Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 3
Ratu yang Punya Banyak Kelemahan
“Aku pulang.”
“Selamat datang kembali.”
Setelah pertemuan rahasia dengan Kasahara usai, aku kembali ke apartemen.
Di dapur, Hayashi sedang memasak makan malam. Aroma harum yang gurih menggugah seleraku. Aku menaruh tas di ruang tamu dan menyalakan televisi.
Untuk beberapa saat, aku pura-pura santai menonton TV. Padahal, jantungku berdebar kencang gara-gara ide cemerlang yang baru saja kudengar dari Kasahara.
“Yamamoto-kun, gimana kalau kita bertiga pergi ke pantai?”
Terlalu tiba-tiba, tanpa konteks apa pun, Kasahara mengajakku dan Hayashi pergi berenang di pantai. Aku sempat memutar otak, untuk mencari tahu niat aslinya.
“Maaf, Kasahara.”
“Eh, minta maaf soal apa?”
“Sudah kupikirkan berulang kali, tapi aku tetap gak mudeng. Bagaimana bisa pergi ke pantai bisa mengarah ke pertemuan Hayashi dengan orang tuanya.”
“……”
“Maaf ya, padahal kamu sudah repot-repot mengusulkan. Tapi jujur, saat ini aku malah curiga kamu cuma kepengen main di pantai bareng Hayashi...”
Aku benar-benar merasa bersalah dari lubuk hatiku.
Sejak aku minta tolong, Kasahara sudah mendengarkan semua ceritaku dengan saksama. Meski awalnya dia menolak, tapi akhirnya dia bersedia membantuku.
Mana mungkin orang setulus Kasahara, mengajak ke pantai dengan niat yang tidak baik.
Memang sih, tadi dia sempat tersenyum mencurigakan. Tapi tetap saja, aku yakin dia benar-benar menganggap itu ide cemerlang, makanya dia mengajak kami ke pantai.
Tapi, yang terus membuatku kepikiran adalah...
Kenapa harus ke pantai?
Apa dia ingin bepergian bareng Hayashi lagi seperti waktu SMA?
Atau jangan-jangan… dia cuma ingin lihat Hayashi pakai baju renang?
Lebih jauh lagi, apa dia berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk mengoleskan tabir surya di punggung Hayashi…?
Aku tidak bisa memikirkan alasan lain selain karena saking tergila-gilanya Kasahara sama Hayashi, otaknya jadi agak miring.
“Ahaha. Ahahaha!”
Kasahara tertawa. Tertawa seolah-olah mengejek diriku yang menyedihkan.
“Haduh. Yamamoto-kun ini benar-benar payah, ya.”
“Maaf.”
“Memangnya salah ya?”
“Ah, alurnya mulai aneh.”
“Memangnya salah ya memprioritaskan kesenangan?”
“Jangan mengelak, bodoh.”
Tolong kembalikan kata-kata permintaan maafku barusan.
“Biar gak salah paham, aku kasih tahu ya. 30% serius, 70% karena nafsu.”
“Oh gitu, hebat juga kamu bisa mikir serius sampai 30%.”
“Kan? Aku berusaha keras menahan ego-ku demi Megu.”
Kalau memang mau berbangga diri, coba tahan juga yang 70%-nya itu.
“Terus, gimana ceritanya dengan pergi ke pantai bisa mempertemukan Hayashi dengan orang tuanya?”
Sebenarnya aku sudah mulai jengkel, tapi karena Kasahara sudah berbaik hati untuk membantu, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Jadi, aku putuskan untuk mendengarkan dulu usulannya.
Yah, siapa tahu saja, masih ada alasan masuk akal di balik ini.
“…Yah, kalaupun misalnya pantai yang kamu maksud itu pantai di kampung halaman Hayashi, kamu gak mungkin mengajaknya ke sana secara diam-diam, kan?”
“……”
“Hayashi itu memang buta arah, tapi dia pasti tahu kampung halamannya sendiri, kan. ...Maaf, tapi kamu gak mungkin berniat mengusulkan itu, kan?”
“Rencanaku memang begitu kok.”
“……”
“……”
“…………”
“Jeda apa ini?”
Jeda untuk berpikir, “Kamu sedongok itu, ya?”
