NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 9 Chapter 1

 Penerjemah: Nobu

Proffreader: Nobu


Chapter 1

 “Jangan Pernah Lengah”


♣♣♣

     Januari. Semester baru.

     Musim dingin masih menyisakan angin dingin yang menusuk.

     Dulu waktu kecil aku dibesarkan dengan perkataan "anak kecil itu anak angin, anak sehat!", tapi kini dengan akal sehat yang cukup, aku mengerti betapa tidak wajarnya bermain di luar dengan energik di tengah musim dingin seperti ini.

     Pagi itu.

     Begitu aku keluar rumah, sebuah suara yang sangat ceria terdengar.

     "Yuu-senpai! Mari kita berangkat sekolah!"

     "...Iya."

     Itu Shiroyama Mei-san, dalam balutan seragam sekolahnya.

     Entah mengapa, aku dijemput oleh murid perempuan SMP-ku.

     Sebagai permulaan tahun baru, ini adalah situasi yang cukup membuat perutku mual, dan rasanya aku sudah ingin menyerah.

     "Pagi ini kamu tidak bantu di minimarket, kan?"

     "Itu urusan nanti, aku datang menjemput!"

     Urusan nanti apanya, aku tidak mengerti.

     Kalau saja aku punya kemampuan komunikasi sekuat Himari, mungkin aku bisa menimpali dengan "Aku paham~" seperti gadis-gadis yang nongkrong di Starbucks, tapi sayangnya aku bukan gadis yang nongkrong di Starbucks, jadi aku tidak mengerti. Maaf, ya... karena punya guru sepertiku. 

     Atau mungkin, di mata publik ini adalah hal yang wajar. Aku memang tinggal di Jepang, tapi sulit rasanya mengatakan aku sudah menguasai tata bahasa Jepang dengan sempurna. Bahasa Jepang juga dikenal sebagai salah satu bahasa tersulit di dunia, dan mustahil bagiku yang baru hidup belasan tahun untuk menguasai sepenuhnya. Jalan ilmu pengetahuan memang seperti hutan belantara kehidupan yang begitu dalam.

     Yah, sudahlah. Bukan, bukan sudahlah, tapi mari kita anggap sudahlah. Mencoba memahami pemikiran orang jenius itu memang mustahil sejak awal. Syukurlah dia tidak memakai kostum.

     Lebih dari itu, aku penasaran dengan siswi SMA kelas satu yang cemberut di samping Shiroyama-san.

     Dia adalah pendatang baru di minimarketku, Mera Kamako.

     Dia juniorku, dan musuh bebuyutanku karena pernah merusak aksesorisku, tapi berkat kerja paruh waktu di liburan musim dingin, kami berhasil sedikit berdamai. Tentu saja tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata selembut itu, tapi mari kita anggap begitu saja.

     "Kenapa Mera-san juga ada di sini?"

     "Mei datang ke rumah."

     "Mengerti."

     Gerakan anak anjing penurut itu benar-benar mengalahkan gaya gyaru-nya.

     Ini memang vitalitas Shiroyama-san. Anak ini, kalau dengan orang yang tidak dikenal dia akan sangat waspada, tapi begitu akrab, dia langsung jadi tipe "Ruang pribadi? Apa itu enak?" Jujur saja, itu gila. Aku benar-benar berharap dia tidak terjerat pria aneh di masa depan.

     Bagaimanapun, hari ini mari kita berangkat sekolah bersama mereka berdua. Kalau tidak, nanti terlambat. Aku lega mereka berdua sepertinya berangkat sekolah naik sepeda.

     Aku juga mengambil sepeda dari belakang rumah. Lalu, tanpa terdengar oleh Shiroyama-san yang sedang memakai helm dengan riang gembira, aku berbisik pada Mera-san.

     "Mera-san. Besok tolong tolak ya."

     "Hah? Maksudnya apa?"

     Aku menjawab dengan senyum yang sangat lembut, penuh kasih sayang.

     "Kamu tidak mau kan setiap hari berangkat sekolah bersamaku sampai aku lulus?"

     Mera-san menggigil, "Zo...!"

     Fufufu, benar sekali. Anak yang kamu nyatakan sebagai temanmu itu, memang seperti itu orangnya. Jujur, aku tidak sanggup menghadapinya, jadi aku sangat berharap kamu bisa bertahan. Bagaimanapun juga, aku mohon jangan sampai setiap hari aku berangkat sekolah dikelilingi gadis-gadis junior.

     (Yah, meskipun begitu, mungkin ada sedikit untungnya...)

     Bagaimana pun juga, hari ini adalah hari pertama semester baru.

     Itu berarti—hari aku akan bertemu dengan Himari.

     Sejujurnya, sejak bangun tidur, aku sudah merasa sangat berat. Perutku sedikit sakit. Kalau tidak karena Shiroyama-san dan yang lain datang, mungkin aku sudah bolos sekolah. Mereka datang membuatku mau tak mau harus berangkat.

     Aku melirik Mera-san di sampingku.

     ...Ngomong-ngomong, dia juga pernah melewati jalan yang sama, ya.

     "Mera-san, kamu hebat ya."

     "Hah? Apanya?"

     "Tidak, bukan apa-apa..."

     Mera-san hanya memiringkan kepalanya, sementara aku, setelah belajar dari kejadian liburan musim dingin untuk tidak mengungkit-ungkit urusan percintaan orang lain.

♣♣♣

     Kami tiba di sekolah.

     Entah mengapa, sekolah setelah tahun baru terasa lebih bersih dari biasanya. Sambil memikirkan hal itu, aku mendorong sepeda dan melewati gerbang sekolah.

     Aku dan Mera-san, kami berdua menghela napas panjang.

     "Hah. Akhirnya sampai juga..."

     "Iya, ya..."

     Padahal tadinya aku berpikir untuk segera berpisah setelah Shiroyama-san pergi. Tidak kusangka anak itu benar-benar mengikuti sampai depan sekolah...

     Gara-gara itu, sepanjang perjalanan ke sekolah, Mera-san sangat murung dan itu merepotkan.

     "Kenapa di awal tahun baru aku harus melewati gerbang sekolah bareng Senpai seakan-akan kita akrab?"

     "Aku setuju sepenuhnya, tapi itu kan salahmu sendiri karena tidak bisa menolak ajakan Shiroyama-san."

     "Kamu kan gurunya? Tolong hentikan dia dengan cerdik."

     "Mana bisa aku melakukan itu, ditatap dengan mata polos seperti itu..."

     Mera-san berdecak, "Ugh..."

     "Aku tahu, sih... aduh. Bagaimana kalau ini terus berlanjut sampai lulus nanti..."

"Bagaimana kalau hanya Mera-san saja yang berangkat sekolah bersamanya?"

     "Hah? Senpai, bodoh ya?"

     Lalu Mera-san berkata dengan nada seolah "memang sudah jelas":

     "Kamu pikir kamu bisa mengatakan hal seperti itu saat ditatap dengan mata indah itu?"

     "...Iya juga."

     Aku setuju sekali, sampai-sampai aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

     Saat kami berdua menghela napas panjang karena kemurungan...

     Dari belakang, gerombolan gal menyerbu!

     "Oi~!"

     "Kako, pagi~!"

     "Awal tahun baru sudah berangkat sekolah bareng cowok, nih? Enak banget hidupmu~?"

     Aku terkejut dan menoleh, melihat tiga gadis sedang berbicara dengan Mera-san. Mereka tampak akrab, dan sepertinya mereka adalah siswi kelas satu.

     Eh, tunggu, kok rasanya familiar, ya? Siapa, ya?

     Emm... Tepat saat aku mulai terpikir, salah satu gal itu membelalakkan mata dan menunjukku.

     "Ah! Si Accessory Man waktu festival budaya!"

     "Accessory Man..."

     Apa itu pahlawan keadilan yang bertarung dengan aksesori, ya?

     Mungkin pemimpinnya itu Tenma-kun. Satu-satunya gadis adalah Sanae-san, ya. Aku kan pengguna bunga, jadi mungkin kebagian yang warna hijau. Biasanya warna ini untuk tipe dewasa, jadi aku benar-benar salah pilih...

     (Benar. Mereka adalah anak-anak yang membuat onar di festival budaya.)

     Penjualan aksesori yang kami lakukan di festival budaya.

     Saat itu, mereka rupanya diam-diam mengambil beberapa aksesori. Kejahatan itu akhirnya terungkap berkat usaha Ibu Mera-san. Yah, itulah penyebab Mera-san jadi bekerja paruh waktu di minimarket kami.

     Meskipun terlihat seperti mereka yang mengambil, sebenarnya mereka melakukannya atas permintaan Mera-san. Karena mereka anak-anak seperti itu, aku sedikit tidak tahu harus bersikap bagaimana.

