NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 7 Chapter 2

 Penerjemah: Nobu

Proffreader: Nobu


Chapter 2

 “Cinta yang Tulus dari Hati”

♢♢♢

     Sehari Setelah Festival Budaya

     Keesokan siangnya, saat libur pengganti.

     Aku berdiri di dapur, menatap panci di depanku.

     Bunga Gekka Bijin itu tampak renyah setelah digoreng dalam minyak panas.

     Seiring dengan musik familiar dari "3 Menit Memasak", bunga itu matang seolah menari-nari di atas api.

     Di ambang pintu dapur, Ibu mengintip dengan gelisah.

     "H-Himari? Ibu belum mengajarimu cara membuat tempura, lho? Kamu yakin tidak apa-apa?"

     "............"

     "Kamu enggak apa-apa? Sepertinya sejak kemarin matamu tampak kosong...."

     "............"

     Aku, dalam kehampaan, menggerakkan sumpit seolah tubuhku yang membimbingnya.

     Memutar-mutar bunga Gekka Bijin agar terlumuri minyak panas, lalu dengan cepat mengangkatnya. Setelah ditiriskan dengan cekatan, aku meletakkannya di atas piring beralas tisu dapur.

     Setelah mematikan api, piring itu kuletakkan di meja.

     Menu hari ini.

     'Tempura Gekka Bijin'

     Dengan rasa syukur atas kehidupan yang akan menjadi nutrisiku, aku menyatukan tangan dan mengambil bumbu-bumbu yang tersaji ke dalam piring kecil.

     Satu per satu kelopak bunga itu kupetik, lalu menyantapnya berurutan: garam, garam batu, dan garam teh hijau.

     Enak sekali.

     Bagian luarnya renyah, dalamnya lembut.

     Bunga yang indah ini sungguh memikat, bahkan hingga ke dalam perutku.

     Benar—Gekka Bijin itu bisa dimakan.

     Tentu saja, hanya yang bebas pestisida, tapi karena ini yang ditanam Yuu dan Araki-sensei, jadi aman.

     Aku menghela napas, lalu menyesap teh.

     Kenapa aku tega merobeknya...?

     Hari kedua acara penjualan sangat sukses.

     Meski secara finansial hari pertama lebih unggul, maknanya berbeda.

     Yang Yuu inginkan, tak diragukan lagi adalah hari kedua.

     Aku... tidak bisa memahami hal itu.

     Piring kecil yang agak dalam kuletakkan lebih dekat.

     Aku memetik kelopak Gekka Bijin dan memakannya setelah mencelupkannya ke dalam saus mentsuyu.

     Enak.

     Enocchi, di Tokyo, telah menyentuh inti dari Yuu.

     Aku mengabaikan hal itu.

     Ketika aku tahu Yuu pergi ke Tokyo saat liburan musim panas, aku sebenarnya bisa ikut.

     Tapi aku tidak melakukannya.

     Tanpa memahami siasat Makishima-kun, aku justru santai bekerja paruh waktu di toko kue.

     Seharusnya, aku bisa berbagi pengalaman bersamanya di Tokyo, pusat tren terkini.

     Dengan menjadi pacar Yuu, aku telah melalaikan kewajibanku sebagai pasangan dalam mimpi.

     Rice cooker berbunyi "pip". Ketika tutupnya kubuka, uap mengepul. Butiran nasi putih dari sawah kami berdiri tegak dan mengeluarkan aroma harum.

     Aku mengambil nasi itu ke dalam mangkuk, lalu meletakkan kelopak Gekka Bijin di atasnya. Menyiramnya dengan kuah dashi hangat, aku menjadikannya tempura chazuke.

     Aku menyantapnya dengan cepat.

     Enak.

     Tapi, Enocchi melakukannya.

     Secara naluriah, dia tahu bahwa meraih impian Yuu berarti meraih segalanya dari Yuu.

     Namun, sudah terlambat.

     Meskipun Enocchi berhasil meraih impian itu, aku tidak akan kalah.

     Karena aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan.

     Aku tidak akan pernah melepaskan cinta Yuu.

     Bahkan jika harus jatuh ke neraka, aku akan membuktikan ketulusan perasaanku ini!

     Dengan tekad bulat, aku melahap sisa tempura Gekka Bijin itu dengan suara "nyam!".

     


♣♣♣

PoV

Natsume Yuu

     Selepas Libur

     Setelah libur, aku seperti biasa berangkat ke sekolah.

     Saat masuk ke ruang loker sepatu, aku menyadari Himari sedang menungguku sambil meminum Yogurppe. Hari ini pun dia tampak sempurna sebagai gadis cantik.

     Begitu menyadari kehadiranku, dia berlari mendekat seolah tak sabar.

     "Yuuu~. Selamat pagiiii~!"

     "Oh, Himari. Selamat pagi."

     Aku sedikit terkesiap.

     Deklarasi pengunduran diri "you" dua hari lalu... Kupikir itu akan meninggalkan bekas, tapi Himari justru tampak ceria.

     Dengan kedua tangan terlipat di belakang punggung, ia melontarkan teka-teki dengan tatapan mendongak.

     "Yuu. Apa kamu tidak melupakan sesuatu tentang pacarmu yang manis ini?"

     "Ap-Apa ya?"

     "Ish~. Kalau bukan kamu sendiri yang sadar, kan enggak seru~♪"

     Eh... Ada yang kulupakan?

     Natal masih lama, dan ulang tahun Himari juga bulan April. Sepertinya tidak ada momen spesial dalam waktu dekat. Kalau begitu, mungkin sesuatu yang lebih biasa, simpulku, lalu menarik-narik ingatan untuk mencari kemungkinan.

     "Uhm. Apa aku belum balas chat kemarin?"

     "Yang itu sudah kubalas, jadi enggak apa-apa kok ♡"

     "Kalau begitu, ini. Dua bulan pacaran?"

     "Sayang sekali, itu masih nanti ♡"

     "Ah, apa potong rambut 2 sentimeter?"

     "Hampir benar! 3 sentimeter!"

     "Itu kan sudah jawaban yang benar...."

     Namun, sepertinya bukan itu juga. Kalau begitu, mungkin soal pakaiannya.

     Setelah festival budaya, sekolah kami beralih dari seragam musim panas ke seragam musim dingin. Aku menduga ini adalah teka-teki yang berkaitan dengan itu.

     Omong-omong, saat seragam musim panas diganti, Enomoto-san dan aku pernah menunjukkannya bersama.

     Aku mencoba memikirkan seragam musim dingin Himari. Blazer dan roknya seperti biasa, jadi kurang ada yang baru, tapi seragam musim dingin berarti ada aksesori tambahan.

     Syal kuning ini... ah, ini yang tahun lalu. Lagipula, lehernya tertutup, jadi menurutku poinnya rendah. Kalau begitu, sebagai seorang kreator, yang patut dipuji adalah....

     "Kaus kakimu bagus, ya."

     "Dasar mesum."

     Ternyata salah.

     Tidak, kalau dipikir-pikir memang begitu, ya. Kenapa aku mengira itu jawaban yang benar, Diriku?

     "Aku menyerah."

     Begitu aku dengan jujur mengibarkan bendera putih, Himari tersenyum lebar.

     Lalu, dengan jari telunjuk, dia mencolek pipinya sendiri yang kenyal seperti Yukimi Daifuku, menguleni kulitnya yang lembut.

     "Ciuman selamat pagi~♡"

     "Memangnya kita pasangan yang baru menikah?"

     Ternyata sesuatu yang lebih membuat perut mulas datang....

     Begitu, jadi ini mode petualangan musim panas terulang kembali. Kalau Himari fokus pada cinta, memang akan jadi begini.

     Aku ingin mengabulkannya.

     Tapi, ini tempat loker sepatu saat jam berangkat sekolah. Artinya, ada teman-teman sekelas di sekitar. Berciuman di bawah pengawasan banyak orang seperti ini keterlaluan sekali.

     "...Nanti saja, enggak bisa?"

     "Enggak bisaaa♪"

     ...Begitu, ya. Aku sudah menduganya.

     Seolah sudah memperkirakan penolakanku yang lembut, Himari mengangkat sesuatu dan menunjukkannya padaku. Itu adalah—

     "Sandal jepitku?!"

     "Nfufu~. Sandal jepitmu kusita!"

     Aku terkejut melihat kelihaian strateginya.

     Tanpa sandal jepit, aku tidak bisa melangkah lebih jauh dari sini. Secara paksa, aku harus memberikan ciuman selamat pagi di tempat ini.

     Sungguh licik sekali... para murid di sekitar pun menahan napas menyaksikan.

     "Baiklah, Yuu? Aku memutuskan untuk menjual jiwaku pada iblis demi mempertahankan kehidupan murid yang romantis!"

     "Setidaknya aku tahu kalau ini berlarut-larut, aku yang akan malu..."

     Meski begitu, sudah cukup banyak murid yang berkumpul. Kalau ini berlarut-larut, dipastikan penonton akan semakin bertambah.

     Lagipula, apa mereka tidak terlalu santai? Serius, pergilah ke kelas kalian....

     "Ayoo~. Kalau begini terus, kaus kakimu bisa kotor sekali, lho~"

     "Ancamannya payah sekali...."

     Aku mengedarkan pandangan mencari jalan keluar.

     Kemudian, di sudut pandangku, aku melihat sosok yang kukenal. Begitu menyadarinya, aku meminta bantuan dengan kontak mata agar Hima tidak menyadari.

(Enomoto-san, tolong!) 

     Enomoto-san menjawab dari balik kerumunan penonton dengan ekspresi jengkel.

     (Yuu-kun. Apa yang sedang kamu lakukan...?) 

     (Begini dan begitu.) 

     (Ehh...) 

