NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 8 Chapter 4

 Penerjemah: Nobu

Proffreader: Nobu


Chapter 4 - Turning Point. 

 “Shishou”

♣♣♣

     Malam itu.

     Aku melanjutkan upaya membuat cincin prototipe dari silver clay bersama Shiroyama-san.

     ...Tapi entah mengapa, aku merasa hambar dan melamun.

     "'Yuu-senpai! Meleleh!'"

     "'Eh? ...Ah, maaf!'"

     Aku buru-buru mengangkat jaring dari kompor portabel di tanganku. Cincin yang sedang dipanaskan di atasnya telah meleleh dan menempel.

     ...Sepertinya aku terlalu mendekatkannya ke api.

     "'Maaf. Mari kita istirahat sebentar.'"

     "'Yuu-senpai, kamu baik-baik saja?'"

     Shiroyama-san menunjukkan kekhawatirannya.

     Aku mencoba tertawa, tapi rasanya canggung sekali.

     "Sepertinya aku sedikit lelah karena kerja paruh waktu hari ini."

     "...Apa yang terjadi dengan orang itu?"

     Orang itu... Pasti Mera-san.

     Aku berpikir sejenak, lalu memutuskan bahwa tidak masalah jika Shiroyama-san tahu.

     "Dulu, saat semester pertama, sekolah kami pernah menerima pesanan aksesori kustom. Mera-san adalah salah satu klienku, dan dia membuat permohonan melalui aksesori itu."

     "Permohonan?"

     "Jadi begini... Ada seorang gadis di kelasku yang membantu menjual aksesori. Dia mempromosikan aksesoriku sebagai 'aksesori yang bisa mengabulkan cinta'. Nah, Mera-san menyatakan perasaannya pada kakak kelas yang disukainya, tapi... sepertinya ditolak."

     "Begitu, ya..."

     Shiroyama-san berpikir dengan ekspresi serius...

     "Itu namanya melampiaskan kemarahan. Menurutku, bodoh sekali orang yang percaya hal seperti itu."

     "......Enomoto-san juga mengatakan hal yang sama." 

     Aku hanya bisa tertawa kecut melihat sikapnya yang begitu teguh itu.

     "Tapi, fakta bahwa aksesoriku memberinya dorongan memang benar. Meskipun hanya pemicu, tetap saja aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah mengubah perasaannya menjadi uang."

     Shiroyama-san memiringkan kepalanya. 

     "Tapi kalau itu benar-benar yang Yuu-senpai rasakan, kenapa kamu begitu ingin bertengkar? Itu bukan sifatmu."

     "Ah—" 

     Aku teringat bunga crocus yang tenggelam di lautan jus anggur hari itu. 

     "Setelah itu, aksesoriku dihancurkan di depan mataku......"

     "............"

     Shiroyama-san tampak sangat terkejut.

     "Aku pikir anak SMA itu lebih pintar, ya..."

     "Tidak juga. Dibandingkan aku, Shiroyama-san jauh lebih dewasa, kok."

     Mengingat pertengkaran dengan Mera-san siang itu, aku merasakan kebencian pada diri sendiri.

     "Yah, tapi waktu itu aku memang syok banget. Kalau di pikir-pikir, kesalahan hari ini bisa dibilang impas... atau mungkin juga tidak, sih."

     "............"

     Shiroyama-san mencoba menyemangatiku dengan ragu.

     "Menurutku, Yuu-senpai itu dewasa. Kalau aku yang diperlakukan seperti itu, pasti tidak akan bisa memaafkan."

     "...Senang mendengarnya."

     Beberapa saat kemudian, keheningan menyelimuti kami.

     Cincin tanah liat perak yang diletakkan di atas kompor portabel perlahan mulai mengering dan mengeras. Begitu mencapai suhu yang tepat, aku mengangkatnya dengan penjepit lalu menjatuhkannya ke dalam air yang sudah disiapkan.

     Terdengar desis saat cincin itu mendingin, dan suhunya pun aman untuk disentuh.

     Aku mulai menggosok cincin tanah liat perak itu dengan sikat. 

     Seolah mengikis sedikit permukaannya. Perlahan, kilau perak pun muncul. Aku mengerjakannya sedikit demi sedikit, dengan hati-hati hingga selesai.

     Akhirnya, cincin perak dari tanah liat perak itu pun jadi.