     Ketiga gal itu menggodai Mera-san dengan sangat gembira, sambil mencubit pipi dan rambutnya.

     "Apa-apaan nih? Kako, seriusan kamu kerja paruh waktu di rumah Senpai ini?"

     "Terus, berangkat sekolah bareng segala, jangan-jangan ada sesuatu nih?"

     "Musuh kemarin adalah cinta hari ini, gitu? Katanya sih ngeluh dipaksa sama mama buat kerja paruh waktu di sana, tapi sebenarnya senang-senang aja, ya?"

     Pipi Mera-san dicubit-cubit, mogyu-mogyu-mogyu-mogyu.

     Seketika Mera-san murka.

     "Berisik! Kalian semua, diam!"

     "Hiyyaaa. Kako, suaramu besar banget!"

     "Jangan malu-malu dong~. Kalian kan sudah berbaikan~?"

     ...Ada apa dengan suasana riuh rendah ini? Ini sangat canggung, ya.

     Ah, benar, aku bisa jalan duluan saja. Lagipula, kenapa juga aku menunggu mereka selesai bicara? Menyadari kebenaran dunia yang satu itu, aku diam-diam mencoba menggerakkan sepeda.

     Tapi, aku tidak bisa kabur!

     Ketiga gal itu mengelilingiku!

     Aku sempat bersiap-siap, mengira mereka akan memalak, tapi sepertinya situasinya berbeda. Ketiga gal itu menyatukan kedua tangan dan menundukkan kepala.

     "Senpai. Maafkan kami waktu itu~."

     "Habisnya~, kami juga tidak bisa diam saja waktu teman kami dibuat nangis, kan?"

     "Kami tadinya mau langsung minta maaf, tapi~ Kako melarangnya~."

     Oh, jadi begitu...

     Rupanya mereka memang berniat meminta maaf. Aku jadi malu sendiri karena sempat salah sangka.

     "Tidak, sudahlah. Aku juga mengerti perasaan Mera-san waktu itu, dan aksesorinya sudah diganti rugi, jadi tidak apa-apa. Kasus itu, aku juga salah karena membiarkannya begitu saja."

     ...Sepertinya mereka memang anak-anak baik pada dasarnya.

     Setidaknya, mereka lebih tulus memikirkan teman-temannya daripada aku. Mereka, sambil tertawa riang, kini mulai menggoda Mera-san.

     "Senpai, sebenarnya orang baik juga ya~!"

     "Ini sih, kayaknya Kako saja yang tadinya ngotot, ya?"

     "Kako, ini memalukan loh~. Kamu sudah minta maaf dengan benar belum~?"

     ...Aku dipermainkan.

     Wajah Mera-san memerah padam, dan entah mengapa dia melotot kepadaku dengan tatapan penuh kebencian.

     "Senpai, kenapa sikapmu lebih dewasa saat bicara dengan mereka daripada denganku...?"

     "Itu karena kelakuanmu sehari-hari, kan..."

     Saat-saat seperti ini, aku benar-benar berharap Shiroyama-san ada di sini. Sungguh, aku sangat berharap.

     Entah bagaimana, aku jadi ikut naik ke area loker sepatu bersama mereka. Selama itu, mereka banyak sekali bertanya tentang aksesori dan bunga. Rasa ingin tahu para gal ini luar biasa...

     Kemudian kami berpisah di tangga.

     "Kalau begitu~, kelas kami di lantai satu~."

     "Senpai, sampai jumpa~!"

     Terakhir, Mera-san membuat ekspresi "Iiiih!", tapi aku berpura-pura tidak melihatnya.

     (Nah, kalau begitu...)

     Tangga yang seharusnya biasa ini, entah mengapa terasa begitu berat. Semakin mendekati kelas, aku merasa seperti berjalan di dasar laut.

     Pergi ke kelas itu menyebalkan.

     Sampai di sini, berkat Shiroyama-san dan Mera-san, pikiranku teralihkan, tapi dalam situasi sendirian seperti ini, tidak bisa begitu.

     Kelas pertama setelah berpisah dengan Himari.

     Nasib mengerikan apa gerangan yang menantiku...?

     Yah, ini memang kesalahanku sendiri, sih. Tapi bagaimanapun juga, aku menyayangi nyawaku.

     Sebagai prasyarat, ada tiga hal: Himari disukai oleh teman-teman sekelasnya, perpisahan kali ini adalah keputusanku sepihak, dan Himari cukup kejam terhadap musuh.

     Dari sini, aku sudah memperkirakan tiga pola.

     Satu.

     Setibanya di kelas, aku akan dikeroyok. Aku mungkin akan menerima sanksi fisik dari teman-teman sekelas yang sudah menjadi pengikut setia Himari berkat jurus rahasia 'rayuan air mata' miliknya. Jangan-jangan dia necromancer dari dunia lain, ya? Ngomong-ngomong, kalau itu terjadi, aku harus siap kehilangan satu atau dua tulang. Ini kemungkinan yang paling kuat.

     Kedua.

     Sepanjang hari, aku akan menerima serangan psikologis berupa omongan sinis dari teman-teman sekelas. "Hah? Natsume-kun putus sama Himari-san?" "Gawat. Pasti sudah habis jatah keberuntungan cintanya." "Nanti mati sendirian, tidak bisa menikah, ya..." Jangan pedulikan! Kenapa juga masa depanku dicemaskan oleh teman-teman sekelas dalam khayalanku...

     Ketiga.

     Entah mengapa, aku dilarang masuk sekolah.

     Dalam kasus itu, aku yang sudah dicap sebagai putus sekolah akan dibunuh oleh Ibu dan Saku-neesan. Mereka itu sangat mementingkan pandangan orang lain. Jadi pengusaha di pedesaan memang sulit.

     Salah satu dari tiga kemungkinan ini... Ah, tidak, sebenarnya ada pilihan keempat juga.

     Dalam kasus itu, ketiga kemungkinan sebelumnya bisa menjadi jawaban ganda. Atau, aku akan memasuki waktu bonus di mana aku bisa memilih semuanya. Efek medan dalam skenario itu adalah kehidupan sekolahku akan berakhir tanpa syarat. Benar-benar dewa yang tamak☆

     ...Sambil mengatakan hal-hal bodoh untuk mengalihkan perhatian, aku akhirnya tiba di kelas. Dengan gugup, aku masuk ke dalam kelas.

     Tepat pada saat itu, teman-teman sekelasku, para cowok, langsung mengerubungiku.

     Gawat, pilihan pertama! Aku akan dipukuli...!

     Panik, aku buru-buru melindungi kepalaku. Gara-gara Iron Claw Enomoto-san, kecepatan reaksi pertahananku jadi sangat cepat.

     ...Tapi, pengeroyokan itu tak kunjung datang.

     Bahkan, entah mengapa semua orang menyambutku dengan senyum.

     "Wah, kamu putus dengan Himari-san, ya?"

     "Hei, hei, tidak puas dengan pacar selucu itu, apa kamu ini pahlawan?"

     "Memang beda ya orang yang selalu dikelilingi cewek cantik. Pantas saja berpasangan dengan Makishima."

     Aku malah disambut dengan sangat baik???

     Apa-apaan ini? Ada apa ini? Tunggu, kalau dipikir-pikir, kenapa semua orang tahu? Salah satu dari mereka menjawab pertanyaanku.

     "Itu jadi bahan obrolan di grup chat kelas."

     Seriusan?

     Siapa yang menyebarkan informasi itu? Yah, tidak perlu dipikirkan juga pasti si cowok berambut pirang itu. Enomoto-san saja tahu, jadi tidak aneh kalau dia tahu... Tunggu dulu. Kelas kami punya grup chat? Ini pertama kalinya aku dengar!

     (Hanya aku yang tidak diajak...)

     Saat mentalku sedang terganggu karena hal lain, salah satu murid laki-laki menepuk pundakku.

     Lalu, dengan senyum ramah seperti "hehe...", dia menggosok bawah hidungnya dengan jari sambil menyerahkan sesuatu kepadaku. Gerakan kuno sekali dia ini.

     Lagipula, apa ini? Amplop? Yang biasa berisi voucher hadiah, ya. Setelah kubuka, isi dalamnya adalah voucher buku senilai 500 yen.

     "Ini, dari aliansi kuribocchi tahun lalu, jadi..."

     TLN : Kuribocchi (Orang yang menghabiskan malam Natal sendirian) 

     "...Terima kasih."

     Bisa dapat begini meski cuma laporan setelah kejadian, kesejahteraan aliansi kuribocchi ini terlalu berlebihan, ya? Aku jadi benar-benar ingin bergabung!

     (Tapi, syukurlah bukan dikeroyok...)

