NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 2 Chapter 5

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan

Chapter 5

Ratu yang Merajuk

Shift malam di minimarket berjalan seperti biasa tanpa kejadian berarti.

Aku mengisi rak-rak dan menangani pesanan restock dengan ritme stabil, dan waktu pun berlalu begitu saja.

“Yamamoto-kun, terima kasih atas kerja kerasmu.”

Yang muncul sambil mengucapkan itu adalah manajer cabang toko ini.

Namanya... kurasa aku pernah mendengarnya saat wawancara dulu, tapi aku sudah lupa. Lagipula, kurasa aku tak perlu mengingatnya.

Aku memang tak pernah pandai mengingat nama orang. Mau bagaimana lagi.

“Hari ini pasti berat juga, ya, Yamamoto-kun?”

“Ah, ya. Kurasa begitu.”

Aku hampir saja bilang ‘Masa, sih?’, tapi kuputuskan untuk mengangguk saja.

“Aku juga mengalami hari yang berat. Dipanggil ke kantor pusat—mereka bilang, ‘Penjualan tokomu terlalu rendah.’”

“Oh, jadi itu alasan Bapak tidak di sini hari ini.”

“Ya. Aku baru saja kembali.”

Kalau dilihat lebih dekat, manajer memang tampak lebih letih dari biasanya. Aku jadi agak kasihan padanya.

Tapi tak banyak yang bisa kulakukan untuknya. Paling-paling, aku bisa berusaha tidak bikin masalah di toko ini, supaya dia tak perlu datang di luar jam kerjanya.

“Yamamoto-kun, kau boleh pulang lebih awal hari ini.”

“Eh? Tapi shift-ku belum selesai.”

“Tak apa. Lagian sudah tak ada pelanggan yang masuk juga.”

Memang benar. Di jam segini, arus pengunjung sudah sangat sepi. Selama beberapa bulan kerja di sini, aku jadi paham betul soal itu.

“Gajimu juga takkan dipotong.”

“...Tapi tetap saja.”

“Tak apa.”

Manajer menundukkan pandangannya, suaranya terdengar lesu.

“Aku cuma ingin sendirian sebentar...”

“...Wuah.”

Kata-kata itu keluar begitu saja sebelum sempat kutahan.

Jadi dia benar-benar ditekan oleh kantor pusat hari ini. Aku jadi penasaran apa yang mereka katakan padanya.

Mungkin semacam, Kenapa penjualan malam tidak naik? Kau kurang giat.

Padahal merekalah yang memutuskan membuka cabang di area yang sesepi ini di malam hari.

“J-Jadi, aku pulang duluan, ya.”

Membayangkan saja rasanya sedih, aku bisa merasakan beratnya yang dia alami. Jadi aku memutuskan untuk membaca situasi dan segera pulang.

Aku cepat-cepat mengambil barang-barangku dan keluar dari toko.

“Pasti enak ya...”

Tepat saat pintu otomatis terbuka, aku mendengar suara dari belakang.

“Pasti enak ya… jadi anak muda.”

...Yah. Anggap saja aku tak dengar itu barusan.

P-Pokoknya! Aku bisa pulang lebih awal hari ini.

Aku akan manfaatkan waktu luang ini untuk belajar! Ujian akhir sudah dekat.

Aku harus berusaha keras dan dapat pekerjaan yang layak!

Setidaknya, aku tidak akan menjadi manajer minimarket...

Dengan pikiran itu, aku menyusuri jalan malam dan tak lama kemudian tiba di apartemenku.

Dari luar, aku melihat lampunya menyala.

“Aku... pulang.”

Namun saat membuka pintu, aku tak merasakan kehadiran siapa pun di ruang tamu.

Ke mana Hayashi pergi?

Jantungku berdebar kencang. Perasaan tak enak mulai merayap di benakku.

...Jangan-jangan. Jangan-jangan dia ditemukan...?

Apa pria itu menemukannya...?

Saat skenario terburuk itu melintas di kepalaku dan kepanikan mulai muncul—

“Panas banget!!”

Pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka dari dalam.

Dan tentu saja, yang membukanya adalah teman serumahku, Hayashi.

Yang berarti—kenapa dia ada di ruang ganti?

Dan apa maksudnya dengan “panas banget”?

Aku menoleh ke arah pintu—dan mataku langsung terbelalak.

“Kyaaaa!!”

Hayashi menjerit.

Aku langsung menyesal menoleh karena refleks.

Rambut basah. Paha pucat. Dan dada yang buru-buru ditutupi lengannya.

Tampaknya dia baru keluar dari kamar mandi dan sedang mencoba mendinginkan badan dengan hanya mengenakan celana dalam.

“M-Maaf!”

Aku langsung berbalik dan meminta maaf.

Jantungku berdebar lebih kencang dari seharian ini.

“Y-Yamamoto! Harusnya kamu selesai kerja sekitar jam sepuluh, kan!? K-Kenapa kamu pulang tiga puluh menit lebih awal!?”

Bahkan dari belakang, aku tahu dia terkesiap di tengah kalimat.

...Tidak.

