NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 8 Chapter 2

 Penerjemah: Nobu

Proffreader: Nobu


Chapter 2

 “Permainan Berbahaya”

♣♣♣

     Senja.

     Setelah selesai bekerja paruh waktu, aku kembali ke rumah. Hari ini terlalu banyak yang terjadi, aku sedikit lelah. Ingin cepat-cepat tidur.

     Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Shiroyama-san, ya? Kurasa tidak akan ada masalah karena Saku-neesan bersamanya, tapi dia bilang ingin berlatih aksesori.

     ...Mungkin saja dia sudah pulang?

     Sambil memikirkan hal itu, aku membuka pintu masuk. Namun, di dekat pintu, tergeletak sepasang sneaker wanita yang tidak kukenal.

     Sepertinya, dia benar-benar berencana menginap. Yah, ayah juga sudah setuju, jadi tidak masalah.

     Lalu, dari dalam rumah, terdengar langkah kaki yang ringan.

     Shiroyama-san menuruni tangga dari lantai dua... dan... eh?

     Aku terpaku melihat pemandangan itu.

     Shiroyama-san, entah mengapa, mengenakan kostum pelayan.

     Bisa dibilang, ini semacam kostum cosplay, ya? Bukan tipe yang tertutup dengan banyak kain, melainkan lebih mirip ke model rok mini yang biasa dijual di Donki. Kontras hitam dan putihnya begitu jelas dan manis, tapi dia sungguh berani mengenakan pakaian seperti itu di musim dingin.

     "Bukan masalah keberanian!" Belum sempat aku melontarkan sanggahan dalam hati, Shiroyama-san sudah memegang ujung roknya dan menundukkan kepala.

     "Selamat datang kembali, Shishou-sama!"

     "Eh? Apa ini? Dunia macam apa ini?"

     Pintu masuk rumahku yang bergaya Jepang dan kostum pelayan itu benar-benar tidak cocok. Jangan-jangan, karena syok berpisah dengan Himari, aku tersesat ke Negeri Ajaib, ya?

     "Shiroyama-san. Kenapa kamu membawa kostum seperti itu...?"

     Shiroyama-san menjawab dengan senyum cerah seperti matahari.

     "Aku membawanya karena kupikir Himari-senpai akan senang!"

     "Oh, begitu. Seketika aku langsung paham."

     Anak ini, bukankah dia memang berniat menginap di rumah Himari sejak awal?

     ...Ngomong-ngomong, tadi pagi dia bilang sudah menyiapkan pesta Natal. Anak ini pasti tipe yang harus memulai dengan penampilan, ya. Entah kenapa, aku mencium aroma kesamaan dengan ibu Enomoto-san.

     Shiroyama-san dengan sangat bangga memamerkan kostumnya.

     "Waktu kutunjukkan pada Onee-sama, dia malah bilang suruh pakai ini buat bersih-bersih rumah!"

     "Hei, barusan kamu memanggil Saku-neesan 'Onee-sama'? Serius, jangan begitu..."

     Lagipula, kakakku itu benar-benar menyuruh murid SMP yang menumpang di rumah untuk bersih-bersih...

     Namun, Shiroyama-san yang tidak peduli tampak gembira, berputar di tempat. Rok mininya berkibar dan meracuni pandangan.

     Lalu, dia meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, dan dengan gaya pelayan nakal berkata,

     "Shishou-sama. Apakah kamu mau makan dulu? Mandi? Atau mungkin... ak-se-so-ri?"


"Itu bukan pelayan, melainkan istri baru..."

     Melihat dia memaksa untuk berlatih aksesori bersamaan dengan makan, seolah-olah dia adalah istri iblis, meskipun ucapannya bertolak belakang.

     Tidak, tidak. Bukan begitu maksudnya. Aku terbawa suasana dan tanggapanku malah melenceng. Aku harus mengembalikan arah pembicaraan...

     "...Shiroyama-san. Kamu tipe yang suka bercanda keterlaluan begitu?"

     "K-karena sudah terlanjur kubuat, aku ingin mencobanya sekali saja..."

     Dia mengaku dengan malu-malu.

     ...Hmm. Entah kenapa, karena aku tidak perlu mencurigai motif tersembunyi seperti Himari atau Enomoto-san, mungkin ini lebih polos dan menggemaskan. Mengesampingkan fakta bahwa dari luar aku hanya terlihat seperti cabul yang membiarkan siswi SMP bercosplay dan menikmati situasi ini, skenario ini sebenarnya tidak buruk.

     "Hm? Kostum itu, jangan-jangan buatan tangan?"

     "Betul sekali!"

     "Wah. Terlepas dari situasinya, kamu hebat sekali..."

     Memang benar, dibandingkan dengan yang dibeli di toko diskon, kainnya terasa lebih tebal dan kokoh. Ditambah lagi, di ujung roknya dihiasi bunga mawar yang terbuat dari kain.

     Hebat sekali Shiroyama-san. Benar-benar terbuat dengan baik. Dari sudut pandangku yang amatir ini, tidak kalah dengan hasil jahitan profesional.

     "Terlepas dari apa yang dipikirkan Saku-neesan, aku tidak merasa senang kok..."

     "Tapi waktu festival budaya, kalian semua totalitas dengan kostum, kan? Aku kira itu hobi Yuu-senpai..."

     "Pencemaran nama baik yang keterlaluan!"

     Ngomong-ngomong, memang benar waktu festival budaya para gadis mengenakan gaun gotik.

     Dan Shiroyama-san juga, waktu pertama kali bertemu, dia menyerang dengan kostum maskot. Mungkin dia tipe anak yang suka bermain peran. Serius, dalam hal itu dia mungkin cocok dengan Himari.

     "Ada pakaian biasa, kan? Yang itu saja lebih baik..."

     "...Ah!"

     'Ah' apa?

     Hei, 'Ah' itu maksudnya apa?

     "Jangan-jangan..."

     "P-pakaian biasa, lupa kubawa..."

     Kenapa bisa begitu?

     Jangan-jangan isi ransel besar itu hanya kostum untuk acara cosplay ini? Dia memang bilang kabur dari rumah, tapi sepertinya dia malah menganggapnya seperti piknik kecil???

     ...Bagaimana ini? Situasi darurat ringan. Kalau ibu pulang pada saat seperti ini, aku bisa-bisa benar-benar diusir dari rumah...

     Ketika kami sedang berbicara, Saku-neesan menuruni tangga dari lantai dua. Karena seharian menikmati gadis cantik berbaju pelayan, kulitnya terlihat lebih bersinar...

     "Oh, adik bodoh. Kalau sudah pulang, cepatlah naik."

     "Saku-neesan. Jangan suruh siswi SMP bercosplay, pinjamkan dia sesuatu untuk dipakai..."

     "Dasar kamu ini, masih saja tidak punya daya tarik. Seorang gadis cantik sudah menyambutmu dengan kostum pelayan, seharusnya kamu lebih bersukacita."

     "Aku bukan Saku-neesan, jadi aku tidak punya hobi seperti itu..."

     Dengar ya. Meskipun biasanya aku selalu berkata, "Ugh...!" setiap kali Himari bertingkah iseng atau Enomoto-san berlagak kucing, aku tahu ada batas yang tidak boleh dilewati. Jika tadi leher belakangnya ditunjukkan padaku, jujur saja itu akan berbahaya, tapi syukurlah masih aman. Aku masih bisa mempertahankan ketenangan di ambang batas.

     Dari gerak-gerik yang santai itu, aku bisa merasakan kekuatan Himari sebagai seorang model. Kenapa ya, aku jadi kembali menemukan sisi baik mantan pacarku gara-gara cosplay siswi SMP?

     "Kalau kamu memang kepikiran, pinjamkan saja pakaianmu."

     Saku-neesan memakai sandal jepitnya sambil membuka pintu depan.

     Sepertinya, dia sudah mengenakan pakaian luar seadanya, jadi dia mungkin akan pergi bekerja paruh waktu di minimarket.

     "Tidak, pakaian laki-laki kan tidak boleh..."

     "Padahal merasa senang juga, kenapa sok jual mahal gitu. Apa kamu lagi masa puber?"

     "Tentu saja aku lagi masa puber, tahu? Karena ini masa puber, bisakah kamu berhenti mengatakan hal seperti itu di depan umum?"

     Saku-neesan berbalik dan meletakkan tangannya di bahu Shiroyama-san.

     Kemudian, dengan ekspresi yang sangat serius, dia berbicara.

     "Mei-chan. Kalau nanti si Adik Bodoh ini mencoba melakukan sesuatu padamu saat aku tidak ada, segera lari ya. Tenang saja, di minimarket ada banyak alat pertahanan diri."

     "Kenapa begitu? Justru Saku-neesan yang lebih berbahaya, kan?"

     "Pria yang baru putus cinta itu sedang haus kehangatan. Kalau dia tiba-tiba datang dan bilang, 'Aku sudah melajang, dengarkan keluh kesahku,' waspadalah agar kamu bisa segera kabur."

     "Berhenti memberikan nasihat yang seolah dipotong dari majalah wanita..."

     Dan Shiroyama-san, dengan wajah yang sangat serius, mengangguk.

     "Baik! Aku akan selalu menyiapkan sneaker di dekatku!"

     "Kenapa dia tidak meragukannya, ya...?"

     Anak ini, jangan-jangan dia memang tidak menyukaiku??