     Tidak, serius, gila juga ya kalau kami benar-benar bisa berkomunikasi.

     Saat aku berpikir ini adalah simpati karena sama-sama sering direpotkan oleh teman yang sama..., tiba-tiba Enomoto-san mengacungkan jempol.

     Lalu, dia memutarnya ke bawah.

     (Lakukan.) 

     (Hah?) 

     (La-ku-kan) 

     (Seriusan...?) 

     (Hii-chan itu, percuma dibilangin juga enggak bakal denger. Cepat lakukan) 

     (B-baik...) 

     Mitra takdir baruku ini sepertinya tidak akan ikut campur dalam kehidupan percintaanku.

     Kalau sudah begini, aku harus melakukannya. Lalu pergi ke kelas. Entah kenapa aku harus membulatkan tekad seheroik ini hanya untuk pergi ke kelas, tapi ini pasti bagian dari ekspresi cinta yang diperlukan untuk menjalani hidup sebagai pacar Himari. Jujur saja, kalau bukan di tempat ini, aku pasti ingin berciuman biasa.

     Untuk melancarkan ciuman pipi yang penuh risiko, aku menarik kedua bahu Himari mendekat.

     Himari melirikku sekilas.

     Dan sedetik kemudian—bibirku direbut oleh ciuman balik!

     "Hebat!"

     "Dia melakukannya!"

     Entah kenapa, para murid di sekitarnya bersorak.

     "H-Himari...!?"

     Saat aku benar-benar gugup, Himari menyeringai seolah berhasil mengerjaiku.

     Kemudian, seperti biasa, dia melancarkan serangan "Puhaha".

     "Puhaha~! Yuu, dasar pemalu~!"

     "Jelas saja aku malu! Kamu sendiri, wajahmu juga merah padam, kan!"

     Himari, dengan puas, membuat gerakan guts pose yang aneh.

     "Tidak ada kebosanan, tidak ada kehidupan!"

     "Kalau begitu, artinya kamu sangat menyukai kebosanan, dong..."

     Inilah kondisi Himari yang "terbangun", sepenuhnya terfokus pada cinta....

     Aku merasa gentar menyadari bahwa kejadian di liburan musim panas itu hanyalah pemanasan belaka.

♣♣♣

     Saat Jam Istirahat Hari Itu

     Aku mendatangi kelas tahun kedua yang lain. Lebih tepatnya, kelas Makishima.

     Aku ingin berkonsultasi mengenai kondisi Himari pagi ini... perilaku pamer kemesraannya yang sudah melampaui batas liburan musim panas. Pada dasarnya, orang ini memang tidak bisa dipercaya, tapi jelas dia lebih berpengalaman dalam hal percintaan daripada aku.

     Namun, Makishima menepis begitu saja konsultasiku yang penuh harapan itu.

     "Karena kamu sudah memutuskan untuk melakukannya sebagai sepasang kekasih, bukankah sebaiknya kalian bermesraan saja sepuasnya?"

     "Enggak, ini jelas-jelas berlebihan. Aku bahkan dipanggil lagi oleh Sasaki-sensei..."

     "Hahaha. Bukankah itu bukti kejantanan seorang pria?"

     "...Bagaimana kalau pacar Makishima melakukan hal yang sama, mencium di depan umum?"

     "Putus. Seketika dan tanpa ragu. Aku tidak seaneh itu untuk mengurus wanita menyebalkan seperti itu."

     "...Benar juga, ya."

     Dasar berpengalaman, ya. Terlalu dingin untuk dijadikan referensi....

     "Aku tidak ingin putus."

     "Kalau begitu, kamu hanya punya pilihan untuk mengendalikannya secara halus, atau menerimanya saja."

     "Menurutmu, kenapa ini lebih parah dari liburan musim panas?"

     "Mungkin... ini adalah penandaan wilayah."

     "Penandaan wilayah?"

     "Itu adalah tindakan untuk mengintimidasi lingkungan sekitar dan memberitahukan kepemilikan. Sering terlihat dalam hubungan asmara di dalam satu kelompok."

     "Terlalu brutal, dong...."

     Makishima tertawa terbahak-bahak.

     "Nah, apa yang akan kamu lakukan? Kalau kamu ingin menahan Himari-chan, aku bisa memberikan beberapa cara..."

     "Sebelum itu, aku mau tanya satu hal. Rencana aneh yang kamu siapkan sejak beberapa waktu lalu itu, belum selesai, kan?"

     "Tentu saja. Persiapannya sudah beres, tinggal menunggu waktu yang tepat. Aku ini tipe yang suka makan kari setelah semalaman mengendap, tahu."

     "Ah, iya, benar. Kari keesokan harinya..."

     Aku bertanya dengan senyum lebar.

     "Untuk menghindari rencana aneh Makishima itu, mana yang lebih baik?"

     Makishima membalas dengan senyum terbaiknya.

     "Menurutmu aku akan mengatakannya?"

     Aku tertunduk lesu.

     "Yah, memang tidak kusangka kamu akan mengatakannya dengan jujur..."

     "Kalau begitu, apa yang akan kamu lakukan?"

     "Aku akan mengikuti Himari sampai dia puas. Mengendalikan Himari itu mustahil bagiku."

     "Nahaha. Lumayan sportif juga, ya."

     "Karena Himari bilang dia akan fokus sebagai pacar, tidak adil kalau aku menghentikannya. Aku akan berusaha jadi pacar yang baik supaya Himari tidak bosan padaku."

     "Baguslah kalau begitu. Kira-kira berapa banyak 'sejarah kelam' yang akan terkumpul sampai lulus nanti, ya?"

     "............Tolong doakan agar sesedikit mungkin."

     Setelah semua usaha yang telah Himari lakukan selama ini, aku juga harus membalasnya....

♣♣♣

     Kemudian, saat makan siang.

     Di hadapan banyak orang, aku menerima jurus pamungkas komedi romantis era Heisei.

     "nih. Yuu, aah~?"

     "Rasanya sudah mau menyerah...!"


Himari-san, senyumnya bagus banget....

     Dulu kami selalu makan di ruang sains, jadi rasa malunya berkurang separuh, tapi karena sekarang kami pacaran, katanya tidak boleh makan di sana lagi. Aturan yang tidak jelas, tapi mungkin penting bagi Himari.

     Akibatnya, aku sekarang dijejali bakso besar di depan teman-teman sekelas.

     "Wah, enak."

     "Iya, 'kan?"

     Himari membusungkan dada dengan wajah bangga.

     Di tangannya, ada bekal makan siang yang seimbang antara gizi dan kepuasan.

     "Ngomong-ngomong, Himari, bekal ini...?"

     "Nfufu~. Aku yang buat sendiri, lho~♪"

     "Serius?! Himari, kamu memang bilang sedang belajar masak, tapi sampai begini...?"

     Aku gemetar, padahal tadinya kukira itu hanya makanan beku biasa.

     Tidak, kelezatan ini jelas bukan berasal dari makanan beku. Ini adalah volume dan kepuasan khas bekal buatan tangan. Himari, yang sampai belum lama ini dikenal sebagai orang yang paling tidak suka masak, menyiapkan ini untukku...

     Saat dadaku menghangat, Himari berkata dengan senyum manis.

     "Masakan Ibu yang dibekukan semalam, lalu kupanaskan pagi ini ♪"

     "Himari~. Ribet juga ya~."

     Aku sungguh menyukai Himari yang seperti itu!

     Aku melahap habis bekal makan siang itu, lalu menyatukan tangan.

     "Terima kasih atas hidangannya."

     "Sama-sama."

     Saat kami berdua menyeruput teh hangat, Himari teringat sesuatu dan berkata.

     "Ngomong-ngomong, Yuu, kamu ingat libur panjang tiga hari berikutnya?"

     "Eh? Ada apa, ya?"

     Himari menggoyangkan lenganku dengan manis. Sangat imut.

     "Kan sudah kubilang sebelum festival budaya!"

     "...Ah, benar juga, kamu memang pernah bilang."

     Karena selama ini selalu fokus pada aksesori, kami pernah bicara untuk pergi jalan-jalan ke luar kota sebagai selingan.

     Bulan ini ada libur tiga hari, jadi memang waktu yang pas.

     "Pergi jalan-jalan sih oke, tapi ke mana ya?"

     "Nfufu~. Ada tempat yang pas banget buat Yuu, lho!"

     Hima menunjukkan padaku situs resmi sebuah kota tetangga di ponselnya.

     Itu adalah salah satu tempat terbaik untuk menikmati pemandangan daun musim gugur di prefektur. Menurut ramalan cuaca, puncaknya diperkirakan dua minggu lagi. Sepertinya akan pas dengan libur panjang tiga hari.

     "Bagaimana?"

     "Bagus banget! Aku selalu ingin pergi ke sana!"

     "Eh? Kamu belum pernah ke sana?"

     "Aku pernah tanya Ayah sekali. Katanya, tempat ini harus melewati jalan pegunungan yang cukup panjang, jadi tidak bisa kalau tidak pakai mobil. Jalanannya juga sempit dan terjal, berbahaya kalau jalan kaki..."

     "Ah, begitu, ya. Kalau begitu tidak apa-apa, kalau bilang ke Onii-chan atau Ibuku, mereka pasti mau mengantar, kok?"

     "Tapi, apa tidak merepotkan...?"

     "Puhaha. Jangan dipikirin, dong~. Semua orang pasti ingin melakukan sesuatu untuk calon menantu kesayangan mereka~."

     "Terima kasih. Tapi tolong hentikan panggilan 'calon menantu' itu...!"