     Justru aku disambut dengan luar biasa. Omong-omong, selama hidupku di SMA, pernahkah aku disambut seramah ini oleh teman-teman sekelas? Jangan-jangan, nilai diriku selama ini hanya sebatas 'aksesori Himari', ya...

     (Ngomong-ngomong, aku memang tidak terlalu banyak bicara dengan cowok-cowok di kelas. Mungkin ini kesempatan bagus untuk...)

     Ketika aku sedang memikirkan awal yang baru, aku mendengar anggota Aliansi Kuribocchi di belakangku berbisik-bisik.

     "Oi. Natsume-kun sudah gugur!"

     "Oke. Sekarang kita bisa mendekati Himari-san."

     "Aku duluan!"

     "Hah? Aku duluan tahu?"

     "Brengsek, ini tanda perang ya?"

     "Baguslah. Ayo kita lakukan!"

     Persahabatan Aliansi Kuribocchi rapuh sekali...

     Voucher buku ini, ah, ternyata itu! Bukan bukti persahabatan, melainkan peringatan "jangan pernah dekati Himari-san lagi" dan uang tutup mulut. Apakah ini semacam cerita horor yang jadi menakutkan setelah tahu artinya?

     Sungguh, dia memang wanita penggoda. Jika lahir di zaman yang berbeda, kemungkinan besar namanya akan tercatat buruk dalam sejarah sebagai kecantikan yang meruntuhkan negara. Untunglah kita hidup di masa damai.

     Dan akhirnya, aku menemukan Himari.

     Himari sedang tertawa riang bersama gadis lain di mejanya.

     Dari penampilannya, tidak ada yang berubah dari biasanya. Dia seolah mengatakan, "Putus denganku? Itu sudah lewat jauh sekali." Oh iya, menurut laporan Shiroyama-san, Himari langsung kembali normal keesokan harinya...

     Tepat saat itu, Himari menatapku.

     Mata kami bertemu, dan aku terkejut. Sialan, jangan panik, aku!

     Seolah membaca keadaanku dengan anggun, Himari tersenyum lebar seperti biasa, "Nimaaa~."

     Entah mengapa rasanya seperti, "Oh, jadi~? Baru sekarang sadar sebesar apa ikan yang lepas, ya~? Padahal sudah putus dengan kata-kata keras, tapi menyesal kehilangan hak untuk mengikatku yang paling cantik di dunia? Yuu itu memang payah ya, lol!" Yah, aku akui dia memang yang paling cantik di dunia, tapi isinya benar-benar keturunan Penyihir Kureha-san, tidak salah lagi.

     Ketika aku merasa muak dengan perasaan ini yang sudah lama tidak kurasakan, tiba-tiba seorang siswi lain mendekat sambil menyodorkan ponselnya.

     "Hei, Natsume-kun. Ayo tukaran LINE!"

     "Eh...?"

     Apa-apaan ini tiba-tiba?

     Oh, ngomong-ngomong, aku tidak ingat pernah bertukaran LINE dengan gadis-gadis di kelas. Pantas saja aku tidak diajak masuk grup LINE kelas...

     "Baiklah..."

     Aku mengeluarkan ponselku dan kami bertukar ID LINE.

     Entah mengapa, setelah bertukar LINE dengan gadis di kelas, rasanya seperti diakui sebagai bagian dari kelas. Padahal sudah semester ketiga... Saat aku sendirian merasakan perasaan haru itu, entah mengapa mataku bertemu dengan Himari.

     "...!?"

     Dia buru-buru memalingkan wajah.

     "?"

     Ada apa ini?

     Jangan-jangan dia melihat ke arahku? Tidak, mungkin aku terlalu percaya diri. Mana mungkin dia ribut hanya karena aku bicara dengan seorang gadis sekarang. Ketika aku memiringkan kepala seperti itu, gadis-gadis yang baru saja bertukar LINE denganku tersipu malu dan berteriak-teriak gembira.

     "Karena selama ini kami tidak bisa bertukar LINE, kan."

     "Himari-san memang penjaga yang ketat, ya."

     "Ah, aku juga mau!"

     "Hei~! Jangan terlalu ribut, nanti Enomoto-san tahu loh~!"

     Entah mengapa, mereka tampak sangat senang...

     Apa ya? Jangan-jangan bertukar LINE denganku itu semacam uji keberanian yang katanya akan mendatangkan kebahagiaan? Ngomong-ngomong, sejak insiden pengembalian aksesori di bulan Juni, para gadis di kelasku memang agak canggung padaku.

     Ah, mataku bertemu dengan Himari lagi.

     Dia buru-buru memalingkan muka dengan ekspresi terkejut. Apa-apaan dia yang terang-terangan bersiul itu... sungguh.

     Bel jam yang menandakan kegiatan belajar berbunyi, dan wali kelas pun datang.

     "Hei! Liburan musim dingin sudah berakhir, jadi ubahlah mood kalian! Cepat kembali ke tempat duduk... Oh, Natsume. Kamu sudah resmi sendirian, ya? Selamat datang kembali!"

     "...Iya."

     Bahkan wali kelas pun diajak masuk grup LINE, sedangkan aku...?

     Semua orang kembali ke tempat duduk masing-masing dengan santai.

     Aku juga melakukan hal yang sama, duduk di tempatku. Melirik ke samping, kulihat profil Himari yang tenang. Seperti biasa, dia adalah gadis tercantik di dunia.

     Sekilas, tidak ada yang berubah dari sebelum liburan musim dingin.

     (Entah mengapa, rasanya seperti kehidupan sekolah yang biasa saja...)

     Meskipun aku baru pertama kali putus cinta dalam hidupku, hari-hari tetap berjalan seperti biasa.

     Memikirkan hal itu, aku merasa sedikit sedih. Tapi setidaknya, tidak dipukuli adalah keberuntungan dalam kemalangan...

♣♣♣

     Setelah rapat sekolah, di waktu istirahat.

     Sebuah kejadian aneh terjadi di meja sebelah. Tepatnya, para gadis teman sekelasku mulai ribut-ribut di meja Himari.

     "Hei, Himari-san. Kamu baik-baik saja~?"

     "Pasti masih kepikiran, ya~. Dulu kan kalian mesra banget, ya~."

     "Semangat dong~!"

     Orang-orang yang terpengaruh oleh pesona iblis Himari berdatangan untuk menghibur dia.

     Mengerikan. Sihir Himari itu mengerikan. Aku bahkan merasa dia sedang mengendalikan mereka dengan feromonnya. Ini kan kemampuan yang hanya boleh dimiliki oleh eksekutif jahat di acara super sentai Minggu pagi!

     Yah, bukan berarti aku keberatan, sih? Ini kan kesalahanku sendiri.

     Masalahnya adalah, Himari itu...

     "Iya... Aku sudah berusaha keras, tapi Yuu bilang dia tidak puas..."

     Sambil terisak-isak, dia mendramatisir dan membesar-besarkan ceritanya.

     Setiap kali itu terjadi, aku akan dilirik tajam, dan samar-samar kudengar bisikan seperti "Kejam!", "Payah sekali!", atau "Musuh para wanita!". Kerja sama antar perempuan memang menakutkan.

     "............"

     Merasa tidak nyaman, aku bangkit dari tempat duduk. Aku memutuskan untuk keluar ke koridor dan berkeliaran sampai bel berbunyi.

     ...Teman-teman sekelasku tidak tahu. Bahwa itu adalah tangisan palsu tingkat tinggi.

     Meskipun aku yang memutuskan untuk berpisah, jangan-jangan ini akan terus berlanjut sampai kami naik kelas. Walaupun sebentar lagi ada perombakan kelas dalam waktu sekitar dua bulan, ini sungguh berat. Perutku rasanya sudah mau berlubang.

     (Yah, meskipun ini lebih damai dari yang kuduga...)

     Prediksi awalku adalah aku benar-benar akan dikucilkan.

     Anehnya, semua orang bersikap acuh tak acuh, bahkan terkesan senang. Gadis-gadis yang tadi menyerangku dengan sindiran itu juga hanya sebagian kecil di kelas. Bahkan sebelum kami berpacaran, mungkin hubungan antara aku dan Himari itu semacam hiburan, ya.

     Sambil memikirkan hal itu, tiba-tiba terdengar suara dari ujung koridor.

     "Natsume-kun~!"

     "Selamat Tahun Baru~!"

     Itu Inoue Mao dan Yokoyama Azu, yang dikenal sebagai dua gal terkemuka di kelas dua.

     Menurut Makishima, mereka adalah duo gal yang cukup dihormati oleh semua orang. Sejak insiden penjualan aksesori sebelumnya, mereka juga mulai akrab denganku.

     "Kalian berdua, selamat tahun baru. Ada apa?"

     "Tidak, kami datang untuk menemuimu, Natsume-kun."

     "Eh? Menemuiku?"

     Kemudian Inoue-san bertanya dengan wajah yang sangat serius.

