Penerjemah: Eina
Proffreader: Eina
Side Story: Ayo Ciptakan Kenangan
Berkat menyebarnya ponsel, mengambil foto sudah menjadi hal yang sangat lumrah... meskipun aku berkata begitu, tapi sebenarnya aku tidak begitu tahu soal zaman dulu.
Jadi ini aku hanya sok tahu saja. Mungkin saja, sejak dulu pun foto sudah menjadi hal yang lumrah, hanya saja aku yang tidak mengetahuinya.
Hanya saja, mengambil foto di setiap kesempatan, lalu langsung mengunggahnya... budaya berbagi seperti itu, kurasa adalah hal yang khas di zaman modern.
Maaf sudah berbicara tidak jelas, tapi yang ingin kukatakan adalah... meskipun cara mengambil foto sudah membanjiri internet dan orang yang bisa berfoto semakin banyak... ternyata para profesional itu tetap tidak akan pernah menghilang.
Melihat hasil foto yang diambil ini, aku jadi berpikir begitu.
"Wah, foto Youshin terlihat sangat keren!!"
"Tidak, tidak, foto Nanami yang terlihat manis."
Sambil saling memuji seperti itu, kami memandangi sebuah foto. Foto ini, bisa dibilang, diambil oleh seorang fotografer profesional.
Saat kami datang untuk melihat iluminasi saat kencan Natal, ternyata ada antrian, dan saat kami bertanya-tanya ada apa, ternyata ada layanan foto gratis.
Di sana, seorang profesional akan mengambil foto kenang-kenangan secara gratis... jadi, mumpung ada kesempatan, aku dan Nanami pun ikut mengantri dan difoto.
Bisa mendapatkan ini secara gratis bukan lagi sekadar keuntungan biasa. Jadi, wajar saja jika antriannya panjang.
"Kalau kita punya uang, aku ingin yang versi berbayarnya juga..."
"Itu... memang benar..."
Foto yang kami pegang saat ini adalah ukuran biasa, tapi katanya kalau yang berbayar, ukurannya sedikit lebih besar dan kualitasnya lebih bagus.
Tapi, yah, tidak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang tidak kita miliki. Hal-hal yang membutuhkan uang seperti itu kita simpan saja untuk kesenangan di masa depan.
"Tapi foto ini, apa benar boleh untukku?"
"Hmm? Boleh, kok. Kan hanya ada satu lembar. Lagipula, yang seperti ini rasanya lebih baik dipegang oleh Nanami daripada olehku."
"Oh begitu, terima kasih. Kira-kira dipajang di mana ya?"
Nanami tersenyum lebar dengan gembira, lalu menyimpan foto itu dengan hati-hati. Aku juga akan merawat foto itu bersama Nanami dengan baik, tapi tetap saja yang seperti ini sepertinya akan lebih dirawat oleh Nanami.
Faktor terbesarnya adalah karena aku hampir tidak punya kebiasaan memajang foto. Lain kali, mungkin aku bisa memberikan bingkai foto atau semacamnya pada Nanami. Apa aku coba buat sendiri saja ya.
Saat aku menggenggam tangan Nanami yang terlihat begitu gembira, Nanami pun balas menggenggam tanganku erat-erat dan tersenyum. Begitu kami mengalihkan pandangan kami untuk melihat iluminasi...
"Ada sesuatu yang luar biasa..."
"...Benar juga, apa ini."
Sebuah iluminasi yang sangat besar ada di hadapan kami.
Sebuah air mancur yang memancarkan cahaya hijau, dikelilingi oleh iluminasi berbentuk seperti kubah berwarna putih bersih.
Cahaya hijau itu tidak hanya berasal dari air mancurnya, tapi juga dari objek berbentuk kristal salju yang terpasang di iluminasi berbentuk kubah itu.
Tubuh kami, diwarnai menjadi hijau karena menerima cahaya itu.
Saat kulihat air mancur yang disorot lampu itu, mungkin karena ini musim dingin, jadi airnya tidak menyala. Sebagai gantinya, sumber cahayanya digantungkan dari air mancur, dan sekilas terlihat seperti air.
