NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 10 Chapter 2

 Penerjemah:Nobu

Proffreader: Nobu


Chapter 2

 “Kutukan”


♣♣♣

     Tak lama kemudian, upacara penerimaan murid baru pun dilaksanakan di sekolah kami.

     Suasana sekolah terasa hidup kembali dengan bertambahnya para murid baru berbalut seragam kinclong mereka. Ah, sebenarnya itu karena jumlah murid memang berkurang setelah para murid kelas tiga sebelumnya lulus. Wajar saja, ya.

     Dan di antara kenalan kami, ada juga seorang gadis yang masuk sebagai murid baru tahun ini.

     Shiroyama Mei.

     Seorang gadis berkuncir dua, mantan siswi SMP, yang dulu mengagumi Himari hingga bercita-cita menjadi kreator, lalu entah bagaimana berakhir sebagai “murid”ku. Tahun ini, dia resmi mulai bersekolah di sini.

     Saat istirahat makan siang.

     Ketika kami bertiga sedang makan siang di ruang sains, Shiroyama-san datang untuk melaporkan perihal masuk sekolah. Dia berpose hormat seperti biasa, seolah memamerkan seragam barunya.

     "Aku sudah resmi masuk sekolah!"

     "Wahhh!"

     Kami semua bertepuk tangan meriah.

     "Selamat. Mulai sekarang, mohon bantuannya juga ya."

     "Siap! Yuu-senpai, mohon bimbingannya!"

     Himari memeluk bahu Shiroyama-san dengan erat.

     Lalu, dia mulai mengusap-usap pinggang dan area lainnya. Rok baru yang masih rapi itu kini berkerut akibat ulah sang iblis nafsu bejat.

     "Mei-chan, kamu tetap imut, ya~. Nah, sebelum para pria jahat itu menyentuhmu, biarkan aku melecehkanmu dulu, ya~?"

     "Ah~. Himari-senpai, geli nih~!"

     Adegan itu terlihat sangat yuri, tapi hancur karena ucapan Himari. Cewek ini, serius deh, suatu saat nanti dia bisa saja digugat karena pelecehan seksual dan tamat riwayatnya…

     Enomoto-san pun tersenyum tipis.

     "Mei-chan. Selamat ya."

     "…! Ah, terima kasih banyak!"

     Oh?

     Shiroyama-san, kenapa dia tampak terkejut kaku sesaat…? Benar juga, sepertinya dia agak canggung dengan Enomoto-san? Meskipun kini mengenakan seragam yang sama, jarak hati mereka masih terasa.

     Ngomong-ngomong soal seragam…

     "Shiroyama-san, seragamnya cocok sekali denganmu."

     "Terima kasih!"

     Caranya tersipu malu tampak menggemaskan. Senang rasanya melihat orang yang polos.

     Seragam barunya memang sedikit kebesaran, tapi nanti juga akan terbiasa. Kenapa ya, setiap kali melihatnya, naluri kebapakan ini selalu terusik? Sungguh, ada apa denganku?

     Kemudian Himari menatapku dengan pandangan sinis.

     "Yuu, reaksimu berbeda sekali dengan saat melihatku?"

     "Mana mungkin aku memperlakukan murid baru sungguhan dengan orang yang hanya cosplay sebagai murid baru…"

     Justru, kenapa kau begitu percaya diri, sih...?

     Ketika kami sedang asyik berbincang, mataku menangkap sosok seorang gadis lain yang sedang cemberut di pojok ruang sains.

     Mera Kamako-san.

     Dia adalah salah satu anggota geng gal kelas dua, dan dia adalah siswi yang memiliki sedikit "urusan" denganku terkait aksesori. Dia mulai bekerja paruh waktu di minimarket kami saat liburan musim dingin, dan entah bagaimana, sampai sekarang dia masih terus bekerja di sana.

     Singkatnya, bisa dibilang dia sudah bergabung di bawah naungan Saku-neesan, tapi karena dia selalu bersikap ketus kepadaku, sejujurnya aku tidak ingin sering bertemu dengannya.

     Saat mata kami bertemu, Mera-san berkata dengan nada tidak senang,

     "Sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu, ya."

     "Tidak, aku hanya bertanya-tanya kenapa kamu datang..."

     Pertanyaanku yang lugu itu dijawabnya dengan ekspresi kesal.

     "Mei menerobos masuk ke kelasku."

     "Oh, aku mengerti. Turut prihatin."

     Tak kusangka Shiroyama-san akan menerobos masuk ke kelas kakak kelasnya. Gadis roket itu sudah melesat sejak awal masuk sekolah, ya.

     Dan karena Mera-san mau menemaninya sampai sini, ternyata dia lumayan mudah dibujuk, ya. Ngomong-ngomong, aku biasanya bersikap baik pada semua perempuan, tapi khusus untuk Mera-san, aku memang agak dingin.

     Baiklah, untuk sementara Mera-san kita abaikan dulu.

     "Shiroyama-san, sudah memutuskan akan ikut klub apa?"

     "Aku belum memutuskan."

     "Waktu SMP tidak ikut apa-apa, ya?"

     "Betul sekali. Aku membantu di toko Kakakku..."

     "Di SMA juga, kira-kira begitu?"

     "Kakakku bilang aku boleh bergabung dengan klub apa pun yang kuinginkan, tapi..."

     Begitu, ya...

     Memang benar, Shiroyama-san kini punya teman seperti Mera-san di SMA, jadi rasanya sayang kalau dia tetap menjadi anggota klub pulang sekolah.

     "Klub Mera-san itu... Ah, maaf."

     "Senpai. Kalau mau minta maaf, pikirkan dulu sebelum bicara."

     "Tidak, aku benar-benar minta maaf..."

     Benar juga, Mera-san pernah bilang kalau dia tidak lagi mengikuti klub karena canggung setelah ditolak oleh senpai satu klub dengannya. Aku juga turut menjadi salah satu penyebabnya, jadi aku menyesali kekeliruan ucapanku barusan.

     Mera-san menghela napas panjang dengan jelas.

     "Duh, Senpai ini. Kalau mau menghasilkan uang dari aksesori wanita, bukankah sebaiknya belajar sedikit lebih peka, ya?"

     "Tidak, aku benar-benar minta maaf..."

     "Lagipula, sudah jadi murid SMA, tapi oleh-oleh untuk cewek malah gantungan kunci Sametarou, bagaimana, sih?"

     "Itu karena Mera-san selalu meminta camilan mahal dari Omotesando, kan...?"

     Aku merasa dia terus-menerus mengusik, dan ternyata dia masih mendendam karena aku tidak membelikan oleh-oleh saat study tour, ya?

     Saat aku dan Mera-san sedang berbicara... Tunggu? Kenapa tiba-tiba ada aura dingin yang muncul dari belakangku? Lebih tepatnya, aura yang sama seperti saat Saku-neesan sedang marah.

     Perlahan aku menoleh, dan kulihat Himari serta Enomoto-san memancarkan aura mengerikan, memancarkan intimidasi penguasa ke arah kami. Mata mereka tidak menunjukkan senyuman sama sekali.