     "Natsume-kun. Benarkah kamu putus dengan Himari-san?"

     "Benar sekali..."

     Kabar perpisahanku dengan Himari sudah menyebar melampaui batas kelas...

     Lagipula, kenapa mereka yang beda kelas bisa tahu? Oh, tunggu, bukankah mereka berdua sekelas dengan Makishima?

     "Itu, Makishima yang memberitahumu?"

     "Bukan? Itu ramai dibicarakan di grup chat kelas kalian~."

     Bahkan gadis dari kelas lain saja diundang, sungguh aku ini...

     Ketika mentalku sedang jatuh dan rasanya ingin menjelajahi filosofi "apa sebenarnya grup chat kelas itu...", Inoue-san memiringkan kepalanya.

     "Eh? Tapi Natsume-kun, kamu kok biasa saja, ya?"

     "Eh? Begitukah?"

     "Malah dulu waktu ada keributan aksesori, kamu kelihatan lebih terpuruk, ya~."

     "Ah~. Yang itu sih memang..."

     Itu karena serangan langsung tak terduga dari Mera-san, ya.

     Yah, tapi, aku mengerti kenapa Inoue-san merasa aneh. Sejujurnya, bagaimana, ya? Aku dan Himari itu, bahkan sebelum pacaran, sudah lengket seperti lem...

     "Ini kan aku yang memutuskan untuk putus. Jadi aneh kalau aku terus-menerus terpuruk."

     "Eh?! Kenapa? Himari-san tidak cocok begitu?"

     "Entahlah. Kalau boleh jujur, penyebabnya lebih karena kegiatan aksesori..."

     "Ohh..."

     Inoue-san berkata dengan ekspresi terkejut, "Wah..."

     "Entah kenapa, ini lebih terasa seperti duo komedian yang sudah lama berjuang bersama meskipun tidak terkenal, lalu tiba-tiba bubar setelah berhasil booming di TV, daripada sepasang kekasih yang putus."

     Ini benar-benar tidak perlu bagiku.

     Terutama bagian 'meskipun sudah lama tidak terkenal~', itu sangat menusuk bagi seorang kreator sepertiku, jadi tolong jangan diungkit-ungkit lagi.

     "Yah, begitulah. Jadi, aku akan sangat terbantu kalau kalian tidak terlalu banyak bertanya pada Himari, ya..."

     "Oh, begitu ya~. Oke, mengerti."

     Inoue-san menunjukkan pengertiannya. Kecepatan pemahamannya dalam hal ini, memang berbeda karena pengalaman cintanya, ya.

     Lalu, dia bertanya dengan nada penasaran.

     "Kalau begitu sekarang, Natsume-kun jomblo?"

     "Kalau kamu mengatakannya begitu, iya..."

     "Bagaimana dengan Enomoto-san?"

     "Kenapa Enomoto-san...? Yah, ujung-ujungnya memang begitu jadinya, ya..."

     Memang kelakuan sehari-harinya seperti itu, sih...!

     Menyanggahnya di sini juga rasanya tidak enak. Dengan perasaan campur aduk, aku menjawab jujur.

     "Dengan Enomoto-san juga, tidak ada hubungan seperti itu..."

     "Eh, seriusan?"

     Inoue-san dan yang lainnya berbisik-bisik. Aku mendengar kata-kata mengerikan seperti "Kukira kamu putus karena beralih ke Enomoto-san..." atau "Kalau begitu, nyawa Natsume-kun tidak akan selamat...", tapi aku pura-pura tidak dengar. Tegasnya, aku tidak mendengar apa-apa!

     Inoue-san menatapku lekat-lekat.

     A-ada apa? Matanya berkilau-kilau. Ada déjà vu... Ah, ini dia! Mirip dengan tatapan Himari saat sedang merencanakan kejahilan. Aku punya firasat buruk sekali.

     Begitu pikiran itu terlintas, Inoue-san mendorong punggung Yokoyama-san, mendorongnya ke hadapanku.

     "Kalau begitu, coba saja pacaran sama Azu, mau?"

     "Hah?"


    Yokoyama-san terkejut dan menoleh ke temannya.

     "Mao!? Hei, kamu bicara apa sih!?"

     "Biarin aja~. Kamu kan dari kelas satu sudah bilang suka wajah Natsume-kun~."

     Wajah katanya.

     Aku tidak merasa buruk... Malah, sebagai laki-laki, aku senang. Tapi dibilang hanya wajah saja itu agak rumit bagi masa remajaku. Bukankah justru pujian itu seharusnya untuk Himari yang sejak SMP selalu memeriksa penampilanku?

     "Inoue-san. Kenapa tiba-tiba sekali...?"

     "Anak ini, meskipun selalu bilang ingin punya pacar, dia itu pemalu di bagian yang aneh, jadi sampai sekarang belum pernah pacaran dengan cowok mana pun~. Nah, kalau Natsume-kun kan kelihatannya tidak akan melakukan hal buruk, jadi aman kan?"

     "Wah, itu sih entahlah..."

     Keberaniannya hebat sekali, merekomendasikan teman baiknya kepada pria yang memutuskan pacarnya demi aksesori. Yah, mungkin kelincahan seperti inilah yang membuatnya menjadi ratu gal yang populer.

     Ketika mata kami bertemu, Yokoyama-san memerah dan melambaikan kedua tangannya dengan panik.

     "B-bukan begitu! Aku cuma tidak peduli siapa pun itu!"

     "Tsundere-mu itu terlalu unik, tahu tidak..."

     Apa ada laki-laki yang akan terpengaruh dengan kata-kata rayuan seperti itu?

     "Ayo dong, Azu, semangat! Ini pasti kesempatan, kesempatan!"

     "Mao, kamu bodoh, ya!? Berhenti mendorongku!"

     Inoue-san terus mendorong Yokoyama-san tanpa peduli. Aku buru-buru mundur, menabrak dinding dan punggungku sakit sekali. Rasanya seperti di kereta penuh sesak di kota besar saja. Ini koridor sekolah, lho!

     Kenapa khusus hari ini dia begitu agresif? Inoue-san biasanya akan langsung menyerah kalau aku menolak... Lagipula, badan kami terlalu dekat, ini memalukan sekali!

     Yokoyama-san sampai pusing karena terjepit di antara aku dan Inoue-san. Aku memegang bahunya dan mencoba meyakinkan Inoue-san.

     "Maaf. Untuk saat ini, aku tidak tertarik dengan hal seperti itu..."

     "Eh!? Azu tidak boleh!?"

     "Bukannya aku tidak suka Yokoyama-san. Tapi sekarang aku ingin fokus pada aksesori..."

     Mendengar itu, Inoue-san langsung melepaskan Yokoyama-san.

     "Oh begitu~. Benar juga, ya~. Maafkan kami yang tiba-tiba ini, ya~?"

     "Tidak, aku mengerti kalian berusaha menyemangatiku. Terima kasih."

     Sebenarnya, permintaan maaf itu seharusnya diucapkan kepada temanmu yang terengah-engah dan lemas di sampingku...

     Inoue-san menarik Yokoyama-san dan berbisik padanya.

     "Tuh kan. Sudah kubilang kamu harus lebih serius. Kebiasaan buruk Azu itu selalu ragu-ragu di saat terakhir, ya~?"

     "T-tapi kan~..."

     Tolong jangan bahas evaluasi di depanku begini... Lagipula, kalau mereka lebih serius dalam situasi ini, aku justru akan semakin tidak nyaman!

     Saat aku merasakan perasaan yang sangat campur aduk, Inoue-san yang sudah kembali ceria menepuk pundakku.

     "Yah, Natsume-kun punya bakat playboy, jadi kalau kamu sudah merasa siap dengan siapa pun, silakan hubungi kami ya~."

     "Belakangan ini, reputasiku kok jadi buruk ya? Jangan-jangan itu gara-gara kalian berdua? Kalian tidak menyebarkan gosip apa-apa, kan?"

     Inoue-san tertawa (tanpa menyangkal sama sekali), lalu menarik Yokoyama-san kembali ke kelas mereka.

     "Kalau begitu, HR sudah mau mulai, sampai jumpa lagi ya~."

     "Iya..."

     Masalah aku dan Makishima dianggap berpasangan, sepertinya harus segera diselesaikan sebelum menjadi lebih gawat...

     (Ah, aku juga harus kembali ke kelas...)

     Tepat saat aku buru-buru menoleh...

     Kakiku tersandung sesuatu.

     "Guwaaaah...!"

     Aku terjatuh dengan tragis.

     Sakit sekali, lututku terbentur! Omong-omong, apa yang... Ah!

     Dari balik bayangan di tikungan tangga, Himari menatapku dari atas.