     Saku-neesan tertawa terbahak-bahak sambil hendak keluar dari pintu depan... lalu, seolah teringat sesuatu, dia menoleh padaku dengan seringai.

     "Ngomong-ngomong, adik bodoh. Bagaimana dengan karyawan baru yang itu?"

     "Ugh..."

     Itu pasti tentang Mera-san.

     Dia terlihat sedikit senang, dan dia pasti tahu siapa anak itu saat merekrutnya. Dulu, saat ada keributan pengembalian aksesori, aku meminta Saku-neesan untuk menanganinya, dan dia pasti mengetahuinya saat itu. Orang ini memang pintar, jadi biasanya hanya dengan mendengar nama sekali saja dia sudah ingat...

     "Saku-neesan. Seharusnya kamu memberitahuku lebih dulu tentang hal seperti itu."

     "Kalau aku memberitahumu lebih dulu, kamu pasti akan kabur."

     "Yah, memang benar sih..."

     Memang benar, jika diberitahu sebelumnya, aku mungkin akan mencari alasan untuk melarikan diri. Meskipun aku tidak lagi memedulikan kejadian sebelumnya, faktanya itu bukan perasaan yang menyenangkan.

     "Apakah kedatangan Mera-san untuk bekerja paruh waktu itu kebetulan?"

     "Tentu saja. Sepertinya, kenalan ibu berkonsultasi tentang mencari tempat kerja paruh waktu untuk putrinya."

     "Dunia ini sempit, ya..."

     Yah, ibu memang punya banyak kenalan di kampung halaman ini. Haruskah disebut kepiawaian berbisnis yang luar biasa?

     "Jadi? Kalian rukun, kan?"

     "............"

     Dia menanyaiku dengan nada yang sangat menyenangkan.

     Untuk Saku-neesan yang seperti itu, aku membalasnya dengan desahan napas yang sangat panjang.

     "Aku kabur."

     "Hah?"

     Urat di pelipis Saku-neesan menonjol jelas. dengan senyum yang sangat cantik namun menakutkan, dia mendekat sambil membunyikan jari-jari kedua tangannya.

     "Adik Bodoh? Kamu ini, beraninya kabur hanya karena tidak suka dengan karyawan baru?"

     "B-bukan begitu! Mana mungkin aku kabur!"

     Lagipula, aku tahu ini akan terjadi kalau aku pulang ke rumah!

     Mengingat kejadian siang tadi, perasaanku jadi sedikit berat.

     "Mera-san yang kabur. Begitu melihat wajahku, dia langsung bilang sakit perut pada ayah, lalu dalam sekejap pergi dari minimarket. Dan dia tidak kembali."

     "............"

     Saku-neesan tersenyum tipis.

     Dengan aura kemarahan yang lebih kuat dari sebelumnya, dia tertawa aneh, "Fufufufufu."

     "Beraninya dia membolos dengan alasan palsu hanya karena sedikit manis? Apa perlu aku menyeretnya ke sini sekarang dan membiarkannya bekerja selama dua puluh empat jam?"

     "Saku-neesan? Sifat aslimu keluar, Saku-neesan? Shiroyama-san ketakutan, jadi kendalikan dirimu, Saku-neesan?"

     Dan juga, jangan lakukan itu, Saku-neesan? Kalau dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja, kita pasti kalah.

     Dan di bawah tekanan aura menakutkan yang dipancarkan oleh Saku-neesan, Shiroyama-san hampir menangis sambil berucap, "Kyaaah~..." Mengelola minimarket sambil membuat orang pipis di celana karena niat membunuh, apa ini seperti SAKAMOTO DAYS?

     "Kalau begitu, Saku-neesan. Hati-hati di jalan."

     "Ya, ya. Ayah akan segera pulang, jadi jangan berisik."

     Setelah mengantar Saku-neesan pergi, aku akhirnya masuk ke dalam rumah.

     Ketika aku duduk di sofa ruang tamu, seorang pelayan menyuguhkan teh.

     Hmm... wanginya enak sekali. Ini adalah Earl Grey dari kardus produk kedaluwarsa di dapur kami. Jika diseduh oleh pelayan, teh instan pun berubah menjadi aroma yang semarak.

     "Terima kasih. Wanginya sangat enak."

     "Seorang pelayan juga senang jika Tuannya bisa gembira."

     "Fufufu."

     "Ahahaha."

     Bukan "Fufufu."

     Entah apa yang diterimanya. Dan Shiroyama-san juga, jangan hanya diam berdiri di samping sofa. Jangan-jangan, Saku-neesan seharian ini terus membiarkannya melakukan hal seperti ini untuk bersenang-senang???

     "Shiroyama-san. Untuk sementara, bisakah kamu mengganti kembali pakaianmu yang tadi pagi? Kalau Saku-neesan sudah pulang, aku akan minta dia menyiapkan pakaian ganti yang layak untukmu..."

     "Gahn!"

     "Bukan, bahkan kalau diucapkan pun itu tidak benar. Lagipula, kenapa kamu tidak mau mengganti baju..."

     Shiroyama-san berkata dengan wajah cemberut.

     "Sayang sekali kalau tidak dipakai, padahal sudah susah-susah kubuat."

     "Yah, kalau Shiroyama-san baik-baik saja, enggak masalah sih. Tapi, apa kamu enggak kedinginan di musim seperti ini?"

     "Tapi berpenampilan modis memang begitu, kan?"

     "Berpenampilan modis... benarkah...?"

     Aku yang tidak peka ini tidak tahu, tapi apakah cosplay bisa dikategorikan sebagai gaya busana? Ah, sudahlah, kalau Shiroyama-san memang menyukainya, tidak masalah.

     "Oh, Yuu-senpai. Yang tadi itu jawabannya apa?"

     "Eh? Jawaban yang mana?"

     Ada apa memangnya?

     Saat aku memiringkan kepala, Shiroyama-san berputar di tempat dan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

     "Apakah kamu mau makan dulu? mandi? A-t-a-u..."

     "Itu seriusan?"

     "Aaaah! Yuu-senpai, biarkan aku menyelesaikan kalimatnya!"

     "Tidak mau. Kenapa semangat sekali? Tadi kan kamu malu-malu..."

     Jangan-jangan, setelah mencobanya sekali, dia jadi santai dan menikmatinya?

     Meninggalkan Shiroyama-san yang terlihat sedikit tidak puas, aku bertanya pada diriku sendiri.

     Makan, atau mandi?

     Jujur saja, aku lapar dan ingin mandi. Bahkan, jika bisa melakukan keduanya sekaligus, itu akan sempurna. Ini sudah abad kedua puluh satu, tapi jangankan robot kucing, melakukan makan dan mandi secara bersamaan saja tidak bisa. Yah, mungkin ada yang berpendapat lebih baik menikmatinya secara terpisah, tapi bagiku yang pemalas ini, bersamaan pun tidak masalah. Sekalian saja pelatihan aksesori juga...

     (...Eh?)

     Tiba-tiba aku merasakan keanehan.

     Apa ya? Pelatihan aksesori. Ada sesuatu yang aneh mengganjal dari kata itu. Seperti sensasi kasar, atau apalah.

     Aku sendiri ingin mempelajari teknik aksesori kain milik Shiroyama-san. Itu sudah jelas, perasaan jujurku, tapi...

     "...Yah, sudahlah."

     Aku tidak begitu paham.

     Aku menelan perasaan yang tak terucap itu, dan memutuskan untuk mandi saja.

     "Shiroyama-san. Bolehkah aku mandi duluan?"

     "............"

     Namun, Shiroyama-san.

     Entah mengapa, dia mengangkat bahu seolah berkata, "Haaah..." Sial, ini menyebalkan.

     "Yuu-senpai. Kamu tidak mengerti."

     "Eh? Apanya?"

     "Karena aku sudah berpenampilan modis, jadi aku harus benar-benar mendalami peran."

     "Maksudmu, gerakan istri baru yang palsu tadi itu?"

     Sepertinya, reaksiku tidak menyenangkan baginya.

     Shiroyama-san menunjukku dengan tajam, lalu mengajukan permintaannya.

     "Yuu-senpai, sekarang kamu adalah guruku. Beri aku perintah yang sesuai dengan peranku."

     "Apakah seorang murid yang memerintah gurunya itu sudah mendalami peran?"

     Astaga, anak ini, dia tipe yang tidak suka bermain-main kalau tidak serius...

     Yah, Shiroyama-san memang seperti kreator yang cukup mendalami sesuatu. Mungkin ini cara dia mengasah senternya.

     Baiklah. Sebagai gurunya di sini, aku harus mengikutinya. Tidak ada alasan untuk menolak, kan?

     —Bayangkan.

     Aku adalah pria yang hebat yang mempekerjakan seorang pelayan. Mungkin aku tinggal di rumah besar di pinggir kota, setiap hari pergi kerja dan pulang dengan mobil mewah. Tunggu, ini bukannya sama dengan Hibari-san?

     Aku tidak suka jika ada kesamaan dengan kenalan... Aku harus membuat perubahan di sini. Oke, mari kita naikkan sedikit usianya. Aku adalah pria paruh baya yang menarik. Jika ada yang mendengar, mereka mungkin akan tertawa, tapi di sini hanya ada Shiroyama-san dan ini hanya khayalanku, jadi masih bisa ditoleransi.

