-olah tanpa pikir panjang, kini akhirnya memiliki nama. Tapi, hal sesederhana itu saja… kadang bisa mengubah segalanya.

     "Aksesori Bunga Kenangan"

     Apakah hal seperti itu mungkin?

     Tetapi, kalau memang memungkinkan... Kalau itu bisa menjadi keunikan diriku sebagai seorang kreator.

     Selama ini aku meraba-raba, berjalan dalam kegelapan pekat.

     Tenma-kun, Sanae-san... sambil menerima sedikit cahaya dari berbagai orang, aku terus melangkah, menerangi jalan di bawah kakiku dengan cahaya redup itu.

     Namun kini, pandanganku tiba-tiba terbuka lebar.

     Seolah ujung jalan, tiba-tiba terlihat...

     Ujung jalan itu diselimuti kabut tipis.

     Belum jelas, tapi aku bisa melihat samar-samar sebuah siluet.

     Ingin menjadi apa?

     Ingin menjadi kreator seperti apa?

     Bayangkan.

     Itu yang pertama.

     Bagaimana bisa memilih jalan yang harus ditempuh kalau titik tujuan akhir saja tidak bisa dibayangkan.

     Poin pengalaman yang dikumpulkan secara membabi-buta, secara acak, juga diperlukan.

     Namun yang terpenting adalah bagaimana menggunakannya.

     Mau dihidupkan atau dimatikan, semuanya bergantung pada bayangan yang kuat.

     Aku tanpa sadar menggenggam tangan Enomoto-san.

     "Enomoto-san!"

     "Y-ya...?"

     "Enomoto-saaan!!"

     "Ya!"

     Enomoto-san menatap mataku dengan tatapan terkejut.

     Spons penuh busa di tangannya jatuh ke lantai dengan suara "pluk".

     Dadaku berdebar kencang, dipenuhi emosi yang tidak kumengerti. Tapi aku tidak merasa tidak nyaman, justru rasanya sangat menyenangkan... Singkatnya, aku mendapatkan sebuah kilasan ide yang kuat.

     Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menaruh harapan pada diriku sendiri.

     "Aku barusan memikirkan sesuatu yang sangat bodoh."

     "Begitu ya...?"

     "Kalau benar-benar ini bisa terwujud..."

     "U, umm..."

     Aku berusaha keras mengubah kilasan ide itu menjadi kata-kata.

     Tapi sulit, aku benar-benar tidak tahu harus bicara apa agar dia mengerti.

     Aku hanya bisa menatap matanya dengan penuh harap.

     Saat mata Enomoto-san sedikit bergetar karena kebingungan—

     ...Entah kenapa, Masako-san menyeringai di balik pintu.

     "Wah~♪ Karena kalian lama sekali, aku datang untuk melihat... Apa aku mengganggu ya?"

     Kami berdua baru menyadari posisi kami.

     "............"

     "............"

     Hah!

     Aku buru-buru menjauh, lalu mengambil pel. Enomoto-san mengganti spons dengan yang baru dan mulai menggosoknya hingga berbusa.

     Dan seperti tidak terjadi apa-apa, dia melanjutkan bersih-bersih.

     Masako-san mencibir sambil memajukan bibir.

     "Duh, kalian berdua ini pemalu sekali, sih~"

     "Ibu, berisik. Emangnya ada perlu apa?"

     Enomoto-san berkata dengan nada yang sangat kesal.

     Yah, aku mengerti perasaannya. Aku sendiri juga saking malunya sampai ingin menghilang saja...

     "Ah, iya! Persiapannya sudah selesai, jadi setelah kalian selesai beres-beres, datanglah ke ruang tamu rumah ya."

     "Persiapan?"

     Aku dan Enomoto-san saling berpandangan.

♣♣♣

     Setelah selesai beres-beres, aku menuju ruang tamu.

     Begitu aku masuk, "Dor!" suara cracker terdengar. Masako-san, pemiliknya, berseru dengan sangat gembira.

     "Selamat datang di Pesta Natal Keluarga Enomoto~!"

     "............"

     Meja sudah penuh dengan persiapan pesta. Serius, kapan dia menyiapkan ini...?

     Enomoto-san bertanya dengan tercengang.

     "Ibu, ada apa sih...?"

     "Anakku sendiri kok reaksinya enggak ada semangatnya begitu. Besok kan sangat sibuk, jadi kupikir kita adakan pesta Natal hari ini saja sebagai gantinya~"

     "Selama ini kan tidak pernah melakukan hal seperti itu..."

     "Karena Rion enggak mau ikut, jadi enggak dilakukan~. Padahal Ibu sudah pengin melakukannya sejak dulu tahu!"

     "......Oh, begitu."

     Enomoto-san bertanya dengan nada meminta maaf.

     "Yuu-kun, apa kamu ada waktu?"

     "Tentu saja tidak masalah, tapi... aku penasaran dengan yang di sana."

     Sudah ada tamu di sofa.

     Itu adalah pria tampan genit yang tinggal di kuil belakang.

     Makishima tersenyum menyeringai, mengayun-ayunkan Fanta rasa anggur di gelas anggurnya.

     "Nahaha. Bukankah itu cara bicara yang seolah kehadiranku ini buruk? Menurutmu, berkat siapa kita bisa menyambut akhir tahun dengan aman begini?"

     "Terima kasih atas bantuannya saat ujian akhir semester! Maaf atas ucapanku yang lancang!"

     Sesuai perkataan Masako-san sebelumnya, aku belajar dengan Makishima di sela-sela pekerjaannya untuk ujian akhir semester.

     ...Aku baru tahu, tapi ternyata dia ini mengejutkan sekali dalam hal mengajar. Seolah dia mengerti perasaan orang yang tidak paham pelajaran.

     Kalau Bimbingan Belajar Hibari-san adalah perkumpulan belajar yang keras, maka cara mengajar orang ini adalah perkumpulan belajar yang lembut dan ramah bagi pemula. Aku sendiri tidak begitu mengerti apa yang kukatakan, tapi begitulah yang kurasakan, jadi mau bagaimana lagi.

     Kursi di sebelah Makishima kosong, jadi aku duduk di sana.

     "Makishima, ternyata kamu tipe yang ikut pesta Natal keluarga juga ya."

     "Enggak adil rasanya membiarkan Natsu seorang diri memonopoli Malam Natal bersama gadis cantik dan wanita mempesona ini. Ini adalah tugas untuk menjaga keseimbangan dunia."

     "Enggak ada sedikit pun keraguan ya mengatakan hal seperti itu di depan teman masa kecil dan ibunya?"

     "Hah. Sudah terlambat untuk malu. Kalau malu hanya dengan hal seperti ini, kamu enggak bakal bisa merayu wanita. Kamu juga sebaiknya sedikit membiasakan diri."

     Lalu dia memanggil Enomoto-san yang duduk di seberang.

     "Nah, Rin-chan. Jadilah kelinci percobaan bagi Natsu untuk melatih kata-kata cintanya."

     "Omong kosong. Enomoto-san, tidak usah didengarkan dengan serius."

     Mendengar itu, Enomoto-san mengangguk santai.

     "Baiklah. Kita kan mitra takdir."

     "Benar juga..."

     Meski begitu, tolong jangan tetap dalam posisi Iron Claw seolah siap menyerang kapan saja...

     Saat itu, Masako-san membawa hidangan pembuka yang sudah jadi.

     "Baiklah. Kalau begitu, kalian semua ganti baju ya~"

     "Ganti baju?"

     Yang dibagikan satu per satu adalah kostum Natal dalam kantong plastik dari Donki. ...Omong-omong, Inoue dan Yokoyama juga memakai yang seperti ini saat festival budaya.

     Namun, meskipun kostum itu diserahkan dengan semangat, tidak ada satu pun dari kami yang mau memakainya. Tentu saja, untuk pesta keluarga remaja SMA, ini terlalu berlebihan...

     Milikku adalah hoodie rusa kutub.

     "Nah, Natsume-kun juga♪"

     "Tidak, saya tidak cocok dengan yang seperti ini..."

     "Enggak apa-apa. Perasaan yang selalu diinjak-injak oleh gadis-gadis itu, sangat mirip rusa kutub lho!"

     "Berisik! Baiklah, akan kulakukan!"

     Entah bagaimana, aku berhasil dibujuk untuk memakainya...

     Enomoto-san juga berkata, "Kalau Yuu-kun mau, aku juga..." dan dengan enggan mengambil kostum Santa lalu berdiri.

     "Enomoto-san, enggak apa-apa?"

     "Kalau Ibu sudah seperti ini, dia akan terus mendesak..."