Tidak mungkin.

“J-Jangan-jangan... kamu sengaja pulang lebih awal agar bisa mengintipku mandi...!?”

Itu dia!

Kecurigaan ngawur khas Hayashi yang kadang-kadang muncul!

“Tidak! Tentu saja tidak!”

“Bohong...!”

“Atas dasar apa!?”

“Soalnya waktu aku pinjam tabletmu, isinya penuh video cabul!”

“Tolong... lupakan itu pernah terjadi...!”

Aku memohon sekuat tenaga.

Tapi dalam hati, aku berpikir:

Kamu sendiri sudah menggodaku dua kali—katanya supaya bisa tetap tinggal di sini.

Kenapa kamu boleh menggodaku, tapi aku tak boleh melihatmu telanjang meski tak sengaja!?

Lagipula, refleksku terlalu cepat, aku bahkan tak sempat melihat sesuatu yang penting!

...Serius, kali ini aku memang punya alasan yang kuat.

“Dengar. Aku punya alasan yang sah. Ini bukan ngintip. Sumpah aku nggak bersalah!”

“...Kalau begitu katakan.”

“Hah?”

“Alasan yang sah itu. Katakan. Kalau memang masuk akal, akan kumaafkan.”

Aku merasa lega. Aku yakin dia akan memaafkanku. Soalnya kali ini memang sekedar kebetulan beruntun.

“...Manajer menyuruhku pulang lebih awal.”

“Apa katanya?”

“...Katanya gajiku tetap dibayar, dan menyuruhku pulang duluan. Katanya dia ingin sendiri.”

Tuh, kan? Sudah kubilang. Alasanku pulang lebih awal benar-benar masuk akal. Tak mungkin dia masih marah sekarang!

“...Yamamoto.”

“Apa?”

“Apa pekerjaan paruh waktumu benar-benar baik-baik saja?”

Hayashi langsung menusuk ke inti permasalahan.

“...Sepertinya nggak begitu baik, sih.”

Terutama kalau menyangkut manajernya.

“...Yah, baiklah. Aku mengerti.”

Entah bagaimana, dia tampaknya bersedia memaafkanku. Dia menutup pintu ruang ganti, dan beberapa menit kemudian keluar dengan pakaian lengkap.

“Panas banget.”

Sambil menggerutu begitu, Hayashi berjalan ke ruang tamu dan berdiri tepat di depan AC.

“Hei, Hayashi?”

Aku memanggilnya sambil menunggunya kembali.

“Hm? Ada apa?”

“Kamu tahu... kamu sebenarnya tak perlu menungguku untuk makan malam.”

Di atas meja kecil di ruang tamu, dua piring tertutup diletakkan berdampingan.

Tampaknya Hayashi menungguku pulang sebelum makan.

Aku jadi merasa sedikit tidak enak soal itu.

“Aku kan sudah bilang, makanan terasa lebih enak kalau dimakan bareng.”

...Di sinilah sifat keras kepalanya terlihat jelas.

Entah kenapa, Hayashi selalu bilang, ‘Kamu kan yang punya rumah,’ seolah mau menghormatiku. Tapi untuk hal-hal seperti ini, dia tak pernah mau mendengarkan.

“Meski begitu...”

“...Kamu keras kepala banget, tahu nggak?”

“Hmm?”

“Nanyain hal yang sama setiap hari. Kamu benar-benar keras kepala.”

...Meskipun, kurasa Hayashi juga melihatku dengan cara yang sama. Jadi aku diam saja.

“Jadi, makan malam?”

“Sebelum itu... ponselmu terus berdering waktu kamu sedang ganti baju.”

Aku menunjuk ke ponselnya yang tergeletak di tepi meja.

Saat itu juga, ponselnya kembali bergetar.

“Siapa, ya?”

“Serius, memangnya kamu kenal berapa banyak orang, sih?”

“Hah?”

“Kebanyakan orang ponselnya nggak bergetar sebanyak ini.”

“Eh? Bukannya segini normal, ya?”

“Aku bilang ini nggak normal. Makanya aku ngomong.”

“Ehhh...”

“...Kenapa nggak dibalas dulu sebelum makan?”

“Hmm. Baiklah, ayo lakukan itu dulu.”

“Dan keringkan rambutmu dengan benar.”

“Ehhh?”

“Jangan mengeluh. Kalau nggak dikeringin, rambutmu bisa makin rontok.”

“Mmm...”

Responnya malas sekali. Apa pakai hair dryer benar-benar semerepotkan itu? Mungkin karena rambutnya panjang?

...Kalau aku panjangin rambut, mungkin aku bisa paham perasaannya. Bukan berarti aku mau.

“Ah!”

Tiba-tiba, Hayashi tampak berseri-seri seperti baru dapat ide bagus. Dia berdiri, bergegas ke ruang ganti, lalu kembali sambil membawa hair dryer.

“Nih.”

“Hah?”

Dia menyodorkannya ke arahku.

“Keringin rambutku.”

“Keringin rambutmu?”

“Iya.”

“Kamu mau aku yang melakukannya?”

“Iya.”