     Gadis-gadis di sana menatapku dengan tatapan kasihan sambil berkata, "Sudah direstui keluarga?", "Bukan pacar lagi, sudah seperti suami istri", "Lagipula, dia memang sudah di bawah kendali, ya..."—tunggu, "lagipula" itu apa maksudnya? Aku tahu itu, tapi kalau dikatakan terang-terangan jadi sangat menusuk.

     Aku melihat-lihat foto daun musim gugur di ponsel.

     "Melihat daun musim gugur, ya. Kebetulan sekali, aku juga ingin pergi ke Takachiho."

     "Di sana juga terkenal dengan daun musim gugurnya, ya. Memang di peta sih tidak terlalu jauh."

     "Jangan-jangan kalau berangkat pagi-pagi, bisa ke dua-duanya?"

     "Hmm. Coba kutanyakan ke Onii-chan, ya. Kalau lewat jalan pegunungan, jalannya berliku-liku dan mungkin butuh waktu lebih lama dari dugaan."

     "Yah, benar juga. Sepertinya tidak mungkin dalam sehari, ya..."

     Seandainya bisa, aku juga ingin sekalian berwisata, tapi sepertinya itu terlalu muluk.

     ...Saat aku berkata dengan nada pasrah seperti itu, entah kenapa Himari menyeringai. Tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan agar tidak terdengar orang lain.

     "Karena libur tiga hari, bagaimana kalau kita menginap?"

     "...!?"

     Aku tersentak, dan Hima menutup mulutnya sambil menggodaku.

     "Alaaah~? Yuu-kun, barusan mikir yang aneh-aneh, yaaa?"

     "T-Tidak! Jangan bicara begitu di kelas!"

     Padahal aku memang memikirkannya, sih.

     Mau bagaimana lagi, aku kan sedang masa puber. Lagipula, ini bukan urusan orang lain, jadi jangan sembarangan menggodaku.

     Singkat cerita, begitu...

     Maka, libur panjang dua minggu lagi telah diputuskan sebagai acara berburu daun musim gugur bersama sang pacar.

♣♣♣

     Setelah sekolah, rutinitas harianku menanti.

     Seperti biasa, merawat bunga di ruang sains.

     "Himari, kamu benar-benar tidak ikut?"

     "Iya. Aku juga ada yang harus dikerjakan."

     "Dikerjakan?"

     Himari tersenyum penuh arti.

     "Aku berencana meminta Ibuku jadi guru les dan belajar mati-matian, gitu."

     "Belajar? Bukannya nilai Himari bagus?"

     “Bukan begitu maksudnya. Meskipun aku bukan mitra tadikmu lagi, nilai yang lebih bagus kan tetap berguna, ya? Aku memang belum punya tujuan khusus, tapi siapa tahu nanti aku ingin melakukan sesuatu.”

     "Yah, iya juga sih..."

     Gawat, aku kehabisan kata-kata.

     Himari menepuk bokongku seolah menyemangati, "Jangan pasang muka muram begitu!"

     "Nanti, aku harus bisa menafkahimu, ya♪"

     "Aku akan berusaha keras supaya tidak sampai begitu."

     Kalau begitu aku jadi parasit, dong....

     Berpisah dengan Himari, aku menuju ruang sains.

     Sedikit kesepian, tapi aku ingin menghargai perasaannya.

     Dengan Enomoto-san pun, kami sudah memutuskan rencana ke depannya.

     (...Baiklah. Aku akan melakukannya)

     Aku tiba di ruang sains.

     Ketika aku hendak membuka kunci pintu, Enomoto-san tiba.

     "Eh? Enomoto-san, ada apa hari ini?"

     "Ini, data penjualan dari festival budaya. Sudah kurangkum, jadi tolong lihat kalau ada waktu."

     "Wah! Terima kasih banyak!"

     Aku menerima lembaran data yang tersusun rapi dalam file.

     Oh, data pelanggan dan tren penjualan dirangkum dengan sangat detail. Hebat sekali Enomoto-san, ini sama sekali tidak terlihat seperti pekerjaan amatir....

     Enomoto-san mengedarkan pandangan.

     "Hii-chan mana?"

     "Ah, tidak. Dia mungkin tidak akan ke sini lagi..."

     Enomoto-san bergumam "Hmm," dengan tidak tertarik.

     Karena tak bisa membaca niat di balik sikap acuh tak acuhnya itu, aku tak sengaja keceplosan.

     "Ah, benar juga. Dua minggu lagi, aku akan pergi melihat daun musim gugur bersama Himari."

     "...Oh. Begitu, ya."

     Ah, celaka.

     Kukira Enomoto-san juga ingin ikut....

     "Selamat bersenang-senang dengan kencanmu, ya."

     "Eh, ah. ...Ya. Terima kasih."

     Dia menyerah begitu saja.

     ...Padahal, kalau Enomoto-san yang biasanya, aku yakin dia pasti ingin ikut.

     "Kalau begitu, aku ke klub musik tiup dulu, ya."

     "Ya. Terima kasih ya untuk data tabelnya."

     Enomoto-san melambaikan tangan dengan santai dan membalikkan punggung.

     Namun, dia berhenti di tengah jalan dan menoleh.

     "Yuu-kun. Sampai Natal bulan depan, kamu ada rencana?"

     "Natal?"

     Aku memiringkan kepala karena topik yang tiba-tiba ini.

     Oh iya, bulan depan sudah Natal, ya... Enam bulan terakhir terlalu banyak hal yang terjadi, jadi mungkin aku belum terlalu merasakannya.

     Tapi, rencana itu sudah pasti.

     "Aku akan menghabiskan Natal bersama Himari. Sampai saat itu, mungkin aku akan membuat aksesori seperti biasa. Pertama, aku ingin merapikan petak bunga dan menyiapkan bunga untuk aksesori yang akan dijual di musim semi nanti."

     Belakangan ini aku terus membeli bunga dari Araki-sensei, dan kali ini aku ingin sekali membuat aksesori dari bunga yang kutanam sendiri.

     Enomoto-san lalu bergumam, "Hmm," dan memberikan tawaran tak terduga.

     "Kalau kira-kira ada waktu sampai Natal, mau kerja paruh waktu di tempatku?"

     "Di rumah Enomoto-san?"

     Kerja paruh waktu di toko kue?

     Masa aku harus memakai celemek lucu dan melayani pelanggan?

     Terlalu tidak cocok... Saat aku sendiri merasa lesu memikirkan itu, Enomoto-san berkata sedikit menjaga jarak.

     "Tahun ini, sepertinya jumlah pekerja paruh waktu kami akan berkurang. Yuu-kun, kamu kan terampil, jadi Ibuku bilang akan sangat terbantu kalau kamu mau menolong."

     Begitu, bagian belakang layar, ya.

     "Aku kan amatir..."

     "Adonan dan krim biar kami yang buat, aku ingin kamu membantu bagian dekorasi akhir. Kurasa kalau Yuu-kun, sebulan juga sudah bisa."

     "Apa tidak apa-apa mempercayakan hal sepenting itu padaku?"

     "Justru, ini mungkin lebih aman daripada mengajari pegawai paruh waktu kami dari awal sekarang."

     Begitukah...?

     Aku berpikir sejenak. Kerja paruh waktu di toko kue... dan ini adalah kesempatan untuk diajari teknik. Kesempatan seperti ini jarang datang, dan tergantung ide, mungkin bisa kumanfaatkan untuk aksesori juga.

     Belajar dasar-dasar penjualan yang lebih praktis juga...

     "Baiklah. Kalau bisa diatur bersamaan dengan merawat petak bunga, aku pasti mau membantu."

     Enomoto-san mengangguk lega.

     "Ya, sangat membantu. Sebagai gantinya, pada hari Natal, Hii-chan jadi prioritasmu, kan?"

     "Itu... iya."

     "Mm-hm. Kalau Yuu-kun sudah memutuskan, tidak apa-apa kok. Pesanan kue Natal juga sebagian besar sudah selesai sehari sebelumnya."

     "Nanti aku bilang ke Ibuku, ya," kata Enomoto-san, lalu kali ini benar-benar pergi ke latihan klub musik tiup.

     "Kerja paruh waktu di toko kue, ya. ...Dulu juga ada kerja paruh waktu musim panas, Himari mau ikut juga kali ya?"

     Himari bilang dia senang saat liburan musim panas, dan kalau ada kesempatan, mungkin lebih baik kami bekerja bersama. Pergi makan bersama setelah pulang kerja paruh waktu, rasanya romantis dan menyenangkan.

     Kalau ada uang saku, kami bisa pergi jalan-jalan bersama saat liburan musim dingin, dan aku juga bisa membuat Himari senang dengan hal lain selain aksesori....

     Segera, aku ingin mengirim pesan ke Himari lewat ponsel....

     "............"

     Sampai di situ, aku memukul kepalaku sendiri.

     ...Kebiasaan buruk. Himari memilih kehidupan sebagai pacar. Karena ini aku, ada kemungkinan aku akan mengabaikan Himari dan asyik dengan pekerjaan paruh waktu.

     Tidak boleh lagi mengabaikan Himari dan membuatnya kesepian. Tapi, aku juga butuh uang saku demi Himari....

     "...Untuk sekarang, setidaknya aku minta izin kerja paruh waktu dulu sama Himari."

     Aku segera mengirim pesan lewat LINE, hanya untuk meminta pendapat Himari mengenai hal itu.

♣♣♣

     Dua Minggu Kemudian, hari Sabtu

     Ini adalah hari daun musim gugur.

     Sekitar tengah hari, aku dan Himari sedang bergoyang-goyang di dalam mobil kecil.

     Himari yang duduk di kursi belakang berseru dengan riang.

     "Baiklah! Perjalanan dua hari satu malam untuk berburu daun musim gugur dimulai~!"

     "Benar-benar jadi menginap, ya..."

