Penerjemah: Eina
Proffreader: Eina
Prologue: Saat Aku Pulang, Rasanya Seperti Negeri yang Asing
Perjalanan yang terasa panjang namun sebenarnya singkat itu berakhir tanpa masalah besar.
Sebelum perjalanan, aku bahkan sempat bertanya-tanya apakah aku akan bisa menikmatinya selama itu. Tapi setelah selesai, rasanya semuanya berlalu dalam sekejap.
Bahkan, enam hari empat malam itu terlalu singkat. Meski aku merasa puas dengan perjalanan ini sebagai studi tour kami, tetap ada hal-hal yang belum terselesaikan bagi masing-masing dari kami.
Ada tempat yang ingin dikunjungi tapi tidak ada waktu, makanan yang ingin dicoba tapi tidak bisa dicoba, dan hal-hal yang ingin dilakukan tapi tidak terwujud.
Rasanya seperti perut yang belum kenyang sepenuhnya, yang membuat kami ingin tinggal sedikit lebih lama.
Hawaii memang memiliki daya tarik seperti itu.
Tidak heran jika disebut sebagai tempat wisata yang populer.
Namun di saat yang sama, kami juga mulai merasakan keinginan untuk pulang ke rumah.
Ketika pesawat mendarat dengan selamat di Jepang, kami merasa sangat lega.
Ingin tinggal lebih lama, tapi juga ingin pulang. Mungkin itulah kenikmatan sejati dari sebuah perjalanan—perasaan yang bertentangan seperti itu.
Yah, aku dan Nanami sudah berjanji akan pergi ke Hawaii lagi… suatu hari nanti.
Jadi mungkin, cepat atau lambat kami akan ke sana lagi.
Aku harus mulai mempersiapkan banyak hal. Termasuk SIM untuk bisa mengendarai mobil. Masih sangat jauh, tapi rasanya waktu akan berlalu dengan cepat—sama seperti studi tour kali ini.
Begitulah, kami akhirnya pulang dari studi tour kami dengan selamat…
Namun kata-kata pertama yang kami ucapkan setelah tiba semuanya sama.
Padahal kami semua memiliki pengalaman berbeda selama di Hawaii, tapi hati kami benar-benar seirama.
Dan kata itu adalah…
"Dingin?!"
Hanya dua huruf, tapi kami semua mengucapkannya secara bersamaan.
(Tln: Sa mu atau sa muiii kalau kalian dengar di anime itu nihonggo dari dingin)
Serius, begitu keluar dari pesawat, semua orang langsung teriak kedinginan. Aku ikut terkejut dan secara refleks juga mengatakannya. Ada apa dengan dingin ini?!
Kami sudah mengetahuinya sebelumnya kalau saat tiba akan dingin, jadi tidak ada yang berpakaian terlalu tipis.
Tapi tetap saja, udaranya terasa menusuk.
Ternyata benar, kalau terlalu dingin, pikiran kita cuma bisa fokus pada rasa dingin itu.
Perasaan hangat dan damai dari Hawaii langsung hilang seketika, dan tergantikan dengan udara dingin yang membekukan.
Waktu turun di Hawaii, kami merasakan perbedaan aroma dan udara. Tapi kali ini, cuma suhu saja yang terasa.
"Eh…? Kenapa bisa sedingin ini?"
Sebenarnya, aku jarang merasa sedingin ini. Mungkinkah karena tubuhku sudah terbiasa dengan hawa hangat Hawaii selama seminggu penuh?
Sepertinya Nanami juga merasa dingin. Dia memeluk tubuhnya sendiri sambil berjalan.
Padahal ini kampung halaman kami, tapi rasanya seperti datang ke luar negeri.
Kami masih berada di lorong penghubung dari pesawat ke dalam bandara—hampir seperti berada di luar ruangan.
"Nanami… kamu baik-baik aja? Dingin ya…"
"Apa ini… Sangat dinginnnn… Aku mau makan sesuatu yang hangat…"
"Benar juga… aku juga… ingin makan ramen…"
"Ah… ide bagus… ayo makan ramen di bandara sebelum pulang?"
Setelah mendengar saran Nanami, aku jadi benar-benar ingin makan ramen.