     "Ngomong-ngomong, Yuu. Sampai sekarang aku belum bisa menerima kenapa anak ini ada di sini, lho?!"

     "Aku juga berpikir begitu. Meskipun Yuu-kun sudah memaafkan masalah aksesori yang dirusak, seharusnya dia diajari lebih banyak tentang sopan santun kepada senpainya."

     Hiii!

     Mereka berdua benar-benar marah besar! Aku bahkan bisa melihat ilusi hantu hanya di belakang mereka!

     Dan sepertinya Mera-san juga merasakan hal itu.

     Dia buru-buru bersembunyi di belakangku, lalu menatapku dengan mata berkaca-kaca meminta bantuan. Aku sebenarnya tidak terlalu membenci sisi dirinya yang bisa dengan mudah mengubah sikapnya seperti itu.

     "S-Senpai! Mereka menakutkan, lho!"

     "Itu salahmu sendiri, kan..."

     "Senpai sendiri bilang, 'Aku salah. Mulai sekarang aku akan menjadi budakmu'!"

     "Aku tidak bilang begitu? Kenapa ada memori yang sengaja dibuat-buat seperti itu?"

     Hanya bagian awalnya saja yang benar, lho? Lagipula, kami berdua hanyalah sesama budak Saku-neesan, jadi sebenarnya tidak ada hierarki di antara kami, lho?

     (Hmm, apa yang harus kulakukan ya...?)

     Bagiku, kata-kata kasar Mera-san sudah menjadi bagian dari komunikasi dan aku sudah terbiasa. Aku bahkan tidak terlalu kesal.

     Namun, bagi Himari dan Enomoto-san yang dibesarkan dengan didikan etika yang kuat sejak kecil, sikap seperti Mera-an tampaknya tidak bisa diterima. Mereka marah karenaku, jadi rasanya tidak enak juga jika menghentikan mereka.

     Lagipula, aku tidak punya kewajiban untuk membela Mera-san sampai sejauh itu. Aku membuat senyum yang sangat manis, lalu menepuk bahunya.

     "Mera-san, tidak apa-apa kok. Hanya kepalamu saja yang akan terasa sedikit berdenyut selama beberapa hari."

     "Itu tidak baik-baik saja! Senpai, indra perasamu pasti sudah rusak!"

     "Kalau sudah terbiasa, penyembuhannya akan lebih cepat."

     "Pikirkan cara agar tidak terkena, bukan setelah terkena, ya, Senpai?!"

     Melihat Mera-san yang hampir menangis sungguhan, entah kenapa ada rasa menggelitik di dalam diriku.

     Aku takut rasanya ada pintu baru yang akan terbuka di dalam diriku. Jangan-jangan, ini yang dulu pernah Hibari-san sebut sebagai 'wakarase' itu, ya? Jika bisa, aku ingin sekali tidak pernah mengenal fetisisme semacam itu seumur hidupku…

     Saat aku mencoba mengakhiri ini dengan menyerahkan korban, sebuah bayangan menyelinap masuk.

     Shiroyama-san.

     Dia merentangkan kedua tangannya selebar mungkin dan dengan sikap tegas menghentikan Himari dan yang lainnya. Bagi Himari dan yang lainnya, Mera-san hanyalah pengganggu, tapi bagi Shiroyama-san, dia adalah teman yang penting.

     "H-Himari-senpai! Rion-senpai! Tunggu dulu!"

     …Bahu kecilnya bergetar.

     Terjebak di antara dua senpainya, dia pasti ketakutan. Tekanan yang menghimpit tubuh mungilnya itu sungguh tak sepadan.

     Seharusnya dia ingin kabur.

     Namun, Shiroyama-san tidak melarikan diri. Dia justru menghadapi mereka. Karena bagi Shiroyama-san, Mera-san adalah teman yang sangat berharga—

     "Sakura-san pernah bilang! Kako-senpai pada dasarnya penakut, jadi dia tipe orang yang hanya bisa melanjutkan komunikasi yang sudah berhasil sekali! Kalau mencoba mengubah pola, hubungan bisa jadi rumit, jadi dia harus terus melakukan hal yang sama! Justru, aku juga bisa melihat bahwa dia sebenarnya lumayan menyukai Yuu-senpai karena bisa tetap melanjutkan percakapan meskipun terus-menerus dicerca! Jadi, semua aman!"

     "~~~~~~~~~~!"


     Duh, anak ini, ternyata dia datang untuk memberi pukulan terakhir…

     Shiroyama-san memang punya intuisi tajam dan pandai melihat esensi seseorang. Sifatnya yang polos sehingga selalu melancarkan serangan tunggal tanpa memandang kawan atau lawan, harus diperbaiki. Kalau tidak, masa depannya akan sulit.

     Dan kali ini, Mera-san yang ditembak dari belakang pura-pura dilindungi, langsung menyerang Shiroyama-san dengan wajah merah padam!

     "Kamu, sungguh, tutup mulutmu yang hanya bisa mengatakan hal-hal tidak penting itu—!"

     "Kyaaaaaa! K-karena memang benar, bukan berarti boleh pakai kekerasan, lho—!"

     "Bukan karena benar!"

     "Tapi teman-teman Kako-senpai juga mengatakan hal yang serupa, lho!"

     "Akan kubunuh mereka semua—!"

     Ini benar-benar bencana besar…

     Saat aku melihat kedua gadis itu berlarian di dalam ruang sains dengan perasaan yang sangat tidak peduli, Himari justru sedikit terkejut.

     "Entah kenapa, anak itu dan Mei-chan sepertinya lumayan akur, ya..."

     "Yah, Mera-san itu pada dasarnya mulutnya memang kasar, tapi dia tipe yang menyelesaikan masalah di tempat. Kalau marah, dia langsung meluapkannya, jadi tidak dibawa-bawa ke lain waktu. Bagaimanapun juga, dia punya sifat yang lugas, jadi secara mengejutkan dia cocok dengan Shiroyama-san."

     "Eh? Lalu kenapa Yuu diuntit habis-habisan begitu?"

     "Mungkin dia memang sangat menyukai senpai yang itu, kan?"

     "Oh, begitu ya. Dasar gadis lugu."

     Lagipula, akar dari masalahku dengan Mera-san itu bermula dari permintaannya untuk membuat aksesori bunga karena dia ingin terlihat baik di mata senpai yang disukainya. Yah, cinta memang bisa membuat orang gila, ya. Mau bagaimana lagi.

     Mungkin mendengar percakapan kami, Mera-san menggeram, "Grrr..." Oh, aku terlalu banyak bicara yang tidak perlu.

     Aku harus diam agar tidak digigit. Aku diam-diam mengalihkan pandangan sambil dalam hati merapalkan mantra penolak bala. Amit-amit, jangan sampai terjadi.

♣♣♣

     Setelah menyelesaikan makan siang, Himari dan Enomoto-san pun bangkit berdiri.

     "Kalau begitu, Yuu. Sampai jumpa lagi di kelas~"

     "Yuu-kun, nanti sepulang sekolah ya."

