NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 8 Chapter 3

 Penerjemah: Nobu

Proffreader: Nobu


Chapter 3

 “Aku Menyatakan Perang terhadapmu”

♣♣♣

     Keesokan paginya. 

     26 Desember

     Guncangan pada tubuh membangunkan diriku. Tirai kamar telah tersingkap, membuat kelopak mata terasa terang oleh cahaya.

     Aku mencoba melawan rasa kantuk dengan menarik selimut kembali, tetapi selimut itu ditarik hingga usahaku terhenti.

     "Yuu-senpai, bangun dong!"

     ... Itu suara Shiroyama-san.

     Dia luar biasa ya, sudah bekerja keras hingga larut malam tapi bisa bangun pagi. Tapi, aku ingin tidur sebentar lagi. Ini kan libur musim dingin... Tunggu?

     Kenapa Shiroyama-san ada di sini?

     Oh, benar juga, dia kabur dari rumah dan menginap di tempatku, kan? Lalu, Saku-neesan dan Ayah juga menyukainya. Ngomong-ngomong, apakah Ibu sudah mengizinkan?

     Yah, mungkin Saku-neesan berhasil mengurusnya. Kalau ada masalah, pasti aku yang akan dimarahi. Lebih tepatnya, aku akan digulung dalam selimut dan digantung di beranda.

     "Yuu-senpai, Yuu-senpai!"

     "Hm..."

     Ini pasti tipe yang akan terus mengganggu sampai aku bangun.

     Mau bagaimana lagi. Aku harus bangun. Tidak baik membuat gadis yang lebih muda menunggu terlalu lama. Aku perlahan membuka kelopak mata, menyesali perpisahan dengan kantukku.

     Seorang gadis cantik dengan pakaian China sedang menatapku.

     Aku segera menarik selimut kembali.

     Sepertinya aku masih bermimpi. Ya, memang. Kalau bukan mimpi, tidak mungkin ada gadis cantik dengan rambut sanggul ganda yang rapi membangunkanku. Ini dunia tiga dimensi.

     Halo, kantukku. Kita bertemu lagi setelah sepersekian detik. Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi!

     "Yuu-senpai, bangun doong!"

     ... Dia menarik-narik selimut dengan kuat. Sepertinya ini kenyataan.

     Bukan itu!

     Pencipta ideal yang aku tuju itu, ah, bukan tipe orang yang membangunkan murid magangnya dengan pakaian China di pagi hari. Lalu, bagaimana ya menjelaskannya...?

     Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu lagi, Saku-neesan. Akan jadi apa diriku ini, Saku-neesan...?

     Aku perlahan mengeluarkan wajah dari selimut. Pagi di tengah musim dingin ini sungguh dingin.

     "Shiroyama-san, kenapa kamu pakai gaun China?"

     Gaun panjang merah klasik itu, dengan belahan tinggi di bagian kaki, memperlihatkan sekilas pahanya yang mempesona. Rasanya seperti dia menentang musim dingin hanya dengan kekuatan tekad. Apa dia ikan salmon yang sedang berenang melawan arus saat musim kawin?

     Shiroyama-san yang seperti itu, dengan senyum secerah matahari pagi, menyinari diriku yang masih mengantuk.

     "Onee-sama bilang, impian Yuu-enpai adalah dibangunkan oleh gadis yang memakai gaun China!"

     Kekacauan ini, ternyata perbuatan Saku-neesan...

     Ngomong-ngomong, Shiroyama-san memang sempat bilang kalau ranselnya penuh dengan barang-barang seperti ini. Coba kita lihat… kostum maid, gaun China, lalu apalagi, ya?

     "Besok giliran kostum perawat!"

     "Ini sih neraka."

     Jelas sekali itu semacam layanan yang berbayar. Aku masih di bawah umur, jadi aku tidak butuh hal semacam itu, tolong.

     Ah, jadi teringat perjalanan ke Tokyo saat liburan musim panas. Hari ketika aku menghabiskan "malam terlarang" (lol) bersama Enomoto-san. Apa wanita yang membawakan layanan kamar di tengah permainan "nyaa-nyaa" itu merasakan hal yang sama? Aku sungguh minta maaf meskipun sudah terlambat. Aku harus menaruh garam di empat sudut kamar untuk mengusir energi jahat...

     "Selamat pagi, Shiroyama-san."

     "Selamat pagi!"

     Aku menyerah dan memutuskan untuk bangun.

     Tidak lama kemudian, Saku-neesan muncul. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, mungkin dia baru pulang kerja shift malam.

     "Adik bodoh. Akhirnya bangun juga."

     "Saku-neesan, jangan menyuruh Shiroyama-san melakukan hal aneh, pinjamkan saja dia baju..."

     "Kalau pakai bajuku, nanti kebesaran, dong."

     "Oh, begitu. ... Tapi, apa itu berarti kamu harus membuatnya memakai kostum?"

     Pasti kesenangan pribadi yang diutamakan.

     Saat aku merasa muak, Shiroyama menatapku dengan mata berkaca-kaca dan bertanya, 

     "Yuu-senpai, apakah kamu tidak suka gaun Chinaku?"

     "Mengiyakan atau menyanggahnya, keduanya akan jadi masalah besar..."

     Kalau dia sendiri tidak masalah, ya sudahlah. Lagipula, dia cocok memakainya.

     Saat aku mengeluarkan hoodie favoritku dari laci, Shiroyama-san berkata dengan penuh semangat. 

     "Yuu-senpai, hari ini mari kita berjuang bersama!"

     "Ah, ya. ...Hah?"

     Bersama?

     Aku menoleh, dan dia melanjutkan dengan sangat antusias.

     "Mulai hari ini, aku juga akan membantu di minimarket!"

     "Hah? Kenapa?"

     Aku menoleh ke Saku-neesan.

     Kakakku tersayang menjawab dengan santai. 

     "Kemarin, kamu membiarkan satu orang kabur, kan? Sebagai gantinya, Mei-chan akan membantu. Kamu berhasil mendapatkan murid yang baik, ya. Hebat."

     "Bukan aku yang membiarkannya kabur, tapi ini agak keterlaluan juga, ya?"

     Kalau tidak salah, namanya Mera-san.

     Yah, mau bagaimana lagi. Dalam situasi seperti itu, mungkin aku juga akan kabur jika berada di posisi yang sama. Sejujurnya, aku malah bersyukur dia kabur karena aku sendiri merasa canggung.

     "Shiroyama, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk membantu."

     "Tidak! Aku juga ingin mencobanya!"

     Sungguh gadis yang gagah berani.

     Dia benar-benar gadis yang luar biasa. Entah kenapa, sejak kemarin naluri kebapakanku terusik, membuatku merasa sedikit seperti seorang ayah. Siapa pun yang ingin berkencan dengan gadis ini di masa depan, bicaralah padaku! Aku hanya akan mengakui pria yang bisa mengalahkanku!

     "Baiklah. Kalau begitu, mari kita coba saja untuk hari ini."

     "Siap!"

     Shiroyama-san tersenyum cerah.

     …Lalu aku menoleh pada Saku-neesan, sosok dewasa yang sudah lelah akan dunia, dan bertanya.

     "Kalau kamu sendiri, Saku-neesan?"

     "Tentu saja aku akan tidur."

     "Benar juga..."

     Memang begitulah orangnya.

♣♣♣

     Aku membawa Shiroyama ke minimarket di seberang.

     "Rumah Yuu-senpai ternyata dekat minimarket, ya. Eh? Tapi aku belum pernah melihat toko seperti ini di tempat lain."

     "Toko kami ini dikelola perorangan."

     "Wah! Keren!"

     "Terima kasih. Ibuku yang bagian pemasaran mengumpulkan berbagai produk lokal, lalu Ayahku menjualnya di toko, kira-kira begitu."

     ...Penjelasannya sampai di situ sih tidak masalah.

     "Ngomong-ngomong, bukankah hoodieku lebih baik..."

     Shiroyama masih mengenakan gaun China yang mencolok.

     Bagaimana ya menjelaskannya? Saat ada gadis cantik memakai gaun China di pemandangan sehari-hari yang biasa, rasanya sangat tidak biasa sampai-sampai semangat kerjaku malah hilang...

     Namun, Shiroyama berkata dengan santai.

     "Eh? Tapi aku selalu berpakaian begini kalau membantu toko Kakakku."

     "Oh, begitu ya. Baiklah..."

     Kalau Shiroyama-san tidak keberatan, aku tidak masalah...

     (Sepertinya hari ini akan jadi hari yang merepotkan...)

     Seperti kemarin, aku masuk ke ruang belakang melalui pintu belakang.

     Ayah seharusnya sudah datang, tapi... oh?

     Ada seorang wanita tak dikenal duduk di meja makan berkapasitas empat orang di ruang belakang, yang biasa kami gunakan untuk makan atau bekerja saat istirahat.

     Dia tampak berwibawa dengan mengenakan kimono. Usianya sepertinya tidak jauh berbeda dengan kedua orang tuaku. Dia duduk tenang dengan aura yang sangat anggun.

     ...Namun, ruang belakang itu dipenuhi dengan udara dingin, seperti alam iblis.

     Ayah gemetar ketakutan di hadapan wanita itu, seperti monster rendahan di hadapan raja iblis. Sepertinya adegan ini cocok ada di dalam manga.

     Kami segera menyelinap keluar lagi dari ruang belakang.

     Shiroyama bertanya dengan heran, 

     "Siapa orang itu?"

     "Entahlah, aku juga tidak tahu..."

     Dalam situasi itu, yang jelas Ayah sepertinya sedang dimarahi.

     Toko kami bukan waralaba, jadi tidak ada petugas pemasaran yang datang untuk memeriksa. Di antara rekan bisnis juga tidak ada orang seperti dia.

     "Jangan-jangan dia konsumen yang komplain?"

     "Ah, itu mungkin saja."

     Mungkin ada masalah dengan produk kami, atau ada perselisihan dengan staf.

     Lagipula, Saku-neesan itu tidak bisa dibilang ramah, dan Ibu yang bagian lapangan juga berkepribadian kuat, jadi terkadang ada masalah. Dan, biasanya Ayah yang kena imbasnya.

     Bagaimana ini? Sudah waktunya shift kerja, tapi sepertinya aku tidak bisa masuk. Apa aku harus kembali lagi nanti... Saat aku memikirkan itu, pintu ruang belakang terbuka dari dalam.

     "Yuu! Kalau sudah datang, masuklah!"

     "Eh? Aku? Kenapa?"

     Lalu Ayah menutup pintu dan berbisik. 

     "Apa yang kamu lakukan kemarin? Dia kelihatan sangat marah."

     "Tidak, apa yang sedang dibicarakan? Aku tidak mengerti alur ceritanya sama sekali..."

     Kemudian, pintu ruang belakang kembali terbuka dari dalam.

     Wanita berkimono tadi melirik tajam ke arahku. Lalu, dengan suara dingin yang seakan datang dari dasar bumi, dia bertanya pada Ayahku.

     "Natsume-san. Apakah anak ini, putra Anda yang dimaksud?"

     "Ya, benar! Tapi..."

     Ayah benar-benar kewalahan.

     Gawat. Sepertinya targetnya adalah aku. Apa aku membuat masalah kemarin? Meskipun sibuk di Hari Natal, seingatku tidak ada kesalahan. Serius, situasi macam apa ini?

     Saat aku gemetaran, wanita itu berkata. 

     "Kamu. Kudengar kemarin kamu melakukan hal buruk pada putriku, ya?"

     "Eh? Putrimu?"

     Apa? Aku sama sekali tidak tahu.

     Putrinya berarti gadis seusia denganku? Serius, siapa?

     Aku menoleh ke Ayah, meminta bantuan...

     "Yuu. Hanya karena kamu sudah putus dengan Himari-chan..."

     "Hei, apakah kamu tidak lebih percaya pada putramu? Sungguh mengejutkan langsung menuduhku bersalah."

     Kemudian Shiroyama-san berkata... 

     "Yuu-senpai, itu tidak mungkin..."

     "Hei, bukankah kamu seharusnya lebih gigih? Kamu terlalu tidak percaya pada gurumu."

     Malam tadi dia mengatakan hal yang begitu menyentuh... Aku menangis sendirian.