     "Nfufu~. Kan kebetulan sekali ada libur panjang tiga hari saat musimnya~. Setelah kubicarakan dengan Onii-chan, dia bilang, 'Ada banyak tempat terkenal di daerah ini, jadi tidak cukup kalau hanya satu tempat, kan?' Nah, sekalian saja kita keliling satu daerah itu dan puas-puasin wisata!"

     "Yah, aku sih senang-senang saja..."

     Hibari-san yang berada di kursi pengemudi tertawa lembut.

     "Hahaha. Sakura-kun juga sudah memberi izin, jadi mari kita nikmati saja sekarang."

     Hari ini dia mengenakan kaus turtleneck dan celana chino, gaya santai untuk liburan. Padahal pakaiannya tidak jauh berbeda denganku, tapi kenapa Hibari-san terlihat keren seperti iklan Uniqlo saat memakainya?

     "Maaf merepotkanmu di hari libur yang berharga ini."

     "Merepotkan apa, justru tidak sama sekali. Aku juga butuh 'mencuci jiwa'."

     "Senang mendengarnya. Omong-omong, soal pekerjaan..."

     Gigi Hibari-san berkilau "kilat".

     "Ada sekitar tiga puluh lembar dokumen yang dibutuhkan untuk rapat awal minggu depan, tapi sudah kuserahkan sepenuhnya ke juniorku♪"

     "Pertanyaan bodoh dariku, maaf..."

     "Ini rapat yang sangat penting, lho. Kalau dokumennya tidak selesai, dua tahun kerjaku bisa sia-sia. Hehe, ini kesempatan bagus untuk melihat perkembangan juniorku."

     "Kedengarannya seperti pertanda buruk saja..."

     Tidak, pasti tidak apa-apa, kan?

     Saat aku merasakan firasat buruk, Hima muncul dari kursi belakang.

     "Ish, Onii-chan! Jangan terlalu mesra dengan Yuu!"

     "Diamlah. Hari ini adalah hariku untuk memonopoli Yuu-kun. Lagipula, jalan di sini sudah menyempit. Berbahaya, jadi pakailah sabuk pengamanmu."

     "Bilang saja begitu..."

     Mobil berguncang, "gedebuk".

     ...Oh, melindas sesuatu, ya.

     "Hibari-san, apa itu tadi?"

     "Mungkin melindas batu yang jatuh. Aku ceroboh sampai tidak melihatnya."

     Aku menoleh, dan melihat Himari merintih di kursi belakang.

     "H-Hi…ta…han…da…!"

     "Apa katamu?"

     Hibari-san menghela napas.

     "Dia berisik, jadi pasti tergigit lidahnya. Padahal sudah kubilang pakai sabuk pengaman..."

     Kami berkendara di jalan sempit di tepi sungai selama beberapa waktu.

     Banyak tempat yang hanya selebar satu mobil, sehingga sulit untuk berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan. Karena ini jalan pegunungan, jalannya pun sedikit tidak rata.

     "Katanya tempat wisata terkenal, tapi ternyata seperti daerah terpencil, ya. Memang benar kalau tempat seperti ini, sepertinya tidak mungkin mengunjungi semuanya dalam sehari..."

     "Benar. Aku juga pernah mendengarnya, tapi ini pertama kalinya aku mengendarai sendiri ke sini. Ibuku sepertinya sudah beberapa kali lewat sini, jadi syukurlah aku meminjam mobil sesuai sarannya."

     "Jadi, itu sebabnya hari ini bukan mobil asingmu yang biasa, ya. Ngomong-ngomong, apa Ikuyo-san juga datang untuk melihat daun musim gugur?"

     Hibari-san tersenyum manis.

     "Ini adalah tempat tinggal para penguasa alam yang tangguh, tahu."

     "Oh, begitu..."

     Aku teringat Ikuyo-san yang kala itu memanggul senapan berburu.

     Padahal tempat ini alamnya begitu indah. "Kamu dan aku, meski di tempat yang sama, melihat hal yang berbeda..." Seperti lagu J-Pop yang sentimental.

     Setelah beberapa saat berkendara, di sepanjang jalan sempit pinggir sungai, terlihat pemandangan rumah-rumah tua yang berjejer.

     "Di sekitar sini, ada banyak tembok batu indah di sepanjang lereng gunung, ya."

     "Karena tanahnya miring, mereka membangun rumah dengan menumpuk batu-batu. Sawah berundaknya juga indah, dan tempat ini terpilih sebagai salah satu dari Seratus Sawah Berundak Terbaik di Jepang, lho."

     "Daerah kita ini, diam-diam banyak juga ya tempat seperti ini."

     Sambil bercakap-cakap, kami akhirnya tiba di tujuan.

     "Yuu-kun. Ini adalah tempat wisata pertama."

     "Ohh!"

     "Luar biasa..."

     Lembah Mitate.

     Tempat ini dikenal sebagai salah satu lokasi berburu daun musim gugur terbaik di prefektur.

     Pohon-pohon daun musim gugur yang merona merah di kedua sisi sungai yang lebar itu sungguh memukau, dan pemandangannya saat daun-daun itu berguguran ditiup angin benar-benar indah.

     Terlihat banyak turis lain yang juga datang untuk menikmati pemandangan daun musim gugur yang sedang puncaknya. Kami memarkir mobil, lalu memandangi pemandangan menakjubkan itu.

     "Luar biasa, ya. Aku baru pertama kali melihat daun musim gugur sebanyak ini."

     "Hmm, indah sekali. Kalau terlambat seminggu lagi, mungkin sudah habis berguguran. Waktunya sangat pas."

     Hibari-san berkata demikian sambil... entah kenapa terhuyung. Aku buru-buru menopang tubuhnya, dan dia tersenyum masam, "Maafkan aku."

     "...Huu. Baiklah, kalau begitu, aku akan menunggu di tempat yang daun musim gugurnya tidak terlalu banyak untuk sementara waktu. Setelah selesai melihat-lihat, hubungi aku ya."

     "Eh? Kamu tidak ikut melihat daun musim gugur?"

     "Huh. Sebenarnya tadinya begitu..."

     Saat itulah aku menyadarinya.

     Wajah Hibari-san pucat. Jangan-jangan, dia merasa tidak enak badan?

     Itu mungkin saja. Hibari-san adalah orang yang sangat sibuk. Mungkin dia memaksakan diri agar bisa meluangkan waktu hari ini. Aku merasa bersalah telah memaksanya mengikuti keinginan kami....

     Saat aku benar-benar khawatir, Hibari-san tersenyum tipis.

     "Melihat daun musim gugur, wajah-wajah yang tidak diinginkan terus terbayang. Rasanya sulit untuk tetap tenang."

     "Trauma wanita jahat di Tokyo itu terlalu dalam..."

     Jarang sekali ada orang yang datang untuk melihat daun musim gugur lalu jadi seperti ini.

     Aku melihat Hibari-san pergi mengemudikan mobilnya dengan wajah berkeringat dingin, lalu aku dan Himari memutuskan menjelajahi sekitar untuk sementara waktu.

     "Hibari-san. Apa dia akan bertahan sampai besok..."

     "Entahlah? Dia kan Kakakku, pasti akan beres dengan tekadnya saja."

     Ada lapangan luas di dekat tempat parkir, dan kami berfoto di sana terlebih dahulu. Kabarnya, di tempat ini juga diadakan festival lokal setahun sekali pada musim ini.

     Dan lapangan itu sungguh menakjubkan.

     Pemandangan seluruh tanah yang tertutup rapat oleh daun musim gugur yang merah pekat adalah sesuatu yang jarang bisa disaksikan di tempat lain.

     "Seperti karpet merah daun musim gugur..."

     "Saking indahnya, jadi ingin tiduran di sini, ya."

     "Benar juga!"

     Aku ingin melakukannya! Ingin berbaring telentang dan meninggalkan jejak bahwa aku pernah di sini!

     Saat aku gelisah, Himari menarikku sambil tersenyum masam.

     "Okeee. Ada orang lain juga, jadi jangan melakukan hal yang merepotkan, ya."

     "Grrr..."

     Karena masuk akal, aku pun menurutinya.

     Layaknya tempat wisata, di samping jembatan terdapat peta jalur pendakian di sekitar. Menurut peta itu, ada jalur walking di sepanjang sungai dari sini.

     "Oh. Jalur yang melingkar mengikuti sungai, ya."

     "Total panjangnya tiga kilometer... Yah, mungkin sekitar satu jam jalan kaki?"

     "Karena ini jalan pegunungan, sepertinya akan sedikit lebih lama... Tapi, coba kita pergi dulu, kalau terlihat sulit, kita putar balik saja."

     Sambil bicara, kami masuk ke jalur pejalan kaki. Jalur itu mengikuti jalan setapak yang diapit gunung dan sungai.

     Pemandangan berjalan di bawah deretan pohon daun musim gugur yang telah merona, sungguh seperti pintu gerbang menuju surga dunia.

     "Gila. Ini benar-benar pemandangan yang indah!"

     "Aku mungkin baru pertama kali melihat Yuu mengambil foto sebanyak ini di ponselmu."

     Tidak, tidak, ini mah wajib difoto, dong.

     Melihat jalan di seberang, para penggemar daun musim gugur lainnya juga memegang kamera. Ada yang bahkan datang dengan peralatan profesional, membuatku sedikit iri.

     Dengan meniru cara mereka memotret, Himari mengambil foto dengan latar langit dari bawah pohon daun musim gugur.

     "Waaah~! Dapat foto yang emotive banget!"

     "Bagus sekali itu. Rasanya seperti daun musim gugur berjatuhan ke langit..."

     "Kayak background komputer."

     "Perasaan estetiknya...."

     Berjalan bersisian dengan Himari di tengah pemandangan indah yang tercipta dari perpaduan sungai jernih dan daun musim gugur.