     Keduanya melambaikan tangan seraya meninggalkan ruang sains.

     Setelah melihat mereka pergi... Shiroyama-san, yang masih menyantap bekalnya, memiringkan kepala.

     "Eh? Hari ini mereka tidak bergabung, ya?"

     "Himari belajar di perpustakaan, Enomoto-san latihan siang klub musik tiup."

     "Himari-senpai belajar saat istirahat makan siang...?"

     Yah, memang tidak terlalu cocok dengannya, sih.

     "Katanya, dia akan lebih sering pergi ke Tokyo untuk pelatihan modelnya. Jadi, dia bernegosiasi dengan sekolah agar bisa mendapatkan satuan kredit yang dibutuhkan untuk kelulusan melalui tugas."

     "Wah, sepertinya serius sekali, ya!"

     "Yah, karena memang pelatihan model sungguhan."

     Merasa terpancing, Shiroyama-san sedikit merona.

     "...Yuu-senpai. Hal seperti itu tidak baik, lho."

     "Maaf, maaf."

     Aku ingat pernah melakukan hal serupa pada Enomoto-san sebelumnya...

     Aku meminta maaf sambil membuka rak baja di bagian belakang ruang sains.

     Mengambil pot LED yang sudah disiapkan untuk klub hortikultura, aku menyiram benih-benih yang tertanam di dalamnya. Lalu, aku mengambil foto dengan ponsel untuk catatan pertumbuhan... Begitulah.

     Untuk sementara, aktivitas sebagai anggota klub hortikultura sudah selesai.

     "Rion-senpai sendiri? Tidak membantu, ya?"

     "Ah, klub musik tiup kan sebentar lagi menghadapi kompetisi terakhir untuk kelas tiga. Jadi, dia bilang akan berlatih keras untuk teman-temannya, menggantikan waktu yang hilang sebelumnya."

     Enomoto-san memang tidak terlalu menunjukkannya, tapi teman-teman klubnya juga penting baginya. Aku tidak ingin dia sampai bertengkar dengan mereka karena aku.

     ...Yah, itu hanya salah satu alasannya.

     Dengan senyum malas dan lelah, aku mengungkapkan kebenarannya kepada Shiroyama-san.

     "Yang terpenting, dia bilang tidak perlu lagi mencari poin di kegiatan ini karena dia sudah mulai berkencan denganku."

     "Sungguh melegakan, ya!"

     Memang, pada dasarnya Enomoto-san tidak terlalu tertarik dengan pembuatan aksesori.

     (Lagipula, kalau terlalu banyak terlibat, mungkin akan berakhir seperti Himari lagi)

     Sepertinya dia mengkhawatirkan hal itu.

     Dalam hal ini, aku merasa dia sangat memahami sifatku.

     "Kalau begitu, kegiatan aksesorinya bagaimana, Senpai?"

     "Itulah dia..."

     Masalah yang kusangka hanya sementara beberapa hari lalu.

     Singkatnya, kami kekurangan tenaga.

     Sampai sekarang, semuanya bisa berjalan berkat kerja sama dengan Himari, atau bantuan dari Enomoto-san. Kini, dua orang sekaligus meninggalkan tim, dan kapasitas kerjaku jadi sangat terbatas.

     Untuk "ujian masuk" yang disebutkan oleh Kureha-san, aku harus mengasah "ciri khas"ku sebagai kreator sebisa mungkin. Tenma-kun dan yang lain juga berjanji akan mengundangku ke pameran tunggal saat liburan panjang mereka, dan aku juga butuh seseorang yang bisa kuandalkan untuk mengurus bunga-bunga selama itu.

     (Kalau saja tidak perlu memikirkan ujian masuk universitas, mungkin aku bisa mengatasinya...)

     Tidak, tidak ada gunanya mengatakan itu.

     Seperti kata Kureha-san, ini adalah imbalan untuk menjadikan impian sebagai pekerjaan seumur hidup. Aku tidak bisa menyerah hanya karena satu tahun belajar untuk ujian.

     ...Kalau terpaksa, kan ada cara sistem kebut semalam sebelum ujian masuk di Bimbel Hibari. Pasti baik-baik saja. Di internet juga tertulis, delapan puluh persen kasus alopecia areata akan sembuh dalam setahun.

     Meskipun aku bisa mengatasi pelajaran, tetap saja aku kekurangan tangan.

     "Apa yang harus kulakukan, ya..."

     Entah kenapa, aku ragu untuk mengubah sistem pengadaan bunga menjadi melalui koneksi Araki-sensei.

     Lagi pula, berkurangnya waktu untuk berinteraksi dengan bunga belum tentu akan membantu dalam menemukan "ciri khas"ku. Araki-sensei pun pernah mengatakan bahwa "bercakap-cakap dengan bunga" adalah kelebihanku.

     Ketika aku sedang merenung sendirian, sebuah uluran tangan tak terduga datang dari arah yang tak kuduga.

     "Kalau begitu, bagaimana kalau aku saja yang membantumu?"

     "Eh?! Boleh?!"

     "Aku juga belum memutuskan klub mana yang akan diikuti, dan klub hortikultura juga tidak masalah bagiku."

     —Seolah-olah ada cahaya ilahi yang bersinar terang dari belakang Shiroyama-san.

     Aku sudah berpikir sebelumnya, betapa baiknya gadis ini. Aku harus pergi menemui kakaknya yang membesarkan dia dan mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah membimbing anak ini ke dunia.

     Melihat reaksiku, Shiroyama-san tersipu malu.

     "Yang terpenting, aku adalah murid Yuu-senpai. Kalau saat seperti ini kamu tidak mengandalkanku, apa gunanya aku jadi muridmu?"

     "Shiroyama-san..."

     Hatiku terasa terharu.

     Padahal saat liburan musim dingin, aku begitu berantakan. Tapi dia masih memanggilku "guru". Sungguh anak yang baik. Serius, di masa depan, Shiroyama-san tidak akan kubiarkan jatuh ke tangan pria aneh. Dia harus sukses sebagai kreator, dan aku akan menyeleksi ketat pria yang akan menjadi pacarnya!

     Ah, gawat, membayangkan pernikahan Shiroyama-san saja aku rasanya mau menangis sekarang... Sambil diganggu oleh naluri kebapakan yang tidak jelas itu, aku tetap menanyakan hal penting.

     "Tapi, kamu kan sudah bergabung dengan grup Mera-san dan yang lain, pasti kamu juga ingin punya waktu untuk bermain, kan?"

     "Tidak masalah!"

     Shiroyama-san berkata sambil tersenyum lebar.

     "Karena Kako-senpai juga akan membantu!"

     "Kenapa harus aku—?!"

     Oh, akhirnya ada tanggapan dari orangnya langsung.

     Mera-san, yang sebelumnya hanya diam mengamati dengan ekspresi seolah berkata, "Apa yang mereka lakukan ini…," kini berkata kepada Shiroyama-san dengan nada kesal,

     "Kenapa aku harus ikut-ikutan hobi Senpai ini?!"