     Matanya yang dingin dan kejam itu, bahkan jika dia bilang sudah menyingkirkan satu atau dua orang pun aku akan percaya. Inilah darah bangsawan dari keluarga Inuzuka. Ternyata dia juga pengguna Haki...

     Tidak, ini bukan saatnya untuk percaya begitu saja!

     "H-Himari!? Apa-apaan ini!? Kenapa kamu menjegal kakiku!?"

     "............"

     Tatapan Himari sejenak menangkap arah koridor... yaitu Inoue-san dan temannya yang kembali ke kelas. Lalu, dengan tatapan yang seolah ingin membunuh, dia mengarahkannya kembali padaku dan berkata dengan suara dingin.

     "Semoga copot."

     Hiii...

     Dia meninggalkan kutukan mengerikan dan berjalan menuju kelas.

     ...Lalu, dia berhenti dan menoleh. Ada apa, mau dilanjutkan? A-aku tidak takut, kok! Saat aku gemetaran dan bersiap, Himari melanjutkan dengan nada pelan.

     "Semoga busuk akar dan copot."

     "Jangan bikin isinya makin mengerikan dong!?"

     Kali ini, dia benar-benar menghilang ke arah kelas.

     Bel berbunyi. Wali kelas yang datang untuk HR bertanya padaku yang sedang terduduk lemas.

     "Natsume. Sedang apa kamu?"

     "...Aku juga tidak begitu mengerti."

     Aku tidak bisa bilang, "Aku ngobrol sama teman sekelas, terus mantan pacarku mengutukku supaya copot..."


♢♢♢

PoV

Inuzuka Himari

     Aku duduk di bangku dengan wajah cemberut.

     (Si Yuu itu, menyebalkan sekali!)

     Berani-beraninya dia langsung menggoda gadis lain! Memangnya siapa yang selama ini dengan telaten merawat wajahnya sampai secantik itu?!

     (Sialan. Apa karena aku merawat wajahnya sesuai seleraku, malah jadi bumerang, ya...)

     Sekarang Yuu sudah jomblo, gadis-gadis yang tadinya tidak bisa mendekat mulai menunjukkan ketertarikan padanya. Selama Enocchi masih mengawasi dengan ketat, mungkin mereka tidak akan terlalu terang-terangan.

     Tapi aku tidak bisa lengah. Si Yuu itu, wajahnya saja yang bagus. Apalagi, karena aku yang merawatnya sesuai seleraku, sudah pasti dia akan terlihat bagus di mata gadis lain juga, kan.

     Tidak, aku tahu, kok.

     Setelah putus, aku tidak punya hak untuk ikut campur urusannya.

     Tapi itu kan hanya secara logika, manusia itu punya emosi. Aku ini egois, jadi dalam situasi seperti ini, aku bisa dengan jujur berpikir untuk menjatuhkan lawan!

     HR pun dimulai, dan wali kelas mulai membahas study tour bulan depan.

     "Ehm. Study tour yang selama ini sudah kita rencanakan di sela-sela waktu luang... sekarang kita akan menentukan destinasinya. Ada Tokyo dan Okinawa, ya. Kalian sudah memikirkannya baik-baik, kan?"

     "Iyaaa," suara-suara samar terdengar.

     "Baik, pertama, siapa yang ingin ke Tokyo angkat tangan. Di sini kalian akan mengunjungi tempat-tempat terkenal dan harus menyerahkan laporan tentang ibu kota."

     Aku mengangkat tangan.

     Sebenarnya aku tadinya ingin ke Okinawa, tapi aku sudah berjanji bertemu Kureha-san, jadi... Aku melirik ke samping, dan tentu saja, Yuu juga memilih Tokyo.

     "Oke, pas separuh, ya. Kalau begitu, sisanya ke Okinawa. Di sana ada aktivitas seperti diving dan laporan pengalaman budaya."

     Keputusan itu dibuat dengan mudah.

     Kelas kami memang tidak pernah ribut soal acara-acara seperti ini. Waktu festival budaya juga, semuanya cepat diputuskan.

     "Kalau begitu, kita akan langsung menentukan pembagian kamar hotel juga, ya. Pada dasarnya, satu kamar untuk dua orang. Jumlahnya pas, jadi kalian atur saja baik-baik."

     Dan kemudian, kami dibagikan buku panduan yang dibuat oleh panitia pelaksana. Aku juga ikut berpartisipasi dalam acara-acara seperti ini, dan aku ikut membantu membuatnya.

     Suasana kelas menjadi ramai, dan semua orang mulai menentukan pembagian kamar hotel dengan kelompok teman masing-masing. Yuu yang biasanya tidak banyak berinteraksi dengan anak laki-laki, juga diajak oleh anak laki-laki di bangku depannya.

     Sementara itu, seorang gadis di kelasku yang sering berbicara denganku, memanggilku.

     "Himari-san. Mau sekamar denganku?"

     "Ya, boleh saja~."

     Kemudian, saat kami berdua mengobrol santai seperti "Semoga dapat kamar dengan pemandangan bagus, ya~," tiba-tiba gadis itu berkata.

     "Tapi sayang banget ya. Putusnya malah sebelum study tour."

     Datang juga!

     Dalam hati, aku tersenyum licik melihat kesempatan emas ini.

     "Hmm. Tapi kalau dipikir-pikir sekarang, mungkin itu keputusan yang tepat..."

     "Eh. Kenapa?"

     Gadis itu mencondongkan tubuh ke depan mendengar perkataanku yang sopan. Di setiap zaman, para gadis memang selalu penasaran dengan pengalaman cinta orang lain.

     Aku meletakkan tangan di depan mulutku dan menunduk malu. Kalau sudah di levelku, memerah pipi itu sangat mudah. Sudah berkali-kali aku membuat Yuu tercengang dengan trik ini!

     Setelah menahan diri cukup lama, sampai rasa penasaran gadis itu memuncak, aku berkata—

     "Kebiasaan seksualnya, keterlaluan..."

     "Eh..."

     Wajah gadis itu langsung memerah mendengar perkataanku.

     Di meja sebelah, Yuu yang sedang mengobrol santai dengan teman sekamarnya, tiba-tiba menyemburkan tawa, "Bufu!".

     (Ah. Benar saja, dia menguping, ya?)

     Saat aku tersenyum licik dalam hati, Yuu memerah dan meninggikan suara.

     "Himari!? Jangan menyebarkan hal-hal aneh pada teman sekelas!"

     "Eh~? Apa itu 'hal aneh'? Jangan sembarangan menuduh dong~!"

     "Kamu bilang kebiasaan seksualku keterlaluan, kan!"

     "Wah~. Yuu ini, padahal kamu sendiri yang bilang mau putus, tapi kok kamu tertarik banget sama setiap gerak-gerikku~? Menunjukkan sifat posesif pada mantan pacar, benar-benar tidak bisa move on, ya~."

     "Tentu saja aku harus mengawasi orang yang menyebarkan fitnah!"

     Dengan perkembangan yang begitu sesuai rencana, aku sudah merasa senang sekali.

     Ah, inilah dia.

     Momen paling gemilang bagiku, yaitu saat aku menggoda Yuu! Rasanya aku hidup untuk momen seperti ini!

     ...Saat aku sedang berada di puncak kebahagiaan itu.

     "Ah...!"

     Entah mengapa, wajah Yuu memucat.

     Eh? Ada apa? Kenapa ini?

     Teman-teman sekelilingku yang tadi riuh menonton, tiba-tiba menjadi sunyi. Tatapan mereka semua tertuju ke belakangku.

     (Hmm~? Aku punya firasat buruk nih~?)

     Perlahan, aku menoleh ke belakang.

     —Sasaki-sensei, dengan tanda silang berkerut di dahinya, berdiri seperti patung Nio.

     ...S-sial! Aku terlalu asyik menggoda Yuu setelah sekian lama, sampai lupa mengaktifkan sihir Himari!

     Sambil mulutku sedikit berkedut, akhirnya aku berhasil memaksakan suaraku keluar.

     "S-Sasaki-sensei. Kenapa ada di sini?"

     "Aku kebetulan lewat, dan kelas ini sangat berisik. Setelah kuintip, ternyata kalian berdua sedang bertengkar soal cinta."

     Lalu Sasaki-sensei terbatuk keras.

     "Inuzuka, ini jam berapa?"

     "I-ini jam diskusi untuk study tour..."

     Dan kemudian, petir besar menyambar di kelas.

     "Inuzuka. Kupikir kamu anak yang serius, tahu tidak?"

     "Maafkan saya..."

     "Kalau kamu bersumpah tidak akan mengganggu HR lagi, aku akan memaafkanmu untuk tidak menghubungi Hibari."

     "Terima kasih..."

     Karena responsnya yang penuh belas kasih itu, aku langsung menyerah.