     "Karena aliran airnya bersih, pantulan daun musim gugur di permukaan sungainya juga terlihat indah, ya. Rasanya seperti ada daun musim gugur di dalam sungai."

     "Nfufu~♪"

     "Himari? Ada apa?"

     "Aku pikir, Yuu pasti lagi mikir, 'Andai daun musim gugur ini bisa kujadikan aksesori~' atau semacamnya~♪"

     "Ah..."

     Daun musim gugur berjatuhan, lalu hinggap di kepala Himari. Aku memungutnya dan kembali terkesima oleh keindahannya.

     Memang, kalau bisa menjadikan daun musim gugur seindah ini menjadi aksesori, aku pasti senang, tapi...

     "Ada perasaan begitu juga, tapi hari ini enggak dulu, deh."

     "Eh? Enggak mau? Daun musim gugur seindah ini jarang lho?"

     "Aku tidak bawa wadah untuk mengambilnya, lagipula..."

     Aku tersenyum pada Himari.

     "Hari ini adalah hari kencanku dengan Himari. Soal hobiku, nanti aja, ya."

     "............"

     Lalu Himari.

     Tiba-tiba wajahnya memerah padam.

     "Pu-hyaaa~! Apa-apaan ini, tiba-tiba kamu mengasah teknik membuatku senang seperti itu~! Aku jadi malu, tahu~!"

     "Sakit, sakit, sakit. Berhenti memukuliku keras-keras..."

     Meskipun itu caranya menyembunyikan rasa malu, tidak bisakah dia melakukannya dengan cara yang lebih manis, ya? Serangan orang ini memang tinggi, tapi pertahanannya tetap saja setipis kertas.

     Ketika aku berpikir betapa tidak ada kehalusan perasaannya, tiba-tiba dia menggenggam tanganku.

     Himari, dengan senang hati, menguatkan genggamannya.

     "Puhehe♡"

     "J-jalan pegunungan ini berbahaya, lho."

     "Eh~? Yuu-kun, padahal kamu sendiri yang menyerang duluan, kok saat diserang balik jadi lemah dan penakut, sih~?"

     "Menyebalkan. Baiklah, akan kulakukan. Jangan salahkan aku kalau jatuh, ya."

     "Kalau begitu, aku akan menjadikan Yuu sebagai bantalan, jadi tidak apa-apa♪"

     "Perasaan estetiknya..."

     Ada satu tempat di mana warna daun musim gugur jauh lebih cemerlang.

     Hutan terbuka di kiri dan kanan, membentuk semacam lapangan alami. Mungkin akan menyenangkan jika kami membawa alas piknik dan membuka bekal di sini.

     "Ohh. Di sini lebih menakjubkan lagi..."

     "Yuu, ayo foto lagi?"

     "Baiklah. Mari kita foto berkali-kali."

     Ufufu~. Mumpung lagi di sini, rasanya pengin foto yang bisa jadi kenangan indah, ya~.

     "Eh. Apa saja juga boleh, kan?"

     "Sabar, sabar. Kali ini, percayalah padaku."

     Himari mengusulkan sesuatu dengan suara pelan.

     "Eh, serius?"

     "Serius♪"

     Dengan latar belakang daun musim gugur, kami berdua menyatukan tangan membentuk hati.

     "............"

     Uh, mati aku...!

     Pose macam apa ini yang dipilih, sungguh memalukan. Rasanya life gauge-ku langsung habis seketika.

     Tapi Himari tertawa riang, lalu mengangkat ponselnya.

     "Kita akan jadi pasangan yang tak akan pernah pudar selamanya, ya ♡"

     "Oh..."

     Itu adalah foto yang bagus.

     Perpaduan gradasi antara daun musim gugur yang cemerlang dan keceriaan Himari sungguh memesona. Mulutku memang sedikit tertarik ke samping, tapi itu wajar.

     Dalam situasi seperti ini, cukup Himari yang terlihat manis. Wajah laki-laki tidak penting.

     (Yah, yang terpenting Himari terlihat senang)

     Sejak deklarasi "you" di festival budaya, aku khawatir Himari akan merasa sedih.

     Tapi sepertinya dia menikmati kehidupan sebagai pacar, jadi aku menyadari bahwa kekhawatiranku itu tidak beralasan. Selebihnya, selama aku bersikap baik, seharusnya tidak ada masalah.

     Dengan tekad baru, aku mengepalkan tinju.

     "Aku sudah memutuskan, sebagai pacar, aku akan menjaga Himari dengan baik."

     "............"

     Eh?

     Kenapa Himari menatapku dengan ekspresi aneh?

     "Eh? Ada apa?"

     "...Yuu, sepertinya yang tadi itu terucap keras."

     Aku terdiam beberapa saat.

     Lalu, aku merintih dalam hati atas sejarah kelam yang baru saja kubuat.

     "...Ayo cepat! Cuaca di gunung itu mudah berubah, katanya!"

     "B-benar! Ahaha..."

     Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan di jalur pejalan kaki dalam suasana canggung.

     Saat kami berhasil menyelesaikan putaran, matahari yang tadinya di puncak sudah sedikit condong. Bayangan pohon daun musim gugur pun tampak lebih panjang dari sebelumnya.

     "D-dua jam, ya..."

     "Ternyata jalan pegunungan memang terjal, ya. Untung kita datang lebih awal."

     "Hibari-san tidak bosan menunggu, ya?"

     "Sebelum itu, semoga saja dia tidak sampai mati gara-gara kutukan Kureha-san, ya~."

     Yang terakhir ini terdengar tidak seperti bercanda, dan itu yang paling parah.

     Ketika aku hendak menelepon dengan ponsel, tiba-tiba aku menyadari.

     "Himari, sinyalnya..."

     "Uuuh! Antena sinyalnya tidak muncul sama sekali!"

     Dasar, memang daerah terpencil...

     Ketika kami sedang mencari tempat dengan sinyal agar tidak perlu berjalan kaki pulang, tiba-tiba sebuah mobil kecil melaju dari kejauhan.

     Yang berada di kursi kemudi, tentu saja Hibari-san.

     "Hibari-san!"

     "Onii-chan, tepat waktu sekali!"

     Hibari-san membuka jendela di kursi kemudi, lalu melepas kacamata hitamnya, dan giginya berkilau "kilat".

     "Aku sadar sinyal tidak ada, jadi aku datang untuk melihat-lihat. Sepertinya pas sekali, ya."

     "Terima kasih. Barusan kami kembali dari jalur pejalan kaki... Hmm?"

     Wajah Hibari-san masih pucat pasi.

     Sambil mengerang kesakitan, dia membuka pintu penumpang depan.

     "Yuu-kun. Cepatlah..."

     "B-baiklah!"

     Aku buru-buru naik mobil, dan Hibari-san segera melaju.

     Setelah menjauhi area dengan banyak daun musim gugur, dia tampak sedikit pulih.... Tidak, serius, apa kutukan Kureha-san terlalu kuat? Konflik cinta di SMA memang begini? Ini sih neraka namanya....

     "Hibari-san. Sepertinya perjalanan memburu daun musim gugur ini lebih baik dibatalkan saja, dan pulang hari ini..."

     "Tidak, kita lanjutkan. Aku tidak apa-apa, kalau istirahat di penginapan pasti akan pulih."

     "Tapi kalau sampai mengganggu rapat awal minggu depan kan tidak baik. Ah, aku dengar rest area yang kami lewati tadi sudah direnovasi dan jadi bagus. Saku-neesan bilang marron soft musim ini enak, bagaimana kalau kita mampir ke sana dan makan sesuatu yang enak..."

     TLN : "marron soft" (マロンソフト) kemungkinan besar merujuk pada soft-serve ice cream (es krim lembut) dengan rasa marron (kastanye)

     "Aku tahu Yuu-kun mengkhawatirkanku. Tapi, aku harus melakukannya!"

     Sungguh tragis.

     Melihat daun musim gugur, apa memang harus sampai mempertaruhkan nyawa begini...?

     "Hibari-san. Kenapa kamu sampai segitunya...?"

     "............"

     Hibari-san memasang ekspresi serius.

     Dia menghela napas, lalu mulai berbicara dengan tenang.

     "Yuu-kun. Ada satu hal sulit yang ingin kubahas."

     "B-baiklah..."

     "Dunia ini berjalan dengan keseimbangan. Menebang hutan terlalu banyak akan menyebabkan bencana, dan kekayaan yang terus berputar akan memperkaya perekonomian."

     "Memang sulit dipahami, tapi yah, kurang lebih aku mengerti."

     Meskipun aku tidak tahu mengapa dia membahas hal itu sekarang.

     "Jadi, terlalu memihak satu sisi akan menyebabkan rusaknya keseimbangan dunia. Itu juga akan menjadi pembuka kehancuran dunia."

     "M-mungkin begitu, ya..."

     "Demi perdamaian dunia, menurutku di sini perlu ada penyesuaian."

     "B-baiklah... Eh, omong-omong, dari tadi kamu bicara apa sih?"

     Hibari-san melepas kacamata hitamnya.

     Lalu, dia menyunggingkan senyum terindah yang bisa memikat semua wanita di dunia.

     "Saat liburan musim panas, penyihir jahat itu, meskipun kebetulan, menginap bersama Yuu-kun. Kalau aku tidak melakukan hal yang sama, bukankah itu berarti aku kalah dari Kureha-kun?"

     "Apa yang kamu katakan dengan senyum cool begitu..."

     Begitu, jadi aku paham alasannya. Orang ini, sambil jalan-jalan denganku, rupanya sedang memendam ambisi untuk bersaing dengan Kureha-san. Sungguh, intrik percintaan di SMA itu terlalu dalam....

     Saat aku merasa lesu, Himari dari kursi belakang berkata.

