NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 2 Chapter 9

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 9

Ratu yang Berputar Tanpa Arah

Beberapa puluh menit setelah insiden dengan Miyauchi, polisi—yang dihubungi oleh Kasahara—tiba di TKP dan mengamankan Miyauchi.

Hayashi juga diminta untuk ikut ke kantor polisi guna dimintai keterangan.

Sementara aku, diantar oleh salah satu petugas ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan dokter menyimpulkan bahwa luka di tangan kananku, yang kugunakan untuk menangkap pisau, memerlukan lima jahitan.

“Kamu cukup pemberani juga, ya. Mempertaruhkan diri seperti itu demi pacarmu.”

Begitu kata dokter saat menjahit lukaku.

“…Dia bukan pacarku, sih.”

“Tapi sebaiknya kamu jangan memprovokasi orang yang memegang pisau. Kamu bisa saja terluka lebih parah dari ini. Dan kalau itu sampai terjadi, orang yang paling menderita adalah pacarmu, tahu?”

“Sudah kubilang, dia bukanlah pacarku…”

Setelah percakapan itu, begitu perawatanku selesai, aku juga dibawa ke kantor polisi—untuk dimintai keterangan dan menjemput Hayashi.

Begitu meninggalkan rumah sakit, petugas yang mendampingiku segera menghubungi kantor melalui radio. Setelah selesai, ia mencondongkan tubuh dan berbicara pelan padaku.

“Mereka baru saja menggeledah rumah gadis yang menyerangmu tadi.”

Petugas ini juga terlibat saat menyelidiki insiden kekerasan yang dilakukan oleh pria yang tinggal bersama Hayashi. Jadi dia sudah cukup memahami situasinya kali ini .

“Pria itu… rupanya ada di sana.”

“Begitu, ya.”

“Ya, dan… kini dia juga sedang diamankan.”

“…Begitu.”

Aku merasa seperti ada beban yang terangkat dari pundakku. Yah, sepertinya itu memang tak terhindarkan. Sejak aku menampung Hayashi di apartemen, si bangsat itu terus menghantui pikiranku. Bahkan untuk sekadar keluar rumah pun, perlu kewaspadaan ekstra. Kurasa aku lebih tertekan secara mental dari yang kusadari.

Aku sempat terpikir untuk menanyakan pada petugas itu apa yang akan terjadi pada Utsumi dan Miyauchi setelah ini… tapi akhirnya kuurungkan.

Aku baru dibebaskan dari ruang pemeriksaan sekitar tengah malam.

“Yamamoto.”

“Maaf, membuatmu menunggu.”

Aku kembali bertemu dengan Hayashi di salah satu ruangan kantor polisi. Hanya dengan saling memastikan bahwa kami berdua selamat sepertinya sudah menenangkan pikiran kami, dan dengan itu, kami pergi tanpa banyak omong.

“Megu! Yamamoto-kun…”

Saat kami kembali ke apartemen, Kasahara ada di sana menyambut kami.

“Akari.”

“Megu… kamu baik-baik saja?”

“Ya. Aku baik-baik saja.”

Suara Hayashi terdengar lirih. Aku cukup tahu alasannya. Tatapannya tertuju ke tangan kananku.

“Terima kasih, Yamamoto-kun.”

“Ya.”

“…Aku sudah mendengarnya. Tanganmu nggak apa-apa?”

Kasahara menatap tangan kananku dengan cemas. Padahal akhir-akhir ini dia terus-terusan menggodaku, jadi melihatnya secemas ini malah membuatku merasa keadaanku jauh lebih buruk dari yang kurasakan.

“Ya. Gak apa-apa kok.”

“…Syukurlah.”

Aku berusaha menjawab dengan meyakinkan, tapi suaranya Kasahara tak kunjung jadi ceria.

Sudah lama sejak terakhir kali kami bertiga kumpul bareng begini, sejak pesta takoyaki yang sukses besar itu. Tapi tak seperti waktu itu yang penuh canda tawa, suasana kali ini terasa berat. Mengingat ada seseorang yang terluka parah oleh pisau, kurasa wajar kalau suasananya jadi begini. Namun, sebagai satu-satunya orang yang benar-benar terluka, aku merasa diriku diperlakukan seperti benda rapuh. Rasanya sangat canggung.

“Seperti yang kukatakan, aku baik-baik saja. Tanganku memang agak sakit, tapi bentar lagi juga sembuh. Jadi, jangan terlalu khawatir, oke?”

Sebenarnya, rasanya lebih dari sekadar “agak sakit”. Tapi kalau aku tak mengatakan sesuatu seperti itu, suasana ini takkan pernah berubah. Namun, meski sudah kucoba menenangkan mereka, kesuraman itu belum juga hilang.

“Kalau begitu, aku pulang dulu malam ini.”

Kasahara tersenyum lemah.

“Kalian berdua istirahatlah, ya. Selamat malam.”

“…Ya. Selamat malam, Akari.”

Biasanya, aku takkan membiarkan seorang gadis pulang sendiri malam-malam begini, tapi kali ini, aku benar-benar lelah secara fisik dan mental hingga tak memiliki kata-kata untuk menahannya.

Setelah Kasahara pergi, aku dan Hayashi pun segera tidur.

Aku terbangun sekitar tiga puluh menit lebih awal dari biasanya. Rasa nyeri di tangan kananku membuatku tidak bisa tidur nyenyak. …Itu kedengaran seperti kalimat yang akan dianggap keren oleh anak SMP.

“Bukan waktunya memikirkan hal bodoh seperti itu.”

Aku melirik ke arah kasur dan melihat Hayashi masih tertidur pulas.

Aku merasa sedikit lega. Semalam, wajahnya tampak begitu muram sampai-sampai aku sempat mengira dia akan kabur saat aku tertidur, karena merasa tak punya muka untuk tetap tinggal.