     Setelah Enomoto-san pergi berganti pakaian, Masako-san berusaha mengikutinya.

     "Aku juga~!"

     Enomoto-san dengan cepat meraih kepala ibunya.

    " B-E-R-H-E-N-T-I."

     "Eh~, tapi kan~..."

     "Aku tidak mau melihat Ibu memakai kostum Santa di usia segini."

     "Hmph!"

     Uhm, aku sangat mengerti perasaan Enomoto-san.

     Aku juga pasti akan menghentikan Saku-neesan dengan sekuat tenaga kalau dia mencoba memakai baju seperti ini. Tapi kalau Himari memakai kostum Santa, aku ingin melihatnya.

     Akhirnya, Masako-san hanya memakai topi Santa.

     Makishima, dengan sikap yang sudah terbiasa, mengenakan hoodie rusa kutub sama sepertiku. Dan tanpa ragu sedikit pun, dia mengambil hidangan pembuka dengan sumpit.

     "Kalau begitu, ayo cepat makan saja."

     "Kamu ini, di meja makan orang lain saja tidak ada sopan santunnya."

     "Nahaha. Sejak kecil aku sudah sering merepotkan mereka. Nah, Natsu, makanlah. Roast beef ini enak sekali."

     "Kalau begitu, baiklah, selamat makan."

     Roast beef buatan sendiri dari toko daging "Meat Shop Oota".

     Ini adalah roast beef istimewa yang menggunakan daging sapi lokal. Daging yang dimasak matang ini begitu lembut tak terbayangkan dari penampilannya, sehingga bisa dinikmati oleh segala usia.

     Bumbunya juga pas, bahkan bisa dimakan tanpa saus. Tidak, bahkan mungkin lebih enak tanpa saus.

     Selain itu, banyak hidangan pembuka lainnya yang berjejer. Bersama Makishima, kami mengisinya ke dalam perut anak laki-laki remaja.

     Ngomong-ngomong, tadi saat bekerja paruh waktu, aku tidak sempat makan dan perutku lapar. Sambil memperhatikan nafsu makan kami, Masako-san tersenyum senang.

     "Maaf ya, ini cuma yang kubeli karena tidak sempat memasak~?"

     "Tidak apa-apa. Ini sangat enak."

     "Ah, ayam goreng yang ini juga enak lho. Aku beli di restoran Tiongkok."

     "Maaf jadi merepotkan, sudah menyiapkan sebanyak ini."

     "Enggak apa-apa kok, ini kan untuk calon menantu masa depan!"

     "Mendengar lelucon itu untuk terakhir kalinya, rasanya mungkin akan sedikit sepi ya."

     "............"

     "Jawab dong?! Hei, jangan abaikan aku?!"

     Saat itu, Enomoto-san kembali. Dia mengenakan pakaian Santa model gaun klasik, dan mengenakan topi yang sama dengan Masako-san.

     "Sudah mulai makan ya..."

     "Ah, Enomoto-san. Itu sangat cocok untukmu."

     Gyaaa!

     Aku menerima sentilan hidung yang mengalir mulus. Ayam goreng yang hendak kumakan terjatuh di atas meja.

     "Gyaaa! Kenapa?!"

     Enomoto-san memarahiku dengan kesal.

     "Anak laki-laki yang sudah punya pacar tidak boleh sembarangan memuji gadis lain."

     "Tidak, bukankah tadi itu hanya komentar biasa?"

     Makishima menyeringai.

     "Rin-chan, kamu kelihatan panik sekali, ya? Lagipula, kalau enggak mau dipuji, kenapa repot-repot ganti baju? Apa jangan-jangan sebenarnya kamu pengin banget dipuji?"

     "...Shii-kun. Mau kubekap semua krim kocok yang ada di kulkas ke dalam mulutmu?"

     "Hentikan. Itu hanya bercanda. Kamu kelihatan panik banget, lho..."

     Masako-san dengan mata berbinar-binar berkata, "Melihat teman masa kecil bersaing memperebutkan Natsume-kun... Itu baru masa muda!" Kurasa bukan itu maksudnya...

     "Ah, bagaimana kalau kita menonton film? Kalian semua mau menonton apa?"

     Masako-san menampilkan Netflix di televisi.

     "Aku apa saja..."

     "Aku juga apa saja."

     "Aku juga apa saja."

     "Kalian ini, benar-benar enggak kelihatan seperti anak SMA ya."

     Masako-san menyalakan acara realitas kencan favoritnya. Ah, itu dia. Acara di mana sekelompok pria dan wanita bersaing untuk mendapatkan perhatian orang yang mereka sukai.

     Jujur saja, itu adalah acara yang sedikit tidak kusukai.

     "Aku, yang ini sedikit..."

     "Aku juga kurang setuju."

     "Aku juga kurang berminat."

     "Sudah! Kalian ini kompak sekali seperti anak zaman sekarang!"

     Akhirnya, kami memutuskan untuk menonton film klasik Natal, "Home Alone".

     "Meskipun sudah tahu akhirnya, film ini tetap lucu ya."

     "Benar sekali. Aku paham."

     Hei Makishima, jangan-jangan kamu bersiap-siap ingin mengagetkanku sesuai adegan film...

     Setelah itu, kami menikmati waktu film yang santai. Omong-omong, Enomoto-san menontonnya dengan paling serius. Lucu sekali.

     Sementara itu, ada pesan dari Himari, 'Besok jam 1 siang, oke?' Jadi kubalas, 'Oke'... Ah, karena tertawa saat menonton TV, balasan pesannya jadi 'ember'. ...Yah, kurasa maknanya tetap tersampaikan.

     (...Oh, iya. Besok sekitar waktu ini, aku akan merayakan Natal bersama Himari.)

     Rencana kencan sudah sempurna.

     Pertama, kami akan bertemu sekitar siang hari, lalu pergi menonton film. Film romantis yang ingin Himari tonton.

     Dia adalah tipe yang ingin membicarakan kesan film setelah menontonnya, jadi aku sudah melakukan riset kafe yang sedikit trendi.

     Setelah itu, kami akan menghabiskan waktu di studio dart di kota. Ada sekitar tiga pilihan, jadi kami bisa memutuskan tempat sesuai mood. Mungkin juga bagus kalau melihat kota yang mulai gelap dari observatorium di gunung.

     Dan yang terakhir, kami akan mengadakan pesta Natal di rumahku.

     Meskipun sederhana, Himari pasti akan senang. Di sana, kami akan makan kue Natal sebagai hadiah bersama, dan menghabiskan waktu yang tenang. Aku juga tidak akan lupa mengantarnya pulang ke rumahnya.

     Bagaimana, rencana kencan sempurna ini?

     Aku yang tiga tahun lalu hanya memikirkan tentang mencintai bunga, kini bisa menyusun rencana kencan ideal dengan pacarku yang imut. Kalau aku mengatakan ini pada diriku yang dulu, mungkin dia tidak akan percaya. Sungguh, hidup ini tidak terduga.

     Fufufu... Saat aku sedang melamun memikirkan kencan besok, Makishima dan yang lainnya di sampingku menunjukkan ekspresi terkejut yang ekstrem.

     "...Natsu. Wajahmu agak menyeramkan."

     "......Yuu-kun. Melakukan itu di tempat gelap agak sedikit mengerikan."

     Keterlaluan sekali, kan?

     Namun sayangnya, di situasi ini aku kalah dalam suara terbanyak. Aku pun dengan patuh mengencangkan otot-otot wajahku. Tepat pada saat itu, televisi menayangkan adegan seorang pencuri dilempar keluar dari jendela rumah, dan aku pun tertawa.

     Sekitar dua jam kemudian.

     Tiba-tiba Masako-san memegangi dahinya dan mengerang.

     "Aduh..."

     "Ada apa?"

     Aku bersiap, mengira dia tidak enak badan.

     Masako-san tersenyum kecut dan berkata, "Enggak apa-apa kok, ini enggak seberapa."

     "Maaf ya. Sepertinya aku sedikit kelelahan. Bolehkah aku istirahat duluan?"

     "Ah, ya. Tentu saja. Serahkan urusan beres-beresnya kepada saya."

     Dengan perginya penyelenggara pesta Natal, suasana secara alami berubah menjadi bubaran.

     Makishima buru-buru pulang.

     "Kalau begitu, nikmatilah waktu berduaan kalian."

     "Hei, bantu dulu!"

     "Nahaha. Aku harus mengerjakan tugas liburan musim dingin. Ya sudahlah, kali ini anggap saja aku tamu, jadi maafkan aku."

     "Yah, baiklah..."