“Rambutmu?”

“Iya!”

Dia tersenyum lebar ke arahku.

“Yaa, nggak ah.”

Sebaliknya, aku memasang tampang yang benar-benar ogah.

“Enggak. Ini hukuman.”

“Untuk apa?”

“Karena lihat aku telanjang.”

“...Cih.”

“Apa?”

“Kau meremehkan refleksku, itu kesalahanmu.”

“Hah?”

“Dengan kata lain, aku langsung berbalik, jadi aku sama sekali gak lihat tubuh telanjangmu!”

Apa yang dia banggakan sih…? Pikirku sambil sedikit kesal.

“…Begitu ya.”

Tak disangka, Hayashi tampaknya bisa menerimanya.

“Begitu ya. Begitu... Jadi memang nggak sempat lihat ya... begitu...”

…Ada apa ini?

“Yah, mau bagaimana lagi. Yamamoto memang nggak lihat apa-apa kok.”

Tolong berhenti membuatku merasa bersalah dengan akting yang sedikit terluka tapi penuh pengertianmu itu...

“Baiklah.”

Aku menghela napas.

“Baiklah. Akan kulakukan. Aku akan keringin rambutmu, oke?”

“Beneran?”

“Memangnya aku punya pilihan? Ini hukuman, kan?”

“Hehe, tepat sekali.”

Dia duduk membelakangiku.

Aku mencolokkan kabel hair dryer dan menyalakannya.

Saat suara berdesing memenuhi ruangan, aku mulai mengeringkan rambutnya, menggunakan jemari seperti sisir.

Memperlakukanku seperti pelayan pribadi, Hayashi tampak cukup puas sambil memainkan ponselnya. Seperti yang kami bicarakan sebelumnya, mungkin dia sedang membalas pesan dari sekian banyak temannya.

“Yamamoto.”

“Hm?”

“Kamu lumayan jago juga, ya, keringin rambut.”

“Memangnya ada ya, orang yang jago atau nggak dalam hal keringin rambut?”

“Ada dong—pasti ada. Mungkin. Maksudku, aku juga nggak yakin sih.”

Hayashi menjawab sambil terus scrolling ponsel, membiarkanku terus mengeringkan rambutnya sampai selesai.

“...Hmm.”

“Apa?”




“Kamu kelihatan terlalu terbiasa sama cewek. Agak... menjijikan sih.”

“Itu hinaan yang benar-benar blak-blakan.”

“Itu bukan hinaan. Aku nggak maksud gitu. Cuma keceplosan aja.”

“Hanya karena itu keceplosan, bukan berarti bukan penghinaan.”

“Aku bukan nyari alasan, loh. Aku nggak bermaksud buruk.”

“Gitu ya. Kamu pintar juga, ya.”

“Ahaha,” Hayashi tertawa. Tertawa di momen seperti ini benar-benar memperlihatkan sifat aslinya.

Dan aku ingin bilang sesuatu padanya.

Aku juga punya batasan, tahu. Ada hal-hal yang tak bisa aku terima begitu saja. Dan kalau aku sampai marah—yah, aku bisa cukup menyeramkan kalau lagi marah.

...Tapi ya sudah. Ini bukan salah satu dari hal itu.

Sejujurnya, ini bahkan tidak cukup untuk membuatku marah. Justru malah menyedihkan.

“Hei, Yamamoto—”

“Apa lagi?”

Hayashi cerewet sekali malam ini.

“Kamu tahu, barusan waktu kita ngobrol, aku menyadari sesuatu.”

“...Apa?”

Dia mengatakannya tepat saat aku mulai lengah, mengira rambutnya sudah hampir selesai dikeringkan.

“Kamu tuh... Jangan-jangan, bukannya temanmu sedikit, tapi memang gak punya sama sekali?”

Itu adalah hal terkejam yang dia katakan padaku hari ini.

“Oi, oi, oi. Oi, oi, oi, oi.”

Aku hanya bisa tersenyum kecut.

Tidak, tidak, tidak (wkwk). Masa iya sih… Hayashi-san?

“Yah... mungkin benar.”

Sebenarnya, aku selalu mengklaim punya beberapa teman, tapi kalau dipikir jujur—dia mungkin benar.

Bisa jadi aku memang tidak punya sama sekali.

Aku hanya tidak pernah mengatakannya keras-keras karena… yah, itu seperti menyapu sesuatu yang kotor ke bawah karpet.

“Ahaha, kamu ngaku.”

“Yah, iya.”

“Kukira kamu bakal bilang, ‘Coba definisikan pertemanan. Hah? Bisakah kau? Bisakah kau benar-benar mendefinisikannya? Dan kamu mau bilang aku nggak punya teman?’ Aku kira kamu bakal jadi sok filosofis gitu!”

“Versi diriku di kepalamu itu benar-benar tukang cari gara-gara, ya.”

Oke, aku memang tidak ahli menghadapi provokasi. Aku bisa terpancing—tapi tidak separah itu juga. Semoga.

Aku mematikan hair dryer.

“Sudah selesai.”

“Makasih!”