     Kami berdua memeriksanya, memastikan hasilnya. Aneh memang, meskipun awalnya hanya tanah liat, secara tampilan cincin itu sudah sepenuhnya menjadi cincin perak. Ketika disentuhkan perlahan ke gelas, terdengar suara "kling" layaknya logam.

     "Kurasa ini jauh lebih bagus daripada yang kemarin."

     "Terima kasih!" 

     Shiroyama-san dengan gembira mencoba memakai cincin perak itu di jarinya.

     (Sudah mulai larut. Besok aku ada kerja paruh waktu, jadi mari kita akhiri sampai di sini...)

     Saat sedang merapikan kompor portabel dan perlengkapan lainnya, tiba-tiba Shiroyama-san berkata,

     "Yuu-senpai, apa kamu merasa senang bisa pergi ke SMA?"

     "Eh?" 

     Karena pertanyaannya yang tiba-tiba, aku pun balik bertanya.

     "Maksudnya?"

     "Soalnya kalau tidak ke SMA, Yuu-senpai tidak akan diperlakukan seburuk itu, kan?"

     Perlakuan seburuk itu... dia pasti mengacu pada insiden dengan Mera-san.

     Memang, waktu itu aku sangat terpukul. Setelah kejadian itu, muncul keributan penarikan aksesori, aku dipanggil oleh Sasaki-sensei, dan wakil kepala sekolah pun menatapku tajam.

     Kadang-kadang, aku masih menerima tatapan tidak enak dari murid yang tidak menyukai kegiatan kami. Kami tidak sepenuhnya korban, dan lagi pula, hanya sedikit murid yang mau mendengarkan argumen kami dengan serius.

     "...Yah, jujur saja, mungkin pengalaman buruknya lebih banyak. Seperti yang Ayahku bilang, aku ingin langsung bekerja setelah lulus SMP. Kalau begitu, mungkin pengalaman tidak menyenangkannya akan lebih sedikit."

     "Kalau begitu, ini demi Himari-senpai?"

     "Itu juga, tapi..."

     Aku sedikit memikirkan kata-kataku. 

     Kemarin, saat Ayah bercerita, Shiroyama-san tampak sangat tertarik. Entah bagaimana, aku menduga dia memiliki pemikiran tentang melanjutkan pendidikan ke SMA. Mungkin itu juga penyebab dia kabur dari rumah.

     "Shiroyama-san. Kalau tidak mau menjawab tidak apa-apa, tapi... apa pertengkaran dengan kakakmu itu karena...?"

     "............"

     Shiroyama-san mengangguk.

     "Mungkin aku sudah bilang saat festival budaya, tapi aku... tidak terlalu menikmati sekolah..."

     Aku memang sedikit mendengarnya. 

     Aku ingat Shiroyama-san pernah berkata dengan nada merendahkan diri, "Mungkin aku menyebalkan karena selalu ragu-ragu saat bicara," yang entah mengapa tidak terasa seperti masalah orang lain bagiku. ...Karena aku juga berada dalam situasi yang mirip sebelum bertemu Himari.

     "Aku memang mengambil rekomendasi SMA karena Kakakku yang menyuruh, tapi aku sebenarnya tidak terlalu ingin pergi. Rasanya... sangat berat membayangkan tiga tahun lagi yang akan sama seperti sebelumnya..."

     "Ya, aku mengerti."

     Aku tahu betul perasaan itu. Selama ini, dia sudah berjuang mati-matian. 

     Ketika akhirnya semua itu akan berakhir, membayangkan hari-hari yang sama akan berlanjut lagi... Aku juga merasakan hal yang sama persis saat masih SMP.

     Shiroyama-san mengangguk, lalu tersenyum lemah.

     "Itu sebabnya, aku bilang ingin membantu toko Kakakku setelah lulus SMP. Tapi Kakakku menolaknya, lalu kami bertengkar, dan aku juga mengucapkan kata-kata yang menyakitkan..."

     "...Begitu."

     Kisah ini terlalu akrab bagiku. 

     Rasanya aku juga pernah beradu argumen serupa dengan Ibuku saat SMP. Ayahku yang tidak tega akhirnya memberikan syarat, seperti jika aku bisa menjual habis semua aksesori di festival budaya... Entah mengapa, mendengarkan cerita Shiroyama-san membuatku teringat kembali pada masa lalu yang kelam dan terasa memalukan...

     Tapi, sebelum itu.

     (...Apa yang harus kukatakan?)

     Sungguh aneh. 