     Bersama Enomoto-san, kami membereskan semuanya dengan cekatan. Pekerjaan paruh waktu selama sebulan terakhir ini membuatku terbiasa dengan pekerjaan semacam ini.

     Aku membersihkan meja, dan Enomoto-san menyelesaikan cucian piring.

     "Kostum Santa dengan celemek, entah kenapa terasa aneh ya."

     "Rusa kutub mengantar piring juga aneh."

     "Seperti yang dibilang manajer, aku memang tunduk di bawah kendali, ya..."

     "Hehe."

     Uhm.

     Entah kenapa, terlalu terbiasa dengan pekerjaan paruh waktu ini jadi menyeramkan ya... Kalau dengan Himari... tidak akan seperti ini. Dia pada dasarnya kurang pandai mengurus rumah.

     "Ngomong-ngomong, Manajer baik-baik saja kan?"

     "Belakangan ini memang sempat batuk-batuk sedikit... Tapi kurasa baik-baik saja? Dia kan memang dikenal selalu sehat, itu satu-satunya kelebihannya."

     "Waktu itu pernah bilang begitu juga ya..."

     Bagaimanapun juga, besok adalah puncak kesibukan bagi Enomoto-san dan yang lainnya.

     Setelah melewati itu, Manajer pasti bisa sedikit bersantai.

     "Sudah cukup rapi kan?"

     "Ya. Sudah baik-baik saja."

     Ruang tamu sudah bersih rapi.

     Melihat jam, sudah hampir pukul sembilan malam. Saat aku berpikir sudah waktunya pulang, aku menyadari ada sesuatu yang belum sempat kukatakan.

     "Itu, Enomoto-san."

     "Ada apa?"

     "Dari pekerjaan paruh waktu kali ini, aku merasa akan mendapatkan sesuatu lagi. Ini semua berkat Enomoto-san."

     "............"

     Enomoto-san sedikit memiringkan kepala, menatapku lekat-lekat.

     "Aku akan menjadi kreator hebat. Aku akan menjadi kreator yang pantas mendapatkan dukungan Enomoto-san... Singkatnya, aku akan berusaha keras agar suatu hari bisa membalas budi."

     ...Entah kenapa, saat mengatakannya aku jadi malu sendiri, dan akhirnya bicara terburu-buru.

     Bagaimanapun, aku sudah mengatakan apa yang ingin kusampaikan.

     Aku mengambil kue hadiah untuk Himari dari kulkas dapur. Lalu, di pintu masuk, aku buru-buru memakai sepatu.

     "K-kalau begitu, aku juga pulang ya."

     "Ah, Yuu-kun..."

     Aku menoleh saat tiba-tiba dipanggil.

     Enomoto-san, setelah sedikit ragu... tersenyum manis.

     "Semoga berhasil ya kencanmu dengan Hii-chan besok."

     Aku mengangguk.

     "Ya."

     Ketika aku keluar dari toko, udara musim dingin yang telah menjadi sangat dingin menyambutku.

     Besok adalah Natal pertamaku sebagai pacar dengan Himari.


♡♡♡

PoV

Enomoto Rion

     Fajar menyingsing, dini hari Natal.

     Aku terbangun seperti biasa oleh alarm ponsel.

     Aku menatap langit-langit dengan pandangan kosong di atas tempat tidur. Yang terlintas di benakku adalah kata-kata Yuu-kun kemarin.

     "...Akan menjadi kreator hebat dan membalas budi, ya."

     Bukan kata-kata seperti itu yang kuinginkan, sih. ...Yah, tidak apa-apa. Lagipula, dia mengatakannya tanpa niat buruk.

     Aku meregangkan tubuh... dan sedikit merasakan kejanggalan.

     "...Eh? Ibu, apa dia belum bangun?"

     Rumah terlalu sepi.

     Seharusnya Ibu sudah bersiap-siap di dapur...

     Aku keluar kamar dan menuruni tangga.

     "Ibu. Apa masih di... Eh?"

     Aku melongok ke ruang tamu dengan santai.

     ...Ibu terbaring lemas di sofa.

     "I-ibu?!"

     "Ah~, Rion, kamu bangun di saat yang tepat ya..."

     "Ada apa? Wah, demamnya..."

     "Ufufu. Padahal kemarin sudah minum obat lalu tidur, lho..."

     Wajahnya terasa sangat panas.

     Kamar Ibu ada di lantai satu, jadi aku buru-buru menyeretnya ke tempat tidur.

     "Pokoknya harus tidur!"

     "Tapi aku harus menyiapkan toko..."

     "Itu biar aku saja. Nanti kamu bisa menulari para staf paruh waktu."

     "Uuuhm..."

     Aku menempelkan koyo penurun panas yang kubawa dari kulkas ke dahi ibu. ...Aku tidak ingat sudah berapa lama disimpan, tapi semoga masih bisa dipakai ya?

     Sambil menyiapkan bubur di dapur, aku memegang kepalaku.

     "Bagaimana ini. Aku tahu dia sudah batuk-batuk terus, tapi tidak kusangka Ibu akan flu..."

     Pokoknya, aku harus mengerjakannya sendirian. Hari ini kan penjualan kue pesanan yang utama, jadi aku sendiri pun seharusnya bisa mengatasinya...

     Membawa bubur dan obat flu, aku kembali ke kamar ibu. Aku melihat termometer yang terselip di ketiaknya.

     "...38 derajat Celsius. Tetap tidur saja."

     Ibu tersenyum lemah.

     "Rion, maaf ya."

     "Sudah. Kalau memang benar-benar tidak enak badan, seharusnya kamu bilang saja."

     "Ufufu. Soalnya Rion kelihatan senang banget, aku jadi tidak sempat mengatakannya..."

     "Eh..."

     Mendengar perkataan Ibu yang santai itu, aku menahan napas.

     Beberapa bulan terakhir...

     Tidak, sejak April, aku memang sering membantu aktivitas "you".

     Aku sering tidak ikut kegiatan klub, tapi masalahnya, aku juga semakin sering absen dari pekerjaan di toko kue.

     Bagaimana jika itu justru menjadi beban bagi Ibu?

     "...Jangan-jangan, ini salahku?"

     Sambil bersiap di kamarku sendiri, aku bergumam.

     Karena aku terus-menerus memikirkan Yuu-kun... Aku tahu toko itu sibuk karena staf paruh waktu yang sudah lama bekerja keluar dan tidak ada karyawan baru yang masuk...

     Apakah karena aku lebih memprioritaskan cintaku daripada toko?

     Padahal aku bisa saja lebih peduli dengan batuk Ibu...

     "...Apa aku benar-benar bisa melakukannya sendiri?"

     Selama ini, Ibu tidak pernah absen.

     Aku memang selalu membantu, tapi apakah aku bisa menyelesaikan semua pekerjaan itu...?

     "Tidak ada waktu untuk ragu. Aku harus berusaha."

     Bagaimanapun, aku hanya perlu melewati hari ini.

     Besok tanggal 25, Hari Natal itu sendiri, tapi jumlah penjualan kue akan menurun drastis. Bahkan, pekerjaan utamanya justru akan menjadi membereskan dekorasi toko.

     Kalau begitu, setidaknya sampai awal tahun baru akan lebih tenang.

     "Ayo, semangat!"

     Aku pergi ke toko dan mulai menyiapkan pembukaan.

     Aku menjelaskan tentang flu Ibu kepada para staf paruh waktu yang datang pagi-pagi. Aku menyiapkan beberapa kue kering dan meminta mereka untuk fokus pada penjualan.

     Jika sesuai dengan tahun-tahun sebelumnya, puncak keramaian adalah tepat setelah toko buka.

     Para pelanggan yang datang khusus untuk kue edisi terbatas hari ini akan menerima pesanan mereka sekaligus. Seharusnya sebagian besar akan habis terjual menjelang sore.

     Dugaan kami benar, saat persiapan toko selesai, sudah terbentuk antrian di depan toko.

     Begitu toko buka, banyak pelanggan berdatangan. Aku melayani mereka dengan hati-hati agar tidak salah pesanan.

     Penjualan berjalan lancar.

     ...Bahkan terlalu lancar.

     Aku menyadari ada yang tidak beres menjelang siang.

     "Gawat. Kue tidak cukup..."

     Jumlah pelanggan lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya kue yang sudah disiapkan untuk pesanan, kue untuk penjualan langsung juga laris manis.

     Itu artinya, etalase di toko langsung kosong dalam sekejap.

     Etalase toko kue yang kosong saat Natal itu tidak bisa diterima. Dengan panik, aku memberi instruksi kepada para staf paruh waktu untuk membuat kue penjualan hari itu juga.