     "Onii-chan. Daripada itu, bagaimana kamar kita malam ini? Tentu saja aku dan Yuu sekamar, kan?"

     "Apa yang kamu bicarakan? Aku hanya memesan satu kamar."

     "Eeeh. Onii-chan juga sekamar? Ugh, enggak mauuu."

     "Adik bodoh. Tentu saja hanya aku dan Yuu-kun."

     "...Kalau begitu aku bagaimana?"

     Hibari-san berkata dengan tenang.

     "Kamu tidur di mobil."

     "Kejam sekali!?"

     Pantas saja ada kantong tidur di belakang. Ini pasti pelampiasan kekesalan pada Kureha-san....

     Dan entah kenapa, api itu juga menjalar padaku.

     "Kalau begitu, Yuu juga tidur di mobil bersamaku!"

     "Wah, kalau itu sih..."

     "Ih! Kalau begini terus, keperjakaan Yuu dalam bahaya, tahu!?"

     "Oleh siapa? Hei, oleh siapa aku akan direbut?"

     "Dasar protagonis komedi romantis!"

     "Komedi romantis macam apa yang diapit pacar dan kakaknya begini..."

     Menerima serangan dari segala arah seperti ini, kan keterlaluan.

     Pada akhirnya, Himari pun berhasil mendapatkan satu kamar sendiri.

     Pokoknya, nanti kalau bertemu Kureha-san lagi, aku harus komplain...

♣♣♣

     Saat malam semakin larut. 

     Kami check-in di sebuah penginapan di Takachiho.

     Katanya, ini adalah penginapan bertema bunga. Sesuai dengan iklannya, ada bunga-bunga cantik yang menghiasi setiap sudut.

     Pencahayaan oranye lembut menerangi perapian di pintu masuk dan pagar pembatas berwarna merah. Penampilannya dari luar seperti penginapan tradisional biasa, jadi aku terkejut dengan interiornya yang anggun ini.

     Di kamar spesial penginapan itu, aku merintih dalam kekaguman.

     "T-tidak kusangka ada tempat tersembunyi seperti ini...!"

     Hibari-san tertawa riang sambil menyeruput teh hangat.

     "Syukurlah kamu menyukainya. Tempat ini juga direkomendasikan oleh Ibuku. Bangunannya memang tua, tapi harganya terjangkau, makanannya enak, dan pelayanannya pun prima. Lokasinya juga tidak buruk."

     "Yang paling penting bunganya bagus. Aku ingin menginap di sini seumur hidup..."

     "Hahaha. Yuu-kun memang teguh pendirian, ya."

     Ketika aku sedang menikmati obrolan santai antar pria, tiba-tiba Hibari-san menatap ke arah kamar sebelah.

     Di balik dinding ini, Himari seharusnya sedang menikmati kamarnya sendirian. Mungkin saja dia sudah tidur.

     "Yuu-kun. Kamu memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai pacar dengan Himari, ya?"

     "Ah,... iya."

     Ini adalah pertama kalinya aku membicarakan hal ini lagi dengan Hibari-san.

     Entah kenapa aku merasa canggung.

     Hibari-san telah banyak mendukung kami berdua sebagai "mitra takdir". Dengan situasi yang sekarang mungkin dianggap terlalu terbuai cinta, aku merasa sedikit bersalah.

     Namun, Hibari-san melanjutkan pembicaraan dengan tenang.

     "Apa kamu tidak menyesali keputusan itu?"

     "Tentu saja tidak."

     Aku menjawabnya dengan tegas. Hubungan kami mungkin berubah karena terbawa suasana, tapi perasaanku pada Himari itu nyata.

     Hibari-san mengangguk.

     "Begitu, ya. ...Tidak, jangan salah paham. Kalau itu jalan yang kalian pilih, aku tidak akan mengatakan apa-apa. Kalau nanti kegiatan 'you' terganggu, aku yang akan menanganinya."

     "Ah, terima kasih banyak..."

     Dia pasti serius mengatakannya....

     Saat aku merasakan tekanan dari sikap yang terlalu protektif itu, Hibari-san menghela napas.

     "Hanya saja, aku juga punya kekhawatiran."

     "Kekhawatiran?"

     "Meskipun sudah menjadi pacar, aku tidak yakin Himari akan tenang."

     "Secara spesifiknya...?"

     Hibari-san mengangkat bahu.

     "Dia itu tipe anak yang suka melanggar aturan yang dia buat sendiri, kan? Aku khawatir dia akan menimbulkan masalah lagi di kemudian hari dan merepotkan Yuu-kun..."

     "Ah, yah... itu juga salah satu kelebihan Himari, kok."

     "Hahaha. Yuu-kun murah hati sekali. Kalau aku, mungkin sudah seratus juta kali memikirkan untuk mengirimnya ke neraka."

     "Eh, kamu bercanda, kan?"

     "............"

     "Kamu bercanda, kan!?"

     Hibari-san tertawa. Sepertinya aku terbawa suasana....

     "Maka dari itu aku memutuskan... aku akan berhenti mencampuri tindakan Himari. Kalau untuk aktivitas 'you', aku bisa serahkan kepada Rion-kun, dan mulai sekarang aku akan fokus mengawasi saja."

     "Begitu, ya..."

     "Jadi Yuu-kun, aku ingin kamu lebih memikirkan Himari, melebihi sebelumnya."

     "Melebihi sebelumnya, maksudnya...?"

     Hibari-san memasang ekspresi sedikit serius.

     Dia mengalihkan pandangan, lalu meletakkan tangan di dagu. Seolah sedang memilih kata-kata dengan sangat hati-hati... Jarang sekali Hibari-san bersikap begitu, sehingga aku pun spontan duduk bersila dan mendengarkan dengan saksama.

     "Kalau Himari nanti sepertinya akan berbuat salah, tegurlah dia sebagai gantiku. Ini akan menjadi tugas terakhirku untuk Yuu-kun. Demi masa depan kalian, itu adalah hal yang mutlak diperlukan."

     "............"

     Mendengar kata-kata itu, aku menunduk.

     Aku mengerti maksudnya. Kami pernah menjadi "mitra takdir" untuk menjual aksesori. Dalam arti tertentu, itu juga merupakan hubungan yang menyerupai ketergantungan dariku kepada Himari.

     Himari adalah sosok yang melengkapi kekuranganku. Aku berutang budi padanya, dan sekeras apa pun kami menyebut diri teman, ada ketidakseimbangan kekuatan yang aneh di sana.

     Namun, sebagai sepasang kekasih, kami harus setara. Jika tidak, ini tidak bisa disebut hubungan asmara yang sehat.

     Itu sebabnya, Himari, begitu hubungan kami menjadi kekasih, langsung menarik diri dari penjualan aksesori. Di atas semua itu, dia bahkan mengizinkanku meluangkan waktu untuk aksesori.

     Hibari-san menekankan ucapannya.

     "Memanjakan orang lain saja bukanlah bentuk cinta sejati. Kamu mengerti, kan?"

     "...Iya."

     Aku mengangguk mantap.

     Aku meresapi kata-kata yang terucap di sini, dan mengukirnya di dalam hati.

     Hibari-san tersenyum lega.

     "Yah, setelah kamu resmi menjadi adik ipar, kamu boleh memanjakanku sepuasnya, kok♪"

     "Merusak suasana saja..."

     Tidak, aku tahu dia berusaha mencairkan suasana. ...Eh, dia berusaha mencairkan suasana, kan?

     Bagaimanapun, kebaikan hatinya menyentuhku.

     "Hibari-san. Jangan-jangan kamu sengaja mengatur acara menginap hari ini hanya untuk membicarakan hal ini lagi...?"

     "Tidak kok? Aku hanya ingin menginap bersama Yuu-kun. Pembicaraan ini hanya kebetulan saja."

     "Hibari-san..."

     Malah jadi rusak suasananya.

     Aku selalu berpikir, "Himari dan Hibari-san, apa mereka benar-benar punya hubungan darah?" Tapi dalam hal ini, mereka benar-benar seperti kakak-adik....

     "Nah. Kalau begitu, malam ini kita tonton anime apa ya? Bagaimana kalau 'Bocchi the Rock!'. Ini tentang band, tapi Yuu-kun yang tidak tertarik musik pun pasti bisa menikmatinya. Di toko buku dekat rumah kami, ada life-size panel karakter-karakternya..."

     "Kalau menonton anime, bukankah bisa di rumah saja?"

     "Huh. Akhir-akhir ini, Kakek terlalu mengganggu. Apa kamu menyadari dia sengaja begadang untuk mengintip kita terakhir kali?"

     "Aku ini apanya keluarga Inuzuka, sih...?"

     Entah kenapa akhir-akhir ini aku diperlakukan seperti "orang kaya", melewati batas "calon menantu".

     Saat pembicaraan mereda, ponsel Hibari-san berdering.

     "Hmm? Jangan-jangan Himari, ya?"

     Aku mendengar dia bicara di telepon, katanya, itu panggilan pekerjaan. Kalau selarut ini di hari libur, apa ini darurat?

     Saat aku merendahkan suara, suasana percakapan mulai terasa aneh. Seakan membenarkan firasat itu, wajah Hibari-san mendadak pucat pasi saat dia mengulang ucapannya.

     "D-dokumen rapatnya hancur berkeping-keping...?"

     Hah?

     Aku juga terkejut mendengar perkataan yang terlalu tidak masuk akal itu.

     "Maksudmu apa? ...Ah, begitu rupanya. ...Tidak, kalau kamu yang bilang, pasti itu benar. Aku tidak meragukannya. ...Aku akan memikirkan solusinya dan segera menghubungimu."

     Setelah mengakhiri panggilan dengan tenang, dia menghela napas.