Cahaya itu bisa terlihat seperti air karena, saat kukira semuanya menyala bersamaan, ternyata lampunya berkedip satu per satu secara bergantian, mengekspresikan aliran air dengan cahaya.
"Kalau dipikir-pikir, aku mungkin tidak begitu sering melihat air mancur ya."
"Aku juga, kalau dipikir-pikir... apa kalau dilihat saat musim panas rasanya akan sejuk ya?"
"Dengan percikan airnya sih sepertinya akan terasa sejuk..."
Tempat air berkumpul di sekitar air mancur... mungkin bisa disebut bak penampung. Di sana, salju menumpuk dengan indah, tanpa ada jejak apa pun.
Bagian itu juga disorot dengan lampu hijau, dan terlihat seolah benar-benar terisi oleh air.
Saat aku sedang memperhatikan air mancur itu, tiba-tiba aku sadar ada orang di dalam iluminasi yang mengelilinginya.
Apa jangan-jangan, iluminasi itu bisa dimasuki?
Aku dan Nanami sedikit menjauh dari air mancur dan mendekati iluminasinya... dan... oh, ada semacam lorong kecil... sebuah labirin?
Sepertinya begitu.
Karena jalannya hanya satu, jadi ini bukan labirin. Tapi, sepertinya kita bisa berjalan di dalamnya sambil dikelilingi oleh cahaya.
Ada keluarga dan pasangan seperti kami yang sedang berjalan dengan pelan di sana.
"Mau coba jalan juga?"
"Ayo, ayo."
Entah kenapa lorong seperti ini sangat menggelitik rasa penasaranku. Tapi yang mana ya... pintu masuknya? Apa tidak ada pembeda yang jelas?
Untuk sementara, kami mencoba berputar mengikuti arus orang. Tidak ada tulisan pintu masuk secara khusus... tapi semua orang masuk dari sini.
Apa tempat kami tadi adalah pintu keluarnya ya.
"Baiklah, ayo kita coba masuk."
"Unn!!"
Tanpa melawan arus orang, kami perlahan masuk ke dalam iluminasi. Di dalamnya berbentuk seperti gerbang lengkung, dan hiasan lampu juga tergantung dari langit-langitnya.
Pandangan kami yang tadinya berwarna hijau, kini diterangi oleh cahaya putih bersih. Rasanya hanya di dalam sini yang seterang siang hari.
"Oh, dari dalam sini air mancurnya juga terlihat."
"Benar juga, rasanya aneh..."
Cahaya air mancur yang terus berkedip sepertinya tidak sampai ke sini, jadi kelihatannya berbeda dari yang sebelumnya.
Meskipun sekelilingnya diterangi oleh cahaya hijau, tapi cahaya hijau itu sama sekali tidak masuk ke dalam sini, entah kenapa rasanya aneh. Kalau melihat keluar dari sini, rasanya seperti di dalam hutan.
Tidak, ini kan air mancur bukan hutan. Aku benar-benar menilainya hanya dari warna.
Di sekitar kami, ada pasangan yang berfoto selfie, atau saling memotret. Untuk selfie, mereka bahkan membawa tongkat khusus...
...Apa aku juga harus membelinya ya. Aku pasti tidak akan pernah menggunakannya sendirian, tapi di saat seperti ini kan praktis.
Yah, untuk kali ini...
"Nanami, akan kufotokan ya."
Aku hendak memotret Nanami... tapi ternyata aku mendapat respon yang tak terduga.
"Lohhh? Kalau begitu, ayo kita foto bersama!! Ayo, pakai ponsel Youshin!!"
"Maksudmu selfie? Aku tidak begitu sering melakukannya..."
Tapi, yah, karena orang lain juga berfoto selfie berdampingan... apa aku coba saja? Mumpung ada kesempatan, ini adalah tantangan selfie pertamaku.
Aku pun pindah ke sebelah Nanami, lalu perlahan merentangkan tanganku dan mengarahkan ponselku ke arah kami. Apa begini caranya? Saat kulihat Nanami, dia mengangguk kecil dengan gembira.