     Pelajaran:

     Jangan menyebarkan keburukan mantan pacar yang sudah putus☆



♣♣♣

PoV

Natsume Yuu

     Aku baru saja mengalami kejadian yang tidak mengenakkan...

     Entah kenapa, aku juga dipukul sebagai kaki tangannya. Bukankah itu terlalu tidak adil?

     Setelah Sasaki-sensei pergi, HR berjalan lancar. Setelah semua urusan study tour diputuskan, sisanya tinggal bersih-bersih dan pulang sekolah hari ini.

     (Syukurlah, akhirnya diputuskan ke Tokyo dengan selamat)

     Pada study tour kali ini, aku juga sudah berjanji akan bertemu dengan Tenma-kun dan yang lainnya. Aku memang sudah memberitahu mereka jadwalnya, tapi aku lega karena akhirnya bisa dipastikan kami benar-benar akan ke Tokyo.

     Wali kelas mengumpulkan berkas-berkas dan menatanya rapi.

     "Baiklah, hari ini sudah selesai. Yang tidak ada kegiatan klub langsung pulang, jangan mampir-mampir ya~."

     Setiap orang bangkit sambil membawa tas mereka satu per satu.

     Aku pun menghela napas lega.

     Rasanya seperti hari-hari biasa saja, ya.

     Selain tidak banyak berbicara dengan Himari, semuanya benar-benar tidak berubah. Meskipun teman-teman sekelasku menggodaku tentang perpisahan itu, dalam arti tertentu itu juga bagian dari hal yang biasa.

     Yah, sudahlah. Damai itu lebih baik.

     Aku pun menyelesaikan urusan hari ini, lalu mulai menyusun rencana untuk acara penjualan aksesori berikutnya... Ah, tidak, sebelum itu ada pekerjaan paruh waktu di minimarket. Demi upah per jam di masa depan, aku harus berusaha menjilat kakak perempuan kesayanganku itu.

     Ngomong-ngomong, liburan musim dingin sudah berakhir, tapi bagaimana dengan pekerjaan paruh waktu Mera-san ya? Aku memang sudah menerima uang ganti rugi aksesori itu, tapi dia belum bilang akan berhenti.

     Karena terlalu memikirkan hal itu, aku jadi lengah. Aku mengambil tas dan secara refleks menoleh ke samping.

     "Kalau begitu, Himari. Ayo pulang."

     Seketika, seluruh kelas terdiam.

     Aku berkeringat dingin dan membeku menyadari kesalahanku.

     (Sialan, aku melakukan kesalahan fatal...)

     ...Ini, itu, ya.

     Aku merasakan rasa malu yang sama seperti anak SD yang tidak sengaja memanggil guru perempuan dengan sebutan "Ibu". Lagipula, mereka ini pura-pura pulang padahal sebenarnya menguping, kan...?

     Teman-teman sekelilingku menunjukkan berbagai macam reaksi.

     Ada yang terkejut dengan ucapanku, seolah bertanya "Kenapa?!". Ada juga yang menatap dengan mata penasaran akan perkembangan yang menyenangkan ini. Bahkan ada yang langsung menyiapkan kamera ponselnya, sungguh mereka ini terlatih sekali...

     Himari, dia tampak sangat senang dengan senyum "Nimaaaah~~~".

     Wajahnya yang menyeringai itu seperti berkata, "Wah~, jadi kamu segitunya ingin pulang bareng Himari-chan yang paling cantik di dunia ini, ya~. Oh, oh~. Sampai-sampai tanpa sadar mengajak pulang padahal sudah putus, berarti sudah tertanam dalam genetikamu, ya~." Dia memang sangat cantik, tapi rasanya aku ingin bertanya, "Apa kamu pernah sebahagia ini saat kita masih pacaran?"

     (Dia ini, dalam situasi seperti ini, benar-benar menyebalkan...!)

     Dari sekitar, aku mendengar bisikan-bisikan, "Kenapa mereka putus, ya?", "Entahlah?", "Palsu kali?", "Perlu bohong seperti itu?", "Jangan-jangan itu permainan khusus, putus karena bosan biar lebih hot?". Berisik sekali! Aku tidak punya kebiasaan seksual seaneh itu sampai melakukan permainan khusus! Aku dan Himari benar-benar sudah putus!

     Namun, saat aku nyaris kehilangan diri sendiri karena bertanya-tanya "Kenapa ya kami putus...",

     "Yuu-kun. Sedang apa kamu...?"

     Aku menoleh, dan melihat Enomoto-san berdiri di balik pintu kelas.

     Kehadirannya membuat teman-teman sekelas ribut. ...Kenapa mereka jadi ribut? Tolong jangan begitu. Ini jadi terkesan serius, kan...

     Tapi bagiku, ini jelas pertolongan.

     Aku pura-pura melupakan keceplosanku tadi dan berbicara pada Enomoto-san.

     "Ah, ah. Enomoto-san, ngomong-ngomong, kita kan sudah janji pulang bareng, ya. Kemarin di LINE kamu bilang akan menjemputku di kelas setelah selesai, kan."

     "Kenapa nada bicaramu seperti menjelaskan dengan suara keras begitu...?"

     "Eh? Bukannya memang begini kok biasanya?"

     "...Ya, baiklah kalau begitu."

     Ini seperti sehelai benang laba-laba yang menjuntai ke neraka. Dazai Osamu, ya? Ah, bukan, Akutagawa Ryunosuke. Bagaimanapun, aku berpegangan erat pada benang penyelamat itu bagaikan arwah pendosa yang mengerikan.

     ...Pada saat itu, wajar saja jika niat iseng muncul. Ketika mental mulai merasa lega, hal-hal yang tidak perlu jadi terpikirkan. Ditambah lagi hari ini, aku terus-menerus disindir Himari dan hatiku sedikit lelah.

     Aku menoleh dan tersenyum tipis ke arah Himari.

     Ya, itu dia yang disebut "Aku juga tidak peduli kok, meskipun sudah putus denganmu?". Agak... tidak, sangat jahat memang, tapi dia juga melakukannya, jadi impas saja, kan?

     Dan Himari, dia langsung menunjukkan reaksi terang-terangan.

     "...!"

     Melihat wajahnya yang cemberut itu, aku tersenyum licik dalam hati.

     Agak lega rasanya. Soalnya kan aku kesal kalau cuma aku yang jadi korban. Memang sih, kalau dibilang "kamu duluan yang mutusin", ya sudah, tapi tetap saja aku tidak suka kalau selalu kalah telak.

     Saat aku berjalan di koridor sambil tersenyum jahat sendirian, Enomoto-san menoleh.

     "Yuu-kun. Kamu senang ya?"

     "Eh? Begitukah?"

     "Iya. Rasanya kamu senang sekali."

     "Ah. Ahh, itu..."

     Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin bilang kalau aku terlalu senang membalas dendam pada mantan pacarku sampai-sampai tersenyum lebar. Aku benar-benar bajingan. Memang benar-benar bajingan, sih...

     Saat aku ragu-ragu, Enomoto-san tersenyum lembut dan manis. Karena kelucuannya, aku sampai lupa bernapas.

     Sejenak, suasana di antara kami berdua terasa seperti waktu berhenti.

     ...Kemudian, sebuah Iron Claw yang tajam meraih kepalaku.

     "Aku tidak suka kamu bersaing dengan Hii-chan menggunakan namaku."

     "Gyaaaaaa! Maaf! Aku benar-benar menyesal! Aku tidak akan melakukannya lagi!"

     Rupanya dia benar-benar mengetahui segalanya.

     Setelah membasmi kejahatanku, Enomoto-san berkata dengan wajah segar.

     "Kalau begitu, ayo pergi."

     "Siap..."

     Aku akan pergi ke rumah Himari sekarang.

     Kedengarannya agak aneh, tapi sebenarnya aku akan mengambil peralatan pembuatan aksesori yang tertinggal di rumah Himari. Aku sudah berbicara dengan Hibari-san juga.

     Setelah mengambil sepeda di tempat parkir, kami berdua menyusuri jalan yang sudah biasa dilewati.

     (Meskipun sudah putus dengan Himari, rasanya aneh dan gugup pergi ke rumahnya)

     Dari komunikasi via LINE, sepertinya tidak ada yang aneh dengan Hibari-san.

     Mungkin karena dia dewasa, dia memaklumi keegoisanku, atau mungkin dia sudah muak. Bagaimanapun, karena sulit bertemu langsung, aku memutuskan untuk mengambilnya pada hari kerja saat Hibari-san sedang bekerja. Silakan saja menertawakanku karena aku pengecut...

     Ini siang hari kerja, jadi mungkin yang ada di rumah hanya Ikuyo-san, ibunya. Bertemu dengannya juga canggung, sih... Tapi tidak apa-apa, kan? Dia tidak akan tiba-tiba mengarahkan senapan berburu padaku, kan? Jangan-jangan besok pagi aku sudah dijejerkan di pasar bersama hasil buruan?