“Yah, kurasa aku bisa bersih-bersih.”

Aku bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, lalu menuju lemari penyimpanan untuk mengambil peralatan bersih-bersih yang kusimpan.

Tapi kemudian aku tersadar.

Aku tak bisa menggunakan tangan kananku.

“…Yang bener aja.”

Kalau dipikir-pikir, mencederai tangan dominanmu mungkin adalah hal terburuk yang bisa terjadi saat ingin bersih-bersih. Aku memang suka bersih-bersih, tapi aku tak ingin melakukannya secara tidak efisien. Itu bertentangan dengan semua prinsip hidupku.

Bangke. Kalau tahu bakal begini, harusnya kukorbankan tangan kiriku saja…!

“Terus… harus gimana sekarang…”

Bahkan dibanding beberapa hari terakhir, ini salah satu situasi paling suram yang pernah kuhadapi. Tapi karena tak ada ide cemerlang di kepalaku, akhirnya aku mencoba menggerakkan tanganku dan sambil berpikir sambil bekerja.

Mari kita lihat apakah tangan kananku masih bisa digunakan, tapi begitu kugenggam sikat, rasa sakit tajam langsung menjalar. Ya—tangan ini benar-benar tidak bisa dipakai.

Artinya, untuk sementara aku harus menjadi orang kidal. Aku mulai bersih-bersih di sekitar dapur, tapi karena ini bukan tangan dominan, semuanya tidak berjalan mulus.

“Selamat pagi.”

Tak lama kemudian, Hayashi terbangun. Dia bukan tipe orang yang gampang bangun pagi—biasanya suaranya terdengar serak saat bangun. Tapi hari ini, suaranya jernih seperti di tengah hari.

“Pagi.”

“Tanganmu nggak apa-apa?”

“Ya.”

“Kamu bersih-bersih pakai tangan kiri…”

“Ya, begitulah. Untuk sementara harus begitu.”

Itu memang fakta yang tak bisa kusangkal.

“Jadi, eh, kalau kamu bisa kasih aku waktu tambahan tiga puluh menit buat bersih-bersih pagi ini… itu akan sangat membantu,” tambahku dengan sedikit nada bercanda, agar dia tidak merasa bersalah.

“...Oke.”

Hayashi menjawab.

“…Eh?”

“Oke. Kali ini saja—kamu boleh tambah waktu bersih-bersihmu.”

Aku benar-benar tak menduganya. Mengingat betapa keras kepalanya Hayashi selama ini soal bersih-bersih, aku tak pernah menyangka dia akan membolehkanku memperpanjang waktu.

“T-Tunggu, Hayashi.”

“Apa?”

“Kamu benar-benar membolehkan ini?”

Entah kenapa, aku masih merasa perlu memastikan.

“Silakan saja. Bersihkan sepuasmu.”

“Sepuasnya!?”

Kalau aku mendengar kata-kata itu dua hari lalu, mungkin aku akan berjingkrak kegirangan. Tapi sekarang… rasanya berbeda.

“Serius nih, kamu yakin?”

“Iya.”

“Yakin banget?”

“Iya.”

“…Aku bakal bersihin semua yang kubisa, lho.”

“…Terserah kamu.”

…Dia benar-benar rusak.

“Kalau gitu, aku mau masak sarapan. Bisa bersih-bersih di tempat lain dulu nggak?”

“Ah—ya.”

Bisakah aku benar-benar mempercayainya soal ini? Kalau dia bilang aku boleh bersih-bersih sepuasnya… apa dia sungguh-sungguh?

…Yah, kamu tahu sendiri.

Kalau dia bilang aku boleh bersih-bersih sepuasnya, ya aku akan bersih-bersih sepuasnya!

Aku tak bisa menahan diri! Dia sendiri yang bilang boleh!

Sambil menahan rasa gembira yang mulai membuncah, aku terus bersih-bersih sampai Hayashi selesai memasak sarapan. Meskipun begitu, bekerja hanya dengan tangan kiri sangatlah merepotkan. Bukan berarti aku jadi kesal—kalau efisiensinya rendah, berarti aku harus mencari cara untuk membuatnya lebih baik. Saat ini, otakku dipenuhi cara-cara untuk meningkatkan efisiensi bersih-bersih dengan tangan kiri.

“Yamamoto, sarapan sudah siap.”

“Oke.”

Tak peduli seberapa dalam aku tenggelam dalam bersih-bersih, aku tak pernah melewatkan waktu makan. Terakhir kali waktu bersih-bersihku dipotong adalah karena aku melewatkan sarapan. Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu.

“Mari makan.”

Aku menatap meja. Hidangannya terdiri dari nasi, sup miso, telur ceplok, dan salmon panggang.

Tanpa berkata apapun, Hayashi mengambil sumpit dan mulai makan.

Aku pun mengikutinya, dan meraih makananku—lalu menyadari sesuatu.

Tangan kananku berdenyut nyeri. Tidak mungkin bisa kugunakan. Aku mungkin masih bisa memegang sumpit, tapi untuk benar-benar menggunakannya mengambil makanan, itu mustahil.

Aku coba menggenggam sumpit dengan tangan kiri.

“Ah.”

Sumpit itu terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring.

“Yamamoto.”

Saat aku membungkuk ingin memungutnya, aku mendengar suara Hayashi.

Aku mendongak—dan terdiam.

Dia sedang memegang sepotong salmon panggangku dengan sumpitnya sendiri, menyodorkannya padaku.

“Nih. Aaaa—.”

Itu dia—adegan “aaaa” lagi. Sama seperti hukuman waktu pesta takoyaki. Tapi kali ini, hukuman apa yang sedang dia berikan?

