NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Inkya no Boku ni Batsu Game V11 Chapter 1

Penerjemah: Eina

Proffreader: Eina


Chapter 1: Di Atas Kasur...

Bisa bertemu dengan orang yang ingin kita temui kapan saja itu adalah hal yang luar biasa.

Tapi sayangnya, kalau bisa bertemu kapan saja, perasaan bahagia itu memudar. Bertemu jadi terasa biasa saja, dan rasa syukurnya pun berkurang secara perlahan. Kita mulai menganggap kebahagiaan itu sebagai hal yang normal.

Mungkin kata “menganggapnya normal” agak berlebihan, tapi dulu aku pernah sedikit berpikir seperti itu juga.

Aku pernah merasa untuk tidak boleh menganggap semua itu hal yang wajar dan biasa.

Kapan ya aku pernah berpikir seperti itu?

Ah, aku ingat. Waktu awal-awal pacaran dengan Nanami, aku berpikir bahwa hari-hari bersamanya itu sesuatu yang spesial, bukan hal yang bisa dianggap biasa.

Sampai saat ini pun aku masih merasa seperti itu, tapi tetap saja… aku sudah tidak bisa membayangkan jauh dari Nanami. Apalagi setelah kejadian waktu di Hawaii…

Tiba-tiba orang yang selalu kutemui jadi tidak bisa kutemui…

Perasaan kehilangan itu sangat kuat. Seperti yang kurasakan saat ini.

Bangun dari tidur dan tiba-tiba sangat ingin bertemu dengan Nanami.

Meskipun aku tidak bertemu dengannya selama setengah hari atau sehari saja, aku merasa seperti itu sudah terlalu lama.

Aku merasa seperti benar-benar bergantung padanya.

Mungkin karena aku sudah lama tidak sakit, dan sendirian di rumah yang membuatku merasa cemas.

Sampai-sampai aku hampir mendengar suara Nanami yang kuinginkan, seperti sebuah halusinasi…

“Oiii, Youshinn~? Kenapa tatapanmu terasa jauh begitu?”

Di sampingku, Nanami melambaikan tangannya dengan riang.

Halu kali ini cukup nyata, seolah-olah Nanami benar-benar ada di sini.

Teknologi VR mungkin belum secanggih ini. Padahal aku sendiri belum pernah mencobanya.

Ya, aku benar-benar ingin kabur dari kenyataan sekarang.

Nanami benar-benar ada di sini, walau hanya di pikiranku.

Aku sangat senang, tapi juga sedikit bingung.

“Eh… Nanami, kenapa kamu di sini…?”

“Hehe, aku datang untuk menjengukmu!”

“Terima kasih ya… *uhuk*…”

“Ah, jangan paksakan dirimu. Baring-baring saja. Mau minum teh? Atau minuman olahraga?”

(Tln: Mungkin maksudnya minuman berenergi)

“Kalau begitu… minuman olahraga saja…”

Nanami yang menunjukkan tanda ✌️ padaku langsung menahanku yang berusaha duduk. Dia terlihat sedikit bersemangat, sepertinya moodnya sangat bagus.

Aku berharap itu bukan karena dia yang senang melihatku yang sedang sakit.

Tidak itu terlalu aneh. Pikiranku jadi agak kacau kalau sedang flu.

Lalu dia menuangkan minuman olahraga ke gelas kosong, memasangkan sedotan, dan menyodorkan sedotan itu ke mulutku. Aku, yang masih berbaring, lalu menghisap sedotan itu dan minumannya masuk ke mulutku.

Minum tanpa memegang gelas sendiri terasa agak aneh.

Cairan yang dingin dan sedikit manis itu mengalir perlahan ke kerongkonganku, dan memberikan rasa dingin yang menyebar di dalam perutku. Meskipun aku sudah makan siang, tapi mungkin perutku masih kosong.

(Tln: Kerongkongan itu tenggorokan tapi buat makanan/minuman buat ke perut)

Rasa dinginnya menyebar dari perut ke seluruh tubuhku, hingga bahkan membuatku sedikit menggigil.

Melihat aku yang menggigil, Nanami bertanya apakah aku kedinginan lalu memakaikan selimutku kembali. Mungkin tubuhku lebih panas dari yang kukira. Setelah beberapa tegukan, kepalaku mulai terasa lebih dingin.

Aku mencoba untuk bertanya sekali lagi.

“Kenapa Nanami… ada di sini?”

Karena demam, aku agak susah untuk berbicara, jadi yang keluar kata-kata pendek saja. Suaraku juga lebih serak, mungkin terdengar seperti orang yang bingung.

Aku mencoba untuk melanjutkan perkataanku, tapi Nanami cuma tersenyum dengan pelan. Seolah-olah dia sudah tahu semuanya dan tidak perlu menjelaskannya lagi.

“Ya, aku senang kamu ada di sini…”

“Santai saja, demam memang bikin tubuhmu lemas. Tidur yang cukup ya. Aku ada membawa beberapa makanan juga, mau jeli?”

Nanami tersenyum lembut sambil menepuk-nepuk dadaku seperti sedang menenangkan bayi yang mau tidur.

Aku merasa malu tapi juga nyaman.

Setelah aku mulai sedikit tenang, Nanami melanjutkan tepukannya dengan lembut.

Dia berkata, “Setelah sekolah aku buru-buru datang ke sini. Karena kamu sendirian di rumah, aku pikir kamu akan merasa kesepian. Yang lainnya juga ingin datang, tapi aku datang sendiri saja.”