     Seorang ibu staf paruh waktu berkata dengan cemas,

     "Rion-chan. Kamu sudah bekerja terus-menerus sejak tadi, sebaiknya istirahat sebentar..."

     "Tidak apa-apa! Yang lebih penting lagi, stok buah-buahannya..."

     Aku membuka kulkas dan memeriksa stok buah.

     ...Sepertinya cukup pas-pasan?

     Kalau ini habis, mau tidak mau aku harus bilang habis stok... Tapi, bolehkah aku memutuskan hal itu tanpa Ibu?

     Kalau sore nanti pelanggan tidak berhenti berdatangan... Kalau sampai ada desas-desus bahwa toko kue tidak punya kue di hari Natal, reputasi toko bisa rusak... Ah, omong-omong, buah-buahan ini seharusnya untuk kue besok... Aku harus menelepon toko buah sekarang... Eh? Bukankah hari ini mereka tutup...?

     Kepalaku terasa berputar-putar.

     Aneh. Biasanya aku bisa menangani Natal seperti ini dengan mudah.

     Aku harus melakukannya dengan benar. Aku harus berusaha keras untuk menebus semua beban yang selama ini kutimpakan pada Ibu...

     Saat itu, telepon toko berdering.

     "Ya, halo! Ini Toko Kue 'Cat Sith'!"

     Telepon itu datang dari salah satu pelanggan setia, rumah sakit terdekat.

     Saat aku mendengarkan percakapan di telepon, wajahku memucat.

     "...Sepuluh kue utuh?"

     Setiap tahun, rumah sakit ini selalu membuat pesanan besar untuk pesta Natal para pasien.

     Aku sempat berpikir kenapa tahun ini tidak ada pesanan... Ternyata bukan karena mereka memesan di toko lain, melainkan karena mereka lupa memesan.

     "B-baiklah. Untuk jenis kuenya, bolehkah kami memilih dari stok yang ada...? Baik. Mengenai alergi, akan kami informasikan. Kalau begitu, kami tunggu pukul tiga sore..."

     Setelah meletakkan gagang telepon, ibu staf paruh waktu berkata.

     "Rion-chan. Apa tidak apa-apa menerima pesanan itu?"

     "T-tapi, mereka pelanggan setia, jadi harus dikerjakan..."

     Aku buru-buru memeriksa isi kulkas.

     "Pokoknya, bolu ada di kulkas belakang, jadi tolong siapkan yang itu dulu. Dan untuk buah-buahan, kurasa yang ada di sini akan cukup pas-pasan... Ah!"

     Saat aku mengambil kemasan stroberi dari kulkas untuk memotongnya.

     Kakiku tersandung, dan aku terjatuh di tempat. Kemasan stroberi di tanganku jatuh ke lantai, dan isinya berhamburan keluar.

     Dapur senyap, hening.

     "............"

     B-bagaimana ini...?

     Pokoknya, telepon toko buah... Eh? Bukankah tadi kubilang hari ini libur? Lalu, bagaimana caranya...? Buah yang tersisa tidak cukup volumenya... Kue Natal hanya dengan krim kocok saja itu tidak mungkin...

     Saat aku gemetar, seorang ibu staf paruh waktu menepuk bahuku dengan lembut.

     "Rion-chan. Urusan beres-beres dan bolunya biar kami yang siapkan. Kamu istirahatlah sebentar."

     "T-terima kasih..."

     Aku keluar dari dapur dengan limbung.

     Duduk di sofa ruang tamu, aku menghela napas. Setelah tenang, aku baru sadar betapa paniknya diriku tadi.

     "Bagaimana ini. Aku sudah terlanjur menerima pesanan itu, tapi apa akan sempat selesai ya...?"

     Membatalkan pesanan sekarang... Aku tidak bisa melakukan hal seperti itu kepada pelanggan setia yang sudah mengandalkan toko kami. Tapi, soal bahan baku, aku tidak tahu harus bagaimana...

     Nanti sore, staf paruh waktu juga akan berkurang, dan kami akan kekurangan tenaga kerja. Seandainya ada seseorang yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan dekorasi kue... mana mungkin ada orang seperti itu yang bisa datang tiba-tiba...

     "Bagaimana ini... bagaimana ini..."

     Aku melongok ke kamar Ibu, dia tertidur pulas.

     Sekarang aku tidak boleh mengganggunya... aku yang harus...

     Tapi, apa yang bisa kulakukan?

     Kekurangan tenaga kerja.

     Kekurangan bahan.

     Dalam kondisi seperti itu, aku tidak yakin bisa melakukan apa-apa.

     "Seandainya Onee-chan ada di sini..."

     Aku hampir saja mengeluh, tapi buru-buru menggelengkan kepala.

     "Tidak ada gunanya memikirkan orang yang tidak ada. Sekarang, aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan..."

     Untuk sementara, aku mencoba menelepon Shii-kun.

     ...Meskipun aku sudah tahu jawabannya.

     [Hah? Kalau orang amatir sepertiku masuk dapur, yang ada malah menambah beban saja, kan?]

     "T-tapi, daripada tidak ada... Aku sekarang akan mencari buah-buahan di toko buah terdekat..."

     [Ngomong-ngomong, aku ada janji kencan dengan pacarku sebentar lagi. Enggak ada waktu untuk itu]

     "~~~~Shii-kun bodoh!"

     Shii-kun menghela napas.

     [Lagipula, kalau mau minta bantuan, bukankah pilihan orangnya salah?]

     "Eh?"

     [Kenapa enggak langsung menghubungi Natsu saja? Dia jauh lebih masuk akal daripada aku, kan?]

     "T-tapi, Yuu-kun kan ada kencan dengan Hii-chan..."

     [...Aku tidak bisa menerima alasan bahwa aku boleh diperas begitu, tapi ya sudahlah, meminta bantuan kan gratis?]

     "Bukan begitu..."

     Saat aku ragu-ragu, Shii-kun tertawa ringan.

     [Kukira kamu sudah sedikit berubah setelah perjalanan ke Tokyo, tapi ternyata Rin-chan tidak berubah ya]

     "A-apa maksudmu...?"

     [Sungguh, kamu itu gadis baik yang selalu mendapat nasib sial]

     "...!"

     Aku tanpa sadar memutus panggilan telepon.

     Memegang ponsel, aku menghela napas.

     Saat aku menutup mata karena lelah, yang terlintas di benakku adalah wajah serius Yuu-kun saat membuat kue Natal.

     Kue satu-satunya di dunia yang merepresentasikan karpet daun maple.

     Kue yang dibuat khusus untuk Hii-chan.

     Aku mengira itu sok keren dan genit, tapi aku sedikit iri.

     "...Tidak boleh. Aku kan mitra takdir Yuu-kun."

     Aku tidak boleh mengganggu Yuu-kun dan Hii-chan.

     Aku sudah memutuskan untuk melepaskan Yuu-kun.

     Karena aku sendiri yang memutuskan, aku harus mempertahankannya sendiri.

     Tapi...

     "Kenapa selalu aku yang harus menahan diri...?"

     ...Yuu-kun itu curang ya.

     Selalu bilang aku penting baginya, tapi hal yang paling kuinginkan tidak pernah dia berikan.

     Hii-chan juga bilang aku temannya, tapi dia bohong.

     Katanya mau mendukung cintaku, kan.

     Kamu tahu kan kalau aku masih menyukai Yuu-kun?

     Selalu saja dia yang mendapatkan hal-hal baik, sedangkan aku tidak punya apa-apa.

     Orang sekuat apa pun, tidak mungkin bisa hidup hanya dengan kenangan.

     ...Apa aku akan berakhir menjadi gadis baik yang selalu bernasib sial seumur hidupku?

     "......Eh?"

     Aku tiba-tiba terbangun dan melompat dari sofa.

     Gawat, aku ketiduran!

     "Sudah berapa lama... Wah, sudah satu jam?! Aduh, pokoknya, aku harus menghemat buah dan sedikit menurunkan harga!"

     Aku bergegas bersiap dan dengan panik menuju dapur.

     Wajahku pasti terlihat mengerikan.

     Aku tidak ingin muncul di hadapan para staf paruh waktu dalam kondisi seperti ini, tapi tidak ada waktu untuk memikirkan itu.

     "Maaf aku terlambat! Kue bolu sudah siap... Eh?"

     Aku membuka pintu dapur dan tiba-tiba terhenti.

     Di sana, entah kenapa, ada Yuu-kun.

     Seketika, aku mengira masih bermimpi.

     Yuu-kun, sama seperti kemarin, mengenakan seragam kami dan dengan serius menyelesaikan dekorasi kue.

     Di tangannya, ada kue original yang dihias dengan tiga warna krim kocok.