Di Hawaii tidak ada ramen, atau setidaknya yang asli Jepang. Hanya ada pop mie Jepang saja. Sayangnya, karena tidak bisa bubar saat masih di Bandara, maka rencana itu batal.
Kalau dipikir-pikir, seandainya aku tidak mengatakan ingin makan ramen, mulutku tidak akan terus memikirkan ramen sekarang.
Dari daerah sekitarku juga ada banyak jenis makanan hangat—oden, kuah tulang babi, udon, soba dan lainnya.
Mungkin ini efek samping dari makan terlalu banyak makanan barat di Hawaii.
Selagi membayangkan makanan hangat seperti kisah gadis kecil penjual korek api, kami berjalan melewati lorong bandara.
Dan saat itulah aku sadar kenapa udara bisa terasa sedingin ini.
"Uwahh… Salju turun…"
Benar. Salju.
Tadi ada yang mengatakannya saat di pesawat, tapi aku tidak menyangka akan melihat salju pertamaku tahun ini seperti ini.
Di luar jendela, dari langit jatuh salju-salju putih. Belum sampai menumpuk, dan bukan badai, tapi cukup untuk menjelaskan kenapa udara begitu dingin.
"Nanami, kamu mau pakai jaketku?"
Walau di dalam lorong bandara, kalau Nanami kedinginan, setidaknya jaket ini bisa sedikit membantu…
"Nnn… daripada jaket, ini lebih baik…"
"Ini? Maksudmu yang mana?"
"Ini tahuu~"
Nanami menggenggam tanganku, lalu dengan cekatan melingkarkan lengannya ke lenganku.
Yup, kami pun berjalan sambil berpegangan tangan dan saling bersandar satu sama lain.
Otomatis, langkah kami jadi lebih lambat, dan semakin dekat secara fisik.
"Hehehe… hangat ya…"
"…Kalian baru sampai di Jepang tahu."
Seseorang dari sekitar kami menggumamkan itu, tapi aku memilih untuk pura-pura tidak mendengarnya.
Nanami yang bersandar padaku tersenyum bahagia. Dan, memang benar, berada di dekat Nanami seperti ini terasa sangat hangat.
Dalam hidupku, ini pertama kalinya aku menghangatkan diri dengan cara seperti ini.
Suhu tubuh manusia itu tinggi ya. Sampai-sampai ada cerita tentang orang yang saling menghangatkan tubuh dengan telanjang saat tersesat di gunung bersalju.
……Yah, walaupun itu sebenarnya berbahaya dan ada aturannya, kita tidak akan membahas itu sekarang.
Kami tidak tersesat di gunung salju. Kami hanya sedikit kedinginan saja.
Hal terpenting di sini adalah aku yang sedang belajar melalui pengalaman, dan Nanami menghangatkan tubuhnya dengan tubuhku—dan aku pun merasa hangat.
Ini penting. Belajar dari pengalaman… bisa dibilang ini bagian dari perjalanan studi juga.
Tidak kusangka kalau aku masih terus belajar setelah kembali ke Jepang.
Mungkin ini maksud dari “perjalanan belum berakhir sampai kamu kembali ke rumah.” Tapi yah, mungkin bukan begitu juga.
Hmm… daripada memikirkan hal aneh, mending kami segera masuk ke dalam gedung yang hangat.
Tapi untuk bisa saling menghangatkan begini, berarti kita masih punya cukup kalori dalam tubuh ya?
Supaya bisa saling menghangatkan, energi dibutuhkan… lemak, mungkin?
Tapi tunggu, lemak bukan untuk dibakar bukan? Lemak itu menghambat panas keluar dari tubuh, makanya tubuh terasa hangat.
Jadi kalau tubuhku terasa hangat, itu artinya aku punya lemak yang cukup…
(Tln: Klo badan kalian hangat gemuk dong aowkkw canda)
Dan kalau Nanami juga hangat, itu berarti dia juga punya cukup lemak…
(Tln: Klo ini mah lari ke ...)
Tunggu, otakku barusan memikirkan hal yang sangat tidak sopan.
Tidak, maksudku… aku juga dibilang hangat, jadi… ehm… apa kami berdua sama-sama agak gemu—
Saat itu juga, tubuhku langsung gemetar.