Aku berdiri untuk menyimpan hair dryer. Sepertinya Hayashi juga baru selesai membalas pesan teman-temannya.

“Hei, Yamamoto.”

“Hm?”

Aku mendengar suaranya dari ruang tamu saat aku sedang menyimpan hair dryer.

“Tadi aku kepikiran sesuatu yang keren banget!”

“Bohong. Pasti nggak keren sama sekali.”

Saat aku kembali ke ruangan, Hayashi menatapku lurus-lurus.

“Gimana kalau aku ngomong ke Akari soal kamu yang nggak punya teman?”

“Sudah kuduga. Jelas tidak. Ditolak.”

Aku langsung menolaknya. Hayashi menggembungkan pipinya kesal.

“Kenapa enggak?”

“Kenapa aku harus setuju soal itu?”

“Itu kan simbiosis mutualisme!”

“Iya, kalau gagal, aku yang kena batunya.”

“Jadi, kayak… sekali dayung, satu Yamamoto jadi korban?”

“Benar. Kamu memang cerdas, kuakui itu.”

“Kalau gitu... aku bakal pikirin terus diam-diam.”

“Oke. Rencanain diam-diam aja, jangan sampai aku kena imbasnya.”

“Oke, sip!”

Antusiasmenya memang luar biasa.

...Dan mengetahui betapa keras kepalanya dia, dia pasti bakal terus menyusun rencana.

“Baiklah, ayo makan.”

“Iya.”

“...Yamamoto.”

“Apa lagi?”

“Aku bakal bantu kamu sebisaku. Tinggal bilang aja.”

Hayashi berkata sambil tersenyum lebar.

“Mau soal kamu dan Akari, atau cuma butuh teman. Kalau kamu kesusahan, datang aja ke aku, ya?”

“...Akan kupikirkan.”

Untuk sesaat, aku berpikir untuk menolaknya, tapi akhirnya aku hanya menjawab setengah-setengah.

“Tapi serius, pastikan urus dirimu sendiri dulu, oke?”

“Oke~”

Dia menyeringai senang dan balasan yang terlalu ceria.

◇◇◇

Sudah seminggu sejak Hayashi dan Kasahara bertemu kembali.

Sejak saat itu, Hayashi terus-menerus bertukar pesan dengan Kasahara dan geng SMA-nya—orang-orang yang dulu sering bersamanya.

Mungkin berkat itu, belakangan ini dia tampak jauh lebih semangat.

Sementara aku… tidak begitu.

Memang, belajar untuk ujian akhir itu bukan hal yang menyenangkan, tapi itu bukan alasan utamanya.

Ini juga bukan dilema sosial.

Alasan sebenarnya?

Hayashi membatasi waktu bersih-bersihku.

Sejak aku mulai tinggal sendiri di apartemen ini, aku menghabiskan sebagian besar hari liburku untuk bersih-bersih. Itu hobiku. Tujuanku.

Sekarang setelah itu direnggut dariku, tak mungkin aku bisa menikmati hariku.

“Hei, Hayashi, aku mau negosiasi ulang soal sesuatu.”

Tepat saat dia berdiri untuk mulai menyiapkan makan malam, aku memanggilnya.

“Negosiasi ulang?”

“Soal bersih-bersih.”

“Bersih-bersih? Kamu sudah dapat jatah satu jam hari ini.”

“...Ya, soal itu.”

Aku ragu sejenak, lalu memulai.

“Boleh aku dapat waktu bersih-bersih sedikit lebih banyak?”

Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap ringan, agar tak membuatnya kesal.

...Astaga, aku terdengar seperti suami yang memohon uang saku tambahan.

“Enggak.”

Tapi Hayashi langsung menolak permintaanku tanpa ragu.

“Kenapa? Ayolah, kumohon?”

“...Kamu benar-benar nggak tertarik sama pertemanan atau percintaan, tapi kenapa kamu semangat banget kalau soal bersih-bersih?”

Yah, mau bagaimana lagi? Beberapa hari ini memang tidak terasa menyenangkan.

“Kamu nggak punya hal lain yang bisa dilakukan?”

“Belajar, mungkin.”

“Kalau begitu, kenapa nggak coba cari teman?”

“Kalau aku cari teman, waktu pribadiku bakal berkurang. Aku nggak sanggup.”

“Kamu sadar nggak betapa menyedihkannya pernyataan itu, yang kamu katakan dengan bangganya?”

Heh.

Hayashi, itu pertanyaan amatiran.

“Ya, aku sadar kok.”

Dia menghela napas.

Lalu berbalik dan pergi ke dapur, mengakhiri pembicaraan.

Sepertinya dia akan mulai menyiapkan makan malam.

...Tapi dari sudut pandangku, pembicaraan ini belum selesai.

Tetap saja, kalau aku terlalu memaksa sekarang, aku mungkin akan membuatnya benar-benar marah. Parahnya lagi, bisa-bisa dia melarang bersih-bersih sepenuhnya.

Cih. Kayaknya kali ini aku harus mengalah.

“Ah.”

Tepat saat aku memutuskan menyerah untuk negosiasi dan hendak menyalakan TV, suara Hayashi terdengar.