Uhm, sekarang kameranya... Hm?, di layar malah terlihat langit-langit. Karena jarang kupakai, bagaimana ya cara mengarahkan kameranya ke sini?
...Apa ponselnya harus diputar?
Karena aku benar-benar tidak pernah selfie, aku mencoba mengganti cara memegang ponselku, dan Nanami jadi sedikit menertawakanku.
Sepertinya ini sangat lucu baginya, karena Nanami tertawa terbahak-bahak. Yah, karena dia tertawa, jadi tidak apa-apalah.
"Youshin... bukan... di sini..."
Sambil masih tertawa, Nanami menyentuh layar ponselku. Seketika, kameranya berganti dan wajahku serta Nanami yang terpantul di layar.
Di mana yang disentuhnya, saat kulihat, ternyata ada tanda panah berputar. Oh, begitu, jadi itu yang harus disentuh...
Saat kucoba sentuh beberapa kali, ponselku berganti-ganti kamera setiap kali disentuh.
"Ooh... ternyata ada fungsi seperti ini ya. Aku tidak tahu."
"Padahal Youshin kelihatannya suka hal-hal seperti ini, tapi ternyata kamu tidak begitu tahu ya."
"Yah, karena aku tidak begitu sering mengambil foto..."
"Aku juga begitu, tapi tentu saja aku tahu yang seperti ini..."
Setelah dikatakan begitu, aku tidak bisa membantah. Karena aku hanya memakai ponsel untuk bermain game, jadi ponselku sudah seperti konsol game.
Tidak, belakangan ini, bukankah konsol game juga bisa mengambil foto...? Kalau begitu, ini artinya hanya aku saja yang tidak mengetahuinya...
"Untuk sementara, ayo kita ambil fotonya."
"Ah, dia mengalihkan pembicaraan."
Sambil memeluk erat Nanami yang tersenyum seolah mengejekku di sebelahku, sekali lagi aku merentangkan tanganku yang sedang memegang ponsel.
Kali ini, di layar ponselku terpantul dengan jelas fotoku dan Nanami. Langit-langitnya tidak terlihat, dan air mancur di belakang kami juga terlihat dengan jelas.
Dari sini, bagaimana cara menekan tombol kameranya, aku tidak begitu paham, dan setelah melalui berbagai lika-liku seperti tidak sengaja menekan tombol daya atau menekan bagian yang aneh...
Entah bagaimana, aku berhasil mengambil foto bersama Nanami dengan selfie.
"Ehehe, selamat ya untuk selfie pertamamu."
"Ah, terima kasih?"
Nanami bertepuk tangan dengan pelan di depan dadanya. Entah kenapa dirayakan seperti ini rasanya sedikit memalukan.
Saat kulihat lagi fotonya... un, ini tidak bisa dibandingkan dengan foto profesional yang tadi. Benar-benar terasa seperti foto amatir.
Meskipun begitu, entah kenapa, karena ini kuambil sendiri, rasanya jadi ada kesan yang spesial. Mungkin ini juga salah satu faktor menyebarnya budaya selfie ya.
"Foto yang bagus ya."
"Masa? Tapi tetap tidak bisa menandingi foto profesional..."
"Tidak kok, aku sangat suka foto ini."
"Perasaan lembutnya tidak kalah tahu" kata Nanami, dan meskipun aku tidak melakukan hal yang istimewa, tapi kalau Nanami bilang dia sangat menyukainya, rasanya aku jadi merasa tidak apa-apa.
Entah kenapa, rasanya aku jadi sedikit lebih percaya diri.
"Youshin kan sudah belajar cara selfie, jadi ayo kita buat lebih banyak kenangan lagi ya."
Sejak bersama Nanami, dibandingkan dulu, aku memang jadi lebih sering mengambil foto. Tapi, aku jarang sekali mengambil foto kami berdua bersama.
Memang benar, dengan ini... pilihannya jadi bertambah ya.
Setelah itu, Nanami juga mengambil foto, lalu kami berjalan maju di dalam cahaya putih. Gerbang lengkungnya ternyata cukup pendek, jadi kami langsung sampai di pintu keluar.