     "Mm. Aku juga sebenarnya tidak ingin kamu membantu."

     "Hah?! Senpai, kamu berpikir aku ini tidak memuaskan, begitu?!"

     "Yang mana, sih...?"

     Tsundere-nya berubah-ubah tanpa batas.

     Kalau ini manga pertarungan, dia pasti sudah jadi pengguna ilusi yang sangat kuat. Tidak, apa yang kukatakan ini? Aku juga tidak mengerti.

     Shiroyama-san bertanya dengan ekspresi bingung.

     "Eeh~. Tidak boleh?"

     "Bukan tidak boleh, tapi kan orangnya sendiri bilang tidak mau..."

     Lagipula, sejujurnya, aku rasa dia tidak cocok secara sifat.

     Dia selalu menggerutu saat bekerja paruh waktu di minimarket, dan kalau dia yang mengurus, bunga-bunga itu bisa jadi nakal.

     "Tapi Kako-senpai sangat rapi saat menata kue-kue, lho?"

     "Ah, itu memang benar. Meskipun dia tampil sebagai karakter berandal, kadang-kadang tingkah lakunya memperlihatkan didikan yang baik."

     Benar, ibunya seorang guru tari Jepang, kan? Orang itu juga punya karakter yang lumayan kuat, ya.

     "Kalau pergi makan saat libur, dia sangat rapi saat memakan tulang ikan, lho."

     "Serius? Memang dia tipe yang memilih ikan, ya?"

     "Dia sering pergi ke restoran katering yang ada di AEON."

     "Oh, ternyata dia suka masakan Jepang, ya?"

     Benar juga, dia kan gadis yang memilih aksesori bunga demi memikat senpai idamannya.

     Saat kami saling mengangguk-angguk, Mera-san yang merasa kebiasaan tak terduganya terbongkar begitu saja, menggeram dengan wajah merah padam.

     "Senpai, kamu meremehkanku, kan?! Benar, kan?!"

     "Tidak, bukan begitu..."

     Sungguh!

     Aku sama sekali tidak berpikir kalau itu lucu, kok!

     Tiba-tiba, sebuah ide melintas di benakku.

     "...Tidak, itu mungkin saja berhasil."

     Ketika aku sedang berpikir, Shiroyama-san memiringkan kepalanya.

     "Maksudmu bagaimana?"

     "Begini, beberapa waktu lalu, aku berbicara dengan Araki-sensei. Saat itu, dia bilang bahwa ciri khas seorang kreator pada akhirnya hanya bisa muncul dari prestasi."

     "Ah, begitu."

     "Jadi, aku sedang meninjau kembali berbagai karyaku di masa lalu, catatan penjualan, dan lain-lain..."

     Itu bukan hanya soal karya saja.

     Melainkan juga tentang apa yang kuimpikan, apa yang sedang kucoba.

     Dan salah satu hal terbesar di antaranya, tetaplah impian awal untuk 'memiliki toko sendiri'. Impian itu sendiri memang sudah tertunda, sih...

     (Benar juga, Saku-neesan pernah menegurku tentang hal itu)

     Aku berpikir keras.

     Lalu, aku mencoba menawarkan ide kepada Mera-san.

     "Mera-san, mau tidak bekerja paruh waktu mengurus bunga-bungaku?"

     "Hah?"

     Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sangat tidak mengerti.

     "Tidak."

     "Begitu, ya..."

     Yah, memang begitu.

     Aku mengangguk pada jawaban yang sudah kuduga.

     "Kalau begitu, aku akan meminta bantuan Shiroyama-san saja, ya."

     "Baik, Senpai!"

     Mendengar itu, Mera-san yang merasa ditinggalkan pun langsung menggeram.

     "Tidak, jelaskan alasannya dong!"

     "Eh... Merepotkan sekali anak ini..."

     "Kamu sendiri yang mengatakannya, tapi kenapa bersikap begitu—!"

     Padahal dia sendiri yang bilang tidak mau bekerja paruh waktu, kan...

     Begini, ya. Harga dirinya tidak mengizinkan untuk berpartisipasi secara aktif, tapi dia juga kesal kalau dikesampingkan. Aku mulai sedikit mengerti Mera-san.

     Dalam kasus seperti ini, sepertinya itu tanda kalau dia sebenarnya cukup tertarik. Jadi, aku mencoba menjelaskan sejelas mungkin.

     "Mulai sekarang, aku berencana untuk mencari metode produksi yang sebisa mungkin melibatkan klien. Untuk itu, aku ingin mengasah kemampuan interaksiku sebaik mungkin."

     Kemampuan interaksi itu bukan hanya soal berinteraksi dengan klien saja. Aku benar-benar merasakannya saat perjalanan ke Tokyo dan study tour di liburan musim panas.

     "Faktanya, saat teman-temanku di Tokyo mengadakan pameran tunggal, ada staf dan model yang bergerak di lapangan, serta vendor yang harus diatur sebelumnya. Aku perlu menyampaikan pandangan duniaku kepada banyak orang itu dengan jelas dan tanpa kekurangan. Selama ini Himari yang piawai dalam hal itu, tapi mulai sekarang aku harus melakukannya dengan sempurna sendirian. Dengan melanjutkan latihan itu, mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang baru..."

     "............"

     Mendengar itu, Mera-san berkata sambil mengerutkan kening dalam-dalam.

     "Aku tidak mengerti."

     "...Begitu, ya."

     Yah, memang.

     Aku memang tidak pandai menjelaskan, tapi memangnya ini pembicaraan yang bisa dicerna oleh Mera-san, ya? Hmm, bagaimana menjelaskannya, ya...?

     Tiba-tiba, Shiroyama-san menyimpulkan dengan nada penuh percaya diri.

     "Jadi maksud Yuu-senpai, kalau dia bisa menangani Kako-senpai yang tidak suka aksesori dengan baik, itu akan jadi pengalaman bagus sebagai kreator!"

     "Cara mengatakannya. Memang benar, tapi cara mengatakannya itu lho."

     Duh, kemampuan bicaraku parah sekali, ya? Ini menimbulkan kecurigaan bahwa aku harus meminta Shiroyama-san ikut sebagai penerjemah ketika pindah ke Tokyo nanti...

     Namun, Mera-san, yang kesal dengan pilihan kata-kata itu, langsung menerkam meja dengan tatapan melotot.

     "Hah?! Kamu mau memperlakukanku seperti wanita yang bisa dimanfaatkan begitu saja?! Sangat payah, tahu!"

     "Aku sudah bilang ini soal kerja paruh waktu, kan...?"

     Mera-san mengatupkan mulutnya dengan kesal.

     "...Berapa?"

     Oh? Jadi dia akan menerima jika ada imbalannya, ya.

     Ternyata dugaanku benar, dia mungkin cukup tertarik.

     "Kegiatan penjualan aksesoriku itu sudah jadi bagian dari bisnis minimarket kami. Jadi, kalau Mera-san setuju, gajinya akan keluar dari sana."

     "...Eh? Kalau begitu, para senpai cantik itu bagaimana?"