Nadanya seperti baru teringat sesuatu.

“Misonya habis.”

Ternyata dia tak sadar wadahnya sudah kosong.

Waktu aku pertama kali menampungnya, kami membuat aturan: aku yang belanja kebutuhan dapur. Kami tak pernah tahu di mana mantan pacarnya yang kasar itu berada.

Karena urusan masak diserahkan sepenuhnya padanya, aku jadi tak terlalu memperhatikan isi kulkas. Jadi, sekarang biasanya dia memberitahuku apa saja yang perlu dibeli.

“Jarang-jarang kamu ceroboh begini.”

“...Maaf.”

“Gak apa-apa. Semua orang bisa berbuat salah.”

“Tapi tetap aja...”

“Hei, aku pernah terus bersih-bersih selama sejam padahal kamu sudah manggil buat makan siang. Itu juga salah, kan?”

“Itu nggak dihitung.”

Tapi tepat saat aku mengabaikan jawabannya, sesuatu terlintas di kepalaku.

“Yah, bukan masalah. Semua orang bisa berbuat salah, kan?”

Sebuah ide—tidak, sebuah skema brilian—melintas di pikiranku.

“Aku aja yang beli miso!”

Dan rencananya adalah:

Manfaatkan kesalahannya untuk mendapatkan poin plus!

“Kamu tiba-tiba kedengaran semangat banget.”

Nada suara Hayashi sedingin es.

“Benarkah? Aku memang selalu begini!”

“Enggak juga. Cobalah lebih sadar diri.”

“Begitu, ya? Yah, bagaimanapun, bukankah kerja sama dan saling memaafkan itu inti dari hidup bersama?”

“...Kurasa begitu.”

“Tuh, kan! Jadi, aku gak marah kok soal kesalahan kecil ini!”

“Kamu jelas menyembunyikan sesuatu...”

Aku mengabaikan kecurigaannya dan cepat-cepat bersiap untuk pergi.

Tidak peduli seberapa mencurigakan kelihatannya, kalau aku pergi dan beli miso, Hayashi pasti bakal merasa sedikit berutang budi. Begitulah sifatnya. Jadi aku harus bertindak sebelum dia menyadarinya.

“Tunggu.”

Dia menghentikanku.

“Ada apa?”

“Aku ikut.”

“...Apa?”

“Kubilang aku iku .”

Aku tidak menyangka itu.

Aku sempat membeku sesaat.

“Kalau aku bareng kamu, berarti aku boleh keluar, kan?”

“Iya...”

Aku pernah mengatakan itu, kan?

“Kalau gitu aku ikut. Aku yang bikin kesalahan, jadi aku harus tanggung jawab.”

“Tapi kalau kita bagi tugas, bukannya lebih efisien?”

Aku panik, berusaha mencari semacam balasan.

Aku harus pergi sendiri. Ini kesempatanku untuk mendapatkan keuntungan!

“Kalau gitu biarkan aku bantu bersih-bersih juga.”

“Ngomong apa, sih? Gak mungkin.”

“Kalau gitu jangan ngomongin soal efisiensi kalau kamu sendiri gak mau coba.”

“...Benar juga.”

Itu benar-benar membuatku lengah.

Aku tak bisa tidak terkesan.

Dia berhasil mengalahkanku. Benar-benar kalah argumen.

“Baiklah. Bersiaplah.”

Aku menjatuhkan bahu karena kalah.

“Oke!”

Suaranya sedikit lebih ceria dari biasanya.

“Tunggu sebentar, ya.”

...Mungkin dia memang cuma ingin keluar rumah, menjadikan kesalahannya sebagai alasan.

Terakhir kali dia keluar rumah adalah seminggu lalu bersama Kasahara. Sejak itu, dia patuh pada kesepakatan kami dan tetap di dalam.

Terus-menerus terkurung bisa membuat siapa pun jenuh.

“Sudah siap!”

Meski sudah malam, ini masih musim panas.

Hayashi berpakaian tipis.

Bukan sesuatu yang mencolok—tapi jelas bukan baju santainya yang biasa. Dia tampak... agak berdandan.

“Baiklah. Ayo pergi.”

“Iya!”

Begitu kami keluar, hawa panas langsung menyergap seperti tembok.

Suhu siang tadi sempat mencapai 39°C—benar-benar terik.

Belakangan ini, terlalu banyak hari yang mendekati 40°C.

Meskipun matahari sudah mulai terbenam, aku langsung berkeringat di lengan dan kakiku begitu keluar. Sulit untuk tidak mengeluh.

“Panas banget~”

“Kamu kelihatan cukup ceria untuk mengatakan itu.”

“Masa, sih?”

Keringat mengilap di dahinya saat Hayashi tersenyum.

“...Tadi aku kepikiran sesuatu.”

“Soal apa?”

“Jalan bareng begini, bukankah rasanya... kayak kencan?”

Jantungku berdebar kencang.

Aku menoleh ke arahnya karena terkejut, dan Hayashi tersenyum nakal, menatapku dengan mata menggoda.