     Dia melapisi warna merah, kuning, dan oranye, menciptakan karpet daun maple yang indah.

     Dan dengan ekspresi serius, dia bertanya kepada Ibu yang entah sejak kapan sudah bangun.

     "Bagaimana?"

     "............"

     Ibu mencicipi krim kocok itu, lalu mengangguk.

     "Bagus sekali. Tolong teruskan yang ini."

     "Terima kasih!"

     Sambil mengenakan masker, Ibu menyadari kehadiranku.

     "Ah, Rion. Tukang bangun siang, ya."

     Barulah saat itu, aku tersadar.

     "Ibu, baik-baik saja?"

     "Iya. Karena sudah agak membaik, aku datang untuk melihat-lihat, tapi ternyata keadaannya kacau sekali, ya. Kalau terjadi masalah, kamu harus langsung bilang, dong?"

     "M-maaf. Karena Ibu sedang tidur..."

     Lebih dari itu, aku menoleh ke arah Yuu-kun.

     Yuu-kun berdiri dengan sangat natural. Padahal, seharusnya dia tidak ada di sini. Tapi, ini memang bukan mimpi...

     "Yuu-kun. Kenapa...?"

     "Tadi Makishima menghubungiku. Katanya Manajer lagi sakit flu dan sedang kesulitan, jadi aku disuruh membantu. Aku sempat berpikir untuk membeli stroberi dan sebagainya, tapi tidak yakin boleh memilih sendiri atau tidak."

     "Bukan itu maksudku..."

     "Ah, kue bunga ini? Aku membawa bunga edible sisa yang kubeli untuk percobaan. Aku mencoba bertanya pada Manajer, dan dia bilang coba buat pakai ini..."

     "Bukan itu maksudku!"

     Aku meninggikan suara, membuat Yuu-kun mengerutkan kening.

     Melihat jam, sudah lewat pukul satu siang. Hii-chan, dengan segala tingkah laku pacarnya yang merepotkan itu, tidak mungkin memaafkan keterlambatan.

     "Bagaimana kencanmu dengan Hii-chan?"

     "Eh, ini bukan waktunya membicarakan hal itu, kan. Meskipun fokus utamanya adalah penjualan, tetap saja hari ini pasti sibuk sekali..."

     Yuu-kun tersenyum seolah itu adalah hal yang sangat wajar.

     "Enomoto-san selalu membantuku, jadi sesekali aku harus membantumu juga. Kalau enggak begitu, mana bisa aku menyebut kita ini mitra takdir."

     "...!"

     Untuk sesaat, rasanya nafasku berhenti.

     Aku tidak berpikir ada makna mendalam di balik kata-katanya. Lagipula, dia bukan tipe orang seperti itu. Dia hanya mengatakannya secara alami, bahwa dia datang membantu untuk temannya.

     Ya, tidak ada yang berubah dari kemarin.

     Orang ini hanya menganggapku teman, dan perasaannya pada Hii-chan pun tidak berubah. Kalau dipikir-pikir, mungkin kata-katanya hanya kata-kata klise yang sudah sering diucapkan untuk Hii-chan, dan itu sangat Nk rumit rasanya...

     Namun, untuk saat ini—aku adalah "yang pertama" bagi orang ini di dunia.

     Fakta itu, rasanya seperti dengan lembut mencabut duri cinta pertama yang tertinggal di hatiku.


♢♢♢

PoV

Inuzuka Himari

     Itu adalah pagi menjelang siang di Malam Natal.

     Aku sedang bersiap di rumahku untuk kencan dengan Yuu.

     Aku memilih baju yang lucu, merias wajahku dengan sempurna, dan menyiapkan hadiah Natal untuk Yuu. Aku berpose mantap di depan cermin kamar, menegaskan kembali bahwa aku adalah diriku yang paling cantik hari ini.

     Kemudian, dengan tekad bulat, aku menatap diriku sendiri.

     "...Aku harus mengatakannya pada Yuu."

     Bahwa aku ingin dia memasukanku ke dalam kelompok mereka.

     Maaf sudah bersikeras dengan ego yang aneh, dan bahwa kami harus melanjutkan "you" bertiga lagi.

     Tidak masalah jika Enocchi jadi pemimpin.

     Aku akan menjadi model yang baik dan membantu Yuu.

     Aku juga harus meminta maaf pada Enocchi. Maaf sudah mengatakan hal-hal buruk, maaf sudah sering berbohong selama ini.

     Tapi...

     "Uwaaah~... Menakutkan sekali~!!"

     Aku meronta-ronta sendirian di atas tempat tidur.

     Tersentak, aku bangkit. Kuperiksa kerutan pada rokku di cermin. ...Oke, nyaris aman. Sebenarnya sih udah jelas enggak pantas, tapi karena ini Yuu, dia pasti tidak akan terlalu peduli. Dia memang laki-laki seperti itu. Dan itu juga yang kusukai darinya.

     "Tidak boleh. Jangan panik, aku..."

     Bagaimana kalau Enocchi berkata, "Sebagai hukuman, berikan padaku posisi pacar"?

     Dalam benakku, terlintas Enocchi mengenakan seragam pelaut dengan rok panjang sambil berkata, "Ayo, keluarkan semuanya!" ...Tidak, tidak, itu geng wanita dari zaman kapan?

Tapi, bagaimana jika itu benar-benar terjadi?

     "Tidak mau, tidak mau, tidak mau! Aku juga sangat menyukai Yuu! Aku tidak mau menyerahkannya!"

     Tapi, meskipun begitu...

     "......Ini adalah perbuatanku sendiri. Aku harus bertanggung jawab."

     Aku menyatakan tekadku pada diriku di cermin.

     Mulai sekarang, aku akan memulai lagi.

     Agar Yuu, pada akhirnya, memilihku.

     Tidak apa-apa.

     Kalau menghadapinya dengan tulus, hasilnya akan kembali.

     Itulah langkah pertama sebagai mitra takdir, Onii-chan juga pernah mengatakan... sepertinya. Eh, dia mengatakannya, kan? Ya sudahlah. Mengingat dia, sepertinya dia memang mengatakannya.

     ...Tidak apa-apa kan?

     Sebuah duri masih tersisa, menusuk hatiku.

     Gekka Bijin yang mekar di luar musimnya, saat festival budaya.

     Bayangan yang begitu kuat itu masih belum bisa kuhilangkan.

     Bagaimana kalau Yuu memilih Enocchi daripada aku...?

     "......Enyah, enyah! Ini tidak seperti diriku!"

     Aku menepuk-nepuk pipiku.

     Baik, sebentar lagi waktu kencan. Aku mengambil kalung choker... Hmmm?

     Ponselku berdering. Telepon?

     Ah, dari Yuu!

     "Yuu, halo~!" Aku juga baru selesai bersiap-siap lho~!"

     Lalu, Yuu berkata dengan nada meminta maaf.

     "............"

     "Eh? ...Ah, begitu. Ah—tidak, tidak apa-apa! Kalau begitu mau bagaimana lagi. Tolong bantu toko Enocchi, ya. Iya... mengerti. Nanti kalau sudah selesai, kabari aku lagi."

     Aku memutus panggilan.

     Yuu ingin menunda kencan karena harus membantu toko Enocchi.

     Yah, kalau Mama Enocchi sakit flu, mau bagaimana lagi.

     Natal adalah hari penting bagi toko kue, dan aku mengerti mereka membutuhkan sedikit bantuan.

     ...Aku mengerti, tapi.

     "...Yuu, memprioritaskan Enocchi daripada janji denganku?"

     Aku merasakan bahuku bergetar secara otomatis.

     Tidak mungkin.

     Ini, tidak mungkin...

     Aku menyadari adanya perasaan yang tak terbendung, seolah muncul dari lubuk hatiku yang paling dalam.

     "...Pufffufu."

     Dan aku pun—tertawa terbahak-bahak di tempat itu.

     "Puhhahhahha~! Tidak kusangka kesempatan datang di saat-saat terakhir begini~! Memang benar-benar aku, tidak bisa tidak merasa dicintai oleh Tuhan!"

     Ibu, yang mendengar teriakan anehku, mengintip ke kamar dengan ekspresi terkejut.

     "Himari, ada apa? Bukankah kamu ada janji kencan dengan Yuu-kun?"

     "Yuu bilang minta diundur. Oh, hari ini aku tidak perlu makan malam ya~☆"

     "Ah, begitu. ...Tapi kelihatannya kamu senang sekali?"

     "Mmfufu~. Tentu saja!"

     Sambil bersenandung riang, aku berpikir dengan ekspresi puas.

     Ini bisa digunakan, kan???