“Gak apa-apa. Aku bisa makan sendiri.”

“…Maaf.”

“Ap…?”

Kenapa suaranya terdengar begitu sedih? Itu benar-benar membuatku terkejut.

“T-Tunggu!”

Saat dia mulai menarik kembali potongan salmon itu ke piringnya, aku panik dan buru-buru membuka mulut.

Keheningan yang canggung kembali menyelimuti kami.

Lalu, Hayashi menyuapkan salmon itu ke mulutku.

Dan begitu saja, kami melanjutkan adegan yang dulu kami sebut hukuman. Berkali-kali… sampai piringku kosong.

“Enak. Terima kasih.”

Jujur saja, aku sangat malu sehingga aku tidak bisa merasakan apa-apa. Tapi tetap saja, aku harus berterima kasih karena dia sudah memasak.

“Mm.”

Biasanya dia akan menjawab dengan sedikit lebih ceria, tapi kali ini, dia hanya mengangguk pelan dengan ekspresi yang masih murung.

“…Hei, Hayashi, apa kamu—”

“Maaf. Ini dari Akari.”

…Dia agak berbeda hari ini.

Tepat saat aku hendak mengatakan itu, Hayashi memotongku dan melangkah ke balkon sambil membawa ponsel. Suaranya terdengar dari balik kaca, dan itu terdengar terlalu lirih untuk percakapan dengan Kasahara.

“Yamamoto.”

Dia membuka jendela dan memanggilku.

“Apa?”

“…Akari bilang dia ingin mampir dan memeriksa keadaanmu. Harus kujawab apa?”

Aneh. Dulu, dia mengundang Kasahara ke sini tanpa tanya-tanya dulu padaku, si pemilik tempat tinggal.

“Terserah kamu saja.”

“…Baik.”

Hayashi membalikkan badan.

“Maaf, Akari. Hari ini aku ingin istirahat saja…”

Aku mendengar itu saat dia mencoba menutup jendela.

Belakangan ini, Hayashi terus berusaha memperbaiki hubungan dengan teman lamanya. Dia dengan aktif menerima undangan dan mencoba membangun kembali koneksi yang dulu sempat renggang.

…Tapi hari ini, dia menolak Kasahara.

Apa aku terlalu kepikiran?

“…Kalau dipikir-pikir, aku belum mandi dari kemarin.”

Kesadaran itu tiba-tiba menghantamku, dan aku merasa kotor di sekujur tubuh.

“Hayashi, aku mau mandi dulu.”

“Ah, oke.”

“Yosh…”

Aku berdiri.

“…Yamamoto.”

“Ya?”

Tepat saat aku hendak melangkah ke kamar mandi, dia memanggilku.

“Ada apa? …Oh—kamu mau mandi duluan, ya?”

“……”

“…Kenapa diam?”

“…Aku mau masuk.”

“Hah?”

“Aku mau mandi bareng.”

“…Hah?”

…Hah?

“Mandi bareng?”

“Iya.”

“…Ah. Begitu.”

Jadi ini maksudnya. Sekarang aku benar-benar mengerti.

“Kamu… Ini suruhan Kasahara, ya?”

“……”

“Serius deh, kalau bukan aku, kamu mungkin sekarang benar-benar udah mandi bareng orang lain, kan? Ini udah kelewatan buat ukuran permainan hukuman. Kamu terlalu sembrono dengan tubuhmu sendiri.”

“……”

“Maksudku, aku hampir tergoda. Sedikit lagi dan aku pasti udah nurut. Hampir aja!”

Aku menjentikkan jari kiriku dengan dramatis—tapi tak keluar bunyi apapun. Tapi entah kenapa, Hayashi tidak bereaksi sama sekali.

…Tunggu, apa?

Tidak mungkin…

Tidak. Nggak, nggak, nggak. Sama sekali nggak mungkin.

Nggak mungkin Hayashi serius ngajak mandi bareng.

Ayolah.

Ini gadis yang sama, yang panik waktu aku tak sengaja lihat dia telanjang, langsung histeris kayak bom meledak. Itu pun kejadiannya murni kecelakaan. Dan sekarang, dia sendiri yang ngajak mandi bareng? Itu jelas-jelas standar ganda kalau menurut buku.

Mana mungkin itu nyata—melirik sinis.

…Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku samar-samar ingat dia punya beberapa standar ganda yang mencurigakan sebelumnya…

“Aku serius.”

…Yap. Ini pasti kepribadian ganda.

Kepribadian ganda yang tersertifikasi.

“Aku nggak mau.”

“…Kenapa?”

“Soalnya… ya, kamu tahu kan, itu...”

“Itu apa?”

Dia melangkah lebih dekat, tidak membiarkanku mengelak dari pertanyaan. Padahal belakangan ini, dia sering membiarkanku mengalihkan pembicaraan… jadi kenapa sekarang tidak?

“Pokoknya! Aku mau mandi sendirian.”

“…Kenapa?”

“Enggak ada alasan.”

“Enggak masalah, kan? Toh nggak akan terjadi apa-apa.”

“Justru itu masalahnya.”

“Masalah apa?”

“Yah… um…”

Masalahnya apa, ya? Mungkin karena aku terlalu sadar diri? Tapi bukankah mengatasi itu justru hal yang bagus?

Apa mungkin… mandi bareng itu sebenarnya memang bukan masalah?

……

Tidak mungkin!

“Eh, tunggu. Kenapa kamu tiba-tiba menyarankan ini?”

“…Menyarankan apa?”

“Kenapa kamu tiba-tiba bilang mau mandi bareng?!”

Aku mencoba membalikkan keadaan.