“Aww, ada apa ini, Yamamoto-kun?”

“Apa?”

“Jangan bilang... kamu gugup, ya?”

“Iya. Hari ini panas. Mungkin aku kena serangan panas atau semacamnya.”

“Ahaha, alasannya buruk amat.”

Aku menghela napas panjang.

Sejak bertemu kembali dengan teman lamanya, Hayashi jadi terlalu semangat.

Bukan berarti aku keberatan—justru itu yang kuharapkan darinya—tapi aku benar-benar berharap dia berhenti menggodaku. Itu tidak baik untuk jantungku.

Dan aku juga tak bisa bilang itu padanya, dia pasti bakal makin menjadi-jadi. Tapi serius, aku bilang ini demi kebaikanmu juga, Hayashi.

Aku ini masih laki-laki, tahu?

Dan kamu perempuan.

Kita dua orang lawan jenis yang tinggal serumah. Kalau kamu terus-terusan menggodaku begini, apakah kamu menyadari apa yang bisa terjadi?

Kalau sampai terjadi sesuatu, aku yang akan mendapat masalah.

Di dunia yang tidak adil ini, meski dua-duanya setuju, jika seseorang kemudian mengklaim tidak, tetap si laki-laki yang bakal diseret dan diperas.

Menampung seorang perempuan di kamarmu itu datang dengan tanggung jawab—seperti batasan yang tegas dan kontrol diri yang kuat.

Dan jika dia yang diizinkan tinggal, maka Hayashi juga tidak boleh bermain-main dengan batas itu.

Biar aku tegaskan: satu-satunya alasan semua ini masih berjalan adalah karena aku menahan diri sekuat tenaga, oke?

Astaga, apakah Hayashi ingin menghancurkanku?

...Yah, mungkin dia hanya bertindak begini karena tahu aku pengecut yang takkan berani macam-macam.

“Ngomong-ngomong, simpan energimu buat kencan sama Akari lain kali.”

“Diamlah.”

Sambil beradu argumen seperti itu, kami pun tiba di supermarket terdekat.

Berbeda dari udara luar yang menyengat, toko ber-AC ini menyambut kami dengan kesejukan yang menyegarkan dan musik ceria.

“Dingiiiin~”

Hayashi berkata begitu. Aku hampir mengulanginya, tapi kutahan. Bukan gayaku.

“Bagaimana kalo kita cek, bumbu-bumbu dulu... Bagian bumbu ada di mana, ya?”

Aku menengadah, melihat papan petunjuk yang tergantung dari langit-langit, dan menuju rak miso.

“Hei, Yamamoto.”

Lalu terdengar suara satu-satunya orang yang bisa menghentikanku.

“Kenapa buru-buru langsung beli miso?”

“Karena kita ke sini buat beli miso, kan?”

Tunggu, apa aku salah? Kalau iya, maaf.

“Karena udah di sini, kita lihat-lihat dulu, yuk.”

“Eh—”

Hayashi meraih tanganku.

“H-Hei, jangan lari-lari di dalam toko. Bahaya.”

“Oh, iya.”

Dia pun memperlambat langkahnya.

“Ayolah, kamu bukan anak kecil lagi.”

“Ahaha, maaf, maaf.”

Melihat dia tertawa begitu polos, aku tidak bisa tetap marah.

Yah, masih ada waktu, dan kalau dia mau lihat-lihat dulu, tidak ada salahnya juga.

“Asal jangan boros aja.”

“Oke, oke.”

Itulah satu-satunya yang patut diingat. Kami berdua harus lebih hemat akhir-akhir ini.

Tapi jujur, kalau tidak niat belanja, supermarket bukanlah tempat hiburan.

“Oh, lihat deh—anggur muscat!”

“Iya, itu dia.”

“Aku lihat di berita, katanya sekarang lagi surplus jadi harganya turun. Ini lebih murah dari sebelumnya!”

“Mungkin, ya.”

Dan tanpa terasa, kami sudah keliling toko selama tiga puluh menit. Keranjang belanjaku masih kosong—murni cuma lihat-lihat.

“Wah, bubuk protein mahal juga, ya. Yamamoto, kamu minum beginian?”

“Dulu, sih.”

“Apa? Serius?”

“Iya.”

Hayashi benar-benar tampak kaget.

“Apa? Sekaget itu, ya?”

“Banget.”

“Waktu SMA, aku sangat menyukainya.”

“Suka apa?”

“Latihan angkat beban.”

“Pfft. Ahaha!”

Tunggu—memangnya itu lucu, ya? Padahal aku serius.

“Maaf, maaf. Soalnya… nggak kebayang banget kamu ngelakuin itu.”

“Meskipun begitu, aku sangat menyukainya waktu itu.”

“Serius? Oh iya, di dekat SMA kita ada gym, ya. Wah, jadi nostalgia.”

“Iya. Aku cukup rutin ke sana.”

“Eh?!”

“Kalau kamu nggak percaya, mau lihat kartu member lamaku?”

Aku mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartunya. Dia melihat bolak-balik antara wajahku dan kartu itu.

“Ada apa?”