     "Aku akan keluar dari 'you', dan Enocchi tidak akan mengganggu kehidupan percintaan kami."

     Enocchi yang melanggar janji, jadi kali ini aku tidak salah, kan?

     Yah~, mau bagaimana lagi~. Aku juga merasa berat melakukan hal seperti ini, tapi demi menjaga kehidupan sempurna antara aku dan Yuu, mau bagaimana lagi, kan♪

     Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menendang-nendang kaki.

     "Puhhahha~! Aku adalah gadis cantik terkuat, Himari-sama! Kecantikanku bahkan bisa menjadikan keberuntungan berpihak padaku, sungguh berdosa. Tidak ada yang bisa menghalangi jalanku ini!"

     Ibu berkata dengan wajah kasihan,

     "...Kamu. Aku tidak begitu paham, tapi coba tenanglah sedikit?"

     "Aku sudah tenang kok~. Sangat sangat tenang."

     "B-begitu. Ya sudahlah, lakukan secukupnya saja."

     Setelah Ibu pergi, aku mendengus "Mufufu~".

     Baiklah. Kalau sudah begini, aku harus menyusun rencana dengan matang, ya☆


♣♣♣

PoV

Natsume Yuu

     Pukul empat sore.

     Bantuan di toko kue sudah selesai.

     Aku segera mengayuh sepeda menuju tempat pertemuan dengan Himari.

     Di perempatan pusat perbelanjaan pedesaan yang sepi, dihiasi iluminasi semaksimal mungkin sesuai dengan kesepiannya. Di bangku itu, gadis tercantik di dunia sedang menunggu dengan bosan.

     "Himari, maaf untuk hari ini!"

     "Tidak apa-apa. Selamat atas kerja kerasmu♪"

     Aku menerima kaleng cokelat panas.

     Mengenakan sweter rajut tebal, rok mini, dan sepatu bot berhak tebal. Gaya berani yang secara keseluruhan terkesan minim pakaian. Tas selempang kecil di bahunya terlihat menggemaskan.

     Uhm. Ini tidak diragukan lagi adalah peri musim dingin. Keindahan yang hanya boleh dimiliki oleh makhluk yang bisa memberikan keberuntungan jika bertemu di tengah perjalanan.

     Saat aku tersentuh oleh keindahan pacarku di musim dingin, Himari berkata sambil mengocok-ngocok penghangat tangan sekali pakai.

     "Yuu. Pekerjaan paruh waktunya, baik-baik saja?"

     "Ah, itu... ya, entah bagaimana bisa selesai. Semua berkat Himari."

     "Enggak juga. Aku enggak melakukan apa-apa kok."

     Baik sekali. Memang Himari, dalam situasi seperti ini, dia selalu bisa mengerti.

     ...Entah kenapa sikapnya terlalu lembut sampai terasa agak aneh, tapi ya, Himari juga bukan orang yang kejam, kan. Masalahnya justru ada pada diriku—karena aku malah membuat pacarku harus bersikap begitu pengertian.

     Ini adalah kesempatan untuk memberikan pelayanan maksimal dan memulihkan nama baik!

     "Himari, ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"

     "Eh? Jangan-jangan tidak ada rencana?"

     "Tidak, aku sudah memikirkan berbagai hal seperti film atau observatorium, tapi ini sudah terlalu sore..."

     "Ah, yah..."

     Aku sempat berpikir pemandangan malam dari observatorium mungkin indah, tapi terus terang terlalu dingin. Di puncak gunung pasti anginnya kencang sekali...

     Himari tersenyum kecut.

     "Kalau begitu, kita ke rumah Yuu aja?"

     "Enggak apa-apa nih?"

     "Yah, kalaupun gagal hari ini, kencan bisa dilakukan kapan aja, kan? Gimana kalau sewa film, lalu kita berdua bersantai dengan romantis~"

     "Aku sih enggak masalah."

     "Lagipula, di malam Natal, ada kemungkinan guru-guru sedang berpatroli."

     "Ah, dia bilang begitu saat upacara penutupan semester..."

     Kalau sampai ketahuan guru dan dipanggil, itu justru jadi kontraproduktif.

     ...Yah, padahal Sasaki-sensei, yang merupakan koordinator para guru itu, sedang berkencan.

     "Ayo, Yuu. Sebagai ganti rugi karena keterlambatanmu, layani aku dengan baik ya♪"

     "Y-ya. Tentu saja."

     Bergandengan tangan dengan Himari, kami menuju rumah.

     Rumahku secara tradisional tidak memiliki budaya Natal. Memang saat kecil ada acara Sinterklas, tapi pada dasarnya, kami selalu sibuk karena toko minimarket keluarga ramai saat hari-hari seperti itu.

     Karena alasan itu, tidak ada siapa-siapa di rumah.

     Minimarket di seberang jalan ramai dengan para karyawan pulang kerja dan pasangan yang pulang ke rumah.

     Kami juga datang untuk membeli makan malam dan camilan...

     Saku-neesan, yang sedang berjaga di kasir, tampak kesal sekali.

     "...Adik bodoh. Kamu cukup berani juga ya, memamerkan kencanmu di tengah kekacauan ini?"

     "Bukan begitu, aku tadi baru aja selesai kerja di tempat Enomoto-san, jadi kasih aku sedikit kelonggaran, ya..."

     Ternyata aku salah ambil keputusan ya...

     Saat aku meratap, Himari berada di sampingku berlinang air mata.

     "Sakura-san, maafkan aku. Tapi tolong jangan salahkan Yuu ya?"

     "Baiklah, kalau Himari-chan yang bilang begitu mau bagaimana lagi. Akan kuberikan ayam goreng yang baru diangkat sebagai bonus, makanlah nanti."

     "Yay, Sakura-san, terima kasih~!"

     Kakakku ini terlalu baik pada gadis cantik, ya?

     Tunggu dulu, ayam yang dimasukkan bersama itu, jelas-jelas tanggal kedaluwarsanya mencurigakan, jangan-jangan itu yang baru kupesan tadi?

     Bagaimanapun, setelah mendapatkan makanan, kami menuju rumah.

     Dan kami pun menghabiskan waktu di ruang tamu untuk beberapa saat.

     Sambil menyalakan lilin aromaterapi cantik yang dibawa Himari, aku menonton "Home Alone" dua hari berturut-turut. ...Tidak, aroma aromaterapi-nya sangat harum, suasananya benar-benar luar biasa. Apakah ini Natal sejati bagi gadis populer yang serius...

     Terjemahan Resmi ala Gramedia

Nah, sepertinya sudah waktunya.

Tepat pada saat yang pas, aku bangkit berdiri.

Aku mengeluarkan kotak kue Natal yang sudah kubuat dari kulkas. Senang sekali bisa kencan di rumah, karena tadinya kupikir tidak akan bisa memberikannya hari ini.

     Sambil meletakkannya di meja, aku menjelaskan kepada Himari.

     "Itu, Himari. Hadiah Natal tahun ini... Aku bingung mau kasih apa, tapi akhirnya ini yang kupilih."

     "Eh? Kue?"

     "Ya. Soalnya hadiah ulang tahun selalu aksesori. Karena ini Natal pertama kita sebagai pacar, jadi aku ingin membuat perubahan dengan memanfaatkan apa yang kupelajari dari kerja paruh waktu di toko Enomoto-san."

     "............"

     Aku membuka kotaknya dan memperlihatkan kue itu.

     Kue bunga edible yang merepresentasikan karpet daun maple. Himari pasti akan menyadari bahwa ini adalah ekspresi dari kenangan berburu daun maple saat itu.

     "............"

     "B-bagaimana?"

     Himari menatap dengan sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum padaku.

     "Ya. Menurutku ini bagus sekali. Aku sampai terkejut. Yuu memang terampil, ya?"

     "O-oh. Benar, kan?"

     ...Eh?

     Tidak, aku senang dia menyukainya, tapi reaksinya sedikit biasa, sih. Aku kira Himari akan memberikan reaksi yang berlebihan.

     Jangan-jangan dia tidak menyukainya?

     Perasaan dingin samar merayap di punggungku.

     A-apa aku terlalu banyak berpikir? Mungkin hari ini kencannya hancur, jadi dia sedikit bad mood...

     Kami berdua segera memotong dan memakan kue itu.

     Karena menggunakan bahan dari toko kue keluarga Enomoto-san, rasanya sudah terjamin. ...Tapi entah kenapa, karena perasaan aneh yang kurasakan tadi, aku tidak bisa menikmati rasanya dengan baik. Himari juga makan sambil menonton TV seperti biasa.

     ...Mungkin terdengar tidak peka jika menanyakan hal ini, tapi.