     Aku berdeham seperti layaknya orang penting, lalu memerintah pelayan itu.

     "Pelayan. Siapkan air mandiku."

     "Baik, Shishou-sama!"

     Shiroyama-san menundukkan kepala dengan anggun.

     ...Oh. Ini cukup berwibawa. Dia bukan hanya gadis yang sangat suka cosplay, ya. Tidak, dia memang gadis yang sangat suka cosplay, tapi entah kenapa aku merasa dia punya keunikan tersendiri. Begitulah yang kurasakan.

     Mengikuti Shiroyama-san, aku menuju kamar mandi.

     Bak mandi sudah terisi air. Dan suhunya pun terasa pas sekali sesuai seleraku. Pelayan baru kami ini terlalu sempurna...

     Di ruang ganti, Shiroyama-san berdiri dengan tenang membawa keranjang pakaian kotor. Aku melepaskan hoodie dan meletakkannya di keranjang itu.

     Lalu Shiroyama-san berkata dengan sopan,

     "Shishou-sama. Bagaimana dengan pekerjaan Anda hari ini?"

     ...Oh. Sungguh suasana sehari-hari dengan seorang pelayan.

     Rasanya seperti percakapan yang terjadi di anime atau semacamnya saat seorang bangsawan pulang. Aku harus menjawabnya dengan baik. Apa ya yang berbeda dari pekerjaan paruh waktu hari ini...?

     "Hmm. Karena hari Natal, ayam goreng cukup banyak terjual."

     "Itu sangat bagus, Shishou-sama!"

     Sepertinya jawabanku benar.

     Aku terus melaporkan pekerjaan paruh waktu hari ini sambil menciptakan suasana seperti orang kaya.

     "Dan juga, karena ada kue Natal yang tidak terjual, jadi kubelikan untukmu sebagai oleh-oleh, Pelayan."

     "Tidak mungkin. Seorang pelayan rendahan seperti saya, tidak bisa menerima hal seperti itu..."

     "Tidak apa-apa. Aku ingin menghargaimu yang selalu melakukan pekerjaan sempurna."

     "Kemurahan hati Anda, saya sangat menghargainya!"

     "Eh? Pelayan, kamu tidak apa-apa dengan kue shortcake, kan?"

     "Mohon maaf, itu kesukaan saya!"

     Kalau begitu bagus.

     Tadi, saat melihat-lihat ruang tamu, aku terkejut karena sudah dibersihkan total. Kamar mandi pun berbau bersih seperti baru disikat. Atau bisa juga disebut bau pembersih jamur.

     Sambil bertanya-tanya apakah Saku-neesan ikut membantu bersih-bersih... syukurlah aku sudah membeli kue sebagai tanda terima kasih...

     Aku melepaskan jins dan meletakkannya di keranjang pakaian kotor yang dipegang sang pelayan.

     Seolah sudah menungguku, sang pelayan lalu mengangkat topik berikutnya.

     "Shishou-sama. Bagaimana dengan harga saham hari ini?"

     "Harga saham? Harga saham... yah, lumayanlah."

     "Itu sangat bagus, Shishou-sama."

     "Hmm. Bagus sekali."

     Entah apakah seorang pelayan tiba-tiba akan membahas harga saham, itu masih menjadi misteri, tapi setidaknya jika Shiroyama-san baik-baik saja dengan itu, maka tidak masalah.

     Kemudian, aku menghela napas lega.

     Di cermin wastafel, bayangan diriku yang hanya memakai pakaian dalam terpantul. Di belakangku, dengan tenang berdiri Shiroyama-san, pelayan yang sangat berwibawa.

     Aku menjadi tenang dan langsung memegang kepalaku di tempat.

     (Ini tidak benar—...)

     Gawat, aku benar-benar lengah.

     Entah kenapa, karena sang pelayan mengikuti dengan begitu normal, aku jadi biasa saja melepaskan pakaianku. Bodoh sekali aku ini. Apa-apaan "harga saham lumayan"? Justru tingkat kelonggaran sekrup di otakku yang lumayan!

     "............"

     Tiba-tiba aku merasa malu.

     Aku menyembunyikan celana dalamku dengan gugup, berusaha tidak menatap Shiroyama-san secara langsung. ...Aku yang sekarang, kalau dilihat dari luar, sungguh menjijikkan, ya?

     "Shiroyama-san? Drama kecil ini, sampai kapan akan terus berlanjut?"

     "Eh?"

     Shiroyama-san terlihat benar-benar bingung.

     Tersentak kaget, dia menjatuhkan keranjang pakaian kotor. Dia terduduk di lantai, lalu mengeluh dengan wajah pilu.

     "A-apakah pelayan ini melakukan kesalahan!?"

     Semuanya.

     Seluruh situasi ini akan menjadi sejarah kelam dalam hidupku. Rasanya seperti menuju penjara. Jika aku bintang Hollywood, mungkin akan dimulai adegan pelarian yang glamor dan penuh perjuangan.

     "Shiroyama-san. Aku mau mandi..."

     "Dipecat!? Jangan-jangan saya dipecat!? Kalau sampai begitu, orang tua dan adik perempuan saya yang menunggu kiriman uang tidak akan bisa makan!"

     Kamu tinggal berdua dengan kakak perempuanmu, kan?

     Shiroyama-san entah mengapa memamerkan kisah latar belakang yang tidak kukenal dan tampak puas. Sekalian, dia berpura-pura menangis dengan suara "boo-hoo." Sepertinya dia sedang berakting sebagai pelayan yang membuat kesalahan dan dimarahi tuannya. Aktingnya yang berlebihan ini, entah kenapa mirip dengan gaya Himari dan itu membuatku kesal.

     "Tidak, tidak. Aku sudah tidak ada lagi yang bisa dilepas..."

     "Bagiku sih tidak masalah."

     Tidak masalah, katamu?

     Lebih spesifiknya, sikapmu yang santai dengan mengatakan, "Kamu ini terlalu berisik hanya dengan telanjang?" itu tidak baik. Dalam situasi ini, mengapa aku yang dilihat malah merasa malu?

     Ngomong-ngomong, Shiroyama-san, dia juga santai saja ingin melepas kostum maskotnya saat festival budaya, kan? Jangan-jangan anak ini, dia termasuk tipe... yang ada di setiap angkatan, yaitu gadis yang menganggap anak laki-laki sebaya seperti adiknya sendiri dan tidak lebih dari itu?

     "Shiroyama-san. Ini memang niatmu bermain-main, tapi kalau sampai ayahku atau yang lain melihat, bisa berbahaya..."

     "Hmm..."

     Bagi Shiroyama-san, bermain-main dengan kostum pelayan yang sudah susah payah dibuatnya tampaknya lebih penting. Dia menghela napas tidak puas mendengar permintaanku untuk berhenti.

     "Tapi Onee-sama bilang, impian Yuu-senpai adalah memiliki gadis berkostum pelayan yang menggosok punggungnya."

     "Serius, jangan percaya omongan Saku-neesan!"

     Orang itu, apa yang dia masukkan ke dalam kepala siswi SMP yang lugu ini!

     Yah, umm. Bukan berarti aku tidak tertarik, sih. Sebagai laki-laki, wajar kalau sesekali memimpikan menjadi orang sukses seperti itu. Tapi, kurasa bukan sekarang waktunya untuk memenuhi keinginan itu...!

     Ketika aku terus bersikap ragu-ragu, Shiroyama-san mengerucutkan bibirnya dan memberikan pukulan terakhir.

     "Lagipula, sepertinya aku tidak akan merasakan apa-apa meski melihat Yuu-senpai..."

     "Anak ini, sungguh tidak sopan!?"

     Laki-laki itu akan tertikam dengan ucapan seperti itu, jadi aku sungguh berharap dia berhenti. Bukan berarti aku percaya diri, tapi dikatakan dengan nada serius oleh gadis yang lebih muda, itu sungguh menyakitkan...

     Sial. Kalau begini, aku akan menggunakan kekuatan.

     Aku mencengkeram kedua bahu Shiroyama-san, lalu mendorongnya keluar dari ruang ganti.

     "Kyaaa! Memecat pelayan secara tidak adil itu tidak boleh! Hak-hak pekerja—!"

     "Penyebabnya adalah pelecehan seksual terhadap majikan, lho...!"

     Saat kami berdua ribut, tiba-tiba pintu depan terbuka.

     Apakah Saku-neesan sudah kembali? Aku menoleh, dan yang kulihat adalah—

     Ayahku, yang baru pulang kerja dan hendak tidur.

     Kantong plastik yang dibawanya, yang mungkin berisi makan malam, terjatuh dengan bunyi "Doshah!"

     Di hadapan ayahku, ada putranya sendiri yang setengah telanjang, mendekati (terlihat seperti itu) seorang pelayan gadis cantik. Dan entah mengapa, pelayan gadis cantik itu hampir menangis.

     Ayah menghela napas, lalu berkata dengan sangat pilu,

     "...Yuu. Nanti kalau ibu pulang, kita bicara bertiga ya."

     "Tunggu, salah paham! Ini benar-benar salah paham, dengarkan penjelasanku!?"

     "Sudahlah. Jangan menyalahkan dirimu. Tadi Sakura sudah bilang. Katanya semalam kamu bertengkar dengan Himari-chan, ya? Yuu pasti sedang bermasalah dalam hidup dan kelelahan. Jadi, melakukan hal seperti ini pun, itu adalah tanggung jawab ayah dan ibu..."