Tapi semakin kupikirkan, semakin kusadari… argumenku sebenarnya cukup masuk akal. Maksudku, kami cuma kenalan. Bukan teman dekat. Apalagi kekasih. Cuma dua orang yang kebetulan saling kenal. Dan sekarang, kami bakal mandi bareng? Itu jelas bukan sesuatu yang normal, dalam definisi mana pun.

Hayashi tidak langsung menjawab. Dia diam sejenak, dan perlahan menunduk.

Saat itulah aku tersadar.

Dia sedang menatap tangan kananku yang terluka.

“…Jangan-jangan…”

Mungkinkah alasan dia menyarankan hal konyol ini… karena—

“Kamu pasti nggak bisa bersihin badanmu dengan benar pakai tangan itu.”

Aku bahkan tak bisa membalas.

“Jadi aku akan memandikanmu.”

Aku kehabisan kata-kata.

“Makanya, kita bareng, yuk?”

Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa.

“Kamu bodoh, ya?”

Akhirnya aku bisa bicara—tapi kata-kataku kasar. Bukan karena logis, itu hanya reaksi spontan. Bentakan kekanak-kanakan.

“…Iya. Mungkin begitu.”

Hayashi menjawab sambil terus menunduk.

“Iya, kamu memang bodoh.”

Serius deh.

Maksudku, aku terluka karena Miyauchi dan Utsumi. Kenapa Hayashi harus merasa bertanggung jawab sampai sejauh itu?

Gadis ini… dia memang jagonya ikut campur urusan orang lain.

“Tentu saja kamu nggak mau mandi bareng orang sepertiku…”

“Hah?”

“Maaf… aku nggak bermaksud ganggu.”

“…Hah?”

…Tunggu dulu.

“Kamu benar. Ini semua salahku. Kalau saja dari awal aku sadar siapa sebenarnya Miyauchi... Kalau aku nggak bilang ingin ketemu teman lama lagi... Kalau aku nggak memanfaatkan kebaikanmu...”

…Apa barusan aku menginjak ranjau emosionalnya?

“Kalau aku ngelakuin semuanya dengan lebih baik, mungkin kamu nggak bakal sampai terluka…”

Yap. Tepat mengenai tombol pemicu trauma.

“Wajar kalau kamu nggak mau mandi bareng orang yang bikin kamu ditusuk…”

“…Eh, tunggu dulu.”

“Maksudku, kamu sukanya Akari, kan? Kamu suka cewek yang feminin dan imut kayak dia…”

“…Ugh.”

“Orang sepertiku—berisik, kasar... Kamu pasti nganggap aku nyebelin, kan?”

“Oke, oke! Aku paham!”

Aku berteriak dengan frustrasi.

“Baiklah! Aku mau mandi bareng kamu, oke!?”

Tanpa sadar, aku mengucapkan kata-kata yang ingin dia dengar.

Aku jelas tidak terlalu memikirkannya dengan baik. Tapi… yah, aku menyerah pada permintaannya. Ini harusnya cukup kan untuk memuaskannya?

“…Gak apa-apa, kok. Gak usah maksain diri, ya.”

“FWAH!?”

Aku mengeluarkan suara aneh saat Hayashi tersenyum kecut.

Kelihatannya karena aku sempat menolak lalu tiba-tiba berubah pikiran dengan suara panik, Hayashi malah salah paham… dan sekarang dia ngambek.

“Maaf, sudah mengatakan hal bodoh. Lupakan saja, ya?”

“…Hei.”

“Maaf, maaf… Aku akan menyiapkan airnya.”

“Hayashi, dengarkan aku.”

Dia berhenti sesaat sebelum masuk ke kamar mandi.

Melihat betapa murungnya dia, aku buru-buru memanggilnya—tapi sebenarnya aku tidak punya apa-apa yang ingin kukatakan secara spesifik.

Sekarang apa?

Kepalaku kacau karena suasana aneh ini dan tekanan untuk menghiburnya.

Saat ini… aku harus memperbaiki suasana hatinya. Aku harus masuk ke kamar mandi bersamanya.

“H-Hei, jangan murung gitu dong. Maaf, ya?”

Hayashi masih menundukkan kepalanya.

“Aku… Cuma bercanda, kok.”

“Bercanda?”

“Iya. Aku cuma mau ngerjain kamu, itu aja.”

…Aku sebenarnya lagi ngomong apa sih?

Saking paniknya ingin memperbaiki suasana, aku malah mulai asal ngomong tanpa pikir panjang.

“Maksudku, akhir-akhir ini aku sering digodain sama kamu, sama Kasahara juga... P-Pokoknya banyak orang. Jadi, ya... aku cuma pengen balas dikit aja, gitu.”

“…Apa sih maksudmu.”

“Aku udah bilang maaf, kan? Ayolah, jangan sedih terus.”

Rasanya seperti suami yang lagi minta maaf ke istrinya yang lagi ngambek.

Astaga, jadi suami itu berat kalau harus sering-sering minta maaf begini.

“…Jadi, Yamamoto.”

“Apa?”

“Itu berarti… kamu mau mandi bareng aku?”

Ugh… Kalau aku harus menjawab ya atau tidak—jelas tidak.

“Sudah kuduga. Kamu sebenarnya nggak mau.”

Ekspresinya seperti orang yang sebentar lagi akan menangis.

“T-Tidak! Maksudku iya! Iya, aku mau!”

Aku buru-buru menjawab dengan panik.

“Serius?”

“Serius.”

“Benar-benar serius?”

“Ya, benar-benar serius.”

…Yah, terserahlah. Apa pun yang terjadi, terjadilah.

“Jadi kumohon… Hayashi. Maukah kamu mandi denganku?”

Dia tidak menjawab, tapi aku sempat melihat pipinya sedikit memerah.

Mungkin aku juga sama merahnya karena malu

“K-Kalau kamu sampai memohon begitu… ya sudah.”