     "Itu, Himari. Apa mungkin kamu kurang suka...?"

     "Eh? Kenapa? Enak kok?"

     Lho kok?

     Dia balas bertanya dengan santai. Kira-kira suasana hati seperti apa ini, ya?

     Omong-omong, ini pertama kalinya aku merayakan Natal dengan pacar, jadi aku tidak begitu tahu seluk-beluknya. Apa orang-orang yang hidupnya nge-hits tidak terlalu berlebihan saat Natal? Atau jangan-jangan, aku melakukan kesalahan di suatu tempat...?

     Saat aku merasa ingin meronta-ronta sendirian, Himari tiba-tiba berkata.

     "Ah, Yuu. Aku juga punya hadiah untukmu lho♪"

     "Eh, serius? Aku kira lilin aromaterapi ini hadiahnya."

     "Mmfufu~. Awalnya memang itu niatku, tapi aku teringat sesuatu yang lebih bagus."

     "Wah, jadi tidak sabar nih."

     Aku merasa sangat lega.

     Setidaknya Himari juga tidak sedang bad mood. Hah~, jantungku berdebar-debar terus dari tadi. Natal bersama pacar itu, rasanya seperti terus-menerus ditodong pistol, ada ketegangan yang seperti itu. Kalau bisa, aku tidak mau mengalaminya lagi.

     "Hmm...?"

     Lalu Himari mengeluarkan seikat pita merah misterius dari tas selempangnya.

     Namun tidak ada yang lain. Aku bertanya-tanya apa itu karena ukurannya yang aneh, tapi entah mengapa dia mulai melilitkannya di tubuhnya sendiri.

     Setelah mengikatnya rapi di sekitar pinggangnya, dia berkata dengan lucu sambil melirik ke atas.

     "Dengan pacar paling imut di dunia... mari kita lakukan sesuatu yang tidak bisa diceritakan pada siapa pun?"

     "............"

     Guhah...!

     Aku menahan diri agar tidak memuntahkan darah secara spontan.

     Maksudnya itu, ya? Tidak, memang tidak ada arti lain, kan? Wah, tunggu sebentar, kubilang jangan melakukan serangan mendadak seperti ini!

     Sambil menutupi wajahku yang tiba-tiba memanas, aku benar-benar panik.

     "Tidak, itu semacam... tidak, tidak, bukan berarti aku tidak suka... lagipula Himari, memangnya kamu karakter yang seperti itu? ...Ah, kamu memang seperti itu, ya. Tapi, untuk hari ini, kita tidak tahu kapan Saku-neesan akan kembali..."

     Saat aku benar-benar frustrasi sendirian, aku tiba-tiba menyadari sesuatu yang aneh.

     Himari gemetar menahan tawa, mati-matian menutupi mulutnya.

     ...Ah, ini dia. Perasaan deja vu yang sudah lama tidak kurasakan. Lagipula, bukankah ini curang sekali? Pada saat seperti ini, tidak seharusnya begitu...

     Begitu aku menjadi tenang, tawa terbahak-bahak yang sudah kuduga pun bergema.

     "Puhhah~! Yuu, tebakanmu salah total~!"

     "…………"

     Keterlaluan sekali.

     Ah, tapi entah kenapa, ini terasa anehnya familiar. Aku bahkan sedikit senang... Tidak, bukan berarti aku masokis, ya? Misalnya, seperti melihat teman lama yang pergi merantau untuk jadi komedian di TV dan berpikir, “Dia masih saja konyol seperti dulu”—walaupun aku tidak punya teman seperti itu, sih....

     Saat aku mati-matian membela diri, Himari dengan gembira mencolek pipiku.

     "Nghh fufufu~. Yuu itu benar-benar mesum, ya~? Memangnya kamu berharap apa, sih~?"

     "Um, Himari-san? Maksudnya apa?"

     Saat aku terdiam syok, Himari menyalakan cracker pesta yang nyaring.

     "Hadiahnya adalah—kembalinya Himari-chan secara penuh ke ‘you’!"

     "...Eh?"

     Kata-kata itu sedikit di luar dugaanku.

     Saat aku mencoba mencerna maksudnya, Himari menjelaskan dengan wajah penuh kemenangan.

     "Lihat, Natal kali ini sudah menjadi bukti, kan? Kalau Enocchi saja, sulit untuk mendukung impian Yuu sepenuhnya. Soalnya, Enocchi juga harus membantu di toko keluarganya, dia tidak bisa hanya fokus padamu, kan? Kalau begitu, berarti keberadaan aku ini memang diperlukan, dong? Karena sudah mengganggu hubunganku, dia harus mengakuinya dengan benar—"

     Dia terus-menerus menguraikan teori uniknya.

     Mendengarnya, aku dilanda perasaan tidak nyaman yang aneh.

     Pada saat yang sama, firasat aneh yang kurasakan dari Himari sejak tadi perlahan-lahan mulai membentuk gambaran yang jelas.

     Jadi, Himari dari tadi sudah tidak sabar ingin mengatakan ini? Itu sebabnya dia tidak keberatan jika kencan kami terlambat, dan dia juga tidak fokus pada hadiah dariku.

     Jujur saja, entah bagaimana... itu sangat tidak menyenangkan.

     "Tidak, Himari. Itu... bagaimana, ya?"

     "Eh? Tidak boleh? Kenapa?"

     "Soalnya, Himari sendiri yang bilang mau mundur, kan? Lagipula, masalah Enomoto-san kali ini, itu bukan hal yang patut disalahkan, kok...."

     Himari mendekatkan tubuhnya padaku dengan ekspresi heran. Tangan Himari yang diletakkan di lututku terasa asing, seolah bukan miliknya.

     "Tapi, Natal sebagai pacar antara aku dan Yuu jadi berkurang, ‘kan? Yuu bukan tipe orang yang terlalu fokus pada pekerjaan sampai melupakan keluarga, kan?"

     "Tentu saja, itu bukan niatku...."

     Itu memang benar.

     Apa yang dikatakan Himari, memang tidak salah.

     Tapi, apakah benar begitu?

     Memang, secara aturan, mungkin itu yang benar.

     Dari apa yang kudengar sebelumnya, perkataan Himari memang tepat.

     Namun, kalau aku menerima teori Himari ini, yang akan terluka nanti bukanlah aku. Apakah boleh aku menerimanya meskipun itu berarti menyalahkan Enomoto-san?

     Himari adalah pacarku.

     Pacarku yang paling berharga di dunia.

     Tapi sebagai manusia, aku tak boleh menerima teori semacam itu.

     “Bukan hanya memanjakan pasangan yang disebut cinta sejati. Kamu mengerti, kan?”

     Yang terlintas di benakku adalah janji dengan Hibari-san.

     Saat acara melihat daun musim gugur beberapa waktu lalu, aku menyatakan akan hidup bersama Himari sebagai pacar. Karena itulah Hibari-san menitipkan Himari kepadaku.

     Waktu itu, aku senang.

     Aku merasa akhirnya sedikit diakui olehnya, yang selalu kubuat repot. Dia menyampaikan bahwa aku adalah seseorang yang bisa berjalan sendiri, bukan lagi objek yang harus dilindungi.

     Aku adalah pacar Himari, bukan tukang mengiyakan saja.

     Ketika Himari hilang kendali, tugaskulah untuk menghentikannya.

     Aku bersumpah akan menjadi pacar yang pantas untuk Himari.

     Perasaan itu tidak bohong.

     Tapi aku yakin, menerima pendapat Himari di sini... akan membuatku gagal sebagai pasangan hidupnya.

     Demi Himari, apa yang harus kulakukan?

     Aku berpikir keras di hadapan Himari.

     Kami memutuskan untuk hidup di dunia di luar 'kotak pasir' ini.

     Namun, mengapa rasanya kami tidak pernah bisa melangkah maju, meskipun waktu terus berjalan?

     Apa lagi yang dibutuhkan?

     (…Benar. Kalau dipikir-pikir, ini hal yang mudah)

     Yang dibutuhkan hanyalah—tekad untuk membuang 'kotak pasir' ini.

     Beban yang terlalu berat tak akan membuat kami maju.

     Selamanya, kami takkan bisa keluar dari kotak pasir ini.

     Dengan putus asa aku teringat akan festival budaya SMP itu.

     Dalam perjalanan pulang, di Mos Burger tempat kami singgah, Himari berkata dengan nada menggoda.

     "Kamu hanya boleh menunjukkan mata penuh gairah itu kepadaku? Biarkan aku memilikinya seutuhnya? Kalau begitu, aku akan menjual aksesori milikmu sebanyak apa pun. —Mari kita menjadi ‘mitra takdir’ seperti itu?"