“Yang lain?”

“Ya, Hatsumi, Ayumi, Kenbuchi-kun, Kotoha, dan Teshikaga-kun juga pengen datang. Teman-teman yang lain juga khawatir. Tapi biar aku saja yang datang.”

Aku merasa bersalah karena ternyata banyak yang khawatir padaku. Aku tidak menyangka ada sebanyak itu yang peduli padaku.

Mungkin aku kena flu juga karena memikirkan mereka. Ya, menjaga kesehatan memang penting.

(Tln: Merasa bersalah jadi kepikiran mereka terus)

Tapi ada yang sedikit aneh. Kenapa Nanami bisa tahu kalau aku sendirian di rumah? Apakah ibu yang memberitahunya?

Aku lalu berpikir, apakah ibu yang minta Nanami untuk merawatku? Tapi kayaknya ibu tidak mungkin meminta pacarku untuk melakukan itu. Rasanya aneh kalau begitu.

“Jadi, ibu yang menghubungimu?”

“Bukan. Aku yang bertanya langsung ke ibumu. Aku bertanya apakah kamu sedang sendirian di rumah.”

“Terus… kamu datang karena itu?”

“Unn. Aku pikir kamu pasti merasa kesepian kalau sendirian, jadi aku bilang boleh tidak aku merawatmu? Awalnya katanya itu hal yang buruk, tapi aku yang maksa.”

Nanami lalu menjulurkan lidahnya dengan santai sambil cerita kalau ibuku berkata Nanami harus merawatku karena Ibu tidak bisa merawatku secara langsung.

Oh, jadi bukan ibuku yang memintanya, tapi Nanami yang inisiatif untuk bertanya sendiri. Yah, itu masuk akal.

Atau lebih tepatnya, ibu, bukannya Ibu terlalu memperlakukanku seperti anak kecil? Yah, aku memang masih anak-anak, tapi tetap saja... itu sedikit memalukan untuk anak SMA.

Apa semua orang memang merasakan hal ini? Aku bersyukur, tentu saja… tapi tetap saja rasanya luar biasa.

“...Apa aku menyusahkan?”

Nanami menatap mataku dengan khawatir dan mengernyit. Ekspresinya terlihat begitu rumit—seakan dia senang karena bisa datang, tapi juga masih ragu apakah memaksakan diri datang seperti ini adalah keputusan yang tepat.

Dari sudut pandangku yang memang ingin bertemu Nanami, aku malah ingin berterima kasih pada Ibu karena sudah mengizinkannya untuk datang. Aku tahu ini terdengar agak sok tahu, tapi… terima kasih, Ibu.

“...Tidak kok, kamu tidak menyusahkan. Lagipula, Ibu juga… kalau memang tidak setuju, dia pasti akan melarangnya kan…”

Kalau Nanami bisa ada di sini, itu artinya tidak ada masalah dari pihak Ibu. Yah… perasaan ganjilku tadi mungkin cuma karena demam.

“…Hmm? Nanami bisa ada di sini…?”

…Tunggu. Kalau tidak salah, Ibu mengunci pintunya saat pergi bukan? Dan aku bahkan tidak bangun untuk membukanya… jadi bagaimana Nanami bisa masuk?

Apa Ibu pulang sebentar dan membuka pintunya sebelum Nanami datang?

“…Nanami, tadi pintunya tidak dikunci?”

“Ah, Unn. Aku punya kunci cadangannya soalnya…”

Kunci cadangan?! Tunggu, aku tidak pernah mengetahuinya. Jadi… Nanami memegang kunci rumahku?

Aku begitu terkejut hingga terdiam. Nanami yang melihatku terdiam pun langsung panik selagi melambaikan tangannya.

“E-eh! Tapi bukan karena aku yang bikin kunci cadangan sembarangan ya?! Sungguh!”

“Eh, aku tidak khawatir soal itu sih… Kenapa kamu bisa memikirkan hal itu…”

“Soalnya akhir-akhir ini kamu sering berkata kalau aku sudah seperti yandere…”

Aah… Un, itu salahku. Aku memang sempat mengatakan yang aneh-aneh soal itu. Tapi aku yakin, Nanami bukan tipe orang yang akan melakukan hal yang tidak bermoral atau melanggar hukum.

…Yandere yang taat hukum. Konsep yang cukup segar juga ya. Walau mungkin itu cuma biasku saja.

(Tln: bias itu prasangka)

Ayo kembali ke topik kunci. Kunci cadangannya.

“...Jadi, kamu punya kunci rumahku…?”

“Ah… eh, maksudku bukan seperti itu. Kuncinya bukan milikku.”

“Eh? Lalu…?”

“Itu kunci milih Ayahmu—punya Akira-san.”

…Eh? Ayahku?

Saat aku masih bingung dengan situasinya, Nanami mulai menjelaskannya. Setelah Ibu mengizinkannya datang, mereka sempat bingung soal kunci. Saat sedang bingung, kebetulan Ayah lewat dan akhirnya Ayah yang memberikan kuncinya ke Nanami.

Oke, kalau begitu masuk akal. Nanti aku harus berterima kasih ke Ayah juga.

“Cuma yah… aku dikasih kuncinya di depan teman-teman lain…”

Otakku langsung nge-blank. …Tunggu, apa? Kamu dikasih kunci… di depan yang lain? Teman-teman yang lain?!