     Wanita itu mengambil kipas yang terselip di obi-nya dan membukanya.

     "Putriku mengeluh bahwa kemarin dia diintimidasi oleh senior di tempat kerjanya dan dipaksa berhenti."

     "Intimidasi? Dipaksa berhenti?"

     Aku sama sekali tidak merasa melakukan hal itu, tapi... perkataan itu membuatku teringat sesuatu.

     Aku mencoba memastikannya pada Ayah.

     "Ngomong-ngomong, Ayah, orang ini..."

     "Ah, benar juga. Yuu baru pertama kali bertemu dengannya, ya."

     Kemudian Ayah berdeham dan memperkenalkan wanita berkimono itu.

     "Dia adalah Mera-san. Temannya Ibumu sekaligus guru tari tradisional Jepang."

     "...Begitu."

     Ini bukan kebetulan.

     Meskipun bukan itu, marga ini termasuk langka di daerah sini.

     Jadi, ini adalah ibu dari Mera-san, gadis yang kemarin kabur dari pekerjaan paruh waktu. Dan dari caranya bicara, kemungkinan dia menyalahkan aku atas alasan mengapa dia kabur dari pekerjaan itu.

     ... Lalu, di sudut pandanganku.

     Aku melihat siluet seseorang mengintip dari arah tempat parkir minimarket, mengarah ke pintu belakang ini.

     Tentu saja, itu Mera-san.

     Dia terlihat sangat panik, meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya, sambil memberi isyarat "ssst, ssst".

     Setelah berpikir sejenak, aku berkata pada ibu Mera-san, 

     "Kemarin, Mera-san langsung bilang sakit perut dan pulang setelah menyapaku. Aku tidak melakukan apa-apa."

     "..."

     Ibu Mera-san bereaksi, sedikit tersentak.

     Dia menoleh ke Ayahku untuk memastikan, "Begitukah?" Ayah pun mengangguk. Kemudian, dia menghela napas panjang dan pelan, lalu berbalik perlahan.

     "Kamako."

     Mera-san yang bersembunyi, langsung terlonjak kaget.

     Ketika dia keluar dari balik bayangan dengan ragu-ragu, ibunya memukulkan kipasnya dengan senyum menakutkan.

     "Kamako. Apa-apaan ini?"

     "M-Mama. Ini..."

     "Ibu."

     "Hik. I-Ibu..."

     Tekanan yang dia berikan, seperti patung Asura. Di balik sosok berkimono yang tenang itu, pasti bukan hanya aku yang melihat raksasa bersenjata jutaan. ...Dia mengingatkanku pada Hibari-san.

     Pukulan dari Ibu Asura menghantam kepala Mera-san.

     "Aku benar-benar, sungguh-sungguh mohon maaf yang sebesar-besarnya!"

     Ibu Asura menunduk dalam di hadapanku, sementara Mera-san dipaksa menunduk.

     "Anak ini, aku terlalu memanjakannya. Aku akan bicara baik-baik dengannya, jadi mohon maafkanlah dia."

     "T-tidak. Saya tidak..."

     Sambil tertawa "Ohoho", dia terus menekan kepala Mera-san. Hentikan, nanti patah. Kalau terus begitu, pinggangnya bisa rusak.

     ...Ibu ini lumayan kuat, tidak seperti penampilannya. Masuk akal kalau dia teman Ibuku.

     "Jadi, soal pekerjaan paruh waktunya..."

     "Tentu saja, kalau Natsume-san mengizinkan, dia akan tetap melanjutkannya. Lagipula, anak ini harus membayar ganti rugi kepada teman sekolahnya."

     "Heh, begitu. Itu pasti sulit ya."

     "Aku mohon dengan sangat agar Yuu-sama bersedia membimbingnya sebagai senior."

     "Sebagai senior..."

     Membayar ganti rugi kepada teman sekolah? Berarti dia merusak barang milik temannya di sekolah, ya.

     Begitu. Dia tidak terlihat seperti tipe orang yang akan bekerja paruh waktu, tapi pasti ada alasannya.

     Mera-san memerah padam dengan ekspresi "Gununununu...". B-bukan berarti aku merasa senang melihatnya, ya! Aku hanya berpikir, "Apa aku ambil foto untuk kenang-kenangan saja ya?"... Bagian tsundere dalam diriku memang terlalu jahat.

     (Tapi, tidak kusangka dia akan dijemput ibunya...)

     Karena ibunya adalah teman ibuku, kemungkinan pekerjaan ini juga didapat lewat koneksi itu. Artinya, dia tidak bisa semudah itu berhenti. Lagipula, ibunya juga kelihatan cukup tegas.

     ...Yah, sejujurnya, aku akan merasa lebih tenang jika dia berhenti saja dari pekerjaan paruh waktu ini. Tapi aku tidak bisa mengatakannya. Ibu Asura itu menakutkan.

     "Ngomong-ngomong, Yuu-sama, kamu dan Kamako bersekolah di tempat yang sama, kan?"

     "Ah, ya. Saya kelas dua."

     "Jangan-jangan kamu satu klub dengan Kamako?"

     "Eh? Kenapa?"

     Ibunya tertawa kecil.

     “Oh, bukan apa-apa. Akhir-akhir ini anak ini sudah jarang datang ke klubnya, dan itu cukup membuatku khawatir. Tapi tadi malam, dia tiba-tiba jadi banyak bicara soal dirimu.”

     "Tidak. Saya di klub hortikultura, jadi..."

     Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dan aku tidak berani bertanya karena takut...

     Aku menjelaskan sesingkat mungkin agar semuanya berjalan lancar.

     "Saya pernah membuatkan aksesori untuk Mera-san, jadi saya hanya mengenalnya sebatas itu... Tunggu?"

     Eh?

     Entah kenapa wajah Mera-san mendadak pucat, seolah-olah dunia akan kiamat.

     Dan ibunya...

     "Ka-maa-kooo~????"

     Hiekk.

     Dia menatap Mera-san dengan wajah yang sangat menakutkan.

     ...Dan sesaat kemudian, jeritan kotor Mera-san menggema di belakang minimarket kami.

♣♣♣

     Singkat cerita, beginilah ringkasan kejadiannya:

     Saat pameran aksesori di festival budaya bulan lalu.

     Tepatnya di hari pertama. Sorenya, Hibari-san yang menjadi tamu untuk lomba debat, mengenakan salah satu aksesori kami sebagai promosi.

     Hal itu ternyata sangat efektif, mendatangkan pelanggan yang tak terhingga jumlahnya.

     Kami sempat membayangkan bahwa saat kami sedang kalang kabut, teman Mera-san ini diam-diam mencuri aksesori.

     Rupanya, itu adalah kebenaran.

     Beberapa waktu lalu, saat ibunya membersihkan kamar Mera-san, dia menemukan banyak aksesori bunga di lemari.

     Setelah didesak, terungkaplah kisah antara aku dan Mera-san—dimulai dari insiden penghancuran aksesori di bulan Juli, hingga kejadian festival budaya kemarin—semuanya sampai ke telinga ibunya.

     "Sepertinya Sasaki-sensei sudah menanganinya, tapi aku merasa setidaknya harus mengganti rugi aksesori itu, jadi aku berkonsultasi dengan Natsume-san. Aku tidak menyangka akan bertemu langsung dengan orang yang bersangkutan. Atas kejadian itu, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya."

     "I-itu, bagaimana ya mengatakannya..."

     Mungkin karena hal itu sudah berlalu bagiku, jadi permintaan maafnya terasa agak kurang membekas.

     "Tidak, karena ada kesalahan saya juga dalam masalah itu. Tolong jangan terlalu dipikirkan..."

     "Astaga!"

     Entah kenapa, ibu Mera-san tampak terharu, matanya berkaca-kaca sambil memegang tanganku.

     "Kamu sungguh baik hati, ya. Andai saja putriku bisa meniru sikapmu!"

     "Ah, saya sendiri kurang yakin soal itu…"

     Ah, entah kenapa wanita ini punya aura yang sama dengan Saku-neesan. Lebih tepatnya, tipe orang yang sangat keras hanya pada anggota keluarganya sendiri. Entah kenapa aku jadi bersimpati pada Mera-san dan merasa kasihan padanya...

     "Kamu benar-benar lagi kena sial, ya..."

     Kata-kata itu tertuju pada Mera-san, tapi balasannya adalah tatapan tajam. Hei, ini jelas bukan salahku, kan...

     Ibu Mera-san tertawa "Ohoho" sambil menekan kepala Mera-san sampai punggungnya hampir patah.

     "Dengan begitu, silakan manfaatkan dia sepuasnya."

     "B-baiklah..."

     Kemudian, Ibu Asura berkimono itu pergi dengan mobil mewah, meninggalkan putrinya.

     Ayahku yang melihatnya pergi, tertawa santai. 

     "Wah, ibu yang penuh semangat ya."

     "Kamu menganggapnya sebagai hal positif?!"

     Ibuku juga galak, tapi entah kenapa aku merasa bersyukur dia bukan kerabat dekatku.

     Mera-san, yang sangat malu, berteriak dengan wajah merah padam.

     "Kenapa kamu mengatakannya di depan Mama?!"

     "Yah, dalam situasi itu, mau bagaimana lagi..."

     Sebenarnya, semua jadi lebih parah karena Mera-san mencoba memanipulasi keadaan.

     Lagipula, bagaimana bisa ibu yang seperti itu punya anak seperti ini? Mereka sangat tidak mirip… Tapi, mungkin karena itulah dia jadi berandalan. Aku pun mungkin akan jadi mirip dengannya.

     Namun, yang lebih penting dari itu...

     "Ayah sudah tahu?"

     "Ah, ya. Sakura memberitahuku tentang itu setelah wawancara Mera-san."

     Begitu...

     Rupanya hubungan memalukan kami sudah menjadi rahasia umum tanpa kami sadari. Kalau dipikir-pikir, mungkin itu yang dimaksud Saku-neesan dengan "anak yang menarik bagimu." Dia benar-benar jahat.

     Kemudian, Shiroyama-san, yang sejak tadi hanya mengamati kejadian itu, menarik lengan hoodieku.

     "Yuu-senpai, siapa orang ini?"

     "Ah, Shiroyama-san belum tahu, ya..."

     Aku baru saja mengenal Shiroyama.

     Saat festival budaya, dia memang berbicara dengan teman-teman Mera-san, tapi dia seharusnya tidak mengenal Mera-san sendiri.

     "Uhm, begini. Kamu ingat kan, soal kejadian pameran di festival budaya, waktu ada satu kelompok yang pembayaran aksesori-nya tidak sesuai?"

     "Benar."

     "Dia ini temannya orang-orang itu, atau lebih tepatnya, orang yang menyuruh mereka..."

     "...!"

     Shiroyama membelalakkan matanya dan menunjuk Mera-san.

     "Ah! Jadi dia orang yang mencuri aksesori Yuu-senpai?!"

     "Yah, begitulah. Kalau boleh jujur..."

     Padahal orangnya ada di depan mata, kenapa dia tidak bisa bicara sedikit lebih halus, sih!

     Mera-san menyadari ucapan Shiroyama-san dan dengan senyum mengejek, dia berkata,

     "Hah? Kamu kan gadis kecil yang membantu Senpai ini waktu festival budaya? Sampai liburan musim dingin juga masih di rumahnya, suka banget ya? Ugh, seleramu jelek sekali~"

     Anak ini benar-benar tidak sadar diri, ya?

     Shiroyama kemudian membalas, meskipun sedikit ragu, 

     "K-kamu sendiri kan juga bekerja paruh waktu di rumah Yuu-senpai!"

     Sebagai "iblis kebenaran", Shiroyama-san langsung menunjuk hal yang sama persis.

     Mera-san sepertinya tidak menyangka bumerang itu akan kembali padanya, jadi dia buru-buru membalas. 

     "H-hah?! Aku sih sebenarnya enggak mau bekerja paruh waktu di tempat sepi begini! Aku lebih suka kafe yang lucu! Tapi Mama menyuruhku di sini karena ini tempat kenalannya!"

     "Kamu lebih tua dariku, tapi tidak bisa menentukan tempat kerja paruh waktumu sendiri? Meskipun disuruh oleh ibumu, fakta bahwa kamu bekerja di minimarket membosankan ini tidak berubah, kan?"