"Barusan… aku merasa Youshin sempat memikirkan hal yang agak keterlaluan…"
Nanami menatapku dengan mata tanpa cahaya. Dalam sekejap… meski tubuhku hangat, rasa dingin seperti menusuk tulang langsung menjalar ke seluruh tubuhku.
Bagaimana bisa dia tahu apa yang kupikirkan?! Nanami, kamu Esper atau apa?!
Dengan senyum tipis dan mata tanpa cahaya, dia menatapku—dan aku langsung menghentikan semua pikiranku yang berbahaya.
Pasti bukan Nanami yang bisa membaca pikiranku. Pasti karena ekspresiku yang terlalu jelas. Unn… Aku yakin karena itu.
"…Hangat ya."
Bukan untuk mengalihkan perhatian, tapi memang itu yang kurasakan sekarang.
Begitu aku mengatakannya, Nanami langsung tersenyum dengan cerah. Cahaya di matanya pun kembali.
Sebenarnya, tadi pun dia menatapku dengan tatapan dingin… tapi aku tidak membencinya.
Tapi meskipun begitu, aku lebih suka saat dia tersenyum dengan ceria.
Dan itu bukan karena aku takut. Lagipula, aku memang salah karena sempat memikirkan hal yang tidak sopan baginya.
"Hangat sekali ya… kalau begini, udara dingin pun tidak terasa terlalu buruk."
Berjalan sambil saling berdekatan seperti ini memang terasa hangat.
Walau bagian tubuh yang tidak saling bersentuhan tetap terasa dingin sih.
Begitu kami keluar lorong dan masuk ke dalam bandara, suhu akan berubah drastis menjadi panas.
Tapi walaupun kami mengetahui itu, rasanya kami enggan melepaskan kebersamaan ini.
Lagipula, aku belum pernah benar-benar mengalami momen harus “berpisah” dari kondisi begini.
Kalau tiba-tiba Nanami melepaskan lenganku tanpa bilang apa-apa, mungkin aku akan sedih.
…Kalau dibalik, bayangin Nanami memelukku dan aku yang tiba-tiba menjauh, dia mungkin juga akan sedih, yep.
Jadi untuk sekarang… biarkan begini saja dulu.
"Haciiw!!"
Tiba-tiba terdengar suara bersin yang imut dari sampingku. Saat aku menoleh, Nanami sedang menatap kosong dengan mata terbelalak, seolah dia juga terkejut dengan apa yang barusan terjadi, dan buru-buru menutupi mulutnya dengan tangannya.
Sepertinya dia terkejut karena bersinnya sendiri.
"Nanami, kamu tidak apa-apa?"
"Ah, un. Aku baik-baik saja. Entah kenapa, mungkin badanku agak kedinginan."
Memang akhir-akhir ini tiba-tiba jadi lebih dingin, jadi kemungkinan besar tubuhnya ikut dingin juga. Kalau sampai dia masuk angin atau flu, bisa bahaya. Bahkan kalau kita mau masuk ke dalam gedung, mungkin lebih baik kalau aku melepas jaketku dan memberinya padanya...
Begitulah yang kupikirkan, tapi...
"Makanya, biar aku bisa menghangatkan diri, aku numpang menghangatkan ya di Youshin~"
Setelah dia mengatakan itu, Nanami langsung menggenggam erat lenganku, seolah dia ingin menyatu denganku. Sepertinya dia memang sengaja menggunakan ini sebagai alasan... supaya bisa tetap bergandengan tangan bahkan saat kita sudah masuk ke dalam gedung.
Dan saat aku bilang begitu padanya... dia malah terkejut dan bertanya kenapa aku bisa tahu apa yang dia pikirkan.
Oh, jadi ini yang namanya… saling memahami satu sama lain ya. Mungkin inilah maksud dari "bisa membaca hati orang lain" yang dulu Nanami maksud.
Meskipun... yah, mungkin itu cuma perasaanku aja.
Dengan saling bersandar dan saling menghangatkan satu sama lain, aku dan Nanami pun melangkah maju di tanah Jepang yang sudah seminggu kami tinggalkan.
...Oh benar, sebagai catatan, karena kami terlalu menempel satu sama lain, kami ketahuan sama guru dan langsung kena teguran dengan sangat jelas. Sialan.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
"Karena perbedaan suhu, akan membawa angin."
Ada ungkapan seperti itu.