Meskipun aku lagi demam, darahku mungkin tetap menghilang dari wajahku. Ayah dan Ibu memang datang ke festival sekolah, jadi semua teman sekelas pasti tahu mereka.

Dan kalau Ayah memberikan kunci ke Nanami di depan mereka…

“…Sungguh …”

Setidaknya berikan dengan diam-diam, Ayah… Tapi yah, kalau dipikir lagi, malah kalau Ayah memberikan kunci ke pacar anaknya dengan sembunyi-sembunyi, itu malah lebih berbahaya.

Yah, kalau begitu, memang lebih baik untuk memberikannya di depan semua orang. Walau mungkin aku akan digoda atau diejek tapi itu lebih baik daripada merusak reputasi sosial Ayah.

“...Tapi, kamu bisa chat atau menelponku untuk membuka pintu untukmu kan?”

“Soalnya kamu lagi sakit. Aku ingin kamu bisa istirahat total tanpa harus bangun-bangun…”

Semua orang jadi super perhatian seperti ini ya kalau aku sedang sakit. Nanami juga tadi menyuapiku minuman dengan sedotan…

“…Makasih.”

Tadinya aku ingin mengatakan “maaf”, tapi kurasa yang lebih tepat adalah “terima kasih”. Nanami bilang “tidak perlu dipikirkan”, tapi wajahnya jelas terlihat sangat senang.

“Mau makan jeli? Ah, aku juga ada beli puding.”

Nanami mulai mengeluarkan jeli dan makanan lainnya dari kantong plastik minimarket selagi berkata, “Kalau lagi sakit, enaknya pasti makan yang begini.”

Benar juga sih… makanan seperti jeli tidak biasanya kumakan kalau tidak sakit.

“…Mau.”

Perlahan aku bangkit dari tempat tidur, dan Nanami segera menopang tubuhku dengan raut cemas. Kondisiku sudah tidak separah sebelumnya, jadi aku tersenyum untuk meyakinkannya kalau aku baik-baik saja.

Mungkin karena tadi aku berselimut yang udara kamar terasa sedikit dingin di kulitku. Aku juga berkeringat, jadi piyama yang kupakai basah...

Nanami memindahkan selimut ke bahuku yang sudah dalam posisi duduk. Aku berterima kasih dalam hati, tapi aku juga khawatir, apakah aku bau dengan keringat ini?

Aku baru saja ingin menanyakannya, tapi Nanami sudah duduk di pinggir tempat tidurku sambil memegang bungkusan jeli...

"Nah, aaannn."

Dia menyodorkan sesendok jeli ke arahku.

Nanami yang duduk di tempat tidurku masih mengenakan seragamnya. Mungkin karena kamar ini panas, kemeja di balik jaketnya terlihat sedikit berantakan.

Fakta bahwa Nanami dengan seragamnya yang sedikit berantakan itu duduk di tempat tidurku... saja sudah cukup untuk membuat demamku terasa semakin menjadi-jadi.

"Tidak, Nanami... aku bisa makan sendiri..."

"Tidak, tidak. Kalau sedang sakit, kamu harus nurut dirawat. Ah, baju perawat... apa aku lebih baik memakainya ya? Hari ini aku tidak membawanya sih..."

Nanami menolak usulanku sambil tetap menyodorkan sendoknya. Dirawat seperti ini rasanya sedikit memalukan...

"Baju perawat?"

"Iya. Kostum cosplay perawat. Oh, tentu saja yang rok mini. Yang celananya seperti terlihat tak terlihat, dan aku juga akan pakai dalaman yang lucu kok."

Kenapa cara bicaranya seolah-olah menyuruhku untuk tidak khawatir. Bukan itu, yang kukhawatirkan bukan itu. Tapi kenapa dia punya benda seperti itu...

"...Yuu-senpai?"

"Ah, kamu tahu juga ya. Benar, aku dapat dari Nao-chan."

Katanya ukuran dadanya sudah tidak muat lagi jadi dia memberikannya... Itulah asal-usulnya menurut Nanami. Sepertinya baju kekecilan dari Yuu-senpai sangat pas untuk Nanami.

Bukan itu masalahnya. Berapa banyak baju cosplay yang dimiliki orang itu? Aku yakin kostum bunny girl(kelinci) sebelumnya juga salah satu dari yang dia miliki.

Nanti kalau aku kerja paruh waktu lagi, aku harus menanyakan soal ini padanya. Memberikan pakaian seksi seperti itu pada Nanami... eh, kok aku jadi ingin berterima kasih padanya ya.

Oke. Perasaanku yang tiba-tiba berubah pendirian 180 derajat ini untuk sementara kita sampingkan terlebih dahulu.

"Nanami... akhir-akhir ini, kamu jadi suka cosplay ya?"

"Hmm, bukannya suka cosplay, tapi lebih karena senang bisa mencoba berbagai macam baju. Kalau dibilang suka cosplay, rasanya tidak enak dengan orang-orang yang benar-benar hobi, aku tidak seserius itu kok."

Ah, begitu, ya? Rasanya aku sedikit memahaminya, tapi juga tidak. Saat aku mulai mengerti, Nanami sekali lagi berkata, "Horaa, aaann" jadi aku pun memakan jeli yang disodorkannya.

Ah, enak. Jeli rasa buah... rasa persik. Dengan teksturnya yang licin dan lembut, jeli ini langsung meluncur turun ke tenggorokanku.

Meskipun tadi siang aku sudah makan, tapi hanya sedikit. Jadi ini sangat pas untuk perutku masih yang lapar.