     "Kalau mau bertanggung jawab, tolong dengarkan dulu penjelasanku...!"

     Gawat. Ayahku, tidak seperti Saku-neesan atau yang lain, dia tidak memiliki kapasitas mental untuk menghadapi hal-hal tak terduga seperti ini.

     Aku mencoba menjelaskan situasinya sejelas mungkin, dengan cara yang paling lembut.

     "Kostum pelayan ini dibawa sendiri oleh Shiroyama-san, dan dia sekarang sedang bermain peran jadi pelayan. Sebagai bagian dari itu, dia bersikeras ingin menggosok punggungku, makanya aku berusaha menghentikannya dengan mengusirnya dari kamar mandi..."

     Tiba-tiba, entah mengapa ayahku menepuk pundakku dengan lembut.

     Kemudian, sambil menyeka air mata di balik kacamata, dia tersenyum menenangkanku. Persis seperti seorang anggota organisasi perlindungan hewan yang mendekati binatang buas, meyakinkan bahwa dia bukan musuh.

     "Begini, Yuu? Biasanya tidak ada gadis yang memakai kostum pelayan sendiri di rumah kenalan laki-laki, lalu mencoba menggosok punggungnya di kamar mandi, lho?"

     "Memang benar itu logis sekali, tapi...!"

     Situasinya terlalu berbau komedi romantis, kalau begini terus tidak akan selesai.

     Aku harus mengatasi situasi ini, kalau tidak, ibu yang salah paham bisa membunuhku... Benar! Aku bisa minta Shiroyama-san yang menjelaskan. Kalau dia mendengarnya langsung dari Shiroyama-san, ayah pasti akan percaya.

     "Shiroyama-san! Tolong jelaskan sebentar... Hmm?"

     Shiroyama-san itu, dia diam saja menatap adegan lucu antara aku dan ayahku.

     Tak lama kemudian, dengan wajah serius, dia seolah mendapat ide cemerlang ('Ping!'). Dia melakukan curtsy—yaitu salam dengan memegang ujung rok dan sedikit mengangkatnya—sambil menundukkan kepala ke arah ayahku.

     "Kalau Anda ayah Yuu-senpai, berarti Anda adalah tuan rumah ini, ya! Selamat datang kembali, Tuan..."

     "Hentikan! Jangan membuat masalahnya jadi lebih rumit!"

     Setelah itu, butuh tenaga ekstra bagiku untuk meluruskan kesalahpahaman ayah.

     Padahal, aku hanya ingin mandi...

♣♣♣

     Sambil berendam di bak mandi, aku menatap langit-langit dan berpikir.

     ...Sial. Aku terbawa suasana oleh Shiroyama-san.

     Lagipula, aku punya kebiasaan aneh, yaitu suka bercanda keterlaluan, ya. Percakapanku dengan Himari juga sering seperti ini, dan aku juga melakukannya saat bermain "nyaa-nyaa" (terlarang) bersama Enomoto-san dalam perjalanan ke Tokyo. Aku harus introspeksi.

     Setelah selesai mandi, ayahku tampak gembira di ruang tamu.

     Lebih spesifiknya, dia sedang sedikit mabuk sambil dilayani oleh gadis pelayan cantik.

     "Wah. Aku terkejut sekali Yuu punya murid sepandai ini."

     "Kalau dipuji begitu, saya jadi malu, lho~"

     ...Apakah ini pemandangan neraka?

     Sial. Gawat. Aku hampir saja mengabaikannya dan kembali ke kamar karena penampilan ayah yang menyedihkan.

     Shiroyama-san mengenakan apron bermotif bunga yang lucu di atas seragam pelayannya. Ngomong-ngomong, itu barang pribadi Enomoto-san yang ada di dapur kami. Entah kenapa, kesan istri baru-nya semakin kuat, dan konsepnya benar-benar tidak jelas...

     Aku memasuki ruang tamu dengan perasaan jengkel.

     "Ayah juga, sedang menyuruh Shiroyama-san melakukan apa...?"

     "Tadinya aku mau mulai masak makan malam, tapi katanya Mei-chan sudah menyiapkan semuanya. Jadi, aku tanpa sadar menerima kebaikannya."

     Dia sudah memanggilnya Mei-chan...

     Di meja, berjejer beberapa piring. Bisakah disebut hidangan porsi besar? Ada nikujaga dan lobak rebus yang begitu luar biasa, seolah-olah dia baru saja membelinya entah kapan. Itu adalah masakan rumahan Jepang yang sudah lama tidak terlihat di rumah kami. Kehangatan masakan itu, sepertinya sukses meluluhkan hati pria paruh baya di rumah kami.

     Dengan senyum lebar di wajahnya, Shiroyama-san menuangkan shochu ke dalam gelas Ayahku yang wajahnya sudah memerah.

     "Mei-chan. Bagaimana kalau kamu jadi anakku saja?"

     "Serius boleh!?"

     Tidak boleh!

     Kamu seharusnya punya kakak perempuan yang menunggumu pulang!

     Ayah, bukannya tadi pagi kamu sempat bilang khawatir sama kakak perempuannya? Ternyata alkohol memang membuat orang jadi kacau, ya. Sudahlah, mari kita anggap saja begitu.

     Hmm. Himari memang punya bakat bikin orang terpikat, tapi anak ini juga jago banget menaklukkan orang yang lebih tua, ya. Bisa-bisanya dia menjinakkan Ayahku dalam sekejap, Shiroyama-san benar-benar anak yang menakutkan!

     Aku pun terpaksa duduk di meja. Jujur saja, aku ingin segera kabur, tapi perutku berkata lain.

     "Ayah, Shiroyama-san itu tamu, jadi bersikaplah sopan sedikit."

     "Habisnya, Sakura sekarang sudah dewasa dan sama sekali tidak mau memperhatikanku. Momoe dan Ume juga cuma muncul saat Obon atau akhir tahun saja..."

     "Momoe-neesan dan U-neesan kan sudah menikah, jadi mau bagaimana lagi..."

     Orang dewasa jangan menangis dong.

     Ayahku ini, biasanya orangnya tenang dan baik, tapi kalau sudah minum alkohol, rem emosinya jadi blong. Semoga sifat ini tidak menurun padaku.

     Kemudian, Shiroyama-san yang dengan santai mengambilkan nasi untukku, mendengus semangat lewat hidungnya.

     "Aku akan berusaha!"

     "Jangan semangat begitu menggantikan kakak-kakakku..."

     Anak ini, dia benar-benar berniat pulang, kan?

     Tidak apa-apa? Besok dia tidak akan membawa akta keluarga, kan? Ada kasus seperti ibu Enomoto-san, jadi aku benar-benar tidak bisa lengah.

     Untuk sementara, aku menerima mangkuk nasi.

     Aku mengambil lobak buri di depanku ke piring, lalu memotongnya dengan sumpit. ...Hmm. Begitu ditusuk sumpit, dagingnya langsung hancur dengan lembut, namun tetap mempertahankan bentuknya dengan tingkat kematangan yang sempurna. Ini benar-benar keahlian seorang seniman yang jarang terlihat.

     "Shiroyama-san. Ini, kamu beli di mana?"

     Lalu Shiroyama-san memiringkan kepalanya sedikit.

     "Aku yang membuatnya..."

     "Eh!?"

     Ketika aku terkejut, dia menatapku dengan tatapan tidak puas.

     "Yuu-senpai. Bagaimana imejku di matamu?"

     "Coba lihat penampilanmu sekarang..."

     Mana bisa aku membayangkan seorang pelayan memasak lobak buri. Yah, bahkan dengan imej Shiroyama-san yang biasa pun, aku tidak bisa membayangkannya. Kalau melihat dia berkata, "Rahasia supaya enak itu, harus pakai tutup panci yang pas!", aku pasti tidak sengaja akan tertawa...

     "Tapi ini hebat sekali. Benar-benar enak."

     "Kakakku suka masakan Jepang, jadi aku sering membuatnya."

     Dia terlihat sangat bangga.

     Baiklah. Sebagai guru, aku harus memujinya lebih banyak agar dia berkembang. Dengan misi yang kuat, aku mengarahkan sumpitku ke piring lain.

     Nikujaga.

     Menurut salah satu teori, ini adalah resep wajib untuk merebut hati laki-laki. Tentu saja aku juga menyukainya. Saat kentang, salah satu bahan utamanya, masuk ke mulutku, rasa nostalgia yang tak terlukiskan memenuhi mulutku.

     Hap, hap.

     ...Hmm. Ini seperti...

     Jenis rasa yang kalau kuberikan pada Saku-neesan, dia pasti akan bilang, "Adik bodoh. Nikahi saja dia." Aku harus menghabiskan semuanya di sini agar tidak masuk ke mulutnya...

     "Nikujaga ini juga, rasanya meresap sekali dan enak. Ngomong-ngomong, bukankah wortelnya berbentuk bintang itu luar biasa? Apa kita punya cetakan bentuk seperti itu di rumah?"

     "Ah, itu aku potong pakai pisau."

     "Hebat sekali!"

     Aku tahu dia terampil, tapi tidak menyangka sampai sejauh ini.