Dia menjawab dengan nada malu-malu.

Dalam hati, aku menghela napas lega.

“Makasih. Serius, terima kasih, Hayashi.”

“J-Jangan ngomong terima kasih terus…”

“Jangan gitu dong… Serius, makasih.”

Karena bersedia mandi denganku.

Aku hampir menambahkan bagian terakhir itu—tetapi berhenti tepat pada waktunya.

Kenapa malah aku yang memohon ke Hayashi untuk mandi bareng?

Kenapa dia bertingkah seolah sedang bersusah payah mengabulkan permintaanku?

…Ya, sudahlah.

◇◇◇

Sambil menunggu air bak mandi penuh, kami duduk menonton TV dalam diam.

“Kira-kira sudah penuh belum, ya?”

“Mungkin.”

Kami berdiri dan menuju kamar mandi.

“…Kenapa kamu ikut ke sini?”

Tanyaku saat menyadari Hayashi tepat di belakangku.

“Maksudmu kenapa? Kita kan mandi bareng.”

“Iya, tapi… apa itu berarti kita juga harus ada di ruang ganti bareng?”

“…Hah?”

Hayashi menatapku dengan wajah bingung.

“…Maksudku, nggak harus sih. Tapi kalau kita mau mandi bareng, bukankah lebih cepat kalau buka baju barengan juga?”

“Buka baju…”

…Ya, dia memang tidak salah.

Karena kami akan mandi bersama, memang lebih efisien kalau buka baju pada saat yang sama.

Ya. Aku ini orang yang selalu menjunjung tinggi efisiensi. Jadi dari sudut pandang efisiensi, buka baju barengan memanglah masuk akal.

Tapi tetap saja…

“…Boleh aku masuk duluan?”

“Haaah?”

“Tolong…”

Sepertinya Hayashi memahami maksudku, karena dia memasang senyum puas.

“Ya ampun, kamu ini bener-bener nyusahin deh, Yamamoto-kun.”

…Ugh, tampang sombong itu benar-benar menyebalkan.

Tapi kalau aku membantah, dia mungkin akan bilang, “Ya udah! Kita buka bareng aja sekalian!” atau hal gila semacam itu.

“Makasih, Hayashi.”

Aku memaksakan senyum dan berkata begitu.

“Jangan lupa tutup bagian depan pakai handuk, ya?”

“…Kamu juga.”

“Hehe~”

Dia tampak benar-benar merasa menang saat aku membalikkan badan dan menutup pintu ruang ganti.

Lalu aku menghela napas panjang dan dalam.

…Aku mulai menyesal membiarkan semua ini terjadi begitu saja.

Masih bisa batal nggak, ya?

…Nggak. Nggak mungkin.

“Haaaaaaah…”

Aku menghela napas lagi, lebih dalam dari sebelumnya.

“Yamamoto, lepas bajunya udah selesai?”

Hayashi mengetuk pintu dan memanggil dari luar.

Aku kaget setengah mati. Kupikir jantungku akan loncat keluar.

“…M-Maaf. Tangan kananku masih sakit. Tunggu sebentar, ya.”

“…Oke.”

Suara Hayashi terdengar lesu. Benar—membicarakan luka ini memang masih jadi titik sensitif buatnya sekarang.

“Maaf. Sedikit lagi.”

“Gak usah buru-buru, santai aja.”

Nada lembutnya tiba-tiba membuatku merasa bersalah. Dengan desahan, aku dengan enggan mulai melepas pakaian. Tangan kananku masih sakit, tapi aku berhasil melepas pakaianku dalam waktu kurang dari semenit.

“Aku udah siap.”

“Baiklah.”

Meski aku hanya mahasiswa biasa yang tinggal sendirian, kamar mandiku bukan tipe unit bath sempit. Meski begitu, baknya tetap kecil.

“…Kita bener-bener bakal masuk bareng, ya.”

Entah karena uap panas atau alasan lain, jantungku berdetak kencang.

Aku perlahan masuk ke dalam bak, hati-hati agar tangan kananku tidak kena air.

“Aku masuk, ya.”

“Oke.”

Pintu terbuka, dan aku benar-benar berusaha tidak melirik ke arahnya.

“Apa-apaan sih? Kok kamu meringkuk kayak gitu?”

Hayashi langsung menggoda.

“Diam.”

“Duh, ayolah... Kita sudah sejauh ini, jadi terima saja.”

“Kamu terlalu berani buat situasi kayak gini.”

“Ayo, lihat aku.”

Dia terdengar kesal. Dengan enggan, aku menoleh.

Bagian tengkuknya, putih dan terbuka.

Kulitnya yang lembut dan tampak sehat.

Dan satu-satunya yang dia pakai hanyalah sehelai handuk.

Pemandangan yang… benar-benar menggoda.

“…Apa ini cukup?”

“Kamu ini…”

Dia tersenyum masam.

“Dan selain itu—kamu buat salah lagi.”

“…Kali ini apa?”

“Sebelum masuk bak, kamu harus bilas badan dulu.”

“……”

“Itu etika dasar, kan?”

“…Baik, Bu.”

Aku berdiri dan keluar dari bak. Ruang bilasnya tidak luas, jadi aku berada sangat dekat dengan Hayashi, yang masih hanya memakai handuk.

Kepalaku pusing. Aku tahu ini bukan karena panas. Aku sepenuhnya sadar.

Lalu kenapa aku merasa seperti ini?

“…Oke. Duduk di situ.”

Tanpa jawaban, aku mengikuti instruksinya.

“Kenapa?”

“Aku akan memandikanmu.”

Dia meletakkan tangannya di bahuku. Jari-jarinya yang masih dingin membuatku tersentak saat menyentuh kulitku yang panas.

“Gak usah. Aku bisa sendiri, kok.”