     "Dengan Himari, kami dalam bentuk bisnis patungan, jadi keuntungannya memang dibagi dua sejak awal. Kalau pergi bermain dengannya pun, uangnya keluar dari dompet itu. Kalau Enomoto-san, dia bersikeras hanya membantu dan sama sekali tidak mau menerima bayaran."

     "Hmm..."

     Mera-san merenung dengan ekspresi yang sangat pahit.

     Aku merasa ada konflik batin yang mendalam dalam dirinya... Saat aku memikirkannya, dia berkata dengan tatapan sinis,

     "Akan dibayar sungguhan?"

     Sangat curiga!

     Yah, mengingat tingkat kewaspadaannya terhadapku, itu memang wajar. Tapi untuk urusan ini, ada orang yang jauh lebih bisa dipercaya terlibat.

     "Gaji paruh waktu itu diatur oleh Saku-neesan."

     "……………………"

     Mera-san menyilangkan kedua tangannya dan mengerang panjang lebar.

     Kemudian, dia menghela napas panjang dan menjawab dengan enggan.

     "...Kalau sudah ada janji dari Kepala toko, beri tahu aku lagi."

     "Makasih!"

     Oh, ternyata ada gunanya mencoba, ya.

     Ini mungkin akan sangat membantu. Mengurus bunga itu diam-diam memakan waktu. Meskipun justru karena itulah menurutku ada nilainya, tapi sekarang waktu sangat berharga. ...Yah, ini jika berhasil meyakinkan Saku-neesan.

     Shiroyama-san, setelah mendapatkan teman, mengguncang-guncangkan tangan Mera-san dengan gembira.

     "Hore~! Kako-senpai, mari kita berjuang bersama!"

     "Ah, iya, iya. Tergantung Kepala toko dulu, ya."

     Duh, Shiroyama-san, senang rasanya melihat kehidupan SMA-mu menyenangkan.

     Lagipula, aku bisa berinteraksi normal dengan Mera-san itu sebagian besar berkat Shiroyama-san.

     Mungkinkah Shiroyama-san punya kemampuan untuk menyerap suasana yang tidak enak? Demi perdamaian dunia, apakah seharusnya kita memperbanyak Shiroyama-san? Memperbanyak Shiroyama-san itu apa? Senjata perdamaian umat manusia, kah?

     "Untuk sementara, masalah kekurangan tenaga kerja sudah selangkah lebih maju menuju penyelesaian, ya..."

     Aku mengeluarkan tumpukan buku catatan dari rak baja.

     "Itu apa?"

     "Semacam buku harian kegiatan. Himari yang dulu menuliskannya untukku."

     Di dalamnya tercatat kegiatan-kegiatan yang kami lakukan di klub hortikultura sejak masuk SMA.

     Atau bahkan catatan penjualan 'you' pun ada.

     (Dalam situasi seperti ini, catatan memang penting, ya. Kalau dilihat-lihat begini, banyak juga hal yang sudah kulupakan... Hmm?)

     Ah, dia menulis tentang pertemuanku kembali dengan Enomoto-san.

     Eh, apa ini? "Sosok takdir muncul di hadapan Yuu?! Si cowok herbivora yang tidak populer... Saatnya bangkit! Episode selanjutnya, 'Pria yang Dipermainkan Roda Takdir', nantikan!" Berisik sekali! Ini benar-benar seperti cuplikan episode anime berikutnya saja...

     Sejak kemarin, aku juga membaca ini, dan entah kenapa, aku jadi teringat jelas diriku di masa lalu, saat masih asyik bermain dalam kotak pasir sendiri. Sungguh memalukan. Yah, mungkin sekarang juga tidak banyak berubah, sih...

     "Ah. Dia juga menulis tentang Kako-senpai, ya."

     "…Begitu, ya."

     Mendengar itu, Mera-san tersentak, lalu buru-buru mengulurkan tangan hendak merebut buku catatan itu. Dengan sigap, aku berhasil menghindarinya.

     "Apa yang kamu tulis?! Perlihatkan—!"

     "Tidak, tidak ada yang penting kok. Sungguh…"

     Bahaya, bahaya.

     Kalau sampai ini diperlihatkan, dia pasti akan marah besar. Sayang sekali kalau nanti jadi runyam padahal dia sudah mau menerima pekerjaan paruh waktu.

     (Ah. Dia juga menulis tentang kedatangan Kureha-san saat liburan musim panas, ya…)

     …Benar sekali.

     Setelah ujian akhir semester selesai dan aku pulang ke rumah, tiba-tiba dia sudah ada di sana.

     Awalnya kukira dia wanita yang baik hati… Yah, sekarang aku tahu dia memang orang yang baik. …Mungkin. Tidak, pasti. Barangkali.

     ...Eh, kenapa Himari menulis perkiraan ukuran dada Kureha-san?

     Cewek itu, padahal dirinya sendiri hampir diculik, tapi dia santai sekali. Astaga, saat-saat penting begini malah melakukan hal ini... Eh. Sebanyak ini? Serius? Aku memang tahu dia besar, tapi kalau ditunjukkan dengan angka begini...

     (Sialan! Jangan sampai terbawa informasi bodoh!)

     Aku buru-buru mengalihkan pikiran.

     Melihat kembali buku catatan itu... Ah.

     Terkait insiden liburan musim panas, aku menyadari sebuah item tertentu.

     "...Benar juga, masalah itu jadi terbengkalai."

     Saat aku sedang memikirkan hal itu.

     Pintu ruang sains diketuk, lalu terbuka begitu saja tanpa menunggu jawaban.

     "Nahaha. Natsu, aku mengganggu ya."

     Itu adalah Makishima.

     Teman sekelas kami yang playboy sejati. Dia juga teman masa kecil Enomoto-san, dan sekaligus orang merepotkan yang selalu ikut campur dalam hubungan kami.

     Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya kami bertemu setelah naik ke kelas tiga.

     "Yo. Jarang-jarang Makishima muncul di sini."

     "Nahaha. Yah, sesekali memang begitu."

     Dia membuka kipas ungunya, lalu mendekatkan wajahnya dengan cengiran.

     "Bagaimanapun juga, aku ini kakak iparmu di masa depan, kan?"

     "Kamu dan Enomoto-san tidak punya hubungan darah, kan..."

     Pasti orang ini sedang senang karena berhasil mengalahkan Hibari-san, ya?

     Melihat Makishima yang tetap seperti biasanya, aku tanpa sadar tersenyum pahit. Meskipun sudah naik kelas, dia tetap saja orang yang seenaknya.

     "Ngomong-ngomong, aku kebetulan sedang memikirkanmu, lho."

     "Hah? Kata-kata rayuan seperti itu, gunakan saja pada Rin-chan. Sayangnya, kalau dari cowok, itu cuma menjijikkan."

     "Jangan samakan semuanya dengan istilah PDKT..."

     Dia benar-benar tidak berubah, ya…

     "Tidak, bukan begitu maksudku… Tunggu?"

     Hendak melanjutkan percakapan, aku teringat akan keberadaan para gadis.