     "Aku gugup sekali..."

     "Yuu-kun..."

     Maaf, Enomoto-san.

     Dia menatapku dengan tatapan sangat khawatir, tapi ini bukan ketegangan tentang patah hati. Ini hanya perasaan seekor kelinci yang terbang ke sarang predator.

     Rumah Himari... Gerbang luarnya yang khas sudah terlihat.

     Bangunan kayu besar satu lantai yang menyerupai rumah samurai kuno. Halamannya yang luas sangat memukau, tapi taman Jepang di dalamnya juga sangat menawan dan indah. Bunga-bunga musiman yang dirawat secara teratur oleh tukang kebun juga sangat cantik.

     Aku melewati taman itu, dan dengan gugup menekan bel rumah. Tak lama kemudian, Ikuyo-san muncul. Hari ini pun, dia masih cantik dan dingin seperti biasa.

     Saat aku menelan ludah... Ikuyo-san berkata seolah tidak terjadi apa-apa.

     "Peralatan aksesori ada di dalam rumah. Ambil saja sesukamu, tidak apa-apa."

     "Ah, iya. ...Terima kasih."

     Setelah berkata begitu, dia masuk kembali ke dalam rumah.

     Biasa saja... Tidak, sebenarnya terasa sedikit lebih dingin dari biasanya. Sepertinya perpisahanku dengan Himari berujung pada kerenggangan hubungan dengan keluarga Inuzuka.

     ...Bagaimanapun, karena sudah diizinkan mengambilnya sendiri, aku harus segera mengambilnya.

     Bersama Enomoto-san, aku berjalan menuju kamar tamu yang biasa kami gunakan sebagai ruang kerja.

     "Yuu-kun, itu...?"

     "Apa?"

     Di tengah jalan, entah mengapa aku menemukan peralatan aksesoriku terjatuh. Lebih tepatnya, sebuah kaca pembesar yang digunakan saat membuat aksesori. Dan letaknya di tengah-tengah koridor...

     Kenapa bisa ada di sini?

     Tidak seperti terjatuh saat dipindahkan. Lagipula, kalau terjatuh pasti akan sadar. Dan terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja. Bisa tersandung dan berbahaya.

     "Aku tidak tahu kenapa, tapi mari kita ambil saja... Hmm?"

     Entah mengapa, di ujung koridor sana, ada peralatan lain yang terjatuh. Tidak, ini juga terasa seperti sengaja diletakkan di tengah koridor. Kenapa?

     (Yah, tidak mungkin juga dibiarkan begitu saja...)

     Setelah mengambilnya, ada lagi yang terjatuh di ujung sana.

     ...Aku terus menyusuri koridor, memungut satu per satu barang yang berjatuhan. Jalan ini menuju ke...

     "Kamar Himari?"

     "Apa Hii-chan membawa alat-alatnya ke kamarnya?"

     Tidak, rasanya berbeda.

     Sepertinya Enomoto-san juga menyadarinya. Lagipula, Himari seharusnya belum pulang. Kalau dia menyembunyikan alat-alat itu terburu-buru, pasti akan terdengar suaranya.

     Kalau begitu...

     "Ini jebakan."

     "Siapa? Untuk tujuan apa?"

     "Itu aku tidak tahu..."

     Enomoto-san berpikir sambil menopang dagunya, "Hmm..."

     "Bukankah kamu terlalu banyak berpikir? Lagipula, kita tidak akan bisa bicara apa-apa kalau belum selesai mengumpulkan alat-alat aksesori."

     Yah, benar juga.

     Meskipun semua anggota keluarga Inuzuka adalah jenius, mereka tidak mungkin punya niat buruk terhadap mantan pacar putri mereka, kan? Ini pasti hanya kebetulan, alat-alat aksesoriku bergerak sendiri di koridor. Hal seperti itu mustahil, tapi karena ini rumah keluarga Inuzuka, bukan tidak mungkin. Rasanya di sudut ruangan saja ada Zashiki Warashi.

     Kami yang terpimpin pun mengumpulkan alat-alat aksesori dan akhirnya tiba di benda terakhir.

     "Seperti yang kuduga, ini kamar Himari, ya..."

     "Betul. Kamar Hii-chan, ya..."

     Setelah dipandu sampai sini, entah mengapa kami jadi berdiri terpaku di depan kamar mantan pacarku.

     Dari luar, ini sangat mencurigakan, tapi karena ini adalah area ekstrateritorial keluarga Inuzuka, jadi tidak aneh. Kalau di dunia luar sih, sudah pasti gawat...

     Saat aku ragu untuk masuk begitu saja, Enomoto-san bertanya.

     "Apa lagi yang belum diambil, ya?"

     "Bagian-bagian yang sedang dibuat. Yang akan dipakai untuk aksesori musiman berikutnya."

     "Penting, ya..."

     "Iya..."

     Meskipun bunga sudah siap, tanpa ini tidak ada artinya.

     Kadang-kadang aku memang pakai bagian aksesori yang dijual di pasaran, tapi tetap saja rasanya ada yang kurang. Ada perasaan mengganjal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

     Enomoto-san mengepalkan tinjunya dengan erat.

     "Aku yang akan pergi."

     "Enomoto-san...?"

     Kemudian mata Enomoto-san berbinar.

     "Kalau orang-orang di rumah ini melakukan sesuatu, target mereka pasti Yuu-kun. Jadi, kalaupun nanti jeruji besi turun, aku tidak apa-apa kok."

     "Tidak, aku juga tidak bisa bilang hal seperti itu... tidak mungkin terjadi!"

     Orang-orang di rumah ini, sungguh, tidak bisa diukur dengan pemikiran orang biasa.

     Kemudian, Enomoto-san dengan berani masuk ke kamar Himari. Aku tanpa sadar menutup mata dan mendoakan keselamatannya. ...Lalu, Enomoto-san berseru kebingungan.

     "I-itu... apa itu...?"

     "Enomoto-san? Ada apa!?"

     Aku buru-buru masuk ke kamar Himari.

     Dan aku terkejut, membelalakkan mata melihat pemandangan yang tak terduga.

     "Ini...!"

     Di sana—ada kamarku.

     Tidak, aku tahu kedengarannya aneh, tapi hanya itu cara aku bisa menggambarkannya. Di tempat yang seharusnya kamar Himari, entah mengapa kamarku ada di sana. Lebih spesifiknya, meja bergaya, tempat tidur, dan pernak-pernik yang seharusnya ada di kamar Himari menghilang begitu saja, dan entah mengapa, perabot yang sama dengan kamar pribadiku sudah tersedia. Selain itu, ada juga meja yang cocok untuk dijadikan bengkel aksesori.

     Yang paling mengejutkan adalah plafonnya.

     Sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Datang di Kamar Yuu-kun!" terbentang di sana. Sejujurnya, aku dan Enomoto-san hanya bisa berdiri tercengang melihat dekorasi yang membuat kami meragukan kewarasan ini.

     "Fufufu. Sepertinya kalian menyukainya, ya."

     ""...""

     Kami menoleh ke belakang mendengar suara itu.

     Dan di sana ada—

     "H-Hibari-san!?"

     Seorang pria tampan nan elegan berdiri bersandar di kusen pintu dengan tangan bersedekap. Hari ini pun, dia mengenakan setelan jas mahal dan rapi tanpa kerutan sedikit pun. Saat dia melepas kacamata hitamnya, giginya yang putih bersih berkilau. Jadi, sumber cahayanya dari mana...?

     "Hibari-san. Ini siang hari kerja, bukankah kamu seharusnya... bekerja?"

     "Yuu-kun akan datang, mana mungkin aku bisa bekerja. Tentu saja, kan?"

     "Tentu saja," aku tidak mengerti...

     Yah, mungkin di mata umum itu wajar. Kalau aku seorang pebisnis yang peka, mungkin aku bisa bilang, "Itu ide bagus!", tapi karena aku cuma murid SMA biasa, aku tidak bisa. Tidak, mana mungkin begitu.

     "Fufufu. Tenang saja. Meskipun siang ini ada pertemuan penting dengan tamu yang menentukan kelangsungan hidup asosiasi dagang kota ini, aku sudah mendelegasikan sepenuhnya pada bawahanku♪"

     "Tolong segera kembali! Kumohon!"

     Hibari-san tertawa terbahak-bahak... Eh? Ini cuma bercanda, kan? Keluarga kami tidak akan jadi pengangguran dan rumah kami disita besok, kan?

     Saat batinku sedang tidak tenang karena hal lain, tiba-tiba jendela kamar terbuka. Di baliknya, Ikuyo-san yang seharusnya sudah pergi ke suatu tempat, menampilkan ekspresi angkuh dan cantik.