     Menurutku, kemampuannya setara dengan Enomoto-san. Enomoto-san sering membuat masakan Barat, tapi yang ini masakan Jepang, jadi berbeda dan bagus. Mungkin mereka berdua bisa membuka restoran saja. Aku bisa meminta Enomoto-san juga memakai kostum pelayan... Sial, jangan berimajinasi yang aneh-aneh, diriku!

     "Ngomong-ngomong, Shiroyama-san. Setelah makan malam ini, apa yang akan kamu lakukan? Kamu pasti lelah, jadi biarlah aku yang membereskan..."

     "Tidak masalah. Daripada itu, aku ingin berlatih aksesori!"

     Dengan suara yang sangat bersemangat, Shiroyama-san menyatakan.

     "Oh, pengaturan itu seriusan, ya? Aku kira cuma alasan untuk kabur dari rumah, jadi agak kaget."

     "Baiklah. Kalau begitu, setelah Shiroyama-san selesai mandi, kita lakukan di kamarku saja, ya."

     "Mohon bantuannya!"

     Ah, entah kenapa yang barusan itu terasa seperti murid dan guru sungguhan, mungkin bagus juga...

     Saat kami berdua menikmati gerakan guru-murid yang santai, entah mengapa ayahku mengangguk-angguk senang.

     "Wah, aku senang sekali bisa melihat Yuu bersenang-senang seperti ini dengan temannya."

     "A-Apa sih, Ayah? Kok tiba-tiba jadi serius begitu…"

     Aku sungguh berharap dia berhenti mengatakan hal-hal yang membuat malu di depan umum. Itu tidak pantas bagi remaja.

     "Lagipula, ada Himari dan Enomoto-san juga, kan..."

     "Mereka juga teman, tapi tidak benar-benar sefrekuensi denganmu, kan? Aku pikir memiliki rekan seperjuangan dalam aksesori itu rasanya berbeda."

     Yah, mungkin saja begitu.

     "Tapi ini bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan..."

     "Tentu saja itu hal besar. Ada perbedaan antara melakukan sesuatu sendirian dan memiliki rekan."

     Lalu Ayah, dengan perasaan haru, menyesap gelas shochu-nya.

     "Aku jadi teringat waktu kamu masih SMP, kamu pernah bilang ingin bekerja saja daripada melanjutkan sekolah."

     "Ugh!?... Ayah, bisakah tidak membicarakan hal itu di depan Shiroyama-san?"

     Itu sekarang menjadi sejarah kelam bagiku.

     Sebelum bertemu Himari, aku berniat bekerja setelah lulus SMP. Melanjutkan jalur aksesori dan mengejar mimpi... kedengarannya bagus, tapi sebenarnya, aku tidak cocok dengan teman-teman sekelasku, dan jujur, aku tidak ingin melanjutkan ke SMA.

     Mendengar itu, Shiroyama-san berkata dengan terkejut,

     "Yuu-senpai. Benarkah begitu?"

     "Yah, begitulah. Setelah bicara dengan Ayah dan yang lain, aku berjanji kalau aku berhasil menjual seratus aksesoris di festival budaya SMP, aku boleh langsung menekuni jalur aksesori tanpa melanjutkan ke SMA."

     Ketika aku menceritakan kisah memalukan yang hanya bisa kubilang sebagai kenakalan masa muda, entah mengapa Shiroyama-san mendekatkan tubuhnya.

     "Lalu, bagaimana hasilnya!?"

     "Eh? Ah, tidak..."

     Ada apa dengan tatapan tajam itu?

     Apaka ceritanya semenarik itu? Padahal, itu hanyalah kisahku yang bodoh dan mengira bisa sukses meski hanya lulusan SMP...

     "Pada akhirnya, aku sendiri tidak bisa menjual apa-apa. Ketika aku sedang memegang kepala di depan tumpukan stok yang bodoh itu, Himari datang. Melalui Hibari-san, dia mempromosikannya di media sosial Kureha-san yang sekarang menjadi model. Dan akhirnya berhasil terjual habis."

     Kalau dipikir-pikir, waktu itulah Shiroyama-san pertama kali bertemu Himari saat membantu di stan.

     ...Entah kenapa, rasanya aneh. Di festival budaya SMP yang jelas-jelas menjadi titik balik dalam hidupku, Shiroyama-san juga menemukan titik baliknya di sana. Fakta bahwa kami berdua sekarang menjadi teman aksesoris sungguh takdir yang aneh.

     Ketika aku sedang bernostalgia... Shiroyama-san masih terlihat tidak puas.

     "Ada apa?"

     "...Tidak. Aku hanya berpikir, kenapa Yuu-senpai pergi ke SMA padahal sudah memenuhi janji itu."

     Oh, jadi itu maksudnya.

     Memang benar, setelah menyelesaikan tugas festival budaya, aku seharusnya sudah lulus SMP dan mulai bekerja. Tapi aku malah melanjutkan ke SMA.

     "Itu karena setelah festival budaya, aku dibujuk oleh Himari. Bagaimanapun juga, bekerja hanya dengan ijazah SMP resikonya besar. Jadi, lebih baik punya rencana cadangan..."

     Jarang sekali mimpi bisa terwujud.

     Aku bisa mengerti bahwa desirable untuk memiliki pilihan lain jika terjadi kegagalan. Yah, kenyataannya bukan hanya Himari, tapi juga hasil pembicaraan dengan Hibari-san dan Saku-neesan.

     "Tapi alasan terbesarku tetap karena ada Himari. Orang tuaku juga menyarankanku untuk melanjutkan sekolah, dan yang terpenting aku ingin menjalani kehidupan sekolah bersamanya."

     Yah, syukurlah karena itu jadi begini.

     Meskipun begitu, aku tidak menganggap dua tahun di SMA itu sia-sia. Aku bertemu kembali dengan Enomoto-san, dan mendapatkan banyak pengalaman melalui aksesoris. Jika tidak pergi ke SMA, aku pasti tidak akan pernah bertemu Tenma-kun dan Sanae-san dari Tokyo.

     "Yah, kurang lebih begitu aku melanjutkan ke SMA... memangnya ada apa?"

     "Eh? Ah, tidak..."

     Ada apa?

     Sikapnya seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tidak seperti Shiroyama-san biasanya.

     Ketika aku merasa heran, Ayah tersenyum dengan lembut.

     "Yuu. Mei-chan. Setelah makan malam, kalian segera naik ke kamar saja. Jangan khawatir, aku yang akan membereskan."

     "Eh. Ah, iya..."

     Entah kenapa, Ayah menatap Shiroyama-san dengan tatapan lembut.

     Sepertinya dia menyadari sesuatu. Apa ya? ...Agak penasaran, tapi rasanya dia tidak ingin terlalu banyak ditanya.

     Untuk sementara, aku menghabiskan makan malam seperti yang Ayah katakan.

     "Shiroyama-san. Kalau kamu sudah siap, datanglah ke kamarku."

     "Ah, baiklah..."

     Entah kenapa dia mendadak jadi tidak bersemangat...

     Yah, semoga saja itu hanya perasaanku. Kalau kami mulai membicarakan tentang aksesori, dia pasti akan kembali bersemangat.

♣♣♣

     Setelah kembali ke kamar, aku langsung membersihkan sedikit.

     Sudah lebih dari sebulan aku sibuk dengan pekerjaan paruh waktu di toko kue dan ujian akhir semester. Kalau dipikir-pikir, kamarku belum sempat dibersihkan.

     Membersihkan sedikit... Sejujurnya, hanya menyingkirkan barang-barang yang berserakan di lantai. Setidaknya, kamarku sudah cukup rapi untuk dimasuki Shiroyama-san... seharusnya... entahlah.

     Kalau Himari atau Enomoto-san, kamar serapi ini sudah cukup, tapi apakah Shiroyama-san akan setenang itu? Sial, kenapa aku malah jadi tegang sekarang. Terlalu percaya diri, ya. Mau kamarku bersih atau kotor, Shiroyama-san pasti tidak akan peduli.

     "Tapi, latihan aksesori, ya. Apa sebenarnya yang ingin dia lakukan?"

     Perkemahan... atau semacamnya, aku pernah melakukannya di rumah Himari.

     Tapi itu hanya menyediakan tempat bagiku untuk fokus membuat aksesori, tanpa ada diskusi mendalam tentang kesempurnaan atau produk jadi dengan Himari dan yang lainnya.

     Dengan Tenma-kun dan Sanae-san pun, aku pernah bertukar pendapat tentang aksesori yang sudah jadi, tapi belum pernah membuat aksesori bersama. ...Entah kenapa kalau membayangkannya sepertinya menarik. Suatu saat kalau ada kesempatan, aku ingin mencobanya.

     Sambil memikirkan hal itu, terdengar langkah kaki menaiki tangga. Sepertinya Shiroyama-san sudah selesai mandi.

     Dan pintu kamarku diketuk, "tok tok."

     "Yuu-senpai! Boleh aku masuk!?"

     Hmm? Entah kenapa, aku merasa semangatnya sudah kembali.

     Syukurlah. Yang tadi itu hanya perasaanku saja, atau mungkin Shiroyama-san juga sedikit lelah. Anak itu pasti sibuk juga hari ini.

     "Silakan."

     Setelah aku bersuara, pintu terbuka.

     Shiroyama-san masuk... dan aku terpaku.

     Entah mengapa, Shiroyama-san hanya mengenakan pakaian dalam.

     Aku langsung tersedak dan buru-buru memalingkan wajah. Meskipun slip yang dikenakannya menutupi hingga pinggang, ini benar-benar merusak mata.