     Dulu saat SMP aku pasti berpikiran sama dengan Shiroyama-san, namun ironisnya, ketika sudut pandangku berubah, pendapatku pun berbalik.

     (Aku sekarang ingin Shiroyama-san pergi ke SMA)

     Mungkin ini juga kewajibanku sebagai senpainya. 

     Pasti begini rasanya bagi kedua orang tuaku dan Saku-neesan dulu.

     Aku punya keinginan untuk mendukung pilihan Shiroyama-san. 

     Dia mungkin bisa sukses besar di dunia aksesori tanpa pergi ke SMA. Banyak seniman dan kreator di dunia yang berhasil seperti itu.

     Tapi di saat yang sama, ada juga perasaan "sayang sekali". 

     Aku merasa berat jika Shiroyama-san terus menganggap sekolah sebagai hal yang tidak menyenangkan hingga dewasa. Aku ingin percaya pada kemungkinan bahwa sesuatu yang bisa membuka dunianya akan terjadi. Siapa tahu, mungkin ada pertemuan yang bisa menjadi titik balik besar dalam hidup Shiroyama-san.

     Namun, aku tidak bisa memaksakannya.

     Karena Shiroyama-san tidak memiliki Himari.

     Aku bisa menikmati SMA karena ada Himari.

     Jika aku melanjutkan sekolah tanpa Himari, pasti akan lebih banyak kesulitan yang kuhadapi, dan aku mungkin akan segera berhenti dari SMA.

     Sejujurnya, melanjutkan SMA sambil tetap membuat aksesori itu sangat berat. Aku harus belajar, dan sungguh melelahkan membuang waktu untuk tugas-tugas komite yang tidak kuinginkan. Seringkali aku berpikir, untuk apa semua ini? Dan aku tidak yakin apakah waktu seperti ini akan benar-benar diperlukan di masa depan.

     Jika aku tidak pergi ke SMA—aku mungkin tidak perlu memilih untuk berpisah dengan Himari demi impianku sendiri.

     Meskipun begitu, aku tidak menyesali keputusanku untuk pergi ke SMA.

     Ada saat-saat aku terluka oleh insiden seperti dengan Mera-san.

     Faktanya, karena keributan penarikan aksesori, masih banyak murid yang memandang sinis kegiatan kami.

     Namun, aku bisa merasa nyaman karena Himari, Enomoto-san, dan semua orang yang mendukung kegiatanku.

     Namun, aku tidak bisa menjamin bahwa pertemuan seperti itu akan menanti Shiroyama-san.

     Aku tidak bisa dengan ringan mengatakan, "Kami juga ada."

     Tahun depan, kami sudah kelas tiga. Bahkan jika Shiroyama-san melanjutkan sekolah, kami hanya bisa bersama selama satu tahun. Lagipula, sulit bagi murid kelas tiga dan kelas satu untuk selalu bertindak bersama.

     Meskipun dipanggil "Shishou," aku merasa frustrasi karena bahkan hal sesederhana ini pun tidak bisa kujawab. 

     Aku merasa kesal karena tidak bisa membalas budi pada gadis yang mengakui kemampuanku.

     Tapi, aku tidak bisa memberikan kata-kata asal-asalan seperti, "Aku akan berusaha agar kehidupan SMA-mu menyenangkan," untuk menyelamatkan diri dari kesulitan ini. Shiroyama-san anak yang cerdas. Dia pasti akan langsung melihat kebohongan di balik hiburanku yang dangkal. Itu adalah pengkhianatan terhadap kepercayaannya.

     Kemarin Shiroyama-san menyelamatkanku, tapi aku sungguh payah seperti ini.

     "Shiroyama-san, aku..."

     Ketika aku bergumul mencari kata-kata, dia menyela,

     "Ahaha. Pasti sulit juga ya kalau diminta nasihat seperti ini."

     Shiroyama-san tertawa, seolah menyembunyikan sesuatu.

     "Ah, tidak..."

     "Tidak apa-apa, kok. Hanya dengan diizinkan tinggal di rumah Yuu-senpai seperti ini saja, aku sudah sangat terbantu."

     Aku tidak bisa berkata apa-apa.

     Lagi-lagi aku membuatnya merasa tidak enak. Padahal seharusnya, sebagai seorang guru, aku harus mengatakan sesuatu.

     ...Tidak.

     Dengan segala kesibukan yang kupunya, apakah pantas aku menyebut diriku guru Shiroyama-san?


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment


close