"Ngomong-ngomong, di kelas juga ada tau, anak yang suka cosplay. Aku pernah diajak untuk ikut cosplay di event kapan-kapan."

Nanami diajak cosplay... ya...

Apakah itu cosplay karakter anime, atau yang seperti baju perawat tadi...

Aku jadi membayangkan sosok Nanami dalam balutan seragam perawat, dan refleks memalingkan wajahku. Saat itu, pandanganku jatuh pada ponselku... sepertinya ada banyak notifikasi yang masuk.

Sambil terus disuapi jeli oleh Nanami, aku mengambil ponselku. Kubuka kuncinya... dan yah, benar saja, pesannya menumpuk.

Selain dari iklan... sisanya semua pesan dari teman sekelas. Tunggu, aku baru sadar ada pesan dari Ayah dan Ibu juga.

[Katanya Nanami mau merawatmu, jadi Ayah mengizinkannya. Ayah akan pulang lebih awal.]

[Kuncinya sudah Ayah kasih ke Nanami ya. Jangan kaget saat kamu bangun nanti.]

[Kata Nanami dia mau jenguk. Kamu tidak apa-apa? Nurut saja dirawat sama dia ya.]

[Mumpung lagi sakit, manja-manjaan saja sekalian~]

[Jangan mentang-mentang berduaan dengan Barato, kamu malah melakuakn hal yang bikin demammu tambah naik tau 😁]

(Tln: Dari rawnya juga kayak mau kasi emote jadi sekalian~)

Hmm, rasanya aku telat untuk melihat semua ini. Lagipula, mana mungkin aku akan melakukan hal aneh, apalagi dalam kondisi banjir keringat seperti ini...

...Banjir keringat... ya. Un~, apakah semuanya akan baik-baik saja...

"Ada apa?"

Nanami memiringkan kepalanya sedikit selagi terus menyodorkan jeli. Sambil tersenyum kecut, aku menerima jeli yang disodorkannya ke dalam mulutku.

Aku mengunyahnya perlahan seolah ingin mengulur waktu, lalu menelan jeli itu. Setelah itu, dengan sedikit keraguan, perlahan aku mulai bicara.

"Begini... aku kan berkeringat... jadi aku berpikir, apa bau keringatku menyengat atau tidak..."

"Hmm... tidak masalah sama sekali kok."

"Nanami?!"

Tanpa menunggu lama, Nanami langsung mendekat dan mengendus-endus aroma tubuhku. Diperlakukan seperti itu... entah kenapa perasaanku jadi kacau.

Sepertinya dia sudah puas setelah mengendus sekilas, lalu menjauh dariku sambil memberikan tanda ✌️. Aku pun merasa lega karena ternyata tidak apa-apa... tetapi...

Tiba-tiba Nanami membawa tanda ✌️ di tangannya itu ke dagunya, seolah sedang memikirkan sesuatu. Tanpa kusadari, bungkusan jeli yang tadi dipegangnya sudah diletakkan di atas meja.

...Etto?

Kemudian, dengan gerakan tangan yang terlihat mencurigakan, Nanami tersenyum dengan aura yang sedikit menggoda.

"Atau jangan-jangan, aku seharusnya mengatakan 'Bauuu...♡' begitu ya?"

"Nanami-san?!"

Gawat, itu suaraku yang paling keras hari ini.

Dengan atmosfer seperti itu, bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu. Lagipula, dari mana dia mendapatkan pengetahuan semacam itu?!

Akhir-akhir ini, bukankah ada terlalu banyak contoh yang buruk untuk pendidikan Nanami?!

Rasanya demamku langsung hilang begitu saja. Saking terkejutnya, kondisiku jadi membaik seketika... tidak, ternyata masih sedikit kurang sehat.

...Tidak, tidak mungkin Nanami mengatakan hal seperti itu. Ini pasti mimpi yang sering muncul saat demam tinggi. Ini pasti mimpi?

Ini mimpi kan?

"...Di mana kamu belajar kata-kata seperti itu... atau lebih tepatnya, ada apa dengan situasi ini..."

"Eh? Itu... dari Kotoha-chan..."

Lagi-lagi Shizuka-san!! Apa yang dilakukan ketua kelas bermata sayu itu!! Hanya karena dia sudah mulai berpacaran dengan Teshikaga-kun, dia jadi terlalu lepas kendali bukan?!

"Lalu, dari anak yang suka cosplay yang kusebutkan tadi."

Bertambah?!

Eh, tapi ada lagi. Pasti bohong. Tanpa kusadari, orang yang mengajari Nanami hal-hal aneh sudah bertambah satu lagi. Ada apa sebenarnya dengan kelasku ini.

Selama aku sakit dan beristirahat, waktu di kelasku tetap berjalan selama satu hari. Artinya, ada sesuatu yang terjadi di luar pengetahuanku.

Biasanya, cerita yang umum adalah, saat aku absen, aku malah ditunjuk menjadi panitia suatu acara, atau diberi peran penting lainnya...

Aku pernah mendengar cerita semacam itu, tapi siapa yang bisa membayangkan kalau saat aku beristirahat, pacarku malah ditanami pengetahuan yang tidak jelas seperti ini?

Setidaknya, aku tidak pernah membayangkannya.

Yuu-senpai, Shizuka-san, dan anak cosplay yang namanya pun tidak kuketahui. Untuk saat ini, sepertinya ketiga orang inilah yang harus diwaspadai. Namun, tidak ada cara untuk mencegahnya.