Dan begitu kami keluar... tiba-tiba cahaya hijau masuk ke dalam pandanganku.
"Uwah...?!"
"Kyaa, apa ini?!"
Nanami juga terkejut dengan cahaya yang masuk ke matanya, dan sepertinya di dekat pintu keluar, ada cahaya berbentuk kristal salju yang menerangi orang-orang.
Di atas tanah yang putih bersih, kristal salju berwarna hijau disorotkan. Rasanya seperti kami terperangkap di dalam kristal.
Pemandangan anak-anak yang keluar dari pintu keluar dan bermain-main dengan riang juga masuk ke dalam pandanganku.
"...Ayo kita buat kenangan lagi. Kali ini aku yang akan memotret."
"Un, tolong ya."
Di dalam cahaya kristal salju, Nanami mengangkat tinggi-tinggi ponselnya. Di dalam layarnya, terpantul senyum bahagia kami yang diterangi oleh cahaya.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
"...Youshin, kamu tidak apa-apa? Tidak perlu memaksakan diri..."
"Tidak, tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa... karena aku tidak apa-apa... jadi sungguh, aku tidak apa-apa."
Di sebelahku, Nanami terlihat khawatir. Aku sendiri merasa senang karena dia mengkhawatirkanku, tapi di saat yang sama aku juga merasa bersalah karena sudah membuatnya khawatir karena hal seperti ini.
Setelah kami selesai melihat-lihat seluruh iluminasi, karena masih ada sedikit waktu sampai kami harus mengambil masakan dari manajer, kami berdiskusi akan melihat apa selanjutnya.
Lalu, kami mendengar kalau sepertinya ada tempat di mana kami bisa melihat seluruh iluminasi ini, jadi kami pun mencoba untuk datang ke tempat itu...
Tempat itu adalah, yang biasa disebut, menara pemancar. Tingginya sedang, dan dari sana kami bisa melihat seluruh iluminasi ini dari ujung ke ujung.
"Kalau begitu, karena masih ada waktu, ayo kita coba naik" kata kami dan pindah dari area iluminasi.
Dan sekarang kami sedang menunggu di depan lift yang bisa membawa kami ke lantai paling atas menara itu. Meskipun berbayar, tapi karena mumpung ada kesempatan, kami memberanikan diri.
Hanya saja, aku lengah, atau lebih tepatnya salah perhitungan...
"Aku tidak menyangka... tidak menyangka, kalau dari dalam lift juga bisa melihat ke luar..."
"Tidak perlu memaksakan diri tahu...?"
"Tidak, karena sudah sampai sini... dan sudah terlanjur bayar..."
Kukira karena kami akan naik dengan lift, jadi kami akan diantar dalam keadaan tidak bisa melihat apa-apa di luar... tapi ternyata tidak. Aku sempat sedikit putus asa saat mendengar penjelasannya tadi.
Saat rombongan sebelum kami naik, pintu lift terbuka dan aku sempat mengintip ke dalam, ternyata dindingnya benar-benar kaca...
"Akan kupegang tanganmu ya?"
"Un... terima kasih."
Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata seperti 'tidak apa-apa', jadi aku dengan jujur menggenggam tangan Nanami.
Aku sedang menunjukkan sisi yang menyedihkan, tapi aku sangat berterima kasih pada Nanami yang tidak meninggalkanku. Sial, tidak kusangka di hari Natal aku malah akan pergi ke tempat tinggi.
Aku ingin sekali menghajar diriku beberapa menit yang lalu. Tapi... karena sudah sampai sini, aku harus membulatkan tekadku.
...Liftnya masih belum datang. Rasanya... rasanya seperti seorang narapidana sebelum eksekusi mati. Apa lift ini adalah guillotine-nya?
Aku jadi membayangkan hal-hal yang mengerikan, tapi tetap saja jantungku tidak berhenti berdebar. Walaupun debaran kali ini adalah debaran yang tidak menyenangkan.
"Ah, sudah datang..."
Mendengar suara 'ting...', aku tidak bisa berkata apa-apa.