Serius nih? Astaga, kupikir Hayashi sudah cukup bodoh, tapi jangan-jangan Kasahara juga sama bodohnya...? Aku tidak pernah menyangka Kasahara sebodoh ini. Padahal kami sudah cukup lama saling kenal, tapi aku sama sekali tidak menyadarinya.
Mungkin saja dia cuma jadi bodoh kalau menyangkut tentang Hayashi.
Seperti karakter manga yang berubah kepribadian tiap naik motor atau semacamnya.
…Tapi entah kenapa, aku bisa memahaminya.
“Tunggu sebentar. Aku merasakan aura bahwa Yamamoto-kun sedang memikirkan hal yang tidak sopan tentangku, ya? Tapi ya sudah lah, dengar dulu deh.”
“Akan kudengar.”
“Yamamoto-kun, sekarang lagi mikir aku bodoh, kan? Mungkin kamu mikirnya aku cuma jadi bodoh kalau menyangkut Megu.”
“Tidak apa-apa. Bukan mungkin lagi, kok.”
“Tapi itu salah, tahu? Memang sih, kalau tentang Megu aku suka jadi agak bodoh. Jadi sebagian besar anggapanmu memang benar. Tapi karena gengsi, aku gak mau ngaku.”
“Oke. Aku gak begitu paham, tapi aku setuju dengan semua yang kau katakan.”
“Tunggu, Yamamoto-kun. Serius, setidaknya dalam hal ini saja, tunggu.”
“Akan kutunggu.”
“…Megu itu benar-benar buta arah, loh.”
“Astaga, orang ini akhirnya mulai menjelek-jelekkan orang yang katanya dia sukai.”
“Serius! Megu itu beneran parah banget kalau soal buta arah!’
Entah kenapa Kasahara hampir menangis.
Apa dia sebegitu enggannya mengakui bahwa dia bodoh?
Menjadi bodoh hanya jika menyangkut orang yang disukai... imut juga.
Walaupun aku lebih suka tidak terlibat, sih.
“Seriusan, tahu.”
“…...Haa. Begini, Kasahara.”
Melihat tampang Kasahara yang menyedihkan dan panik sejak tadi, aku menghela napas jengkel.
“Separah apa pun dia buta arah, dia pasti tahu kampung halamannya sendiri, kan?”
“Enggak apa-apa. Dia gak bakalan tahu.”
“Tidak, tidak, tidak mungkin... atas dasar apa kau mengatakan itu?”
“Soalnya Megu itu ya… dia sering nyasar pas perjalanan dari stasiun terdekat ke sekolah.”
“Eh, serius?”
Ternyata lebih parah dari yang kuduga.
“Benar! Dia pernah meneleponku sambil menangis sekitar enam kali, dan bilang, ‘Aku nyasar gara-gara mengejar kupu-kupu, bisa jemput aku gak?’”
“Itu berarti dua kali setahun dong.”
Memang sih, waktu jalan-jalan di festival musim panas kemarin, aku sempat melihat sekilas betapa buta arahnya Hayashi. Tapi tidak kusangka separah itu...
“Lagipula, untuk apa dia mengejar kupu-kupu?”
“Benar, kan? Itu cukup manis, seperti dalam dongeng.”
“Manis?”
“Megu yang seperti dalam dongeng juga imut.”
Sepertinya dia tidak niat mendengarkan argumenku sama sekali.
“Selain itu, masih banyak loh cerita Megu yang nyasar kalau dihitung-hitung.”
“Begitu, ya. Aku sudah kenyang, jadi gak perlu lagi.”
“Misalnya nih, ada insiden tidak sampai ke ruang musik. Waktu itu Megu bilang mau ke toilet sebelum pelajaran musik, jadi aku pergi duluan ke ruang musik. Eh, sampai pelajaran dimulai, Megu gak datang-datang. Kukira dia sakit, ternyata selama pelajaran dia malah asyik main HP di kelas.”
“Belajar dulu lah.”
“Mau bagaimana lagi. Dia kan gak tahu ruangannya ada di mana.”
“Cari lah.”
“Katanya sih sudah cari, tapi gak ketemu. Akhirnya dia nyerah.”
“Jangan nyerah lah!”
Dia kira pelajaran musik itu apa sih?