Bukan cuma ungkapan, lebih ke kalimat—semacam lelucon yang sering muncul di internet. Biasanya dipakai saat alur cerita di suatu karya terlalu berbelok ekstrem, sampai-sampai kita tidak bisa mengikutinya dan jadi bingung sendiri.
Seperti, cerita yang awalnya puncak komedi tiba-tiba jadi super serius, atau sebaliknya—yang tadinya tegang tiba-tiba berubah jadi komedi, atau dari horor langsung terjun ke komedi, atau dari adegan menyedihkan langsung ke humor yang cabul...
Pokoknya, semakin besar perbedaannya, semakin terasa seperti kita akan masuk angin, dan kata-kata itu pun keluar tanpa sadar. Aku sendiri juga pernah mengucapkannya.
(Tln: Mungkin maksudnya seperti membawa angin yang berbeda, yang mana angin di atas itu maksudnya membawa experience yang berbeda)
Tapi itu cuma perumpamaan. Bukan berarti kita benar-benar akan masuk angin.
...Un, seharusnya memang begitu.
"…Siapa sangka akan benar-benar masuk angin... *uhuk*..."
Hari ini adalah hari biasa, hari sekolah, tapi aku malah sendirian, terbaring di atas tempat tidur. Seperti yang barusan kuucapkan... aku benar-benar kena flu.
Padahal yang bersin waktu itu Nanami, tapi ternyata malah aku yang tumbang. Aku tidak menyangkanya sama sekali.
Sekarang... mungkin sudah lewat tengah hari ya?
Aku melirik ke meja belajarku, dan disana ada teh dan semacamnya di atasnya. Mungkin Ibu yang menaruhnya disitu sebelum berangkat kerja tadi pagi.
Begitu bangun tadi pagi, badanku terasa panas dan berat. Ibu dan Ayah langsung berkata “Kamu terlihat sangat pucat” dan begitu suhu tubuhku dicek, ternyata sampai 38 derajat lebih...
Karena aku sudah lama tidak sakit, Ibu langsung mengatakan untuk periksa ke rumah sakit. Jadi sebelum ke kantor, Dia mengantarku ke rumah sakit dulu.
Aku merasa sedikit malu—karena aku bukan anak kecil lagi. Tapi karena memang rasanya sangat lemas, aku bersyukur.
Saat pengecekan, penyebabnya bukan virus yang viral akhir-akhir ini. Jadi yah, setidaknya itu sedikit melegakan. Setelah itu aku pun tertidur sebentar.
Sebenarnya, Ibu ingin bolos kerja dan merawatku di rumah, tapi aku menolak sarannya.
Selain karena malu, tapi yang paling utama adalah karena aku merasa bersalah harus karena membuat Ibu bolos kerja hanya karena aku. Bahkan Dia sudah repot-repot membawaku ke dokter...
Sebelum pergi, Ibu berkata, “Kunci pintunya ya. Kalau ada orang datang, tidak perlu membukanya.”
...Ibu, aku bukan anak SD, tahu.
Kayaknya karena aku sudah sangat lama tidak sakit, Ibu kembali ke ‘mode Ibu SD’ lagi.
Tapi mungkin karena aku memang sangat jarang sakit hingga Ibu seperti ini. Kapan terakhir aku kena flu?
Yah, intinya, sekarang… aku sendirian.
Bukan hanya sudah lama tidak sakit, tapi kayaknya ini juga pertama kalinya dalam waktu lama aku benar-benar sendirian seperti ini lagi.
Setelah sekian hari bersama dan ramai di study tour, suasananya malah jadi semakin terasa sepi....Aku juga tidak mengira habis pulang dari Hawaii akan langsung tumbang.
Karena selama ini tidak pernah flu, aku jadi lengah. Dokternya juga bilang, “Mungkin karena lelah di lingkungan yang tidak biasa.” Yah, masuk akal.
Bukan berarti stamina-ku rendah, tapi mungkin ada stamina khusus untuk ‘bermain’ yang kurang. Sebenarnya, stamina untuk ‘bermain’ itu bagaimana?
Yah begitulah, Nanami dan yang lainnya juga baik-baik aja, hanya aku sendiri yang harus bolos. Agak memalukan juga ya...