“Pakai tangan itu, nggak bisa.”

“…Mmmgh.”

“Benar, kan?”

Akhirnya, aku duduk di bangku seperti yang dia minta.

“Baiklah.”

Dia meraih botol sampo di depanku.

Tangan yang satunya masih di bahuku.

Lengannya menyentuh punggungku.

Dan dadanya…

“Yamamoto.”

“…Y-Ya?”

“Cuma mau ngasih tahu, oke?”

“A-Apa tuh?”

Napasnya di belakangku membuat tulang punggungku menggigil.

“Aku nggak terlalu jago soal beginian.”

Jantungku berdebar makin kencang.

“Berbeda denganmu, aku nggak terlalu mahir menggunakan tanganku.”

“…Eh?”



“Mungkin aku bakal agak kasar pas mencuci rambutmu, asal kamu tahu?”

“…Asal jangan kena tangan kananku aja, itu cukup.”

“Oh! Tentu, aku bakal hati-hati, kok!”

Air hangat mengalir dari shower.

Membilas kotoran, rasa lelah selama satu setengah hari terakhir… mungkin juga sebagian beban pikiran. Rasanya lebih menyegarkan dari biasanya.

“Aduh.”

Aku mengerang saat Hayashi mencuci rambutku dengan sampo. Beberapa helai rambutki terasa ditarik.

“Ahaha! Banyak yang rontok!”

“Itu bukan hal yang bisa ditertawakan.”

“Rambutmu masih banyak, kok. Nggak bakal botak.”

“Aku nggak khawatir soal botak. Aku bilang ini sakit…”

“Duh, kamu itu laki-laki—jangan manja!”

Serius, Hayashi ini benar-benar sembrono dalam hal beginian.

“Baiklah, selesai.”

“Terima… kasih.”

“Oke, selanjutnya—badanmu.”

“…Ugh.”

Yah, tentu saja. Itu tahap selanjutnya.

“Kayaknya aku bakal basuh sendiri aja…”

Aku mencoba menolak dengan sopan karena beberapa alasan.

“Tidak. Biar aku aja.”

“Tapi—”

“Nggak apa-apa. Serahkan padaku. Aku pernah membasuh badan laki-laki sebelumnya.”

…Pasti maksudnya Utsumi. Kemungkinan besar, itu yang dia maksud. Dari apa yang pernah dia ceritakan, dia dipaksa untuk terus melayani Utsumi semasa tinggal bersama.

“Begitu ya… Maaf.”

Mana mungkin aku bisa menolaknya. Aku pasrah.

“Yap. Serahkan saja!”

Suaranya ceria lagi.

“Jadi nostalgia. Waktu aku kecil, aku sering bersihin punggung ayahku.”

…Oh, maksudnya itu toh.

“Dulu aku sama si kepala batu itu masih akur.”

“Sekarang malah nggak dianggap anak lagi.”

“Betul. …Oke, mari kita mulai.”

Handuk mandi yang dipegangnya menyentuh kulitku.

Rasanya jauh lebih nyaman dibanding saat dia mencuci rambutku. Kurasa dia jauh lebih mahir di bagian ini. Tapi… entah kenapa, rasanya masih sedikit menggoda. Itulah satu-satunya bagian yang disayangkan.

“Oke, punggung selesai!”

“Nnngh…”

“Sekarang bagian depan.”

“Bagian depan biar aku aja!”

Aku terlalu lengah barusan. Begitu dia berkata begitu, aku langsung tersadar.

“Ehh, tapi…”

“Gak usah.”

“…Duh. Ya udah, ya udah.”

Dia menyerahkan handuk mandi padaku, dan aku mulai mencuci bagian depanku dengan tangan kiri sebisa mungkin.

“Udah selesai?”

“Ya.”

“Oke, aku bilas ya.”

Begitu dia menyiram tubuhku dengan shower, gelombang lelah langsung menerpa.

“Kerja bagus.”

“…Makasih. Aku akan berendam di bak sekarang.”

“Oke!”

Dia mengangguk sambil tersenyum cerah.

Aku kembali merosot ke dalam bak mandi, berusaha keras menatap lurus ke depan. Kalau aku sampai melirik ke samping… aku tak tahu Hayashi bakal ngomong apa.

“Ugh, rambut panjang tuh susah banget dicuci…”

Aku mendengarnya menggerutu saat dia mencuci rambut, wangi shamponya samar tercium.

“Ngomong-ngomong, kamu masih pakai sampo pria, ya?”

“Eh? Oh—kurasa begitu.”

“Kamu harusnya beli yang beneran. Sampo khusus perempuan.”

“Kenapa? Rasa mentholnya enak, kok.”

“…Kamu benar-benar pemalas.”

“Sebut saja gampang beradaptasi.”

Suara guyuran air berhenti.

“…Duh. Kamu tuh sok banget, sih.”

“A-Apa yang kamu rencanakan?”

Dia tidak akan memukulku, kan?

Ayo sini. Aku tidak akan meminta maaf cuma gara-gara dipukul.

“Bukan apa-apa kok.”

“……”

“Aku cuma kepikiran untuk buka handuk ini… terus menempel padamu.”

“Maaf! Aku minta maaf!!”

Jurus pamungkas macam apa itu!?

Sial, aku tidak bisa menang. Dia benar-benar no celah…!

“Yah, sejujurnya, aku memang ingin melepas handuk ini. Panas.”

“Kamu nggak tahan panas, ya?”

Kalau dipikir-pikir, waktu itu dia juga nyaris balik ke ruang tamu hanya dengan pakaian dalamnya setelah mandi.

“Aku benci kepanasan.”

“…Bukannya kamu juga bilang suka pusing pas pagi-pagi?”

“Aku benci dingin juga.”

“Kamu benar-benar payah.”