“Ya kan, Megu yang kayak gitu juga imut kan?”
“Kalau kamu tak berniat mendengarkanku, buat apa aku di sini?”
Tatapan Kasahara sudah kosong.
Selama ini aku berteori bahwa pemujaan dan penghormatan itu sama... Dan setelah melihat Kasahara, aku jadi sadar teori itu benar.
Jangan-jangan dia rela jadi badut demi membuktikan teoriku?
“Megu yang suka nyasar juga imut!”
Tidak, bukan. Dia hanya penggemar fanatik Hayashi.
Selama sekitar tiga puluh menit, Kasahara membeberkan semua cerita tentang Hayashi yang suka nyasar. Di tengah jalan... tidak, dari awal aku sudah bosan, tapi karena dia tidak melepaskanku, dengan terpaksa aku mendengarkan ceritanya sampai dia puas.
“Yah, pokoknya sekarang aku dah paham bahwa buta arahnya Hayashi itu parah.”
“Eh, padahal aku masih pengen cerita.”
“Kalau gitu, ceritain aja langsung ke Hayashi.”
“Ahaha. Mana mungkin aku bisa menceritakannya pada Megu. Cerita kayak gini cuma bisa kuomongin ke Yamamoto-kun aja, tahu?”
“Begitu, ya. Jarang-jarang aku dapat perlakuan khusus yang sama sekali gak membuatku senang begini.”
Aku kembali menarik napas panjang.
“Tapi serius, dengan buta arah separah itu, bagaimana bisa dia tetap jadi ratu di SMA.”
“Yamamoto-kun ini bodoh juga ya. Kalau kamu yang sekelasnya aja baru tahu, berarti aku yang selama ini membantunya supaya gak ketahuan.”
“Kau boleh bilang aku bodoh, tapi kau juga cukup bodoh, tahu?”
Tingkat merepotkannya, Kasahara lebih parah dariku.
“…Yah, kalau memang separah itu, berarti membawanya ke pantai di kampung halamannya gak bakal ketahuan, ya?”
“Enggak, gak bakal. Serius, dia gak bakal sadar.”
“Tapi kalau dia lihat nama stasiun gimana?”
“Tenang aja. Dia juga gak bakal sadar.”
“Beneran nih?”
“Yamamoto-kun, apa kamu meragukan cintaku ke Megu?”
“…Kurasa, lebih baik aku tetap ragu demi kehormatan Hayashi sendiri.”
…Tapi yah, kalau Kasahara seyakin itu, mungkin memang benar begitu.
Kalau begitu, meskipun akan menjadi seperti menipunya, tapi membawa Hayashi ke kampung halamannya mungkin bisa dilakukan.
Nanti tinggal cari momen yang pas untuk memaksanya mampir ke rumah orang tuanya. Lagipula, aku kan punya Kasahara di pihakku.
Kalau soal Hayashi, Kasahara ini sudah seperti veteran. Menenangkan Hayashi yang marah karena merasa ditipu dan membujuknya pulang ke rumah orang tuanya pasti bukan hal yang sulit.
…Kalau begitu, mungkin semua masalah sudah beres?
“…Ah.”
Setelah kupikirkan lagi, aku baru sadar sesuatu.
“Ada apa? Masih ada masalah dengan rencanaku soal perjalanan ke pantai bareng Megu?”
“Ada. Dan ini bukan masalah gampang.”
“Apa tuh?”
“Itu adalah…”
◇◇◇
“Hayashi, minggu depan gimana kalau kita pergi ke pantai buat refreshing?”
Dengan jantung berdebar, aku mengajak Hayashi ke pantai. Aku mengusulkannya saat makan malam, waktu di mana dia paling lengah.
“Kenapa tiba-tiba sekali?”
“Dengar, pria kasar itu akhirnya ditangkap, kamu juga sudah mulai kerja paruh waktu, dan secara bertahap balik ke kehidupan normal lagi. Kupikir sekarang saat yang pas buat bersantai, jadi gak ada salahnya, kan?”
“Ya, kupikir memang gak ada salahnya juga sih.”
“Tuh, kan?”
“Tapi, ada yang aneh.”
Deg.
“Yamamoto yang apatis soal masa muda itu tiba-tiba ngajakin aku ke pantai? Itu aneh.”