     "Kenapa!?"

     "Ada apa?"

     "Tidak, maksudku pakaian itu..."

     Mendengar itu, Shiroyama-san memiringkan kepalanya, terlihat benar-benar bingung.

     "Menurutku, tidak mungkin juga kostum pelayan dipakai buat tidur, sih…"

     Dan kamu juga tidak mungkin datang ke kamar laki-laki dengan pakaian seperti itu!

     Aku buru-buru membuka laci lemari dan menarik keluar sebuah hoodie yang lebih baru dari yang lain. Sambil berusaha tidak menatap Shiroyama-san secara langsung, aku menyodorkannya.

     "Emm. tidak apa-apa kan kalau kamu pakai hoodieku saat tidur?"

     "Ah! Aku pinjam ya!"

     Shiroyama-san tertawa sambil berkata, "Wah, ternyata dingin juga ya," lalu mengenakan hoodie itu dari kepala... Tidak, bukankah seharusnya ada hal lain yang lebih penting untuk dikhawatirkan daripada dingin?

     Anak ini, sungguh berbahaya. Lain kali, kalau ada kesempatan, aku harus meminta Himari atau Enomoto-san untuk memperingatkannya... Tunggu, kalau aku menjelaskan situasi ini, bukankah aku yang akan dihukum?

     Shiroyama-san merentangkan kedua tangannya. Hoodie milikku—yang memang pas untuk cowok SMA bertubuh tinggi—tentu saja kebesaran untuk gadis SMP sependek dia. Lengan hoodienya begitu panjang sampai-sampai terlipat sendiri.

     Mungkin pakaian Saku-neesan lebih baik, ya? Tapi kalau aku masuk ke kamarnya sembarangan, nanti aku bisa dibunuh...

     Sambil memikirkan hal itu, Shiroyama-san, entah mengapa, dengan gembira menggosok-gosokkan lengan baju yang terlipat dengan telapak tangannya.

     Dengan ekspresi kagum dan berkata "Ooooh," dia tersenyum padaku.


     "Punya Yuu-senpai besar, ya!"

     "............"

     Gawat.

     Anak ini tidak terlalu waspada, ya? Melihat dia begitu gembira mengenakan hoodieku, entah kenapa bikin perasaanku jadi campur aduk. Ah, bukan, bukan dalam artian aneh. Lebih seperti naluri melindungi, atau perasaan harus melindunginya. Sekarang aku paham kenapa Ayahku sampai berkata, "Mau jadi anakku saja?" Apa begini rasanya jadi seorang Ayah?

     Saat aku sendirian merasa gemas, Shiroyama-san berkata dengan penuh semangat,

     "Kalau begitu, mari kita berlatih aksesori!"

     "Ah, iya, benar..."

     Merasa bodoh karena tegang sendirian, aku pun kembali ke mode normal.

     Aku menyodorkan bantal duduk kepada Shiroyama-san, lalu kami duduk berhadapan di meja.

     "Jadi, apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan? Kalau soal teknis, kurasa lebih baik sambil langsung membuat aksesori... Ah"

     Saat itu, aku teringat sesuatu.

     ...Bagaimana dengan peralatan pembuatan aksesoriku yang ada di rumah Himari?

     Sejak liburan musim panas, aku diizinkan menggunakan kamar tamu di sana seperti bengkel. Ada beberapa alat yang disiapkan Hibari-san, tapi aku juga meninggalkan cukup banyak milikku sendiri di sana.

     Yah, aku bisa saja mengambilnya seperti biasa. Tapi, aku sudah putus dengan Himari. Dia juga bilang akan mundur dari pembuatan aksesori. Pasti canggung sekali.

     ...Yang terpenting, sulit rasanya bertemu Hibari-san. Bagaimana ya sikapnya nanti? Biasanya dia selalu memancarkan aura mendukungku lebih dari Himari, tapi masa sih dia akan bersikap biasa saja pada pria yang sudah membuat adiknya menangis?

     (Tapi, ini kan Hibari-san...!)

     Sulit ditebak. Sulit ditebak sekali.

     Ketika aku sendirian merintih, Shiroyama-san sedikit menjauh. Wajahnya seperti melihat film 'The Exorcist' untuk pertama kalinya.

     Aku merasa malu, lalu berdeham.

     "Emm. Jadi, bagaimana?"

     "Oh, ya. Kalau begitu..."

     Shiroyama-san berpikir sejenak...

     "Aku juga ingin membuat cincin seperti Yuu-senpai!"

     "Cincin? Baiklah, kalau begitu..."

     Aku membuka laci meja yang terkunci.

     Di dalamnya tersimpan beberapa prototipe aksesori. Sebenarnya, kebanyakan adalah yang tidak berhasil selama proses pembuatan, atau yang kubatalkan karena "tidak sesuai dengan bayangan". Di antara itu, aku mengambil beberapa cincin yang relatif layak.

     "Pertama, ada dua jenis cincin utama yang sering kubuat..."

     Salah satunya adalah cincin resin yang dibuat dengan mengeraskan resin.

     Resin, yaitu getah berbentuk cair, dikeraskan dengan disinari lampu inframerah. Proses pembuatannya sederhana, hanya menuangkan ke dalam cetakan dan menyinarinya dengan lampu, sehingga relatif mudah dipahami oleh pemula.

     Shiroyama-san memegang cincin prototipe transparan itu dan memeriksanya dengan cermat.

     "Choker Himari-senpai juga dari ini, kan?"

     "Betul. Keuntungannya adalah dengan menggunakan resin cair, desainnya bisa sangat bervariasi. Tergantung cetakan yang disiapkan, ukuran dan ketebalannya bisa diatur dengan bebas. Selain itu, warna dan polanya juga bisa diubah, jadi kalau sudah mendalami, cukup menyenangkan."

     Lalu, ada juga teknik yang sering kugunakan, yaitu mengunci benda di dalam resin. Seperti bunga Nirinso yang ada di cincin choker Himari, atau bunga Gekka Bijin di gelang Enomoto-san.

    Modifikasi seperti ini adalah keunikan aksesori resin.

     "Berarti serbaguna!"

     "Sebagai gantinya, ada kekurangannya juga. Umurnya lebih pendek daripada yang berbahan logam. Dalam tiga tahun, seringkali warnanya berubah, rusak, atau bahkan meleleh."

     Itu sebabnya aku terkejut Himari dan Enomoto-san memakainya begitu lama. Meskipun begitu, jika dilihat lebih dekat, aku tahu sedikit demi sedikit kualitasnya menurun.

     "Selain itu, ada juga yang namanya alergi resin. Kalau dipakai oleh orang yang tidak cocok, kulitnya bisa iritasi, jadi perlu dikonfirmasi dulu dengan klien."

     "Oh, begitu ya... Aku mengerti."

     Kemudian, aku meletakkan cincin perak di atas meja.

     "Satu lagi adalah jenis logam klasik. Aku sendiri menggunakan perak, dan menurutku kelebihannya ada pada kekuatan serta ketangguhannya."

     Tenma-kun di Tokyo juga fokus membuat cincin perak.

     Namun, meskipun sama-sama cincin perak, ada perbedaan dalam proses pembuatannya.

     "Ada dua cara membuat cincin logam, dan aku memilih metode yang disebut teknik penempaan. Sederhananya, ini adalah cara membentuknya dengan memukulnya menggunakan palu. Mungkin ini cara pembuatan yang terasa sangat logam sekali."

     "Ah, itu keren!"

     Seperti yang kuduga dari Shiroyama-san. Dia mengerti.

     Ya, teknik penempaan itu keren. Waktu yang dihabiskan untuk membentuknya dengan palu terasa seperti benar-benar sedang membuat aksesori dan bisa membuatku terbuai. Itu salah satu waktu favoritku.

     "Keuntungan dari teknik penempaan adalah kekuatannya. Karena kotoran di dalam logam dihilangkan, kepadatannya meningkat dan menjadi lebih kuat. Terutama perak yang relatif lembut, ini cocok dalam arti membuatnya tidak mudah rusak."

     "Kalau begitu, apa kekurangannya?"

     Aku melipat tangan dan berpikir, "Hmm."

     "Mungkin waktu yang dibutuhkan untuk menguasai tekniknya dan biaya awalnya, ya. Soalnya, butuh cukup banyak modal untuk melengkapi peralatan khusus. Bahkan, aku sendiri baru bisa beralih ke teknik tempa setelah masuk SMA."

     Kalau hanya untuk hobi ringan, saat ini ada paket pemula minimal yang dijual dengan harga sekitar sepuluh ribu yen.

     Tapi jika untuk dijual kepada klien, ceritanya berbeda. Peralatan khusus akan memberikan stabilitas yang lebih baik, dan kualitasnya pasti akan berbeda.

     Meskipun begitu, alat yang murah cepat rusak. Wajar saja. Kita terus-menerus memukulinya dengan palu, atau membakarnya dengan obor, yang pasti akan merusak.

     "Yang terpenting, ini berbahaya kalau belum terbiasa. Jadi, kalau Shiroyama-san ingin melakukannya, tolong hanya saat aku atau Kakakmu mengawasinya..."

     "Memang sesulit itu?"