     Dengan ragu, aku bertanya tentang situasinya kepada Hibari-san yang tertunduk lesu.

     "Katanya, saat membawa pulang dokumen, mobilnya ditabrak oleh pengemudi mabuk. Dia sendiri tidak apa-apa, tapi tas berisi dokumen dan USB-nya hancur berantakan..."

     "Itu mengerikan sekali..."

     ...Eh? Jangan-jangan salahku?

     Apa karena tadi siang aku bilang "pertanda buruk"? Benarkah?

     "M-maafkan aku."

     "Hahaha. Bukan salah Yuu-kun kok..."

     Hibari-san tertawa, tapi entah kenapa energinya hilang. Dia bilang itu pekerjaan yang sudah dikerjakan dua tahun, kan...?

     "Soal juniorku itu, ini memang sering terjadi padanya. Aku sangat menghargai dia yang rajin dan berbakat, tapi entah kenapa dia selalu sial. Seperti cewek ceroboh, atau tubuhnya menarik kemalangan, begitu. Yah, syukurlah dia tidak terluka."

     "B-bagaimana ini? Itu dokumen penting, kan?"

     Menurut Hibari-san, dokumen itu sangat dibutuhkan untuk rapat penting di awal minggu.

     "Selama datanya masih ada, membuatnya tidak sulit..."

     "Tapi, bukankah USB itu juga hancur?"

     Hibari-san menghela napas.

     "...Tidak, ada kok."

     "Eh?"

     Dia mengeluarkan tasnya, lalu membukanya.

     Di dalamnya terdapat sebuah laptop tipis.

     "Ada di sini."

     "Waaah..."

     "Apa-apaan ini."

     Itu berarti...

     "Di sini pun aku bisa bekerja!"

     "A-apaaa!?"

     Aku berhalusinasi melihat kilatan petir.

     Memang hebat orang dewasa yang kompeten itu.

     Selalu siap menghadapi masalah kapan saja... Apakah aku juga akan menjadi orang dewasa sehebat itu suatu hari nanti?

     Hibari-san selesai menyiapkan mejanya, lalu berkata kepadaku.

     "Yuu-kun. Maaf, bisakah kau pindah ke kamar Himari sebentar?"

     "Eh. Kalau mengganggu konsentrasimu, aku bisa tidur sekarang..."

     Hibari-san menggelengkan kepala.

     Lalu, dengan senyum sedih—setetes air mata mengalir di pipinya.

     "Aku tidak bisa membiarkanmu melihatku dalam keadaan seperti ini..."

     "Memangnya pekerjaanmu sehari-hari apa...?"

     Orang ini kan staf balai kota, ya? Bukan pembersih dunia bawah tanah, kan? Kenapa matanya sampai merah melotot dan di belakangnya seperti terlihat sayap mengerikan? Jangan-jangan dia raja iblis yang bersembunyi di zaman modern?

     Hibari-san kembali menjadi manusia normal, lalu tertawa seolah bercanda.

     "Itu bercanda, tapi karena ini darurat, panggilan telepon juga akan banyak. Mungkin akan mengganggu tidurmu. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan menghubungimu lagi lewat ponsel."

     "Ah, begitu. Mungkin aku malah jadi mengganggu, ya..."

     "Bagiku, akan lebih semangat kalau kanu mendukungku dengan kostum cheerleader..."

     "Kostum cheer untuk laki-laki, memangnya siapa yang mau melihatnya???"

     Gawat. Lelucon kakak ipar Hibari-san kali ini lebih kacau dari biasanya. Sepertinya memang situasinya benar-benar genting.

     Aku mengirim pesan ke ponsel Himari, dan dia langsung membalas. Syukurlah dia sudah bangun.

     "Kalau begitu, aku akan menghabiskan waktu di kamar Himari."

     "Baiklah. Maaf ya."

     Saat aku berdiri, tiba-tiba Hibari-san mengulurkan sesuatu.

     "Ah, benar juga. Kamu belum mandi, kan? Bawalah ini."

     "Eh? Ah, terima kasih."

     Mandi? Apa, ya? Kukira itu mungkin perlengkapan mandi... dan aku menerimanya.

     Ternyata itu adalah pakaian tidur yang kembar dengan milik Hibari-san.

     "Agar kamu tidak melupakan kehangatanku, meskipun kita terpisah!"

     "Susah mau bereaksi gimana..."

     Mandi lalu pakai kemeja pemberian kakak pacar itu apa-apaan? Bukan kemeja pacar, tapi kemeja kakak ipar, begitu?

     Aku bergegas pindah kamar seolah melarikan diri.

     Aku mengetuk pintu, menunggu jawaban, lalu masuk.

     "Himari, maaf ya."

     "Ya. Ini salah Kakakku juga, jadi enggak apa-apa kok~."

     Hima berbaring di futon sambil memainkan ponselnya, kakinya menggantung-gantung. Sepertinya dia merasa kebingungan dengan luasnya kamar.

     "Himari. Boleh aku pakai kamar mandi di sini?"

     "Boleh~. Santai saja~."

     Dalam balutan roomwear tebal berbulu, uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Rupanya, Himari sudah selesai mandi.

     Aku pun ikut menikmati pemandian hinoki.

     Meskipun ukurannya tidak seluas kamar mandi keluarga Inuzuka karena ini pemandian pribadi, suasana khas penginapannya tetap terasa dan sangat nyaman. Aku meregangkan kaki perlahan.

     "Duh, aku berutang banyak pada Hibari-san..."

     "Surga, surga..." gumamku seperti orang tua, sambil menghela napas.

     Aku menenggelamkan diri ke dalam bak hinoki. 

     Lalu, karena kehabisan napas, aku menyembul keluar dengan suara "bashaa!".

     "Berduaan saja dengan Himari, ini gawat, kan...!?"

     Aku merintih sendirian, "Uwoooooh!" Memang menjijikkan, tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan itu.

     Berduaan bersama pacarku di penginapan pada malam hari... Ini berbeda saat dengan Enomoto-san....

     Kalau dipikir-pikir, selama ini kami memang selalu beraktivitas bersama, tapi belum pernah pergi menginap.

     Meskipun sudah beberapa kali menginap di rumah Himari, kami selalu tidur di kamar terpisah....

     "Sampai pekerjaan Hibari-san selesai... tapi, apa itu bisa selesai malam ini?"

     Aku sama sekali tidak mengerti pekerjaan orang dewasa, tapi dia bilang ada puluhan lembar dokumen. Artinya, malam ini ada kemungkinan aku berduaan saja dengan Himari.

     (Akhirnya aku akan melewati batas itu... batas terakhir...)

     Tidak, tunggu dulu.

     Situasi ini di luar dugaan, dan Himari pun tidak mungkin berpikir sejauh itu....

     Tidak, tidak, tidak, tidak. Dia itu kan wanita iblis, lho? Tidak sepertiku, dia pasti sudah terbiasa dengan laki-laki, jadi tingkah lakunya tidak mungkin bisa kubaca hanya dengan pemikiranku....

     Ah, mana mungkin begitu! Justru aku yang sekarang tiba-tiba khawatir padahal selama ini hanya sebatas ciuman, itu menjijikkan sekali....

     "Baiklah, tidak ada! Hari ini aku cukup lelah, dan mungkin saja aku akan langsung tidur..."

     Sambil menyimpulkan demikian, aku selesai mandi.

     Namun, tanganku berhenti tepat saat hendak membuka pintu kamar mandi dalam.

     "…Mandi sekali lagi saja, ya."

     Bukan karena aku berharap, lho.

     Hari ini aku berjalan di jalur pegunungan, jadi tidak ada salahnya membersihkan diri dengan saksama. Aku tidak mau kalau sampai bau keringat.

     Setelah berganti dengan kemeja kakak ipar, kali ini aku benar-benar keluar dari kamar mandi.

     Suasana sangat sunyi, jangan-jangan Himari sudah tidur... Uh.

     Entah sejak kapan, futon sudah menjadi dua set.

     Himari mendongak menatapku, lalu mengalihkan pandangan dengan agak canggung. Pipinya memerah, dan entah mengapa matanya tampak berembun.

     ...Eh? Bukannya tidak akan ada hal seperti itu?

     "Yuu. Onii-chan sepertinya masih butuh waktu lama, ya...?"

     "Y-ya..."

     Kenapa dia memastikan hal itu?

     Jantungku berdebar tak karuan. Eh, serius? Seriusan ini...?

     Himari bangkit duduk, lalu dengan santai menyilangkan kakinya. Dari celana pendek roomwear berbulu itu, terlihat paha yang segar setelah mandi.

     Sial, aku sampai menelan ludah. Ini tidak terdengar, kan? Astaga, jantungku rasanya mau copot. Rasanya seperti mau meledak.

     Himari, dengan rona tipis di pipi, menyunggingkan senyum penuh makna.

     Dia seolah menyadari kegugupanku. Aura memikatnya benar-benar pantas disebut iblis, membuat gerak-gerikku jadi kaku.

     "Kalau begitu, Yuu..."

     "Y-ya..."

     Seolah membimbingku yang kurang pengalaman, Himari memulai pembicaraan. Agak memalukan memang, tapi berdasarkan pengalaman, aku tahu memaksakan diri di sini tidak akan berakhir baik.

     Astaga, apa benar-benar akan terjadi...?

     Sudahlah. Jangan gentar. Bulatkan tekadmu, Natsume Yuu.

     Aku sudah memutuskan untuk membuat Himari bahagia sebagai pacarnya!

     Kemudian, Himari mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.

     Itu adalah Nintendo Switch.

     Himari berkata dengan senyum berseri-seri.

     "Bagaimana kalau kita main Pokémon!"

     "Oh... begitu."

     Kalau tidak salah, edisi terbarunya baru keluar kemarin, ya...