     Terima kasih.

     Aku sangat bahagia.

     Saat itu, karena telah menemukanku, aku sungguh merasa sangat bahagia hingga hampir menangis.

     Kenangan di kotak pasir itu, bagiku, adalah harta karun tak ternilai dalam hidup.

     Namun, jika ‘tempat istimewa’ itu justru membuat Himari membusuk—maka itu adalah kesalahanku.

     Inilah akibatnya karena aku terlalu memanjakan Himari.

     Karena itu, aku yang harus mengatakannya.

     Membimbing pasangan dengan benar, itulah seharusnya mitra takdir yang kami impikan.

     Aku memegang kedua bahu Himari perlahan.

     Tenggorokanku kering kerontang, bibir yang tergigit terasa sakit, dan dadaku sesak setengah mati.

     Aku tak ingin mengatakannya.

     Aku ingin melupakannya.

     Aku tahu, aku akan mengatakan sesuatu yang bodoh.

     Terdengar suara yang mengatakan, bukankah lebih baik menerima cinta yang biasa-biasa saja dan hidup dengan bahagia?

     Namun, jika aku bisa bahagia dengan cara itu—sejak awal aku tidak akan memilih hidup yang sulit seperti ini.

     "Aku akan terus membuat aksesori untuk Himari. Itu tidak akan berubah meskipun kita sudah menjadi sepasang kekasih."

     Wajah Himari seketika berseri-seri.

     Ah, manisnya. Sumpah, dia cantik banget, sialan.

     Aku mengeratkan otot perut, seolah menopang tekad yang nyaris goyah.

     "Kalau begitu—"

     Kata-kata Himari yang hampir terucap, kupotong dengan suara keras.

     "Tapi, itu tidak harus selalu bersama Himari."

     Aku tidak bisa menatap wajah Himari.

     Hanya saja, bahu yang kupegang, bergetar kaget.

     "Kalau Enomoto-san punya beban dengan tokonya, maka akulah yang harus jadi lebih kuat untuk mengimbanginya. Kreator yang kucita-citakan adalah seseorang yang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan pasangannya."

     "Aku—tidak ingin impian kita berakhir hanya sebagai permainan teman baik."

     Aku mengatakannya.

     Suaraku serak, bergetar hebat, tapi... semua perasaanku yang tulus tersampaikan.

     Himari... tercengang.

     Itu wajar.

     Selama ini, aku tidak pernah menyangkal perkataan Himari.

     Seolah sulit menerima perbedaan antara impian yang dia bayangkan dan kenyataan, dia bertanya balik dengan lirih.

     "…………Eh?"

     Bersamaan dengan kata-kata itu, setetes air mata jatuh.

     "Yuu? Kenapa, kamu bicara begitu?"

     "Bagiku, perkataan Himari tidak terdengar benar."

     "Kamu jadi membenciku, ya?"

     "Aku sangat mencintaimu. Lebih dari siapapun di dunia ini."

     "Kalau begitu...."

     Sekali lagi, aku memotong ucapannya.

     "Justru karena aku mencintaimu, aku tidak ingin melihat Himari seperti itu."

     "...!"

     Aku berpikir betapa cantiknya air mata gadis jelita ini, pikiran bodoh seperti itu melintas.

     Aku menyadari bahwa aku telah melangkah ke titik tak bisa kembali.

     Karena itulah, aku hanya bisa terus maju.

     Bukan hanya diriku, tapi juga untuk membawa Himari bersamaku.

     —Begitulah yang kupikirkan.

     "...Selama ini, karena ada aku, semuanya jadi beres, kan?"

     "Eh...?"

     Kata-kata Himari adalah sesuatu yang tak kuduga.

     Dia menatapku tajam, lalu berdiri. Saat tangannya menopang meja, kue buatanku hancur remuk.

     "Yuu itu, tanpa aku, tidak akan bisa melakukan apa-apa, kan! Saat di Festival budaya SMP dulu, penjualan selama ini, karena ada aku, Yuu bisa jadi kreator sampai sekarang, kan!"

     "Yuu itu, punya utang yang seumur hidup pun tidak bisa dibayar kepadaku, kan! Tapi kenapa, kamu tidak mau mendengarkan perkataanku?! Yuu itu seharusnya, apa pun yang terjadi, harus memikirkanku yang pertama, kan!"

     "Waktu bulan April aku bilang mau ke Tokyo juga, Yuu yang menahanku, kan! Kalau tidak ada Yuu, aku mungkin bisa melakukan hal yang lebih hebat lagi! Aku sudah membuang itu semua, lho?! Aku sudah memberikan hidupku kepada Yuu, tapi kenapa Yuu tidak memberikannya kepadaku?! Itu tidak adil, dong!"

     "...Si bodoh pecinta bunga yang cuma jago bicara besar tapi tidak bisa mencapai apa-apa sendirian seperti Yuu, lebih baik layu saja selamanya!!"

     Setelah meluapkan semua isi hatinya, Himari terus terengah-engah.

     Aku hanya bisa menatapnya, tercengang.

     "…………"

     Aku benar-benar menyadari betapa kekanak-kanakannya diriku.

     Seorang yang belum dewasa, dengan kebiasaan selalu mengandalkan orang lain, bahkan di saat genting pun tidak bisa menghilangkannya.

     Di lubuk hatiku, entah mengapa, aku terus berasumsi, "Pasti akan beres entah bagaimana," atau "Himari pasti akan mengerti."

     ...Aku tahu.

     Itu pasti bukan dari lubuk hatinya.

     Aku tahu Himari juga sedang kebingungan, bingung menghadapi hal pertama kali ini, dan tanpa sengaja mengucapkan kata-kata yang menyakitkan.

     Selama tiga tahun ini, aku selalu melihat Himari.

     Aku merasa tahu Himari lebih dari siapa pun di dunia ini.

     Namun, kata-kata itu sudah lebih dari cukup untuk mematahkan harta karun hidupku hingga hancur berkeping-keping.

     Begitu, ya....

     Pada akhirnya, kami—sejak awal memang tidak seimbang, sampai-sampai bahkan untuk mengejar impian bersama pun tidak bisa?

     Memikirkan itu, tanpa sadar terucap kata-kata lemah.

     "...Benar, ya. Aku memang orang yang tidak bisa apa-apa tanpa Himari. Lucu sekali kalau aku jadi sombong dan sok menceramahi. Berkat itu, aku jadi sadar. Aku jadi tahu dengan jelas diriku yang sebenarnya."

     Himari terkejut mendengar perkataanku.

     Seolah tersadar, dia buru-buru mencoba menarik kembali ucapannya.

     "Y-Yuu. Tadi itu bukan—..."

     "Tidak, tidak apa-apa. Semuanya, Himari benar. ...Kalau dipikir-pikir, memang selalu begitu, ya."

     "Memang benar, orang berbakat seperti Himari, membuang-buang hidupnya untuk orang biasa sepertiku itu konyol. Itu jauh lebih benar daripada aku yang memimpikan hal mustahil, berdiri sejajar denganmu."

     "...Karena itu, aku akan mengembalikannya. Apa pun yang kuterima darimu, apa pun yang kamu hilangkan, semuanya akan kukembalikan. Aku akan mengembalikannya tanpa sisa, sambil mempertaruhkan seluruh hidupku."

     "Aku tidak tahu berapa tahun yang dibutuhkan, dan aku tidak tahu harus dengan cara apa. Tapi aku pasti akan mengembalikannya. Jadi, setelah ini hiduplah sesukamu. Jangan pedulikan aku lagi. Gunakan kebaikanmu itu untuk orang lain."

     Mata biru laut yang indah itu, aku sangat menyukainya.

     Dengan sedikit berat hati meninggalkan ‘kursi istimewa’ yang terpantul di mata itu....

     "Setelah semuanya kukembalikan—kita akan kembali menjadi orang asing."

     ...Aku membuangnya.

     Keputusanku membakar habis kotak pasir itu bersama kenangan berharga di dalamnya.

     Untuk melangkah maju.

     Agar tidak salah langkah.

     Aku mati-matian meyakinkan diriku bahwa ini adalah hal yang memang harus terjadi.

     Bahkan jika kumenengok ke belakang, 'kotak pasir' itu sudah tidak ada.

     Bukan hilang.

     Semuanya hanya kembali ke bentuk aslinya.

     Seperti bunga mekar di musim semi.

     Seperti dedaunan tumbuh rimbun di musim panas.

     Memudar di musim gugur.

     Dan layu semuanya di musim dingin.

     Karena inilah, sejatinya, hubungan kami.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close