     "H-hahahah?! Tidak seperti itu! Toko yang tidak punya satu pun kue manis lucu seperti ini akan segera kutinggalkan! Manajer, aku berhenti sekarang!"

     Jangan, tolong jangan.

     Aku sih tidak apa-apa, tapi Ayahku sudah terlihat sedih sejak tadi. Meskipun ini hanya minimarket sederhana dan sepi, ini adalah "kastil" yang Ayah dan Ibu bangun dengan susah payah!

     Kemudian, Mera-san yang asyik bertengkar, tiba-tiba menyadari sesuatu.

     "…Eh? Tunggu, kenapa kamu cosplay? Ada apa ini?"

     Ya, kalau dipikir-pikir lagi, memang begitu.

     Pakaian Shiroyama-san adalah gaun China yang mencolok. Jujur saja, hanya Shiroyama-san yang terasa seperti berasal dari dimensi lain. Menanggapi itu, Shiroyama-san entah kenapa malah membusungkan dada dengan bangga.

     "Aku memakainya karena Yuu-senpai pasti menyukainya."

     "Shiroyama-san?!"

     Mera-san mundur, seolah berkata "Menjijikkan…". Benar, kan! Reaksi normal memang seperti itu!

     Dengan tatapan mencela, dia bergumam padaku.

     "Seorang mesum di tengah hamparan bunga…"

     "Tunggu sebentar. Ada kesalahpahaman..."

     "Kesalahpahaman? Bukankah kamu dipanggil 'Shishou' waktu festival budaya? Menyuruh anak SMP cosplay dan memanggilmu 'Shishou', lalu bilang ada kesalahpahaman...?"

     "Aku tidak menemukan bahan untuk membantah...!"

     Mera-san kembali menyerangku, itu hal yang bagus... Eh, apakah itu hal yang bagus? Yah, begitulah. Kesalahan murid adalah tanggung jawab guru, kan. Oh, aku baru saja menyebut cosplay sebagai kesalahan.

     Benar. Ada sekutuku yang kuat di sini!

     "Ayah, apa kamu tidak mau mengatakan sesuatu?"

     "Hmm, begitulah."

     Ayah tersenyum tenang sambil mengacungkan jempolnya.

     "Tidak apa-apa. Menjadi mesum itu bukan hal yang buruk, kok."

     "Kamu berniat mendukungku? Ini pasti bercanda, kan?!"

     Meskipun prinsip pendidikan adalah memuji untuk memotivasi, tapi ada batasnya, dong.

     Saat aku merasa muak, Shiroyama-san membantah dengan sikap tegas.

     "Jangan begitu! Yuu-senpai bukan hanya mesum biasa! Dia mesum yang luar biasa!"

     "Shiroyama-san, serius, diamlah sebentar."

     Ternyata tidak ada yang berpihak padaku di sini.

     Aku menghela napas panjang dan pasrah menerima predikat mesum. Untungnya ini negara hukum. Selama tidak melanggar hukum, mesum pun punya hak asasi manusia. Kenapa aku jadi punya tekad untuk hidup positif, sih...

     "Yah, tidak apa-apa sih kalau kamu bilang aku mesum. Tapi Mera-san, bagaimana dengan pekerjaan paruh waktumu? Tadi kamu bilang mau berhenti..."

     "Ugh."

     Semangat Mera-san langsung menciut.

     Melihat Ibunya, sepertinya kalau dia nekat mengatakan berhenti kerja paruh waktu lagi, hukuman berat pasti menantinya.

     "Aku sih tidak masalah mau bagaimana, tapi disebut mesum juga tidak enak, ya..."

     "Ugh."

     Mera-san benar-benar terdesak.

     Fufufu. Meskipun tidak dewasa, biarlah aku menikmati kemenangan ini. Maaf saja, aku bukan orang suci.

     Meskipun aku juga punya kesalahan dalam insiden sebelumnya, jujur saja aku tidak terlalu menyukai Mera-san. Karena aku sudah dipastikan akan kerja paruh waktu sepanjang liburan musim dingin, akan sangat membantu jika dia mengundurkan diri. Rasakan serangan mental ala Himari! Rasakan!

     Namun, Ayahku yang mengulurkan tangan penyelamat.

     "Yuu, jangan terlalu mengganggu perempuan, ya?"

     "Ugh."

     ...Yah, memang benar juga.

     Meskipun dia datang karena disuruh ibunya, alasan utamanya adalah untuk mengganti rugi aksesori padaku.

     …Saat aku sedang berpikir begitu, Shiroyama-san langsung menyela dengan penuh semangat.

     "Meskipun Yuu-senpai memaafkannya, aku tidak akan! Lagipula dia pasti akan segera berhenti, jadi lebih baik dia diberi pelajaran!"

     "...!"

     Pada saat aku berpikir "Aduh...", Mera-san langsung menjambak sanggul rambut Shiroyama-san.

     "Berisik! Kamu tidak berhak memutuskan apa-apa!"

     "Gyaaahh! Tolak Kekerasan!"

     Sambil menyaksikan tragedi itu, aku merasakan sakit kepala yang tumpul.

     ...Liburan musim dinginku ini, akan jadi seperti apa, ya.

♣♣♣

     Mengambil napas dalam-dalam, kami pun memulai shift kerja paruh waktu.

     Tugas pertamaku adalah melatih karyawan baru, seperti yang Saku-neesan katakan.

     Sambil melayani pelanggan, aku menjelaskan pekerjaan kepada Mera-san.

     "…Itu tadi cara mengoperasikan mesin kasir. Pada dasarnya, cukup scan barcode saja. Karena ini toko pribadi, kami tidak punya kartu poin, jadi kalau ada masalah, langsung tanyakan kepadaku, ya."

     Mera-san, karyawan baru yang diharapkan di minimarket kami, menjawab sambil memainkan ujung roknya.

     "Iyaaa..."

     Dia tidak punya semangat sama sekali, ya...

     Aku mengerti, sih. Setelah kejadian memalukan seperti tadi, aku pun mungkin akan bersikap sama.

     "Kalau canggung, kamu tidak perlu memaksakan diri bekerja paruh waktu di sini, kok? Kalau cuma untuk ganti rugi, bisa di tempat lain juga. Sejujurnya, aku pun merasa canggung..."

     "Aku juga ingin bekerja di tempat lain. Tapi...!"

     Mera-san menatap poster lowongan kerja di jendela kaca dengan sangat kesal, seolah menahan kekecewaan mendalam.

     Ah, iya.

     Gaji di minimarket kami memang bagus, sih.

     Gaji per jam di tempat kami sengaja diatur cukup tinggi, sesuai keinginan Saku-neesan. Menurut ahli strategi kami, "Kelegaan finansial adalah kelegaan batin." Kalau begitu, aku juga ingin gajiku dinaikkan, tapi sepertinya gaji adik justru dipotong karena dianggap keluarga. Menteri Keuangan di rumah ini memang terlalu menekan.

     Maka dari itu, Mera-san, yang gajinya lebih tinggi dariku, sepertinya enggan melepaskan pekerjaan dengan tunjangan sebaik ini. Jika hanya untuk liburan musim dingin... Yah, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Hanya dua minggu, lagipula.

     "Yah, bagiku, asalkan Mera-san bekerja dengan baik dan tidak membuatku dimarahi oleh Saku-neesan, aku sih tidak peduli."

     Saat itu, pintu masuk minimarket terbuka.

     Yang masuk adalah Shiroyama-san, mengenakan gaun China pribadinya dan celemek minimarket yang sama dengan kami. Dengan kedua tangan penuh hiasan Natal, dia melaporkan hasilnya dengan sangat puas.

     "Yuu-senpai! Semua dekorasi Natal sudah kulepas!"

     Hmm, gadis yang kabur dari rumah ini memang pekerja keras.

     Lagipula, dia benar-benar cekatan. Dia cepat sekali belajar pekerjaan toko. Membersihkan toko juga dilakukan dengan gesit, bahkan rasanya lantai jadi lebih mengilap dari biasanya. Sulit dipercaya bahwa dia baru membantu selama tiga jam dengan kemahiran seperti itu.

     Sepertinya, membantu toko kakaknya punya pengaruh besar. Kalau saja pakaiannya bukan gaun China, aku pasti akan lebih terharu.

     "Shiroyama-san, terima kasih atas kerja kerasnya. Mari kita istirahat sebentar."

     "Ah! Kalau begitu, aku ingin latihan membuat aksesori!"

     "Serius? Yah, kalau Shiroyama-san penginnya begitu, aku tidak keberatan..."

     Semangatnya luar biasa.

     Ini hari pertama, biasanya orang cukup lelah. Aku merasakannya juga saat festival budaya, dia benar-benar mengalahkan energiku secara keseluruhan.

     Dan Shiroyama-san, serta Mira-san.

     Dua orang yang secara kebetulan bertemu di hari yang sama karena takdir, dan menjadi rekan kerja secara tak terduga. Kalau soal kecocokan mereka...

     "Hah. Bodoh sekali. Apa serunya membuat aksesori sendiri?"

      Mera-san, yang sudah berada dalam kondisi seolah apa pun yang disentuhnya akan terluka, mengucapkannya dengan nada seperti meludah.

    Sambil menarik kasar ujung roknya, dia tampak sangat tidak senang. Ucapannya itu pasti sindiran yang lebih ditujukan padaku daripada pada Shiroyama-san.

     "…!"

     Shiroyama-san menatap Mera-san dengan kesal.

     Shiroyama-san, yang menyebut dirinya murid utama "you," berkata dengan sikap tegas—sambil bersembunyi di balik punggungku!

     "Aksesori Yuu-senpai benar-benar hebat! Orang yang tidak tahu apa-apa jangan asal bicara!"

     Dia mundur, terus mundur. Pinggangmu menunjukkan isi hatimu, Shiroyama-san.

     Saat aku memikirkan hal yang sedikit tidak sopan, seperti anjing kecil yang menggonggong dari balik bayangan, Mera-san yang merasa senang dengan tingkat ketakutannya, mendekatkan wajahnya sambil menyeringai.

     "Hah? Kamu suka dengan pria lembek yang membuat aksesori bunga seperti ini? Wah, seleramu payah. Sanggulmu itu juga norak sekali."

     "B-bukan suka! Aku hanya menghormatinya!"

     "Mana bisa begitu? Dia kan laki-laki dan kamu perempuan!"

     "Grrr...! Yuu-senpai! Apa kamu akan membiarkannya mengatakan hal seperti ini!?"

     Hmm...

     Entah kenapa. Aku merasa seperti selalu dimanjakan oleh orang-orang seumuranku, dan anak dengan sikap tegas seperti ini terasa menyegarkan. Bukan, bukan berarti aku masokis, ya? Sungguh!

     Tapi, ini bukan saatnya hanya melihat sebagai orang luar.

     "Mera-san. Aku tahu kamu tidak menyukaiku, dan aku pikir itu wajar. Saat itu, aku hanya memikirkan peningkatan diriku sendiri, dan tidak terlalu memedulikan orang-orang yang membeli aksesoriku. Sejujurnya, aku tidak pantas disebut profesional."

     Mera-san cemberut.

     Yah, dia pasti berpikir, 'apa pun yang dikatakan orang yang kubenci, itu tidak penting'. Tapi ada satu hal yang harus dia pahami dengan baik.

     "Tapi aku ingin kamu berhenti menjelek-jelekkan Shiroyama-san. Anak ini jauh lebih serius dalam mengerjakan aksesori daripada aku. Kamu tidak punya hak untuk mengatakan apa pun padanya, kan?"

     "…!"

     Mira mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

     "Mana bisa begitu...!"

     Saat itu, pintu ruang belakang terbuka dan Saku-neesan menjulurkan kepalanya.

     Keheningan mendadak menyelimuti.

     Saku-neesan memandangi kami tanpa ekspresi, lalu berkata kepada Mera-san yang masih terdiam dengan ekspresi aneh.

     "Karyawan baru. Kalau ribut-ribut, gaji per jammu kupotong."

     "Waah, aksesori buatan Senpai bagus banget~! Seleramu itu luar biasa, menurutku sangat berkelas! Jenius!"