     Terutama Shiroyama-san, sepertinya dia tidak mengenal Makishima. Soalnya saat festival budaya, Makishima terus-menerus berada di stan kelasnya sendiri. Seingatku, dia tidak mampir ke acara penjualan aksesori kami.

     "Kalian berdua. Ini Makishima..."

     Saat hendak memperkenalkannya kepada mereka.

     "...Eh? Mera-san mana?"

     Di sana hanya ada Shiroyama-san.

     Mera-san tiba-tiba menghilang. Eh, ke mana dia? Sungguh, tidak ada jejak sama sekali. Jangan-jangan dia sudah pulang saat aku berbicara dengan Makishima?

     Tapi aneh juga kalau aku sama sekali tidak menyadarinya.

     Saat aku memiringkan kepala, pandanganku bertemu dengan Shiroyama-san. Entah kenapa dia tampak sangat panik. Seolah tidak tahu harus berbuat apa.

     Meskipun dia menatapku begitu, aku juga tidak tahu harus berbuat apa.

     "Shiroyama-san. Mera-san mana?"

     "Kako-senpai..."

     Mengikuti arah pandangannya, aku melihat ke bawah meja enam orang.

     "...???"

     Aku mengintip ke bawah sana.

     Entah kenapa, di bawah meja, Mera-san sedang duduk bersila sambil memeluk lututnya.

     Wajahnya tegang, berusaha mati-matian menahan napas.

     Saat menyadari aku mengintip, dia buru-buru memberi isyarat, "Ssst! Ssst!" Yah, kalau reaksinya begitu, aku jadi bingung juga...

     Saat aku dan Shiroyama-san saling berpandangan dengan ekspresi "???", dia menyerah dan merangkak keluar dari bawah meja.

     "Eh? Ada apa?"

     Saat kutanya, dia memohon dengan mata berkaca-kaca.

     "Ada orang yang sedang bersembunyi, jadi mengertilah situasinya!"

     "K-kalau begitu, kenapa...?"

     Kalau tidak dijelaskan lebih dulu, mana mungkin aku bisa mengerti...

     Ketika aku masih dalam kebingungan, jawabannya datang dari Makishima. Dengan senyuman segar yang tidak pernah dia tunjukkan padaku, dia berkata kepada Mera-san,

     "Hai, Mera. Tak kusangka kita bertemu di sini."

     "...!?"

     Mera-san tersentak, lalu menoleh ke arahnya dengan kaku.

     "S-selamat siang, Senpai..."

     "Nahaha. Jangan terlalu tegang begitu. Aku tidak akan memarahimu. Kamu tidak muncul di klub belakangan ini, apa kabarmu baik?"

     "I-iya, Senpai. Aku baik-baik saja~"

     Eh? Jangan-jangan mereka saling kenal?

     Saat aku bertanya-tanya, jawaban datang dari Makishima.

     "Anak-anak klub tenis putri juga merindukanmu, lho. Kalau ada waktu luang lagi, datanglah sesekali."

     "B-baik..."

     Ah, begitu, ya…

     Mera-san memang awalnya anggota klub olahraga. Dia bilang sulit datang ke klub setelah gagal menyatakan cinta pada senpai yang itu… Ternyata dia satu klub tenis dengan Makishima.

     (Tentu saja canggung, ya. Aku merasa bersalah…)

     Sementara aku sedikit merasa bersalah, keduanya terus melanjutkan percakapan. Mera-san terlihat kaku sepanjang waktu. Mungkin wajar saja karena dia bolos klub.

     (Tapi…)

     Gaya senior Makishima maupun gaya junior Mera-san, keduanya terasa sangat aneh…

     Bukan berarti di dalam klub itu tidak normal. Tapi karena aku tahu sifat asli mereka berdua, rasanya punggungku jadi sangat gatal.

     Saat aku memikirkan hal itu dengan santai, Shiroyama-san bertanya,

     "Yuu-senpai. Orang ini siapa?"

     "Ah, benar juga. Ini Makishima. Teman sekelasku dan teman masa kecil Enomoto-san."

     Namun, Makishima menyela dengan nada tidak puas.

     "Hei, Natsu. Itu tidak cukup, kan?"

     "Eh? Ada hal lain yang perlu kukatakan?"

     Makishima menyeringai.

     Dia mengeluarkan kipas dari saku dadanya dengan sombong, lalu membukanya dan berpose.

     "Sekarang setelah Natsu dan Rin-chan bersatu, aku adalah dermawan dan perantara jodoh besar bagi mereka berdua! Aku adalah pembawa happy ending ini, dan akulah aktor utama yang sesungguhnya! Kamu harus benar-benar menyebarluaskan hal itu, ya!"

     "Sungguh perantara jodoh yang sok ikut campur..."

     Tidak, bagian yang tidak bisa kubantah sepenuhnya itu justru yang merepotkan.

     Tapi aku tidak ingin merasa berutang budi padanya. Memang ada beberapa hal yang patut disyukuri, tapi dia juga perantara jodoh (palsu) yang membawa banyak masalah...

     Makishima menggenggam tangan Shiroyama-san dengan tatapan manis.

     "Maka dari itu. Jika kamu menganggap Natsu sebagai gurumu, panggillah aku maha guru yang lebih tinggi lagi!"

     "Hentikan, dasar iblis nafsu!"

     Aku melepaskan tangan Shiroyama-san yang sedang melongo.

     "Ada apa? Kamu terlalu protektif, ya. Apa kamu sudah bersiap-siap untuk menjadikannya simpanan?"

     "Bukan kamu yang kumaksud. Kalau kamu sampai menyentuh Shiroyama-san..."

     Makishima menatapku dengan mata menantang, "Ada apa?"

     Aku membalas tatapannya lurus, lalu berkata dengan tegas.

     "Aku akan meminta Enomoto-san untuk mematahkan semua raket tenis di kamarmu."

     "Uhuk..."

     Ternyata, ancaman ini berhasil mengenai Makishima.

     "Sungguh. Memang bagus kamu berubah setelah study tour, tapi kamu jadi kehilangan pesonamu, ya."

     "Berisik! Kamu sendiri, kenapa tidak sedikit lebih tenang?"

     "Itu tidak bisa kulakukan. Biarpun aku ingin tenang, para gadis tak mau melepaskanku."

     "Jangan secara natural membanggakan popularitasmu begitu..."

     Tepat saat itu, bel pelajaran berbunyi.

     Waktu istirahat makan siang sebentar lagi berakhir.

     (Karena terbawa suasana dengan Makishima, akhirnya pembicaraan tidak banyak berkembang, ya...)

     Aku menoleh ke arah dua gadis itu.

     "Mengenai bantuan itu, aku akan bicara dulu dengan Saku-neesan, baru nanti akan kuminta bantuan kalian lagi, ya."

     "Baik!"

     Shiroyama-san menjawab dengan ceria, sementara Mera-san masih saja cemberut... Tunggu?

     Ada yang aneh dengan Mera-san. Dia tampak melirik Makishima sesekali, seolah tidak mendengarkan pembicaraan kami.