“Aku gak pernah merasa jadi orang yang apatis soal masa muda, kok.”
“Tapi kamu kan gak pernah menikmati masa muda.”
“Bodoh. Walaupun gak menikmati, bukan berarti aku apatis.”
“…Maaf.”
“Enggak usah minta maaf.”
“Mulai sekarang aku akan coba bersikap lebih baik padamu.”
“Jangan menunjukkan sikap belas kasihan.”
Sialan, ritmenya jadi kacau.
Padahal aku sudah mengumpulkan tekad untuk mengajaknya berenang, bisa-bisanya dia malah mengabaikannya.
Sebagai orang introvert, mengajak bermain itu butuh tekanan yang sangat besar, tahu? Tapi dia malah ngeledek begini…
“Jadi, ke pantai ya?”
“O-Oh.”
Topiknya balik lagi ke situ? Perubahan temponya ekstrem sekali.
“…Seriusan deh, aku gak nyangka kamu bakal ngajakin aku ke pantai.”
“Seaneh itu ya?”
“Menurutmu gimana?”
“Menurutku sendiri…?”
Aku menyilangkan tangan, berpikir sejenak.
“Entahlah.”
“Kenapa?”
“Coba pikir. Usulan yang seperti membalikkan langit dan bumi seperti ini, mana mungkin bisa kujelaskan sendiri, kan?”
Ternyata kalau ditanya pertanyaan yang kelewat sulit, otak manusia memang bisa macet. Aku baru tahu .
“Eh, jadi kamu sendiri juga gak tahu kenapa ngajakin aku?”
Hayashi kelihatan bingung.
Dan aku pun berpikir… iya juga, ya.
“…Ngomong-ngomong, ke pantai ya. Tahun lalu aku gak bisa pergi gara-gara belajar buat ujian masuk.”
“Begitu, ya.”
“Iya. Tapi dua tahun lalu aku sempat pergi, kok. Sama Akari. Ah, mau lihat foto Akari pakai baju renang?”
“Enggak usah.”
“Nih, lihat. Ada renda-rendanya, imut kan?”
“Udah dibilang gak usah.”
Baik itu Kasahara maupun Hayashi, mereka sama-sama tidak mau mendengarkan perkataanku.
Sebisa mungkin, aku mengalihkan pandangan dari ponsel Hayashi. Oh iya, ngomong-ngomong, Hayashi telah berhasil mengakses lagi foto-foto dan kontak zaman SMA-nya. Dia dapat ID dan password cloud dari Kasahara setelah ganti HP.
Benar-benar deh, gadis ini hidupnya bergantung terus sama Kasahara.
“Malu ya. Kamu pasti suka banget ya sama Akari?”
“Tidak, bukan. Aku cuma gak tahan lihat gadis pakai baju renang.”
“PD banget kamu ngomongin hal menyedihkan begitu.”
Hayashi kelihatan jengkel.
Tapi, gimana ya. Dengan suasana seperti ini, kurasa Hayashi bakalan mau diajak ke pantai.
Kalau dia bersedia ikut, sisanya tinggal ngerjain dia supaya mau pulang ke rumah. Setelah itu, mungkin aku harus jadi penengah waktu dia ribut sama orang tuanya karena pulang. Tapi ya setidaknya, masalah paling sulit sudah bisa dibilang selesai.
“…Ke pantai itu kira-kira butuh biaya berapa ya?”
Tapi, sinar harapan itu tiba-tiba tertutup bayangan.
Pemicunya sama seperti yang sudah-sudah: Hayashi menunjukkan keengganan setiap kali membutuhkan pengeluaran.
Aku tiba-tiba teringat lagi percakapan dengan Kasahara tadi.
‘Ada apa? Masih ada masalah dengan rencanaku soal perjalanan ke pantai bareng Megu?’
‘Ada. Dan ini bukan masalah gampang.’
‘Apa tuh?’
‘Itu adalah…’
Aku menarik napas, lalu bicara.
‘Dia gak punya uang…’
Belum cukup umur. Tak punya alamat tetap. Pengangguran. Hayashi, sejak tinggal di rumahku—tidak, bahkan sejak dia mulai tinggal bareng pria kasar itu—selalu kekurangan uang secara kronis.