     Perubahan sikapnya ini lho.

     Sambil berpikir, 'perempuan memang menyeramkan,' atau mungkin dalam kasus ini, 'duit itu menyeramkan?' Bagaimanapun, aku merasa kasihan pada Mera-san yang sedang dalam mode "pura-pura manis" sambil memujiku, lalu aku berkata pada Saku-neesan.

     "Saku-neesan. Aku tidak masalah, kok..."

     "Dasar bodoh. Mana mungkin aku mengurus mental adikku yang payah ini."

     Aku dipanggil bodoh...

     Yah, Saku-neesan memang sudah memakiku sejak aku lahir, jadi kalau tiba-tiba dia bersikap manis, aku juga akan bingung, sih.

     "Lalu, kenapa kamu menyuruh Mera-san diam...?"

     "Tentu saja demi toko. Pelanggan itu, secara mengejutkan, sering memperhatikan karyawan. Bahkan kalau tidak ada seorang pun di dalam toko, karena berdinding kaca, semua terlihat jelas dari luar. Kita tidak pernah tahu siapa yang sedang melihat. Jadi, jangan pernah bertengkar di dalam toko. Kalau mau bertengkar, lakukan di belakang saat jam istirahat."

     Kakakku terlalu normal.

     Tapi ada yang aneh. Kalau sifat Saku-neesan yang biasa, dia pasti akan bilang, "Kalian berdua salah," dan mencoba memotong gajiku juga.

     Tentu saja, meskipun mulutnya berkata macam-macam, dia pasti khawatir pada adik kandungnya. Fufufu, kakak yang tidak jujur, ya... Saat aku memikirkan hal bodoh seperti itu, Saku-neesan, yang seolah-olah membaca pikiranku dengan sempurna, berkata dengan wajah lelah.

     "Bukan begitu, gaji per jammu memang sudah tidak bisa dipotong lagi."

     "Tunggu? Sekarang, gaji per jamku jadi berapa? Apa tidak apa-apa? Pemerintah tidak akan marah, kan?"

     Tentu saja itu tidak mungkin sampai minus, kan, kakakku tersayang?

     "…Omong-omong, Saku-neesan. Bukankah hari ini giliranmu jaga malam?"

     "Aku datang lebih awal karena penasaran apakah kamu bisa membimbing karyawan baru. Yah, dugaanku memang tepat, sih."

     Sambil berkata begitu, dia menunjuk kami bertiga.

     "Kalian bertiga, pergilah istirahat. Dinginkan kepala kalian sebentar."

     "Baik..."

     Sebelum dimarahi lebih jauh, kami bertiga mundur ke ruang belakang.

♣♣♣

     Karena Saku-neesan menggantikan posisiku menjaga toko, Ayah pergi pulang untuk tidur siang.

     Di ruang belakang yang agak sempit, ada sebuah meja dengan empat kursi. Kami duduk di kursi-kursi di sekelilingnya, berniat beristirahat sebentar.

     ...Tapi sepertinya tidak jadi, karena Shiroyama-san dengan gembira membawa tas berisi peralatan aksesori. Kagum dengan semangatnya yang luar biasa, aku pun mencoba merasakan pengalaman di bidang baru.

     Aku mengusap beberapa lembar kain yang dibawa Shiroyama-san dengan lembut menggunakan ujung jariku.

     "Oh, ya. Kalau disusun dan disentuh begini, tekstur kainnya benar-benar beda, ya..."

     "Benar sekali. Suasana yang dihasilkan bisa sangat berbeda tergantung jenis kain yang kamu gunakan."

     "...Jadi, kain tebal belum tentu keras, ya?"

     "Seperti yang diharapkan darimu! Hebat sekali bisa langsung menyadari itu!"

     "Ah, tidak, itu biasa saja kok..."

     Dia sungguh memujiku berlebihan. Pasti ini karena dia merasa berhutang budi karena sudah diberi tempat menginap dan makan...

     Shiroyama-san tampak sedikit senang mendapat kesempatan memamerkan pengetahuannya di bidangnya. Ngomong-ngomong, aku juga dulu senang sekali saat pertama kali mengajari Enomoto-san cara membuat aksesori.

     Shiroyama-san mengambil dua jenis kain dan menyuruhku menyentuhnya.

     "Tergantung bahannya, meski sama-sama lembut, ketebalannya bisa sangat berbeda. Yang ini namanya kain jacquard... Coba bandingkan dengan kain voile yang itu. Keduanya dikatakan memiliki kelembutan yang mirip."

     "Oh, benar-benar beda ketebalannya, ya. Kain voile yang ini? Saking tipisnya sampai tembus pandang..."

     ...Kalau begini, jadi bingung siapa yang sedang belajar.

     Aku sempat tersenyum kecut, tapi karena ini kesempatan langka, aku akan menyerapnya sebanyak mungkin.

     ...Tapi.

     "Mera-san? Kamu baik-baik saja?"

     Aku kira Mera-san diam saja, tapi dia malah terkulai di meja. Sepertinya dia sangat tertekan dengan pekerjaan pelayanan yang tidak biasa baginya, dan juga karena diriku yang bagai ranjau darat. ...Bisakah dia bertahan dua minggu, ya?

     Mera-san bergumam dengan aura negatif yang pekat.

     "…Hah. Aku lelah sekali. Aku yakin kepala toko itu membenciku."

     Oh, maksudnya Saku-neesan tadi.

     "Ah, masa sih. Dia memang menakutkan pada siapa pun biasanya, jadi tidak perlu dipikirkan..."

     …Hm?

     Sepertinya rekaman kamera pengawas bergerak... Hiii. Saku-neesan sedang mengacungkan jari tengah ke arah kamera pengawas! Jangan-jangan dia memasang alat penyadap, ya?

     Ehem, aku berdeham.

     Lalu, dengan senyum yang sangat cerah, aku berkata,

     "Saku-neesan itu baik hati kok, jadi tidak apa-apa."

     "...Senpai. Kamu mengatakan itu sambil mencubit punggung tanganmu, lho."

     Mau bagaimana lagi.

     Manusia akan menunjukkan reaksi penolakan ketika mencoba melakukan hal yang berlawanan dengan isi hatinya. Untuk menahannya, ada rasa sakit yang harus diterima.

     "Yah, sejujurnya, kamu tidak perlu khawatir. Saku-neesan bukan orang yang menilai segalanya dengan tolak ukur yang jelas begitu. Justru dalam kasus itu, dia pasti berpikir aku yang salah karena membuat aksesori yang tidak memuaskan klien."

     "Eh~. Senpai, Kakakmu membencimu ya...?"

     "...Entahlah."

     Jujur, sulit sekali untuk menyangkalnya...

     Tapi sebenarnya, Saku-neesan lebih mendukung Himari yang membantuku, bukan aku. Jadi, jika dia memperlakukanku sebagai adiknya... Tunggu? Jangan-jangan aku tidak punya tempat di rumah karena putus dengan Himari?

     Saat kami sedang mengobrol, Shiroyama-san menyela.

     "Yuu-senpai! Mari kita lanjutkan latihan aksesori!"

     "U-um, kita memang akan melanjutkan latihan aksesori, tapi kenapa tiba-tiba jadi semangat begini?"

     Sejak tadi, dia seolah bersaing dengan Mera-san...

     Kemudian Shiroyama-san berkata dengan semangat membara. 

     "Yuu-senpai itu mudah sekali down, jadi aku harus melindungimu!"

     "Apa kamu pengasuhku?"

     Dia terlihat begitu bersemangat menjalankan misinya. Sampai tahap ini, aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa, tapi kalau Shiroyama-san senang, ya sudah...

     Shiroyama-san merangkul lenganku, lalu berkata seolah mengancam Mera-san.

     "Jadi! Mera-senpai, jangan jahat pada Yuu-senpai!"

     "Tidak, tidak perlu sampai begitu... Aku sudah tidak memusingkan masalah Mera-san kok..."

     "Tidak boleh! Yuu-senpai, mentalmu sedang lemah karena putus dengan Himari-senpai!"

     "Ah, t-tunggu..."

     Dia membocorkan hal yang luar biasa tanpa sempat aku hentikan.

     ...Mera-san memasang senyum lebar yang super menyebalkan.

     Dia menutup mulutnya dengan tangan dan berkata,

     "Eh? Senpai, kamu putus dengan pacarmu itu?"

     Lihat, dia jadi senang begitu!

     Mera-san, yang baru saja mendapatkan "umpan" bagus, seolah melupakan semua kelelahan kerjanya dan mendekatiku sambil menyeret kursi lipatnya.

     "Eh~? Pacar Senpai itu, cewek berambut pendek yang pernah menamparku, kan~? Wah~, Senpai, kamu melewatkan orang secantik itu~? Lucu sekali~."

     Klik.

     ...Ups, jangan sampai.

     Aku menahan instingku yang hampir saja meledak.

     Tahan, Natsume Yuu. Dia lebih muda darimu, kan? Lagipula, dia adik kelas di sekolah yang sama, dan sekarang rekan kerja bawahanmu. Tidak ada gunanya berdebat di sini. Malah Saku-neesan nanti akan marah, dan gajiku yang sudah parah bisa jadi makin mengerikan.

     ...Lihat, aku sudah lebih tenang sekarang.

     Lagipula, hal seperti ini tidak seberapa dibandingkan dengan Himari. Dibandingkan dengan kejahilan si profesional "Puhha" itu, terus terang saja, ini seperti permainan anak-anak. Agak aneh juga kalau masa lalu pacaran dengan Himari bisa berguna seperti ini, tapi intinya, aku sudah tenang.

     Ya, aku adalah pria yang keren.

     Jadi, aku hanya bergumam pelan.

     "Mera-san juga tidak jauh beda, kan? Mulai kerja paruh waktu saat Natal..."

     "...!?"

     Wajah Mera-san memerah padam.

     Aku merasakan respons yang pasti. Orang yang aktif menjahili orang lain itu lemah terhadap serangan balik. Hukum ini sepertinya berlaku di seluruh dunia, karena rasa percaya diri Mera-san yang tadi menghilang begitu saja.

     Mera-san mati-matian membantah.

     "A-aku hanya tidak punya pacar! Aku tidak kesepian sepertimu!"

     "Tapi pada akhirnya sama saja, kan? Buktinya kamu bekerja paruh waktu di minimarket ini."

     "Menyebalkan sekali! Padahal cuma cowok culun yang suka bunga!"

     "Bagaimana rasanya diajari kerja paruh waktu oleh cowok culun yang suka bunga ini?"

     "K-kalian berdua! Tenanglah!"

     Shiroyama-san mencoba menghentikan kami dengan mata berkaca-kaca.

     Namun, aku dan Mera-san yang sudah terbawa emosi, terus memanas.

     Saat kami ribut-ribut, tiba-tiba sesuatu terjadi.

     BRAK! Pintu ruang belakang terbuka dengan kasar.

     Kami langsung terdiam dan menoleh ke arah sana secara bersamaan.

     Tentu saja, itu Saku-neesan.

     Dengan tanda “💢” di pelipisnya, dia menatap kami dengan penuh curiga.

     "…Kalian, pertengkaran vulgar kalian terdengar sampai ke depan toko. Kalau tidak ingin semua jadi santapan ikan di laut, bersihkan toilet sampai seperti baru lagi."

     "Maafkan kami!"

     Kami bergegas mengambil alat pembersih.

     Sambil berbagi tugas membersihkan toilet toko… suasana tegang masih terasa.

     "Ini semua gara-gara Senpai..."

     "Ini gara-gara Mera-san, kan..."

     Percikan api beterbangan di antara kami.

     "Kenapa aku juga harus..."

     Dan Shiroyama-san, yang sepenuhnya terkena imbas, berkata sambil sedikit menangis.

     Ya. Aku benar-benar minta maaf soal itu…


♡♡♡

PoV

Enomoto Rion

     —Aku putus dengan Yuu.

     Natal telah berlalu, tanggal 26 Desember.

     Sejak pesan mengejutkan itu tiba semalam… akhirnya aku memutuskan untuk bertindak.

     Pasti ada kesalahan.