“Fufufu. Jadi, bimbing aku dengan baik.”

Suara shower mulai melemah.

Terdengar suara kran dimatikan.

Lalu suara bangku digeser di atas ubin…

“Fiuh…”

Dan Hayashi menghela napas panjang.

“Geser dikit…?”

Dia berdiri di pinggir bak sambil menatapku.

Aku menggeser tubuhku, seperti yang dia minta.

“Baiklah.”

Dan kemudian… aku menyesalinya.

Tanpa pikir panjang, aku telah bergeser ke pinggir... dan menyandarkan punggungku ke dinding.

Karena itu, tidak seperti sebelumnya, aku tidak bisa memalingkan muka.

Dari apa?

Dari kaki ramping Hayashi. Pergelangan kakinya. Pahanya…

Pandanganku menyusuri kulit sehat itu ke atas, hingga akhirnya terhenti sebelum sampai tujuan… tertutup oleh handuk putih.

“Ke-Kenapa kamu duduk menghadapku di bak mandi…?!”

Aku berseru kaget saat melihat Hayashi duduk tepat di depanku, lutut bertemu lutut dalam air hangat.

“Ahaha… agak sempit, ya?”

Hayashi tersenyum, tampak sedikit malu.

“Balik badan.”

“Ehh?”

“Jangan malah ‘ehh’—”

“…Hei, Yamamoto.”

Sebelum aku selesai, dia mengabaikanku dan menatap lurus ke arahku.

Tatapan itu—penuh gairah dan memikat.

“A-Ada apa… Hayashi?”

Jantungku mulai berdegup kencang lagi.

Tidak mungkin situasi seperti ini tidak menjadi canggung—hanya kami berdua di ruang sempit dan penuh uap seperti ini.

Masih menatapku dengan tatapan yang sama, dia tidak menjawab.

Sebaliknya, dia mengulurkan jemari putihnya yang lembut ke arahku.

Permukaan air beriak pelan. Hanya gangguan kecil—tapi dibandingkan itu, aku gemetaran.

…Sejak Hayashi mulai tinggal di sini, aku sudah berusaha keras menahan diri.

Dan itu wajar.

Kami bukan teman.

Bukan juga sepasang kekasih.

Di masa SMA, kami bahkan nyaris tidak pernah bicara.

Itulah sebabnya aku selalu mengingatkan diri agar tidak gegabah.

…Tapi mungkin, sedikit saja—

“Kamu benar-benar suka latihan angkat beban, ya?”

Nada suaranya terdengar terkesan.

…Meski berada dalam air hangat, rasanya seluruh panas di tubuhku lenyap seketika.

“Hei, boleh kusentuh?”

“Terserah.”

“Makasih. Tapi aku udah nyentuh duluan sebelum kamu jawab, sih.”

Dia menepuk-nepuk otot perutku.

“Wah, keras banget.”

“Ini belum seberapa. Dulu di masa jayaku, ini jauh lebih mengesankan.”

“Kamu menyebut umur 19 sebagai masa jaya?”

“Itu faktanya.”

“Oh. Tapi bukannya latihan berat, ya?”

“Nggak sama sekali. Ototku selalu bersemangat.”

“…Bodoh.”

Meski memanggilku begitu, tangannya tak berhenti mengusap perutku.

“Kamu suka pria berotot, ya?”

“Eh? Nggak juga?”

“…Terus kenapa kamu begitu tertarik dengan ototku?”

Saat kutanya begitu, Hayashi tampak benar-benar bingung. Mungkin dia sendiri tidak tahu kenapa tertarik pada latihanku.

“Oh. Aku tahu.”

Tapi tampaknya dia menemukan jawabannya dengan cepat.

“Mungkin karena itu kamu.”

Begitu katanya.

Untuk sesaat, jantungku berdebar kencang. Sejak kami masuk bak, aku sudah merasa tegang.

Tapi ada satu hal yang bisa kupastikan.

“Sepertinya tidak begitu.”

Kataku padanya.

“Apa kamu lupa bagaimana kita dulu? Di SMA, kita hampir nggak pernah bicara. Kamu pikir beberapa minggu saja sudah cukup untuk merubah segalanya dengan drastis?”

“Tapi memang udah berubah.”

“Atas dasar apa kamu bilang begitu?”

“Sama sepertimu.”

“Hah?”

“Aku juga memikirkan hal yang sama sepertimu.”

“Memikirkan apa?”

“…Bahwa kamu tuh penting bagiku.”

Aku terdiam, tak bisa berkata-kata.

Siapa pun yang tahu bagaimana hubungan kami di SMA pasti akan berpikir betapa tidak masuk akalnya ini. Hayashi baru saja mengucapkan sesuatu yang sama sekali tak bisa dipercaya.

“Aku senang, tahu.”

Lanjutnya, mengabaikan kebingunganku.

“Waktu kamu datang untukku kemarin… aku benar-benar senang. Aku merasa diselamatkan. Tapi… kamu malah terluka karenanya.”

“Cedera itu bukan salahmu.”

“Mungkin nggak sepenuhnya. Tapi aku termasuk penyebabnya juga. Kalau saja aku sadar dari awal kalau ucapan Miyauchi itu bertentangan… semua itu mungkin nggak bakal terjadi.”

Dia bicara soal bagaimana Miyauchi memberikan alamat yang berbeda di pertemuan pertama dan kedua mereka.

“…Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kalian kan teman. Nggak gampang buat curiga sama semua yang dikatakan temanmu sejak awal.”

“…Yamamoto.”

“Ya?”

“Maaf, ya.”

Hayashi meminta maaf.

“Tapi aku nggak benar-benar depresi, kok.”

“…Enggak?”

Dia menunduk sebentar, lalu tersenyum lembut.