Setiap kali ada ajakan, dia selalu menolaknya dengan alasan keuangan.
“Kalau soal uang, biar aku yang bayar. Anggap saja seperti perjalanan rekreasi.”
“Enggak.”
Sejujurnya, aku sudah tahu dia bakalan nolak kalau aku bilang mau bayarin. Dari dulu selalu begitu. Meski sudah berkali-kali kutawarkan, Hayashi selalu keras kepala.
Yah, ternyata memang tiba bisa, ya.
Apa ini artinya game over?
“Oke. Kalau gitu aku pinjemin. Lunasi pas kamu pertama kali gajian dari kerja paruh waktu.”
“Tanganmu gapapa?”
“Tangan?… Ah.”
Aku menatap tangan kananku yang masih dibalut perban.
Memang sih, ke pantai dalam keadaan tangan masih cedera begini rasanya sangat nekat, tapi… ya, harusnya tidak masalah.
“Kalau sesuai jadwal, minggu depan juga jahitannya udah dilepas. Jadi gapapa.”
Menurut dokter, biasanya luka akan sembuh sekitar dua minggu setelah dijahit.
Sudah hampir dua minggu sejak insiden penusukan itu. Sejauh ini lukaku membaik sesuai jadwal, dan dokter bilang kalau keadaannya terus begini, minggu depan jahitannya sudah bisa dilepas.
“Jadi, pas banget. Sekalian merayakan kesembuhanku, yuk kita ke pantai.”
“Begitu, ya. Kalau begitu.... Ah...”
“Kenapa?”
“Tidak, begini. Sepintas, kupikir pergi ke pantai asyik juga. Tapi… setelah dipikir-pikir lagi, kok rasanya agak malas ya.”
“Eh? Apa… maksudnya?”
Apa-apaan ini?
Hayashi tidak mau ke pantai?
Bukannya anak-anak gaul itu biasanya semangat banget ya kalau pergi ke pantai?
Bukannya mereka makhluk yang selalu antusias untuk berlibur?
“Soalnya, ya… meskipun sekarang udah agak mendingan, tapi memarnya masih ada.”
…Kalau dipikir-pikir, iya juga. Aku sama sekali tak kepikiran soal memar bekas pria kasar itu di tubuh Hayashi.
Kalau mengenakan pakaian renang, pasti harus memperlihatkan kulit, dan tidak ada gadis yang mau memperlihatkan tubuhnya yang memar.
“Ah, jangan salah paham, ya. Bukan berarti aku gak mau memar di tubuhku dilihat orang.”
“Eh, benarkah?”
“Iya. Soalnya, ya… bagaimana pun orang lain melihatku, buatku sih gak penting.”
“Tidak. Menurutku itu penting, loh.”
“Jangan dusta. Kamu sendiri padahal bukan orang yang peduli sama pandangan orang.”
Mentalitas macam apa itu.
“Lantas, kenapa kamu malah bahas soal memar?”
Begitu aku bilang gitu, kupikir perkataanku terlalu blak-blakan, tapi kelihatannya dia sendiri tidak terlalu memikirkannya, jadi aku juga memutuskan untuk tidak memikirkannya.
“Tidak, soalnya... kalau sepasang pria dan wanita pergi ke pantai, dan tubuh si wanita ada memarnya, pasti akan disalahpahami, kan?”
“Hm?”
“Maksudnya kamu.”
Kepalaku langsung kosong sesaat.
Aku?
Kenapa aku terlibat dalam hal ini?
“Bisa-bisa kamu dilaporin ke polisi, loh. Lagipula kamu punya tampang penjahat.”
“Jangan nilai orang dari tampangnya.”
“Aku sih, belum mau punya kenalan yang ditangkap polisi.”
Sudah ada, kan, kataku dalam hati tapi kutahan, rasanya udah kelewat batas.
“Ayo, bilang aja, ‘Kan udah ada yang ditangkap’!.”
“Aku kan udah menahannya!”
Memangnya boleh mengatakannya…?
Kau juga punya mental baja kalau sudah bisa menjadikannya bahan bercandaan.
“Tapi ya, aku gak mau orang salah paham dengan seseorang yang memperlakukanku dengan baik.”