Sensasi yang khas saat sakit, tidur siang di hari biasa, rasanya susah untuk dijelaskan. Bukan rasa bersalah, tapi juga bukan rasa puas. Bagaimana menjelaskannya... perasaan yang aneh saja.
Dulu... waktu kecil, saat sakit aku menghabiskan waktu dengan main game. Walau katanya bikin lama sembuh, tapi waktu itu aku pikir “Ah, bodo amat.”
Bahkan sampai nge-grind game segala...
(Tln: Ngegrind game kayak farming brutal bener bener fokus maen game itu buat capai sesuatu)
"...Ngomong-ngomong, Apa yang sedang Nanami lakukan sekarang?"
Saat aku mengirim pesan padanya tadi pagi, sepertinya dia cukup terjekut...
Meskipun sebenarnya aku sendiri lebih terkejut setelah itu.
Begitu aku mengirim pesan, Nanami membalasnya dengan secepat kilat.
[ Aku akan bolos sekolah dan langsung ke sana untuk merawatmu!! ]
Bukan "Aku ke sana ya?"—tapi "Aku ke sana." Tidak ada pertanyaan, hanya titik.
(Checkpoint 7 Juni 01:58 AM)
Bolos sekolah karena alasan seperti itu... aku belum pernah mendengarnya sebelumnya. Maksudku, memang bukan hal yang umum bukan?
Anak SMA yang bolos sekolah hanya untuk merawat pacarnya yang sakit. Tapi itulah yang mau Nanami lakukan...
"Kata Ibu tidak boleh..."
Yah sudah jelas. Tidak aneh kalau tidak diizinkan. Sebenarnya aku sedikit kecewa, tapi kalau dipikir dengan benar, memang tidak masuk akal kalau sampai dibolehkan.
Setelah itu, Nanami tetap mengirim pesan berkali-kali. Bahkan saat aku masih di rumah sakit, aku masih sempat balas-balasan pesan dengannya.
Justru aku yang jadi khawatir... Soalnya dari waktunya yang masih jam pelajaran, tapi dia membaca pesanku dan membalasnya.
Dan ternyata, Nanami yang biasanya tidak pernah dimarahi, kali ini kena tegur.
HP-nya tidak sampai disita, tapi katanya ditegur cukup keras.
Setelah itu pesan-pesannya berkurang, dan aku pun tertidur sebentar...
"...Sekarang seharusnya tidak banyak pesan yang masuk bukan?"
Dengan agak ragu, aku mengambil ponsel yang tadi kutaruh di samping bantalku. Saat aku nyalakan... ternyata cukup banyak pesan yang masuk.
Tapi kalau dilihat dari jamnya, dia tidak mengirimnya saat jam pelajaran. Yah, tentu saja.
"Youshin, kamu baik-baik saja? Nanti setelah pulang sekolah aku mau jenguk ya. Tapi tidak perlu untuk membalasnya, istirahat saja dengan tenang."
Saat membaca itu, rasanya aku menjadi sedikit lebih lega. Setelah itu aku menyadari sesuatu, mungkin itulah penyebab perasaan ringan tadi.
Aku kembali membaca pesan-pesan lain—dan ternyata yang lain juga mengirim pesan padaku.
"Dengar-dengar kamu sakit? Kamu baik-baik saja? Nanami seperti terkena gejala sakau karena kamu tidak ada. Jadi kalau sudah baikan, tolong kabari dia."
(Tln: Sakau itu gejala stress setelah lepas atau menahan kecanduan. Kayak rokok kalau ga merokok dalam 1 hari bisa stress)
"Kamu sakit karena habis ngapa-ngapain dengan Nanami ya? Dia sekarang sedang duduk di bangkumu untuk 'menyerap energi Misumai’ katanya. Agak bahaya sepertinya."
"Youshin, sembuh dengan benar ya. Musim dingin masih panjang. Barato lagi sangat galak, jadi tolong tenangkan dia."
"Misumai-kun, Nanami jadi sangat murung sejak kamu tidak masuk. Aku sama Taku-chan jadi susah bermesraan. Jadi cepat sembuh ya, tapi jangan dipaksa."
Melihat pesan-pesan itu, aku senang karena mereka perhatian. Tapi juga, memperbanyak hal yang harus kukatakan pada Nanami.
"Apa yang kamu lakukan Nanami?!"