     "Yuu-kun. Selamat datang di keluarga Inuzuka."

     "Maksudnya apa ini!?"

     "Ya seperti yang kubilang. Karena kamu putus dengan Himari, kami mengubah rencana."

     "Mengubah, rencana!?"

     "Mau dengar?"

     "Tidak, aku tidak mau dengar!"

     Soalnya aku sudah bisa menebaknya!

     Melihat kondisi kamar ini, pasti dia akan mengatakan hal gila seperti mengusir Himari dan mengangkatku sebagai anak, kan?!

     Ikuyo-san tampak tidak senang karena aku menolak penjelasan, pipinya sedikit menggembung. Hei, nenek sihir cantik ini lucu juga...

     Saat aku dan Enomoto-san memikirkan cara kabur... Tidak, mustahil. Orang biasa sepertiku, mencoba kabur dari keluarga Inuzuka yang merupakan wilayah sihir di luar nalar manusia ini, itu sama saja dengan mencari mati. Minimal harus keturunan ninja zaman Edo, baru bisa.

     Kemudian, Hibari-san dengan senyum berkilau menepuk pundakku dari belakang.

     "Kalau kamu sudah mengerti, berarti pembicaraan ini cepat. Ayo, mari kita kembali ke kantor catatan sipil bersamaku sekarang. Lalu kita pindahkan status kependudukanmu. Bukankah tadi kamu juga menginginkannya?"

     Maksudku, aku ingin kamu kembali bekerja layaknya orang dewasa... Ah, kenapa justru aku yang seharusnya benar malah jadi seperti salah di sini?

     "A-anu, Hibari-san? Aku sangat menghargai niat baikmu, tapi rumah ini seharusnya tempat Himari. Salah kalau Himari diusir karena orang sepertiku..."

     "Tidak? Aku tidak akan mengusir Himari, kok."

     "Eh. Begitu, ya...?"

     Aku sedikit terkejut... Tidak, ini bukan saatnya terkejut. Jangan-jangan dia akan menyuruhku tinggal bersama Himari, ya? Itu sangat tidak kuinginkan.

     Namun, Hibari-san, yang seolah membaca pikiranku, menggelengkan kepala dengan senyum tenang.

     "Yuu-kun ini pencemas sekali, ya. Apa kamu pikir aku akan melakukan perbuatan sekejam itu padamu?"

     "Kalau begitu, kalau begitu..."

     "Ah. Tentu saja, aku tidak akan menyuruhmu tinggal serumah. Kamar Himari, mulai hari ini, ada di sana."

     "Eh?"

     Aku mengikuti arah pandangannya, ke luar jendela yang dibuka Ikuyo-san.

     Di salah satu sudut taman Jepang yang indah itu, ada—

     Kandang anjing.

     Di sudut taman, di luar beranda, ada sebuah kandang anjing kayu sederhana yang mungil.

     ...Eh, tunggu dulu? Aneh, nih~?

     Padahal setahuku, rumah Himari tidak punya anjing, kan~?

     Jangan-jangan mereka memutuskan untuk memelihara anjing karena menyambutku, ya~? Memang benar kami memelihara Daifuku, tapi bukan berarti aku sangat suka binatang, sih~?

     Ketika aku sedang dalam puncak kebingungan, Ikuyo-san tersenyum sinis.

     "Yuu-kun, jangan salah paham. Kami tidak sekejam itu sampai menyuruh putri kami tinggal di kandang anjing biasa."

     "Eh?"

     Maksudnya apa itu?

     Yang ditunjukkan sebagai kamar putrinya adalah kandang anjing itu.

     Dalam situasi ini, harapan apa lagi yang bisa ada?

     (Tunggu dulu? Ini tempat di mana logika tidak berlaku... ini keluarga Inuzuka!)

     Kandang anjing itu hanya penampakan luar, sebenarnya itu hanyalah sebuah pintu masuk.

     Atau mungkin ada ruang bawah tanah yang luas di sana, yang nyaman untuk ditinggali. ...Mungkin saja. Karena ini keluarga Inuzuka. Rumah ini lebih fantasi dari fantasi mana pun.

     Memikirkan itu, aku jadi bersemangat sekali. Malah sepertinya ini bisa jadi pilihan, kan? Kalau boleh jujur, aku sendiri malah ingin tinggal di sana.

     Saat aku menelan ludah karena harapan yang menggelitik hati remaja laki-laki ini...

     "Itu buatan tangan Kakek."

     "Menurutku, fakta itu tidak menambah nilai sama sekali...!"

     Sering ada di TV luar negeri, kan? Seperti dapur yang sempit, jadi suaminya sendiri yang merenovasinya. Tapi kakek yang menyiapkan kandang anjing untuk cucu perempuannya itu keterlaluan, Gorozaemon-san...

     "Eh? Ngomong-ngomong, Gorozaemon-san di mana?"

     "Dia terlalu semangat membuat ini sampai pinggangnya sakit."

     "Oh, begitu, ya..."

     Sulit sekali bereaksi!

     Apa ini saatnya bilang "semoga lekas sembuh"? Atau jangan-jangan itu tidak pantas? Tolong beritahu aku, para ahli etiket di internet!

     Namun, suasana seperti ini sudah lama tidak kurasakan. Sejujurnya, aku sudah muak.

     "Enomoto-san. Aku sudah tidak tahan lagi, tolong... Aaaah!"

     Ternyata dia diam-diam saja karena sedang bersemangat merombak ruangan.

     Lebih tepatnya, dia meletakkan bantal yang entah didapat dari mana di area kerja, mengubahnya menjadi tempat yang nyaman. Jangan-jangan dia sedang mengamankan tempat untuk bersantai sendiri, ya?

     (Bagaimana ini. Enomoto-san sudah memihak kandang anjing...)

     Dia sepertinya menyadari bahwa meyakinkan Hibari-san itu sia-sia. Karena aku juga setuju dengannya, jadi rasanya ingin pasrah saja...

     Tidak, tidak boleh! Mana mungkin aku bisa menjalani kehidupan beradab seperti ini, sementara Himari tinggal di kandang anjing. Aku tidak sejahat itu... Tunggu dulu? Bukankah Himari bisa pindah ke rumahku, lalu kami bertukar tempat saja? Saku-neesan pasti akan langsung setuju. Kenapa aku malah mencari jalan keluar yang positif begini, ya...?

     Saat aku masih bingung bagaimana cara menolak, terasa ada kehadiran seseorang dari arah gerbang.

     Aku menoleh, dan melihat Himari menatapku dengan tatapan mencurigakan.

     "Eh? Yuu, sedang apa kamu?"

     Aku tersentak.

     Tidak, kenapa aku harus tersentak? Itu kan seperti menunjukkan aku masih belum move on. Tidak, aku tidak begitu. Aku ini keren. Jadi aku hanya perlu menjawab dengan biasa.

     "Aku cuma datang mengambil peralatan aksesori. Kamu sendiri, sedang apa?"

     "Loh, ini kan rumahku."

     Ah, benar juga...

     Sial. Keterkejutanku terlihat dari ucapanku. Sebelum aku membuat kesalahan lagi dan ditertawakan, aku harus segera mengambil peralatan aksesori dan menyingkir dari sini...

     "Aku sudah dapat izin dari Hibari-san..."

     "Aku sudah tahu itu. Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku."

     Himari itu, dia memasang wajah pura-pura tidak tahu apa-apa...

     Yah, memang begitu, ya. Bagi Himari, putus denganku itu tidak ada artinya. Pengalaman cinta kami saja sudah jauh berbeda.

     ...Tapi Himari itu, dia dengan santainya mau masuk ke kandang anjing?!

     "Himari? Itu bukan kamarmu..."

     "...Hah!?"

     Himari buru-buru menoleh.

     "B-bukan berarti aku gugup karena ada Yuu, ya! Jangan salah paham! Aku tidak pulang ke rumah demi kamu!"

     "Himari!? Tenang! Tsundere-mu itu sama denganku!"

     Dan juga, tutupi bokongmu yang mengarah ke sini! Aku benar-benar bingung harus melihat ke mana!

     Sambil melihat kami yang berteriak-teriak, Hibari-san dan Ikuyo-san mengerang, "Hmm."

     "Kenapa kalian putus?"

     "Kenapa kalian putus?"

     Harmonisasi yang menjengkelkan, sungguh!

     Aku sudah tidak tahan lagi, jadi aku memanfaatkan kekacauan itu untuk kabur dari rumah Inuzuka. Ngomong-ngomong, peralatan aksesorinya berhasil kudapatkan kembali dengan selamat.

     ...Putus dengan pacar itu, ternyata setelahnya lebih merepotkan, ya. Padahal, seharusnya tidak akan seperti ini.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter 

0

Post a Comment


close