“...Begitu ya.”
“Iya. Jadi, untuk sekarang, aku gak mau ke pergu pantai berdua saja denganmu.”
…Secara tak terduga, mengetahui bahwa Hayashi memikirkanku membuatku merasa aneh.
Entah kenapa ada rasa bersalah yang sulit digambarkan, sampai-sampai aku kepikiran untuk berhenti memaksanya pergi ke pantai.
“…Ah!”
Tapi, bertentangan dengan perasaanku, kali ini sepertinya Hayashi yang teringat sesuatu.
“…Ufufufu.”
Hayashi pun mulai tertawa mencurigakan. Tawa mencurigakan itu, terasa tidak asing.
Oh, iya.
Tawa mencurigakan itu, persis seperti yang ditunjukkan Kasahara di taman tadi.
“Yamamoto, berenang berdua doang mungkin membuatmu merasa gak nyaman juga, jadi, gimana kalau kita pergi bertiga!”
“Hm?”
Padahal aku tidak pernah bilang akan pergi berdua doang... tapi kalau diingat-ingat, aku juga tidak pernah bilang akan pergi bertiga.
Aku baru sadar, seandainya tadi Hayashi langsung setuju pergi ke pantai tanpa memikirkan soal memarnya, aku pasti sudah terjebak harus pergi berdua saja dengannya. Untunglah itu bisa dihindari. Soalnya, itu kan udah kayak kencan beneran…
…Eh tapi, bertiga ke pantai?
“Aku coba ajak Akari, apa dia bisa pergi ke pantai!”
Ya ampun, lagi-lagi dia mikirin itu lagi.
“…Kalau Akari ikut, meskipun orang lain iri padamu karena diapit dua gadis, Setidaknya mereka gak bakal melaporkanmu!”
“Jadi tetap bakal ada yang iri, ya?”
“Ya! Sudah diputuskan! Kita akan pergi bertiga!”
“Iya iya…”
“Tidak! Karena aku udah bilang pergi bertiga, ya harus pergi bertiga! Dilarang membantah... eh?”
…Sial.
Karena sudah diputuskan akan pergi bertiga, dan Hayashi merepotkan, aku langsung setuju saja... tapi, mengingat sikapku terhadap Kasahara selama ini, mungkin seharusnya aku pura-pura keberatan dulu, ya?
Aku melirik Hayashi yang sedang terdiam dengan waspada.
“Yamamoto, akhirnya kamu jujur juga ya.”
Dengan senyum menyebalkan, Hayashi mengamatiku.
…Fiuh. Setidaknya aku berhasil menghindari situasi di mana dia curiga kalau aku sedang merencanakan sesuatu dengan Kasahara.
“Dengan begitu, pas hari H nanti kamu harus berusaha deketin Akari ya? Ah, apa perlu kubantu cari momen supaya kalian bisa berduaan aja?”
Yah, ini juga sama merepotkannya.
“Enggak usah lah.”
“Apanya yang gak usah? Apanya?”
“…Mggh.”
Sumpah, nyebelin banget.
Kenapa sih perempuan selalu ingin ikut campur urusan percintaan orang lain?
Setidaknya, biarkan aku terhindar dari rasa kesal karena hal mengganggu seperti ini.
“Kalau begitu, aku telepon Akari dulu ya.”
“Iya iya.”
Melihat Hayashi keluar ke balkon untuk menelepon, aku buru-buru kirim pesan ke Kasahara lewat ponselku.
『Akhirnya kita bisa pergi ke pantai. Tapi aku gak bisa bilang langsung akan pergi bertiga denganmu, malah ujung-ujungnya dia sendiri yang usul akan mengajakmu. Sekarang Hayashi akan meneleponmu.』
『Kok jadi Megu yang mengajakku?』
『Dia salah paham kalau aku suka padamu, soalnya.』
『Oh, cuma itu toh?』
『Apa maksudmu ‘Cuma’?』
『Soalnya kan itu bukan salah paham.』
“Haaah…”
Perempuan di sekitarku ini, semuanya…
Pas aku merasa lelah dengan semuanya, tiba-tiba balkon kebuka dengan keras.
“Yamamoto, cara nelepon gimana, sih?”
…Dasar gaptek.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
Post a Comment