“...Kamu benar-benar serius, ya.”

“Yap. Waktu itu aku bahkan bikin bekal sendiri. Menunya dirancang sesuai keseimbangan PFC.”

“...Dengar kata ‘keseimbangan PFC’ keluar dari mulutmu tuh…”

Hayashi berhenti sejenak, seolah sedang mengingat sesuatu.

“Tapi bukannya kamu pernah bilang cuma bisa masak yang dasar-dasar aja?”

“Saat ini sih bisa beli makanan tinggi protein dan rendah lemak di minimarket mana aja. Agak mahal sih, tapi masih masuk akal.”

“Oh, begitu. Jadi kamu masukin itu ke dalam bekalmu. Jorok…”

“Aku bahkan pengen kontrol sarapan dan makan malam juga, tapi ibu dan adikku langsung protes. Katanya nyusahin.”

Hayashi tahu betul kalau aku ini orangnya perfeksionis dan suka ribet. Tak perlu banyak imajinasi baginya untuk membayangkan ekspresi kesal ibu dan adikku.

...Tunggu. Apa barusan dia memanggilku jorok?

Apa obrolan tentang fitness tadi bikin dia ngidam sate usus atau gimana?

Hahaha. Hayashi, sungguh... aku hampir gugat kamu atas pencemaran nama baik barusan, kau tahu?

“Hah, jadi kamu punya adik perempuan?”

Obrolannya mulai bergeser.

“Iya, aku punya”

“Hmm. Terus kenapa kamu berhenti olahraga?”

“...Awalnya sih aku berniat melanjutkannya setelah kuliah. Tapi cari gym baru tuh ribet banget, dan aku kehilangan minat.”

Aku memang tipe yang gampang terobsesi, tapi juga gampang bosan. Kalau udah suka sesuatu, bakal totalitas, nyaris neurotik. Tapi kalau udah bosan, motivasi langsung lenyap total.

“...Aku akui, awalnya aku sedikit terkejut. Tapi dipikir-pikir sekarang, kamu tuh hanya benar-benar berdedikasi pada sesuatu yang kamu suka. Sebenernya, tipe kayak gitu seharusnya populer di kalangan cewek, lho.”

“Kamu ngomongnya seolah aku nggak populer.”

“Emangnya kamu populer?”

“...Cih. Hayashi, aku olahraga bukan buat nyari cewek, tahu.”

“...Iya deh. Semangat, ya.”

“Asal kamu tahu, kamu sendiri yang tadi memulai topik ini.”

“Ahaha… Yah, aku yakin suatu saat kamu pasti bersinar juga. Akan tiba waktunya.”

“Jangan ngomong seolah itu takkan datang dalam waktu dekat!”

Bukan berarti aku membutuhkannya, oke? Bukan berarti aku mati-matian ingin populer di kalangan perempuan atau semacamnya. Serius.

Saat aku merajuk dengan pikiran bodoh itu, tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

“Siapa pria yang bareng kamu, Hayashi-san?”

Suara itu ditujukan ke Hayashi. Suara seorang perempuan.

“Ah! Miyauchi-san!”

Hayashi memanggil namanya dengan ceria.

Aku mengenali nama itu. Dia temannya Hayashi yang ditemui waktu itu bareng Kasahara.

Aku menoleh. Gadis yang tersenyum ke Hayashi itu bukan orang yang kukenal.

“Biar kuperkenalkan, Miyauchi-san. Ini Yamamoto.”

Hayashi menjawab pertanyaannya dengan memperkenalkanku.

“Salam kenal, Yamamoto-kun.”

“...Iya.”

“Terus, apa hubungan kalian?”

Miyauchi bertanya pada Hayashi.

“Eh? Umm…”

Hayashi ragu-ragu. Ya wajar saja—“Dia orang yang menampungku setelah aku kabur dari mantan pacar yang kasar” bukanlah sesuatu yang bisa diucapkan semudah itu, apalagi untuk orang sepertinya yang dulunya adalah ratu lebah.

“Kami teman.”

“...Teman?”

Aku menjawab menggantikannya, dan Hayashi langsung menatapku tajam, sebal.

Jangan lihat aku kayak gitu dong. Mau jawab apa lagi coba?

“Hmm, gitu ya.”

“Y-Ya, benar.”

Hayashi tertawa paksa untuk mencairkan suasana. Aku juga mulai merasa canggung dengan tatapan dingin Miyauchi.

“Hei, Hayashi-san—kamu kosong nggak Sabtu depan?”

Hidup itu aneh, ya?

Beberapa hari lalu, aku cuma berharap bisa pulang tepat waktu, eh malah disuruh pulang lebih awal. Hari ini, aku berharap pulang lebih awal, eh malah kemaleman.

“Sabtu depan?”

“Iya! Kampus kita mulai libur musim panas minggu depan. Ujian juga udah kelar, jadi kupikir kita bisa ke festival musim panas bareng.”

...Undangan ke festival musim panas, ya.

Sejak ganti ponsel, Hayashi memang sangat ingin berkumpul dengan teman-teman.