...Aku kehabisan jalan ya.

"Untuk sementara... yang seperti itu tidak perlu..."

"Youshin tidak begitu suka dengan yang seperti itu ya... Hmm, akan kuingat."

Kenapa Nanami jadi berbicara seperti karakter musuh yang terus belajar dari pertarungan.

Tapi yah, sebagai tindakan pencegahan, menyatakan dengan jelas apa yang tidak kusuka memang jalan yang terbaik... Nanami juga pasti tidak akan melakukan hal yang benar-benar kubenci.

Kalau dari sudut pandangku, hal-hal semacam itu bukan seleraku... tapi kalau Nanami yang mengatakannya, apa aku akan sedikit senang...?

Tapi... tidak juga...?

Sebenarnya, apa yang sedang kuperdebatkan dalam diriku ini. Aku bertanya pada diriku sendiri, namun seolah bisa merasakan gejolak emosiku, Nanami sedikit memperpendek jarak di antara kami.

"Ternyata... kamu sedikit suka juga ya, dengan yang seperti itu?"

"Ti-tidak... itu... unn..."

Karena terus didesak, aku jadi semakin sulit untuk berkata-kata. Nanami tidak akan melakukan hal yang benar-benar kubenci. Tapi jika dibalik, artinya... jika aku tidak membencinya, maka dia akan melakukannya.

Bahkan jika arahnya sedikit menarik, dia akan mencobanya padaku. Karena dia tidak akan tahu apakah aku suka atau tidak sebelum benar-benar mencobanya.

...Tidak, sudahlah. Pikiranku tidak bisa berjalan dengan baik karena demam. Untuk sekarang, aku harus memastikan untuk tidak membuka pintu yang jika sekali kulakukan, aku tidak akan bisa kembali lagi.

"Ehehe, cuma bercanda, jadi kamu tidak perlu sebegitu bingungnya."

Mungkin dia puas melihatku kebingungan, Nanami pun tersenyum malu-malu. Senyumnya begitu polos, seolah dia tidak pernah mengatakan hal yang sedikit vulgar.

Dibilang bercanda, aku pun merasa sedikit lega.

"Lagipula... kalau demammu naik lagi karena hal-hal seperti ini saat sedang sakit tidak baik juga bukan. Jadi, hal-hal yang sedikit mesum seperti ini lebih baik dilakukan saat kamu sudah sehat ya."

Nanami langsung menjauh dariku, tapi... saat aku sehat... kita akan melakukannya...? Aku jadi sedikit berdebar-debar hanya dengan membayangkannya.

Baiklah, aku harus menguatkan hatiku agar bisa menjadi penahan jika Nanami mulai lepas kendali. Itu yang terbaik... mungkin...

"Jadi, soal bau badanmu, Youshin."

Benar juga, awalnya kita sedang membicarakan itu. Pembicaraannya sudah melenceng cukup jauh, dan kesimpulannya adalah tidak apa-apa, tapi... apa jangan-jangan memang ada sesuatu?

"Kalau kamu khawatir, mau kubantu menyeka badanmu? Kamu terlihat berkeringat..."

Nanami turun dari tempat tidur, lalu mengambil handuk yang tergeletak di atas mejaku. Sejak kapan benda itu ada di sana?

Jika kuperhatikan lagi dengan baik, di atas mejaku juga sudah tersedia satu set piyama ganti. Sepertinya Nanami sudah mengetahuinya. Mungkin Ibu yang memberitahunya.

"Badan... ya..."

Memang, saat tubuhku terasa lemas, aku tidak terlalu memikirkannya... tapi saat kondisiku mulai membaik, rasa lengket karena keringat ini memang terasa tidak nyaman.

Piyamaku juga basah... sudah waktunya untuk menggantinya, itu sudah pasti. Tapi aku bisa menyeka keringatku sendiri. Saat aku berpikir begitu dan menatap Nanami...

Entah kenapa, ekspresinya terlihat penuh harapan, seperti anak kecil sebelum berbuat jahil... Wajahnya terlihat berkilauan.

Sudut bibirnya juga terlihat seperti kucing. Kenapa aku sampai berhalusinasi melihat telinga dan ekor kucing yang seharusnya tidak ada. Nanami dengan telinga kucing memang lucu sih...

"Tidak... kalau cuma keringat..."

"Ehh..."

Ah, raut wajah Nanami langsung murung seketika. Entah mengapa aku merasa bisa melihat ekor ilusinya yang terkulai lemas.

Apa dia memang sebegitu inginnya menyeka tubuhku... Perasaan malu dan bersykur terus muncul dalam diriku.

Dalam situasi ini... apa tidak apa-apa jika aku sedikit bergantung padanya? Mungkin aku akan mencobanya.

"...Kalau begitu, mumpung sudah ditawarkan, boleh aku minta tolong?"

"Unn!!"

Ah, tiba-tiba ekspresi Nanami langsung cerah, telinga ilusinya langsung menajam dan ekornya bergerak-gerak. Dia terlihat luar biasa senang.

...Tunggu, ini hanya ilusi kan? Bisa melihat hal seperti ini, apa jangan-jangan demamku masih tinggi?

Dengan langkah ringan yang riang gembira, Nanami kembali duduk di tempat tidurku. Aku sendiri bingung harus bagaimana, tapi sepertinya Nanami pun ragu harus berbuat apa.

Etto... dalam situasi seperti ini...

"Apa lebih baik aku membelakangimu...?"