     (...Yah, kalau dilihat dari percakapan tadi, dia pasti merasa canggung)

     Saat aku memikirkan itu, Makishima merangkul bahuku.

     "Nahaha. Kalau begitu, Natsu, ayo cepat kita menuju tempat piket."

     "Kita di tempat yang berbeda, tahu!"

     Aku mengunci ruang sains, lalu memutuskan untuk menuju ruang guru.

♣♣♣

     Aku berjalan di sepanjang koridor penghubung.

     Saat kami tiba di halaman tengah, Makishima berkata dengan ekspresi bingung.

     "Tapi, kenapa Mera ada di sana?"

     "Ah. Dia satu klub tenis denganmu, kan. Eh, kalau dijelaskan akan sedikit panjang, sih..."

     Aku menjelaskan secara singkat insiden saat liburan musim dingin.

     Kebetulan Mera-san datang untuk bekerja paruh waktu di minimarket kami. Lalu, dia berteman dengan Shiroyama-san, yang juga mulai membantu di sana (begitulah ceritanya), dan karena hubungan itu, dia ada di klub hortikultura. ...Yah, kira-kira begitu.

     Hmm. Ternyata aku punya kemampuan untuk menyampaikan poin-poin penting saja, ya. Saat berbicara dengan Araki-sensei, aku harus memanfaatkan kemampuan ini...

     "Jadi, aku sedang dalam proses meminta bantuannya untuk kegiatan aksesoriku ke depan. Karena Himari dan Enomoto-san untuk sementara akan memprioritaskan waktu mereka sendiri."

     "Nahaha. Jadi, seperti mendapatkan perahu di saat membutuhkan, ya."

     "Meskipun caramu mengatakannya begitu... Yah, begitulah."

     Sejujurnya, itu memang keberuntungan bagiku.

     Namun, Makishima yang mendengarnya berkata dengan nada sedikit tercengang,

     "Tapi, menyerahkan bunga pada orang yang merusak aksesori milikmu, kemurahan hatimu itu keterlaluan juga, ya."

     "Yah, meskipun mulutnya kasar, pada dasarnya dia anak yang baik."

     "Begitu? Yah, dia wanita yang mencuri aksesori orang lain sebagai pelampiasan dendam. Sebaiknya kamu jangan terlalu mempercayainya, demi kebaikanmu sendiri."

     "Aku rasa itu tidak masalah, tapi... Tunggu?"

     Kata-kata itu membuatku merasa ada yang janggal.

     "Apa aku pernah memberitahumu kalau aksesoriku diambil saat festival budaya?"

     "Tidak?"

     "Apa Enomoto-san yang memberitahumu?"

     "Nahaha. Hal seperti itu aku tahu tanpa perlu bertanya. Karena aku tahu Mera adalah wanita seperti itu, aku pun memanfaatkannya."

     "Apa?"

     Memanfaatkannya?

     Untuk apa?

     Saat aku menghentikan langkah, Makishima mengerutkan alisnya dengan heran.

     "Ah. Apa kamu tidak tahu, ya?"

     "Tentang apa?"

     "Tentang senpai yang membuat Mera merasa canggung karena dia ditolak."

     "Tidak, aku tidak tahu..."

     Benar juga, aku belum pernah bertanya orang seperti apa dia.

     Bahkan saat membuat aksesori krokus pun, aku hanya terus-menerus mendengarkan cerita tentang hal-hal yang disukainya dari orang itu.

     Mendengar caranya berbicara, terkesan bahwa dia adalah murid laki-laki yang sangat baik dan bisa diandalkan, seolah-olah dia adalah sosok manusia yang sempurna...

     Saat aku sedang membayangkan seperti itu, Makishima mengeluarkan kipas dari saku dadanya. Dia perlahan-lahan mengarahkannya, entah mengapa, ke wajahnya sendiri.

     "Itu aku."

     "............"

     Aku berpikir sejenak tentang arti perkataan itu...

     "Apa?!"

     Oh, pantas saja!

     Sekarang aku mengerti mengapa tadi ada yang aneh. Bolos kegiatan klub... tapi reaksinya berlebihan. Kalau hanya itu, Mera-san yang pada dasarnya tebal muka, pasti tidak akan sampai bersembunyi di bawah meja untuk kabur.

     (Ah, begitu rupanya. Memang benar, si Makishima itu bersikap manis di depan perempuan)

     Yah, soal baik hati dan bisa diandalkan itu, entah bagaimana... sepertinya itu bisa terjadi tergantung sudut pandangnya.

     Di kalangan laki-laki pun dia dikenal sebagai orang yang asyik dan baik. Hanya saja, terhadap kami, kebaikan itu hanya digunakan untuk tujuan jahat... Kemampuannya bersandiwara seperti ini memang mirip dengan Himari.

     "Kamu, dengan sikapmu tadi... benar-benar jahat, ya."

     "Nahaha. Akan kuterima sebagai pujian."

     "Bukan, aku tidak memujimu..."

     Aku menghela napas, lalu kembali berjalan.

     Begitu rupanya, begitu rupanya. Itu pasti hal yang tidak terduga bagi Mera-san. Aku juga tidak tahu soal itu, tapi ini cukup memalukan.

     Sambil merasa khawatir, "Bagaimana kalau lamaran kerjaku ditolak, ya...", aku menyadari masih ada hal yang mengganjal.

     "...Memanfaatkan, maksudnya apa?"

     Aku menghentikan langkahku lagi di tempat itu.

     Firasat buruk mulai muncul di dasar tubuhku.

     Makishima pun ikut menghentikan langkahnya, lalu perlahan menoleh ke belakang.

     Dia mengangkat bahu, mengucapkannya seolah-olah itu bukan apa-apa.

     "Itu bagian dari dukungan untuk Rin-chan. Aku membuat Mera berperan untuk menciptakan keributan dalam hubungan kalian."

     "...Ngomong-ngomong, dulu kamu memang pernah bilang sedang melakukan hal seperti itu, ya."

     Tahun lalu, Makishima sering melakukan intrik buruk demi menyatukan Enomoto-san dan aku. Kalau tidak salah, dia berusaha mengguncang hubunganku dan Himari sebagai sahabat dekat agar Enomoto-san punya celah untuk ikut campur.

     Memang sempat terjadi perselisihan karena itu, tapi sekarang semuanya sudah beres, jadi aku tidak berniat mempermasalahkannya...

     "Kamu melakukan apa pada Mera-san?"

     "Waktu itu, aku sengaja berpura-pura tertarik pada Mera. Aku tahu dia itu sederhana, jadi dia pasti akan segera bertindak. Inoue dan Yokoyama juga, sesuai harapan, ikut termakan setelah memesan aksesori dari Natsu."

     Inoue-san dan Yokoyama-san.

     Mereka berdua adalah "duta promosi" yang bersedia membantu setelah aku membuat aksesori custom-made. Berkat itu, Mera-san pun datang kepadaku. Namun, dari ucapan Makishima, sepertinya itu semua sudah masuk dalam perhitungannya, ya.