     Sebab, dua hari lalu, Yuu-kun pergi ke tempat kencan dengan raut wajah seceria itu. Jangan-jangan karena dia terlambat memenuhi janji kencan Malam Natal? Lalu, Hii-chan kambuh histeris seperti biasanya? Mengingat Hii-chan, itu mungkin saja...

     Lagipula, Hii-chan yang sedang dalam kondisi bahagia karena cinta itu tidak perlu melakukan lelucon seperti ini.

     …Jadi, ini benar?

     Aku selesai membereskan toko sekitar tengah hari, lalu pergi menuju rumah Yuu-kun.

     Seharusnya aku bisa menghubunginya saja… Tidak, sebaiknya jangan. Kalau ini lelucon Hii-chan, rasanya seperti aku malah mengikuti permainannya dan itu sangat menjengkelkan.

     Aku akan mengamati dari jauh saja.

     Sambil mengayuh pedal sepeda yang terasa berat, aku akhirnya tiba di tujuan.

     Perjalanan terasa panjang dan napasku terengah-engah. Setelah memarkir sepeda agak jauh dari rumah Yuu-kun, aku tersentak.

     ...Bagaimana caranya aku bisa memastikan kebenarannya tanpa diketahui Yuu-kun?

     Langsung bertanya pada Yuu-kun? Tidak, itu bukan pilihan. Kalau salah, nanti jadi canggung, dan yang terpenting, kalau Hii-chan menertawaiku dengan "Puhha. Enocchi sampai percaya segala~♪", aku mungkin tidak bisa menahan diri. Aku tidak mau jadi penjahat.

     Benar.

     Aku akan bertanya pada Sakura-san. Mungkin dia ada di minimarket saat ini. Kalau ini hanya lelucon Hii-chan yang tidak lucu, dia pasti akan ikut marah bersamaku.

     Berpikir begitu, aku diam-diam mengintip ke dalam lewat jendela kaca.

     Yuu-kun ada di kasir, dan aku segera menarik kepalaku.

     Yuu-kun, hari ini dia bekerja paruh waktu seperti biasa.

     Dia tampak tenang menjelaskan pekerjaan kepada seorang gadis pekerja paruh waktu lainnya. Melihatnya, sepertinya ada karyawan baru yang masuk... Hm? Gadis yang terlihat kuat dan percaya diri itu, rasanya pernah kulihat di suatu tempat... Atau hanya perasaanku saja?

     Hmm…

     Jika perkataan Hii-chan itu benar, Yuu-kun pasti mengalami kerusakan mental yang parah. Setidaknya, dia bukan tipe yang langsung "hore, kerja paruh waktu dengan gadis manis baru!" setelah putus dari pacarnya. Kurasa Yuu-kun pasti akan tenggelam dalam aura murung.

     (Mana yang benar, ya? Untuk sementara, Sakura-san...)

     Tepat saat aku berbalik,

     Di sana, ada Shiroyama Mei-chan.

     Kenapa Mei-chan ada di sini?

     Yang lebih aneh lagi, dia memakai gaun China dan celemek minimarket keluarga Yuu-kun. Eh, ini sebenarnya ada apa, sih...?

     Melihatnya memegang sapu dan pengki untuk menyapu di luar, sepertinya dia sedang bersih-bersih. Saat mata kami bertemu, dia terkejut dan membeku.

     Aku mencengkeram bahunya, lalu menyeretnya pelan-pelan ke belakang minimarket.

     Setelah membawanya ke sudut, aku bertanya pada Mei-chan.

     "Mei-chan. Kenapa kamu ada di sini?"

     "Eh, ah, i-itu, um...!"

     "Eh...? Maaf, sekali lagi..."

     "Ah! Um! Itu, aku... Aku dan kakakku sedang berteng... M-maksudku, latihan! Aku pakai sapu ini sebagai bagian dari latihan!"

     "Latihan dengan kakakmu? Kenapa pakai sapu...?"

     Apa ini semacam teka-teki?

     Dia terlihat sangat panik, tapi... Ah, ada daun kering menempel di rambut Mei-chan. Mungkin jatuh dari pohon. Anehnya, dia sangat cekatan sampai bisa menaruhnya di kepala dengan begitu rapi.

     Tepat saat aku mengulurkan tangan untuk mengambil daun itu,

     Mei-chan memucat seolah kiamat sudah dekat, dan melindungi kepalanya dengan kedua tangan!

     "..."

     "..."

     Keheningan aneh menyelimuti.

     Ini, dia tidak mencoba melindungi daun di kepalanya, kan?

     "...Jangan-jangan, kamu takut padaku?"

     Mei-chan tersentak.

     "T-t-t-tidak mungkin! Aku menghormati Rion-senpai sebagai senior! S-sungguh! Percayalah padaku!"

     "..."

     Mei-chan berkeringat deras bagai air terjun, sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia benar-benar seperti anjing kecil.

     ...Dia pasti anak yang tidak bisa berbohong.

     Kenapa dia begitu takut padaku? Apa aku melakukan sesuatu... Ah.

     Aku teringat kejadian-kejadian di festival budaya.

     ...Benar juga, sejak pertama kali bertemu dan aku mencengkeram kepalanya seperti Iron Claw, kami belum pernah bicara berdua dengan benar. Saat itu, aku hanya memikirkan acara penjualan aksesori Yuu-kun.

     "Um, Mei-chan...?"

     "Ababababa..."

     Ah, sepertinya ini tidak akan berhasil.

     Aku jadi merasa kasihan padanya dan menyerah untuk mencoba berteman lebih jauh.

     Baiklah, untuk menyimpulkan pembicaraan ini... tidak banyak informasi yang bisa disimpulkan, sih. Tapi intinya, aku menanyakan hal yang paling membuatku penasaran.

     "Mei-chan. Apa yang kamu lakukan di sini?"

     "Itu... aku kabur dari rumah, dan sebagai gantinya karena sudah merepotkan... aku membantu di sini..."

     Hah!?

     Kenapa bisa begitu? Ah, sudahlah. Aku tidak akan mencampuri urusan rumah orang lain.

     Aku paham kenapa dia ada di sini. Mungkin dia mencari kenalannya satu per satu dan akhirnya sampai di tempat ini. Biasanya, orang tidak akan berpikir buat pergi ke rumah laki-laki yang "hanya kenalan biasa", tapi dia memang anak yang sangat aktif, jadi bukan tidak mungkin juga. Mengingat sifat Sakura-san, dia mungkin tanpa sengaja akan menerimanya.

     Tapi, kalau begitu, bukankah seharusnya dia pergi ke rumah Hii-chan dulu? Dia kan dulu mengira Hii-chan itu "you"?

     "Mana Hii-chan?"

     "Ah..."

     Seketika, suasana Mei-chan berubah.

     Yang tadinya dia ketakutan dan cemas, kini berubah menjadi sangat tenang. Seolah topik Hii-chan mengubah saklar emosinya.

     ...Dia ini, mirip Yuu-kun dalam hal perubahan emosi yang cepat. Apakah kreator itu memang banyak yang seperti ini, ya?

     Mei-chan menunduk dengan canggung.

     "Itu... Kemarin aku pergi ke rumah Himari-senpai untuk menginap, tapi... di sana Himari-senpai bilang 'tolong jaga Yuu-senpai', jadi aku datang ke sini..."

     "..."

     Hanya dengan kata-kata itu, semuanya sudah cukup jelas.

     Pesan itu bukan lelucon Hii-chan. Meskipun dia ingin mengejekku, dia tidak akan melibatkan Mei-chan. Dia pasti tahu Mei-chan bukan tipe anak yang bisa berbohong.

     "…Baiklah. Terima kasih."

     Hanya itu yang keluar dari mulutku.

     Aku berbalik dan berjalan menuju sepeda. Lalu, dari belakang, Mei-chan memanggilku dengan nada bingung.

     "A-anu… bukannya kamu datang untuk bertemu Yuu-senpai...?"

     "Eh? Ah..."

     Bagaimana ini? Aku sebenarnya tidak datang untuk bertemu dengannya...

     Setelah berpikir sejenak, aku berkata pada Mei-chan. 

     "Jangan bilang Yuu-kun kalau aku datang, ya."

     "Eh?"

     Mei-chan memiringkan kepalanya, seolah bertanya "kenapa?". Ah, dia bisa saja keceplosan ini.

     Aku menggerakkan tangan kananku ke atas dan ke bawah, lalu menekankan dengan senyum.

     "Ya?"

     "B-baik!!"

     Dia berdiri tegak kaku sambil gemetaran, lalu memberi hormat.

     ...Entah kenapa, jadi ada hierarki yang aneh di antara kami.

     Aku mengayuh sepeda perlahan, memulai perjalanan pulang. Jalan yang sama seperti biasa, udara yang sama seperti biasa. Namun entah mengapa terasa tidak nyata, seperti melayang di atas awan.

     Yuu-kun, dia putus dengan Hii-chan...

     


♣♣♣

PoV

Natsume Yuu

     ...Sial.

     Aku harus sedikit menenangkan diri. Sampai-sampai mau bertengkar sungguhan dengan junior... Aku tidak terlalu menyadarinya, tapi sepertinya putus dengan Himari sangat memengaruhiku.

     Sambil memikirkan hal itu, aku mulai merapikan rak display. Sampai kemarin adalah Natal... artinya, makanan ringan dan minuman terjual laris manis.

     Area toko seperti baru saja dilanda badai. Sore ini, saat pengunjung sepi, tugas kami adalah merapikannya agar terlihat bagus.

     "Sore nanti akan ada pengiriman makanan kotak. Kita harus selesai mengisi ulang stok barang lain sebelum itu. Kalian berdua mungkin belum hafal semua barang, tapi santai saja, yang penting berusaha."

     "Baik..."

     Mera-san masih cemberut, mungkin karena efek pertengkaran tadi.

     Meskipun begitu, dia tidak membantah lebih jauh karena Saku-neesan pasti sedang mengawasinya lewat kamera pengawas dari ruang belakang.

     Masalahnya adalah...

     "Shiroyama-san? Kamu dengar?"

     "B-baik!?"

     Shiroyama-san, yang tadi melihat ke luar jendela seolah ketakutan, menjawab dengan gugup.

     ...Ada apa dengannya? Sejak tadi dia menyapu daun-daun di luar, tingkahnya aneh. Seolah-olah dia baru saja bertemu hantu jahat dan takut diserang lagi. Rasanya seperti déjà vu film horor B-grade Amerika, ya.

     Yah, lupakan itu.

     "Menata barang dagangan itu tidak terlalu sulit, kok. Cukup periksa barang yang berkurang, ambil barang yang sama dari belakang, lalu isi ulang. Kalau belum terbiasa, disarankan menggunakan buku catatan."

     Ya, pekerjaannya sendiri memang sederhana.

     Namun, masalahnya di sini adalah... pembagian tugas.

     Jika stafnya sudah terbiasa, mereka bisa menentukan peran masing-masing dan menyelesaikan pekerjaan dengan lancar. Misalnya, ada yang bertugas 'mengambil barang' dan ada yang 'menata di rak'.

     Tapi dari tiga orang di sini, dua di antaranya adalah karyawan baru. Mungkin akan lebih baik jika mereka melakukan semua proses sendiri agar bisa mengingat pekerjaan dengan praktik.

     Setidaknya, secara logika begitu.begitu.

     Namun, lorong minimarket terlalu sempit untuk tiga orang mondar-mandir di tempat yang sama. Efisiensinya juga kurang. Jika terlalu banyak waktu terbuang, ada kemungkinan Saku-neesan akan marah.

     Maka dari itu, kami memutuskan untuk bertanggung jawab pada rak yang berbeda.

     "Yang perlu segera diisi adalah area makanan ringan, area mi instan, dan—"

     Kami bertiga serentak mengarahkan pandangan ke bagian belakang toko.

     —Walk-in.

     Maksudnya, lemari pendingin besar minimarket. Di sana tersimpan teh, jus, dan juga minuman beralkohol. Ciri khasnya adalah hanya menyimpan minuman dingin.

     Banyak orang mungkin tahu cara mengisinya. Lemari pendingin besar ini memiliki ruang di belakangnya yang bisa dimasuki orang, tempat minuman diisi ulang. Saat berbelanja di minimarket, pasti ada pengalaman tak sengaja bertatapan dengan karyawan yang sedang bekerja, kan?