Di sini aku berpikir dia akan sedih, tapi ternyata tindakannya di luar dugaan.
Yah, lupakan itu sejenak. Setelah membaca semua pesan itu, aku jadi sadar alasan kenapa aku merasa lebih ringan.
"Ternyata aku sudah tidak kuat lagi untuk sendiri ya."
Dulu waktu sakit, aku selalu sendirian. Orang tuaku kerja, dan aku juga selalu bilang untuk tidak dijaga.
Waktu itu, tidak ada yang mengirimkan pesan, tidak ada siapa-siapa untuk ngobrol. Aku hanya tidur seharian.
Setelah sembuh dan kembali sekolah, tidak ada juga yang kuajak bicara. Aku juga tidak terlalu peduli. Bahkan, aku sampai berpikir ‘Kuharap terus seperti ini’, dan main game sendirian.
Tapi sekarang, setelah mendapat pesan dari Nanami dan yang lainnya, aku berpikir
‘Aku ingin cepat sembuh dan kembali ke sekolah.’
Aku tidak tahu, apakah itu artinya aku jadi lebih lemah atau lebih kuat karena tidak bisa sendirian. Tapi satu hal yang pasti, perasaan ini tidak buruk juga.
Setelah tidur, badanku jadi lebih mendingan. Lalu aku pun bangun dari kasurku selagi memegang ponselku.
"...Setelah makan, aku akan membalas pesan itu satu-satu dan tidur lagi."
Ibu mungkin sudah memasak sesuatu. Setelah makan, aku mau tidur lagi. Hari ini jangan main dulu agar cepat sembuh...
Dengan pikiran itu, aku pun keluar dari kamar.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Mimpi yang seseorang lihat saat flu itu... sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Terkadang seperti mimpi buruk, terkadang seperti pengalaman ulang dari masa lalu. Tapi sering juga isinya benar-benar kacau. Intinya, tidak ada koneksinya sama sekali.
Kurasa, mimpi yang sedang kulihat sekarang termasuk yang kacau. Ada aku saat masih SD, dan ada Nanami yang sudah SMA. Aku memang tidak menangis, tapi wajahku terlihat sedih.
Aku sadar dalam mimpi ini... lucid dream? Saat ini aku sedang melihat diriku yang dulu dari sudut pandang luar. Meskipun pemandangannya tidak mungkin terjadi, rasanya seperti benar-benar pernah terjadi.
(Tln: Lucid dream itu mimpi yang kamu sadar kalau itu mimpi. Kalau kalian pernah denger orang yang mengontrol mimpi mereka, itu lewat lucid dream. Sadari dan pikirkan maka mimpi kalian bakal berubah ke arah itu)
Nanami menyapaku, lalu aku menjawab sesuatu. Dia mengulurkan tangannya, dan aku mengambil tangannya...
(Tln: Kemungkinan maksudnya Youshin udah berdamai dengan masa lalunya)
Wajah Nanami tidak terlihat jelas, tapi kedua orang itu—aku dan dia—mulai berjalan bersama.
Meski tidak terlihat dengan jelas, aku merasa Nanami sedang tersenyum.
...Kalau begitu, bagaimana dengan ekspresi wajahku sendiri?
Di saat itulah aku terbangun.
...Apa ya, maksud dari mimpi barusan itu? Mungkin itu cuma hasil dari keinginanku yang terlalu kuat untuk bertemu Nanami.
Tapi, kenapa yang muncul justru aku masa kecil?
...Yah, tidak ada gunanya mempertanyakan isi mimpi. Memang mimpi tersebut masuk akal. Yang jelas, aku memang ingin bertemu dengannya.
"Nanami..."
Tanpa sadar aku menyebut namanya. Tapi terbatuk sendiri, dan berbicara sendiri. Tidak ada yang akan menjawab...
"Ada apa, Youshin?"
...Tidak ada yang menjawab, kan? Tidak ada...?
Eh? Barusan... ada yang menjawabku?
Apakah aku sedang halu? Tapi suara yang kudengar itu... suara yang ingin kudengar, dan jelas terdengar dari dekat.
Aku menggerakkan kepalaku, masih di atas tempat tidur, dan menoleh ke arah suara itu.
Di sana—ada orang yang paling ingin kutemui.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
Post a Comment