"Eh, bagaimana ya...? Atau... kamu lepas baju atasanmu lalu berbaring...?"

"Lepas atasan... aku harus melepasnya?"

"Bukan cuma atasan... tapi bawahan juga?"

"Jadi telanjang bulat?! Eh, apa menyeka keringat memang sesulit itu?"

Yah, walaupun aku masih memakai pakaian dalam jadi tidak benar-benar telanjang bulat, tapi berbaring hanya dengan pakaian dalam sama saja artinya dengan berbaring telanjang.

Dua orang pemula di atas tempat tidur, mencoba-coba mencari posisi yang benar. Padahal yang dibicarakan hanyalah soal menyeka keringat.

Pada akhirnya, kami memutuskan agar aku hanya melepas atasan dan memunggunginya.

Sudah diputuskan, tapi...

"Ka-kalau begitu... aku buka bajunya ya?"

"U-un... Un...!!"

Padahal, yang akan kami lakukan hanyalah menyeka keringat. Hanya itu, tapi entah kenapa jantungku berdebar begitu kencang. Apa ini karena Nanami duduk di tempat tidurku?

...Tidak, melepas pakaian di atas tempat tidur... itu terlihat seperti 'adegan itu'. Wah, aku baru menyadarinya. Aku benar-benar terlambat menyadarinya. Sepertinya Nanami yang terdiam dengan pipi memerah itu juga baru menyadarinya.

Rasanya ini semua karena aku mengatakan hal yang tidak perlu seperti 'aku buka bajunya ya'. Ah, lihat, pandangan Nanami jadi berkelana ke mana-mana.

Sebelum aku memperburuk keadaan dengan bicara yang tidak perlu, lebih baik aku cepat-cepat membukanya.

"Yosh..."

"?!"

Aku sudah membulatkan tekadku dan melepas piyama atasku, tapi pada saat itu juga, aku bisa merasakan Nanami menahan napasnya. Aku berpura-pura tidak menyadarinya dan membalikkan badan untuk memunggunginya.

Mungkin karena sudah melepas atasanku yang basah oleh keringat, perasaanku jadi sedikit lebih lega. Tubuhku yang bersentuhan langsung dengan udara secara refleks bergetar sedikit.

Mungkin Nanami mengira itu karena kondisiku yang kurang sehat, dia terkesiap lalu perlahan mendekatiku. Meskipun aku memunggunginya, entah bagaimana aku bisa tahu apa yang sedang dia lakukan.

Karena di atas tempat tidur, dia tetap dalam posisi duduk... dan dengan postur itu dia mendekati punggungku. Mungkin karena tidak baik bagi tubuh jika keringat ini sampai mendingin, dia tidak menunjukkan banyak keraguan.

Saat jantungku berdebar kencang, sebuah sensasi yang lembut menyentuh punggungku yang telanjang. Kelembutan khas handuk, membuat bagian yang disentuhnya terasa sedikit lebih hangat.

"Baiklah, aku seka ya."

"Un, tolong."

Tangan Nanami yang memegang handuk lembut itu bergerak perlahan. Dia mengusapkan handuk itu ke kulitku dengan tekanan yang tidak terlalu kuat.

Seolah sedang dipijat, aku menerima setiap sentuhan tangan Nanami.

Penolakan... aku tidak merasakan penolakan apa pun. Tentu saja, ini hanya untuk menyeka keringatku. Tidak ada niat macam-macam di dalamnya.

Nanami tidak hanya menyeka punggungku, tetapi juga area leher, bahu... lengan, dan sisi perutku. Bagian leher dan sisi perut terasa sedikit geli, yang membuatku refleks bergerak.

"Geli ya?"

"Hanya sedikit... saja..."

Nanami tertawa kecil, dan tanpa gengsi yang aneh-aneh, aku mengakuinya dengan jujur. Mungkin karena tujuannya saat ini adalah menyeka keringatku, Nanami tidak menyerang titik geliku dengan sengaja.



Aku merasa sedikit... yah, sedikit kecewa, tapi tentu saja hal-hal semacam itu harus menunggu sampai aku benar-benar sehat.

Kalau dipikir-pikir lagi... sebenarnya aku tidak perlu melepas seluruh bajuku bukan. Cukup membuka bagian punggung saja... ah, tapi mengenakan pakaian basah terus-menerus juga tidak baik untuk tubuhku.

Padahal seluruh tubuhku terasa tidak nyaman karena keringat, tapi setiap bagian yang diseka oleh Nanami terasa seolah sedang disucikan... rasanya sangat nyaman. Meskipun aku belum mandi, bagian itu saja sudah terasa segar.

"Nngh..."

"Mouu, kenapa kamu mengeluarkan suara seksi seperti itu..."

"Eh...? Yang barusan itu seksi...?"

"Rasanya seperti kamu sedang menunggu untuk diserang..."

Apa maksudnya itu. Terdengar mengerikan. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengeluarkan suara aneh, aku malah berpikir kalau suaraku mirip erangan Ayah saat sedang dipijat.

Sepertinya di telinga Nanami, suaraku terdengar seperti desahan, jadi saat aku mencoba menahan suaraku, tubuhku malah bereaksi dengan berkedut.

Entah karena Nanami merasa itu menyenangkan, dia sesekali mengubah cara menyekanya seolah sedang bereksperimen. Hanya saja, selama itu... kami berdua sama-sama terdiam.