Hanya suara bel biasa... tidak, apa ini suara mesin ya? Sebenarnya apa sebutan untuk suara kedatangan lift. Intinya, suara itu terdengar seperti vonis untukku.
Seperti tutup kuali neraka yang terbuka, lift itu perlahan terbuka.
"Baik, silakan masuk."
Diarahkan oleh petugas, kami pun masuk ke dalam lift. Karena di belakang kami juga ada cukup banyak orang, jadi kami tidak bisa berlama-lama. Nanti akan mengganggu.
Sambil berpegangan tangan dengan Nanami, aku masuk ke dalam lift, dan saat aku melihat ke luar dari bagian kacanya...
"Uwoh... tinggi..."
Sudah terasa tinggi.
Orang-orang di belakang kami juga masuk ke dalam lift, dan sialnya kami jadi bergeser ke pojok. Tepat di depan bagian kaca, dan pemandangan luar terlihat dari sana.
Pintu liftnya pun tertutup, dan setelah terdengar suara mesin kecil, liftnya pun mulai naik. Sensasi melayang yang khas... semakin memicu rasa takutku.
Mungkin karena rasa takutku tersampaikan, genggaman tangan Nanami pada tanganku sedikit erat. Tanganku jadi sedikit berkeringat, dan aku sempat berpikir apa Nanami tidak merasa risih...
"I-ini lumayan menakutkan ya... bahkan aku pun merasa takut..."
Nanami melihat ke bawah dari bagian kaca, dan terlihat ketakutan. Tanpa sadar, tangan yang kupegang juga sedikit bergetar.
Entah kenapa merasakan hal itu... ada sesuatu yang bangkit di dalam diriku.
"Ti... tidak apa-apa, tidak apa-apa. Ini kan lift, jadi tidak akan jatuh."
"Heh...?"
Saat aku sedikit mengeraskan suaraku dan membusungkan dadaku, Nanami menatapku dengan mata yang sedikit bengong.
Jujur, sampai sekarang pun aku masih takut pada ketinggian. Kakiku sedikit bergetar, dan aku sangat takut sampai mengeluarkan keringat dingin...
Meskipun begitu, kalau Nanami merasa takut, aku tidak boleh membuatnya semakin takut bukan. Perasaan itu membuatku memberanikan diri seolah ingin pamer.
"Li... lihat, karena kita bisa melihat ke bawah dari celah-celah ini jadi terasa menakutkan... Tapi kalau kita melihat ke kejauhan, sepertinya tidak begitu kan?"
Bohong, ini sangat menakutkan.
Pemandangan luar yang terlihat dari kaca sebenarnya cukup tertutup oleh kerangka besi menara... tapi melihat kerangka besi yang bergerak di depan mata ini anehnya menakutkan.
Meskipun begitu, pemandangan malam yang terlihat dari celah-celah itu... sangat indah.
Aku bisa merasakan Nanami yang tertawa kecil di sebelahku, dan tanpa sadar aku menoleh ke arahnya. Nanami pun langsung menempel erat padaku.
"Tidak perlu memaksakan diri tahu. Kalau takut, ya takut saja..."
"...Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kalau Nanami takut, aku kan tidak boleh ikut takut juga."
Mendengar jawabanku itu, Nanami mengedipkan matanya. Sambil tersenyum seolah berkata 'mau bagaimana lagi', dia berbisik dengan suara yang hanya bisa kudengar.
"Padahal di hadapanku kamu tidak perlu sok kuat... tapi, terima kasih."
Tentu saja, Nanami sudah tahu kalau ini hanyalah aku yang pura-pura kuat. Wajar saja, karena dari tadi aku sudah sangat ketakutan...
Meskipun begitu...
"...Di saat seperti ini, biarkan aku pamer sedikit."
Aku mengucapkan kata-kata itu dengan sekuat tenagaku. Meskipun ini hal sepele, dan rasanya seperti 'kenapa baru sekarang' sih.
Nanami tertawa dengan riang lalu berkata "Manisnya." Apa ini hal yang manis?
Aku tidak tahu apa dianggap seperti itu adalah hal yang baik atau tidak, tapi tetap saja aku jadi sedikit cemberut dan menggembungkan pipiku.