     Yah, intinya adalah...

     Sangat dingin.

     Tidak seperti musim panas, pekerjaan di walk-in selama musim dingin sedikit bagaikan neraka. Tadi, saat aku menunjukkan tempat itu kepada Shiroyama-san dan Mera-san, mereka berteriak, "Wah, dinginnya!" dan "Yuu-senpai, kita harus masuk ke sini?!"

     TLN : Walk-in adalah gudang pendingin tempat karyawan bisa masuk untuk mengambil dan menata stok minuman dingin.

     Seharusnya pekerjaan ini dilakukan oleh beberapa orang, tapi sekarang kami baru saja menentukan pembagian tugas.

     Maka, kelanjutan setelah ini mudah ditebak—

     ""—Batu, kertas, gunting!—""

     Seolah sudah diatur, kami bertiga berseru serempak sambil mengulurkan tangan kanan.

     Hasilnya—Batu-Gunting-Gunting.

     Shiroyama-san mengangkat kedua tangannya dan berseru gembira.

     "Aku akan mengurus makanan ringan!"

     Sungguh penglihatan yang tajam.

     Dia langsung memilih tempat kerja yang paling mudah dari tiga lokasi tersebut. Benar-benar sesuai dengan pengalamannya membantu di toko kakaknya.

     ...Aku dan Mera-san menatap gunting yang kami keluarkan dan gemetar.

     Kemudian secara naluriah, kami saling bertatapan mata.

     Mera-san menyatukan kedua tangannya, berpose memohon seolah ingin berkata, "Toloongg~♡."

     "Senpai~. Bukankah menurutmu, karyawan baru sebaiknya belajar dari pekerjaan yang mudah dulu~?"

     Anak ini, kenapa tiba-tiba suaranya jadi manja begitu?

     Dia tidak melupakan pertengkaran mulutnya denganku tadi, kan? Dan juga saat dia membersihkan toilet sambil marah-marah? Aku bahkan melihat dia mendecakkan lidah sekitar tiga kali. Jangan-jangan dia tidak punya harga diri?

     Yah, aku mengerti perasaannya, sih. Kalau harus melakukan pekerjaan di walk-in pada musim seperti ini, dia pasti rela merayu pria yang dibencinya sekalipun demi menghindarinya.

     Tapi, aku menolak.

     Aku memang bersalah dalam insiden aksesori yang rusak itu, dan aku tidak lagi memedulikannya. Namun, aku tetap tidak terlalu menyukai Mera-san, dan mana mungkin aku sebaik itu sampai menyerahkan kemenangan padanya. Biasanya aku selalu kalah dari Himari, tapi saat genting seperti ini, aku adalah pria yang bisa bertindak tegas.

     Aku mengayunkan tangan kananku dengan senyum lembut.

     "Yang pertama adalah batu!"

     "Ah!? S-Senpai, apa kamu tidak punya harga diri, ya!?"

     Jika aku punya, mana mungkin aku bisa jadi adik Saku-neesan.

     "Batu, kertas, gunting!"

     "…!"

     Pok!

     Aku batu. Mera-san gunting.

     —Aku mengepalkan tangan tanda kemenangan.

     Shiroyama-san mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

     "Yuu-senpai! Memang hebat!"

     Benar, kan.

     Karena kemenangan yang begitu gemilang, aku merasa mabuk kepayang oleh diriku sendiri, tidak seperti biasanya.

     Shiroyama-san, dengan pipi merona karena gembira, terus memujiku atas keberanianku.

     "Aku tidak menyangka, melawan gadis yang lebih muda saja bisa serius banget pengin menang! Memang benar kamu adalah budak Himari-senpai yang dihancurkan harga dirinya secara perlahan!!"

     Apakah anak ini sebenarnya tidak menyukaiku????

     ...Yah, sudahlah. Barusan memang sedikit menyakitkan mental, tapi tujuanku sudah tercapai. Saat aku menoleh, Mera-san terlihat menangis dan merintih.

     "Ugh... Ugh... Benar-benar sial... Aku pasti akan mencari kelemahanmu dan menghancurkan kehidupan sekolahmu...!"

     Dia mengatakan hal yang menakutkan.

     Sejujurnya, kehidupan sekolahku ini penuh dengan kelemahan, tapi anggap saja itu hanya perasaanku. Karena sungguh menakutkan.

     Nah, pembagian tugas sudah selesai, mari kita mulai bekerja.

     Aku menuju ruang belakang untuk memeriksa stok barang.

     Di sini adalah stoker... yaitu rak besar yang penuh dengan barang dagangan. Sayangnya, sekarang isinya tidak banyak yang tersisa.

     Semuanya berjalan sesuai rencanaku.

     ...Kecuali, entah kenapa, Saku-neesan ada di sana.

     Saku-neesan sedang melakukan pemesanan barang menggunakan tabletnya.

     Mudahnya, dia sedang memesan barang-barang yang stoknya habis dari distributor. Minimarket kami memang membeli produk lokal langsung dari produsen, tapi untuk makanan ringan dan mi instan yang populer, kami membelinya dari pemasok langganan.

     Saku-neesan kebetulan berada di depan rak mi instan. Itu berarti dia sedang melakukan pemesanan mi instan, dan...

     "Jangan mengisi ulang mi instan dulu. Aku masih memesan, jadi nanti saja."

     "Eh, tapi..."

     "Daripada itu, walk-in benar-benar kosong, kan? Itu tidak akan selesai kalau hanya satu karyawan baru yang mengerjakannya, jadi bantu dia sana."

     "Ah..."

     Pengembangan plot ini terasa seperti permainan dewa.

     Dalam sekejap, keadaan berbalik total, dan ketegangan pun langsung membuncah di antara kami.

     Perkataan Saku-neesan, sang dewi dari surga, adalah mutlak. Menyadari hal itu, Mera-san tersenyum licik. Dia tampak sangat senang bisa menyeretku ke neraka yang dingin membeku itu.

     "Senpai, mari kita berjuang bersama, ya!"

     "...Oke."

     Senyummu bagus juga, ya...

     Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, senyuman Mera-san memberikan kesan kekanak-kanakan. Memang, itu terlihat imut, tapi masalahnya—kekanak-kanakannya itu terkesan jahat. Semacam dewi jahat yang polos, namun ditakdirkan untuk menghancurkan segalanya?

     Shiroyama-san berkata ragu-ragu.

     "Yuu-senpai, kamu baik-baik saja?"

     Shiroyama-san memang baik padaku...

     Yah, meskipun begitu, terlihat jelas dia tidak akan pernah mengatakan, "Biar aku saja yang gantikan!" Tidak apa-apa. Anak seperti itulah yang bisa bertahan hidup di dunia yang tidak ramah ini.

     "Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa melakukannya. Lagipula, aku punya cara mengatasi walk-in kok..."

     Aku melihat ke arah pintu walk-in.

     "...Eh?"

     Cara mengatasi walk-in itu.

     Sederhana saja, ada jaket tebal yang tergantung di sana. Karyawan malang yang sering dipaksa melakukan pekerjaan walk-in di minimarket ini selalu menyediakan jaket pribadinya.

     ...Tapi entah kenapa, jaket itu menghilang begitu saja.

     Lalu, Mera-san berkata sambil menyeringai.

     "Senpai, kamu mencari ini, ya~?"

     "Ah!?"


Mera-san memegang jaket hitam itu di kedua tangannya.

     Rupanya, dia sudah melihatnya saat mendengar tentang pekerjaan di walk-in.

     "Anu, Mera-san..."

     "Ah, tidak boleh. Ini kan cuma ada satu. Tentu saja, siapa cepat dia dapat, kan?"

     "Tidak, tapi itu..."

     "Senpai, sebagai cowok kok susah move on, sih~. Seperti yang kuduga dari pencinta bunga. Lucu banget~ (lol)."

     "Bukan begitu maksudku..."

     Mera-san bertanya pada Saku-neesan.

     "Kepala Toko. Jaket ini, boleh kan aku yang pakai~?"

     "..."

     Saku-neesan melirik kami, lalu menghela napas lelah.

     "Terserah apa saja, yang penting cepat selesaikan. Satu jam lagi pengiriman makanan kotak akan datang."

     "Siap~♪"

     Setelah mendapat izin, Mera-san segera mengenakan jaket itu.

     Jaket pria itu kebesaran, tapi entah kenapa malah terlihat cocok dengan Mera-san yang terkesan nakal... atau lebih tepatnya, aktif.

     Mera-san dengan sengaja melingkarkan lengannya erat-erat seolah memeluk jaket itu. Terlihat begitu penuh gairah, seperti memeluk pacar.

     Memang, dia adalah pejuang yang menghadapi cuaca ekstrem. Ketika nyawa terancam, manusia cenderung mengaktifkan mode otak romantis. Demi kelangsungan hidup spesies, mau bagaimana lagi.

     "Ah~ Hangatnya~! Rasanya seperti kehangatan hati pemilik jaket ini~. Orang berhati dingin seperti Senpai tidak membutuhkannya, kan~?"

     "..."

     Itu jaketku, tahu...

     Peran yang tidak menguntungkan seperti pekerjaan walk-in selama musim dingin di minimarket ini, sebagian besar selalu dilimpahkan padaku. Yah, aku tidak akan mengatakannya, sih. Kalau aku bicara, rasanya seperti akan dibunuh...

     Saat aku memikirkan itu, Saku-neesan dengan entengnya berkata. 

     "Itu, jaket milik adikku yang bodoh."

     "Ah, t-tunggu...!"

     Aaaah!

     Wajah Mera-san memerah padam dan dia gemetaran. Gawat, ini puncak dari rasa malu. Jujur, jika aku berada di posisi Mera-san, aku mungkin ingin mati saja.

     "~~~~~!!"

     "B-bagaimanapun, mari kita cepat selesaikan pekerjaan walk-in ini!"

     Aku segera membuka pintu dan menerobos masuk ke dalam neraka yang membekukan itu.

♣♣♣

     Struktur walk-in adalah sebagai berikut:

     Di dalam lemari pendingin raksasa, terdapat rak-rak khusus minuman. Ketika sebuah produk diambil dari depan, sistem rol akan berputar dan mendorong produk berikutnya ke barisan depan. Dulu Saku-neesan pernah bilang, "Ini seperti pensil roket," tapi sayangnya aku tidak mengerti maksudnya. Singkatnya, semua orang Jepang yang hidup di zaman modern pasti pernah melihatnya.

     Cara mengisinya pun sangat sederhana. Cukup letakkan produk yang sama di bagian belakang barisan, lalu rol akan berputar dan mengantarnya menuruni rak yang miring. Selesai.

     Dan Mera-san, yang baru pertama kali mencoba mengisi dengan sistem "pensil roket" itu...

     "Yo. Hup."

     Mira meletakkan sekaleng kopi, dan rol pun membawanya bergulir. Setelah mencapai ujung belakang, kopi itu berhenti dengan bunyi "klak".

     "Wah~..."

     Mera-san, yang sedikit terhibur, berbalik dengan mata berbinar.

     "Senpai. Mau taruhan siapa yang bisa memasukkan lebih cepat?"

     "Tidak mau. Ini barang dagangan, tahu..."

     Polosnya dia.

     Membanting barang itu sudah jelas tidak boleh. Kalau sampai penyok sedikit saja, harganya harus diturunkan, dan aku akan dimarahi Saku-neesan... Ah, jangan-jangan memang itu tujuannya?

     Sambil menghela napas, aku mengisi ulang kaleng-kaleng bir. Meskipun udaranya sangat dingin, para peminum bir rupanya lebih suka yang dingin menusuk tulang. Perasaan yang sulit dimengerti bagi anak di bawah umur sepertiku.

     ...Ngomong-ngomong, ini benar-benar dingin.

     Saat aku menggigil kedinginan, Mera-san yang melihatku tersenyum licik. Lalu, dia pamer jaketnya dengan sengaja.

     "Bagaimana rasanya~? Melihat jaketmu menghangatkan orang lain selain dirimu~?"

     "..."

     K-kesal! ...Kurasa tidak sampai begitu, sih.

     Begitu tahu jaket itu milikku, dia langsung mengubah arah serangannya. Aku tidak tahu apakah itu efektif, tapi dia memang gigih.