“Soalnya kamu selalu bilang, kan? ‘Jangan minta maaf,’ dan ‘Belajarlah dari kesalahanmu.’”

“…”

“Tentu saja aku merasa bersalah. Jelas. Aku ikut andil, dan seseorang yang aku pedulikan jadi terluka.”

“…Hayashi.”

“Tapi kamu nggak ingin dengerin permintaan maaf dariku, kan?”

Hayashi mengangkat wajahnya. Matanya sedikit basah. Sepertinya dia sudah bergulat dengan perasaannya sendiri. Dan inilah kesimpulan yang dia dapat setelah semua itu.

“Itulah kenapa aku mikir…”

Dia tersenyum.

“Kali ini, aku yang akan membantumu…”

“Membantuku…?”

“Iya.”

Dengan anggukan malu-malu, Hayashi menegaskan.

…Akhirnya aku mengerti.

“Jadi, waktu kamu tiba-tiba ngajak mandi bareng—itu karena kamu mikir aku bakal kesulitan hanya dengan satu tangan?”

“Iya.”

“Dan kau menolak kunjungan Kasahara supaya nggak bikin aku stres?”

“Tepat.”

“Dan pas menyuapiku tadi juga…”

“Dengan tangan itu, makan pasti ribet, kan?”

“Terus kamu mencabut batasan waktuku bersih-bersih… apa karena itu juga?”

“Tidak, itu sih karena kamu kelihatan butuh waktu lebih lama aja.”

“Oh… gitu.”

“Akan kukembalikan setelah cederamu sembuh. Janji.”

“Ya…”

Padahal bisa saja dia membiarkan yang satu itu juga dihitung sebagai salah satu balas budinya, mengingat suasananya. Tapi pengecualian waktu bersih-bersih itu tampaknya takkan berlaku kecuali aku cedera lagi. Taik lah…

Yah, bagaimanapun… aku merenungkan apa yang dikatakan Hayashi.

Membalas budi orang yang pernah melindungimu, dengan melindunginya balik.

Itu pemikiran yang mulia. Sesuatu yang takkan pernah terpikir olehku yang egois ini.

Jujur saja, aku merasa iri dengan Hayashi yang bisa berpikir seperti itu. Tapi di saat yang sama, rasanya juga agak… disayangkan.

“Simpan kebaikanmu itu untuk orang lain.” Kataku.

“Untuk seseorang selain aku... seseorang yang benar-benar bisa membalasmu balik.”

“Jangan bodoh.”

Hayashi tertawa kecil.

“Aku melakukannya karena ini kamu.”

“Padahal kamu nggak dapat untung apa-apa.”

“Kamu melindungiku semalam. Kamu mengeringkan rambutku sehabis mandi. Kamu yang bantu setel HP-ku. Kamu juga yang bantu aku ketemu Akari lagi.”

“…”

“Kamu memberiku tempat untuk sembunyi.”

Dia tampak agak malu.

“Tuh, banyak banget keuntungannya.”

“…Kalau kamu bilang begitu.”

“Kamu tuh benar-benar keras kepala.”

“Kamu tahu sendiri kan aku emang begitu.”

“Iya sih. Tapi hei, aku juga keras kepala, jadi kita impas, kan?”

“…Yah, kurang lebih.”

“Dan aku nggak bakal berubah pikiran, tahu.”

“Kalau gitu, kamu yang harusnya berubah.”

“Gak bakal. Percuma mencoba mengubah pendirianku, kamu tahu sendiri, kan?”

Ya, aku tahu.

Banyak bantahan yang muncul di kepalaku… tapi dia benar—Hayashi tidak akan mundur.

“…Haah.”

Aku menghela napas panjang, benar-benar panjang.

Sungguh, dia keras kepala sekali. Aku mencoba bersikap baik di sini, dan dia memanfaatkannya habis-habisan.

…Tapi sebenarnya, hidup bersama gadis keras kepala begini—tak seburuk yang kukira. Mungkin aku juga tidak jauh beda.

“Pokoknya, sampai tanganmu sembuh, aku bakal bantu semampuku.”

“Begitu ya.”

“Mintalah apa saja. Apa saja.”

“Gak semudah itu…”

“Aku serius, lho. Apa pun. Kayak mandi bareng lagi, menemani ke kamar mandi di malam hari karena takut, atau bahkan minta tidur sambil dipeluk—apa pun.”

“Baik. Tapi aku nggak bakal minta salah satu dari yang kamu sebut.”

“Yah, kenapaa!?”

Hayashi menggembungkan pipinya.

Dia mungkin ngambek, tapi… tidak mungkin aku benar-benar memintanya melakukan hal-hal itu. Kalau aku mulai memperlakukannya seperti alat, aku tak ada bedanya dengan si brengsek Utsumi itu. Dan kenyataan bahwa aku tidak sepertinya adalah satu-satunya alasan aku masih bisa tetap waras dalam situasi hidup bersama ini. Tidak mungkin aku mengorbankan itu.

“Ayolah, yaa? Minta sesuatu, dong, apa aja!”

Dia memegang kedua bahuku dan mengguncangku.

Aku mencoba tetap tenang… tapi aku tak tahu harus menatap ke mana.

“B-Baik! Aku akan minta sesuatu, jadi tolong berhenti!”

“Beneran!? Apa!?”

Matanya berbinar penuh harap.

Maaf sudah membuatmu menunggu, tapi… sejujurnya, ada sesuatu yang ingin kuminta pada Hayashi.

Satu hal saja. Sesuatu yang benar-benar ingin kuminta darinya sekarang.

Aku ragu sejenak. Dia mungkin tidak mau... pikirku.... Tapi aku berharap dia mau.

“Hayashi.”

“Apa? Apa?”

“Mau pergi ke festival musim panas bareng aku besok?”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close