     Tanpa menyadari semangatku yang jatuh ke titik beku, Himari dengan riang menyalakan Switch. Ah, ini bagian yang lucu, ya.

     "Wah~. Selama ini kan hidupku fokus pada pembuatan aksesori, jadi aku menahan diri untuk tidak memainkan game yang butuh banyak waktu seperti ini~♪"

     "Memang sih, kalau mau diselesaikan di waktu luang, bisa-bisa enggak kelar-kelar."

     "Malam ini ada iPad Onii-chan juga, jadi kita bisa nonton film sepuasnya, kan?"

     "Seharusnya tadi sekalian menyiapkan camilan malam..."

     Rupanya, dia berencana untuk begadang sepenuhnya.

     Meskipun dalam hati aku berpikir, "Besok kan ada perburuan daun musim gugur juga...", aku tidak terlalu menolaknya. Himari yang kembali ke mode normal justru membuatku merasa lega. B-bukan berarti aku berharap apa-apa, lho! Jadi, ini tsundere buat siapa, sih...?

     "Ini, Yuu. Mainkan♪"

     "Langsung dilempar begitu saja."

     "Soalnya aku lagi ingin melihat orang lain main, kok~."

     "Yah, memang ada yang begitu, ya..."

     Sambil memutar film di iPad Hibari-san, aku asyik bermain gim di atas futon.

     Wah, betapa damainya waktu ini. Lagipula, kalau Himari memang berniat begitu, pasti sudah dari tadi. Ah, bodohnya aku, sudah khawatir yang tidak-tidak.

     "Himari. Mau pilih starter Pokémon yang mana?"

     "Ah, yang tipe api saja, nanti evolusinya jadi cantik."

     "Langsung buka wiki? Dasar anak zaman sekarang..."

     Benar-benar, seperti biasa.

     Rutinitas normal kami... tapi.

     "...Kenapa Himari ada di atasku?"

     Sejak tadi, Himari menindihku yang sedang tengkurap. Sambil melirik layar Switch di bahuku, Himari berkata dengan wajah bangga.

     "Jurus Rahasia: Pasangan Mesra Melihat Majalah Pernikahan Zexy."

     "Apa pasangan yang siap menikah di dunia ini memang melakukan hal seperti ini..."

     "Pernikahannya nanti di kapel pinggir jalan raya saja, ya, yang akses transportasinya mudah ♡"

     "Kriteria pilihannya terlalu realistis, tolong hentikan..."

     Meskipun kami saling melempar candaan, jantungku terus berdebar kencang.

     Di punggungku, terasa sentuhan lembut Himari. Setiap kali dia bicara, napas hangat setelah mandi yang berembus di telingaku sungguh membuat cowok puber seperti aku tergila-gila.

     "Anu, Himari-san. Bisakah kamu sedikit menjauh?"

     "Eh~? Kenapa~?"

     "Kamu tahu maksudku, kan..."

     "Oh, reaksi itu bagus sekali~. Kalau begini, teman-teman sekelas tidak akan bisa memanggilmu protagonis yang tidak peka lagi~♪"

     "Tunggu. Aku dipanggil dengan julukan seperti itu? Hei, tolong ceritakan lebih detail soal itu."

     Tak tahan lagi, aku mendadak bangkit sambil berkata, "Tei!", membuat Himari terjatuh terguling.

     "Yuu, tiba-tiba kenapa sih!"

     "Berisik. Tanyakan saja pada hatimu sendiri."

     Untuk menenangkan diri, aku ingin minum air. Saat aku bangkit hendak menuju lemari es, kakiku tersandung dan aku terjatuh menimpa Himari.

     "Aduh... Eh?"


Wajah Himari entah kenapa begitu dekat.

     Saat aku kaku tak bergerak, wajah Hima memerah.

     "Waktu semester satu di ruang sains, aku didorong sampai terjatuh oleh Yuu seperti ini, ya♡"

     "Kalau ingatanku benar, aku yang ditarik sampai jatuh, deh?"

     "Nfufu~. Yuu, apa karena sejarah kelammu terbongkar, kamu jadi terlalu panik sampai memalsukan ingatan, ya~?"

     "Kamu itu kalau sedang tidak menguntungkan, memang pura-pura tidak mengerti pembicaraan, ya..."

     Aku menghela napas panjang.

     Saking bersemangatnya dia menggodaku sampai seperti ini, aku malah jadi terkesan.

     "Dengar ya, mungkin kamu mengira ini kesempatan emas untuk menggodaku sampai 'puhaha', tapi aku tidak akan terpancing hal sefrontal ini... eh?"

     Tiba-tiba, Himari berkata dengan nada serius.

     "Hei, Yuu."

     "Ap-Apaan..."

     Kemudian Himari, dengan sedikit ragu, bertanya.

     "Jangan-jangan, kamu menyesal sudah jadi pacarku...?"

     "............"

     Pertanyaan itu sesekali terlintas di benakku selama beberapa bulan terakhir.

     Bahkan sebelum festival budaya, aku sempat memikirkannya setelah berbicara dengan Saku-neesan. Karena itu, jawabanku, di luar dugaan, keluar dengan lancar.

     "Memang, kadang aku rindu hubungan kita yang dulu. Ada saatnya hubungan santai lebih menyenangkan. Aku pikir hubungan seperti ini baru bisa terjalin setelah aku lebih percaya diri, tapi..."

     Aku menatap lurus ke mata Himari.

     Aku yakin, menyingkirkan kekhawatiran Himari seperti ini adalah salah satu peranku sebagai pacar.

     "Tapi aku menyayangimu, Himari. Jadi, aku sama sekali tidak menyesal. Tolong percayalah akan hal itu."

     "............"

     Himari perlahan merentangkan kedua tangannya.

     Dia memelukku erat, lalu berkata dengan gembira.

     "Yuu. Aku juga menyayangimu♡"

     "O-Oke. Terima kasih."

     Astaga, manisnya... sampai-sampai jawabanku jadi terkesan acuh. Aku memang selevel anak SD dalam urusan cinta.

     Himari berbisik di telingaku, seolah menggigit manja.

     "Mulai sekarang pun, jangan pernah lepaskan aku, ya?"

     "Tentu. Aku akan memegangmu erat, Himari."

     Dulu, mungkin dari sini akan ada suara "Puhaha!" yang melayang.

     Namun, jika kebahagiaan manis yang ingin terus kunikmati ini adalah hak istimewa sepasang kekasih, maka aku tetap memilih yang ini.


♢♢♢

PoV

Inuzuka Himari

     —"Plop," tetesan air dari langit-langit jatuh ke bak mandi.

     Aku berendam di bak mandi, lalu menggumamkan "Puh-heh" sambil merasakan kebahagiaan. Dan sendirian aku merintih "Kyah!"

     Entah kenapa yang seperti ini menyenangkan, ya! Rasanya seperti benar-benar pasangan kekasih! Bahkan aku pun tidak bisa bersikap "Puhaha" dalam suasana seperti tadi. Awalnya kupikir Yuu akan malu dan kabur, tapi ternyata dia menerimaku dengan baik!

     Puhuhu. Memang beda ya kalau jadi pacar. Ada kebahagiaan unik yang tidak dimiliki oleh sahabat. Maaf ya, Enocchi, tapi aku tidak akan pernah melepaskan ini!

     Kami sudah mencapai puncak sebagai sepasang kekasih.

     Pasti Yuu juga merasakan hal yang sama.

     Aku merasakan firasat yang kuat. Semakin besar keberadaanku di dalam diri Yuu, semakin dia tidak akan tahan hidup sebagai "you" tanpa diriku.

     Sekarang tinggal menunggu Yuu mengatakan dengan jujur kepadaku, "Maukah kamu kembali ke 'you'?" Yah, Yuu itu keras kepala, ya. Dia pasti akan merasa tidak enak pada Enocchi dan mungkin tidak akan berani mengatakannya sendiri.

     Di situlah aku harus membimbingnya dengan cerdik. Astaga, Yuu itu dari dulu memang manja, tidak bisa apa-apa tanpaku.

     Pokoknya, rencana berjalan lancar, jadi malam ini aku akan menikmati momen penuh kebahagiaan ini!

     "Nah! Sepertinya pekerjaan Onii-chan tidak akan selesai, jadi malam ini aku akan puas bermain-main dengan wajah Yuu yang sedang tidur♪"

     Aku menghangatkan tubuhku dengan saksama, lalu keluar dari bak mandi.

     Dan ketika aku hendak keluar dari kamar mandi—pandanganku terpaku pada cermin di dalamnya.

     Wajahku sama sekali tidak tersenyum.

     ...Eh?

     Apa ini. Dingin sekali sampai mengejutkan. Bahkan ada aura kekejaman setelah berputar. Aku merasa seperti pernah melihatnya... Ah, ini wajah yang kadang-kadang Onii-chan tunjukkan. Astaga, menakutkan sekali.

     Lho kok?

     Aneh, deh. Padahal aku, sekarang ini, sangat bahagia, lho? Rasanya tidak berlebihan kalau dibilang sedang di puncak kebahagiaan sebagai pacar, kan?

     Tapi kenapa—

     "Kenapa hatiku... sedingin ini?"

     Rasanya ada yang kurang.

     Memang, awalnya aku bahagia sekali karena bisa menjadi pacar Yuu, merasa seperti musim panas abadi, tapi seiring berjalannya waktu, mau tidak mau aku harus menyadarinya.

     Perasaan lapar itu terus ada, dan aku selalu mencari sesuatu yang lebih memacu.

     Lalu, bagaimana jika aku sudah mencapai puncak kebahagiaan yang tidak bisa lebih lagi?

     Rasa dingin di hati ini, bagaimana cara menghangatkannya?


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close