     Tapi ini benar-benar dingin. Aku harus cepat selesai dan keluar dari walk-in sebelum mati kedinginan...

     Saat aku tanpa henti mengisi ulang minuman, Mera-san di sebelahku menggosok-gosokkan kedua tangannya sambil mengeluarkan napas putih.

     "Hei, Senpai, kamu kan udah putus dengan pacarmu, ya?"

     "Eh? Ah, begitulah..."

     Mungkin dia bosan dengan pekerjaannya?

     ...Tapi, tolong jangan pilih topik pembicaraan seperti itu.

     "Kamu kelihatan biasa-biasa saja untuk seseorang yang baru putus cinta."

     "Begitukah?"

     "Iya."

     "Entahlah..."

     Aku terlihat biasa saja, mungkin itu berkat Shiroyama-san.

     Seharusnya aku sudah down dan mental sedang lemah, tapi karena dia datang, aku jadi terpaksa kembali ke rutinitas.

     Jadi, sekarang ini aku hanya memaksakan diri terlihat normal.

     "Apa kamu benar-benar menyukainya?"

     "Eh..."

     Mera-san berkata seolah tidak sengaja.

     Persis seperti menegur, "Apa kamu benar-benar belum mengerjakan PR?"

     "Biasanya, kan, tidak bisa langsung kerja paruh waktu begini setelah putus dari orang yang disukai?"

     "Begitukah?"

     "Begitulah. Aku... temanku saja menangis tersedu-sedu saat putus."

     "Eh? Teman?"

     Caranya bicara aneh sekali. Rasanya seperti sedang berusaha menutupi kesalahan ucapan yang tidak sengaja terucap.

     Ah. Benar juga, aku pernah dengar ada orang yang bicara seperti itu ketika menceritakan hal yang membuatnya canggung. Aku tidak langsung menyadarinya karena belum pernah melakukan tawar-menawar serumit ini dengan Himari atau Enomoto-san.

     "Itu, jangan-jangan bukan cerita temanmu, tapi... uhuk!"

     Seketika, lengan jaket mendarat di wajahku.

     Wajah Mera-san memerah padam, dia terus-menerus memukulku dengan lengan jaket.

     "Kenapa sih harus bilang begitu!?"

     "Maaf..."

     Tidak, kali ini aku memang salah.

     Aku kira sudah dilatih Himari sejak SMP, tapi ternyata kemampuan komunikasiku masih lemah saat genting seperti ini. Masalahnya, aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.

     Tapi, begitu ya...

     "Apakah aku mencintainya, atau tidak..."

     Aku jadi berpikir keras.

     Apakah aku mencintai Himari?

     Ya, aku mencintainya.

     Itu sudah pasti.

     Tapi apakah itu benar-benar perasaan yang sama dengan perasaan suka Mera-san pada kakak kelasnya?

     Meskipun sama-sama mengatakan "cinta," maknanya bisa sangat berbeda.

     Seperti halnya saat Himari mengatakan dia mencintaiku sejak kami berteman dekat... Makna itu entah bagaimana berubah seiring waktu.

     ...Aku teringat saat Makishima menusukku dengan kata-kata tajam.

     'Hanya karena dia ingin menjadi sahabat, kamu berakting sebagai sahabat; karena dia ingin cinta, kamu membalas dengan cinta.'

     Saat liburan musim panas. 

     ketika Himari akan pergi ke Tokyo bersama Kureha-san, Makishima melontarkan provokasi itu untuk memprovokasi diriku.

     Saat itu, aku menyangkal perkataan Makishima.

     Tapi bagaimana situasinya sekarang?

     Apa yang dia katakan memang menusuk inti masalah dan telah menjadi kenyataan belaka.

     Telah terungkap bahwa cinta Himari dan cintaku tidak selaras.

     Telah terbukti bahwa selama ini kami baik-baik saja karena aku selalu menyesuaikan diri dengan perasaan Himari.

     Jika seseorang putus dengan orang yang benar-benar dicintai, seharusnya mereka lebih terpuruk. Lagipula, tidak ada aturan bahwa seorang pria tidak boleh menangis sampai matanya bengkak.

     Tapi aku... aku memang tidak bisa tidur, namun aku tidak menangis sama sekali.

     Apa yang disebut "normal" saat putus cinta?

     Bagaimana seharusnya aku mengubur perasaan ini dengan cara yang normal?

     "Hei, Senpai..."

     "Ya?"

     Aku tersadar, dan melihat Mera-san menggigil sambil terus bekerja.

     "Ini kan bukan topik yang perlu dipikirkan seserius itu...?"

     "Ah, maaf..."

     Benar juga, kami sedang bekerja di walk-in sekarang.

     Memikirkan perasaanku bisa nanti saja setelah keluar dari sini. Jika aku fokus berpikir di tempat seperti ini, aku bisa mati kedinginan...

     Aku pun melanjutkan pekerjaanku.

     "..."

     "..."

     Untuk sementara kami terdiam.

     Aku berkonsentrasi penuh untuk menyelesaikan pekerjaan ini secepatnya dan keluar dari neraka yang dingin membekukan ini.

     Namun, pekerjaan yang sudah biasa kulakukan membuat pikiranku berkelana.

     Meski tanganku bergerak, di sudut kepalaku, topik pembicaraan tadi kembali muncul.

     Aku lengah dan tanpa sadar menanyakan hal yang menggangguku.

     "Bagaimana Mera-san bisa melupakan kakak kelas di klub itu?"

     "…!"

     Sejujurnya, aku bermaksud menanyakannya dengan santai.

     Atau mungkin tadi aku tanpa sadar membalas dendam karena dia menanyakan, "Apa kamu benar-benar menyukainya?" seperti yang selalu kulakukan pada Himari.

     Kesalahanku adalah meremehkan bahwa itu tidak akan menjadi hal yang serius. Aku berasumsi jawabannya pasti akan seperti, "Ah, seiring berjalannya waktu, akan hilang dengan sendirinya..."

     Mera-san menatapku dengan mata terbelalak.

     Aku menyaksikan dengan jelas bagaimana matanya perlahan berkaca-kaca.

     —Ah, aku salah bicara.

     Saat aku menyadari kesalahanku, Mera-san sudah bergerak.

     Dia mengayunkan kaleng kopi yang tadinya akan diisi ke rak, lalu melemparkannya ke arahku.

     Kaleng itu terlepas dari tangannya, meleset jauh dariku, dan terbang ke belakang.

     Kring! Kaleng itu menabrak dinding.

     "..."

     "..."

     Kemudian Mera-san, dengan mata berkaca-kaca, menatapku tajam sambil gemetar—lalu melesat keluar dari walk-in tanpa sepatah kata pun.

     Aku, yang ditinggalkan, memungut kaleng kopi yang penyok parah dan menunduk lesu.

     ...Luka itu, tidak selalu sembuh.

     Dan penyebab luka itu—adalah aksesoriku.

     Dia pasti berpikir, 'Aku tidak ingin mendengarnya darimu!' Meskipun aksesoriku hanya pemicu, dan Mera-san akan tetap putus meski tanpa itu... Aku mengerti mengapa dia tidak bisa menerimanya. Jika posisiku terbalik, aku juga pasti akan melempar kaleng kopi.

     Dan fakta bahwa aku tidak bisa membayangkan hal itu sungguh parah.

     "...Apa aku separah itu dalam berkomunikasi?"

     Kenapa aku tidak pernah belajar?

     Mungkin karena Himari dan Enomoto-san terlalu fleksibel, sehingga aku kehilangan kesempatan untuk belajar. Himari pasti akan memperbaikinya sambil memberikan tekanan dengan senyum menakutkan, dan Enomoto-san akan menghukumku dengan Iron Claw tanpa basa-basi.

     Tiba-tiba pintu walk-in terbuka dari luar.

     Mera-san kembali... tidak mungkin, ya. Shiroyama-san muncul dengan wajah cemas.

     "Yuu-senpai. Ada apa?"

     "Ah—"

     Aku bangkit dan keluar dari walk-in.

     Meskipun terjadi keributan seperti ini, Saku-neesan tetap tenang melanjutkan pekerjaannya. Kakakku ini memang memiliki ketenangan yang luar biasa.

     Menanggapi tatapannya yang penuh selidik, aku berkata. 

     "Saku-neesan, maaf. Sepertinya kali ini Mera-san benar-benar akan berhenti..."

     "..."

     Saku-neesan meletakkan tabletnya.

     Lalu, dengan senyum manis, dia mendekat sambil membunyikan jari-jarinya.

     "Kamu. Jangan-jangan karena di ruang tertutup, kamu mencoba melakukan hal buruk pada gadis itu, yaaa???"

     "Hei, tidak mungkin begitu, kan? Seberapa tidak percayanya sih kamu padaku???"

     Ini walk-in lho!

     Sekitar seratus dari sepuluh orang pasti ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan dan keluar dari neraka yang dingin membekukan ini, kan?

     "Tidak, entah kenapa tadi jadi membahas putus dengan Himari... lalu aku seperti menginjak ranjau Mera-san..."

     "..."

     Saku-neesan menatapku lekat-lekat, tapi... akhirnya dia menghela napas panjang dan kembali memegang tabletnya.

     "Sudahlah. Kalau anak itu benar-benar berhenti, kamu yang harus bekerja menggantikannya."

     "...Baik."

     Setelah menyelesaikan pekerjaan, aku dan Shiroyama-san kembali ke rumah.

     Barang-barang Mera-san sudah tidak ada, jadi... mungkin dia tidak akan datang lagi besok.


♠♠♠

PoV

Makishima Shinji

     Senja tiba.

     Aku—Makishima Shinji—baru pulang dari fasilitas kolam renang rekreasi terdekat.

     Berolahraga sepuasnya di kolam air hangat di tengah musim dingin juga bukan ide buruk. Latihan di musim seperti ini membebani tubuh, jadi aku harus rajin meringankan beban dengan olahraga semacam ini.

     Di kolam renang berarus air hangat, dengan lintasan 50 meter yang cukup dalam, berenang di sana saja sudah bisa memberikan efek latihan yang lumayan. Ditambah lagi, di lantai teratas fasilitas itu ada pemandian umum dan sauna untuk mengistirahatkan tubuh dengan nyaman. Tersedia juga restoran yakiniku all-you-can-eat yang terjangkau, bisa dibilang ini tempat yang optimal untuk membentuk tubuh.

     Yang terpenting, tempat itu, meskipun berskala besar, tidak ada yang mengganggu latihanku. Kadang-kadang, bisa dibilang seperti kolam pribadi. Benar-benar aneh kalau jumlah penjaga lebih banyak daripada pengunjung. Kata ayahku, dulu tempat itu cukup ramai, tapi sekarang yang menggunakannya hanya kakek-nenek pecinta kesehatan.

     Di senja itu, aku sangat puas setelah menyelesaikan latihanku dengan bebas.

     —Aku, telah sempurna.

     Saat aku memasang wajah sombong sendirian, aku merasakan tatapan murung.

     "...Rin-chan. Kenapa kamu menyebarkan aura tidak senang di depan rumah orang lain?"

     Di depan rumah utama kami, Rin-chan sudah menungguku dengan pakaian biasa.

     ...Gadis ini, akhir-akhir ini sangat tidak stabil emosinya. Yah, aku memang sengaja membuatnya begitu.

     "Ada apa tiba-tiba datang jauh-jauh? Apa kamu membawa sisa kue?"

     "..."

     Lalu, Rin-chan perlahan mendekat.

     Tangan kanannya membentuk Iron Claw, mencoba menangkapku.

     "Oops, tidak semudah itu."

     "!"

     Aku dengan mudah mencengkeram pergelangan tangannya.

     Sebaliknya, aku mendorong Rin-chan ke dinding rumah agar dia tidak bisa kabur.

     "Emosimu tidak seperti biasanya. Kalau begitu, pasti mentalmu sedang lemah. Ada apa?"

     "..."

     Rin-chan berkata dengan wajah cemberut.

     "Hii-chan putus dengan Yuu-kun."

     "Hah?"

     Himari-chan putus dengan Natsu?