Di tengah keheningan yang hanya diisi oleh suara gesekan handuk di kulitku, Nanami akhirnya angkat bicara dengan perlahan.

"Tadi, saat aku membuka kunci rumah Youshin, jantungku berdebar sangat kencang."

"Begitukah? Kamu kan sudah sering datang ke rumahku... Apa karena kita hanya berdua?"

"Ah, tidak, un... karena hanya berdua juga termasuk, tapi..."

Ucapannya tidak begitu jelas, dan Nanami pun menghentikan sejenak tangannya yang sedang menyeka punggungku seolah ragu untuk mengatakan sesuatu.

Dia berhenti, lalu perlahan bergerak lagi... bergerak, lalu berhenti lagi... Gerakannya seolah mencerminkan konflik batin yang sedang terjadi di dalam hatinya. Tapi, ada konflik batin seperti apa yang terjadi dibalik punggungku.

Aku sendiri tidak berniat untuk mendesaknya, jadi aku hanya menunggu dengan sabar kata-kata Nanami selanjutnya.

Selagi kami dalam keadaan seperti itu, bagian punggungku sudah hampir selesai diseka. Kukira ini sudah berakhir... tapi ternyata, Nanami malah memegang bagian pinggangku.

Seperti... dicengkeram dengan kedua tangan. Setelah mencengkeram pinggangku, seolah itu bukan apa-apa, dengan santainya... dia berkata.

"Baiklah, selanjutnya bagian depan ya."

"Ba... bagian depan?"

Untuk sesaat, aku tidak bisa memahami apa yang dikatakan Nanami. Kata-katanya masuk ke otakku, tapi maknanya sama sekali tidak masuk.

Sambil tetap mencengkeram pinggangku, Nanami sepertinya merasakan gerakanku yang melambat... dia pun mengeratkan cengkeraman kedua tangannya.

Gerakannya seperti seorang pengrajin keramik yang akan memutar roda untuk membuat guci... tunggu, apa aku akan berputar sekarang?

Aku merasakan aliran tenaga seperti itu.

Yah... pada kenyataannya aku tidak berputar sih. Tentu saja, meskipun aku sedang sakit, mustahil bagi Nanami untuk memutarku hanya dengan kekuatan lengannya.

"Youshin, ayo, berputar, putar badanmu~"

Hanya saja, Nanami tidak menyerah dan terus mendorongku untuk berputar dengan tangannya yang masih menempel. Tidak... bagian depan tidak usah... begitulah pikirku, tapi sepertinya jika aku tidak berputar, kelanjutan cerita yang tadi tidak akan kudengar.

...Lagipula aku tidak melepas celanaku... hanya tubuh bagian atas, tidak masalah jika terlihat kan. Kalau ini di pemandian umum, aku pasti tidak akan menoleh.

Mungkin karena merasa aku yang menyerah, Nanami langsung melepaskan tangannya dari pinggangku. Tentu saja, kalau aku berputar sendiri, dia harus menyingkir...

Baiklah, kalau begitu... aku akan menghadap ke arah Nanami...

Dengan ragu aku memutar badanku dengan perlahan, dan saat aku kembali duduk di tempat tidur, mataku bertemu dengan Nanami yang sedang tersenyum lebar sambil memegang handuk. Unn, ini sedikit memalukan.

Karena malu, aku membuang muka, tapi Nanami tidak peduli dan mulai menyeka tubuhku dari sekitar area perut. Kenapa kalau punggung tidak apa-apa, tapi bagian depan terasa sangat memalukan?

"...Jadi, soal saat aku membuka kunci tadi"

Di tengah situasi luar biasa ini di mana tubuhku diseka sambil berhadapan, Nanami melanjutkan ceritanya yang tadi seolah tidak ada yang aneh.

Aku lega karena bisa mendengar kelanjutannya, tapi di saat yang sama, mendengarkannya dalam posisi seperti ini terasa aneh.

Entah kenapa, rasanya lebih ke geli atau... lebih ke membuatku tidak nyaman dibandingkan saat punggungku yang diseka, yang membuat tubuhku refleks menggeliat kecil.

"...Tadi kamu bilang jantungmu berdebar kan. Padahal hanya membuka kunci..."

"Memang benar sih, tapi, yah... membuka rumah pacarmu dengan kunci duplikat itu kan..."

Nanami kembali kehabisan kata-kata, tapi dia sedikit membungkukkan punggungnya dan menatapku dari bawah dengan tatapan malu-malu.

Aku pun sedikit menunduk... untuk membalas tatapannya.

"Entah kenapa, aku jadi merasa seperti kita sedang tinggal bersama."

"Ti...?!"

Tanpa sadar aku hanya bisa mengucapkan suku kata "ti" dengan keras. Mendengar suaraku, tangan Nanami sontak berhenti. Di saat yang sama, tubuhku pun ikut berhenti bergerak.

Seperti komputer yang sedang nge-freeze, tubuhku tiba-tiba berhenti total dan hanya pikiranku yang melesat cepat.

Ti... ti? Seperti lagu Do-Re-Mi yang tidak bisa berlanjut, kepalaku dipenuhi oleh suku kata "ti". Jika ini sebuah manga, latar belakangnya pasti akan dipenuhi oleh tulisan "ti".

Ti... tinggal bersama?

Akhirnya aku berhasil memeras kata itu keluar dari mulutku, tapi tubuhku masih belum bisa bergerak dengan benar.