Nanami terlihat semakin senang... lalu menusuk pipiku untuk mengeluarkan udaranya.
Tepat pada saat itu... liftnya tiba di lantai paling atas.
"Ah, sudah sampai. Padahal kukira aku bisa melihat Youshin yang manis sedikit lebih lama lagi."
"Kalau aku sih, rasanya akhirnya sampai juga... Tentu saja di sini tidak akan menakutkan bukan... kan di dalam gedung..."
"Bagaimana ya? Katanya kan dari sini kita bisa melihat seluruh pemandangan malam... tergantung daru cara melihatnya, mungkin akan menakutkan?"
"Jangan menakut-nakutiku... Ah, sudahlah, karena sudah sampai, ayo kita lihat baik-baik."
Kami pun turun dari lift dan melangkah masuk ke lantai paling atas... dek observasi.
Berbeda dengan lift yang tadi, tempat ini seluruhnya berdinding kaca... sebuah tempat di mana kami bisa melihat seluruh pemandangan sekitar dari jendela.
Ada juga teropong yang diletakkan, dan sepertinya kami bisa melihat pemandangan dari sana.
Tujuan kami adalah untuk melihat pemandangan penuh dari iluminasi, jadi untuk sementara teropong itu akan kami sampingkan... tempat yang kami tuju di mana ya... ah, di sana.
Karena ada banyak orang, jadi langsung terlihat... Semua orang melihat ke luar dari jendela, atau berdiri di depan jendela untuk mengambil foto.
Kami juga pindah ke sana... menunggu sebentar... dan begitu giliran kami tiba...
"Wow..."
Tanpa sadar, aku dan Nanami sama-sama mengeluarkan suara kekaguman. Dari sana, kami bisa melihat seluruh iluminasi yang terhampar di bawah mata kami.
Putih, kuning, hijau, biru, merah... cahaya yang terhampar seperti taman bunga, dan berbagai macam objek dengan bentuk yang berbeda-beda. Sulit dipercaya kalau tadi kami berdiri dan melihatnya dari sana.
Meskipun aku sadar kami sedang berada di tempat tinggi, tapi aku begitu terpesona oleh pemandangan itu.
"...Tidak takut?"
"...Aku tidak punya waktu untuk merasa takut."
Karena Nanami bertanya dengan nada setengah baik hati dan setengah mengejek, aku pun menjawab dengan jujur perasaanku saat ini. Mendengar jawabanku, Nanami berkata "aku juga" sambil menempel erat padaku.
Setelah beberapa saat, kami pun berdiri berdampingan untuk melihat pemandangan malam, lalu nanami mengusulkan untuk mengambil foto. Memang benar, mengambil foto dengan latar pemandangan malam ini mungkin ide yang bagus.
Saat kulihat sekelilingku, semua pasangan melakukan hal itu... Un, ayo kita juga berfoto.
Kami mendekat sampai ke batas jendela, menyiapkan ponsel, dan agar pemandangan malam serta kami berdua bisa masuk ke dalam bingkai dengan pas, aku mencoba melakukan selfie yang baru saja kupelajari...
Tepat saat aku menekan tombol kamera, Nanami mencium pipiku.
Hah?
Di dalam foto yang terambil, aku terlihat sedang dicium oleh Nanami dengan wajah yang bodoh. Tanpa sadar aku melihat ke arah Nanami, dan dia membuat tanda V kecil sambil menjulurkan lidahnya.
Pipinya sepertinya memerah, tapi karena gelap jadi tidak begitu terlihat...
"Kejutan, berhasil."
"...Aku kena."
Melihatku yang kebingungan, Nanami menunjukkan ekspresi penuh kemenangan. Kalau sudah diperlihatkan ekspresi seperti itu... aku jadi tidak bisa berkata apa-apa.
Aku pun kembali mengabadikan Nanami yang berekspresi penuh kemenangan itu dalam sebuah foto.
Di tempat yang kunaiki meskipun sambil ketakutan, kami kembali membuat satu... tidak, dua. Dua kenangan berharga yang terekam.
Previous Chapter | ToC |
Post a Comment