     "Betul. Karena kita membentuknya dengan tangan sendiri, perlu banyak latihan sampai terbiasa. Tapi ini berlaku untuk semua jenis pembuatan aksesori, butuh waktu sampai terbiasa dengan metode apa pun. Aksesori kain Shiroyama-san juga, pasti butuh usaha keras sampai bisa sebagus itu."

     "K-kalau dibilang begitu, aku jadi malu..."

     Shiroyama-san memutar-mutar lengan hoodie yang terlipat, mengikatnya lalu melepaskannya. ...Cara malunya imut sih, tapi itu hoodieku? Jangan diikat terlalu kencang ya?

     "Cara lain untuk membuat cincin logam adalah teknik lost wax."

     Itu adalah metode yang digunakan oleh Tenma-kun dari Tokyo. Dengan cara itu, dia telah menciptakan beberapa cincin tengkorak original.

     "Secara garis besar, prosesnya hanya membuat model dari lilin sesuai keinginanmu lalu mengirimkannya ke produsen. Setelah itu, teknisi ahli akan membuat aksesori sesuai dengan model tersebut."

     "Wah. Praktis sekali!"

     "Dibandingkan teknik penempaan, ini jauh lebih mudah. Hambatan awalnya sangat berbeda."

     Menyerahkan penyelesaian akhir kepada profesional memberikan jaminan kualitas yang menenangkan. Terutama untuk aksesori perak original, di awal lebih sering terjadi kegagalan.

     "Keuntungannya adalah, seperti yang kubilang tadi, tingkat kesempurnaannya stabil. Lalu, karena membuat model dari lilin, jika gagal, desainnya bisa dengan mudah diulang. Dan karena metode ini menuang logam ke dalam cetakan, desainnya bisa lebih bervariasi dibandingkan teknik penempaan."

     Dengan teknik penempaan, mau tidak mau bentuknya harus sederhana.

     Dalam kasusku, karena fokusnya pada bunga, cincinnya boleh saja berbentuk sederhana. Dalam artian itu, keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

     "Apakah teknik lost wax punya kekurangan?"

     "Secara umum, daya tahannya lebih rendah dibandingkan teknik penempaan. Karena bentuknya ditentukan pada tahap pengecoran, mau tidak mau kotoran akan bercampur dalam logam."

     Meskipun begitu, selama desainnya tidak terlalu tipis, daya tahannya cukup baik.

     Secara keseluruhan, jika ingin mencoba membuat aksesori original untuk pertama kalinya, teknik lost wax menurutku memiliki tingkat kesulitan yang lebih rendah.

     "Tapi, keduanya tidak bisa langsung dicoba begitu saja. Meskipun ada alat untuk teknik penempaan, seperti yang kubilang tadi, ini berbahaya bagi pemula. Teknik lost wax juga, tidak langsung jadi dan sampai begitu saja."

     Yang dibutuhkan di sini bukanlah prototipe atau penjelasan. Melainkan, membiarkan dia merasakan keseruan membuat cincin secara instan.

     "Ah, benar."

     Aku mengeluarkan kardus berisi bagian-bagian aksesori dari bagian bawah lemari. Dari dalamnya, aku mengambil sebuah kemasan perak.

     "Mari kita coba pakai ini."

     "Apa ini?"

     Shiroyama-san mengambilnya.

     Tertulis di sana, "Art Clay Silver."

     "Ini adalah tanah liat perak. Sesuai namanya—bahan untuk aksesori perak yang bisa dibentuk seperti tanah liat."

     "Tanah liat? Maksudnya bagaimana?"

     Aku membuka kemasan itu.

     Sekilas, bentuknya seperti tanah liat kertas berwarna putih.

     Aku menyobeknya dan memberikannya juga pada Shiroyama-san. Dia mencoba menguleninya seperti mengulen adonan.

     "Memang benar-benar terasa seperti tanah liat. Tapi, apa ini bisa jadi aksesori perak?"

     "Tentu saja ini bukan aksesori perak murni, tapi sangat mirip. Namun, sebagai pengenalan terhadap aksesori perak, ini sangat bagus."

     Prosedurnya, tanah liat perak ini dibentuk sesuai desain yang diinginkan, lalu dikeringkan. Setelah itu, dipanaskan dengan kompor gas rumah tangga. Kemudian, jika permukaannya dihaluskan dengan ampelas atau sikat, aksesori perak buatan sendiri pun selesai.

     "Kalau yang sederhana, kurasa Shiroyama-san bisa menyelesaikannya dalam waktu sekitar satu jam."

     "Wah. Hebat sekali!"

     Tanpa perlu peralatan khusus atau permintaan ke pihak luar, prosesnya bisa diselesaikan di dalam rumah. Dalam artian itu, dibandingkan dua teknik yang disebutkan sebelumnya, tingkat kesulitannya jauh lebih rendah. Harganya juga terjangkau, dan kini paket pemula-nya bisa didapatkan di situs belanja daring besar.

     Aku meletakkan cincin yang kubuat dengan tanah liat perak ini di atas meja.

     "Ini adalah produk jadinya."

     "Ini yang kulihat di acara Kewpie 3-Minute Cooking..."

     Shiroyama-san mengambilnya.

     Itu bukan lagi tanah liat putih yang ada di hadapannya, melainkan telah berubah menjadi cincin perak berkilau yang memancarkan cahaya mempesona. Sambil mengenakannya di jari, Shiroyama-san berseru kagum, "Haa~."

     "Luar biasa! Ini benar-benar dari tanah liat?"

     "Setelah dipanaskan dan dipoles, permukaannya akan menjadi perak yang indah seperti ini. Kalau diketuk pakai pulpen, terdengar suara logam biasa, aneh, ya."

     Karena asalnya dibentuk seperti tanah liat, kita bisa menghiasnya dengan batu alam atau menambahkan motif pribadi. Ini sangat fleksibel, dan bisa mencoba berbagai desain.

     "Eh? Tapi tadi kamu bilang sangat mirip dengan aksesori perak, kan? Maksudnya bagaimana?"

     "Dibandingkan dengan teknik tempa atau teknik lost wax, daya tahannya sangat rendah. Terkadang bisa bengkok kalau terkena benturan keras. Wajar saja karena asalnya dari tanah liat, tapi kalau cincin bisa saja melukai jari."

     Shiroyama-san bergidik ketakutan.

     "Seram sekali..."

     "Yah, yang seperti ini bisa dipakai tanpa perlu dikenakan di tubuh. Misalnya, dipasang di tas. Intinya, aksesori perak dari tanah liat perak ini direkomendasikan untuk dinikmati dalam proses pembuatannya sebagai pengenalan terhadap aksesori buatan sendiri."

     Setelah selesai menjelaskan, kami segera mulai membuatnya.

     Aku dan Shiroyama-san masing-masing mengambil separuh tanah liat, lalu membuat cincin sederhana. Shiroyama-san dengan gembira... menguleninya seperti anak kecil yang pertama kali mendapatkan tanah liat.

     Aku mencoba melilitkan tanah liat perak secara tebal pada batang pengukur cincin—yaitu batang besi panjang berbentuk silinder yang longgar, juga disebut batang inti besi. Ketika bagian yang bertumpuk dibasahi air, ia menempel seperti tanah liat kertas. Setelah membuang kelebihan tanah liat di sini, dasar cincin pun terbentuk. Memahat pola dengan pisau cutter memang membutuhkan latihan, tapi dengan kelihaian Shiroyama-san, sepertinya dia bisa langsung membuatnya.

     (...Lagipula, Shiroyama-san memang luar biasa, ya.)

     Shiroyama-san menatap cincin itu tanpa mengalihkan pandangan.

     Selain kelihaiannya yang mampu menyelesaikan dasar cincin dengan cepat, daya konsentrasinya juga luar biasa. Tadi dia mendengarkan penjelasan dengan tenang, kini sudah sepenuhnya dalam mode kreator.

     (Aku juga tidak boleh kalah)

     Nah, apa yang harus kubuat ya?

     Sudah lama tidak menggunakan tanah liat perak, jadi aku ingin membuat sesuatu yang sedikit rumit. Saat menentukan desain, langkah pertama adalah menentukan tema. Tentu saja, tema itu adalah orang yang ingin kuberi cincin ini, tapi...

     "...Eh?"

     Saat itu, aku tiba-tiba menyadari.

     —Tidak ada yang terlintas di benakku.

     Gawat. Konsentrasiku kurang.

     Aku mencoba lagi membayangkan orang yang ingin kuberi cincin ini. Tapi, sama sekali tidak ada yang terlintas. Padahal sebelumnya, kalau sudah berhadapan dengan aksesori, pasti langsung terlintas...

     (...Ah!)

     Himari.

     Selama ini, aku membuat aksesori untuk Himari. Berlandaskan Himari sebagai model pribadiku, aku merancang aksesori dengan citra uniseks dan segar.

     Meskipun pernah membuat aksesori custom untuk Enomoto-san atau siswa-siswi sekolah, tetap saja pada dasarnya adalah aksesori untuk Himari.

     Namun, Himari itu sudah tiada.

     Ketika Himari, yang selama ini menjadi pusat aksesoriku, menghilang, tiba-tiba aku merasa hanya ada kekosongan yang tersisa.

     Ngomong-ngomong, untuk siapa aku akan membuat aksesori?

     Tadi malam, aku sudah memikirkannya setelah diingatkan oleh Saku-neesan, tapi pada akhirnya, tidak ada jawaban yang kudapatkan. Pertanyaan itu, kembali muncul seperti ular yang mengangkat kepalanya.