     Menurut ceritanya, kemarin dia menerima pesan misterius dari Himari-chan. Saat dia pergi ke rumah Natsu untuk memastikan kebenarannya, dia bertemu dengan seorang siswi SMP bernama Shiroyama Mei. Akhirnya, dengan berbagai kejadian, dia tahu kalau mereka berdua sudah putus... begitu ceritanya.

     Saat aku berpikir "hmm...", Rin-chan menatapku dengan tatapan tajam.

     "Pasti Shii-kun yang melakukan sesuatu, kan?"

     "...Himari-chan memang punya kecenderungan itu, tapi kenapa hal yang tidak menyenangkan apa pun langsung disalahkan padaku?"

     Yah, aku sadar ini salahku sendiri, sih.

     Meskipun begitu, aku tidak ragu menjawab pertanyaan itu.

     "Aku tidak melakukan apa-apa."

     "Bohong. Kamu sama sekali tidak terkejut, kan."

     "Tentu saja begitu. Meskipun aku tidak melakukan apa-apa, aku sudah bisa memprediksi bahwa ini akan terjadi."

     "Eh...?"

     Rin-chan ternganga.

     Aku mengeluarkan kipas dari mantelku, lalu mengipasi poninya.

     "Hei, anginnya dingin. Hentikan."

     "Nahaha. Mereka berdua memang sejak awal memiliki pandangan tentang cinta yang tidak sejalan dengan kebanyakan orang. Kalau begitu, wajar saja kalau mereka hancur dengan sendirinya tanpa perlu aku ikut campur."

     "Pandangan tentang cinta...?"

     Rin-chan tampak berpikir keras, kebingungan.

     ...Yah, mau bagaimana lagi. Saat ini, Rin-chan juga mirip dengan mereka berdua. Itulah mengapa aku senang mengamati dari samping. Rasanya seperti melihat hewan langka.

     "Bagi mereka berdua, cinta itu adalah sarana, bukan tujuan."

     "Cinta itu sarana?"

     Dia terlihat semakin bingung.

     Yah, Rin-chan memang pandai dalam pelajaran, tapi fleksibilitas berpikirnya kurang.

     "Bagi Himari-chan, perasaan 'suka pada Natsu' itu hanyalah alasan untuk mendapatkan hak eksklusif atas Natsu. Secara umum, cinta adalah jurus pamungkas untuk menguasai orang lain."

     "Jadi maksudnya, kalau mau bersama Yuu-kun, satu-satunya cara adalah menjadi pacarnya? Padahal jadi teman juga tidak apa-apa, kan...?"

     "Bukan 'bersama', tapi 'menguasai'."

     "Aku tidak mengerti bedanya."

     "Bayangkan saja. Misalnya, meskipun sudah ada janji bermain dengan teman, kalau pacar ingin bertemu, bukankah biasanya rencana dengan teman itu dibatalkan? Meskipun alasannya sepele sekalipun."

     "Ah..."

     Rin-chan tampak mengerti.

     Dia pasti pernah mengalaminya. Rin-chan juga, sejak semester satu ini, sering mengabaikan jadwal klub musik tiup dan toko kue keluarganya demi memprioritaskan waktu dengan Natsu.

     Itu hanya karena anggota klub musik tiup dan Masako-san berjiwa besar sehingga diabaikan, kalau tidak, pasti sudah ada masalah besar sekarang.

     "Himari-chan ingin memonopoli Natsu. Dia ingin menjalin hubungan di mana dirinya diprioritaskan di atas siapa pun. Tapi, status sahabat saja tidak cukup. Terutama setelah kamu muncul, Rin-chan. Jadi, dia langsung beralih ke percintaan. Oleh karena itu, bagi Himari-chan, perasaan 'suka pada Natsu' bukanlah tujuan, melainkan sarana."

     "...Kalau Yuu-kun?"

     Aku mengangkat bahu.

     "Karena histeria Himari-chan tidak kunjung mereda, Natsu hanya memberikan 'umpan' berupa pasangan romantis untuk menenangkannya. Itu hanyalah bentuk pertahanan. Karena dia melakukannya tanpa sadar, mungkin dia sendiri merasa seolah benar-benar sedang jatuh cinta. Kamu tahu kan, ada hal yang sering dibahas dalam pseudo-psikologi cinta di internet, yaitu insting pertahanan yang mengganti rasa takut dengan perasaan cinta."

     "Teori jembatan gantung, ya. Shii-kun tidak tahu...?"

     "Apa kamu sedang mengejekku? Memalukan kalau sekarang harus sok tahu dengan sebutan formalnya."

     Sungguh, aku kesal dengan si kepala batu yang tak mengerti seni ini.

     "Yah, kalau mereka berdua sudah sepakat untuk berpisah, bukankah itu bagus? Lagi pula, mencampuri urusan hubungan asmara orang lain umumnya dianggap tidak pantas, bukan?"

     "...Tapi, Shii-kun sendiri juga melakukan hal yang tidak perlu, kan."

     "Hah? Apa yang kulakukan pada mereka berdua?"

     "Soalnya, waktu festival budaya, kamu mengatakan hal-hal aneh..."

     Festival budaya?

     ...Oh, aku mengerti. Yang itu, ya.

     'Tiga Syarat'

     Aturan khusus yang aku berikan saat Natsu mengadakan pameran di festival budaya.

     Rencana memaksakan Rin-chan masuk ke pameran. Hasilnya, pameran itu menimbulkan reaksi kimia yang menarik bagi Himari-chan.

     Rin-chan mungkin mengira hal itu yang menyebabkan 'Natsu dan Himari-chan putus'.

     ...Namun.

     "Apa kamu tidak salah paham? Seharusnya mereka justru berterima kasih padaku atas kejadian itu. Kalau bukan karena kejadian itu, mereka berdua akan putus dua bulan lebih awal. Bahkan mungkin sudah putus setelah liburan musim panas. Bagaimanapun juga, mereka adalah pasangan instan yang terbentuk karena suasana musim panas. Cepat dinginnya. Aku berani bertaruh."

     "...Maksudnya?"

     "Dengan 'tiga syarat' itu, aku mengalihkan fokus mereka dari cinta ke aksesori. Setidaknya, kalau ada tujuan bersama, mereka tidak akan bertengkar karena masalah percintaan. Buktinya, belum genap dua bulan setelah festival budaya, mereka sudah seperti ini."

     Kata-kataku terdengar tak terduga baginya.

     Rin-chan bertanya dengan bingung. 

     "Jadi, untuk apa itu...?"

     'Tiga syarat' itu.

     Jika itu bukan strategi untuk menyebabkan Natsu dan Himari-chan putus... Rin-chan tersentak, menyadari jawaban selanjutnya.

     Reaksinya membuatku sangat puas.

     Aku menyeringai, lalu berbisik di telinganya.

     "Akhirnya kamu menyadarinya. Yang kuincar adalah... dirimu, Rin-chan."

     Tujuan yang ingin ku capai dengan 'tiga syarat' itu.

     Yaitu, untuk mencegah Rin-chan memilih untuk menjauh dari Natsu.

     "Saat liburan musim panas di Tokyo, aku terkejut ketika Rin-chan kembali setelah melepaskan perasaan cintanya pada Natsu. Aku kira sudah sewajarnya ada kemajuan yang jelas. Dalam hal itu, prediksiku masih terlalu dangkal."

     Pria sepertiku tidak bisa sepenuhnya membaca hati orang-orang lugu seperti mereka.

     Menyadari hal itu, aku mengajukan 'tiga syarat' untuk merevisi rencanaku.

     Pameran penjualan aksesori yang diproduksi oleh Himari-chan.

     Visi untuk keberhasilan pameran itu, maaf saja, tidak pernah ada sejak awal. Sudah terlihat jelas dari jauh bahwa wanita itu tidak memiliki bakat kreatif.

     Maka, sudah pasti Rin-chan, yang punya sifat suka ikut campur.

     Dia tidak mungkin tidak membantu setelah melihat pameran yang mengarah pada kegagalan itu.

     Liburan musim panas di Tokyo.

     Rin-chan diperlihatkan langsung oleh Kureha-san bagaimana Natsu berpartisipasi dalam pameran tunggal aksesori. Bibit gairah yang ditanamkan di sana, kini berhasil menjadi kobaran api.

     Dan gairah yang mengarah pada kesuksesan pameran bersama Natsu itu—menyalakan kembali cinta dengan emosi yang lebih kuat dari sebelumnya. Seperti yang kuduga, Natal tampaknya menjadi titik balik besar bagi Rin-chan.

     "Sekarang, bukankah kamu mulai sangat mencintai Natsu sampai tidak bisa menahannya lagi? Alasan 'sahabat' pasti sudah tidak bisa menipumu."

     "A-aku tidak begitu..."

     "Bohong. Kalau begitu, kenapa kamu gelisah hanya karena Natsu dan Himari-chan putus?"

     "Sebagai sahabat Yuu-kun, aku ingin kebahagiaan mereka..."

     "Nahaha. Itu bukan sahabat, tapi calo jodoh. Apa kamu berniat jadi bibi-bibi yang suka ikut campur, ya? Kalau benar-benar mau jadi sahabat, seharusnya kamu bilang. 'Tenang saja, nanti kamu akan menemukan wanita yang lebih baik, semangat!' itu yang benar, kan?"

     TLN : Calo jodoh adalah Orang yang menjadi perantara atau menjodohkan dua orang agar mereka bisa berpacaran atau menikah.

     Dalih yang lemah itu justru makin menunjukkan isi hatinya.

     "Sudahlah, akui saja. Kamu itu suka pada Natsu, Rin-chan. Kesalahanmu adalah tidak menjaga jarak dengan Natsu saat kamu tahu tidak ada harapan untuk menang. Memilih jalan untuk terus bersama setengah-setengah justru berujung pada penderitaan yang lebih parah, kan?"

"Kamu bilang tidak akan memihakku lagi!"

"Benar. Aku tidak memihakmu. Ini adalah hobiku. Sudah kubilang sebelumnya, kan? Masa muda kalian kini adalah hiburanku. Apa kamu kira aku akan mengizinkanmu mundur dengan membosankan seperti 'Aku akan berjuang sebagai sahabat!'?"

     Saat aku asyik mengolok-olok Rin-chan dengan perasaan penjahat paling bahagia... lengannya yang kiri tanpa kuduga sudah mencengkeram kepalaku.

     Ah, sial.

     "...Seleramu buruk!"

     "Ngaaaaaaaakh!?"

     Menerima Iron Claw yang penuh dendam, aku ambruk di tempat.

     Aku mengerang sambil memegangi kepala dengan kedua tangan, sementara Rin-chan menendang pantatku dengan kesal. Sial, apa-apaan ini, menendang teman masa kecil? Aku harus bilang pada bibi agar menyita DVD pro-wrestling-nya...

     Aku akhirnya berhasil berdiri dan menghela napas.

     "…Menurutku, wanita yang pura-pura jadi sahabat padahal diam-diam mengekang pria yang disukainya, jauh lebih menjijikkan."

     Apa dia benar-benar tidak menyadarinya?

     Apa yang Rin-chan tuju sekarang sama persis dengan apa yang Himari-chan lakukan dulu. Sebuah upaya untuk menjaga pria yang disukainya tetap dekat tanpa terlalu dekat, dengan dalih sahabat. Itu hanya mengulang jejak langkah Himari-chan, dan hasil akhirnya sudah terlihat jelas. Kenapa dia berpikir dia bisa melakukannya dengan baik?

     "Ck, kenapa tidak jujur saja sih? Makanya, kamu jadi gadis baik yang selalu apes dan Himari-chan mengambil semua yang terbaik."

     Punya teman masa kecil yang keras kepala itu memang menyusahkan.

     "Tapi..."

     Aku berpikir keras.

     Dari situasi yang kudengar, gadis SMP bernama Shiroyama Mei itu... sekarang tinggal di rumah Natsu, apa itu tidak masalah? Dengan kondisinya saat ini, Rin-chan pasti melupakan hal itu karena masalah putusnya Himari-chan.

     ...Yah, karena kabar putusnya Himari-chan ini kebetulan memberikan dampak positif, sebaiknya aku tidak ikut campur dan membuat keruh suasana.

     Untuk sementara, aku akan menyelesaikan PR liburan musim dingin lebih dulu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close