Mengingat semua yang dia lalui, akan bagus kalau dia bisa menjalin kembali hubungan dan membuat kenangan indah.

“Maaf. Kayaknya nggak bisa.”

“Hah? Kenapa?”

Aku tanpa sadar nyeletuk. Aku benar-benar terkejut Hayashi menolak ajakan itu, padahal kelihatannya dia begitu ingin punya kesempatan kayak gini.

“...Pergilah. Ini kan cuma festival.”

“Nggak bisa. Aku nggak punya uang.”

Hayashi menunduk.

“Festival tuh bisa semahal apa sih?”

“Tetap aja…”

“Kamu akhirnya bisa ketemu lagi sama temanmu, dan mereka mengajakmu jalan. Kamu harus pergi. Buatlah kenangan.”

“...Yamamoto.”

“Hmm?”

“Kamu barusan… beneran ngomong gitu?”

Aduh. Iya juga. Belum satu jam sejak aku bilang punya teman itu cuma buang-buang waktu. Sekarang malah sok bijak ngomongin pentingnya pertemanan. Aku sendiri bakal mengkritik diriku sendiri.

“Tapi ya… kamu bener juga, sih. Mungkin aku emang harus pergi ke festival.”

Saat aku masih bingung cari cara untuk meyakinkannya, Hayashi tersenyum dan setuju.

“Y-Ya. Punya teman itu memang penting. Bener banget.”

“Pfft. Kamu ngomong gitu lagi?”

Hayashi tersenyum geli, dan aku membalas dengan senyum canggung. Meskipun agak memaksa, tapi jika itu berarti dia bakal pergi ke festival, maka misinya sukses.

“Maaf ya, Miyauchi-san. Kami nggak bermaksud membuat suasana canggung.”

“E-Enggak, nggak kok.”

Miyauchi tampak agak kaget, tapi tersenyum dan menggeleng pelan.

“Dan maaf. Kayaknya aku bakal ikut ke festival musim panas.”

“...Oke. Mari kita bersenang-senang.”

“Kita mau ke mana?”

“Nanti aku akan mencarinya dan mengabarimu.”

“Makasih. Aku menantikannya.”

“Kalau gitu, aku pamit duluan.”

“Hah? Tapi kita masih bisa ngobrol sebentar…”

“Nggak apa-apa.”

Miyauchi melirik ke arahku sebentar.

“Aku nggak mau ganggu waktu kalian berpacaran.”

“Apa-apaan itu—!”

“Sampai jumpa!”

…Menjatuhkan bom konyol sebagai hadiah perpisahan, Miyauchi-san pun pergi.

Hayashi berdiri membeku. Dan jujur saja, aku sama kagetnya. Seluruh percakapan barusan membuat suasana jadi canggung. Padahal ini pertama kalinya aku ketemu Miyauchi-san, tapi dia sudah benar-benar salah paham soal kami.

“...Kita nggak mungkin kelihatan kayak pasangan, kan?”

Aku mencoba bersikap tenang sambil menghela napas.

“Si Miyauchi itu perlu periksa mata.”

Hayashi tidak menjawab. Apa yang dia pikirkan? Diamnya mulai membuatku merinding. Yang paling kutakutkan adalah: kalau dia sampai marah karena ini, yang menderita bukanlah Miyauchi-san yang menyebabkannya—tapi aku.

Serius deh, apa itu adil?

“...Lain kali kamu ketemu dia, pastikan kamu mengoreksinya, oke? Kalau kita bukan pasangan atau semacamnya.”

“Yamamoto.”

“...Y-Ya?”

“Kamu nggak perlu sekeras itu juga menyangkalnya.”

Dia ngambek. Fantastis. Misi tak sengaja bikin Hayashi ngambek: sukses. Aku pasti pemicu ranjau paling efisien di planet ini. Beri aku medali.

“Maaf.”

“Udah lah. Bodo amat.”

Cara dia menekankan “bodo amat”-nya itu justru makin bikin kerasa dia marah.

Apa salahku sampai dia sewot begini? Maksudku, padahal dia sendiri yang mendorongku ke arah Kasahara kemarin, ingat? Terus sekarang dia marah gara-gara aku bilang harus meluruskan kesalahpahaman tentang kami sebagai pasangan?

“Kita beli miso dan pergi.”

“Jangan marah dong.”

“Aku nggak marah.”

“Itu kalimat yang selalu dipakai orang yang sebenarnya marah.”

“...Hmph. Di festival musim panas nanti aku bakal makan sepuasnya.”

“Itu ide bagus. Kamu terlalu kurus.”

“Jangan melirik tubuhku, mesum!”

“Aku serumah sama kamu! Mana bisa nggak lihat!”

“...Iya juga! Hmph!”

Hayashi berbalik, masih kelihatan kesal.

...Serius deh, aku salah ngomong apa sih tadi?

Meski sudah berminggu-minggu tinggal serumah, aku masih belum bisa memahami apa yang membuat Hayashi senang, marah, atau sedih.

Tapi ya… aku jelas melakukan kesalahan entah bagaimana, dan aku perlu menebusnya nanti.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close