     —Dalam arti sebenarnya, adakah alasan bagiku untuk membuat aksesori?

     Awalnya, itu terjadi saat aku masih SD.

     Aku ingin memberikannya kepada gadis cinta pertamaku yang hanya kutemui sekali, dan akhirnya aku menemukan aksesori bunga.

     Kemudian aku bertemu Himari... dan kini aku mulai membuat aksesori untuk Himari.

     Namun, dengan Himari, aku menempuh jalan yang berbeda.

     (...Sejauh apa sebenarnya tujuanku, sampai-sampai harus menginjak-injak perasaan Himari?)

     Tiba-tiba aku merasakan firasat buruk.

     Setelah bertemu Tenma-kun dan yang lain di Tokyo... aku mengira arah tujuan mereka adalah tujuanku juga. Sedikit demi sedikit, aku bahkan menemukan cara untuk melangkah maju. Tapi, ke mana sebenarnya arah itu?

     Cahaya yang menerangi langkahku, mau membawaku ke mana? Rasanya, masalah yang selama ini kubiarkan mengambang, akhirnya muncul dengan bentuk yang jelas.

     Liburan musim panas.

     Aku tersadarkan akan ketidakdewasaanku oleh Kureha-san.

     Sejak saat itu, aku bersumpah akan menjadi kreator yang kuat, tidak akan kalah dari Kureha-san-san atau siapa pun.

     Lalu, setelah bertemu dengan Tenma-kun dan yang lainnya, aku jadi ingin menapaki jalan yang sama. Karena aku yakin, di ujung jalan itu, ada sosok kreator hebat yang ingin kucapai.

     Tapi itu bukanlah masa depan yang Himari inginkan.

     Aku berharap bisa mengejar idealismeku, meskipun harus berpisah dengan Himari. Karena itulah aku menolak keinginan Himari untuk kembali ke "you."

     Tapi, tanpanya, aku jadi tidak tahu untuk siapa lagi aku harus membuat aksesori.

     Untuk siapa aku harus membuat aksesori agar bisa menjadi kreator hebat seperti Tenma-kun dan yang lainnya?

     Tiba-tiba, rasanya seperti kakiku menginjak kegelapan total.

     Cahaya di bawah kakiku padam, dan seketika aku merasa terlempar sendirian ke dalam kegelapan.

     (...Aku ingin jadi apa sebenarnya?)

     Saat bekerja paruh waktu di toko kue tempo hari, rasanya aku seperti mendapatkan sesuatu.

     'Enomoto-san. Aku memikirkan hal bodoh...'

     Waktu itu, apa yang ingin kukatakan pada Enomoto-san, ya...?

     Pikiranku tidak bisa fokus.

     Tidak bisa konsentrasi.

     Pada akhirnya, apakah aku hanya ingin mempertahankan Himari dengan aksesori?

     Cinta singkat selama setengah tahun itu, rasanya seolah mengingkari tiga tahun hidupku.

     Apakah semua yang telah kulakukan selama ini sia-sia?

     Tepat saat pikiran negatif itu hendak menguasai benakku—

     "Yuu-senpai!"

     "...!"

     Suara Shiroyama-san menarikku kembali ke realitas.

     Aku tersentak dan menoleh padanya. Dia mengguncang bahuku dengan ekspresi heran.

     "Aku sudah selesai membentuk tanah liat peraknya, tapi ada apa?"

     "Ah, tidak..."

     Aku tertawa, mencoba mengelak.

     Aku mengambil cincin yang dibentuk Shiroyama-san dari tanah liat perak dan memeriksa hasilnya. Di sisi cincin yang tebal dan sederhana itu, terukir tulisan 'MEI' dengan pisau desain yang tipis. Sepertinya dia juga sudah mempertimbangkan kemudahan pemolesan setelah pembakaran. Kemampuan untuk secara alami memperhitungkan langkah selanjutnya ini, memang berkat ketenangan Shiroyama-san.

     "Luar biasa! Tidak seperti buatan pertama kali. Aku akan mengambil kompor gas portabel dari ruang tamu bawah, mari kita selesaikan sampai pembakaran."

     "Baik! Aku juga sangat senang..."

     Lalu, Shiroyama-san tiba-tiba menarik lenganku dengan erat.

     "Yuu-senpai."

     "A-apa?"

     Kemudian dengan santai, dia mengelus-elus kepalaku.

     "Sudah, sudah. Tidak apa-apa, kok~"

     "Eh? Apa ini? Ada apa ini?"

     Shiroyama-san membusungkan dada dengan wajah bangga.

     "Wah~, aku cuma merasa Yuu-senpai lagi down saja."

     "Apa itu 'down'?"

     "Menurut Kakakku, artinya 'wah, dia lagi galau ya, gawat'. Sepanjang hari ini, pikiranmu melayang-layang terus."

     "Itu cukup aneh..."

     ...Sepertinya, kondisi mentalku yang sedang terpuruk sudah benar-benar terbaca.

     Atau mungkin Shiroyama-san yang memiliki intuisi tajam bisa mengetahuinya. Pokoknya, setelah aku berhenti melawan, Shiroyama-san terus mengelus kepalaku sambil berkata,

     "Kalau aku punya masalah di sekolah, Kakakku akan melakukan ini padaku."

     "Oh, begitu..."

     "Agak memalukan sih, tapi... rasanya sangat menenangkan."

     "............"

     Wajah Shiroyama-san sedikit memerah, lalu tertawa kecil.

     "Himari-senpai akan baik-baik saja kok."

     "...!"

     Rasanya seperti isi hatiku terbaca.

     Tapi anehnya, aku tidak merasa tidak nyaman... mungkin karena lawan bicaranya adalah Shiroyama-san. Entah kenapa, aku merasa sia-sia saja bersikap sok di depannya.

     Apakah itu karena ketajamannya yang alami, ataukah simpati karena kami adalah rekan yang serius menekuni aksesori? Atau mungkin, kata-kata penghiburan yang seharusnya kutolak, entah mengapa bisa kuterima begitu saja.

     "Tidak ada orang yang bisa terus berlari. Sekarang kamu hanya sedang beristirahat sebentar. Kamu akan segera kembali."

     "Kenapa kamu berpikir begitu?"

     "Emm... Mungkin intuisi?"

     "Intuisi, ya."

     Justru sikapnya yang tidak mencoba bertele-tele dengan logika aneh itulah yang bagiku terasa menenangkan.

     "Tiga tahun Yuu-senpai itu tidak sia-sia kok. Aku yakin, gairah itu pasti sudah sampai ke Himari-senpai."

     Shiroyama-san berkata demikian, lalu mengepalkan tangan seolah memberi semangat.

     "Karena aku bertemu dengan aksesori Yuu-senpai, aku juga jadi semangat membuat aksesori. Memang, awalnya karena Himari-senpai, tapi aku tidak berpikir gairah Yuu-senpai itu bohong. Aku benar-benar suka aksesori Yuu-senpai, jadi aku ingin berjuang bersama."

     Lalu dia mendorong punggungku.

     "Jadi yang harus Yuu-senpai lakukan bukanlah berbalik dan berhenti."

     "............"

     Tatapan lurus itu membuat tubuhku bergetar.

     Aku merasa bodoh.

     Hanya karena sebuah perpisahan.

     Hanya karena kehilangan cinta enam bulan, mengapa aku sampai ingin mengingkari tiga tahun hidupku?

     Himari akan baik-baik saja.

     Entah mengapa, kata-kata Shiroyama-san terasa seperti dorongan kuat di punggungku.

     Yang harus kulakukan bukanlah menyesali masa lalu.

     Saku-neesan juga mengatakannya. Bahkan jika kami tidak akan pernah bersatu lagi, itu bukanlah akhir. Aku harus menjadikan pengalaman itu sebagai bekal, untuk menyempurnakan diriku sebagai kreator.

     Meskipun berjalan di jalan yang berbeda, aku tetap harus terus mengasah diri sampai cahaya yang kupancarkan bisa mencapai mereka.

     Kalau dipikir-pikir, sejak awal, aku memang ingin menjadi orang yang bisa menyampaikan gairah itu kepada orang lain.

     Aku ingin menjadi orang yang bisa mengunci perasaan bercahaya yang begitu kuat, sampai bisa mengubah hidup orang lain, ke dalam sebuah aksesori kecil.

     —Itu mungkin adalah jawaban dari "kreator hebat" yang kuimpikan.

     Merasa begitu menyedihkan, aku tersenyum masam.

     "Kalau begini, jadi tidak jelas siapa yang guru..."

     "Ahaha, aku juga bukan orang yang pantas bicara seolah-olah tahu segalanya, sih."

     "Tidak, bukan begitu."

     Itu tidak benar.

     Pada kenyataannya, aku telah diselamatkan seperti ini.

     "Terima kasih. Rasanya hatiku sedikit lebih lapang."

     Apakah aku sudah salah?

     Mungkin saja begitu.

     Atau mungkin, menggenggam tangan Himari dan menyelami cinta berdua adalah salah satu kebahagiaan.

     Tapi, aku tidak bisa hanya dengan itu.

     Sekalipun aku disebut tidak becus, sekalipun aku dicaci sebagai orang bodoh.

     Aku ingin mengejar kreator yang kuimpikan.

     Untuk itu, saat ini aku harus melangkah maju selangkah demi selangkah.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close