     Seolah membanggakan pencapaiannya sendiri... Tidak.

     Bagi Makishima, memang begitulah adanya. Selama aku dan Enomoto-san sekarang berpacaran, apa yang telah dilakukannya menjadi dibenarkan.

     Usahanya membuahkan hasil.

     Siapa yang bisa menyalahkannya?

     Aku pun pernah menyakiti orang. Kala itu banyak aksesori yang dikembalikan, dan aku juga ditegur oleh Sasaki-sensei.

     Mera-san pun salah satunya. Melalui promosi berlebihan tentang aksesoriku, aku telah memaksakan penderitaan yang tidak perlu baginya. Bahkan sekarang, dia merasa canggung dan tidak bisa lagi pergi ke kegiatan klub.

     "Makishima, apa pendapatmu tentang Mera-san?"

     "Yah, dia orang yang baik. Sederhana, dan mudah diatur."

     Lalu, dia mendekatkan wajahnya ke telingaku, dan berkata dengan nada yang tampak sangat riang.

     "Lagipula, jika yang kubohongi adalah sampah, hatiku juga tidak akan sakit."

     "...!"

     Peristiwa liburan musim dingin tahun lalu terlintas dalam benakku.

     Melamar pekerjaan paruh waktu di minimarket kami, lalu ada sedikit masalah dengan Shiroyama-san... Memang benar, aku juga memandang Mera-san dengan cara seperti itu, dan bahkan sampai sekarang pun dia bukan anak yang terlalu kusukai.

     Tapi, setidaknya.

     Aku tidak berpikir anak itu pantas diperlakukan serendah itu.

     Memang benar pertemuan kami sangat buruk, dia juga punya sifat egois, dan hingga kini masih banyak hal yang tidak cocok denganku.

     Namun, jika diajak bicara baik-baik, ada sisi baiknya, dan aku tahu dia adalah anak yang jauh lebih menghargai teman daripada aku.

     Entah mengapa hatiku gelisah tanpa sebab saat Makishima mengatakan dia adalah sampah.

     "Mera-san menangis, tahu!"

     "Lalu kenapa?"

     "Mungkin bagimu itu hanya main-main, tapi gadis itu serius."

     "Hah. Terus kenapa kalau serius? Pada akhirnya, cinta itu hanya ada dua hasil, hitam atau putih, bukan?"

     "Bagaimanapun hasilnya, kamu tidak punya hak untuk meremehkan orang yang bersungguh-sungguh."

     "...Begitu. Pendapat yang membosankan. Memang berbeda rasanya menjadi pria yang cinta pertamanya terwujud."

     Tanpa sadar, aku mencengkeram bahu Makishima.

     Makishima mengerutkan kening tidak suka, tapi dia tidak menepis tanganku.

     "Minta maaflah pada Mera-san."

     "Hah?"

     Kemudian dia mengalihkan pandangan, dan menghela napas dengan ekspresi benar-benar bosan.

     "Aku sudah menduga akan dimarahi karena aksesorimu rusak, tapi aku tidak menyangka kamu akan menyuruhku meminta maaf kepada Mera."

     "Aksesoriku itu ada karena perasaan tulus dari klien."

     "Begitu. Jadi proses lebih penting daripada hasil, ya. Sungguh membosankan."

     "Minta maaflah pada Mera-san."

     "Tidak mau. Aku bertindak sesuai keyakinanku. Kamu tidak berhak memaksakan benar dan salah padaku."

     Makishima berkata dengan dingin.

     "Cinta yang tidak menghasilkan apa-apa, apa gunanya?"

     "Hasil bukanlah segalanya. Jangan pernah menyangkal kesungguhan dalam menghadapi sesuatu, baik itu berhasil atau gagal."

     Kami saling menatap tajam untuk sesaat.

     "Kamu itu selalu tidak bisa ditebak apa yang ada di pikiranmu, serampangan dalam banyak hal, dan selalu berpura-pura jahat untuk ikut campur... tapi aku selalu berpikir kau sebenarnya orang baik."

     "............"

     Makishima sengaja mengangkat bahunya, seolah mengejek.

     "Apa kamu tidak salah paham?"

     "Maksudmu apa?"

     "Apa kamu pikir aku benar-benar hanya dengan niat baik ingin menyatukanmu dan Rin-chan? Seperti yang sudah berulang kali kukatakan, kalau bukan karena utang budiku pada Rin-chan, mana mungkin aku mendukung cinta kekanak-kanakan semacam itu."

     Aku ingat pernah mendengar hal serupa dari Makishima sebelumnya.

     Itu terjadi sebelum festival budaya kelas dua... saat Enomoto-san mengemukakan ide untuk tidak ikut dalam acara penjualan aksesori.

     "Dan selama cinta Rin-chan sudah terwujud, aku tidak punya kewajiban untuk terus mengawasi hubungan kalian dengan baik."

     "............"

     Bel berbunyi.

     Waktu istirahat makan siang berakhir, dan suasana di sekolah menjadi ramai. Meskipun aku tahu harus segera menuju lokasi piket... aku tidak bisa beranjak dari tempat ini.

     Makishima tertawa mencemooh.

     "Kalian hanyalah karakter dalam permainanku. Kali ini, akan kutanamkan kesadaran pada kalian bahwa kalian adalah hiburanku."

     Dia membuka kipasnya, lalu mengelus pipiku dengan kipas itu.

     Kemudian, dengan sikap layaknya seorang antagonis, dia melanjutkan,

     "Akan kuberikan pertarungan yang sangat kamu sukai. Kalau aku kalah, aku akan menuruti permintaanmu."

     "Pertarungan?"

     Dia mengatakan sesuatu yang berlebihan lagi.

     "Kalau perasaan tulus itu penting, cobalah gerakkan hatiku dengan itu."

     "Maksudmu apa?"

     "Tidak, ini tidak sulit. Buatlah satu aksesori dengan diriku sebagai temanya. Kalau itu bisa menggerakkan hatiku... maka, aku akan meminta maaf kepada Mera."

     Kemudian dia kembali melangkah... tapi tiba-tiba menghentikan kakinya.

     "Ah, benar juga. Karena sudah begini, akan kuberi kamu bonus yang akan membuatmu bersemangat."

     Dan dengan senyum yang sangat licik, dia berkata dengan lantang,

     "Menggunakan wanita sampah itu sesukaku dan kemudian mencampakkannya sungguh sangat menyenangkan."

     —Saat itu.

     Aku merasakan tatapan dan menoleh ke belakang.

     "............"

     "............"

     Mengapa dia ada di sana?

     Tidak, mungkin dia juga sedang dalam perjalanan menuju tempat piket, seiring berakhirnya jam istirahat makan siang, sama seperti kami.

     Atau—mungkin dia mengejar orang yang pernah menolaknya, ingin mengatakan sesuatu.

     Bagaimanapun, aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di sana, dan saat ini, itu tidak penting.

     Masalahnya adalah situasi ini.

     —Mera-san menatap kami dengan mata terbelalak, dalam keadaan terpaku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close