Ka-kalau tidak salah... arti kata itu adalah hidup bersama dengan seseorang... tidak... bukankah itu saat sepasang kekasih yang belum menikah hidup bersama?

Atau, meskipun belum mau menikah, jika hidup berdua sudah disebut tinggal bersama? Tunggu? Apa bedanya dengan 同居 (tinggal serumah)?

(Tln: Raw yang dipakai Nanami itu 同棲 yang bisa berarti tinggal bersama / kohabitasi yang biasanya dipakai kalau ada pasangan sudah idup bareng sebelum nikah sedangkan 同居 murni tinggal bersama aja)

Apa hanya katanya yang berbeda tapi artinya sama?

Tidak, sekarang bukan waktunya memikirkan perbedaan antara tinggal serumah dan tinggal bersama.

"...Ti... tinggal bersama, ya..."

"Unn, itu... entah kenapa... saat aku membuka pintu yang terkunci itu, aku terpikir ‘Ah, mungkinkah ini rasanya?’ Begitu. Terus aku jadi bersemangat."

Makanya aku langsung menuju ke kamar Youshin... tambah Nananmi.

Seolah sedang memberi penjelasan, Nanami kembali menyeka tubuhku dengan pipi yang memerah. Baru setelah merasakan gerakan handuk itu, tubuhku akhirnya bisa bergerak lagi.

Tapi begitu, ya, tinggal bersama... Hmm...

"...Nanami, apa kamu ingat saat aku dulu pernah bicara soal rencana untuk hidup sendiri?"

"Kalau dipikir lagi, ini pernah dibahas sebelumnya. Mungkin sekitar sebelum liburan musim panas kan?"

"Un. Waktu itu... aku bilang 'bagaimana kalau kita tinggal bersama di masa depan', dan kamu menjawab mau kan."

"Iya, aku memang bilang begitu. Ternyata Youshin masih ingat juga ya."

Waktu itu sebenarnya hanya usulan belaka, atau lebih tepatnya obrolan ringan yang tidak begitu serius tentang harapan di masa depan... tapi entah kenapa aku mengingatnya dengan jelas.

Bukan hanya ingat, tapi teringat kembali...

"Ternyata, kalau hidup sendiri, saat sakit begini jadi sangat merepotkan juga. Kalau dipikir-pikir, hidup berdua memang lebih baik ya..."

Nanami menyeka area perutku dengan suasana hati yang sangat baik, seolah sedang bersenandung. Kurasa sebentar lagi seluruh tubuhku akan selesai diseka... tapi ini sedikit memalukan.

"Benar juga... Aku tidak menyangka akan merasakan kelebihan hidup berdua dari sudut pandang seperti ini. Tidak seperti biasanya, aku merasa kesepian dan tidak berdaya sendirian."

Meskipun aku bilang 'tidak seperti biasanya'... tapi aku bisa jujur merasa kesepian jika sendiri itu juga berkat Nanami. Kalau aku yang dulu, pasti akan bilang kalau sendiri pun tidak apa-apa.

"Begitu ya, kamu merasa tidak berdaya... kalau begitu, apa kamu senang karena aku datang?"

"Tentu saja aku senang. Sampai-sampai Nanami bahkan muncul di dalam mimpiku..."

Setelah mengatakan sampai di sana, aku secara refleks menutup mulutku dengan kedua tanganku agar memaksa kata-kataku untuk berhenti. Yah, meskipun sudah terlambat.

Nanami hanya menunjukkan ekspresi bengong sesaat, lalu raut wajahnya langsung berubah... menjadi senyum seperti anak kecil yang akan berbuat jahil. Sudut bibirnya bahkan melengkung seperti bulan sabit.

Senyumnya yang lebar dan penuh rasa ingin tahu itu diarahkan padaku, seolah terdengar efek suara "Hmmmm..."

"Ehhhh~ Kamu bertemu denganku di dalam mimpi? Apa kamu sekesepian itu karena tidak bisa bertemu denganku? Ngomong-ngomong, kita sedang apa di mimpi itu? Di mana kita bertemu?"

"Ah, tidak, itu... begini... ettoo~..."

Aku menjadi anak seumuran SD, dan sedang bergandengan tangan dengan Nanami yang sekarang, versi SMA... bahkan untuk menjelaskannya secara sederhana pun sulit. Keinginan macam apa itu.

Saat aku sedikit membuang muka dan ragu-ragu untuk bicara, Nanami memiringkan kepalanya dengan heran... Lalu, pipinya sedikit memerah.

"...Jangan-jangan... mimpi mesum ya?"

"Bu-bukan?!"

Itu bukanlah mimpi mesum... seharusnya. Iya, itu hanya kombinasi antara diriku versi SD dan Nanami versi SMA, jadi mungkin ada nuansa one-shota, tapi itu tidak mesum.

Tidak mesum, tapi sulit dijelaskan. Sulit, tapi... jika tidak kujelaskan, nanti aku akan dianggap sedang sakit dan memimpikan hal mesum tentang pacarku... lebih baik kujelaskan dengan benar...

Setelah aku pasrah dan menjelaskan hal itu pada Nanami...

"Kamu boleh memanggilku 'Onee-chan' tau."

Hora, sudah kuduga akhirnya akan jadi seperti ini. Jadi merepotkan begini. Aku sudah yakin Nanami pasti akan mengatakan hal semacam itu...

Setelah ini... aku yang sudah selesai diseka keringatnya dan berganti piyama, akhirnya dirawat oleh Nanami-oneechan sambil berbaring di tempat tidur...


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close